Professional Documents
Culture Documents
Posted on 10 Desember 2008 by AKHMAD SUDRAJAT
Untuk menghadapi dinamika perubahan dan kompetisi yang sangat tajam dan ketat dan demi
keberangsungan hidup organisasi itu sendiri, maka setiap orang dalam organisasi dituntut
untuk dapat berfikir dan bertindak secara inovatif. Paul Sloane dalam sebuah tulisannya
mengetengahkan 10 cara untuk meningkatkan inovasi dalam suatu organisasi, yakni:
c
Jangan berharap suatu tim akan menjadi inovatif apabila mereka tidak mengetahui tujuan
yang hendak dicapai ke depan. Inovasi harus memiliki tujuan dan seorang pemimpin harus
mampu menyatakan dan mendefinisikan tujuan secara jelas sehingga setiap orang dapat
memahami dan mengingatnya. Para pemimpin besar banyak meluangkan waktu untuk
menggambarkan dan menjelaskan visi, tujuan dan tantangan masa depan kepada setiap orang
. Mereka berusaha meyakinkan setiap orang akan peran pentingnya dalam upaya mencapai
visi dan tujuan, serta dalam menghadapi berbagai tantangan. Mereka mengilhami kepada
setiap orang untuk menjadi enterpreneur yang bersemangat dan menemukan cara-cara yang
inovatif untuk memperoleh kesuksesan.
Seorang pemodal yang berani mengambil resiko akan menggunakan pendekatan portofolio,
berusaha mencari keseimbangan antara kegagalan dengan kesuksesan. Mereka senang
mempertimbangkan berbagai usulan atau gagasan tetapi tetap merasa nyaman dengan
berbagai pemikiran yang menggambarkan tentang kegagalan-kegagalan yang mungkin akan
diterima.
! "
Anda harus memfokus pada rencana usulan yang benar-benar hebat, setiap rencana mudah
dilaksanakan, sumber tersedia dengan baik, responsif dan terbuka untuk semuanya. Berikan
penghargaan dan respons yang wajar kepada karyawan serta para senior harus memliki
komitmen agar karyawan tetap dapat menjaga kesegarannya dalam melaksanakan setiap
pekerjaan.
#
$
Untuk mencapai inovasi yang radikal, Anda harus memiliki keberanian manantang berbagai
asumsi aturan yang ada di sekitar lingkungan. Bisnis bukan seperti permainan olah raga yang
selalu terikat dengan aturan dan keputusan wasit, tetapi bisnis tak ubahnya seperti seni, yang
di dalamnya memiliki banyak kesempatan untuk berfikir secara lateral, sehingga mampu
menciptakan cara-cara baru tentang aneka benda dan jasa yang diinginkan para pelanggan.
Berikan setiap orang dua pekerjaan pokok. Mintalah kepada mereka untuk melaksanakan
pekerjaan sehari-hari mereka secara efektif dan pada saat yang bersamaan kepada mereka
diminta pula untuk menemukan cara-cara baru dalam melaksanakan pekerjaannya. Doronglah
mereka untuk bertanya pada diri sendiri tentang apa sebenarnya tujuan esensial dari peran
saya? Hasil dan nilai riil apa yang bisa saya berikan kepada klien saya, baik internal maupun
eksternal? Apakah ada cara yang lebih baik untuk memberikan dan mencapai nilai atau
tujuan tersebut? Dan jawabannya selalu mengatakan ³YA´. Tetapi, kebanyakan orang tidak
pernah atau jarang menanyakan hal-hal seperti itu.
Beberapa eksekutif perusahaan memandang kolaborasi sebagai kunci sukses dalam inovasi.
Mereka menyadari bahwa tidak semua dapat dilakukan hanya dengan mengandalkan pada
sumber-sumber internal. Oleh karena itu, mereka melihat dunia luar dan mengajak organisasi
lain sebagai mitra, sehingga bisa saling bertukar pengalaman dan keterampilan dalam team.
*
Anda harus berani mencobakan suatu ide baru yang biaya dan resikonya relatif rendah ke
dalam pasar (dunia nyata), kemudian lihat apa reaksi dari pelanggan dan orang-orang. Di
sana sesungguhnya Anda akan lebih banyak belajar tentang dunia nyata, dibandingkan jika
Anda hanya melakukan uji coba dalam laboratorium atau terfokus pada sekelompok orang
saja.
c
Anda harus fokus terhadap segala sesuatu yang ingin dirubah. Siap dan senantiasa bergairah
dan bersemangat dalam menghadapi dan menanggulangi berbagai tantangan. Energi dan
semangat yang Anda miliki akan menular dan mengilhami setiap orang. Tak ada gunanya jika
Anda mengisi bus dengan penumpang yang selalu merasa asyik dengan dirinya sendiri. Anda
membutuhkan dan menghendaki orang-orang dan para pendukung Anda dengan semangat
yang berkobar-kobar. Anda mengharapkan setiap orang dapat meyakini bahwa upaya
mencapai tujuan merupakan sesuatu yang amat penting dan bermanfaat.
Jika Anda menghendaki setiap orang dapat terinpirasi untuk menjadi inovatif, merubah cara-
cara yang biasa mereka lakukan, dan untuk mencapai hasil yang luar biasa, maka Anda
mutlak harus memiliki semangat yang menyala-nyala tentang apa yang Anda yakini dan
Anda harus dapat mengkomunikasikannya setiap saat ketika Anda berbicara dengan orang.
*)) terjemahan bebas dari tulisan Paul Sloane, pengarang ë
yang
berjudul ³ë ´ dipublikasikan oleh Kogan Page.
www.director.co.uk
Budaya sekolah adalah nilai-nilai dominan yang didukung oleh sekolah atau falsafah yang
menuntun kebijakan sekolah terhadap semua unsur dan komponen sekolah termasuk
stakeholders pendidikan, seperti cara melaksanakan pekerjaan di sekolah serta asumsi atau
kepercayaan dasar yang dianut oleh personil sekolah. Budaya sekolah merujuk pada suatu
sistem nilai, kepercayaan dan norma-norma yang diterima secara bersama, serta dilaksanakan
dengan penuh kesadaran sebagai perilaku alami, yang dibentuk oleh lingkungan yang
menciptakan pemahaman yang sama diantara seluruh unsur dan personil sekolah baik itu
kepala sekolah, guru, staf, siswa dan jika perlu membentuk opini masyarakat yang sama
dengan sekolah.
Beberapa manfaat yang bisa diambil dari upaya pengembangan budaya sekolah, diantaranya :
(1) menjamin kualitas kerja yang lebih baik; (2) membuka seluruh jaringan komunikasi dari
segala jenis dan level baik komunikasi vertikal maupun horisontal; (3) lebih terbuka dan
transparan; (4) menciptakan kebersamaan dan rasa saling memiliki yang tinggi; (4)
meningkatkan solidaritas dan rasa kekeluargaan; (5) jika menemukan kesalahan akan segera
dapat diperbaiki; dan (6) dapat beradaptasi dengan baik terhadap perkembangan IPTEK.
Selain beberapa manfaat di atas, manfaat lain bagi individu (pribadi) dan kelompok adalah :
(1) meningkatkan kepuasan kerja; (2) pergaulan lebih akrab; (3) disiplin meningkat; (4)
pengawasan fungsional bisa lebih ringan; (5) muncul keinginan untuk selalu ingin berbuat
proaktif; (6) belajar dan berprestasi terus serta; dan (7) selalu ingin memberikan yang terbaik
bagi sekolah, keluarga, orang lain dan diri sendiri.
Upaya pengembangan budaya sekolah seyogyanya mengacu kepada beberapa prinsip berikut
ini.
1.
+, -'
. Pengembangan budaya sekolah
harus senantiasa sejalan dengan visi, misi dan tujuan sekolah. Fungsi visi, misi, dan
tujuan sekolah adalah mengarahkan pengembangan budaya sekolah. Visi tentang
keunggulan mutu misalnya, harus disertai dengan program-program yang nyata
mengenai penciptaan budaya sekolah.
2. )
.
. Komunikasi merupakan dasar bagi
koordinasi dalam sekolah, termasuk dalam menyampaikan pesan-pesan pentingnya
budaya sekolah. Komunikasi informal sama pentingnya dengan komunikasi formal.
Dengan demikian kedua jalur komunikasi tersebut perlu digunakan dalam
menyampaikan pesan secara efektif dan efisien.
