Professional Documents
Culture Documents
Disiplin mental
juga dikenal dengan ungkapan disiplin formal. Gagasan utama disiplin mental adalah pada otak atau pikiran
(mind), yang diangankan sebagai benda nonfisik, terbaring tidak aktif (dorman) hingga ia dilatih. Kecakapan
pikiran atau otak seperti ingatan, kemauan, akal budi (reason), dan ketekunan (perseverence), merupakan
"otot-ototnya" pikiran atau otak tadi. Seperti halnya otot-otot fisiologis yang bisa kuat jika dilatih secara
bertahap dan terus menerus serta dengan porsi yang memadai, maka otot-otot pikiran atau otak pun
demikian halnya. Ia bisa kuat dalam arti lebih tinggi kemampuannya jika dilatih secara bertahap dan
memadai.
« Imam Syafi'i
Imam Ahmad Hambali »
1.2. Rumusan Masalah
1. Ada berapa aspek yang mendasari pengembangan suatu kurikulum?
2. Bagaimana peran landasan filosofis dalam pengembangan kurikulum suatu lembaga?
3. Mengapa landasan psikologis diperlukan dalam pengembangan isi kurikulum?
4. Apa manfaat dari landasan sosiologis dan landasan IPTEK sebagai aspek yang sangat
dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum?
1.3. Tujuan
1. Agar dapat mengetahui aspek-aspek landasan pengembangan kurikulum.
2. Supaya dapat memahami peranan landasan filosofis dalam pengembangan kurikulum.
3. Agar mengetahui alasan perlunya landasan psikologis dalam mengembangkan isi kurikulum.
4. Agar dapat mengetahui manfaat dari landasan sosiologis dan landasan IPTEK sebagai salah satu
unsur yang dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum.
BAB II
LANDASAN PENGEMBANGAN KURIKULUM
2.1. Hakikat dan Prinsip Pengembangan Kurikulum
Pada hakikatnya pengembangan kurikulum itu merupakan usaha untuk mencari bagaimana rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan untuk
mencapai tujuan tertentu dalam suatu lembaga. Pengembangan kurikulum di arahkan pada pencapaian
nilai-nilai umum, konsep-konsep, masalah dan keterampilan yang akan menjadi isi kurikulum yang
disusun dengan fokus pada nilai-nilai tadi. Adapun selain berpedoman pada landasan-landasan yang ada,
pengembangan kurikulum juga berpijak pada prinsip-prinsip pengembangan kurikulum.
Berdasarkan UU No. 20 tahun 2003 Bab X tentang kurikulum, pasal 36 ayat 1 bahwa pengembangan
kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan
pendidikan nasional. Suatu kurikulum diharapkan memberkan landasan, isi dan menjadi pedoman bagi
pengembangan kemampuan siswa secara optimal sesuai dengan tuntunan dan tantangan perkembangan
masyarakat.
Setiap pengembangan kurikulum, selain harus berpijak pada sejumlah landasan, juga harus menerapkan
atau menggunakan prinsip-prinsip tertentu. Dengan adanya prinsip tersebut, setiap pengembangan
kurikulum diikat oleh ketentuan atau hukum sehingga dalam pengembangannya mempunyai arah yang
jelas sesuai dengan prinsip yang telah disepakati. Prinsip-prinsip pengembangan kurikulum terdiri dari
prinsip umum dan prinsip khusus.
1. Prinsip umum
1. Prinsip Relevansi
Prinsip relevansi berkenaan dengan kesesuaian antara komponen tujuan, isi, strategi, dan evaluasi. Ada
dua macam relevansi yang harus dimiliki kurikulum,yaitu relevansi keluar dan relevansi di dalam kurikulum
itu sendiri. Relevansi keluar yaitu tujuan, isi dan proses belajar yang tercakup dalam kurkulum hendaknya
relevan dengan tuntutan, kebutuhan dan perkembangan masyarakat. Adapun relevansi di dalam yaitu ada
kesesuaian antara komponen-komponen kurikulum, yaitu antara tujuan, isi, proses penyampaian dan
penilaian. Relevansi ini menunjukkan suatu keterpaduan kurikulum.
1. Prinsip Fleksibilitas
Prinsip fleksibilitas berkenaan dengan kebebasan/keluwesan yang dimiliki guru dalam
mengimplementasikan kurikulum dan adanya alternatif pilihan program pendidikan bagi siswa sesuai
dengan minat dan bakatnya.
1. Prinsip Kontinuitas
Prinsip kontinuitas berkenaan dengan adanya kesinambungan materi pelajaran antarberbagai jenis dan
jenjang sekolah serta antartingkatan kelas. Perkembangan dan proses belajar berlangsung secara
berkesinambungan, tidak terputus-putus atau terhenti-henti.
