You are on page 1of 16

Penyakit TBC

Penyakit TBC dapat menyerang siapa saja (tua, muda, laki-laki, perempuan, miskin, atau kaya)
dan dimana saja. Setiap tahunnya, Indonesia bertambah dengan seperempat juta kasus baru TBC
dan sekitar 140.000 kematian terjadi setiap tahunnya disebabkan oleh TBC. Bahkan, Indonesia
adalah negara ketiga terbesar dengan masalah TBC di dunia.

Survei prevalensi TBC yang dilakukan di enam propinsi pada tahun 1983-1993 menunjukkan
bahwa prevalensi TBC di Indonesia berkisar antara 0,2 – 0,65%. Sedangkan menurut laporan
Penanggulangan TBC Global yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2004, angka insidensi
TBC pada tahun 2002 mencapai 555.000 kasus (256 kasus/100.000 penduduk), dan 46%
diantaranya diperkirakan merupakan kasus baru.

Penyebab Penyakit TBC

Penyakit TBC adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mikobakterium
tuberkulosa. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga dikenal juga sebagai
Batang Tahan Asam (BTA). Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tanggal
24 Maret 1882, sehingga untuk mengenang jasanya bakteri tersebut diberi nama baksil Koch.
Bahkan, penyakit TBC pada paru-paru kadang disebut sebagai Koch Pulmonum (KP).

Bakteri Mikobakterium tuberkulosa

Cara Penularan Penyakit TBC

Penyakit TBC biasanya menular melalui udara yang tercemar dengan bakteri Mikobakterium
tuberkulosa yang dilepaskan pada saat penderita TBC batuk, dan pada anak-anak sumber infeksi
umumnya berasal dari penderita TBC dewasa. Bakteri ini bila sering masuk dan terkumpul di
dalam paru-paru akan berkembang biak menjadi banyak (terutama pada orang dengan daya tahan
tubuh yang rendah), dan dapat menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening.
Oleh sebab itulah infeksi TBC dapat menginfeksi hampir seluruh organ tubuh seperti: paru-paru,
otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah bening, dan lain-lain, meskipun demikian
organ tubuh yang paling sering terkena yaitu paru-paru.
Saat Mikobakterium tuberkulosa berhasil menginfeksi paru-paru, maka dengan segera akan
tumbuh koloni bakteri yang berbentuk globular (bulat). Biasanya melalui serangkaian reaksi
imunologis bakteri TBC ini akan berusaha dihambat melalui pembentukan dinding di sekeliling
bakteri itu oleh sel-sel paru. Mekanisme pembentukan dinding itu membuat jaringan di
sekitarnya menjadi jaringan parut dan bakteri TBC akan menjadi dormant (istirahat). Bentuk-
bentuk dormant inilah yang sebenarnya terlihat sebagai tuberkel pada pemeriksaan foto rontgen.

Pada sebagian orang dengan sistem imun yang baik, bentuk ini akan tetap dormant sepanjang
hidupnya. Sedangkan pada orang-orang dengan sistem kekebalan tubuh yang kurang, bakteri ini
akan mengalami perkembangbiakan sehingga tuberkel bertambah banyak. Tuberkel yang banyak
ini membentuk sebuah ruang di dalam paru-paru. Ruang inilah yang nantinya menjadi sumber
produksi sputum (dahak). Seseorang yang telah memproduksi sputum dapat diperkirakan sedang
mengalami pertumbuhan tuberkel berlebih dan positif terinfeksi TBC.

Meningkatnya penularan infeksi yang telah dilaporkan saat ini, banyak dihubungkan dengan
beberapa keadaan, antara lain memburuknya kondisi sosial ekonomi, belum optimalnya fasilitas
pelayanan kesehatan masyarakat, meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai tempat
tinggal dan adanya epidemi dari infeksi HIV. Disamping itu daya tahan tubuh yang
lemah/menurun, virulensi dan jumlah kuman merupakan faktor yang memegang peranan penting
dalam terjadinya infeksi TBC.

Gejala Penyakit TBC


Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yang timbul sesuai
dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu khas terutama pada kasus baru,
sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa secara klinik.

Gejala sistemik/umum

 Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari
disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat
hilang timbul.
 Penurunan nafsu makan dan berat badan.
 Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah).
 Perasaan tidak enak (malaise), lemah.

Gejala khusus

 Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian bronkus
(saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang
membesar, akan menimbulkan suara "mengi", suara nafas melemah yang disertai sesak.
 Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan keluhan
sakit dada.
 Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat
dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar
cairan nanah.
 Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai
meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan
kesadaran dan kejang-kejang.

Pada pasien anak yang tidak menimbulkan gejala, TBC dapat terdeteksi kalau diketahui adanya
kontak dengan pasien TBC dewasa. Kira-kira 30-50% anak yang kontak dengan penderita TBC
paru dewasa memberikan hasil uji tuberkulin positif. Pada anak usia 3 bulan – 5 tahun yang
tinggal serumah dengan penderita TBC paru dewasa dengan BTA positif, dilaporkan 30%
terinfeksi berdasarkan pemeriksaan serologi/darah.

Penegakan Diagnosis

Apabila dicurigai seseorang tertular penyakit TBC, maka beberapa hal yang perlu dilakukan
untuk menegakkan diagnosis adalah:

o Anamnesa baik terhadap pasien maupun keluarganya.


o Pemeriksaan fisik.
o Pemeriksaan laboratorium (darah, dahak, cairan otak).
o Pemeriksaan patologi anatomi (PA).
o Rontgen dada (thorax photo).
o Uji tuberkulin.
1. Apakah tanda-tanda bahwa seseorang terkena penyakit TBC?

