You are on page 1of 18

KONSEP KEPEMIMPINAN

Kepemimpinan boleh didefinisikan sebagai suatu proses yang kompleks di mana dengannya seseorang itu
(pemimpin) mempengaruhi orang-orang lain (pengikut) melaksanakan dan menyempurnakan misi, tugasan,
atau objektif-objektif dan dengan itu membawa organisasi menjadi lebih jelekit dan bersepadu. Seseorang
pemimpin itu melakukan proses ini dengan mengaplikasikan sifat-sifat kepemimpinan dirinya iaitu
kepercayaan, nilai, etika, perwatakan, pengetahuan, dan kemahiran-kemahiran yang dimilikinya.
Sungguhpun kedudukan anda sebagai seorang 'pengurus' (Guru Besar?), penyelia, ketua dan sebagainya;
memberikan anda 'kuasa' melakukan tugas dan objektif tertentu organisasi, ketahuilah 'kuasa' ini tidak
menjadikan anda seorang 'pemimpin'...ia hanya menjadikan anda seorang 'boss'. Kepemimpinan
menjadikan orang lain mahu mencapai matlamat-matalamat dan objektif-objektif yang tinggi, sementara
sebaliknya boss mengarah orang menyempurnakan objektif dan tugasan.

Donald Clark (1997) menyatakan; "The basis of good leadership is honourable character and selfless
service to your organization. In your employee's eyes, your leadership is everything you do that effects the
organization's objectives and their well being. A respected leader concentrates on what she is (be) (beliefs
and character), what she knows (job, tasks, human nature), and what she does (implement, motivates,
provide direction). Apa yang menyebabkan seseorang itu mahu mengikut seseorang pemimpin? Orang
mahu dipimpin oleh orang yang mereka hormati dan seseorang pemimpin yang mempunyai 'clear sense of
direction'. Untuk mendapat penghormatan, pemimpin mesti beretika, dan 'halatuju' dapat dicapai dengan
menyampaikan visi masa depan yang kuat. Jadi pada dasarnya anda mestilah boleh dipercayaai dan anda
boleh mengkomunikasikan visi berhaluan yang anda tujui. Jika anda seorang pemimpin yang boleh
dipercayai, maka orang di sekeliling anda akan belajar menghornati anda. Untuk menjadi pemimpin yang
baik, ada beberapa perkara yang anda mesti jadi, tahu dan buat. Semua ini terletak di bawah apa yang
digelar Kerangka Kepemimpinan:

 Jadi seorang profesional. Contohnya setia kepada organisasi, berkhidmat tanpa pentingkan diri,
dan bertanggungjawab.
 Jadi seorang profesional yang punyai ciri-ciri perwatakan yang baik. Contohnya kejujuran,
ketrampilan, lurus, komitmen, integriti, keberanian, berterus-terang dan imaginasi.

 Tahu empat faktor kepemimpinan -- pengikut, ketua, komunikasi dan situasi.

 Tahu (kenali) diri sendiri,. Contohnya kekuatan dan kelemahan diri, pengetahuan dan kemahiran.

 Tahu sifat manusia. Contohnya kepada keperluan manusia dan emosi, dan bagaimana manusia
bertindakbalas terhadap stress.

 Tahu kerja anda. Contohnya mahir dan pakar serta mampu melatih orang-orang lain.

 Tahu organisasi anda. Seperti tahu ke mana hendak mendapatkan bantuan, iklim dan budayanya,
serta tahu siapa pula 'pemimpin-pemimpin tak rasmi' dalam organisasi.

 Sediakan halatuju: penentuan matlamat, penyelesaian masalah, membuat keputusan dan


merancang.

 Melaksanakan: komunikasi, penyelarasan, penyeliaan dan penilaian.

 Memotivasi: mampu membina morale dan semangat kekitaan di dalam organisasi, melatih dan
membimbing serta memberikan kaunseling.
Di peringkat operasional seseorang pemimpin mestilah mempunyai tiga ciri penting yang mesti pula
diterjemah dan direalisasikan di dalam seluruh budaya kerja dan budaya organisasi dan dihayati oleh
seluruh ahli organisasi. Tiga ciri utama tersebut ialah mengongsi visi, penggunaan sumber (manusia,
maklumat, dan sumber modal), dan nilai. Hanya seorang pemimpin yang ada visi sahaja yang boleh
membawa organisasi dan pengikutnya menuju wawasan, yang mampu menggerakkan dan mendorong
subordinat dengan meletak dan memberi nilai yang tinggi dalam semua aspek kelangsungan survival
individu dan organisasi.

Pemimpin yang bervisi sentiasa 'melihat' jauh ke depan melewati ruang dan masa di samping menunjukkan
'arah dan teladan'; sentiasa berkongsi kegemilanagn bersama-sama pengikut (perit dan pedih ditanggung
sendiri), dan berjaya meninggalkan legacy (warisan) bak kata perumpamaan Melayu "Harimau mati
meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama."‫ٱ‬       

PEMIMPIN YANG BAIK DIBENTUK BUKAN DILAHIRKAN


PEMIMPIN YANG BAIK TERBENTUK MELALUI PROSES
BELAJAR SENDIRI, PENDIDIKAN,LATIHAN
DAN JUGA PENGALAMAN
PEMIMPIN TERBAIK BEKERJA DAN BELAJAR SECARA
BERTERUSAN BAGI MENAMBAHBAIK KEMAHIRAN
KEPIMPINAN DIRI DALAM MEMBAWA ORGANISASI
KE MERCU JAYA
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui hakikat dari kepemimpinan dan
peranannya sebagai pemberi pengaruh, pengambil keputusan dan penanggung jawab.
Pengkajian literasi penelitian ini dengan komprehensif dan kontekstual adalah metode
yang tepat dalam penggunaaan hasil penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
hakikat dari kepemimpinan adalah pemberi pengaruh dan keteladanan, sikap
menghormati dan menghargai orang lain, peduli, adil dan tanggung jawab merupakan
karakter dari seseorang yang layak dijadikan atau disebut sebagai pemimpin. Penelitian
berbasis literatur ini dapat digunakan sebagai literatur tambahan bagi para pengkaji
kepemimpinan