1. Prinsip Efektifitas
Keberhasilan pelaksanaan kurikulum harus diperhatikan, baik kuantitas maupun kualitas. Keberhasilan
kuntitas ditinjau dari komponen-komponen kurikulum, seperti tujuan, isi, proses belajar, dan evaluasi.
Sedangkan keberhasilan kualitasnya dilihat dari hasil pelaksanaan kurikulum yang ada.
1. Prinsip khusus
Adapun prinsip khusus yang harus diperhatikan dalam mengembangkan kurikulum, antara lain: prinsip
keimanan, nilai dan budi pekerti luhur, penguasaan integrasi nasional, keseimbangan etika, logika,
estetika, dan kinetika, kesamaan memperoleh kesempatan, abad pengetahuan dan teknologi informasi,
pengembangan keterampilan hidup, berpusat pada anak, serta pendekatan menyeluruh dan kemitraan.
Ada beberapa prinsip yang lebih khusus yang berkenaan dengan penyusunan tujuan, isi, pengalaman
belajar dan penilaian, yaitu:
- pengalaman negara-negara lain dalam masalah yang sama dan penelitian.
- Penjabaran tujuan pendidikan ke dalam bentuk perbuatan hasil belajar yang khusus dan sederhana
- Isi bahan pelajaran harus meliputi segi pengetahuan, sikap dan keterampilan
- Unit-unit kurikulum harus disusun dalam urutan yang logis dan sistematis.
- Metode tersebut memberian kegiatan yang bervariasi dan urutan kegiatan yang bertingkat-tingkat
untuk mencapai tujuan kognitif, afektif dan psikomotor.
- Untuk belajar keterampilan sangat dibutuhkan kegiatan belajar yang menekankan “learning by
doing”
Landasan filosofis berkaitan dengan pentingnya filsafat dalam membina dan mengembangkan kurikulum
pada suatu lembaga pendidikan. Filsafat ini menjadi landasan utama bagi landasan lainnya. Perumusan
tujuan dan isi kurikulum pada dasarnya bergantung pada pertimbangan-pertimbangan filosofis.
Pandangan filosofis yang berbeda akan mempengaruhi dan mendorong aplikasi pengembangan
kurikulum yang berbeda pula. Landasan filosofis ini juga berkenaan dengan tujuan pendidikan yang
sesuai dengan filsafat negara. Kurikulum mempunyai hubungan yang erat dengan filsafat bangsa dan
negara, terutama dalam menentukan manusia yang dicita-citakan sebagai tujuan yang harus dicapai
melelui pendidikan formal.
1. Psikologi Belajar
Psikologi belajar yaitu suatu studi tentang bagaimana individu belajar. Secara sederhana, belajar dapat
diartikan sebagai perubahan tingkah laku yang terjadi melalui pengalaman. Hilgard dan Bower
menambahkan perubahan tersebut terjadi karena individu berinteraksi dengan lingkungannya sebagai
reaksi terhadap situasi yang dihadapinya. Perkembangan atau kemajuan yang dialami anak sebagian
besar terjadi karena usaha belajar baik melalui proses peniruan, pengingatan, pembiasaan, pemahaman,
penerapan maupun pemecahan masalah.
Definisi tentang belajar bersumber pada teori-teori belajar tertentu. Menurut Morris L. Bigge dan Maurice
P. Hunt (1980, hlm. 226-227) ada tiga kelompok teori belajar, yaitu:
- disiplin mental humanistik, bersumber kepada psikologi humanisme klasik dari Plato dan
Aristoteles yang lebih menekankan keseluruhan, keutuhan.
- teori naturalisme (self actualization), berpangkal dari Psikologi Naturalisme Romantik, tokoh
utamanya J.J. Rousseau.
- teori apersepsi bersumber pada psikologi strukturalisme, tokohnya Herbart. Menurut teori ini anak
mempunyai kemampuan untuk mempelajari sesuatu yang akan membentuk massa apersepsi.
- Stimulus Respon Bond, bersumber dari psikologi koneksionisme oleh Edward L. Thorndike.
Menurut konsep mereka, kehidupan ini tunduk pada stimulus respon/aksi reaksi.
- Conditionering, yaitu belajar/pembentukan hubungan antara stimulus dan respons perlu dibantu
dengan kondisi tertentu. Tokoh yang popular dalam teori ini adalah Watson.
- Reinforcement, teori berkembang berkembang dari teori psikologi. Pada reinforcement, kondisi
diberikan pada respon. Adapun tokoh utama pada teori ini adalah C.L. Hull.