Tanda-tanda orang yang dicurigai terkena penyakit TBC yaitu secara umum dapat
dilihat dari gejalanya terlebih dahulu yaitu, demam tidak terlalu tinggi yang
berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-
kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul. Penurunan nafsu
makan dan berat badan. Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan
darah). Perasaan tidak enak (malaise), lemah. Dan untuk memberikan kepastian maka
orang tersebut harus diperiksa lebih lanjut, jadi tidak selalu bahwa orang batuk-batuk
lama pasti menderita TBC, harus dipastikan dengan pemeriksaan laboratorium dan
foto rontgen.

Apakah setiap orang yang mengalami batuk berdarah berarti menderita TBC?

Belum tentu, karena batuk berdarah dapat disebabkan oleh berbagai macam sebab, bisa
karena penyakit paru-paru lainnya, karena adanya perdarahan di daerah hidung
bagian belakang yang tertelan dan pada saat batuk keluar dari mulut atau karena anak
batuk terlalu keras sehingga menyebabkan lukanya saluran nafas sehingga
mengeluarkan darah.

TBC menular melalui media apa saja? Dan rata-rata berapa lama gejala timbul
setelah orang terpapar kuman TBC?

Pada umumnya adalah melalui percikan dahak penderita yang keluar saat batuk
(beberapa ahli mengatakan bahwa air ludah juga bisa menjadi media perantara), bisa
juga melalui debu, alat makan/minum yang mengandung kuman TBC. Kuman yang
masuk dalam tubuh akan berkembangbiak, lamanya dari terkumpulnya kuman sampai
timbulnya gejala penyakit dapat berbulan-bulan sampai tahunan.

Apakah kena udara pagi terus menerus dan merokok dapat menyebabkan TBC?

Kena udara pagi terus menerus tidak terlalu bermasalah dalam hal penularan TBC,
sedangkan merokok dapat menurunkan daya tahan dari paru-paru, sehingga relatif
akan mempermudah terkena TBC.

Apakah penyakit TBC itu diwariskan secara genetik?

Penyakit TBC tidak diwariskan secara genetik, karena penyakit TBC bukanlah penyakit
turunan. Hanya karena penularannya adalah melalui percikan dahak yang
mengandung kuman TBC, maka orang yang hidup dekat dengan penderita TBC dapat
tertular.

Mengapa pengobatan TBC memerlukan waktu yang lama?

Karena bakteri TBC dapat hidup berbulan-bulan walaupun sudah terkena antibiotika
(bakteri TBC memiliki daya tahan yang kuat), sehingga pengobatan TBC memerlukan
waktu antara 6 sampai 9 bulan. Walaupun gejala penyakit TBC sudah hilang,
pengobatan tetap harus dilakukan sampai tuntas, karena bakteri TBC sebenarnya masih
berada dalam keadaan aktif dan siap membentuk resistensi terhadap obat. Kombinasi
beberapa obat TBC diperlukan karena untuk menghadapi kuman TBC yang berada
dalam berbagai stadium dan fase pertumbuhan yang cepat.

Bagaimana bila penderita TBC tidak mengkonsumsi obat secara teratur?

Hal ini akan menyebabkan tidak tuntasnya penyembuhan, sehingga dikhawatirkan


akan timbul resistensi bakteri TBC terhadap antibiotika sehingga pengobatan akan
semakin sulit dan mahal.

Bisakah penyakit TBC disembuhkan secara tuntas? Bagaimana caranya?

Penyakit TBC bisa disembuhkan secara tuntas apabila penderita mengikuti anjuran
tenaga kesehatan untuk minum obat secara teratur dan rutin sesuai dengan dosis yang
dianjurkan, serta mengkonsumsi makanan yang bergizi cukup untuk meningkatkan
daya tahan tubuhnya.

Apakah orang yang telah sembuh dari penyakit TBC dapat terjangkit kembali?

Dapat, karena setelah sembuh dari penyakit TBC tidak ada kekebalan seumur hidup.
Jadi bila telah sembuh dari penyakit TBC kemudian tertular kembali oleh kuman TBC,
maka orang tersebut dapat terjangkit kembali.

Apakah flek kecil di paru-paru pada anak balita sudah dapat dikatakan TBC?

Flek kecil di paru-paru balita pada umumnya memang disebabkan oleh TBC. Oleh
karena itu perlu diteliti apakah ada gejala-gejala klinis penyakit TBC atau tidak. Bila
tidak ada berarti pernah tertular penyakit TBC tapi karena daya tahan tubuhnya tinggi
sehingga tidak bergejala. Atau saat ini anak tersebut sudah sembuh dari penyakit TBC
dan hanya meninggalkan bekasnya saja di paru-paru.

Mungkinkah terkena penyakit TBC bila kita hidup di lingkungan yang bersih?
Kemungkinan kita tertular akan tetap ada, karena kita hidup tidak hanya di lingkungan
sekitar rumah kita saja, bisa saja suatu saat kita berada di sekolahan, bioskop, kantor,
bus yang belum tentu terbebas dari kuman TBC. Hidup di lingkungan yang bersih
memang akan memperkecil risiko terjangkit TBC.

Bagaimana efek terhadap janin bila ibu hamil sedang mengidap penyakit TBC?

Biasanya keadaan gizi penderita TBC kurang baik, sehingga hal ini dapat
mempengaruhi perkembangan bagi janin dalam kandungan. Ibu hamil tetap harus
diberikan terapi dengan obat TBC dengan dosis efektif terendah. Obat TBC yang
diminum oleh ibu dapat melewati plasenta dan masuk ke janin dan berdasarkan
beberapa kepustakaan disebutkan tidak memberikan efek yang terlampau berbahaya,
akan tetapi pemantauan ketat pada perkembangan janin harus tetap dilakukan. Setelah
bayi dilahirkan dapat dipisahkan terlebih dahulu dari ibu selama TBC masih aktif.

Bagaimana sikap kita bila di rumah terdapat anggota keluarga yang menderita
penyakit TBC?

Bawa pasien ke dokter untuk mendapatkan pengobatan secara teratur, awasi minum
obat secara ketat dan beri makanan bergizi. Sirkulasi udara dan sinar matahari di
rumah harus baik. Hindarkan kontak dengan percikan batuk penderita, jangan
menggunakan alat-alat makan/minum/mandi bersamaan.