KEPEMIMPINAN MENGHADAPI MASA DEPAN


Oleh:
Ginandjar Kartasasmita
Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas
Disampaikan pada Pembekalan Kepada Para Komandan
Jajaran TNI Angkatan Udara dan Kohanudnas
Jakarta, 3 Juli 1997
Pendahuluan
Saya merasa gembira dan berbahagia memperoleh kesempatan untuk menyampaikan
pembekalan kepada para komandan jajaran TNI Angkatan Udara dan Kohanudnas. Rasa gembira
dan berbahagia itu disebabkan oleh dua hal. Pertama, saya berbicara di kalangan Angkatan
Udara, almamater saya sebagai warga ABRI. Kedua, karena saya harus berbicara tentang
kepemimpinan masa depan di hadapan para komandan dan pejabat teras yang menjadi sendi-sendi
utama dalam struktur bangunan kepemimpinan Angkatan Udara.
Namun, apa yang saya kemukakan itu bukan sekedar soal pribadi. Secara nasional
memang kita memerlukan pemimpin untuk meneruskan jalannya sejarah republik kita ini. Tentu
saja yang dimaksud adalah pemimpin yang mampu membawa masyarakat kita kepada cita-cita
nasional yang telah digariskan rakyat dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang
dilandasi oleh falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Faktor kepemimpinan teramat
penting dan menentukan dalam kehidupan setiap bangsa, karena maju mundurnya masyarakat,
jatuh bangunnya bangsa, ditentukan oleh pemimpinnya. Pemimpinlah yang merancang masa depan
serta menggerakkan masyarakat untuk mencapai cita-cita tertentu. Apa yang saya kemukakan itu
tidak hanya berlaku untuk pemimpin politik, tetapi untuk pemimpin pada semua tingkatan dan
semua lingkungan, bahkan di lingkungan ABRI termasuk doktrin utamanya.
Yang diminta kepada saya untuk membahas adalah kepemimpinan masa depan. Kalau
kita berbicara mengenai masa depan bangsa Indonesia, kita berbicara mengenai masyarakat
Indonesia yang modern, yakni yang maju, mandiri, sejahtera, dan berkeadilan. Tetapi juga
masyarakat yang berkepribadian.
Oleh karena itu, kepemimpinan masa depan adalah kepemimpinan dalam masyarakat
Indonesia yang modern. Sewajarnyalah apabila terlebih da hulu dikenali bagaimana ciri-ciri suatu
masyarakat modern. Masyarakat Indonesia modern pertama-tama haruslah memenuhi syarat
masyarakat modern yang berlaku umum, ditambah kekhasannya sendiri.
Karakteristik Masyarakat Modern
Modernisasi dan Westernisasi
Setiap pembahasan mengenai modernisasi harus berha dapan dengan adanya postulasi
bahwa modernisasi, paling tidak dalam pengertiannya sekarang, sinonim dengan westernisasi. Jelas
memang cara berpakaian, pola konsumsi dan gaya hidup pada umumnya dari “orang modern”
bersumber dari barat. Yang dimaksud “barat” di sini adalah sistem nilai yang awalnya berkembang
di Eropa bagian Barat dan menyebar ke benua -benua lain.
Banyak pihak menampik pandangan ini. Sekarang telah diakui bahwa konsep modernisasi
tidak hanya mengenal satu model yang seragam, tetapi dapat terdiri dari beragam model. Tidak
www.ginandjar.com 2
hanya ada satu jalan ke arah modernisasi, yaitu mengikuti urutan-urutan yang dialami negaranegara
Barat. Misalnya Jepang, dan negara-negara industri baru lainnya di kawasan Asia Timur,
menempuh jalan pintas untuk tiba pada taraf modernisasi yang setara dengan negara-negara
Barat.
Namun, setelah mengatakan demikian, tidak dapat kita menghindari kenyataan bahwa
dunia modern sekarang berawal dari modernisasi Eropa, khususnya dipacu oleh proses indus -
trialisasinya. Proses itu sendiri dipicu oleh revolusi ilmu pengetahuan yang terjadi sekitar empat
abad yang lalu, meskipun pengembangan ilmu pengetahuan itu (scientific knowledge), barulah
mengambil bentuk yang nyata setelah revolusi industri, bahkan menurut para ahli baru sekitar
pertengahan abad ke-19.
Apabila pengertian modern dan modernitas kita batasi semata-mata dengan perkembangan
kemajuan peradaban suatu negara yang didorong oleh perkembangan pengetahuan dan
teknologinya, jelas bahwa modernisasi tidak sebatas westernisasi.
Namun, pengertian modernitas yang dikenal sekarang le bih luas dan unsur-unsurnya
meliputi keseluruhan aspek-aspek kehidupan masyarakat, selain ilmu pengetahuan dan teknologi,
juga sistem ekonomi, sistem politik, dan tata hubungan antarindividu dan antara individu dan
kelompok-kelompok masyarakat, katakanlah sistem sosialnya. Dan tidak bisa kita sangkal
rujukannya ada pada perkembangan peradaban dan budaya Barat yang terjadi dalam dua abad
terakhir ini. Aspek-aspek tersebut secara singkat akan dibahas lebih lanjut berikut ini.
Ciri Masyarakat Modern
Seperti dikemukakan tadi, tidak hanya ada satu model masyarakat modern. Namun, pada
umumnya para pakar sepakat bahwa ciri utama yang melatarbelakangi sistem atau model mana
pun dari suatu masyarakat modern, adalah derajat rasionalitas yang tinggi dalam arti bahwa
kegiatan-kegiatan dalam masyarakat demikian terselenggara berdasarkan nilai-nilai dan dalam
pola-pola yang objektif (impersonal) dan efektif (utilitarian), ketimbang yang sifatnya primordial,
seremonial atau tradisional.
Derajat rasionalitas yang tinggi itu digerakkan oleh perkembangan-perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan dan teknologi seringkali disebut
sebagai kekuatan pendorong (driving force) bagi proses modernisasi.
Dengan derajat rasionalitas yang tinggi itu, maka berkembang antara lain ciri-ciri yang
kurang lebih berlaku umum, dalam berbagai aspek kehidupan.
Suatu masyarakat modern, dalam pengertian yang dewasa ini banyak dianut harus
tercermin dalam berbagai aspek itu.
Sistem Ekonomi. Ekonomi modern, berorientasi pada efisiensi (maksimum atau
optimum). Ciri utama nya adalah kemampuan untuk memelihara pertumbuhan yang berkelanjutan
(self sustaining growth). Mekanisme ekonomi modern adalah pasar. Sistem ekonomi yang
demikian memiliki ciri-ciri sebagai berikut. Pertama, memiliki daya yang memungkinkan
pengembangan
dan penyerapan teknologi (atau gagasan-gagasan) baru. Peran indus tri dan jasa lebih besar
dibandingkan pertanian. Oleh karena itu, proses modernisasi acapkali disinonimkan dengan
industrialisasi. Kegiatan-kegiatan yang sarat modal dan teknologi yang menghasilkan nilai tambah
yang tinggi, lebih besar dibandingkan dengan yang sarat tenaga kerja yang berharga murah. Ada
keseimbangan antara modal manusia (yang berkua litas) dengan modal fisik. Sektor formal lebih
dominan dibandingkan dengan sektor informal. Dengan demikian, organisasi dan manajemen
produksi menjadi wahana yang penting dalam sistem ekonomi modern. Sebagai konsekuensinya
ada pemisahan antara pemilikan dan pengelolaan (manajemen) aset dan kegiatan produksi. Pada
www.ginandjar.com 3
masyarakat yang lebih modern, atau pascamodern, peran informasi dan teknologi informasi makin
besar dan pada akhirnya menjadi dominan. Sebagai akibatnya ekonomi modern makin tidak
mengenal tapal batas negara. Oleh karena itu, kemampuan (dan options) negara untuk
mengadakan intervensi menjadi makin berkurang. Sistem ekonomi modern bersifat mandiri. Mandiri
tidak berarti keterisolasian, karena dalam hubungannya dengan ekonomi-ekonomi lainnya,
ekonomi yang modern mempunyai keunggulan-keunggulan yang membuatnya memiliki kekuatan
tawar-menawar (“bargaining position”) dalam hubungan saling ketergantungan antarekonomi.
Dengan demikian ekonomi yang modern bukan merupakan “vassal” dari ekonomi lainnya.
Sistem Politik. Sistem politik modern juga mempunyai beberapa ciri yang
membedakannya dengan sistem tradisional atau pramodern. Antara lain, individu dan masyarakat
tidaklah merupakan objek, tetapi subjek yang turut menentukan arah kehidupan. Berkaitan dengan
itu, masyarakat modern ditandai oleh partisipasi masyarakat yang luas dalam proses politik. Sistem
politiknya, yakni nilai-nilai dasar dan instrumental, organisasi, mekanisme dan prosedur, bersifat
terbuka dan dapat diikuti oleh siapa pun. Sistem politik modern berlandaskan aturan-aturan dasar
yang disepakati bersama, yang disebut kons titusi, dan kehidupan diselenggarakan berdasarkan
aturan-aturan yang ditetapkan bersama pula dan berlaku buat semua secara adil. Oleh karena itu,
negara modern senantiasa adalah negara yang berdasarkan hukum. Rakyat adalah yang berdaulat,
dengan mekanisme yang menunjukkan kedaulatan itu, yang diwujudkan melalui perwakilan.
Proses itu berjalan secara terbuka dan menjamin hak setiap warga untuk turut serta di dalamnya,
dengan demikian dilengkapi oleh mekanisme komunikasi sosial yang efektif. Penyelenggara
negara tunduk kepada kedaulatan rakyat dan hukum, seperti juga semua warga negara. Penye -
lenggara negara terbentuk tidak atas dasar keturunan, ras, agama, kesetiaan perorangan, tetapi
atas dasar kecakapan, integritas, dan kesetiaan kepada tugas dan tujuan organisasi. Sistem politik
yang modern mampu mewadahi perbedaan paham dan pandangan, dan menga tasinya dengan cara
yang adab dan damai, dalam aturan yang disepakati bersama (hukum). Dalam masyarakat modern
ada penampilan individu (individuation) yang nyata (distinct), sehingga manusia berwajah,
berkepribadian, bermartabat, dan bukan hanya bagian dari masyarakat. Di pihak lain, dalam
masyarakat modern betapa pun bebasnya individu, kebebasan itu tidak mutlak, karena dibatasi oleh
hak individu yang lain, hak masyarakat, dan kepentingan masyarakat. Namun, pembatasannya itu
diatur pula secara jelas dan berlaku buat semua. Dan akhirnya sistem politik modern, lebih
terdesentralisasi, dengan diferensiasi struktural dan spesifikasi fungsi-fungsi, tetapi dengan derajat
integrasi dan koordinasi yang tinggi.
Sistem Sosial. Dalam masyarakat modern, hubungan primer antarindividu telah jauh
berkurang dan hubungan sekunder yang lebih bersifat impersonal menjadi lebih predominan.
Dalam masyarakat tradisional atau pramodern, status, hubungan dan keterkaitan sosial
lebih didasarkan pada apa atau siapa seseorang; latar belakang keluarga atau keturunan, suku atau
ras, jender (pria atau wanita), dan usia (yang antara lain melahirkan paternalisme). Dalam
masyarakat tradisional, di samping pertimbangan-pertimbangan itu, memang ada juga pertimbangan