Teori belajar dijadikan dasar bagi proses belajar mengajar, dengan demikian ada hubungan yang erat
antara kurikulum dan psikologi belajar. Psikologi belajar memberikan kontribusi dalam hal bagaimana
kurikulum itu disampaikan kepada siswa dan bagaimana pula siswa harus mempelajarinya. Dengan kata
lain, psikologi belajar berkenaan dengan penentuan strategi kurikulum.
1. Psikologi Perkembangan
Psikologi perkembangan mengkaji karakteristik perilaku individu pada tahap-tahap perkembangan serta
pola perkembangan individu. Psikologi perkembangan membahas metode dan teori psikologi
perkembangan.
Berbagai upaya pemerintah telah dilakukan untuk menyesuaikan pendidikan dengan perkembangan
masyarakat terutama dalam hal menumbuhkembangkan KeBhineka tunggal Ika-an, baik melalui kegiatan
jalur sekolah (umpamanya dengan pelajaran PPKn, Sejarah Perjuangan Bangsa, dan muatan lokal),
maupun jalur pendidikan luar sekolah (penataran P4, pemasyarakatan P4 nonpenataran)
Landasan sosiologis dijadikan sebagai salah satu aspek yang harus dipertimbangkan dalam
pengembangan kurikulum karena pendidikan selalu mengandung nilai atau norma yang berlaku dalam
masyarakat. Di samping itu, keberhasilan suatu pendidikan dipengaruhi oleh lingkungan kehidupan
masyarakat, dengan segala karakteristik dan kekayaan budayanya yang menjadi dasar dan acuan bagi
pendidikan/kurikulum.
Perkembangan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, terutama dalam bidang transportasi dan
komunikasi telah mampu merubah tatanan kehidupan manusia. Oleh karena itu, kurikulum seyogyanya
arahnya bersifat tidak hanya untuk sekarang tetapi untuk masa depan dapat mengakomodir dan
mengantisipasi laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga peserta didik dapat
mengimbangi dan sekaligus mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kepentingan
bersama, kepnetingan sendiri dan kelangsungan hidup manusia. Ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek)
sebagai produk kebudayaan diperlukan dalam pengembangan kurikulum sebagai upaya menyelaraskan
isi kurikulum dengan perkembangan dan kemajuan yang terjadi dalam dunia iptek.
BAB III
PENUTUP
1. A. SIMPULAN
Pengembangan kurikulum merupakan salah satu usaha untuk mencapai tujuan pendidikan Nasional.
Pengembangan kurikulum dilaksanakan karena Pengembangan kurikulum merupakan bagian yang
sangat esensial dalam proses pembelajaran. Karena dalam proses pembelajaran itu tedapat empat bagian
penting dalam kurikulum meliputi: tujuan, isi/materi, strategi pembelajaran, dan evaluasi. Keempat bagian
tersebut saling berkaitan untuk mencapai tujuan pendidikan Nasional. Pengembangan kurikulum tidak
dilaksanakan hanya sesuai dengan kehendak seseorang atau suatu pihak, tetapi harus berpijak pada
landasan-landasan (filosofis, psikologis, sosiologis, dan IPTEK) dan prinsip-prinsip (umum dan khusus)
yang telah ada.
1. B. SARAN
Kami telah menjelaskan pengertian beberapa landasan pengembangan kurikulum serta prinsip-
prinsipnya. Pada makalah ini juga terdapat beberapa teori yang berkaitan dengan landasan-landasan
yang dijelaskan diatas. Tentunya apa yang telah dipaparkan ada makalah ini masih perlu koreksi dan
penambahan atas kekurangan yang ditemukan pada substansinya. Oleh karena itu, kami senantiasa
menerima koreksi serta usulannya agar karya tulis selanjutnya bisa lebih baik. Jika ada yang kurang jelas,
maka bisa ditanyakan atau dilihat pada daftar pustaka. Semoga bermanfaat. Amin
DAFTAR PUSTAKA
Hamalik, O. (1990). Pengembangan Kurikulum: Dasar-dasar dan Perkembangannya. Bandung: Mandar
Maju.
Hasan, S.H. (1988). Evaluasi Kurikulum. Jakarta: P2LPTK
Kaber, A. (1988). Pengembangan Kurikulum. Jakarta: P2LPTK.
Nasution, S. (2005). Asas-Asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara.
Syadih, S. Nana. (1997). Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek. Bandung: Rosdakarya.
Gammbatte
Henirietta.
Tags: education
Prev: Gadis Bermuka KUE.
Next: ROSALIA
http://kireinahanna99.multiply.com/journal/item/15/Sedikit_mengulas_tentang_teori_disiplin_mental
Banyak strategi, metode dan implementasi pembelajaran yang dilakukan oleh guru untuk dapat
meningkatkan kemampuan siswa. Teori-teori belajar banyak diterapkan dalam pembelajaran untuk
memberikan landasan kepada guru menentukan metode pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik
siswa dan sifat mata pelajarannya. Teori belajar yang beragam tentu saja menjadika guru perlu cermat
dalam memilih teori pembelajaran yanga tepat dalam mengembangkan metode, strategi dan materi
pembelajaran. Kesalahan dalam pemilihan penerapan teori pembelajaran menjadikan hasil yang diperoleh
siswa dalam menyerap pembelajaran menjadi tidak maksimal.