3.
. Salah satu dimensi budaya organisasi
adalah inovasi dan kesediaan mengambil resiko. Setiap perubahan budaya sekolah
menyebabkan adanya resiko yang harus diterima khususnya bagi para pembaharu.
Ketakutan akan resiko menyebabkan kurang beraninya seorang pemimpin mengambil
sikap dan keputusan dalam waktu cepat.
4.
/. Pengembangan budaya sekolah perlu ditopang oleh
strategi dan program. Startegi mencakup cara-cara yang ditempuh sedangkan program
menyangkut kegiatan operasional yang perlu dilakukan. Strategi dan program
merupakan dua hal yang selalu berkaitan.
5.
)'. Pengembangan budaya sekolah perlu diarahkan pada sasaran
yang sedapat mungkin dapat diukur. Sasaran yang dapat diukur akan mempermudah
pengukuran capaian kinerja dari suatu sekolah.
6. 0 /. Untuk mengetahui kinerja pengembangan budaya
sekolah perlu dilakukan evaluasi secara rutin dan bertahap: jangka pendek, sedang,
dan jangka panjang. Karena itu perlu dikembangkan sistem evaluasi terutama dalam
hal: kapan evaluasi dilakukan, siapa yang melakukan dan mekanisme tindak lanjut
yang harus dilakukan.
7.
)
). Komitmen dari pimpinan dan warga sekolah sangat
menentukan implementasi program-program pengembangan budaya sekolah. Banyak
bukti menunjukkan bahwa komitmen yang lemah terutama dari pimpinan
menyebabkan program-program tidak terlaksana dengan baik.
8. )
)
. Ciri budaya organisasi yang positif adalah
pengembilan keputusan partisipatif yang berujung pada pengambilan keputusan
secara konsensus. Meskipun hal itu tergantung pada situasi keputusan, namun pada
umumnya konsensus dapat meningkatkan komitmen anggota organisasi dalam
melaksanakan keputusan tersebut.
9. /. Pengembangan budaya sekolah hendaknya disertai
dengan sistem imbalan meskipun tidak selalu dalam bentuk barang atau uang. Bentuk
lainnya adalah penghargaan atau kredit poin terutama bagi siswa yang menunjukkan
perilaku positif yang sejalan dengan pengembangan budaya sekolah.
10.0 ". Evaluasi diri merupakan salah satu alat untuk mengetahui masalah-
masalah yang dihadapi di sekolah. Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan
pendekatan curah pendapat atau menggunakan skala penilaian diri. Kepala sekolah
dapat mengembangkan metode penilaian diri yang berguna bagi pengembangan
budaya sekolah. Halaman berikut ini dikemukakan satu contoh untuk mengukur
budaya sekolah.
Selain mengacu kepada sejumlah prinsip di atas, upaya pengembangan budaya sekolah juga
seyogyanya berpegang pada asas-asas berikut ini:
=================
==========
Refleksi:
Tulisan di atas mengisyaratkan kepada kita bahwa upaya mengembangkan budaya sekolah
merupakan hal amat penting dalam upaya meningkatkan kinerja sekolah, baik secara personal
maupun organisasional.
#
4
Posted on 12 Mei 2008 by AKHMAD SUDRAJAT
memiliki bentuk-bentuk budaya tertentu dan salah
satunya adalah bentuk budaya guru yang menggambarkan tentang karakeristik pola-pola
hubungan guru di sekolah. Hargreaves (1992) telah mengidentifikasi lima bentuk budaya
guru, yaitu : àuu
|u
1. àuu
¢ Budaya dalam bentuk ini ditandai dengan adanya sebagian besar guru
bekerja secara sendiri-sendiri (soliter), mereka menjadi tersisolasi dalam ruang
kelasnya, dan hanya sedikit kolaborasi, sehingga kesempatan pengembangan profesi
melalui diskusi atau dengan yang lain menjadi sangat terbatas.
2.
¢ Bentuk budaya yang kedua ini ditandai dengan adanya sub-sub
kelompok secara terpisah yang cenderung saling bersaing dan lebih mementingkan
kelompoknya daripada mementingkan sekolah secara keseluruhan. Misalnya,
hadirnya kelompok guru senior dan guru junior atau kelompok-kelompok guru
berdasarkan mata pelajaran. Pada budaya ini, komunikasi jarang terjadi dan kurang
adanya kesinambungan dalam memantau perkembangan perilaku siswa, bahkan
cenderung mengabaikannya.
3. |u
¢ Bentuk budaya yang ketiga ini sudah terjadi kolaborasi yang
ditentukan oleh manajemen, misalnya menentukan prosedur perencanaan bersama,
konsultasi dan pengambilan keputusan, serta pandangan tentang hasil-hasil yang
diharapkan. Bentuk budaya ini sangat bermanfaat untuk masa-masa awal dalam
membangun hubungan kolaboratif para guru. Kendati demikian, pada buaya ini belum
bisa menjamin ketercapaian hasil, karena untuk membangun budaya kolaboratif
memang tidak bisa melalui paksaan.
4.
| ¢ Pada budaya inilah guru dapat memilih secara bebas dan saling
mendukung dengan didasari saling percaya dan keterbukaan. Dalam budaya
kolaboratif terdapat saling keterpaduan ( ) antara kehidupan pribadi dengan
tugas-tugas profesional, saling menghargai, dan adanya toleransi atas perbedaan.
5. ¢ Pada model ini sekolah sudah menunjukkan karakteristik seperti apa
yang disampaikan oleh Senge (1990) tentang ³ ´. Para guru
sangat fleksibel dan adaptif, semua guru mengambil peran, bekerja secara kolaboratif
dan reflektif, serta memiliki komitmen untuk melakukan perbaikan secara
berkesinambungan.
%
$
5
$
2
7. Posted on 29 Maret 2008 by AKHMAD SUDRAJAT
)
"'"
Posted on 14 Februari 2010 by AKHMAD SUDRAJAT
$$ "
'"
6
Manajemen peserta didik dapat diartikan sebagai usaha pengaturan terhadap peserta didik
mulai dari peserta didik tersebut masuk sekolah sampai dengan mereka lulus sekolah.
Knezevich (1961) mengartikan manajemen peserta didik atau
sebagai suatu layanan yang memusatkan perhatian pada pengaturan, pengawasan dan layanan
siswa di kelas dan di luar kelas seperti: pengenalan, pendaftaran, layanan individual seperti
pengembangan keseluruhan kemampuan, minat, kebutuhan sampai ia matang di sekolah.
Layanan yang lebih diaksentuasikan kepada kesamaan anak yang bersifat massal ini,
kemudian digugat. Gugatan demikian, berkaitan erat dengan mengenai
anak. Bahwa setiap individu pada hakekatnya adalah berbeda. Oleh karena berbeda, maka
mereka membutuhkan layanan-layanan pendidikan yang berbeda.
Layanan atas kesamaan yang dilakukan oleh sistem tersebut dipertanyakan, dan
sebagai responsinya kemudian diselipkan layanan-layanan yang berbeda pada sistem
tersebut.
Adanya dua tuntutan pelayanan terhadap siswa,± yakni aksentuasi pada layanan kesamaan
dan perbedaan anak±, melahirkan pemikiran pentingnya manajemen peserta didik untuk
mengatur bagaimana agar tuntutan dua macam layanan tersebut dapat dipenuhi di sekolah.
Baik layanan yang teraksentuasi pada kesamaan maupun pada perbedaan peserta didik, sama-
sama diarahkan agar peserta didik berkembang seoptimal mungkin sesuai dengan
kemampuannya.
Tujuan umum manajemen peserta didik adalah: mengatur kegiatan-kegiatan peserta didik
agar kegiatan-kegiatan tersebut menunjang proses belajar mengajar di sekolah; lebih lanjut,
proses belajar mengajar di sekolah dapat berjalan lancar, tertib dan teratur sehingga dapat
memberikan kontribusi bagi pencapaian tujuan sekolah dan tujuan pendidikan secara
keseluruhan.
Fungsi manajemen peserta didik secara umum adalah: sebagai wahana bagi peserta didik
untuk mengembangkan diri seoptimal mungkin, baik yang berkenaan dengan segi-segi
individualitasnya, segi sosialnya, segi aspirasinya, segi kebutuhannya dan segi-segi potensi
peserta didik lainnya.