kemampuan (capability), tetapi lebih bersifat fisik (jagoan, misalnya) atau magis (paranormal).
Dalam masyarakat modern apa dan siapa bukannya sama sekali diabaikan, tetapi bobotnya
kurang dibandingkan dengan prestasi yang telah dicapai dan potensi yang dapat dicapai. Penghargaan
terhadap kemampuan fisik tidak juga diabaikan seperti pahlawan-pahlawan olahraga,
tetapi penghargaan lebih besar diberikan kepada kemampuan intelektual. Sukses seseorang karena
prestasinya sendiri dihargai tinggi dalam masyarakat modern.
Manusia modern ingin memperoleh pengakuan sebagai individu selain sebagai anggota
masyarakat. Juga ia berorientasi ke masa depan dan senantiasa berupaya untuk terus maju, tidak
statis, dan berusaha menampilkan dan mencari yang terbaik. Karena itu, manusia modern bersifat
kreatif dan kritis, dan karena itu pula, profesionalisme adalah cirinya manusia modern. Pada
umumnya ciri personalitas manusia modern adalah manusia yang mampu membimbing dirinya
www.ginandjar.com 4
sendiri, mampu mengambil keputusan sendiri (mene tapkan pilihan-pilihan) dan mampu menghadapi
perubahan.
Struktur yang mewarnai suatu masya rakat tradisional berin tikan kekerabatan, kesukuan,
atau keaga maan. Struktur yang bersifat primordial itu tertutup bagi yang lain di luar
hubunganhubungan
itu dan tidak bersifat sukarela. Dalam masya rakat modern, struktur sosial bersifat
terbuka dan bersifat sukarela. Jadi, yang berkembang dan menjadi tiang-tiang masyarakat adalah
organisasi politik, organisasi ekonomi, organisasi sosial, termasuk organisasi profesional dan
fungsional.
Dalam masyarakat tradisional atau pramodern, organisasi-organisasi serupa itu sekalipun
sudah ada, dasarnya masih tetap lebih bersifat primordial dan masih lebih tertutup.
Namun, apabila kita berbicara mengenai struktur sosial, ada ciri yang nyata dalam
masyarakat modern, yaitu bahwa sebagian besar anggota masyarakat berada pada lapisan menengah;
lapisan atas dan bawah adalah minoritas. Pada masyarakat tradisional dan pramodern,
sebagian besar masyarakat berada di lapisan bawah. Dalam masyarakat modern tidak tampak
batas pemisah (diskontinuitas), tetapi stratanya lebih bersifat suatu kontinuum. Dalam masyarakat
tradisional pembatas antarstrata sangat tegas, bahkan acapkali tabu atau ada sangsi bagi yang
melewati batas itu. Dalam masyarakat modern mobilitas sosial tinggi baik ke atas, maupun ke
bawah. Sebaliknya dalam masyarakat tradisional mobilitas itu rendah, yang di bawah betapa pun
potensinya tetap di bawah, dan yang di atas betapa pun rendah kemampuannya tetap berada di
atas. Dalam masyarakat modern, pandangan keadilan, kesamaan hak dan kewajiban menjadi
kredo, yang berarti juga kesamaan kesempatan.
Masyarakat Indonesia Modern
Dengan sendirinya berbagai ciri yang berlaku umum seperti yang terurai di atas harus kita
beri bobot tambahan, yaitu agar masyarakat modern itu tetap masyarakat Indonesia yang memiliki
kepribadian yang khas Indonesia.
Di sini letak tantangan bagi kita, yaitu memodernisasikan bangsa kita dan dalam proses itu,
kita tidak boleh kehilangan jati diri. Di sini berarti ada nilai-nilai dasar yang ingin kita pertahankan
bahkan ingin kita perkuat. Nilai-nilai itu sudah jelas, yaitu Pancasila.
Beberapa di antaranya ciri-ciri dikemukakan di sini. Pertama, dasar Ketuhanan Yang
Maha Esa, yang bagi kita mutlak. Jika diikuti pandangan-pandangan sekular dunia Barat, yang
ilmunya kita pelajari dan jadi rujukan para cendekiawan kita, sepertinya berjalan berlawanan.
Dalam masyarakat modern, kita lihat kecenderungan lunturnya kehidupan keaga maan. Jadi, ini
bukan tantangan yang sederhana, tetapi penting, karena landasan moral kita, segenap imperatif
moral kita, dan konsep kita mengenai kemanusiaan, keadilan, dan keberadaban, adalah keimanan
dan ketakwaan.
Pancasila jelas adalah paham yang demokratis. Silanya yang keempat mencerminkan hal
itu. Namun, demokrasi itu sendiri bukan suatu wujud yang kaku. Memang, ada unsur-unsurnya
yang baku seperti partisipasi yang bebas, luas, dan terbuka dari rakyat, tetapi sistemnya tidak harus
seragam di semua tempat. Dari dalam dan dari luar kita akan menghadapi tantangan-tantangan
terhadap sistem demokrasi yang kita anut dan ingin tegakkan, yang sesuai dengan kondisi
sosialkultural
bangsa kita yang demikian majemuk dan latar belakang historis bangsa kita.
Dalam konteks ini, kita menyadari bahwa ada ciri-ciri dari masyarakat modern yang
berlaku buat semua, tetapi kita yakin bahwa, misalnya, asas kekeluargaan (bukan dalam arti
nepotisme) adalah suatu bangun nilai yang unggul dan dapat diterapkan dalam masyarakat
modern. Manifestasinya antara lain adalah kita ingin selalu mendahulukan musyawarah, dan
menghindari diktator mayoritas atau tirani minoritas. Bagi masyarakat modern (Barat) mungkin ini
www.ginandjar.com 5
konsep yang kuno (archaic), bertele-tele dan juga mahal, tetapi bagi kita lebih banyak baiknya
daripada buruknya.
Dan yang terakhir, pada waktu kita berbicara mengenai masyarakat Indonesia,
sesungguhnya kita berbicara mengenai masya rakat yang majemuk, bukan hanya komponenkomponen
budayanya, tetapi juga taraf perkembangannya. Tidak mungkin kita menyamakan
masyarakat Jakarta atau bahkan Jawa dengan masyarakat Irian Jaya. Pada waktu kita berbicara
mengenai masyarakat Indonesia modern, dalam pikiran kita tentunya adalah seluruh masyarakat
Indonesia. Tentunya hanyalah suatu lamunan terciptanya masyarakat tanpa kelas atau tanpa
perbedaan sosial ekonomi, tetapi haruslah diusahakan bahwa lapisan yang terbawah sekalipun,
tidak jauh tertinggal dari kehidupan yang berkemanusiaan, yang bermartabat, dan mendapat
kesempatan untuk memasuki kehidupan modern. Ini suatu tantangan yang tidak kecil pula.
Kepemimpinan Masa Depan
Pada waktu berbicara tentang konsep kepemimpinan masa depan masyarakat modern
yang ciri-cirinya diuraikan di atas haruslah menjadi rujukan. Karena itu, pemimpin masa depan
haruslah yang memiliki ciri-ciri kepemimpinan modern, yakni memiliki sema ngat, nilai-nilai, dan
pikiran-pikiran modern. Kita tidak boleh lupa pula bahwa bangsa Indonesia memiliki warisan dari
para leluhur mengenai prinsip-prinsip kepemimpinan. Banyak di antaranya yang relevan sepanjang
masa dan sekarang pun masih digunakan.
Salah sebuah konsep kepemimpinan yang merupakan warisan kebudayaan bangsa adalah
Hastha Brata, atau delapan ajaran keutamaan, seperti yang ditunjukkan oleh sifat-sifat alam.1
Ki Hadjar Dewantara merumuskan kepemimpinan sosial dengan tiga ungkapan yang
sangat dalam maknanya: ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangunkarso, dan tut wuri
handayani.2
Apabila ditelaah secara dalam, pesan-pesan leluhur serta asas-asas kepemimpinan yang
telah kita miliki itu mengandung nilai-nilai kepemimpinan yang berlaku di segala jaman. Ini
merupakan contoh dari nilai-nilai tradisional yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai modern, dan
tidak lapuk dan lekang oleh gelombang perubahan apapun. Ini merupakan sifat-sifat kepemimpinan
yang universal, yang berintikan suatu nilai bahwa sang pemimpin harus dapat memotivasi dan
memberikan keyakinan kepada yang dipimpinnya. Yang dipimpin harus me rasakan kema nfaatan
1 Hastha Brata adalah ajaran tentang prinsip-prinsip kepemimpinan yang disampaikan oleh Sri Rama kepada Bharata,
adiknya, yang kan menjadi raja Ayodhya. Ini diceritakan dalam Ramayana Kakawin (cerita berbentuk puisi dalam
bahasa Jawa Kuno dari abad-10), yaitu ketika Rama harus meninggalkan istana untuk mengembara di hutan bersama
Laksmana, adiknya, dan Dewi Shinta, istrinya. Atas permintaan ayahnya, Dastharata, Raja Ayodhya, Rama harus
mengembara di hutan dahulu sebelum boleh menggantikannya. Di hutan itulah ia kehilangan Dewi Shinta karena
mengejar Kijang Kencana, alat tipuan Dasamuka. Seorang pemimpin harus berwatak matahari, artinya memberi
semangat, memberi kehidupan, dan memberi kekuatan bagi yang dipimpinnya. Harus mempunyai watak bulan,
dapat menyenangkan dan memberi terang dalam kegelapan. Memiliki watak bintang, dapat menjadi pedoman.
Berwatak angin, dapat melakukan tindakan secara teliti dan cermat. Harus berwatak mendung, artinya bahwa
pemimpin harus berwibawa, setiap tindakannya harus bermanfaat. Pemimpin harus berwatak api, yaitu bertindak
adil, mempunyai prinsip, tegas, tanpa pandang bulu. Ia juga harus berwatak samudera, yaitu mempunyai pandangan
luas, berisi, dan rata. Akhirnya seorang pemimpin harus memiliki watak bumi, yaitu budinya sentosa dan suci.
2 Ini diungkapkan oleh Ki Hadjar Dewantara dalam berbagai kesempatan berpidato kepada anak-anak didiknya serta
para pengasuh di Perguruan Taman Siswa yang dibangunnya pada masa penjajahan Belanda. Tiga prinsip
kepemimpinan itu bermakna bahwa "seorang pemimpin harus berada di depan yang dipimpinnya untuk menjadi
teladan, di tengah-tengah untuk membangun semangat (kemauan), dan mengikuti dari belakang untuk memberi
kekuat an (daya). "Kata-kata itu dikutip oleh Ki Hadjar dari Drs. Raden Mas Sostrokartono (saudara kandung
Raden Adjeng Kartini) yang bunyi aslinya adalah: Ing ngarso asung tulodo, ing madyo mangun karso, ing wuri
handayani.
www.ginandjar.com 6
dari kepemimpinannya. Dengan demikian kepemimpinannya akan efektif, dan yang dipimpin dapat
menerimanya dengan taat dan ikhlas.
Berdasarkan nilai-nilai kepemimpinan seperti itu pada dasarnya bagi bangsa Indonesia
seorang pemimpin harus memiliki tiga sifat, yaitu:
Pertama, ia harus memiliki idealisme, artinya jelas ke mana atau ke arah mana ia ingin
membawa yang dipimpinnya. Dalam hal ini wawasan kebangsaan harus menjadi pedoman
baginya.
Pemimpin harus memahami apa yang menjadi tujuan perjuangan,3 dan menempatkan
kepentingan perjuangan dan masya rakat yang dipimpinnya di atas kepentingannya sendiri. Ia harus
memiliki komitmen kepada tujuan perjuangan itu dan senantiasa berupaya mencapainya. Bagi
bangsa Indonesia tujuan perjuangan itu jelas. Ia lahir bersama kemerdekaannya dan seluruh
sejarahnya.
Sifat bangsa Indonesia yang majemuk membuat pemimpin harus mampu menjadi
pemersatu. Dalam hal kepemimpinan kebangsaan seorang pemimpin harus menjadi pemimpin