Pola hidup bagaimana yang harus kita miliki agar terhindar dari penyakit TBC?

Pola hidup sehat adalah kuncinya, karena kita tidak tahu kapan kita bisa terpapar dengan kuman
TBC. Dengan pola hidup sehat maka daya tahan tubuh kita diharapkan cukup untuk memberikan
perlindungan, sehingga walaupun kita terpapar dengan kuman TBC tidak akan timbul gejala.
Pola hidup sehat adalah dengan mengkonsumsi makanan yang bergizi, selalu menjaga
kebersihan diri dan lingkungan hidup kita, rumah harus mendapatkan sinar matahari yang cukup
(tidak lembab), dll. Selain itu hindari terkena percikan batuk dari penderita TBC.
Zzzzzzzzzz

Di Indonesia, penyakit TBC memang masih menjadi momok. Maklum saja, karena negara kita
tercinta ini termasuk daerah endemis TBC.   Anak kurus, susah/tidak mau makan, berat badan
seret naik atau malah tidak naik-naik, acapkali dicurigai mengidap TBC.  Orangtua mana sih,
yang tidak gelisah ketika berat badan anaknya yang masih batita, stagnan di kilogram tertentu. 

Dapat dimaklumi kalau orangtua sangat menaruh perhatian (malah kadang berlebihan) pada hal
yang satu ini, karena kenaikan berat badan merupakan salah satu indikator tumbuh kembang
anak, utamanya balita.  Tetapi penyebab mandeknya kenaikan berat badan anak bukan monopoli
TBC, lho!  Ada banyak penyakit selain TBC, yang menyebabkan berat badan anak terganggu.

Sedihnya, masih banyak anak di republik ini yang ’didiagnosis’ sakit TBC padahal penyakit
sebenarnya bukan itu.  Akibatnya, anak jadi memperoleh pengobatan yang salah.  Tentu kita
tidak mau dong, hal itu terjadi pada si kecil.  Karena itu, ngga ada salahnya orangtua belajar
untuk mengenal serba-serbi penyakit ini.  Bukan untuk berlagak atau sok-sokan menjadi dokter,
lho...... Tetapi menambah pengetahuan merupakan salah satu upaya untuk menjaga kesehatan
diri dan keluarga. 

What is TBC?
Tuberculosis – yang disingkat TBC atau TB - adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis.  Umumnya TB menyerang paru-paru, sehingga disebut dengan
Pulmonary TB.  Tetapi kuman TB juga bisa menyebar ke bagian/organ lain dalam tubuh, dan TB
jenis ini lebih berbahaya dari pulmonary TB.  Bila kuman TB menyerang otak dan sistem saraf
pusat, akan menyebabkan meningeal TB.  Bila (kuman TB) menginfeksi hampir seluruh organ
tubuh, seperti ginjal, jantung, saluran kencing, tulang, sendi, otot, usus, kulit, disebut miliary TB
atau extrapulmonary TB.
Kuman TB berbentuk batang dan memiliki sifat khusus, yaitu tahan terhadap asam pada
pewarnaan, sehingga sering disebut juga sebagai Basil/bakteri Tahan Asam (BTA).  Bakteri TB
akan cepat mati bila terkena sinar matahari langsung. Tetapi dalam tempat yang lembab, gelap,
dan pada suhu kamar, kuman dapat bertahan hidup selama beberapa jam.  Dalam tubuh, kuman
ini dapat tertidur lama (dorman) selama beberapa tahun.

Bagaimana TB Menular?
Bakteri TB menyebar bila orang dewasa penderita TB aktif yang tidak tertangani dengan baik
(baca: memperoleh pengobatan), bersin atau batuk sehingga mengeluarkan sputum droplet
(percikan dahak) yang mengandung kuman TB.  Bila kuman terhirup oleh orang dewasa lain,
anak atau bayi yang sehat, menyebabkan mereka terinfeksi M. tuberculosis.  Secara umum,
hanya TBC paru-paru (pulmonary TB) yang menular.  Namun orang yang tertular tidak selalu
akan sakit TBC paru-paru juga, tergantung bagian tubuh (organ) mana yang diserang oleh bakteri
TB.  Selain dari droplet dahak penderita TBC aktif, kuman TB juga dapat masuk ke tubuh
manusia dari susu sapi murni yang tidak diolah (dimasak) dengan sempurna.
Meskipun menular, tetapi orang tertular tuberculosis tidak semudah tertular flu.  Penularan
penyakit ini memerlukan waktu pemaparan yang cukup lama dan intensif dengan sumber
penyakit (penular).  Menurut Mayoclinic, seseorang yang kesehatan fisiknya baik, memerlukan
kontak dengan penderita TB aktif setidaknya 8 jam sehari selama 6 bulan, untuk dapat
terinfeksi.  Sementara masa inkubasi TB sendiri, yaitu waktu yang diperlukan dari mula
terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan.

Tidak semua orang yang terinfeksi bakteri TB, lalu menjadi sakit TB.  Menurut TB/HIV Clinical
Manual hanya sekitar 10% dari yang terinfeksi, berlanjut menjadi penderita TB (TB aktif). 
Kelompok yang paling rawan terinfeksi bakteri TB adalah bayi dan anak usia kurang dari 1
tahun.  Setelah itu, tingkat kerawanannya menurun.  Bahkan pada kisaran usia 5-9 tahun, anak-
anak memiliki tingkat resiko terinfeksi yang paling rendah. Usia 10 tahun ke atas, tingkat
kerawanan infeksi itu kemudian akan meningkat kembali, meskipun tidak setinggi kelompok
usia 0-1 tahun.