1. Fungsi yang berkenaan dengan pengembangan individualitas peserta didik, ialah agar
mereka dapat mengembangkan potensi-potensi individualitasnya tanpa banyak
terhambat. Potensi-potensi bawaan tersebut meliputi: kemampuan umum
(kecerdasan), kemampuan khusus (bakat), dan kemampuan lainnya.
2. Fungsi yang berkenaan dengan pengembangan fungsi sosial peserta didik ialah agar
peserta didik dapat mengadakan sosialisasi dengan sebayanya, dengan orang tua dan
keluarganya, dengan lingkungan sosial sekolahnya dan lingkungan sosial
masyarakatnya. Fungsi ini berkaitan dengan hakekat peserta didik sebagai makhluk
sosial.
3. Fungsi yang berkenaan dengan penyaluran aspirasi dan harapan peserta didik, ialah
agar peserta didik tersalur hobi, kesenangan dan minatnya. Hobi, kesenangan dan
minat peserta didik demikian patut disalurkan, oleh karena ia juga dapat menunjang
terhadap perkembangan diri peserta didik secara keseluruhan.
4. Fungsi yang berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan dan kesejahteraan peserta didik
ialah agar peserta didik sejahtera dalam hidupnya. Kesejahteraan demikian sangat
penting karena dengan demikian ia akan juga turut memikirkan kesejahteraan
sebayanya.
7'"
Yang dimaksudkan dengan prinsip adalah sesuatu yang harus dipedomani dalam
melaksanakan tugas. Jika sesuatu tersebut sudah tidak dipedomani lagi, maka akan tanggal
sebagai suatu prinsip. Prinsip manajemen peserta didik mengandung arti bahwa dalam rangka
memanaj peserta didik, prinsip-prinsip yang disebutkan di bawah ini haruslah selalu dipegang
dan dipedomani. Adapun prinsip-prinsip manajemen peserta didik tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Manajemen peserta didik dipandang sebagai bagian dari keseluruhan manajemen
sekolah. Oleh karena itu, ia harus mempunyai tujuan yang sama dan atau mendukung
terhadap tujuan manajemen secara keseluruhan. Ambisi sektoral manajemen peserta
didikB tetap ditempatkan dalam kerangka manajemen sekolah. Ia tidak boleh
ditempatkan di luar sistem manajemen sekolah.
2. Segala bentuk kegiatan manajemen peserta didik haruslah mengemban misi
pendidikan dan dalam rangka mendidik para peserta didik. Segala bentuk kegiatan,
baik itu ringan, berat, disukai atau tidak disukai oleh peserta didik, haruslah diarahkan
untuk mendidik peserta didik dan bukan untuk yang lainnya.
3. Kegiatan-kegiatan manajemen peserta didik haruslah diupayakan untuk
mempersatukan peserta didik yang mempunyai aneka ragam latar belakang dan punya
banyak perbedaan. Perbedaan-perbedaan yang ada pada peserta didik, tidak diarahkan
bagi munculnya konflik di antara mereka melainkan justru mempersatukan dan saling
memahami dan menghargai.
4. Kegiatan manajemen peserta didik haruslah dipandang sebagai upaya pengaturan
terhadap pembimbingan peserta didik. Oleh karena membimbing, haruslah terdapat
ketersediaan dari pihak yang dibimbing. Ialah peserta didik sendiri. Tidak mungkin
pembimbingan demikian akan terlaksana dengan baik manakala terdapat keengganan
dari peserta didik sendiri.
5. Kegiatan manajemen peserta didik haruslah mendorong dan memacu kemandirian
peserta didik. Prinsip kemandirian demikian akan bermanfaat bagi peserta didik tidak
hanya ketika di sekolah, melainkan juga ketika sudah terjun ke masyarakat. Ini
mengandung arti bahwa ketergantungan peserta didik haruslah sedikit demi sedikit
dihilangkan melalui kegiatan-kegiatan manajemen peserta didik.
6. Apa yang diberikan kepada peserta didik dan yang selalu diupayakan oleh kegiatan
manajemen peserta didik haruslah fungsional bagi kehidupan peserta didik baik di
sekolah lebih-lebih di masa depan.
"
'"
Ada dua pendekatan yang digunakan dalam manajemen peserta didik (Yeager, 1994).
Pertama, pendekatan kuantitatif ( # ). Pendekatan ini lebih menitik
beratkan pada segi-segi administratif dan birokratik lembaga pendidikan. Dalam pendekatan
demikian, peserta didik diharapkan banyak memenuhi tuntutan-tuntutan dan harapan-harapan
lembaga pendidikan di tempat peserta didik tersebut berada. Asumsi pendekatan ini adalah,
bahwa peserta didik akan dapat matang dan mencapai keinginannya, manakala dapat
memenuhi aturan-aturan, tugas-tugas, dan harapan-harapan yang diminta oleh lembaga
pendidikannya.
Wujud pendekatan ini dalam manajemen peserta didik secara operasional adalah:
mengharuskan kehadiran secara mutlak bagi peserta didik di sekolah, memperketat presensi,
penuntutan disiplin yang tinggi, menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan kepadanya.
Pendekatan demikian, memang teraksentuasi pada upaya agar peserta didik menjadi mampu.
Kedua, pendekatan kualitatif ( # ). Pendekatan ini lebih memberikan
perhatian kepada kesejahteraan peserta didik. Jika pendekatan kuantitatif di atas diarahkan
agar peserta didik mampu, maka pendekatan kualitatif ini lebih diarahkan agar peserta didik
senang. Asumsi dari pendekatan ini adalah, jika peserta didik senang dan sejahtera, maka
mereka dapat belajar dengan baik serta senang juga untuk mengembangkan diri mereka
sendiri di lembaga pendidikan seperti sekolah. Pendekatan ini juga menekankan perlunya
penyediaan iklim yang kondusif dan menyenangkan bagi pengembangan diri secara optimal.
Di antara kedua pendekatan tersebut, tentu dapat diambil jalan tengahnya, atau sebutlah
dengan pendekatan padu. Dalam pendekatan padu demikian, peserta didik diminta untuk
memenuhi tuntutan-tuntutan birokratik dan administratif sekolah di satu pihak, tetapi di sisi
lain sekolah juga menawarkan insentif-insentif lain yang dapat memenuhi kebutuhan dan
kesejahteraannya. Di satu pihak siswa diminta untuk menyelesaikan tugas-tugas berat yang
berasal dari lembaganya, tetapi di sisi lain juga disediakan iklim yang kondusif untuk
menyelesaikan tugasnya. Atau, jika dikemukakan dengan kalimat terbalik, penyediaan
kesejahteraan, iklim yang kondusif, pemberian layanan-layanan yang andal adalah dalam
rangka mendisiplinkan peserta didik, penyelesaian tugas-tugas peserta didik.
=====================
Diambil dan adaptasi dari $ % ¢ Direktorat Tenaga
Kependidikan. Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan.
Departemen Pendidikan Nasional. 2007)
'
!
Posted on 26 Maret 2008 by AKHMAD SUDRAJAT
Bentuk sikap antisipatif dan adaptif ini dapat dilakukan melalui upaya untuk melaksanakan
perbaikan secara terus-menerus dalam proses manajemen. Jika kita mengacu pada konsep
Total Quality Manajemen, maka upaya perbaikan secara terus menerus dalam proses
manajemen di sekolah menjadi kebutuhan organisasi yang sangat mendasar. Dalam hal ini,
Gostch dan Davis (Sudarwan Danim 2002:102) mengemukakan bahwa salah satu kaidah
dalam mengaplikasikan TQM adalah adanya perbaikan kinerja sistem secara berkelanjutan.
Untuk itu, kegiatan evaluasi dan riset menjadi amat penting adanya. Dengan melalui kegiatan
evaluasi dan riset ini akan diperoleh data yang akurat untuk dijadikan sebagai bahan
pertimbangan dalam pengambilan keputusan yang berkenaan dengan usaha inovatif
organisasi dan penyesuaiaian-penyesuaian terhadap berbagai perubahan.