bangsa, bukan hanya mementingkan kelompok yang dipimpinnya atau suatu bagian dari bangsa.
Seorang pemimpin di Indonesia harus memiliki wawasan kebangsaan dalam pengertian yang lahir
pada Sumpah Pemuda tahun 1928.
Kedua, ia harus memiliki pengetahuan, untuk dapat secara efektif membawa yang
dipimpin ke arah tujuan yang "diidealkannya". Ia harus mengetahui cara memimpin dan menguasai
bidang atau tugas dari kelompok yang dipimpinnya. Dengan demikian, ia harus seorang profesional.
Ini berarti bahwa seorang pemimpin, bukan hanya mengerti teknik kepemimpina n, tetapi juga
menguasai bidang yang menjadi tanggung jawabnya.
Ketiga, seorang pemimpin harus menjadi teladan, dan sumber inspirasi. Oleh karena itu,
seorang pemimpin diharapkan manusia -manusia yang beriman dan bertaqwa, karena hanya di atas
iman dan taqwa, pembangunan yang berakhlak dapat diselenggarakan. Pemimpin juga harus
memahami dan menghayati kebudayaan bangsanya.4
Ajaran leluhur dan doktrin kepemimpinan yang telah diungkapkan di atas mencakup sifat
pertama dan ketiga, bahkan juga sebagian sifat kedua, yaitu menunjukkan bagaimana seorang
pemimpin
harus memimpin.
Dengan demikian, masalahnya menjadi lebih sederhana. Bukan doktrin atau asasnya yang
masih harus dicari tetapi kualitas pemimpin dan kepemimpinan itu yang perlu dikembangkan, agar
mampu menjawab tantangan-tantangan masa depan.
Masa depan itu sendiri tidak dapat dipisahkan dengan masa kini dan masa lampau. Begitu
pula pemimpin masa depan, ia harus dapat berpikir secara menyeluruh melacak seja rah,
menapakkan kakinya pada kekinian, serta sekaligus “bertualang” menjelajahi masa depan. Ia harus
memperhatikan berbagai kendala masa lalu dan masa kini, tetapi ia pun harus memiliki daya cipta
untuk membawa yang dipimpinnya ke dalam kehidupan yang lebih sejahtera lahir batin di masa
depan. Ia harus dapat melihat ke belakang, ke dalam masanya, dan ke masa depan, dan
memahami semua yang dilihatnya dalam rangka aspirasi bangsanya.
Bangsa Indonesia tidak dapat mengharapkan selalu dapat memperoleh pemimpin yang
besar seperti Bung Karno dan Pak Harto, yang mempunyai kapasitas individual dan kualitas kepe-
3 Perjuangan pada dasarnya merupakan hakikat pembangunan.
4 Dalam pembahasan teori-teori kepemimpinan, kebudayaan suatu bangsa merupakan suatu variabel contingency
yang sangat penting untuk diperhatikan.
www.ginandjar.com 7
mimpinan yang luar biasa, dan tampil bersama dengan peran yang historis dan teramat menentukan
dalam perjalanan bangsa. Namun, dari kedua beliau itu, kita dapat belajar mengenai bagaimana
sosok pemimpin bangsa yang tepat untuk masanya.
Dari sudut pandang ini, maka pertama-tama pemimpin masa depan tidak mungkin
bersandar semata-mata kepada kharisma, baik dari pembawaan, karena peran sejarah, atau dibuat
secara sintetis. Kelebihan seorang pemimpin akan diukur dari prestasi nyata dan kualitas
pemikirannya oleh masyarakat dan orang-orang yang setara (equal) dengannya. Para pemim pin
nantinya mungkin tidak berbeda terlalu lebih dari yang lain.
Namun, pemimpin yang dituntut adalah yang berjiwa kerakyatan, dan sadar bahwa
kepemimpinannya adalah mandat atau kepercayaan yang diberikan oleh yang dipimpin dan harus
dipertanggungjawabkannya. Tidak mungkin lagi seorang pemimpin pada masa kini dan masa
mendatang merasa kepemimpinannya itu sebagai haknya, enta h karena keturunan, keka yaan, atau
kepintarannya.
Para pemimpin masa depan akan memimpin rakyat yang makin luas dan dalam
pengetahuannya, yang makin paham akan hak-haknya dan makin menjaga martabat, dan
kepentingannya.
Maka pemimpin tidak lagi bisa mengandalkan kepada kekuatan fisik, seperti di masa
awal di banyak negara berkembang, tetapi harus lebih kepada kekuatan moral dan intelektual.
Pemimpin masyarakat modern harus siap memimpin secara demokratis, karena kehidupan
demokrasi adalah sena fas dengan kemajuan dan kesejahteraan ekonomi. Dengan demikian
pemimpin yang diperlukan, dan yang paling akan berhasil memimpin, adalah pemimpin yang
berjiwa demokrat, dan bukan yang otoriter. Pemimpin yang tegas bukan harus pemimpin yang
otoriter, tetapi justru yang mampu meyakinkan yang dipimpinnya akan kebenaran arah yang akan
ditempuh.
Masyarakat akan makin canggih, dan tuntutan kepada pemimpinnya akan makin canggih
pula. Masyarakat memilih pemimpin yang punya wawasan ke masa depan. Karena masa depan
sangat padat pada teknologi, maka seorang pemimpin tidak boleh merasa asing terhadap kemajuan
ilmu dan teknologi. Hal ini tidak berarti seorang pemimpin harus seorang ilmuwan (scientist). Yang
lebih penting adalah seorang pemimpin harus memiliki apresiasi terhadap ilmu pengetahuan dan
peran teknologi sebagai unsur yang sangat pokok dalam membentuk kehidupan masa depan.
Dalam suasana kehidupan yang makin rumit, untuk menentukan pilihan yang paling baik
menjadi makin sulit. Oleh karena itu, kearifan sangat diperluka n, lebih daripada di masa lalu, untuk
menentukan mana yang terbaik, atau mana yang paling kurang buruk di antara alternatif-alternatif
yang buruk. Di samping kearifan, diperlukan pula suatu tingkat pemahaman teknis, agar keputusan
yang menyangkut implikasi yang kompleks tidak diambil semata-mata atas dasar intuisi, seperti da -
lam banyak masyarakat tradisional, tetapi dengan dasar pengetahuan dan perhitungan yang
matang.
Karena masyarakat akan lebih terbuka, dan kebebasan diperlukan untuk mengembangkan
kreativitas, maka untuk mencapai konsensus akan makin pelik. Kembali diperlukan kearifan dari
pemimpin untuk mengambil keputusan yang tepat yang tidak selalu mendapat dukungan orang
banyak.
Perkembangan ekonomi dunia serta persaingan yang makin tajam membuat pemimpin
bangsa di masa depan harus memiliki pengetahuan yang memadai mengenai tata hubungan
internasional dan mengenai bekerjanya mekanisme ekonomi dunia. Para pemimpin bangsa nanti
harus memiliki kemampuan untuk membawa bangsa ini untuk memenangkan persaingan yang
sangat diperlukan untuk kesejahteraan ekonomi rakyatnya. Tidak ada bangsa yang dapat
mengisolasikan diri dan tidak tergantung kepada hubungan internasional. Pemimpin modern
dengan demikian harus mempunyai minat dan pengetahuan yang cukup mengenai hal ikhwal yang
www.ginandjar.com 8
terjadi di luar batas kepentingan bangsanya sendiri yang langsung. Ia harus memiliki jiwa
kemanusiaan dan perhatian (concern) terhadap masalah-masalah kemanusiaan.
Dengan berbekal wawasan kebangsaan para pemimpin masa depan harus mampu
memelihara kedaulatan dan kehormatan bangsa di antara masyarakat bangsa-bangsa di dunia.
Selain kekuatan yang dimiliki suatu negara baik dalam bidang politik, ekonomi, atau militer, kualitas
kepemimpinan dalam suatu bangsa juga mempengaruhi martabat bangsa itu dalam pergaulan
internasional.
Secara keseluruhan pemimpin masa depan adalah pemimpin yang harus membangun
bangsa ini menjadi bangsa yang maju dan mandiri. Kemajuan dan kemandirian ini harus menjadi
landasan serta modal untuk membangun bangsa yang adil dan makmur, yang sederajat dengan
bangsa-bangsa lain di dunia.
Singkatnya, kepemimpinan modern, di samping memiliki sifat-sifat tradisional, yang
melambangkan moral kepemimpinan bangsa, juga harus merupakan sosok modern. Pemimpin yang
demikian adalah seorang yang memiliki wawasan kebangsaan, jiwa kerakyatan, kemampuan
profesional, memiliki wawasan masa depan, inovatif, dan rasional. Ia harus mampu di satu pihak
memahami masalah-masalah yang kompleks, dan di pihak lain mampu menemukan pemecahan
yang sederhana dan mudah dipahami serta dilaksanakan bagi pemecahan masalah-masalah yang
kompleks itu. Ia bukan hanya harus berani mengambil risiko, tetapi juga mampu menghitung risiko.
Penutup
Bagaimana bisa menemukan pemimpin serupa itu, itu suatu persoalan yang harus bisa
dijawab. Tentu saja di sini saya berbicara tentang pemimpin pada berbagai tingkat dan bidang
dalam masyarakat yang semuanya membentuk struktur yang kukuh beralaskan wawasan
kebangsaan yang saya sebutkan itu. Seperti dikatakan tadi, pemimpin bisa dibuat. Bahkan acapkali
dikatakan pemimpin adalah cerminan masyarakatnya (you deserve your leader), atau pemimpin
adalah "produk budaya" masyarakatnya. Maka sungguh penting menanami lahan yang subur dari
sejak sekarang untuk menumbuhkan bibit-bibit kepemimpinan seperti yang dikehendaki. Di sini
peran pendidikan nasional teramat penting, baik yang diselenggarakan di sekolah, dalam
masyarakat, maupun di lingkungan keluarga. Melalui sistem pendidikan akan tampil dan ditempa
pemimpin-pemimpin masa depan. Oleh karena itu, kualitas pendidikan menentukan pula kualitas
pemimpin masa depan.
Perlu dicatat di sini bahwa antara pendidikan umum na sional dan pendidikan khusus ABRI
harus ada kaitan yang jelas, yakni bahwa bagaimana pun, pendidikan nasiona l menyediakan
caloncalon
untuk memasuki sistem karir dalam ABRI. Dengan kata lain, dalam mengembangkan
sumber daya manusianya, ABRI pada instansi pertama menerima masukan dari sistem pendidikan
umum nasional tersebut.
Bila pemikiran tersebut di atas kita proyeksikan pada ABRI, maka sebenarnya proses
pendidikan dalam ABRI merupakan kelanjutan dan pengembangan secara khusus dari sistem
pendidikan nasional. Di dalam ABRI memang sudah ada sistem dan mekanisme yang berkembang
yang bertujuan membentuk seorang calon pemimpin. Namun, ditinjau dari segi substansinya, saya
kira perlu ada pengembangan yang disesuaikan dengan perkembangan jaman. Kita jangan lupa
bahwa ABRI adalah sumber kaderisasi kepemimpinan bangsa, selain untuk kepentingan ABRI
sendiri. Oleh karena itu, dalam sistemnya ABRI secara substansial diharapkan dapat
mempersiapkan pemimpin masa depan yang memiliki kemampuan selain kemampuan teknis
profesional sebagai insan militer, juga dapat menghasilkan pemimpin-pemimpin dalam cakupan
yang lebih luas, untuk menghadapi tantangan dunia yang makin terbuka, ekonomi yang makin
bebas, masyarakat yang makin luas pengetahuannya, dan keterbukaan yang makin dituntut di
dalam masyarakat modern di masa mendatang.
www.ginandjar.com 9

