Professional Documents
Culture Documents
Pengendaliannya
Istilah “perkebunan” atau estate sudah lama dikenal di Indonesia. Pada tahun
1938 terdapat 243 perkebunan besar di Indonesia. Berdasarkan fungsinya perkebunan
merupakan usaha untuk menciptakan lapangan kerja, peningkatan pendapatan dan
devisa negara, dan pemeliharaan kelestarian sumber daya alam. Perkebunan
berdasarkan pengelolaannya dibagi menjadi perkebunan rakyat, perkebunan besar,
perkebunan inti rakyat, dan unit pelaksana proyek.
Tahapan prosedur pengelolaan gulma di perkebunan dimulai dengan identifikasi
masalah, pemilihan cara pengendalian dan implementasinya. Jika terjadi kesalahan
dalam pemilihan ncara atau implementasi pengendalian, maka diperlukan umpan balik
(Gambar 9.1). Masalah gulma di perkebunan timbul sejak land clearing sampai
dengan tanaman menghasilkan (Gambar 9.2). Untuk itu perlu pengelolaan secara
efisien dan bijaksana. Dampak negatif yang ditimbulkan gulma antara lain persaingan
sarana tumbuh, mengganggu operasional di lapangan, sumber hama dan penyakit
tumbuhan, sekresi zat-zat alelopati, serta penurunan nilai estetika. Semua kerugian
tersebut dapat menurunkan produksi pertanian.
Identifikasi Masalah
Implementasi Pengendalian
Perencanaan Pengelolaan
Gulma Jangka Panjang
Gambar 9.1 Empat Tahapan Prosedur Pengelolaan Gulma
Pemetaan (Bloking)
Pengajiran
Tanam
TBM
Panen TM
Klasifikasi Gulma
Berdasarkan tingkat bahayanya gulma diklasifikasikan secara teknis sebagai berikut :
1. Kelas A : Gulma sangat berbahaya (noxious weed)
2. Kelas B : Gulma berbahaya
3. Kelas C : Gulma yang kurang kompetitif dan dapat ditolerir, akan tetapi
memerlukan pengendalian yang teratur. Bisa bermanfaat untuk
mencegah erosi
Gambar 9.7 Contoh Mekanisme Pembukaan Lahan yang Diinvasi Gulma Alang-alang
dengan Aplikasi Herbisida.
Pengendalian Gulma di TM
Pada bokoran dengan jari-jari 2 m, dilakukan clean weeding (Wo) dengan
glifosat atau paraquat 0.4-0.6 %, volume semprot 400-600 /ha, rotasi 4 kali/tahun.
Pada pasar pikul/jalan buah dan TPH dapat dilakukan secara manual atau kimia.
Pengendalian secara kimia biasa dilakukan dengan kombinasi glifisat 0,4 % +
metil-metsulfuron 0,005 %, rotasi 3 kali/tahun atau penggunaan paracol 2,0-2,5 l/ha.
d d
b c b c
W1-W5
x x x
x x
W1-W5
x x x
x x
W1-W5
x x x
x x
x x WI-W5 x
x x
Keterangan :
x : pokok/tanaman kelapa sawit
X perbesaran gambar
a : daerah bokoran (Wo) bokoran/piringan sawit
a
b : pasar pikul atau gawangan hidup
c : pasar mati atau gawangan mati
d : TPH
daerah yang diarsir (areal diluar bokoran) merupakan arealW1-W5.
Gambar 9.8 Skema Pertanaman Sawit
B. KARET
Di beberapa daerah di Indonesia, seperti di Sumatera Selatan dan Jambi, karet
menjadi komoditas sosial. Luas areal perkebunan karet di Indonesia pada 1995 adalah
3 495 901 ha dengan produksi 1 573 303 ton karet kering. Pada 2000 terjadi
TBM TM
Kegiatan
Biaya (Rp) % Biaya (Rp) %
Pengendalian Gulma 107 332.28 83.56 38 825.90 46.47
Pemeliharaan Lainnya 21 110.59 16.44 44 729.42 53.53
Total 128 442.83 100.00 83 555.32 100
Keterangan : Upah tenaga kerja Rp 11 450/hari
H-1
Tanah Semprot Herbisida
Cp Cm Pj Cm Cp Cp Pj Cm Cm Pj Cp
A B
Keterangan: Jarak tanam karet 6 m x 4 m, (A) Jarak antar jalur 1 m, (B) jarak antar jalur 0.3 m
Dosis benih LCC yang biasa digunakan, untuk Cp adalah 8 kg/ha, Cm 8 kg/ha,
serta Pj sebanyak 4 kg/ha. Benih tersebut ditanam dalam lubang sepanjang jalur yang
terpisah. Benih LCC dicampur dengan 15 kg RP, kemudian ditabur. Setelah benih
tumbuh, dilakukan pemupukan 30 kg urea + 15 kg SP-36 + 10 kg KCl per ha. Aplikasi
pupuk disebar disamping barisan. Pada gambar A, pembersihan LCC dapat dilakukan
secara kimia atau manual, sedangkan diantara kelompok jalur (3 jalur) dilakukan
dengan herbisida pasca tumbuh (Gambar B).
Pengendalian gulma secara manual di perkebunan karet areal TBM dilakukan
dengan menggunakan kored atau cangkul. Apabila ada aplikasi pra tumbuh maka 3-4
bulan pertama tidak ada penyiangan.
