You are on page 1of 6

Sejarah Perlawanan Rakyat Aceh Melawan Belanda

Pada tanggal 12 Februari 1904 pasukan Belanda telah tiba di daerah tujuan,yaitu di daerah Gayo
Laut, kira-kira 50 kilometer dari Takengon. Tetapi begitu Belanda menginjakkan kakinya di desa
dekat Ketol, disambut dengan pertempuran sengit yang pertama, dimana pasukan Belanda
mengalami korban, baik mati maupun luka-luka.

Dalam perjalanan menuju Takengon, pasukan Belanda tidak henti-hentinya mendapat


perlawanan, Sampai mereka berhasil membuat markasnya di desa Kung, kira-kira 7 kilometer ari
Takengon. Dari markas yang baru didirikan ini, pasukan Belanda melakukan operasi m iliter di
sekitar Gayo Laut. Walau perlawanan pasukan rakyat Gayo cukup sengit, dan hampir
setiapdaerah yang dilalui pasukan Belanda terjadi pertempuran, tetapi akhirnya daerah Gayo
Laut pun jatuh ke tangan pasukan kolonial.

Setelah pasukan Belanda berhasil menguasai daerah Gayo Laut, operasi militernya maju menuju
Gayo Lues, dimana pada tanggal 9 Maret 1904, pasukannya telah mencapai daerah Kla, yaitu
daerah yang merupakan pintu masuk Gayo Lues. Berbeda dengan pertempuran di Gayo Laut, di
sini rakyat memperkuat pertahanannya dengan benteng-benteng yang dibangun dari tanah
dicampur batu-batu. Di sekelilingnya dibuat pagar kayu berduri yang telah dibuat runcing, dan
dilapisi pula dengan tanaman hidup bambu berduri, yang oleh orang Gayo disebut 'uluh kaweh'
yang berlapis-lapis. Kemudian dipasang pula bambu runcing dan kayu runcing dalam bentuk
ranjau-ranjau.

Di bagian dalam benteng dibuat lobang-lobang perlindungan, lubang pengintaian lubang


penembak di bagian dinding-dinding benteng. Selain itu dibuat pula lubang perlindungan untuk
wanita dan anak-anak di dalam benteng tersebut. Dengan cara ini, benteng pertahanan rakyat
Gayo berusaha menahan serangan pasukan Belanda yang jauh lebih kuat dan modern.

Salah satu bukti tentang pertempuran benteng yang dahsyat, yaitu benteng Gemuyang, setelah
berhari-hari bertempur, akhirnya baru jatuh setelah rakyat Gayo sebanyak 308 orang tewas :
antaranya 168 orang laki--laki, 92 orang wanita dan 48 orang anak-anak. Sedangkan korban dari
pihak pasukan Belanda hanya dua orang tewas dan 15 orang luka-luka berat.

Kuta Reh

Pertempuran di benteng Reket Goib antara pasukan penyerbu dengan pasukan rakyat Gayo lebih
berimbang, sehingga korban yang jatuh di kedua belah pihak cukup banyak. Di pihak rakyat
Gayo telah meninggal dunia sebanyak 148 orang: antaranya 143 orang pria, 41 orang wanita dan
anak-anak. Korban di pihak pasukan Belanda: 7 orang mati, diantaranya 2 orang perwira dan 42
orang luka-luka berat, diantaranya 15 orang perwira.

Pertempuran dari benteng ke benteng yang tersebar di daerah-daerat Gayo tidak kurang dari
sepuluh buah banyaknya, dengan korban ribuan rakyat Gayo yang mati terbunuh. Hanya dengan
cara itu pasukan Belanda dapat menaklukkan Gayo.