Kepemimpinan Perempuan dalam Perspektif Islam


dan Budaya
Penilaian Pembaca:  / 8
Beri Nilai
Buruk Terbaik 
Ditulis Oleh Khoirul Anwar   
30-09-2009,
Halaman 1 dari 2

Perempuan seolah takkan pernah berhenti untuk dibicarakan, diselami dunianya, baik
yang bersifat lahiriahnya: kecantikan maupun gaya hidup mulai dari tidur hingga
bangunnya terus dikuak, maupun yang bersifat batiniah, jiwanya: olah rasa atau hal
lainnya.

Perempuan memang asyik untuk dikaji. Makhluk Tuhan yang satu ini seolah harta atau
khazanah yang mengundang decak kagum maupun sunggingan bibir yang mencoba
mencemoohnya. Entah itu perempuan sendiri, lebih-lebih pria takkan luput untuk trambul
ngomong, entah paham betul atau hanya waton ngomong, yang penting ngomong
perempuan. Meskipun tak jelas apa yang diomongkan.

Keberadaan perempuan diomongkan secara silih berganti diberbagi tempat: mulai di


tempat tidur, angkrinngan hingga di media massa. Bahkan tak tanggung-tanggung
diadakan seminar pula. Di undanglah orang yang dianggap kompeten dalam masalah
kewanitaan, maaf kewanitaan disini tidak mengarah pada masalh biologisnya melainkan
ya biologis, sosiologis, psikologis maupun hal yang logis-logis lainnya. Dari itu semuanya
itu hanya mengarah pada satu titik: sipa perempuan itu, bagaimana hakikatnya, apa dia
boleh berbuat ini –itu, ataukah ia sekedar pelengkap, hiasan dunia fana ini?. Asyik betul
membicarakan masalah ini hingga tak sadar gelora jiwa membara, larut sekaligus lenyap
siapa kita, perempuankah atau laki-laki. Semua tak sadar kerena tengah asyik untuk
berada di wilayah yang unik ini.

Begitu pula yang dilakukan oleh divisi keagamaan BEM Pendidikan Kimia, ingin turut
serta mewarnai perbincangan tentang sosok perempuan tersebut. Bertempat di teatrikal
fakultas saintek UIN Yogyakarta, 10 September 2009, dimulai. Dengan menghadirkan
pembicara dekan fakultas SAINTEK, Dra. Meizer Said Nahdli, M. Si, dan aktivis
perempuan, Yaya Setianingsih, S.H.I atu lebih akrab di panggil mbak Yayat.

Tema yangd iangkat pada seminar ini adalah masalah kepemimpinan seorang perempuan
jika dilihat dari ranah agama  dan kebudayaan. Berhubungan dengan kacamata Islam
tentunya mempertanyakan bagaimana Islam memandang perempuan tersebut, hakikat dan
syarat bagi pemimpin yang kesemuannya ini sudah tentu harus ada kesesuaian dari
sumber pokok Islam: al-Qur'an dan al-Hadist. Sedangkan budaya melihat dari sisi
bagaimana kebudayaan setempat menempatkan sosok perempuan ditengah pusaran
peradabannya, apa itu perempuan ( apakah keeksisitensiannya terbentuk karena faktor
biologis, fisik, ataukah nama perempuan itu terbentuk karena pergumulan budaya?).
Sejenak jika kita lihat, sebetulnya tema yang diusung pada seminar ini bisa dikatakatkan
sudah usang tetapi kita tidak memandang usang atau aktual permasalahan itu muncul
tetapi bagaimana permasalahan itu terus berkembang dan terus melahirkan polemik di
tengah masyarakat.