Anak-anak yang sakit TBC tidak dapat menularkan kuman TB ke anak lain atau ke orang
dewasa.  Sebab, pada anak biasanya TB bersifat tertutup.  Kalaupun ada sekresi dahak,
konsentrasi atau jumlah bakteri dalam droplet cenderung sedikit.  Jadi kalau ada anak yang
terinfeksi TBC, sudah pasti sumber penularnya adalah orang dewasa yang ’dekat’ dengannya. 

Orang dewasa penderita TB aktif yang telah menjalani pengobatan selama 2 minggu juga sudah
aman.  Dalam arti, ia sudah tidak menularkan kuman TB lagi.  Meski demikian, yang
bersangkutan tetap harus meneruskan terapi obatnya hingga selesai, untuk menghindari MDR
(multi-drugs resistant) TB atau kuman TB yang resisten terhadap obat anti TB.

Bagaimana Mendiagnosa TB Pada Anak ?


Sesungguhnya mendiagnosa tuberculosis pada anak, terlebih pada anak-anak yang masih sangat
kecil, sangat sulit.  Diagnosa tepat TBC tak lain dan tak bukan adalah dengan menemukan
adanya Mycobacterium tuberculosis yang hidup dan aktif dalam tubuh suspect TB atau orang
yang diduga TBC.  Caranya? Yang paling mudah adalah dengan melakukan tes dahak.  Pada
orang dewasa, hal ini tak sulit dilakukan.  Tapi lain ceritanya, pada anak-anak karena mereka,
apalagi yang masih usia balita, belum mampu mengeluarkan dahak.  Karenanya, diperlukan
alternatif lain untuk mendiagnosa TB pada anak.

Kesulitan lainnya, tanda-tanda dan gejala TB pada anak seringkali tidak spesifik (khas).  Cukup
banyak anak yang overdiagnosed sebagai pengidap TB, padahal sebenarnya tidak.  Atau
underdiagnosed, maksudnya terinfeksi atau malah sakit TB tetapi tidak terdeteksi sehingga tidak
memperoleh penanganan yang tepat.  Diagnosa TBC pada anak tidak dapat ditegakkan hanya
dengan 1 atau 2 tes saja, melainkan harus komprehensif. 

dr. Davide Manissero dari WHO Indonesia (pada seminar PESAT 5 Jakarta, 4 Maret 2006)
mengibaratkan diagnosa TBC itu bagaikan menggambar sekuntum bunga.  Penyakit TBC
diibaratkan sebagai putik bunga, sementara 4 mahkota bunga yang melingkupi putik adalah
riwayat kontak/pemaparan dengan penderita TB aktif, gejala, tes Mantoux (uji Tuberkulin), dan
foto rontgen.  Kemudian, jika memungkinkan dilakukan uji bakteriologi (yang dilambangkan
sebagai tangkai bunga) untuk menemukan ’biang keladinya’ alias kuman TBC. 

Menurut dr. Bambang Supriyatno, SpAK dalam seminar Tuberculosis (24 Juni 2006), untuk
memastikan apakah anak benar sakit TBC, dokter memerlukan satu alat diagnostik gabungan,
yaitu sistem pembobotan (scoring).  Ikatan Dokter Anak Indonesia telah mengeluarkan standar
untuk sistem scoring ini.  Memang hanya dokter yang berwenang untuk melakukan pembobotan
(scoring).  Namun demi kepentingan anak, sebaiknya orangtua juga proaktif berdiskusi dengan
sang dokter dan membekali diri dengan pengetahuan tentang penyakit ini.

1.  Riwayat Kontak atau Pemaparan


Penyakit TBC adalah penyakit infeksi.  Artinya, pasti ada sumber penularnya.  Karena penularan
TB memerlukan waktu pemaparan (exposure) yang cukup lama, maka apabila anak menderita
TBC pastilah ’sumbernya’ adalah orang yang sehari-hari dekat dengannya.  Entah itu ayah, ibu,
kakek, nenek, pengasuh, atau orang lain yang tinggal satu rumah dengan anak dalam waktu yang
cukup lama.  Maka dari itu, ketika seorang anak/bayi diduga menderita TB, semua orang yang
sehari-hari dekat dengan si kecil harus dipastikan mengidap TBC atau tidak.

Tingginya prevalensi (angka kejadian) TBC di Indonesia, menyebabkan uji Tuberkulin


(Mantoux test) tak lagi efektif untuk mendiagnosa TBC pada orang dewasa karena sebagian
besar orang dewasa yang tinggal dan hidup di sini sudah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis. 
Pada orang dewasa, diagnosis TB dapat dilakukan melalui uji dahak (sputum test) dan foto
rontgen paru-paru.  Uji dahak dilakukan untuk mengetahui keberadaan BTA dalam dahak.
Tempat yang tepat (dan murah) untuk melakukan uji ini adalah Puskesmas.  Foto rontgen paru-
paru dari orang dewasa yang mengidap TB aktif, memberikan gambaran yang sangat khas. 
Walaupun anak tak tampak sakit tapi bila terbukti ada orang dewasa (yang dekat dengan anak)
yang sakit TBC, maka orangtua ’harus’ curiga anak terinfeksi TB dan membawanya ke
dokter/RS/puskesmas agar anak mendapatkan penanganan yang tepat, untuk mencegahnya
menjadi sakit TB.  

Oleh sebab itu, sebelum mempekerjakan orang di rumah (pembantu rumah tangga, pengasuh
anak, supir keluarga), sebaiknya orangtua memastikan lebih dulu kondisi kesehatan orang-orang
tersebut.  Karena mereka lah yang lebih banyak berada di sekitar anak, apalagi bila kedua
orangtua (ayah dan ibu) bekerja penuh waktu.

2.  Gejala
Tuberculosis pada anak-anak seringkali tidak menimbulkan gejala khusus.  Gejala utama TB
pada orang dewasa adalah batuk berdahak yang terus menerus selama 3 minggu atau lebih. 
Sayangnya, pada anak-anak, umumnya batuk lama bukan gejala utama TB.  Batuk lama, juga
bisa manifestasi dari alergi. 