Teori belajar yang dapat diterapkan oleh guru dalam pembelajaran salah satunya adalah teori disiplin
mental. Teori yang tergolong dalam teori klasik ini memang pada awalnya tidak berdasarkan pada
eksperimen, namun hanya berdasar pada pemikiran saja. Teori disiplin mental ternyata sampai saat ini
masih diterapkan dalam pembelajaran modern, walaupun merupakan teori pembelajaran yang sudah lama
ditemukan.
Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial tidak terlepas dari penerapan pembelajaran yang berbasis disiplin
mental. Materi-materi pembelajaran disusun secara hirarki untuk dapat diberikan siswa secara bertahap dan
terus-menerus. Karakteristik pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial yang lebih dominan dalam penguasaan
materi, menjadikan teori disiplin mental mempengaruhi pengaruh untuk diterapkan dalam pembelajaran
Ilmu Pengetahuan Sosial. Pemikiran tentang perlunya dikaji tentang pengaruh teori disiplin mental dalam
pembelajaran mendasari penulisan makalah ini yang terfokus pada implementasi teori belajar mental dalam
pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial.
B. Batasan Masalah
Luasnya cakupan tentang permasalahan teori disiplin mental dalam pembelajaran, menjadikan perlunya
pembatasan permasalahan. Dalam makalah ini hanya akan dibahas tentang dekripsi teori disiplin mental
dan implementasinya dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial.
C. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah: ”Bagaimana implementasi teori disiplin mental dalam
pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial?”
D. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana implementasi teori belajar disiplin
mental dalam kaitannya dengan pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial.
E. Manfaat Penulisan
Manfaat teoritik dalam penulisan makalah ini adalah untuk memberikan tambahan pengetahuan dan
pemahaman tentang teori belajar disiplin mental, sedangkan manfaat secara praktis memberikan gambaran
tentang implementasi dari teori disiplin mental untuk dapat dilaksanakan dalam proses belajar mengajar di
sekolah.
BAB II
IMPLEMENTASI TEORI DISIPLIN MENTAL DALAM PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
A. Teori Belajar Disiplin Mental
Teori belajar disiplin mental berkembang sebelum abad ke-20. Teori ini tanpa dilandasi eksperimen, dan
hanya berdasar pada filosofis atau spekulatif. Walaupun berkembang sebelum abad ke-20, namun teori
disiplin mental sampai sekarang masih ada pengaruhnya, terutama dalam pelaksanaan pengajaran di
sekolah-sekolah. Teori ini menganggap bahwa secara psikologi individu memiliki kekuatan, kemampuan
atau potensi-potensi tertentu. Belajar adalah pengembangan dari kekuatan, kemampuan dan potensi-
potensi tersebut.
Teori belajar disiplin mental, merupakan salah satu pandangan yang mula-mula memberikan definisi
tentang belajar yang disusun oleh filsuf Yunani bernama Plato. Pandangan filsafatnya yaitu tentang
idealisme yang melukiskan pikiran dan jiwa yang bersifat dasar bagi segala sesuatu yang ada. Idealisme
hanyalah ide murni yang ada di dalam fikiran, karena pengetahuan orang berasal dari idea yang ada sejak
kelahirannya. Belajar dilukiskan sebagai pengembangan olah fikiran yang bersifat keturunan. Kepercayaa ini
kemudian dikenal sebagai konsep “disiplin mental” (Bell Gredler, 1994: 21).
Penganut belajar disiplin mental contohnya Jean Jacgues Rousseau yang menggangap anak memiliki
potensi-potensi yang masih terpendam, melalui belajar, anak harus diberi kesempatan mengembangkan
atau mengaktualkan potensi-potensi tersebut. Sesungguhnya anak memiliki kekuatan sendiri untuk
mencari, mencoba, menemukan dan mengembangkan dirinya sendiri (Andi, 2009: 1).
Teori disiplin mental menekankan pada latihan mental yang diberikan dalam bentuk studi. Disiplin mental
juga dikenal dengan ungkapan disiplin formal. Gagasan utama disiplin mental adalah pada otak atau pikiran,
yang dianggap sebagai benda nonfisik, terbaring tidak aktif hingga ia dilatih. Kecakapan pikiran atau otak
seperti ingatan, kemauan, akal budi, dan ketekunan, merupakan “otot-ototnya” pikiran atau otak tadi. Otak
dipersepsikan seperti otot-otot fisiologis yang bisa kuat jika dilatih secara bertahap dan terus menerus serta
dengan porsi yang memadai, maka otot-otot pikiran atau otak pun demikian halnya. Otak manusia bisa
kuat dalam arti lebih tinggi kemampuannya jika dilatih secara bertahap dan memadai (Asri Trianti, 2008:
1).