Terbukti masalah kepemimpinan selalu hangat dibicarakan apalagi kepemimpinan yang


dikomandani sesosok perempuan: heboh tentunya. Hal ini bukan karena sosok perempuan
tidak mampu mengemban amanah kepemimpinan melainkan karena faktor telah lamanya
tonggak kepemimpinan dipegang dan dkendalikan oleh laki-laki sehingga kedaan ini
melahirkan suatu sikap yang menghegemoni pikiran masyarakat atau dengan kata lain
masyarakat akan selalu "mengamini" kepemimpinan laki-laki bila dibanding pemimpin
perempuan. Ranah agama pun seolah-olah mengamini kepemimpinan laki-laki. Sebuah
bunyi hadis selalu dijadikan jargon bahwa kepemimpinan perempuan takkan
menghasilkan apa-apa kecuali kemudhorotan.

Menurut Dra. Meizer Said Nahdli, M.Si, permasalahan siapa yang cocok menjadi
pemimpin, laki-laki atau perempuan sebetulnya lahir karena faktor budaya sedangkan
budaya itu sendiri terbentuk karena adanya interkasi cipta, rasa dan karsa antar manusia.
Sehingga tak dipungkiri permasalahan kepemimpinan, siapa yang pantas memimpin
tergantung tingkat intelektualitas, dan penghormatan masyarkat setempat terhadap
perempuan.

Meskipun secara biologis, dekan sekaligus dosen biologi fakultas SAINTEK ini
melanjutkan, perbedaan antar laki-laki dan perempuan ada. Sebagi contohnya tulang laki-
laki massanya lebih berat dibandingkan perempuan tetapi itu bukanlah dasar untuk
mengangkat pemimpin. Pemimpin dipilih bukan faktor otot melainkan otak. Islam sendiri
juga tidak membeda-bedakan antara keduanya, Islam adalah agama dengan konsep
keseimbangan kalau pun ada perbedaan pembagian kerja hanya semata-mata konsep
kesetimbangan untuk menjaga msayarakat agar dalam keadaan harmonis, tidak tumpang
tindih antara wilayah perempuan dan laki-laki. Dalam al-Qur'aan disebutkan bahwa Allah
akan mengganjar dengan adil bagi siapa saja yang melakukan amal baik dan disertai
keimanan. Pergolakan yang terjadi di tengah masyarakat yang terus menyoal siapa yang
pantas jadi pemimpin, apa perempuan boleh jadi pemimpin, merupakan sebuah ketakutan
yang dibentuk oleh lingkungan, entah ketakutan laki-laki kehilangan harga dirinya sebagai
manusia yang terlanjur dicap sebagai pemimpin bagi perempuan.

Sedangkan mbak Yayat mengatkan bahwa tidak ada persoalan antara budaya dengan
agama yang mempermasalahkan kepemimpinan. Karena pemimpin diukur dari
intelektualitas, kapabilitas seseorang. Bukti dari tidak adanya persinggungan antara agama
dengan budaya adalah catatan sejarah bagaimana Khodijah dan Asiyah pernah menjadi
pemimpin dimasanya. Ratu Sima yang memimpin kerajaan di tanah jawa era agama
Hindu begitu juga masa Islam di jawa pernah ada ratu yakni ratu Kalinyamat yang sisa
kerajaannya bisa di lihat di Jepara. Ratu Kalinyamat adalah seorang perempuan yang
pernah menjadi Adipati Demak sekaligus penasehat bagi kerajaan Mataram.