Berbicara tentang sikap antisipatif ini, kita akan diingatkan pula dengan konsep budaya
organisasi yang adaptif yang dikemukakan oleh Ralph Klinmann bahwa budaya adaptif
merupakan sebuah budaya dengan pendekatan yang bersifat siap menanggung resiko,
percaya, dan proaktif terhadap kehidupan individu. Para anggota secara aktif mendukung
usaha satu sama lain untuk mengidentifikasi semua masalah dan mengimplementasikan
pemecahan yang dapat berfungsi. Ada suatu rasa percaya (confidence) yang dimiliki
bersama. Para anggotanya percaya, tanpa rasa bimbang bahwa mereka dapat menata olah
secara efektif masalah baru dan peluang apa saja yang akan mereka temui. Kegairahan yang
menyebar luas, satu semangat untuk melakukan apa saja yang dia hadapi untuk mencapai
keberhasilan organisasi. Para anggota ini reseptif terhadap perubahan dan inovasi. Rosabeth
Kanter mengemukakan bahwa jenis budaya ini menghargai dan mendorong kewiraswastaan,
yang dapat membantu sebuah organisasi beradaptasi dengan lingkungan yang berubah,
dengan memungkinkannya mengidentifikasi dan mengeksploitasi peluang-peluang baru.
(John P. Kotter dan James L. Heskett: 17- 49). Dengan demikian, sikap antisipatif dan adaptif
terhadap perubahan seyogyanya menjadi bagian dari budaya organisasi di sekolah, yang
ditunjukkan dengan upaya melakukan berbagai perbaikan dalam proses manajemen.
Berkenaan dengan perbaikan pada proses manajemen. Ross (Sudarwan Danim, 2002:121)
mengetengahkan tentang perubahan kultural dari kultur tradisional ke budaya mutu, yang
mencakup 4 fokus, sebagaimana tampak dalam tabel berikut ini:
- '
- )2")-
Posted on 30 Oktober 2010 by AKHMAD SUDRAJAT
O l i
tt t iit t t
ji it l
ii i i jj ji t
ii it:it t ititt
Waktu untuk beban penugasan terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur berlaku
ketentuan sebagai berikut:
1. Waktu untuk penugasan terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur bagi peserta
didik pada SD atau yang serajat
8 dari jumlah waktu kegiatan tatap
muka dari mata pelajaran yang bersangkutan.
2. Waktu untuk penugasan terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur bagi peserta
didik pada SMP atau yang serajat
# 8 dari jumlah waktu kegiatan tatap
muka dari mata pelajaran yang bersangkutan.
3. Waktu untuk penugasan terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur bagi peserta
didik pada SMA atau yang serajat
% 8 dari jumlah waktu kegiatan tatap
muka dari mata pelajaran yang bersangkutan.
Berbicara tentang pemberian tugas kepada siswa, kita akan diingatkan pada salah satu metode
dalam pembelajaran yang dikenal dengan sebutan
- atau
. Mulyani Sumantri dkk (Yenrika Kurniati Rahayu, 2007) mengemukakan bahwa
³Metode pemberian tugas atau penugasan diartikan sebagai suatu cara interaksi belajar
mengajar yang ditandai dengan adanya tugas dari guru untuk dikerjakan peserta didik di
sekolah ataupun di rumah secara perorangan atau berkelompok.
c.
9
Dari paparan di atas kita melihat bahwa pemberian tugas kepada siswa perlu disediakan
waktu yang cukup. Untuk itu pemberian tugas hendaknya proporsional. Artinya, guru
seyogyanya
alias terlalu membebani siswa. Perlu
diingat bahwa dalam KTSP, ketentuan tugas yang dibebankan kepada siswa
' 2
'
Di atas juga dikemukakan bahwa dalam memberikan tugas kepada siswa seyogyanya
disesuaikan dengan kemampuan siswa Oleh karena itu tantangan beban tugas kepada siswa
hendaknya diberikan secara moderat. Artinya, dalam memberikan tugas kepada siswa
diusahakan tidak terlalu sulit atau justru terlalu mudah untuk dikerjakan siswa.
Pemberian tugas yang terlalu mudah akan menyebabkan siswa menjadi kurang termotivasi
dan cenderung menyepelekan. Sedangkan jika terlalu sulit dapat menimbulkan rasa frustasi,
bahkan mungkin hanya akan menimbulkan kebencian terhadap mata pelajaran maupun
terhadap guru yang bersangkutan.
Hal ini tentu saja menjadi berseberangan dengan prinsip pembelajaran menyenangkan (
) yang saat ini sedang digelorakan dalam pendidikan kita
)
Posted on 31 Juli 2010 by AKHMAD SUDRAJAT
Penyelenggaraan Sistem Kredit Semester (SKS) pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah di Indonesia saat ini merupakan suatu upaya inovatif untuk meningkatkan mutu
pendidikan. Pada hakikatnya, SKS merupakan perwujudan dari amanat Pasal 12 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal tersebut
mengamanatkan bahwa ³Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak, antara
lain: (b) mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya;
dan (f) menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing
dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan. Amanat dari pasal
tersebut selanjutnya dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi.
i it i t i l tt il t
i
l ii t i t l j tii t °
it:it t° itittMi it l
t i° litl i t i i ii t i
tit tl t tt l :"B l j i t
tt ii l l j it t jj ii
it t l t ii ti iitl
ii t ii i ji iti l
l j
l j itt t ti l i tt il
l t ii
B it t° l j i i t
li $ i ti %lil i ° t°
i t t ii &l it° i i
i
j
ti t ii Ml li ° t ii j ii t
l i
ii li t i i
l j itt
l ti t ii l t i i ti i it
l
ii t ii t ii
l j t l j iititi t t ii B l j
ti t l j it it t i t l t it t
B l j tliti tj l j t t ° tj
ttt° tj i t iiti ttt
B t i
l ii B i i t l
t it
'
( tt t i
l ii tl
"Pu P
uuk ko
: -2 1:-3
$:
$1$:$3;
)
)
Posted on 8 Oktober 2010 by AKHMAD SUDRAJAT
Keberhasilan program layanan bimbingan dan konseling di sekolah tidak hanya ditentukan
oleh keahlian dan ketrampilan para petugas bimbingan dan konseling itu sendiri, namun juga
sangat ditentukan oleh komitmen dan keterampilan seluruh staf sekolah, terutama dari kepala
sekolah sebagai administrator dan supervisor.
Secara lebih terperinci, Dinmeyer dan Caldwell (dalam Kusmintardjo, 1992) menguraikan
peranan dan tanggung jawab kepala sekolah dalam pelaksanaan bimbingan dan konseling di
sekolah, sebagai berikut:
Sementara itu, Allen dan Christensen (dalam Kusmintardjo, 1992), mengemukakan peranan
dan tanggung jawab kepala sekolah dalam pelaksanaan bimbingan dan konseling di sekolah
sebagai berikut:
Dari uraian di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa tugas kepala sekolah dalam
pengembangan program bimbingan dan konseling di sekolah ádalah sebagai berikut:
1. . Memilih staf yang mempunyai kepribadian dan pendidikan yang
cocok untuk melaksanakan tugasnya. Termasuk disini mengadakan analisa untuk
mengetahui apakah diantara staf yang ada terdapat orang yang sanggup melakukan
tugas yang lebih spesialis.
2. O . Menentukan tugas dan peranan dari anggota staf, dan
membagi tanggung jawab. Untuk menentukan tugas-tugas ini kepala sekolah dapat
meminta bantuan kepada anggota staf yang lain.
3. ë .
,2
4. . Menginterpretasikan program bimbingan dan konseling
kepada murid-murid yang diberi pelayanan, kepada masyarakat yang membantu
program bimbingan dan konseling. Dalam menginterpretasikan program bimbingan
dan konseling mungkin perlu bantuan dari staf bimbingan dan konseling, tetapi
tanggung jawab terletak pada kepala sekolah sebagai administrator. (R.N. Hatch dan
B. Stefflre, dalam Kusmintardjo, 1992)
========
<
Adaptasi dari : Direktorat Tenaga Kependidikan Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan
Tenaga Kependidikan. 2007. $
% ¢
, ,
,-
,
'
Posted on 12 September 2008 by AKHMAD SUDRAJAT
oleh: $
'
' dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita
terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses
yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan
melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu. Dilihat dari pendekatannya,
pembelajaran terdapat dua jenis pendekatan, yaitu: (1) pendekatan pembelajaran yang
berorientasi atau berpusat pada siswa ( ) dan (2) pendekatan
pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru ( ).