Apabila belajar ditinjau dari teori disiplin mental maka belajar lebih ditekankan pada masalah penguatan,
atau pendisiplinan kecakapan berpikir otak, yang pada akhirnya menghasilkan perilaku kecerdasan.
Contohnya, dalam konteks komunikasi, kecakapan berkomunikasi seseorang pun bisa dilatih sejak dini
supaya berhasil dengan baik. Tampaknya memang benar bahwa ahli-ahli komunikasi praktis seperti ahli
pidato, ahli kampanye, ahli seminar, dsb. Semuanya merupakan hasil dari proses latihan. Latihan dalam hal
keahlian ini identik dengan pengalaman. Semakin lama pengalaman seseorang di bidangnya maka semakin
ahli orang yang bersangkutan.
Menurut teori disiplin mental, orang dianggap sebagai paduan dari dua jenis zat dasar, atau dua jenis
realitas, yaitu pikiran rasional dan organisme biologis. Dengan begitu maka
konsep animal rasional digunakan untuk mengenali manusia, sedangkan yang didisiplinkan atau dilatih
melalui pendidikan adalah pikiran (Asri Trianti, 2008: 2).
Menurut konsep ini pada dasarnya manusia terbentuk dari dua zat yakni mental dan fisik secara berpadu.
Bagaimana pun juga, pikiran dan badan atau zat rohaniah dan zat badaniah tidak mempunyai karakteristik
umum (yang sama). Pemikiran akan konsep pikiran atau rohani sampai sekarang masih berlangsung, baik
yang datangnya dari orang-orang primitif (yang mengatakan bahwa nyawa berpindah ketika sedang
bermimpi), maupun konsep orang-orang sekarang yang lebih kompleks. Dalam hal ini orang melihat belajar
sebagai proses perkembangan akibat dari adanya pelatihan pikiran atau otak. Dengan demikian maka
belajar menjadi suatu proses yang terjadi di dalam di mana berbagai kekuatan seperti imajinasi, memori,
kemauan, dan pikiran, diolah. Dan dari sana pendidikan pada umumnya dan belajar pada khususnya
menjadi suatu proses disiplin mental.
Di dalam kerangka rujukan humanisme klasik, pengetahuan dianggap sebagai ciri bangun prinsip kebenaran
yang pasti atau tetap, yang diteruskan sebagai warisan budaya atau sukunya. Prinsip prinsip ini telah
ditemukan oleh para pemikir besar sepanjang sejarah manusia yang kemudian disusun ke dalam buku-buku
besar. Menurut teori ini, kurikulum sekolah itu berdasar pada falsafah dan buku-buku klasik. Dan dalam hal
ini, mempelajari buku-buku besar menjadi sesuatu yang penting. Contohnya misalnya di lembaga-lembaga
pendidikan tradisional kita yang lebih menekankan kepada mempelajari buku-buku besar karangan para ahli
di jaman lampau. Di lembaga-lembaga pesantren di Indonesia, sampai sekarang banyak yang mendasarkan
diri pada buku atau kitab-kitab “kuning” sebagai bahan kajiannya.
Christian Wolff (1679-1754), seorang ahli filsafat Jerman, berpendapat bahwa pikiran atau otak manusia
mempunyai kecakapan yang jelas dan berbeda-beda. Pada saat tertentu pikiran berada pada satu kegiatan
khusus, dan pada saat lain terkadang sebagai bagian dari satu aspek dari kegiatan tertentu lain. Menurut
Wolff, kecakapan dasar yang umum adalah: pengetahuan, perasaan, ingatan, dan akal budi inti. Sedangkan
kecakapan akal budi meliputi kemampuan menggambarkan perbedaan-perbedaan dan menafsirkan atau
menilai bentuk. Kecakapan kemauan dipercaya sebagai hasil perkembangan ide atau gagasan pikiran bahwa
sifat manusia bisa dijelaskan melalui melihat dari segi prinsip ketidakbaikan (Asri Trianti, 2008: 7).