Setelah daerah Gayo berhasil ditundukkan, maka pada tanggal 13 Juni 1904 pasukan Belanda
melanjutkan serangan ke daerah Alas, dengan sasaran utamanya desa Batu Mbulen dimana
tinggal seorang ulama besar bernama Teungku Haji Telege Makar dengan pondok pesa ntrennya.
Mendengar kedatangan pasukan Belanda mau menyerbu kaum muslimin, dengan pimpinan para
ulama mereka mengosongkan desa tersebut dan semuanya berkumpul di
benteng Kute Reh yang telah disiapkan jauh sebelum pasukan musuh datang.

Pertempuran dahsyat dan bermandikan darah berlangsung berhari-hari antara pasukan musuh
dengan pasukan kaum muslimin di benteng Kute Reh tersebut. Benteng Kute Reh jatuh ke
tangan pasukan Belanda, setelah 561 orang pasukan yang mempertahankan benteng itu tewas,
diantaranya 313 orang pria, 189 orang wanita, dan 59 orang anak-anak. Sedangkan di pihak
musuh hanya dua orang mati dan 17 orang luka-luka berat.

Pada tanggal 20 Juni 1904 pasukan Belanda dibawah pimpinan Van Daalen sendiri melanjutkan
penyerbuannya ke benteng Likat. Pertempuran sengit bermandikan darah berlangsung dahsyat
dan ngeri. Sebab pasukan Belanda main bantai tanpa pandang bulu, sehingga 432 orang mati
terbunuh, diantaranya 220 pria, 124 wanita, dan 88 orang anak-anak. Dipihak pasukan musuh
yang mati hanya seorang dan 18 orang tentara luka-luka, termasuk Letnan Kolonel Van Daalen
dan Kapten Watrin.
Daerah Alas dapat dikuasai pasukan Belanda setelah jatuhnya benteng Lengat Baru pada tanggal
24 Juli 1904, dengan korban yang sangat besar di pihak rakyat Alas, di mana 654 orang tewas,
diantaranya 338 orang pria dan 186 wanita serta anak-anak 130 orang.Di pihak musuh hanya 4
orang mati.

Keganasan Pasukan Marsose dari yang tergabung prajurit Belanda, Jawa, Menado dan Ambon
Yang dipimpin oleh Van Daalen.

Sebagaimana telah terjadi di daerah-daerah lainnya di Aceh, jika pertempuran terbuka telah tidak
mungkin dilakukan, karena kekuatan yang tak seimbang dengan pasukan musuh, maka 'perang
gerilya' merupakan satu-satunya jawaban untuk melumpuhkan pasukan Belanda. Di Gayo dan
Alas pun berlaku hal yang sama. Apalagi daerah Gayo dan Alas adalah daerah
bergunung-gunung dan berhutan lebat, sehingga 'perang gerilya' yang dilakukan rakyat Gayo dan
Alas sangat menguntungkan. Dan sebaliknya pasukan Belanda tidak pernah bisa tinggal tenteram
di daerah-daerah yang didudukinya.

Pada bulan Maret 1904 sebuah kolonne yang terdiri dari enam brigade marsose, yaitu kira-kira
160 orang tentara, masuk ke dalam jebakan pasukan gerilya muslimin yang berkekuatan
sebanyak 300 orang gerilyawan. Dengan gerak cepat dan ketangkasan yang luar bi asa, pasukan
gerilyawan muslimin Aceh ini menyerang dengan kelewang dan rencong terhadap pasukan
marsoseyang terjebak itu. Seluruh pasukan Belanda sebanyak 160 orang tentara mati terbunuh,
ter-masuk Kapten Campion yang mati karena luka-luka berat.

Pasukan gerilyawan muslimin Aceh masih terus efektif melakukan serangan-serangan terhadap
pasukan Belanda di daerah-daerah seperti Lhong, dimana pada tahun 1925 dan tahun 1926 dan
kemudian pada tahun 1953 telah berkembang menjadi 'perang terbuka'. Untuk mengatasi
kekuatan gerilyawan muslimin Aceh ini, pemerintah kolonial Belanda mengumpulkan kembali
bekas-bekas pasukan marsose dari seluruh Hindia Belanda. Operasi-operasi pasukan marsose di
sungai atau di darat seringkali terjebak oleh pasukangerilya-wan muslimin, sehingga dapat
dihancurkan secara total. Bahkan bivak-bivak rahasia pasukan marsose sering diserang dan
dibakar oleh pasukan gerilyawan.