Masyarakat akan menyetujui pemimpin perempuan jika kapabilitasnya telah teruji dan
terbukti mampuni bagi mansyarakat. Tinggal kita bagaimana memandang perempuan dan
membuat kriteria-kriteria pemimpin.
DEMOKRASI DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Oleh :
BRIGITA WIN ERWINA
04711044
PENDAHULUAN
Konsep kepemimpinan dalam Islam sebenarnya memiliki dasar-dasar yang
sangat kuat dan kokoh. Ia dibangun tidak saja oleh nilai-nilai transendental, namun
telah dipraktekkan sejak berabad-abad yang lalu oleh nabi Muhammad SAW, para
Shahabat dan Al-Khulafa' Al-Rosyidin. Pijakan kuat yang bersumber dari Al-qur'an
dan Assunnah serta dengan bukti empiriknya telah menempatkan konsep
kepemimpinan Islam sebagai salah satu model kepemimpinan yang diakui dan
dikagumi oleh dunia internasional.
Namun dalam perkembangannya, aplikasi kepemimpinan Islam saat ini
terlihat semakin jauh dari harapan masyarakat. Para tokohnya terlihat dengan
mudah kehilangan kendali atas terjadinya siklus konflik yang terus terjadi. Harapan
masyarakat (baca: umat) akan munculnya seorang tokoh muslim yang mampu dan
bisa diterima oleh semua lapisan dalam mewujudkan Negara yang terhormat, kuat
dan sejahtera nampaknya masih harus melalui jalan yang panjang.
Tinjauan Umum Mengenai Kepemimpinan
Secara etimologi kepemimpinan berarti Khilafah, Imamah, Imaroh, yang
mempunyai makna daya memimpin atau kualitas seorang pemimpin atau tindakan
dalam memimpin. sedangkan secara terminologinya adalah suatu kemampuan
untuk mengajak orang lain agar mencapai tujuan-tujuan tertentu yang telah
ditetapkan. Dengan kata lain, kepemimpinan adalah upaya untuk
2
mentransformasikan semua potensi yang terpendam menjadi kenyataan. Tugas
dan tanggungjawab seorang pemimpin adalah menggerakkan dan mengarahkan,
menuntun, memberi mutivasi serta mendorong orang yang dipimpin untuk berbuat
sesuatu guna mencapai tujuan. Sedangkan tugas dan tanggungjawab yang
dipimpin adalah mengambil peran aktif dalam mensukseskan pekerjaan yang
dibebankannya. tanpa adanya kesatuan komando yang didasarkan atas satu
perencanaan dan kebijakan yang jelas, maka rasanya sulit diharapkan tujuan yang
telah ditetapkan akan tercapai dengan baik. Bahkan sebaliknya, yang terjadi
adalah kekacauan dalam pekerjaan. Inilah arti penting komitmen dan kesadaran
bersama untuk mentaati pemimpin dan peraturan yang telah ditetapkan.
III. Kepemimpinan dalam Islam
III. a. Hakekat Kepemimpinan
Dalam pandangan Islam, kepemimpinan merupakan amanah dan
tanggungjawab yang tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada anggotaanggota
yang dipimpinya, tetapi juga akan dipertanggungjawabkan dihadapan
Allah Swt. Jadi, pertanggungjawaban kepemimpinan dalam Islam tidak hanya
bersifat horizontal-formal sesama manusia, tetapi bersifat vertical-moral, yakni
tanggungjawab kepada Allah Swt di akhirat nanti. Seorang pemimpin akan
dianggap lolos dari tanggungjawab formal dihadapan orang-orang yang
dipimpinnya, tetapi belum tentu lolos ketika ia bertanggungjawab dihadapan Allah
Swt. Kepemimpinan sebenarnya bukan sesuatu yang mesti menyenangkan, tetapi
merupakan tanggungjawab sekaligus amanah yang amat berat yang harus
diemban dengan sebaik-baiknya. Allah Swt berfirman:
"dan orang-orang yang memelihara amanah (yang diembankannya) dan janji
mereka, dan orang-orang yang memelihara sholatnya, mereka itulah yang akan
mewarisi surga firdaus, mereka akan kekal didalamnya" (QS.Al Mukminun 8-9)
Seorang pemimpin harus bersifat amanah, sebab ia akan diserahi
tanggungjawab. Jika pemimpin tidak mempunyai sifat amanah, tentu yang terjadi
adalah penyalahgunaan jabatan dan wewenang untuk hal-hal yang tidak baik.
Itulah mengapa nabi Muhammad SAW juga mengingatkan agar menjaga amanah
3
kepemimpinan, sebab hal itu akan dipertanggungjawabkan, baik didunia maupun
diakhirat. Nabi bersabda: "setiap kalian adalah pemimpin, dan kalian akan dimintai
pertanggungjawaban atas kepemimpinannya" (HR. Bukhori) Nabi Muhammad
SAW juga bersabda: "Apabila amanah disia-siakan maka tunggulah saat
kehancuran. Waktu itu ada seorang shahabat bertanya: apa indikasi menyianyiakan
amanah itu wahai Rasulullah? Beliau menjawab: apabila suatu perkara
diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya maka tunggulah saat
kehancurannya" (HR. Bukhori)
Oleh karenanya, kepemimpinan mestinya tidak dilihat sebagai fasilitas untuk
menguasai, tetapi dimaknai sebagai sebuah pengorbanan dan amanah yang harus
diemban dengan sebaik-baiknya. Kepemimpinan juga bukan kesewenangwenangan
untuk bertindak, tetapi kewenangan untuk melayani dan mengayomi
dan berbuat dengan seadil-adilnya. kepemimpinan adalah sebuah keteladanan
dan kepeloporan dalam bertindak. Kepemimpinan semacam ini akan muncul jika
dilandasi dengan semangat amanah, keikhlasan dan nilai-nilai keadilan.
III. b. Hukum dan Tujuan Menegakkan Kepemimpinan
Pemimpin yang ideal merupakan dambaan bagi setiap orang, sebab
pemimpin itulah yang akan membawa maju-mundurnya suatu organisasi, lembaga,
Negara dan bangsa. Oleh karenanya, pemimpin mutlak dibutuhkan demi
tercapainya kemaslahatan umat. Tidaklah mengherankan jika ada seorang
pemimpin yang kurang mampu, kurang ideal misalnya cacat mental dan fisik,
maka cenderung akan mengundang kontroversi, apakah tetap akan dipertahankan
atau di non aktifkan.
Imam Al-mawardi dalam Al-ahkam Al sulthoniyah menyinggung mengenai
hukum dan tujuan menegakkan kepemimpinan. beliau mengatakan bahwa
menegakkan kepemimpinan dalam pandangan Islam adalah sebuah keharusan
dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Lebih lanjut, beliau
mengatakan bahwa keberadaan pemimpin (imamah) sangat penting, artinya,
antara lain karena imamah mempunyai dua tujuan: pertama: Likhilafati an4
Nubuwwah fi-Harosati ad-Din, yakni sebagai pengganti misi kenabian untuk
menjaga agama. Dan kedua: Wa sissati ad-Dunnya, untuk memimpin atau
mengatur urusan dunia. Dengan kata lain bahwa tujuan suatu kepemimpinan
adalah untuk menciptakan rasa aman, keadilan, kemasylahatan, menegakkan
amar ma'ruf nahi munkar, mengayomi rakyat, mengatur dan menyelesaikan
problem-problem yang dihadapi masyarakat.
Dari sinilah para ulama' berpendapat bahwa menegakkan suatu
kepemimpinan (Imamah) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah suatu
keniscayaan (kewajiban). Sebab imamah merupakan syarat bagi terciptanya suatu
masyarakat yang adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan serta
terhindar dari kehancuran dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu,
tampilnya seorang pemimpin yang ideal yang menjadi harapan komponen
masyarakat menjadi sangat urgen.
III. c. Kriteria Pemimpin yang Ideal dalam Islam
Imam Al Mawardi dalam Al-ahkam Al sulthoniyyah-Nya memberikan
beberapa kriteria seorang pemimpin yang ideal agar tampilnya pemimpin tersebut
dapat mengantarkan suatu Negara yang adil dan sejahtera seperti yang
diharapkan.
Seorang pemimpin harus mempunyai sifat adil ('adalah)
Memiliki pengetahuan untuk memanage persoalan-persoalan yang ada
kaitannya dengan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sehat panca indranya seperti pendengaran, penglihatan dan lisannya.
Sehingga seorang pemimpin bisa secara langsung mengetahui persoalanpersoalan
secara langsung bukan dari informasi atau laporan orang lain yang
belum tentu dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Sehat anggota badan dari kekurangan. Sehingga memungkinkan seorang
pemimpin untuk bergerak lebih lincah dan cepat dalam menghadapi berbagai
persoalan ditengah-tengah masyarakat.
5
Seorang pemimpin harus mempunyai misi dan visi yang jelas. bagaimana
memimpin dan memanage suatu Negara secara berstruktur, sehingga ada
perioritas tertentu, mana yang perlu ditangani terlebih dahulu dan mana yang
dapat ditunda sementara.
Seorang pemimpin harus mempunyai keberanian dan kekuatan. Dalam hal ini
seorang pemimpin harus mempunyai keberanian dan kekuatan dalam
menegakkan hukum dan keadilan.
Harus keturunan Quraisy. Namun menurut pandangan Ibnu Khaldun dalam
Muqoddimah-Nya bahwa, hadits "Al Aimmatu min Quraisyin" (HR. Ahmad dari
Anas bin Malik) tersebut dapat dipahami secara konstektual, bahwa hak
pemimpin itu bukan pada etnis Quraisy-nya, melainkan pada kemampuan dan
kewibawaannya. Pada masa Nabi Muhammad SAW orang yang memenuhi
persyaratan sebagai pemimpin dan dipatuhi oleh masyarakat adalah dari kaum
Quraisy. Oleh karena itu, apabila pada suatu saat ada orang yang bukan dari
Quraisy tapi punya kemampuan dan kewibawaan, maka ia dapat diangkat
sebagai pemimpin termasuk kepala Negara.
PERMASALAHAN
Secara historis, demokrasi muncul sebagai respon terhadap system
monarchi diktator Yunani pada abad 5 M. pada waktu demokrasi ditetapkan dalam
bentuk systemnya dimana semua rakyat (selain wanita, anak dan budak) menjadi
pembuat undang-undang. Secara umum demokrasi itu kompatibel dengan nilainilai
universal Islam. seperti persamaan, kebebasan, permusyawaratan dan
keadilan. Akan tetapi dalam dataran implementatif hal ini tidak terlepas dari
problematika. Sebagai contoh adalah ketika nilai-nilai demokrasi berseberangan
dengan hasil ijtihad para ulama'. Contoh kecil adalah kasus tentang orang yang
pindah agama dari Islam (baca: murtad). Menurut pandangan Islam berdasarkan
hadits: "Man baddala dinahu faqtuluhu" mereka disuruh taubat dahulu, jika mereka
6
tidak mau maka dia boleh dibunuh atau diperangi. Dalam system demokrasi hal ini
tidak boleh terjadi, sebab membunuh berarti melanggar kebebasan mereka dan
melanggar hak asasi manusia (HAM). Kemudian dalam demokrasi ada prinsip
kesamaan antara warga Negara. Namun dalam Islam ada beberapa hal yang
sangat tegas disebut dalam al-Qur'an bahwa ada perbedaan antara laki-laki dan
perempuan, misalnya tentang poligame. (QS. An-nisa' 33) tentang hukum waris
(QS. An-nisa' 11) tentang kesaksian (QS. Al-baqarah 282). Disamping itu,
demokrasi sangat menghargai toleransi dalam kehidupan sosial, termasuk dalam