Sebenarnya disiplin mental telah ada sejak jaman kuno, dan pengaruhnya masih tampak dalam kegiatan
komunikasi praktis, seperti di lingkungan pendidikan atau sekolahan, di lembaga lembaga non pendidikan,
dan bahkan di organisasi-organisasi kemasyarakatan, sampai sekarang. Manusia mempunyai kelebihan
dengan adanya kemampuan berpikir dan berakal budi, hal ini yang menyebabkan perkembangan yang
berbeda. Sejak dahulu, semua binatang hanya mengandalkan instinknya saja dalam bergerak. Mereka tidak
pernah ingin merubah kondisi kehidupannya untuk ditingkatkan sesuai dengan tuntutan jaman. Sedangkan
pada manusia, karena mempunyai nafsu dan kemauan yang dibarengi dengan kemampuan akalnya, maka
dunia dikuasainya untuk dibentuk sesuai dengan seleranya.
Semua perubahan-perubahan itu terjadi karena manusia selalu mengalami belajar, mengalamami
perubahan perilaku ke arah yang lebih berkualitas, dalam rangka meningkatkan kemampuannya, terutama
kemampuan akal dan budinya. Kita bisa mengembangkan konsep ini secara aplikatif. Disiplin mental yang
sebenarnya disebut juga dengan disiplin formal yang selalu tampak dalam hampir semua aspek
pembelajaran manusia. Artinya, ketika manusia melakukan belajar, ia selalu mengalami pelatihan secara
displin, baik internal maupun eksternal. Contoh dalam tataran praktis keseharian. Olahragawan terkemuka
biasanya hasil latihan yang disiplin. Ilmuwan terkemuka juga merupakan hasil kerja keras belajar secara
disiplin. Tidak ada orang yang tiba-tiba menjadi ahli dalam bidang tertentu.
Dalam kalangan anak-anak, baik di lingkungan keluarga ataupun di sekolah, hampir semua aspek
pembelajaran bisa dilakukan dengan cara disiplin, seperti pembiasaan secara tetap akan suatu pekerjaan,
latihan tetap terhadap suatu keterampilan, disiplin diri dalam bertindak, displin mengendalikan diri, bekerja
keras dengan disiplin tetap, serta adanya arahan-arahan motivasi dari pihak lain. Semua itu jika dilakukan
akan menghasilkan manusia yang memiliki kemampuan unggul di bidang yang dikerjakannya atau
dilatihnya secara disiplin tadi. Memang, pada asalnya disiplin dilakukan oleh adanya aturan-aturan
eksternal, namun secara tidak langsung, jika hal itu dilakukan secara terus menerus dalam waktu yang
lama, akan menghasilkan perilaku disiplin internal.
Suatu pekerjaan jika dikerjakan secara terus menerus dengan frekuensi yang relatif tetap, akan
menjadikannya seseorang menjadi terbiasa dengan pekerjaannya itu. Disiplin juga tidak hanya untuk hal-
hal yang bersifat praktis, namun juga dapat bersifat mental. Sebagai contohnya, dengan telah melakukan
‘hafalan’ secara disiplin terhadap perkalian angka 1 x 1, sampai dengan perkalian 10 x 10, maka kita
sekarang tidak perlu berpikir lagi jika ditanya, 6 x 7, 8 x 9, atau 7 x 7. Kita bisa langsung menjawab
hasilnya dengan benar. Itu semua akibat dari hasil belajar melalui pola disiplin mental ketika kita di SD
dulu. Disiplin mental dikenal juga dengan disiplin formal.
Teori disiplin mental relevan apabila diterapkan dalam sistem pembelajaran, karena kriteria belajar bagi
siswa adalah adanya perubahan perilaku pada diri individu, perubahan perilaku yang terjadi hasil dari
pengalaman, dan perubahan tersebut relatif menetap (Suciati, 2005: 13). Berdasarkan kriteria tersebut
tentu saja teori belajar disiplin mental dapat diterapkan sebagai media untuk menambah pengetahuan
untuk perubahan perilaku individu secara menetap dan berdasarkan hasil pengalaman dalam proses belajar
mengajar.
Dalam ranah pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial, teori disiplin mental menjadi dasar dalam
pembelajaran, yaitu dengan menggunakan strategi guru memberikan buku-buku yang relevan kepada siswa
untuk dipelajari secara terus-menerus. Pembelajaran dengan teori ini, mengakselerasi siswa untuk selalu
meningkatkan kemampuannya dan ketrampilannya dengan senantiasa belajar setiap hari, mempelajari
materi-materi setiap hari, sehingga semua kompetensi yang distandarkan dapat dikuasai.