Menurut Pedoman Nasional Tuberkulosis (2002), gejala umum TB pada anak-anak adalah
sebagai berikut :
 Berat badan turun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas dan tidak naik
dalam 1 bulan meskipun  sudah dengan penanganan gizi yang baik.
 Nafsu makan tidak ada (anorexia) dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak naik
(failure to thrive) dengan adekuat.
 Demam lama/berulang tanpa sebab yang jelas,  setelah disingkirkan kemungkinan
penyebab lainnya (bukan tifus, malaria atau infeksi saluran nafas akut). Dapat juga
disertai keringat malam.
 Pembesaran kelenjar getah bening yang tidak sakit, di leher, ketiak dan lipatan paha.
 Gejala –gejala dari saluran nafas, misalnya batuk lama lebih dari 30 hari (setelah
disingkirkan sebab lain dari batuk), nyeri dada ketika bernafas atau batuk.

Apabila bakteri TB menyebar ke organ-organ tubuh yang lain, gejala yang ditimbulkan akan
berbeda-beda.  Misalnya;

 Kaku kuduk, muntah-muntah, dan kehilangan kesadaran pada TBC otak & saraf
(meningitis TB)
 Gibbus, pembengkakan tulang pinggul, lutut, kaki dan tangan, pada TBC tulang & sendi

Namun harus dicermati pula bahwa gejala-gejala di atas bukan monopoli TBC, karena banyak
juga jenis penyakit lain yang menimbulkan gejala serupa.  Meski begitu, bila anak mengalami
gejala-gejala seperti tersebut di atas, sah-sah saja bila orangtua curiga.  Tetapi kecurigaan ini
harus dimanisfestasikan secara rasional, dengan cara memastikan dengan sebenar-benarnya
apakah anak mengidap TBC atau tidak.  Terlebih bila ada orang dewasa (yang sehari-hari
bergaul dekat dengan anak) yang sakit TBC, maka orangtua ’wajib’ memeriksakan kondisi
kesehatan anak.

Berat badan tidak naik-naik misalnya, juga bisa disebabkan oleh banyak penyakit selain TBC. 
Antara lain gangguan pencernaan, infeksi saluran kemih (ISK), penyakit jantung bawaan (PJB),
refluks, gangguan tiroid, atau lainnya.  Karena itu, sebelum terburu-buru menduga anak
mengidap TB, pastikan terlebih dahulu kemungkinan penyakit lain.  Dibarengi dengan upaya
perbaikan gizi selama 1 bulan.  Bila setelah itu berat badan anak meningkat, berarti kemungkinan
anak tidak mengidap TB.  Namun apabila setelah upaya tersebut, berat badan anak tidak
meningkat atau malah semakin turun dan terbukti tidak disebabkan oleh penyakit lain, maka
orangtua ’wajib’ untuk curiga.

Juga harus dibedakan antara susah makan dengan kehilangan nafsu makan.  Memang ada
masanya dimana anak jadi susah makan, dan itu normal.  Tetapi bila tiba-tiba anak sampai tidak
mau makan sama sekali (anorexia) dan hal itu berlangsung lama, atau bahkan makin memburuk,
maka orangtua harus ’khawatir’.  Anak-anak usia balita juga seringkali mengalami
pembengkakan kelenjar getah bening di bagian belakang telinga.  Karena hal itu menunjukkan
sistem imun tubuhnya sedang ’dilatih’ menghadapi serangan mikroorganisme.  Orangtua baru
harus khawatir bila pembengkakan terjadi di leher (bukan bagian belakang telinga), ketiak dan
paha, dan bengkaknya berukuran besar (diameternya lebih dari 1 cm).

Batuk lama. Orangtua harus benar-benar memastikan, apakah batuk anak berlangsung dalam
waktu lama (tanpa jeda) ataukah berulang?  Sebab, menurut dr. Bambang Supriyatno, SpAK
dalam seminar Tuberkulosis (24 Juni 2006), jika anak menderita batuk berulang, maka orangtua
harus ’mencurigai’ penyakit lain; seperti asma, atau sinusitis untuk anak usia di atas 5 tahun. 
Begitu pula dengan demam.  Demam yang perlu dicurigai TB adalah demam tingkat rendah atau
sumeng yang berlangsung lebih dari 2 minggu dan bukan disebabkan oleh tifus, ISK, malaria
atau penyakit lain selain TBC.

Selain gejala-gejala tersebut di atas, orangtua juga harus mengamati perilaku sehari-hari anak. 
Anak-anak cenderung belum bisa menceritakan dengan jelas apa yang mereka rasakan.  Rasa
tidak enak badan, sakit, atau ketidaknyamanan yang mereka rasakan, cenderung
dimanifestasikan melalui perubahan sikap, misalnya tiba-tiba rewel terus menerus, menjadi
cengeng atau gampang marah.

3.  Tes Mantoux atau Uji Tuberkulin


Karena tanda-tanda dan gejala TB pada anak sangat sulit dideteksi, satu-satunya cara untuk
memastikan anak terinfeksi oleh kuman TB, adalah melalui uji Tuberkulin (tes Mantoux). Tes
Mantoux ini hanya menunjukkan apakah seseorang terinfeksi Mycobacterium tuberculosis atau
tidak, dan sama sekali bukan untuk menegakkan diagnosa atas penyakit TB.  Sebab, tidak semua
orang yang terinfeksi kuman TB lalu menjadi sakit TB. 

Sistem imun tubuh mulai menyerang bakteri TB, kira-kira 2-8 minggu setelah terinfeksi.  Pada
kurun waktu inilah tes Mantoux mulai bereaksi.  Ketika pada saat terinfeksi daya tahan tubuh
orang tersebut sangat baik, bakteri akan mati dan tidak ada lagi infeksi dalam tubuh.  Namun
pada orang lain, yang terjadi adalah bakteri tidak aktif tetapi bertahan lama di dalam tubuh dan
sama sekali tidak menimbulkan gejala.  Atau pada orang lainnya lagi, bakteri tetap aktif dan
orang tersebut menjadi sakit TB.