Pada bulan Desember 1909, Letnan B.J. Schmidt mendapat perintah untuk menyerang pasukan
gerilyawan muslimin Tiro di daerah Tangse. Menurut taksiran, kekuatan pasukan gerilyawan
muslimin Tiro ini berjumlah 250 orang. Dengan menggunakan dua brigade pasukan marsose,
Schmidt secara sistimatis me-nyerang dan menangkap pasukan gerilyawan muslimin Tiro, di
mana pada tahun 1909 dan 1911 dapat dikatakan hampir seluruhnya tertangkap.

Keberhasilan pasukan Belanda dalam menumpas pasukan gerilyawan muslimin Tiro ini karena
pengkhianatan orang-orang Aceh sendiri, yaitu para kaum bangsawan yang menjadi kolaborator
Belanda.

Pada bulan Desember 1911, perwira Marsose dengan pasukannya bernama Nussy menyerang
tempat persembunyian gerilyawan muslimin Tiro yang terakhir, yang tinggal tiga orang saja lagi.
Dalam serangan ini, dua orang dari tiga gerilyawan muslimin Tiro ini tewas menjadi syuhada,
dan ternyata yang seorang itu bernama Cit Ma'az (Ma'at), adalah keturunan terakhir dari Syeikh
Saman, tokoh utama perang Aceh. Dengan wafatnya Cit Ma'az, yang
baru berusia lima belas tahun, maka berarti tiga generasi Teuku di Tiro di abadikan di dalam
Perang Aceh.

Perang Aceh tidaklah berakhir pada tahun 1913 atau 1914. Dari tahun 1914 terentang benang
merah sampai tahun 1942, alur perlawanan di bawah tanah. Perang gerilya, yang pada tahun
1925, tahun 1926, sampai tahun 1933 berkembang menjadi perlawanan terbuka lagi.

Dengan demikian perang Aceh berlangsung mulai sejak tahun 1873, terus sambung-
menyambung sampai tahun 1942, dimana Belanda angkat kaki untuk selama-lamanya, adalah
perang terlama di dalam sejarah perang kolonial Belanda di Indonesia.

Perlawanan Terhadap Orang-Orang Belanda di Bali

Masa ini merupakan masa perlawanan terhadap kedatangan bangsa Belanda di Bali. Perlawanan-
perlawanan ini ditandai dengan meletusnya berbagai perang di wilayah Bali. Perlawanan-
perlawanan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Perang Buleleng (1846) 2. Perang
Jagaraga (1848--1849) 3. Perang Kusamba (1849) 4. Perang Banjar (1868) 5. Puputan Badung
(1906) 6. Puputan Klungkung (1908) Dengan kemenangan Belanda dalam seluruh perang dan
jatuhnya kerajaan Klungkung ke tangan Belanda, berarti secara keseluruhan Bali telah jatuh ke
tangan Belanda.