Dari pendekatan pembelajaran yang telah ditetapkan selanjutnya diturunkan ke dalam strategi
pembelajaran. Newman dan Logan (Abin Syamsuddin Makmun, 2003) mengemukakan
empat unsur strategi dari setiap usaha, yaitu:
1. Mengidentifikasi dan menetapkan spesifikasi dan kualifikasi hasil (out put) dan
sasaran (target) yang harus dicapai, dengan mempertimbangkan aspirasi dan selera
masyarakat yang memerlukannya.
2. Mempertimbangkan dan memilih jalan pendekatan utama (basic way) yang paling
efektif untuk mencapai sasaran.
3. Mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah (steps) yang akan dtempuh
sejak titik awal sampai dengan sasaran.
4. Mempertimbangkan dan menetapkan tolok ukur (criteria) dan patokan ukuran
(standard) untuk mengukur dan menilai taraf keberhasilan (achievement) usaha.
Jika kita terapkan dalam konteks pembelajaran, keempat unsur tersebut adalah:
1. Menetapkan spesifikasi dan kualifikasi tujuan pembelajaran yakni perubahan profil
perilaku dan pribadi peserta didik.
2. Mempertimbangkan dan memilih sistem pendekatan pembelajaran yang dipandang
paling efektif.
3. Mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah atau prosedur, metode dan
teknik pembelajaran.
4. Menetapkan norma-norma dan batas minimum ukuran keberhasilan atau kriteria dan
ukuran baku keberhasilan.
Sementara
' merupakan gaya seseorang dalam melaksanakan metode
atau teknik pembelajaran tertentu yang sifatnya individual. Misalkan, terdapat dua orang
sama-sama menggunakan metode ceramah, tetapi mungkin akan sangat berbeda dalam taktik
yang digunakannya. Dalam penyajiannya, yang satu cenderung banyak diselingi dengan
humor karena memang dia memiliki sense of humor yang tinggi, sementara yang satunya lagi
kurang memiliki sense of humor, tetapi lebih banyak menggunakan alat bantu elektronik
karena dia memang sangat menguasai bidang itu. Dalam gaya pembelajaran akan tampak
keunikan atau kekhasan dari masing-masing guru, sesuai dengan kemampuan, pengalaman
dan tipe kepribadian dari guru yang bersangkutan. Dalam taktik ini, pembelajaran akan
menjadi sebuah ilmu sekalkigus juga seni (kiat)
Apabila antara pendekatan, strategi, metode, teknik dan bahkan taktik pembelajaran sudah
terangkai menjadi satu kesatuan yang utuh maka terbentuklah apa yang disebut dengan
'. Jadi, model pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk
pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru.
Dengan kata lain, model pembelajaran merupakan bungkus atau bingkai dari penerapan suatu
pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran.
Berkenaan dengan model pembelajaran, Bruce Joyce dan Marsha Weil (Dedi Supriawan dan
A. Benyamin Surasega, 1990) mengetengahkan 4 (empat) kelompok model pembelajaran,
yaitu: (1) model interaksi sosial; (2) model pengolahan informasi; (3) model personal-
humanistik; dan (4) model modifikasi tingkah laku. Kendati demikian, seringkali penggunaan
istilah model pembelajaran tersebut diidentikkan dengan strategi pembelajaran.
Untuk lebih jelasnya, posisi hierarkis dari masing-masing istilah tersebut, kiranya dapat
divisualisasikan sebagai berikut:
Di luar istilah-istilah tersebut, dalam proses pembelajaran dikenal juga istilah
'. Jika strategi pembelajaran lebih berkenaan dengan pola umum dan prosedur
umum aktivitas pembelajaran, sedangkan desain pembelajaran lebih menunjuk kepada cara-
cara merencanakan suatu sistem lingkungan belajar tertentu setelah ditetapkan strategi
pembelajaran tertentu. Jika dianalogikan dengan pembuatan rumah, strategi membicarakan
tentang berbagai kemungkinan tipe atau jenis rumah yang hendak dibangun (rumah joglo,
rumah gadang, rumah modern, dan sebagainya), masing-masing akan menampilkan kesan
dan pesan yang berbeda dan unik. Sedangkan desain adalah menetapkan cetak biru (blue
print) rumah yang akan dibangun beserta bahan-bahan yang diperlukan dan urutan-urutan
langkah konstruksinya, maupun kriteria penyelesaiannya, mulai dari tahap awal sampai
dengan tahap akhir, setelah ditetapkan tipe rumah yang akan dibangun.
Berdasarkan uraian di atas, bahwa untuk dapat melaksanakan tugasnya secara profesional,
seorang guru dituntut dapat memahami dan memliki keterampilan yang memadai dalam
mengembangkan berbagai model pembelajaran yang efektif, kreatif dan menyenangkan,
sebagaimana diisyaratkan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
<
Abin Syamsuddin Makmun. 2003. . Bandung: Rosda Karya Remaja.
Dedi Supriawan dan A. Benyamin Surasega, 1990. $ (Diktat
Kuliah). Bandung: FPTK-IKIP Bandung.
Wina Senjaya. 2008. ( .
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
<
R Pembelajaran Kontekstual
R 10 Megatrend tentang Belajar
R 9 Prinsip Pendidikan Orang Dewasa
')
Posted on 29 Januari 2008 by AKHMAD SUDRAJAT
Oleh : Depdiknas
$9
Ada kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan
belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak
mengalami apa yang dipelajarinya, bukan mengetahuinya. Pembelajaran yang berorientasi
pada penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi mengingat jangka pendek tetapi
gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang
Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya.
Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas
guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu
yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru datang dari menemukan sendiri
bukan dari apa kata guru. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan
kontekstual
'
c '
-'
R Siswa belajar dari mengalami sendiri, bukan dari pemberian orang lain.
R Keterampilan dan pengetahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas (sedikit demi
sedikit)
R Penting bagi siswa tahu untuk apa dia belajar dan bagaimana ia menggunakan
pengetahuan dan keterampilan itu
]2 '
R Manusia mempunyai kecenderungan untuk belajar dalam bidang tertentu, dan seorang
anak mempunyai kecenderungan untuk belajar dengan cepat hal-hal baru.
R Strategi belajar itu penting. Anak dengan mudah mempelajari sesuatu yang baru.
Akan tetapi, untuk hal-hal yang sulit, strategi belajar amat penting.
R Peran orang dewasa (guru) membantu menghubungkan antara yang baru dan yang
sudah diketahui.
R Tugas guru memfasilitasi agar informasi baru bermakna, memberi kesempatan kepada
siswa untuk menemukan dan menerapkan ide mereka sendiri, dan menyadarkan siswa
untuk menerapkan strategi mereka sendiri.
9
'
R Belajar efektif itu dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa. Dari
guru akting di depan kelas, siswa menonton ke siswa akting bekerja dan berkarya,
guru mengarahkan.
R Pengajaran harus berpusat pada bagaimana cara siswa menggunakan pengetahuan
baru mereka. Strategi belajar lebih dipentingkan dibandingkan hasilnya.
R Umpan balik amat penting bagi siswa, yang berasal dari proses penilaian yang benar.
R Menumbuhkan komunitas belajar dalam bentuk kerja kelompok itu penting.
')
Pembelajaran kontekstual (! ë ) adalah konsep belajar yang
membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata
siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen
utama pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme (! ), bertanya (* ),
menemukan ( # ), masyarakat belajar (
! ), pemodelan ($ ),
dan penilaian sebenarnya (+ +)
" ')
1. Merupakan suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan memotivasi siswa
untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengaitkan
materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial,
dan kultural) sehingga siswa memiliki pengetahuan/ keterampilan yang secara
fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari satu permasalahan /konteks ke
permasalahan/ konteks lainnya.
2. Merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang
diajarkannya dengan situasi dunia nyata dan mendorong pembelajar membuat
hubungan antara materi yang diajarkannya dengan penerapannya dalam kehidupan
mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat
0
)
-
)
-
Pembelajaran Kontekstual dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja,
dan kelas yang bagaimanapun keadaannya. Pendekatan Pembelajaran Kontekstual dalam
kelas cukup mudah. Secara garis besar, langkahnya sebagai berikut ini.
Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja
sendiri, dan mengonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya
4-')
')
c)
>
R Proses penampilan suatu contoh agar orang lain berpikir, bekerja dan belajar.
R Mengerjakan apa yang guru inginkan agar siswa mengerjakannya
%
1
3
R Cara berpikir tentang apa yang telah kita pelajari.
R Mencatat apa yang telah dipelajari.