Uji ini dilakukan dengan cara menyuntikkan sejumlah kecil (0,1 ml) kuman TBC, yang telah
dimatikan dan dimurnikan, ke dalam lapisan atas (lapisan dermis) kulit pada lengan bawah. 
Lalu, 48 sampai 72 jam kemudian, tenaga medis harus melihat hasilnya untuk diukur.  Yang
diukur adalah indurasi (tonjolan keras tapi tidak sakit) yang terbentuk, bukan warna
kemerahannya (erythema).  Ukuran dinyatakan dalam milimeter, bukan centimeter.  Bahkan bila
ternyata tidak ada indurasi, hasil tetap harus ditulis sebagai 0 mm.

Secara umum, hasil tes Mantoux ini dinyatakan positif bila diameter indurasi berukuran sama
dengan atau lebih dari 10 mm.  Namun, untuk bayi dan anak sampai usia 2 tahun yang tanpa
faktor resiko TB, dikatakan positif bila indurasinya berdiameter 15 mm atau lebih.  Hal ini
dikarenakan pengaruh vaksin BCG yang diperolehnya ketika baru lahir, masih kuat. 
Pengecualian lainnya adalah, untuk anak dengan gizi buruk atau anak dengan HIV, sudah
dianggap positif bila diameter indurasinya 5 mm atau lebih.
Namun tes Mantoux ini dapat memberikan hasil yang negatif palsu (anergi), artinya hasil negatif 
padahal sesungguhnya terinfeksi kuman TB.  Anergi dapat terjadi apabila anak mengalami
malnutrisi berat atau gizi buruk (gizi kurang tidak menyebabkan anergi), sistem imun tubuhnya
sedang sangat menurun akibat mengkonsumsi obat-obat tertentu, baru saja divaksinasi dengan
virus hidup, sedang terkena infeksi virus, baru saja terinfeksi bakteri TB, tata laksana tes
Mantoux yang kurang benar.  Apabila dicurigai terjadi anergi, maka tes harus diulang.
4.  Foto Rontgen
Untuk memperkuat diagnosis, diperlukan foto rontgen paru-paru.  Tapi masalahnya, gambar
rontgen dari TBC paru pada anak umumnya tidak khas sehingga menyulitkan interpretasi foto. 
Diperlukan orang yang benar-benar ahli, untuk menghindari terjadinya overdiagnosis atau
underdiagnosis.
Pada orang dewasa, kuman TBC membangun sarangnya pada paru-paru bagian atas, sehingga
pada gambar rontgennya akan terlihat adanya infiltrat pada daerah tersebut.  Sedangkan pada
anak-anak, kuman TB membangun sarang di kelenjar getah bening yang lokasinya berdekatan
dengan jantung.  Jika hanya difoto dari depan akan sulit melihat adanya infiltrat, karena terutup
oleh bayangan jantung.  Oleh karena itu, untuk memperkuat diagnosis, foto rontgen juga harus
dilakukan dari arah samping. 

Dengan begitu, gambaran paru-paru tidak ’diganggu’ oleh bayangan jantung. Tetapi, lagi-lagi
keberadaan infiltrat bukan mutlak menunjukkan anak mengidap TBC.  Anak yang sedang batuk
dengan dahak yang banyak, meski tidak mengidap TB bila difoto rontgen dadanya, bisa
memberikan gambaran infiltrat.  Oleh karenanya, foto rontgen harus dilakukan pada saat anak
dalam kondisi terbaik.  Paling baik memang setelah anak sembuh dari batuknya.  Bila tidak
memungkinkan, pilih waktu ketika batuknya minimal.  Sekali lagi, foto rontgen saja tidak dapat
digunakan sebagai alat untuk mendiagnosis TBC.

5.  Uji Bakteriologi


Uji bakteriologi yang umum dilakukan adalah melalui pemeriksaan sampel dahak (tes dahak atau
sputum test).  Bila ditemukan adanya bakteri TB di dalam 2 sampel dari 3 sampel dahak
seseorang, berarti orang tersebut dikatakan positif mengidap TBC paru aktif.  Pendambilan
sampel dilakukan secara SPS, maksudnya Sewaktu kunjungan pertama, esok Paginya, dan
Sewaktu kunjungan berikut (kedua).  Selain diperiksa melalui mikroskop, sampel dahak juga
dapat diperiksa dengan cara dibiakkan dalam medium tertentu (tes kultur dahak).  Tetapi tes ini
memakan waktu yang lama, sementara tes dahak yang biasa hanya memakan waktu beberapa
jam saja untuk mendapatkan hasilnya.

Namun tes dahak sangat sulit dilakukan pada anak-anak, karena mereka cenderung menelan
dahaknya.  Kalaupun ingin melakukan pemeriksaan mikroskopis BTA pada anak, caranya
dengan menggunakan bilasan lambung anak.  Tetapi cara ini dinilai menyakitkan bagi anak,
sehingga tidak digunakan untuk deteksi dini.  Bagi anak yang sudah mampu mengeluarkan
dahaknya, maka tes dahak menjadi satu keharusan.

6.  Tes Darah


Biasanya, parameter yang diuji pada pemeriksaan darah adalah LED (laju endap darah) dan
kadar limfosit.  Tetapi keduanya ini nilai diagnostiknya bahkan lebih rendah daripada foto
rontgen, sehingga hanya dapat digunakan sebagai data pendukung.  Nilai LED dan limfosit yang
tinggi (di atas kadar normal) hanya menunjukkan terjadinya infeksi di dalam tubuh.  Akan tetapi,
semua jenis infeksi juga dapat meningkatkan nilai LED dan limfosit dalam darah.