Zaman Penjajahan Belanda

Sejak kerajaan Buleleng jatuh ke tangan Belanda mulailah pemerintah Belanda ikut campur
mengurus soal pemerintahan di Bali. Hal ini dilaksanakan dengan mengubah nama raja sebagai
penguasa daerah dengan nama regent untuk daerah Buleleng dan Jembrana serta menempatkan
P.L. Van Bloemen Waanders sebagai controleur yang pertama di Bali. Struktur pemerintahan di
Bali masih berakar pada struktur pemerintahan tradisional, yaitu tetap mengaktifkan
kepemimpinan tradisional dalam melaksanakan pemerintahan di daerah-daerah. Untuk di daerah
Bali, kedudukan raja merupakan pemegang kekuasaan tertinggi, yang pada waktu pemerintahan
kolonial didampingi oleh seorang controleur. Di dalam bidang pertanggungjawaban, raja
langsung bertanggung jawab kepada Residen Bali dan Lombok yang berkedudukan di Singaraja,
sedangkan untuk Bali Selatan, raja-rajanya betanggung jawab kepada Asisten Residen yang
berkedudukan di Denpasar. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga administrasi, pemerintah
Belanda telah membuka sebuah sekolah rendah yang pertama di Bali, yakni di Singaraja (1875)
yang dikenal dengan nama Tweede Klasse School. Pada tahun 1913 dibuka sebuah sekolah
dengan nama Erste Inlandsche School dan kemudian disusul dengan sebuah sekolah Belanda
dengan nama Hollands Inlandshe School (HIS) yang muridnya kebanyakan berasal dari anak-
anak bangsawan dan golongan kaya.
PERLAWANAN MATARAM TERHADAP KOMPENI BELANDA PADA MASA
SULTAN AGUNG (1)

Tentara Mataram di masa pemerintahan Sultan Agung melakukan penyerbuan ke benteng


Kompeni Belanda di Batavia pada tahun 1628 dan 1629. Mataram ternyata gagal, sumber dari
Mataram sendiri menceritakan bagaimana setelahnya Sultan Agung memberikan hukuman
kepada panglima bawahannya yang paling dianggap bertanggungjawab atas kegagalan itu (pasca
1628), terutama juga kepada prajuritnya yang berkhianat (pasca 1629). Laskar Dipati Ukur dari
tanah Pasundan (awalnya) juga turut membantu penyerbuan Mataram ke Batavia itu. …
Bagaimana cerita, laporan dan pengakuan dari pihak Kompeni Belanda sendiri tentang jalannya
peristiwa itu? Posting berikut ini banyak menyajikan keterangan-keterangan terkait itu
yang kemungkinan besar didapat dari sumber resmi pihak Kompeni Belanda itu sendiri.

 Antara Tahun 1602 -1628 M

Keadaan bagi Kompeni menjelang tahun 1602 sangat gawat, sikap permusuhan dinyatakan
oleh Mataram dan Banten.

Pada tahun 1603 VOC memutuskan untuk mengangkat Jan Pieterszoon Coen sebagai
kepala tata buku yang mempunyai wewenang atas kantor dagang di Banten dan Jakarta. Pada
tanggal 18 Agustus 1618 tentara Mataram melakukan penyerbuan ke kantor dagang VOC di
Jepara. Sebelum penyerbuan ini, pimpinan dari kantor dagang, yaitu Balthasar van Eynthoven
dan Cornelis Maseuck dipanggil oleh raja Hulubalang (sebutan Belanda untuk raja/Adipati) dan
kemudian ditahan. Alasannya adalah perampokan-perampokan yang telah dilakukan kapal-kapal
Belanda terhadap jung-jung Jepara. Di samping itu juga karena kelakuan dan tindakan Balthasar
van Eynthoven yang tidak senonoh. Kedua alasan tersebut adalah alasan yang jelas, namun
alasan yang sebenarnya adalah karena janji-janji Belanda terhadap Mataram tidak ditepati dan
sudah berlangsung empat tahun. Di pihak lain Belanda mencoba-coba untuk menuntut raja
supaya memenuhi janji-janji yang telah disampaikan oleh utusan VOC pertama van Surck. VOC
juga mencoba-coba membatalkan janji-janji yang telah diberikan van Surck kepada Mataram.