R Membuat jurnal, karya seni, diskusi kelompok
)
')
R Kerja sama
R Saling menunjang
R Menyenangkan, tidak membosankan
R Belajar dengan bergairah
R Pembelajaran terintegrasi
R Menggunakan berbagai sumber
R Siswa aktif
R dengan teman
R Siswa kritis guru kreatif
R Dinding dan lorong-lorong penuh dengan hasil kerja siswa, peta-peta, gambar, artikel,
humor dan lain-lain
R Laporan kepada orang tua bukan hanya rapor tetapi hasil karya siswa, laporan hasil
praktikum, karangan siswa dan lain-lain
')
Dalam konteks itu, program yang dirancang guru benar-benar rencana pribadi tentang apa
yang akan dikerjakannya bersama siswanya.
Secara umum tidak ada perbedaan mendasar format antara program pembelajaran
konvensional dengan program pembelajaran kontekstual. Sekali lagi, yang membedakannya
hanya pada penekanannya. Program pembelajaran konvensional lebih menekankan pada
deskripsi tujuan yang akan dicapai (jelas dan operasional), sedangkan program untuk
pembelajaran kontekstual lebih menekankan pada skenario pembelajarannya.
Atas dasar itu, saran pokok dalam penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP)
berbasis kontekstual adalah sebagai berikut.
1. Nyatakan kegiatan pertama pembelajarannya, yaitu sebuah pernyataan kegiatan siswa
yang merupakan gabungan antara Standar Kompetensi, Kompetensi dasar, Materi
Pokok dan Pencapaian Hasil Belajar.
2. Nyatakan tujuan umum pembelajarannya.
3. Rincilah media untuk mendukung kegiatan itu
4. Buatlah skenario tahap demi tahap kegiatan siswa
5. Nyatakan authentic assessmentnya, yaitu dengan data apa siswa dapat diamati
partisipasinya dalam pembelajaran.
Sementara itu, terkait dengan proses pembelajaran, bahwa dalam pembelajaran harus
dapat: (1) meningkatkan pemahaman dan memperbaiki proses belajar; (2) mendorong
prakarsa belajar siswa; (3) mempreskripsikan strategi yang optimal; (4) kondisi
membelajarkan siswa secara simultan; (5) memudahkan proses internal yang belajar;
dan (6) menjadikan belajar lebih efektif, efisien, dan menarik. Pada kesempatan
pelatihan ini Endang Abutarya menjelaskan pula tentang tiga teori belajar utama: (1)
behaviorisme; (2) kognitivisme, dan (3) konstruktivisme.
)
'
)
Posted on 14 Desember 2008 by AKHMAD SUDRAJAT
Meski demikian, suka atau tidak suka kita harus mengucapkan ³Selamat Tinggal´ kepada
Behaviorisme yang telah terbukti saat ini tidak lagi bisa diandalkan untuk menghadapi
tantangan jaman yang serba kompleks´. Kini waktunya untuk menyambut dan mengucapkan
³Selamat Datang´ kepada Konstruktivisme yang tampaknya dapat memberikan harapan baru
bagi peningkatan mutu pendidikan nasional. Menurut pemikiran beliau terdapat 5 proposisi
utama dari pandangan kontruktivisme beserta implikasinya terhadap praktik pembelajaran,
yaitu:
Proposisi 3: Strategi belajar yang digunakan menentukan proses dan hasil belajarnya
R Berikan kesempatan untuk menerapkan cara berpikir dan belajar yang paling cocok
dengan dirinya
R Berdayakan melakukan evaluasi diri tentang cara berpikirnya, cara belajar, atau
lainnya
R Motivasilah dengan tugas-tugas riil dalam kehidupan sehari-hari dan kaitkan tugas
dengan pengalaman pribadi
R Dorong untuk memahami kaitan antara usaha dan hasil
Proposisi 5: Belajar pada hakikatnya memiliki aspek sosial. Kerja kelompok sangat berharga
Berikut ini dikemukakan pula hasil analisis beliau tentang kedua aliran filsafat pendidikan
tersebut.
0
$+&-) )&5-!)-+-)
P u P r
|u P
|
Pengetahuan: objektif, pasti, tetap Pengetahuan : non- objektif, temporer, selalu
berubah
Belajar: perolehan pengetahuan Belajar: pemaknaan pengetahuan
Mengajar: memindahkan pengetahuan ke Mengajar: menggali makna
orang yang belajar
Mind berfungsi sebagai alat penjiplak Mind berfungsi sebagai alat
struktur pengetahuan menginterpretasi sehingga muncul makna
yang unik
Si pembelajar diharapkan memiliki Si pembelajar bisa memiliki pemahaman
pemahaman yang sama dengan pengajar yang berbeda terhadap pengetahuan yang
terhadap pengetahuan yang dipelajari dipelajari
Segala sesuatu yang ada di alam telah Segala sesuatu bersifat temporer, berubah,
terstruktur, teratur, rapi. dan tidak menentu.
Pengetahuan juga sudah terstruktur rapi Kitalah yang memberi makna terhadap
realitas
r
|u P
|
Keteraturan Ketidakteraturan
Si pembelajar dihadapkan pada aturan- Si pembelajar dihadapkan kepada
aturan yang jelas yang ditetapkan lebih dulu lingkungan belajar yang bebas
secara ketat
Pembiasaan (disiplin) sangat esensial Kebebasan merupakan unsur yang sangat
esensial
Kegagalan atau ketidak-mampuan dalam Kegagalan atau keberhasilan, kemampuan
menambah pengetahuan dikategorikan atau ketidakmampuan dilihat sebagai
sebagai KESALAHAN, HARUS interpretasi yang berbeda yang perlu
DIHUKUM DIHARGAI
-
')
Posted on 20 Agustus 2008 by AKHMAD SUDRAJAT
K
!
!
!
!
!
!
!
"
! !!
! #
!
$
!
%
&%
#
!
!'(""
#)*++),-
#
!
'.# )*+* )/*
!$ !
!
"
!
#
!
"
!#
"
!
'(""
)*++),,
! ! %% !
"
%%
'#)**01
.
#
!$ !
!
%
" "
! "
#
!
!
!
"!
!! (""
')*++
),, 3') !
&!
#
&
! #'- &!
"
!
ð
'# # # !
',
&
!
! # !
'
"
! '
!
"
°
!
4
!$ ! !
"
ð ! !
! '
# )*** 0- .
')**+ 1
!$
4
!
!
'
# )*** 0,
!
!
')
!
!"
# '-
%
#
%
!
&
',
"
% !
!
5 !"
!
#
"
# !
"
¢
!
!$
!
#
!
$
# !$
$
"
% ! !
"
.
#
$
!
! &! %
!!
!
# ')**- ,6
!
!
!
"
$
% !
!
% !
"
!
7 ')**) )-
!
!
#
%
"#
%
"
"
$#"
!
"
"
!
!
! %
"
%
"
')**6 2 !$ !
!
!
K
#
!# !
! !
&
!
# ! ')**0 ,
! #
')
$
%
# '- !
!
!
$
# ',
$
!
!
# '2
$
!
!
.
!
# ')**0 -6
!! !
% ! # !
!
') !
$ !
# '- !
$!"
!
"
"# ', !
$ %! !# '2 !
!!
$# '/
$
! # '0 %
!
"
.
!!
#
!$ ! %
!
!
"
$
$ "
.
#
$ !
Õ
& "2
Posted on 15 Februari 2009 by AKHMAD SUDRAJAT
R = Recency
A = Appropriateness
M = Motivation
P = Primacy
2 = 2 ± Way Communication
F = Feedback
A = Active Learning
M = Multi ± Sense Learning
E = Excercise
Prinsip-prinsip ini dalam berbagai cara sangat penting, karena memungkinkan Anda (pelatih)
untuk menyiapkan satu sessi secara tepat dan memadai, menyajikan sessi secara efektif dan
efisien, juga memungkinkan anda melakukan evaluasi untuk sessi tersebut. Mari kita coba
lihat ide-ide yang melatarbelakangi istilah RAMP 2 FAME. Penting untuk dicatat bahwa
prinsip-prinsip ini tidak disajikan dalam satu urutan. Kedudukannya sama dalam satu kaitan
antar hubungan.