Pengobatan TBC
Bila anak positif sakit TBC, maka harus diobati sampai benar-benar sembuh.  Kombinasi obat
anti TBC (OAT) untuk anak adalah Isoniasid (INH), Rifampisin, dan Pirazinamid.  Ketiga obat
tersebut diberikan selama 2 bulan pertama, lalu setelah itu, yaitu mulai bukan ketiga sampai
keenam (4 bulan berikutnya) hanya diberikan kombinasi INH dan Rifampisin.  Untuk bisa
sembuh, anak (dan orang dewasa) penderita TB harus mengkonsumsi OAT secara teratur, setiap
hari, dan dalam jangka waktu lama.  Bakteri TB ini ’mati’ secara sangat perlahan.  Butuh waktu
minimal 6 bulan untuk ’membunuh’ semua bakteri Tb dalam tubuh.  Setelah mengkonsumsi
OAT selama 2 minggu, anak mungkin akan merasa lebih baik dan tampak sehat.  Tetapi ia tetap
harus mengonsumsi OAT sampai selesai masa pengobatannya, karena pada saat itu belum semua
bakteri TB mati.

Pada anak, lamanya pengobatan TB ini tergantung dari jenis TB yang diderita.  Untuk TB paru-
paru (pulmonary TB), lama pengobatan cukup 6 bulan saja.  Alasannya, kuman TB yang ’hidup’
dalam tubuh anak penderita TB aktif, jumlahnya jauh lebih sedikit daripada kuman yang ada
dalam orang dewasa penderita TB aktif.  Kenapa bisa begitu? Ini adalah berkat ’perlindungan’
dari imunisasi BCG.  Sisa kuman yang masih ada setelah terapi pengobatan selesai, sudah tidak
dapat berkembang biak lagi sehingga tidak berbahaya.  Namun, untuk jenis TB yang lebih berat,
yakni meningeal TB dan miliary TB, lamanya pengobatan setidaknya 9 bulan.

Bagaimana bila anak melewatkan dosis OAT-nya? Menurut dr. Davide dari WHO Indonesia
pada seminar PESAT 5 (4 Maret 2006), apabila anak penderita TBC aktif melewatkan dosis
OAT sampai maksimal 7 dosis (berarti 1 minggu), ia tidak perlu mengulang dari awal lagi,
cukup meneruskan saja sisa masa terapinya.  Karena jumlah kuman TB dalam tubuh anak jauh
lebih sedikit daripada yang ada dalam tubuh orang dewasa, sehingga resistensi kuman juga
menjadi jauh lebih rendah.  Tetapi bila lewat lebih dari 1 minggu dan atau hal itu terjadi
berulangkali, orangtua harus segera berkonsultasi dengan petugas kesehatan (dokter) yang
berwenang.

Efek Samping OAT


Ketiga obat anti TBC tersebut sebenarnya bersifat racun bagi hati, apalagi karena harus
dikonsumsi dalam jangka panjang.  Oleh karena, setelah selesai masa pengobatan, biasanya
dokter memeriksa fungsi kerja hati (SGOT/SGPT).  Isoniazid atau INH juga dapat menimbulkan
reaksi negatif berupa kesemutan, nyeri otot, bahkan gangguan kesadaran.  Untuk mengurangi
efek tersebut, diberikan suplemen vitamin B6 (piridoxin) selama masa pengobatan.

Obat anti TBC untuk orang dewasa, selain INH, Rifampisin dan Pirazinamid, juga ada satu jenis
obat lagi yaitu etambutol. Tetapi, jenis obat yang satu ini tidak diberikan untuk anak-anak yang
’hanya’ sakit TB paru-paru.  Karena efek samping etambutol pada anak berusia kurang dari 8
tahun adalah buta warna dan/atau pandangan terbatas (seperti memakai kacamata kuda).  Meski
demikian, pada anak dengan kasus sakit TB yang berat (TB meningitis atau milier), ’terpaksa’
harus menggunakan etambutol, dengan catatan dosisnya harus tepat.

Mengingat demikian beratnya efek samping OAT, sudah seharusnya bila orangtua benar-benar
memastikan apakah anak sakit TB atau tidak.  TB/HIV Clinical Manual yang diterbitkan oleh
WHO menyebutkan bahwa inisiasi (pemulaian) pengobatan TBC pada anak merupakan proses
aktif.  Apabila secara umum anak tidak tampak ’sakit’, tak perlu terburu-buru untuk
memulainya! Alih-alih demikian, sebaiknya orangtua bersama-sama dengan dokter yang
menangani anak, melakukan pengamatan yang lebih mendalam lagi tentang kondisi anak.  Ini
karena kerja TBC pada anak tidak sama seperti TBC pada orang dewasa.  Jumlah kuman TBC
yang ada dalam tubuh anak jauh lebih sedikit dari jumlah yang ada dalam tubuh orang dewasa,
dengan sendirinya perkembangan penyakit itu juga lebih lambat pada anak.  Tapi lain ceritanya,
bila kondisi anak terlihat parah – sampai tidak dapat bangun, misalnya – atau usia anak masih
sangat muda (di bawah 1 tahun).  Pada kondisi-kondisi tersebut, pengobatan mau tidak mau
harus segera dimulai.

TB Laten.  Apakah Itu?


Istilah laten TB atau TB laten ini sering kita temui di internet.  Sesungguhnya, yang dimaksud
dengan TB laten adalah orang yang terinfeksi bakteri TB tetapi tidak menjadi sakit TB
(mengidap TB aktif).  Dengan kata lain TB laten adalah infeksi TB.  Dikatakan laten karena
kuman TB tidak aktif tetapi juga tidak mati, melainkan tidur lama (dorman).  TB pada kondisi ini
tidak menular.