ma'siat sekalipun. Seperti pacaran perzinaan. Sedangkan dalam Islam hal ini
jelasjelas
dilarang dalam Al-qur'an. Demikian juga dalam Islam dibedakan antara hak
dan kewajiban kafir dzimmi dengan yang muslim. Hali ini dalam demokrasi tidak
boleh terjadi, sebab tidak lagi menjunjung nilai persamaan. Melihat adanya
problem diatas, berarti tidak semuanya demokrasi kompatibel dengan ajaran
Islam. dalam dataran prinsip, ide-ide demokrasi ada yang sesuai dan selaras
dengan Islam, namun pada tingkat implementatif sering kali nilai-nilai demokrasi
berseberangan dengan ajaran Islam dalam al-Qur'an, Assunnah dan ijtihad para
ulama'
7
PEMBAHASAN
Prinsip-Prinsip Kepemimpinan Islam
Sebagai agama yang sesuai dengan fitrah manusia, Islam memberikan
prinsip-prinsip dasar dan tata nilai dalam mengelola organisasi atau pemerintahan.
Al-qur'an dan As-sunnah dalam permasalahan ini telah mengisyaratkan beberapa
prinsip pokok dan tata nilai yang berkaitan dengan kepemimpinan, kehidupan
bermasyarakat, berorganisasi, bernegara (baca: berpolitik) termasuk di dalamnya
ada system pemerintahan yang nota-benenya merupakan kontrak sosial.
Prinsipprinsip
atau nilai-nilai tersebut antara lain: prinsip Tauhid, As-syura
(bermusyawarah) Al-'adalah (berkeadilan) Hurriyah Ma'a Mas'uliyah (kebebasan
disertai tanggungjawab) Kepastian Hukum, Jaminan Haq al Ibad (HAM) dan lain
sebagainya.
IV. 1. Prinsip Tauhid
Prinsip tauhid merupakan salah satu prinsip dasar dalam kepemimpinan
Islam (baca: pemerintahan Islam). Sebab perbedaan akidah yang fundamental
dapat menjadi pemicu dan pemacu kekacauan suatu umat. oleh sebab itu, Islam
mengajak kearah satu kesatuan akidah diatas dasar yang dapat diterima oleh
semua lapisan masyarakat, yaitu tauhid. Dalam alqur'an sendiri dapat ditemukan
dalam surat An-nisa' 48, Ali imron 64 dan surat al Ikhlas.
IV. 2. Prinsip Musyawarah (Syuro)
usyawarah berarti mempunyai makna mengeluarkan atau mengajukan
pendapat. Dalam menetapkan keputusan yang berkaitan dengan kehidupan
berorganisasi dan bermasyarakat, paling tidak mempunyai tiga cara: 1. keputusan
yang ditetapkan oleh penguasa. 2. kepeutusan yang ditetapkan pandangan
8
minoritas. 3. keputusan yang ditetapkan oleh pandangan mayoritas, ini menjadi ciri
umum dari demokrasi, meski perlu diketahui bahwa "demokrasi tidak identik
dengan syuro" walaupun syuro dalam Islam membenarkan keputusan pendapat
mayoritas, hal itu tidak bersifat mutlak. Sebab keputusan pendapat mayoritas tidak
boleh menindas keputusan minoritas, melainkan tetap harus memberikan ruang
gerak bagi mereka yang minoritas. Lebih dari itu, dalam Islam suara mayoritas
tidak boleh berseberangan dengan prinsip-prinsip dasar syariat. Dalam Al-quran
ada beberapa ayat yang berbicara tentang musyawarah. Pertama: musyawarah
dalam konteks pengambilan keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan
anak-anak, seperti menyapih (berhenti menyusui) anak. Hal ini sebagaimana
terdapat pada surat al-Baqarah ayat 233. "apabila suami-istri ingin menyapih anak
mereka (sebelum dua tahun) atas dasar kerelaan dan musyawarah antar mereka,
maka tidak ada dosa atas keduanya" Kedua: musyawarah dalam konteks
membicarakan persoalan-persoalan tertentu dengan anggota masyarakat,
termasuk didalamnya dalam hal berorganisasi. Hal ini sebagaimana terdapat pada
surat Ali-imron ayat 158. "bermusyawarahlah kamu (Muhammad) dengan mereka
dalam urusan tertentu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad,
bertawakkalah kepada Allah Swt. Sesungguhnya Allah Swt mencintai orang-orang
yang bertawakkal kepada-Nya". meskipun terdapat beberapa Al-qur'an dan
Assunnah
yang menerangkan tentang musyawarah. Hal ini bukan berarti al-Qur'an
telah menggambarkan system pemerintahan secara tegas dan rinci, nampaknya
hal ini memang disengaja oleh Allah untuk memberikan kebebasan sekaligus
medan kreatifitas berfikir hambanya untuk berijtihad menemukan sistem
pemerintahan yang sesuai dengan kondisi sosial-kultural. Sangat mungkin ini
salah satu sikap demokratis tuhan terhadap hamba-hambanya.
IV. 3. Prinsip Keadilan (Al-'adalah)
Dalam memanage pemerintahan, keadilan menjadi suatau keniscayaan,
sebab pemerintah dibentuk antara lain agar tercipta masyarakat yang adil dan
makmur. Tidaklah berlebihan kiranya jika al- Mawardi dalam Al-ahkam Al9
sulthoniyah-Nya memasukkan syarat yang pertama seorang pemimpin negara
adalah punya sifat adil. Dalam al-Qur'an, kata al-'Adl dalam berbagai bentuknya
terulang dua puluh delapan kali. Paling tidak ada empat makna keadilan yang
dikemukakan oleh ulama. pertama: adil dalam arti sama. Artinya tidak
menbedambedakan
satu sama lain. Persamaan yang dimaksud adalah persamaan hak. Ini
dilakukan dalam memutuskan hukum. Sebagaimana dalam al qur'an surat an-Nisa'
58. "apabila kamu memutuskan suatu perkara diantara manusia maka hendaklah
engkau memutuskan dengan adil". kedua: adil dalam arti seimbang. Disini keadilan
identik dengan kesesuaian. Dalam hal ini kesesuaian dan keseimbangan tidak
mengharuskan persamaan kadar yang besar dan kecilnya ditentukan oleh fungsi
yang diharapkan darinya. Ini sesuai dengan al-Qur'an dalam surat al infithar 6-7
dan al Mulk 3. ketiga: adil dalam arti perhatian terhadap hak-hak individu dan
memberikan hak-hak itu kepada pemiliknya. Keempat: keadilan yang dinisbatkan
kepada Allah Swt. Adil disini berarti memelihara kewajaran atas berlanjutnya
eksistensi. Dalam hal ini Allah memiliki hak atas semuanya yang ada sedangkan
semua yang ada, tidak memiliki sesuatau disisinya. Jadi, system pemerintahan
Islam yang ideal adalah system yang mencerminkan keadilan yang meliputi
persamaan hak didepan umum, keseimbangan (keproposionalan) dalam
memanage kekayaan alam misalnya, distribusi pembangunan, adanya balancing
power antara pihak pemerintah dengan rakyatnya.
IV. 4. Prinsip Kebebasan (al-Hurriyah)
Kebebasan dalam pandangan al-Qur'an sangat dijunjung tinggi termasuk
dalam menentukan pilihan agama sekaligus. Namun demikian, kebebasan yang
dituntut oleh Islam adalah kebebasan yang bertanggungjawab. Kebebasan disini
juga kebebasan yang dibatasi oleh kebebasan orang lain. Dalam konteks
kehidupan politik, setiap individu dan bangsa mempunyai hak yang tak terpisahkan
dari kebebasan dalam segala bentuk fisik, budaya, ekonomi dan politik serta
berjuang dengan segala cara asal konstitusional untuk melawan atas semua
bentuk pelanggaran.
10
KESIMPULAN
Syari'at Islam diperuntukkan bagi kemaslahatan hidup di dunia dan di
akhirat. Dan cakupan syari'at Islam meliputi wilayah agama dan negara. syari'at
Islam berlaku umum untuk seluruh umat manusia dan bersifat abadi sampai hari
kiamat. Hukum-hukumnya saling menguatkan dan mengukuhkan satu sama lain,
baik dalam bidang akidah, ibadah, etika maupun mu'amalah, demi mewujudkan
puncak keridlaan Allah Swt, ketenangan hidup, keimanan, kebahagian,
kenyamanan dan keteraturan hidup bahkan memberikan kebahagian dunia secara
keseluruhan. Semua itu dilakukan melalui kesadaran hati nurani, rasa tanggung
jawab atas kewajiban, perasaan selalu dipantau oleh Allah Swt dalam seluruh sisi
kehidupan, baik ketika sendirian maupun di hadapan orang lain, serta dengan
memuliakan hak-hak orang lain. Lebih lanjut lagi, Syari'at Islam merupakan
satusatunya
syariat yang sesuai dengan perkembangan zaman, cocok untuk segala
generasi, dan selaras dengan realitas kehidupan. Dalam prinsip-prinsip syariat
Islam, terdapat kekuatan paripurna yang akan selalu membantu kita dalam
menetapkan hukum yang selalu hidup, tumbuh, dan berkembang bagi kehidupan
manusia dengan beragam latar-belakang budayanya. Syariat Islam yang dinamis
sungguh menjamin rasa keadilan, ketenangan, dan kehidupan yang mulia dan
bersih. Mampu membawa izzul Islam wal muslimin dalam bingkai Negara kesatuan
republik Indonesia yang Baldatun Thoyibatun Wa Robbun Ghofur.
11
PENUTUP
Pemerintah Negara Indonesia dibentuk untuk melindungi segenap bangsa
Indonesia, seluruh tumpah darah Indonesia, untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social.
Namun kenyataanya, kekuatan kapitalisme global dengan bebas mengeruk
kekayaan alam Indonesia, membiarkan rakyatnya termiskinkan, sehingga jurang
antara kaya dan miskin makin menjulang. Dan mayoritas rakyatnya tetap dalam
penderitaan. dengan merasakan penderitaan rakyat, menyimak peringatan Allah
Swt, merenungkan sinyalemen Rasulullah SAW, dan menyaksikan musibah yang
silih berganti, maka tidak ada pilihan lagi selain menjadikan tuntunan Allah Swt
yang maha kuasa (baca: Syari'at Allah) sebagai pedoman dalam mengelola
bangsa dan Negara kesatuan republik Indonesia, dan satu-satunya solusi terhadap
masalah bangsa.
Indonesia yang mayoritas penduduknya umat Islam selalu mendambakan
tampilnya kepemimpinan Islam didalam setiap level kehidupan bermasyarakat dan
bernegara, yang diharapkan mampu untuk memperjuangkan kepentingan umat
Islam dan menjalankan system pemerintahan berdasarkan syari'at Islam secara
kaffah, bukan dengan system demokrasi yang identik dengan kekufuran. Juga
untuk menjaga kemurnian ajaran ahlussunnah wal jama'ah versi wali-songo
sekaligus untuk mengamandemen undang-undang yang bertentangan dengan
syari'at Islam, diganti dengan undang-undang yang sesuai dengan syari'at Islam
yang berpihak dengan kepentingan umat Islam, sehingga tidak ada lagi aset-aset
Negara yang dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing seperti blok Cepu,
12
Freeport, dan lain-lain. Untuk mewujudkan cita-cita luhur itu, diperlukan kesatuan
visi antara umat Islam dan dukungan dari orang-orang yang punya kapabilitas
ketokohan Islam, pondok pesantren, lembaga-lembaga dan organisasi Islam serta
membangun poros Islam yang melibatkan semua partai yang berbasis dan
berazaskan Islam.
TIPS Membangun Kepemimpinan
1. membangun kekuatan pribadi
2. membangun keahlian hidup dalam berkelompok
3. membangun keahlian dalam memimpin kelompok

You might also like