R ± RECENCY
Hukum dari Recency menunjukkan kepada kita bahwa sesuatu yang dipelajari atau diterima
pada saat terakhir adalah yang paling diingat oleh peserta/ partisipan. Ini menunjukkan dua
pengetian yang terpisah di dalam pendidikan. Pertama, berkaitan dengan isi (materi) pada
akhir sessi dan kedua berkaitan dengan sesuatu yang ³segar´ dalam ingatan peserta. Pada
aplikasi yang pertama, penting bagi pelatih untuk membuat ringkasan (summary) sesering
mungkin dan yakin bahwa pesan-pesan kunci/inti selalu ditekankan lagi di akhir sessi. Pada
aplikasi kedua, mengindikasikan kepada pelatih untuk membuat rencana kaji ulang (review)
per bagian di setiap presentasinya.
R Usahakan agar tiap sessi yang diberikan berjangka waktu yang relatif pendek, tidak
lebih dari 20 menit (jika itu memungkinkan).
R Jika sessi lebih dari 20 menit, harus sering diringkas (direkap). Sessi yang lebih
panjangsebaiknya dibagi-bagi ke dalam sessi-sessi yang lebih pendek dengan
beberapa jeda sehingga anda dapat membuat ringkasan.
R Akhir dari tiap sessi merupakan suatu yang penting. Buatlah ringkasan/rekap dari
keseluruhan sessi dan beri penekanan pada pesan-pesan atau poin-poin kunci.
Upayakan agar peserta/partisipan tetap ³sadar´ kemana arah dan perkembangan dari belajar
mereka
A : APPROPRIATENES (Kesesuaian)
Hukum dari appropriatenes atau kesesuaian mengatakan kepada kita bahwa secara
keseluruhan, baik itu pelatihan, informasi, alat-alat bantu yang dipakai, studi kasus -studi
kasus, dan material-material lainnya harus disesuaikan dengan kebutuhan peserta/partisipan.
Peserta akan mudah kehilangan motivasi jika pelatih gagal dalam mengupayakan agar materi
relevan dengan kebutuhan mereka. Selain itu, pelatih harus secara terus menerus memberi
kesempatan kepada peserta untuk mengetahui bagaimana keterkaitan antara informasi-
informasi baru dengan pengetahuan sebelumnya yang sudah diperolah peserta, sehingga kita
dapat menghilangkan kekhawatiran tentang sesuatu yang masih samar atau tidak diketahui.
R Pelatih harus secara jelas mengidentifikasi satu kebutuhan bagi peserta agar
mengambil bagian dalam pelatihan. Dengan kebutuhan yang teridentifikasi, pelatih
harus yakin bahwa sehala sesuatu yang berhubungan dengan sessi sesuai dengan
kebutuhan tersebut.
R Gunakan deskripsi, contoh-contoh atau ilustrasi-ilustrasi yang akrab (familiar) dengan
peserta.
M: MOTIVATION (motivasi)
Hukum dari motivasi mengatakan kepada kita bahwa pastisipan/peserta harus punya
keinginan untuk belajar, dia harus siap untuk belajar, dan harus punya alasan untuk belajar.
Pelatih menemukan bahwa jika peserta mempunyai motivasi yang kuat untuk belajar atau
rasa keinginan untuk berhasil, dia akan lebih baik dibanding yang lainnya dalam belajar.
Pertama-tama karena motivasi dapat menciptakan lingkungan (atmosphere) belajar menjadi
menye-nangkan. Jika kita gagal menggunakan hukum kesesuaian (appropriateness) tersebut
dan mengabaikan untuk membuat material relevan, kita akan secara pasti akan kehilangan
motivasi peserta.
R Material harus bermakna dan berharga bagi peserta, tidak hanya bagi pelatih
R Yang harus termotivasi bukan hanya peserta tetapi juga pelatih itu sendiri. Sebab jika
pelatih tidak termotivasi, pelatihan mungkin akan tidak menarik dan bahkan tidak
mencapai tujuan yang diinginkan.
R Seperti yang disebutkan dalam hukum kesesuaian (appropriateness), pelatih suatu
ketika perlu mengidentifikasi satu kebutuhan kenapa peserta datang ke pelatihan.
Pelatih biasanya dapat menciptakan motivasi dengan mengatakan bahwa sessi ini
dapat memenuhi kebutuhan peserta.
R Bergeraklah dari sisi tahu ke tidak tahu. Awali sessi dengan hal-hal atau poin-poin
yang sudah akrab atau familiar bagi peserta. Secara perlahan-lahan bangun dan
hubungkan poin-poin bersama sehingga setiap tahu kemana arah mereka di dalam
proses pelatihan.
Hukum dari primacy mengatakan kepada kita bahwa hal-hal yang pertama bagi peserta
biasanya dipelajari dengan baik, demikian pula dengan kesan pertama atau serangkaian
informasi yang diperoleh dari pelatih betul-betul sangat penting. Untuk alasan ini, ada
praktek yang bagus yaitu dengan memasukkan seluruh poin-poin kunci pada permulaan sessi.
Selama sessi berjalan, poin-poin kunci berkembang dan juga informasi-informasi lain yang
berkaitan. Hal yang termasuk dalam hukum primacy adalah fakta bahwa pada saat peserta
ditunjukkan bagaimana cara mengerjakan sesuatu, mereka harus ditunjukkan cara yang benar
di awalnya. Alasan untuk ini adalah bahwa kadang-kadang sangat sulit untuk ³tidak
mengajari´ peserta pada saat mereka membuat kesalahan di permulaan latihan.
R Sekali lagi, upayakan sessi-sessi diberikan dalam jangka waktu yang relatif singkat.
Sebaiknya sekitar 20 menit seperti yang disarankan dalam hukum recency.
R Permulaan sessi anda akan sangat penting. Seperti yang anda ketahui bahwa sebagian
banyak peserta akan mendengarkan, dan oleh karena itu buatlah semenarik mungkin
dan beri muatan informasi-informasi penting ke dalamnya.
R Usahakan agar peserta selalu ³sadar´ arah dan perkembangan dari belajarnya.
R Yakinkan peserta akan memperoleh hal-hal yang tepat pada saat anda pertama kali
meminta mereka melakukan sesuatu
R Bahasa tubuh anda juga berkaitan dengan komunikasi 2 arah: anda harus merasa
yakin bahwa itu tidak bertentangan dengan apa yang anda katakan.
R Rencana sessi anda sebaiknya memiliki interaksi dengan siapa itu dirancang, yaitu tak
lain adalah peserta.
Hukum dari feedback atau umpan balik menunjukkan kepada kita, baik fasilitator dan peserta
membutuhkan informasi satu sama lain. Fasilitator perlu mengetahui bahwa peserta
mengikuti dan tetap menaruh perhatian pada apa yang disampaikan, dan sebaliknya peserta
juga membutuhkan umpan balik sesuai dengan penampilan/kinerja mereka.
Penguatan juga membutuhkan umpan balik. Jika kita menghargai peserta (penguatan yang
positif) untuk melakukan hal-hal yang tepat, kita mempunyai kesempatan yang jauh lebih
besar agar mereka mengubah perilakunya seperti yang kita kehendaki. Waspada juga bahwa
terlalu banyak penguatan negatif mungkin akan menjauhkan kita memperoleh respon yang
kita harapakan.
R Peserta harus diuji (dites) secara berkala untuk umpan balik bagi fasilitator
R Pada saat peserta dites, mereka harus memperoleh umpan balik tentang penampilan
mereka sesegera mungkin.
R Tes bisa juga meliputi pertanyaan-pertanyaan yang diberikan fasilitator secara berkala
mengenai kondisi kelompok
R Semua umpan balik tidak harus berupa yang positif, seperti yang dipercaya banyak
orang. Umpan balik positif hanya setengah dari itu dan hampir tidak bermanfaat tanpa
adanya umpan balik negatif
R Pada saat peserta berbuat atau berkata benar (misal menjawab pertanyaan), sebut atau
umumkan itu (di hadapan kelompok/peserta lain jika itu mungkin).
R Persiapkan penyajian anda sehingga ada penguatan positif yang terbangun di awal
sessi.
R Perhatikan betul-betul peserta yang memberi umpan balik positif (berbuat betul) sama
halnya kepada mereka yang memberi umpan balik negatif (melakukan kesalahan).
Hukum dari active learning menunjukkan kepada kita bahwa peserta belajar lebih giat jika
mereka secara aktif terlibat dalam proses pelatihan. Ingatkah satu peribahasa yang
mengatakan ³Belajar Sambil Bekerja´ ? Ini penting dalam pelatihan orang dewasa. Jika anda
ingin memerintahkan kepada peserta agar menulis laporan, jangan hanya memberitahu
mereka bagaimana itu harus dibuat tetapi berikan kesempatan agar mereka melakukannya.