Orang dengan infeksi ini, tidak menunjukkan gejala-gejala TB dan sama sekali tidak merasa
sakit.  Bahkan foto rontgen paru-parunya normal dan bila dites dahaknya pun akan negatif. 
Keberadaan TB laten atau infeksi TB ini hanya bisa dideteksi melalui uji tuberkulin atau
pemeriksaan darah khusus TB.
Karena sistem imun tubuhnya memang belum sempurna, maka anak-anak balita adalah
kelompok yang paling rentan terinfeksi kuman TB.  Tetapi berkat vaksin BCG yang diberikan
segera setelah bayi lahir, membuat anak tidak berkembang menjadi sakit TB.  Anak yang
terinfeksi TB ini ibarat bom waktu, yang akan ’meledak’ sewaktu-waktu bila kondisinya tepat. 
Yang dimaksud dengan kondisi yang tepat adalah pada saat daya tahan tubuh anak sedang
menurun karena sedang sakit berat (karena penyakit lain), atau bisa juga penyakit TBC-nya
muncul setelah si anak tumbuh dewasa atau berusia lanjut. 

Karenanya, apabila anak positif terinfeksi TB, walaupun tidak berkembang menjadi sakit TB,
tetap perlu diberi pengobatan pencegahan (profilaksis).  Jumlah bakteri TB dalam infeksi TB
lebih sedikit dari TB aktif, sehingga penanganannya pun lebih mudah, cukup dengan satu jenis
obat saja, yaitu INH (isoniazid).  Lama pengobatan pencegahan ini, menurut Pedoman Nasional
Tuberkulosis, berlangsung selama 6 bulan saja, tidak lebih!  Akan tetapi, profilaksis hanya
efektif bila anak berusia < 5 tahun. Pengobatan pencegahan TBC untuk orang dewasa yang
tinggal di Indonesia, sama sekali tidak efektif alias percuma.  Mengapa demikian? Karena negara
Indonesia ini bisa dibaratkan sebagai reservoir besar kuman TB, sehingga bisa dikatakan
sebagian besar orang dewasa di Indonesia sudah terinfeksi kuman TB.

Pencegahan Tuberculosis
Karena sumber penularan TB adalah orang-orang dewasa yang sehari-hari dekat dengan anak,
maka mereka lah yang harus ditangani dengan baik dan benar.  Jika orangtua mencurigai dirinya
atau anggota keluarga (yang serumah) lain memiliki gejala-gejala TBC, segera periksakan ke
dokter untuk memastikan apakah menderita TBC aktif atau tidak.  Jika ternyata ada yang positif
mengidap TBC aktif, tentunya anak harus diberi profilaksis INH, dan  orang-orang lain yang
tinggal serumah juga harus segera diperiksa kondisi kesehatannya.  Sedangkan orang yang
positif mengidap TBC aktif harus dipastikan mengkonsumsi OAT-nya secara teratur sampai
masa pengobatannya selesai.  Akan lebih baik apabila screening ini dilakukan sebelum bayi lahir
atau bahkan sebelum ibu hamil.

Imunisasi dengan vaksin BCG sangat penting untuk mengendalikan penyebaran penyakit TBC. 
Vaksin ini akan memberi tubuh kekebalan aktif terhadap penyakit TBC.  Vaksin ini hanya perlu
diberikan sekali seumur hidup, karena pemberian lebih dari sekali pun tidak berpengaruh.  Tetapi
imunisasi BCG juga tidak sepenuhnya dapat melindungi manusia dari serangan TBC.  Tingkat
efektivitas vaksin BCG memang ’hanya’  70-80 %.  Beberapa negara maju menetapkan
kebijakan tidak perlu imunisasi BCG, cukup mengawasi dengan ketat kelompok yang beresiko
tinggi.  Tetapi untuk Indonesia, vaksin ini masih sangat dibutuhkan, mengingat posisi Indonesia
yang no 3 di dunia sebagai negara dengan jumlah penderita TBC terbanyak.

Vaksin BCG akan sangat efektif bila diberikan segera setelah lahir atau paling lambat 2 bulan
setelah lahir (dengan catatan selama itu bayi tidak kontak dengan pengidap TB aktif).  Meskipun
BCG tidak dapat 100% mencegah TBC paru-paru, tetapi pemberian vaksin ini akan melindungi
anak dari bentuk-bentuk TBC yang lebih ganas (meningeal TB dan miliary TB).  Anak yang
sudah diimunisasi BCG, lalu terinfeksi kuman TB, umumnya tidak berkembang menjadi sakit. 
Kalaupun sampai berkembang menjadi TB aktif, biasanya perkembangbiakan kuman akan
terlokalisir di paru-paru saja (pulmonary TB). Selain imunisasi, orangtua juga harus
memperhatikan asupan gizi anak.  Asupan gizi yang baik ditambah imunisasi BCG, diharapkan
cukup ampuh menangkal serangan bakteri TB.  Kalaupun anak sampai terinfeksi, dampaknya
akan lebih ringan.  (EG-index)

Daftar Kepustakaan :

 Konsultasi dengan dr. Purnamawati S. Pujiarto, SpAK, MMPed dalam Cyberwoman


tanggal 22 Februari 2005
 Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberculosis.  2002.  Departemen Kesehatan RI.
 Tuberculosis dalam www.infeksi.com
 Tuberculosis dalam www.mayoclinic.com , www.aap.org
 Tuberculosis dalam www.cdc.gov
 Latent TB Infection dalam www.cdc.com
 Tuberkulin Skin Testing dalam www.cdc.gov
 TBC Anak oleh dr. Davide Manissero (WHO Indonesia).  Materi Seminar Program
Edukasi Orangtua Sehat ke-5, 4 Maret 2006.  Jakarta
 Tuberculosis oleh Gendi Jatikusumah.  Materi Seminar Program Edukasi Orangtua Sehat
ke-5 pada tanggal 4 Maret 2006.  Jakarta.
 ”Flek Paru yang Mengecoh” dalam Intisari Edisi April 2005.
 Tuberkulosis Anak oleh dr. Bambang Supriyatno, SpAK.  Makalah Seminar Tuberkulosis
24 Juni 2006. Jakarta.
 TBC di Indonesia oleh dr. Carmelia Basri.  Makalah Seminar Tuberkulosis 24 Juni 2006. 
Jakarta

You might also like