Standar kompetesi bahan kajian Pengetahuan Sosial dan Ilmu-Ilmu Sosial dan Kewarganegaraan (Arnie
Fajar, 2009: 105), adalah:
1. Kemampuan memahami fakta, konsep, dan generalisasi tentang sistem sosial dan budaya dan
menerapkannya untuk:
a. Mengembangkan sikap kritis dalam situasi sosial yang timbul sebagai akibat perbedaan yang ada di
masyarakat;
b. Menentukan sikap terhadap proses perkembangan dan perubahan sosial budaya;
2. Kemampuan memahami fakta, konsep, dan generalisasi tentang manusia, tempat dan lingkungan serta
menerapkannya untuk:
a. Meganalisis proses kejadian, interaksi dan saling ketergantungan antara gejala alam dan kehidupan di
muka bumi dalam dimensi ruang dan waktu;
3. Kemampuan memahami fakta, konsep, dan generalisasi tentang perilaku ekonom da kesejahteraan serta
menerapkanya untuk:
a. Berperilaku yang rasional dan manusiawi dalam memanfaatkan sumber daya ekonomi;
4. Kemampuan memahami fakta, konsep, dan generalisasi tentang waktu, keberlanjuta dan perubahan
serta menerapkannya untuk:
b. Merekonstruksi masa lalu, memaknai masa kini, dan memprediksi masa depan;
c. Menghargai berbagai perbedaan serta keragaman sosial, kultural, agama, etnis dan politik dalam
masyarakat dari pengalaman belajar peristiwa sejarah.
5. Kemampuan memahami dan meninternalisasi sistem berbansa dan bernegara serta menerapkannya
untuk:
b. Membiasakan untuk mematuhi norma, menegakkan hukum, dan menjalankan peraturan;
c. Berpartisipasi dalam mewujudkan masyarakat dan pemerintahan yang demokratis; menjunjung tinggi,
melaksanakan dan menghargai HAM.
Berdasarkan karakteristik pembelajaran ilmu-ilmu sosial dan kewarganegaraan tersebut tentu saja teori
disiplin mental sangat dominan dipergunakan dalam pembelajaran terutama permasalahan pengetahuan
tentang masalah konsep-konsep. Pengertian, definisi, kriteria dan materi-materi pembelajaran yang perlu
dikuasai tentu saja diperlukan penerapan teori disiplin mental dalam proses pembelajarannya.
Penerapan secara nyata dalam proses belajar mengajar yang berhubungan dengan disiplin mental dalam
setiap mata pelajaran (misalnya pembelajaran tingkat SMP) sebagai berikut:
Guru memberikan materi pembelajaran tentang sistem perilaku ekonomi dan kesejahteraan dengan
memberikan pengertian tentang sistem berekonomi, ketergantungan, sesialisasi dan pemberian kerja,
perkoperasian, kewirausahaan, dan pengelolaan keuangan perusahaan. Materi-materi tersebut dapat
disampaikan siswa dengan menerangkan atau mengunakan buku dan diakhir pembelajaran siswa
mengerjakan LKS sebagai tes hasil evaluasi.
Guru dapat menggunakan gambar dan media lain dengan memberikan materi tentang dasar-dasar ilmu
sejarah, fakta, peristiwa dan proses sejarah. Siswa diakhir pembelajaran diminta untuk menerangkan
kembali tentang pembelajan tersebut agar lebih memperdalam materi pembelajaran bagi siswa lainnya.
Guru dapat menggunakan peta dan diskusi tentang materi sistem informasi geografi, interaksi gejala fisik
dan sosial, struktur internal suatu temat, interaksi keruangan dan persepsi lingkungan dan kewilayahan.
Guru dapat memberikan tugas dengan mempelajari materi lain untuk memerdalam materi.
4. Pembelajaran PKn
Guru dapat mengunakan strategi belajar kelompok, untuk membahas tentang persatuan bangsa, nilai dan
norma, hak asasi mausia, kebutuhan hidup, kekuasaan dan politik, masyarakat demokratis, Pancasila da
konstitusi negara serta globalisasi. Guru kemudian dapat bertanya kepada siswa satu persatu untuk
menjawab pertanyaa dari guru untuk mengukur kedalaman pemahama materi.
Teori disiplin mental juga dapat dilaksanakan dengan menggunakan pembelajaran dengan strategi
eksositori. Model pengajaran ekspositori merupakan kegiatan yang terpusat pada guru. Guru aktif
membeerikan penjelasan atau informasi tererinci tentang bahan pengajaran. Tujuan utama pengajaran
ekspositori adalah memindahkan pengetahuan, ketrampila dan ilai-nilai kepada siswa. Hal yang esensial
pada bahan pengajaran harus dijelaskan kepada siswa (Dimyati dan Mudjiono, 2006: 172).
Guru juga dapat menggunakan strategi evaluasi dengan sistem menanyakan terus menerus pembelajaran
yang dikuasai siswa secara lisan, sehingga guru dapat mengukur seberapa jauh siswa menguasai
pembelajaran yang diberikan. Aplikasi pembelajaran dengan teori disiplin mental memang mengedepankan
aspek penguasaan materi dan ketrampilan berdasarkan pada pengasahan otak dan penambahan materi
pembelajaran kepada siswa.