Keuntungan lain dari ini adalah orang dewasa umumnya tidak terbiasa duduk seharian penuh
di ruangan kelas, oleh karena itu prinsip belajar aktif ini akan membantu mereka supaya tidak
jenuh.
Jika peserta dibiarkan duduk dalam jangka waktu lama tanpa berpartisipasi atau diberi
pertanyaan-pertanyaan, kemungkinan mereka akan mengantuk /kehilangan perhatian.
Hukum dari multi- sense learning mengatakan bahwa belajar akan jauh lebih efektif jika
partisipan menggunakan lebih dari satu dari kelima inderanya. Jika anda memberitahu trainee
mengenai satu tipe baru sandwich mereka mungkin akan mengingatnya. Jika anda
membiarkan mereka menyentuh, mencium dan merasakannya dengan baik, tak ada jalan bagi
mereka untuk melupakannya.
Faktor-faktor untuk pertimbangan mengenai multiple-sense learning:
E. EXERCISE (Latihan)
Hukum dari latihan mengindikasikan bahwa sesuatu yang diulang-ulang adalah yang paling
diingat. Dengan membuat peserta melakukan latihan atau mengulang informasi yang
diberikan, kita dapat meningkatkan kemungkinan mereka semakin mampu mengingat
informasi yang sudah diberikan. Yang terbaik adalah jika pelatih menambah latihan atau
mengulangi pelajaran dengan mengulang informasi dalam berbagai cara yang berbeda.
Mungkin pelatih dapat membicarakan mengenai suatu proses baru, lalu menunjukkan
diagram/overhead, menunjukkan produk yang sudah jadi dan akhirnya minta kepada peserta
untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Latihan juga menyangkut intensitas. Hukum dari
latihan juga mengacu pada pengulangan yang berarti atau belajar ulang.
Kesimpulan
)
)
Posted on 15 September 2010 by AKHMAD SUDRAJAT
Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah ³bawaan, hati, jiwa,
kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak´. Adapun
berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak´. Menurut
Tadkiroatun Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap ( ),
perilaku ( ,, motivasi ( ), dan keterampilan ( ,. Karakter berasal dari
bahasa Yunani yang berarti ³to mark´ atau menandai dan memfokuskan bagaimana
mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang
yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek.
Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter
mulia.
Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai
dengan nilai-nilai seperti
'
&
)
)
'
)
- ,
¢ Individu juga
memiliki untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampu
sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Karakteristik adalah realisasi
perkembangan positif sebagai individu (intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku).
Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-
halterbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta
dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya
dan disertai dengan , -,¢
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah
yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk
melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai
..
Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus
dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses
pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan
sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana,
pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan
karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan
pendidikan harus berkarakter.
Menurut David Elkind & Freddy Sweet Ph.D. (2004), pendidikan karakter dimaknai sebagai
berikut:
¢ ' ''
' ' '
'
'
' ' .¢
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan
guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak
peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara
atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.
Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama
dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi
anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik.
Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang
baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu,
yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat
dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai,
yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri,
dalam rangka membina kepribadian generasi muda.
Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral
universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut sebagai
. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai
karakter dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut
adalah: cinta kepada Allah dan ciptaann-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur,
hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan
pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai,
dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari:
dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan,
ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas. Penyelenggaraan
pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar, yang
selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang
bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan
sekolah itu sendiri.
Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan
pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada
fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat,
seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota
besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena
itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan
dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui
peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.
Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya peningkatan
pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun demikian, ada perbedaan-
perbedaan pendapat di antara mereka tentang pendekatan dan modus pendidikannya.
Berhubungan dengan pendekatan, sebagian pakar menyarankan penggunaan pendekatan-
pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan di negara-negara barat, seperti: pendekatan
perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai.
Sebagian yang lain menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yakni melalui
penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik.
Para pakar telah mengemukakan berbagai teori tentang pendidikan moral. Menurut Hersh, et.
al. (1980), di antara berbagai teori yang berkembang, ada enam teori yang banyak digunakan;
yaitu: pendekatan pengembangan rasional, pendekatan pertimbangan, pendekatan klarifikasi
nilai, pendekatan pengembangan moral kognitif, dan pendekatan perilaku sosial. Berbeda
dengan klasifikasi tersebut, Elias (1989) mengklasifikasikan berbagai teori yang berkembang
menjadi tiga, yakni: pendekatan kognitif, pendekatan afektif, dan pendekatan perilaku.
Klasifikasi didasarkan pada tiga unsur moralitas, yang biasa menjadi tumpuan kajian
psikologi, yakni: perilaku, kognisi, dan afeksi.
=============
<
Kemendiknas. 2010. % $ .
Jakarta
Rate This
Di Indonesia, masalah pendidikan sudah sangat pelik. Dari kurangnya komitmen politik
pemerintah untuk memenuhi anggaran pendidikan minimal 20% dari total anggaran
pendapatan dan belanja negara sesuai amanat Undang-Undang Dasar sampai ditudingnya
Departemen Pendidikan sebagai salah satu sarang utama korupsi. Dari mewah fasilitas
sekolah dan mahalnya biaya pendidikan sampai begitu banyaknya bangunan sekolah yang
hampir roboh dimakan usia atau korupsi. Dari pendidikan yang disisipi indoktrinasi
pemahaman tertentu sampai pendidikan disamakan dengan sekedar transfer Ilmu
Pengetahuan semata. Jadi apakah pendidikan itu? Sistem pendidikan seperti apakah yang
cocok diterapkan di Indonesia ini?
Sayangnya, pola pendidikan yang dapat membantu perkembangan otak kanan kurang
diperhatikan di Indonesia. Oleh karena itu, pengembangan emosi dan kepribadian yang dapat
menuntun seseorang menjadi manusia arif dan bijaksana menjadi terlalaikan. Padahal, untuk
bisa membangun suatu bangsa yang kuat diperlukan orang yang tidak hanya berintelektual
tinggi, tetapi juga peka terhadap kondisi yang terjadi. Selain itu, bangsa Indonesia pun
memerlukan orang yang punya kebijaksanaan tinggi untuk dapat menghadapi segala
persoalan dengan tepat. Keseimbangan antara fungsi otak kiri dan otak kanan sangat
ditentukan oleh pola pendidikan jenis apakah yang diterima seorang murid.
Tapi pola pendidikan ideal seperti ini sangat langka di Indonesia yang cenderung lebih
mengarah pada transfer of knowledge daripada pendidikan dalam arti membimbing seorang
anak didik menjadi manusia yang mengenal dirinya sendiri tapi peka terhadap apa yang
terjadi dengan lingkungan sekitar dirinya.
Bila sekarang Pendidikan Barat memperkenalkan istilah PQ, IQ, EQ, SQ, tapi Budaya
Nusantara mengenal istilah Sembah Raga, Sembah Rasa dan Sembah Cipta dari karya agung
Kitab Wedhatama karya KGPA Mangkunegara IV sejak abad ke-19
Pendidikan yang baik akan menempa seorang siswa agar mampu hidup mandiri tanpa
tergantung orang lain dan sebenarnya, negara Indonesia tidak perlu mengadopsi kurikulum
pendidikan bangsa lain, yang belum tentu cocok diterapkan di Indonesia, tapi cukup
mengembangkan sistem
pendidikan nasional yang mampu membentuk karakter manusia Indonesia seutuhnya. Salah
satunya adalah Pelajaran Budi Pekerti seperti yang pernah diterapkan dalam kurikulum
nasional oleh Bapak Ki Hajar Dewantara, pendiri Perguruan Taman Siswa.
Prinsip dasar dalam pendidikan Taman Siswa yang sudah tidak asing di
telinga kita adalah:
1. Ing Ngarso Sung Tulodo (di depan kita memberi contoh)
2. Ing Madya Mangun Karso (di tengah membangun prakarsa dan bekerja sama)
3. Tut Wuri Handayani (di belakang memberi daya-semangat dan
dorongan).
Inilah pendidikan holistik berbasis budaya Nusantara yang perlu dikembalikan semangat dan
kearifannya bagi pendidikan siswa-siswa, generasi penerus bangsa.