Tabel 9.4 Waktu Pengendalian Gulma Secara Manual berikut Standard Kerja dan
Rotasi
Tahun ke- Bulan ke- Standard Kerja (HK) Rotasi (Minggu)
1 1 15 2
2 10 2
3-6 6 2
7-12 4 2
2-3 1-12 3 4
x x
x x
x x
x x
(a) (b)
Gambar 9.11 Teknik Aplikasi Herbisida pada (a) Piringan dan (b) Jalur Tanaman
Karet
C. KOPI
Indonesia merupakan negara produsen kopi terbesar ke-4 setelah Brazil,
Kolombia dan Vietnam. Ekspor kopi Indonesia tahun 2002 sebesar U$ 223 916 000,
dengan volume ekspor 325 009 ton. Pengusahaan kopi di Indonesia pada 2002 dapat
dilihat pada Tabel 9.7.
Tabel 9.8 Luas Areal dan Produksi Teh Kering Indonesia Tahun 2000 - 2002
Luas Areal Produksi Produktivitas
Tahun
(ha) (ton) (kg/ha)
2000 153 675 162 587 1 420.09
2001 150 872 166 867 1 523.94
2002 150 707 165 194 1469.50
Sumber : Deptan (2004)
Kerugian akibat gulma pada tanaman teh, adalah (1) menghambat laju
pertumbuhan tanaman teh muda, periode TBM lebih lama hingga dua tahun lebih
(Sanusi, 1986), (2) menurunkan produksi pucuk hingga 40 % (BPTK, 1997), (3)
meningkatkan biaya pengendalian hama dan penyakit misalnya Commmelina
benghalensis inang bagi helopeltis, (4) menurunkan kapasitas kerja pemetikan dan
pemeliharaan rutin lainnya, serta (5) menurunkan kualitas pucuk. Masalah gulma di
perkebunan teh muncul saat TBM 1 sampai TBM 3, dan setelah dilakukan
pemangkasan.
Tabel 9.9 menunjukkan beberapa spesies gulma penting di perkebunan teh.
Gulma yang perlu mendapat perhatian serius antara lain adalah Commelina
benghalensis, karena selain pertumbuhannya cepat dan tahan naungan, gulma tersebut
juga relatif toleran terhadap herbisida.
Tabel 9.10 Pengaruh Cara Pengendalian Gulma terhadap Aliran Air Permukaan
(runnoff) dan Erosi (Othieno, 1973).
Aliran air permukaaan Jumlah tanah yang tererosi
Perlakuan
% dari total jumlah hujan (ton/ha/tahun)
Penyiangan manual 5.18 38.87
Penyiangan 7.91 12.13
Tanaman sela gandum 3.95 4.31
Mulsa rumput eragrotis 1.48 0.12
Tabel 9.11 Data Produksi, Konsumsi, dan Impor Gula Industri 1997-2003
Tahun Produksi Konsumsi Impor
(Juta ton) (Juta ton) (Juta ton)
1997 2.19 3.40 1.36
1998 1.49 3.38 1.81
1999 1.50 3.48 2.19
2000 1.69 3.55 1.56
2001 1.71 3.59 1.28
2002 1.75 3.63 1.60
2003 1.65 3.30 1.54
Sumber : Warta Ekonomi, 2004
Ciri umum pengelolaan tebu antara lain dengan penggunaan alat mekanis,
pemakaian pestisida (terutama herbisida), dan sistem keprasan (rotooring system).
Keberadaan gulma di pertanaman tebu menjadikan spesies-spesies gulma tersebut
mantap berasosiasi dengan tebu setelah ditanami beberapa musim (3 musim atau
lebih).
Kerugian akibat gulma terhadap penurunan bobot tebu di lahan sawah pola
reynoso sebanyak 18.1-53.7 %, sedangkan dengan pola mekanis 22.4 %. Kerugian
akibat gulma di lahan tegalan dengan tanaman yang baru ditanam sekitar 3.7 – 45.7 %.
Gulma Teki (C. Rotundus) pada pola reynoso mampu menurunkan bobot tebu 30.4 –
34.6 %, sedangkan pada pola mekanis lahan sawah, hanya menurunkan 1.2 – 6.6 %.
Pengendalian gulma secara manual banyak diterapkan pada tebu rakyat di lahan
sawah di Jawa, alat yang digunakan adalah arit kecil, pacul atau kored. Pengendalian
pada pertanaman tebu baru, butuh 4-6 kali penyiangan per musim dengan norma 75
HK-180 HK. Pada tanaman keprasan, penyiangan dilakukan sebanyak 2-3 kali/musim
dengan norma 40-90 HK, dan dilakukan pada 3, 6, 9 dan 12 MST.
Pengendalian secara mekanis diterapkan pada lahan tegalan dengan
menggunakan traktor yang menarik alat penyiang mekanis seperti weeder rake, multi
weeder, dan spiner weeder. Penyiangan pertama pada 3-4 MST, penyiangan kedua
dilakukan ketika gulma agak lebat, dan penyiangan ketiga dilakukan hanya bila
diperlukan saja.
Pengendalian secara kimiawi merupakan cara yang semakin meluas dan sering
dipakai. Pada sawah berpengairan dapat dilakukan aplikasi dengan campuran
ametryne 1.3 kg/ha dan 2.4 D amina 1.0 kg/ha segera setelah penanaman. Di daerah
yang banyak terinfasi gulma daun lebar diaplikasikan dengan campuran atrazine 1.5
kg/ha dan 2.4 D amina 1.0 kg/ha. Aplikasi pertama dilakukan segera setelah tanam,
sedangkan aplikasi kedua pada 4-6 minggu setelah aplikasi pertama.