Dalam penyerbuan ke Jepara ini jatuh beberapa korban di pihak Kompeni; tiga orang
terbunuh, beberapa luka-luka dan sisanya dijadikan tawanan. Sebelumnya Sultan Agung telah
mensinyalir akan bahaya yang datang dari kantor dagang di Jepara, setelah mendengar bahwa
kantor dagang Kompeni di Jakarta diperkuat. Kemungkinan kantor dagang di Jepara juga dapat
membahayakan kerajaannya. Mataram mau berdagang dengan orang asing, asalkan saja orang
asing itu tidak mencoba merebut daerah kekuasaannya.

Dari pihak VOC Coen merasa bahwa Kompeni memerlukan beras akan tetapi kejadian di
Jepara sangat mengganggu pikirannya. Oleh sebab itu ia mengirim utusan Jacob van der Marct
ke Jepara untuk menemui raja Hulubalang. Jacob van der Marct diperintahkan untuk bertindak
sebaik mungkin dalam usaha pembelian beras. Usaha pembelian beras ini berhasil. Tetapi setelah
beras ini diterima ia mengadakan suatu balasan terhadap penyerbuan ke kantor dagang Kompeni
di Jepara. Kantor dagang ini diserang oleh 160 orang Kompeni, rumah-rumah di sekitar kantor
dagang ini dibakar, kira-kira tiga puluh orang Jawa terbunuh dalam serangan ini; jung-jung yang
berada di sekitar Jepara dan Demak dibakar. Dalam penyerbuan ini mereka berhasil merebut
beras yang terdapat di atas jung-jung. Pada tahun 1619 Coen yang belum puas dengan
penyerangan ke Jepara telah mengerahkan 400 orang-orang Kompeni. Keadaan pertahanan
Jepara ternyata lebih baik, sehingga tidak mudah bagi Kompeni untuk menyerbu kota itu.

Motif dari penyerangan Kompeni ini di samping untuk membalas penyerangan orang-orang
Mataram pada tahun 1618 terhadap kantor dagang VOC juga untuk merusakkan kantor dagang
Inggris dan untuk membuat orang-orang Cina pindah ke Jakarta. Dalam penyerbuan ini, kantor
dagang Inggris dibakar dan beberapa puluh orang Jawa terbunuh. Situasi antara Kompeni dan
Mataram antara 1620 hingga 1628 dalam keadaan bermusuh-musuhan. Bagi raja-raja, Batavia
merupakan suatu kota yang merugikan kerajaannya. Hubungan antara Mataram dan Malaka
dipersukar oleh Batavia. Bagi Sultan Agung, hanya ada satu cara untuk melepaskan diri dari
Batavia yaitu dengan menghancurkan kota tersebut. Sudah berkali-kali Sultan Agung mengirim
utusan kepada VOC untuk mengirim wakil kepadanya tetapi hal ini tidak dilakukan Kompeni.

Atas dasar ini Sultan Agung mengadakan persiapan untuk menyerbu Batavia. Pantai utara
mulai tertutup bagi pedagang dari orang asing. Mereka yang datang ke Mataram ditahan bahkan
kantor dagang Inggris ditutup.

Pada bulan April 1628, Kyai Rangga dikirim ke Batavia dengan 14 perahu yang memuat
beras. Rangga ini datang untuk meminta kepada VOC untuk membantu Mataram menyerbu
Banten. Akan tetapi VOC menolak memberi bantuan atas dasar ditutupnya pelabuhan-pelabuhan
di pantai utara.