Teori disiplin mental dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial sesungguhnya banyak sekali sistem
penerapannya. Fokus dari disiplin mental adalah memberikan peningkatan pengetahuan setiap waktu agar
semakin lama siswa semakin memahami tentang materi pembelajaran. Peningkatan pengetahuan yang
dilaksanakan secara bertahap penting dilaksaakan dalam teori disiplin mental. Tambahan pemahaman dan
materi tersebut merupakan indikasi keberhasilan dari teori disiplin mental.
Teori disiplin mental apabila diimplementasikan dampak positifnya menjadikan siswa semakin hari-semakin
meningkat kemampuannya dalam menguasai materi dan ketrampilan. Siswa menjadi disiplin untuk
mempelajari materi pembelajaran setahap-demi setahap, dan semakin lama akan semakin banyak. Dampak
negatif dari penerapan disiplin mental apabila dilaksanakan secara dominan dan tidak memperhatikan
faktor-faktor psikologi akan menjadi siswa menjadi tegang, dan proses belajar mengajar tidak bervariatif.
Segi kognitif siswa yang kadang-kadang tidak cocok dengan metode pembelajaran berbasis disiplin mental
menjadi terbebani dengan pembelajaran tersebut.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diperoleh dari pembahasan tentang implementasi disiplin mental dalam
pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial antara lain:
1. Teori disiplin mental adalah teori pembelajaran yang berasumsi bahwa otak manusia perlu senantiasa
dilatih secara terus menerus dengan cara memberikan materi secara terus-menerus. Strategi pembelajaran
disiplin mental dengan memberikan buku-buku literatur untuk dipelajari, melatih disiplin belajar, senantiasa
terdapat pemantauan terhadap hasil belajar, disiplin kerja dan semua hal yang menyangkut kesiplinan
dalam belajar.
2. Implementasi teori disiplin mental dalam pembelajaran, khususnya dalam Ilmu Pengetahuan Sosial
dilaksanakan dengan cara merancang materi-materi pembelajaran secara bertahap, kemudian memberikan
materi-materi kepada anak, dan memberikan evaluasi berbasis disiplin mental. Materi-materi pembelajaran
IPS dan Kewarganegaraan senantiasa diberikan kepada siswa agar siswa dapat menguasai semua materi
pembelajaran.
3. Kelebihan dari teori disiplin mental yang diimplementasikan kepada siswa antara lain siswa dapat
menguasai materi pembelajaran secara bertahap dan terus menerus, namun apabila teori belajar disiplin
mental dilaksanakan secara dominan tanpa memperhitungan unsur psikologi menjadikan siswa terbeban
pikirannya dan tidak mampu mengikuti pembelajaran secara maksimal.
B. Saran
Teori belajar disiplin mental memang tidak dapat terpisahkan dari proses belajar mengajar di lembaga
pendidikan. Materi-materi pembelajaran yang harus dikuasai oleh siswa, mengimplementasikan teori pelajar
disiplin mental. Guna memperoleh hasil belajar yang maksimal teori disiplin mental dalam pembelajaran
tidak dilaksanakan secara murni dan mutlak. Teori disiplin mental dipadukan dengan teori disiplin lain, dan
senantiasa mempertimbangkan segi-segi psikologi, strategi, metode, dan karakteristik pembelajaran yang
sedang diajarkan.
DAFTAR PUSTAKA
Andi. (2009). Teori Belajar. Diambil pada tanggal 12 Oktober 2009,
darihttp://www.http://andi1988.wordpress.com/2009/01/28/teori-teori-belajar-2.
Arnie Fajar. (2009). Portofolio dalam pembelajaran IPS. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Asri Buduningsih. (2006). Belajar dan pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Asri Trianti. (2008). Teori disiplin mental. Diambil pada tanggal 12 Oktober 2009, dari:
http://www.candilaras.co.cc/2008/05/teori-disiplin-mental.html
Bell Gredler, Margaret E. (1994). Belajar dan membelajarkan. (Terjemahan Munandir). Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Dimyati dan Mudjiono. (2006). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Made Pidarta. (2000). Landasan pendidikan stimulus ilmu pendidikan bercorak Indonesia. Jakarta: Rineka
Cipta.
Slameto. (2003). Belajar dan fakto-faktor yang mempengaruhinya. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Sebelum abad ke-20, telah berkembang beberapa teori belajar, salah satunya adalah teori
disiplin mental. Teori belajar ini dikembangkan tanpa dilandasi eksperimen, dan ini berarti dasar
orientasinya adalah “filosofis atau spekulatif”. Tokoh teori disiplin mental adalah Plato dan
Aristoteles. Teori disiplin mental ini menganggap bahwa dalam belajar, mental siswa harus
didisiplinkan atau dilatih.