 Penyerbuan Mataram ke Batavia pada Tahun 1628 M

Pada tanggal 22 Agustus 1628, 50 kapal muncul di depan Batavia dengan perbekalan yang
sangat banyak. Hal ini membuat Kompeni menjadi sangat prihatin. Setelah 2 hari muncul lagi 7
buah perahu yang singgah untuk meminta ijin perjalanan ke malaka. VOC mencoba untuk tidak
mempertemukan kapal-kapal yang tiba dahulu dan yang belakangan karena khawatir kapal-kapal
yang baru datang akan memberi senjata-senjata pada perahu lainnya. Usaha ini gagal. Pada pagi
hari 20 buah perahu menyerang pasar dan benteng yang belum siap. Orang-orang Mataram yang
datang dengan perahu-perahu itu naik ke darat. Mereka berhasil mencapai benteng. Penyerbuan
ini berlangsung sampai pagi. Banyak korban jatuh. Tujuh perahu yang datang pada tanggal 24
Agustus 1628, ketika melihat hasil penyerbuan ke benteng yang mengakibatkan banyak korban,
tidak mau mendekati Batavia tetapi mendekati Marunda di mana pada keesokan harinya suatu
pasukan di bawah pimpinan Tumenggung Baureksa mendarat. Dalam menghadapi kekuatan
Mataram, Kompeni mengorbankan daerah sekitar benteng. Kampung di sekitarnya dibakar dan
diratakan dengan tanah. Pada waktu tentara Mataram menarik diri ke daerah-daerah yang agak
jauh yang berpohon, membuat benteng-benteng mereka dari bambu anyaman. Meskipun
demikian mereka berhasil maju juga karena mereka menggali parit-parit dan membuat benteng
seperti yang tersebut di atas. Taktik VOC untuk menghadapi pasukan yang telah maju sekali
adalah dengan mengirim sejumlah tentara Kompeni ke parit-parit ini yang dilindungi oleh 150
penembak sehingga orang-orang ini berhasil mengusir tentara Mataram dari parit-parit ini. Dan
korban yang tercatat pada peristiwa ini diperkirakan antara tiga puluh sampai empat puluh orang.

Pada tanggal 21 September 1628 tentara Mataram menyerang benteng Hollandia. Mereka
mencoba menaiki benteng tersebut dengan tangga. Sambil menjalankan penyerangan ini, di
bagian lain mereka mereka membunyikan alarm untuk mengurangi perhatian pada penyerbuan
atas benteng Hollandia. Akan tetapi orang Belanda dapat mencium bahwa tujuan tentara
Mataram hanya benteng Hollandia, oleh sebab itu mereka merubah perhatian menjadi
penyerangan. Dengan segala kekuatan mereka menyerang parit-parit dan pusat kanan tentara
Mataram, sehingga banyak menimbulkan korban. Karenanya kerugian manusia terlalu banyak di
pihak Mataram. Dari tawanan-tawanan yang ditahan Kompeni mereka dapat keterangan bahwa
masih terdapat kira-kira 4.000 anggota tentara Mataram yang berkeliaran di hutan mencari
makanan. Terhadap mereka Kompeni mengutus Jacques Lefebres untuk menyerang sisa-sisa
laskar ini. Dengan jumlah yang tidak kecil yaitu 2.866 orang, Jacques Lefebres mengadakan
penyerbuan. Ia memulai dengan menyusuri sungai di tepi mana terdapat Tumenggung Baureksa.
Penyerbuan terhadap perkampungan laskar Mataram di mana Baureksa berada menemui
perlawanan yang hebat dan pertempuran berlangsung satu lawan satu.

Kompeni pada akhirnya berhasil memusnahkan isi perkampungan ini, akan tetapi mereka
lupa merusak benteng. Tumenggung Baureksa dan putranya gugur dalam pertempuran ini.
Banyak perahu Mataram yang berlabuh di sungai Marunda dimusnahkan. Setelah penyerbuan ke
perkampungan pasukan Mataram sepanjang sungai Marunda selesai, tentara Kompeni pulang.
Api mesiu belum habis terbakar, ketika bantuan baru pasukan Mataram datang. Dengan segera
pasukan Mataram dapat mempersiapkan diri lagi. Bilamana tak ada tembakan yang berasal dari
dua perahu Kompeni Belanda dan bilamana kota Batavia tidak mempunyai tembok yang tinggi,
maka pastilah seluruh kota Batavia sudah jatuh ke tangan laskar Mataram. Pimpinan dari bantuan
yang baru adalah Tumenggung Sura Agul-Agul dan bersaudara Kyai Dipati Mandurareja dan
Upasanta. Mereka menyangka bahwa pasukan yang pertama datang telah berhasil menguasai
kota Batavia. Ketika ia melihat bahwa kota masih dalam tangan Kompeni, maka timbul suatu
akal yaitu seperti telah pernah dilakukan terhadap Surabaya, yaitu dengan membendung sungai.
Akan tetapi perbuatan ini hanya cocok untuk Surabaya, tapi tidak untuk Batavia.

Suatu usaha untuk menyerbu benteng Hollandia gagal dan oleh sebab itu sebagai hukuman
terhadap gagalnya usaha menundukkan musuh, Mandurareja dan Upasanta, bersama-sama
dengan anak-buahnya dibunuh dengan ditusuk dengan keris atau tombak. Dengan kegagalan
Mataram menduduki Batavia pada akhir tahun 1628, maka penyerbuan Mataram yang pertama
berakhir pula.

Tidak diragukan lagi bahwa Mataram pada masa Sultan Agung adalah satu kekuatan besar.
Setelah masa Demak, kiranya Mataram inilah kerajaan terkuat di Jawa pada abad ke-17 itu.
Seluruh Jawa Tengah, hampir seluruh Jawa Timur dan sebagian Jawa Barat adalah takluk dan
menjadi pendukung kekuatan Mataram. Pengaruh Mataram pada masa ini juga sampai ke Gowa-
Tallo di Makasar, juga Palembang di Sumatra. Mataram juga melakukan hubungan perdagangan
langsung sampai ke Malaka. Namun saat itu ada pula Cirebon dan Banten. Mataram
menghormati Cirebon (meski Cirebon tidak terlalu kuat) karena Mataram menganggap bahwa
Cirebon adalah penerus Sunan Gunung Jati. Namun terbukti dari keterangan dari beberapa
sumber bahwa terhadap Banten, Mataram bersaing. Dalam pandangan masa kita kini anak
bangsa Indonesia, dapat kita nilai bahwa persaingan Mataram-Banten ini, ketidakkompakan
antara Mataram dan Banten ini; adalah salah satu penyebab mengapa Kompeni Belanda di
Jayakarta/Batavia tetap tidak dapat terkalahkan saat itu. Tidak ada persatuan di antara ‘sesama
anak bangsa’. Visi nasionalisme Indonesia, nusantara, tentu memang belum terbentuk saat itu.
Bila saja Mataram menyerang Kompeni dari timur, lalu Banten dari barat, bukan mustahil saat
itu Kompeni kalah di Batavia.

Beberapa analis sejarah memberikan penilaian bahwa Sultan Agung Mataram terlalu
berambisi untuk mengenyahkan Kompeni Belanda dari Batavia, padahal kenyataannya kekuatan
yang disusun dimilikinya belum memadai untuk sampai dapat mengalahkan mereka. Persaingan-
persaingan dagang dan pengaruh kekuasaan di antara semua aktor-aktor utama saat itu memang
sungguh terasa. Selain Belanda, saat itu di Jawa juga (masih) ada perwakilan dagang Inggris,
sementara Portugis mengincar Malaka. Sementara itu, di antara sesama kerajaan-kerajaan
nusantara sendiri juga saling bersaing. Tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa Mataram
meminta dukungan kerja sama dari sesama kerajaan nusantara untuk mengenyahkan Kompeni
Belanda. Tidak ada riwayat yang menunjukkan bahwa Mataram telah melakukan upaya
diplomasi itu. Mungkin Mataram sudah merasa paling kuat. Bila ada upaya minta bantuan,
Mataram masa Sultan Agung justru malah mengupayakan untuk minta bantuan dari Portugis di
Malaka (sebelum akhirnya pada th 1641 Malaka diduduki juga oleh VOC).

You might also like