You are on page 1of 17

Analisis Kasus Gabungan Tindak Pidana (Concursus)

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Adakalanya seseorang melakukan beberapa perbuatan sekaligus sehingga menimbulkan
masalah tentang penerapannya. Kejadian yang sekaligus atau serentak tersebut disebut
samenloop yang dalam bahasa Belanda juga disebut samenloop van strafbaar feit atau
concursus. Perbarengan merupakan terjemahan dari samenloop atau concursus. Ada juga yang
menerjemahkannya dengan gabungan. Dalam pembahasan kali ini yang menjadi sorotan adalah
perbarengan dua atau lebih tindak pidana yang dipertanggungjawabkan kepada satu orang atau
beberapa orang dalam rangka penyertaan. Tindak pidana-tindak pidana yang telah terjadi itu
sesuai dengan yang dirumuskan dalam perundang-undangan. Sedangkan kejadiannya sendiri
dapat merupakan hanya satu tindakan saja, dua/lebih tindakan atau beberapa tindakan secara
berlanjut. Dalam hal dua/lebih tindakan tersebut masing-masing merupakan delik tersendiri,
dipersyaratkan bahwa salah satu di antaranya belum pernah diadili.
Ajaran mengenai samenloop ini merupakan salah satu ajaran yang tersulit di dalam ilmu
pengetahuan hukum pidana, sehingga orang tidak akan dapat memahami apa yang sebenarnya
dimaksud dengan samenloop van strafbaar feit itu sendiri, maupun permasalahan-permasalahan
yang timbul di dalam ajaran tersebut, apabila orang itu tidak mengikuti perkembangan paham-
paham mengenai perkataan feit yang terdapat di dalam rumusan pasal-pasal yang mengatur
masalah samenloop itu sendiri.
Perkembangan paham-paham mengenai perkataan feit yang terdapat di dalam rumusan
pasal-pasal yang mengatur masalah samenloop itu sendiri, khususnya yang terdapat didalam
rumusan pasal 63 ayat (1) KUHP, terjemahan perkataan feit di pasal ini dengan perkataan
perbuatan menunjukkan bahwa team penerjemah Departemen Kehakiman R.I. (sekarang
Departemen Hukum dan HAM) Secara resmi telah menafsirkan perkataan feit di dalam rumusan
pasal 63 ayat (1) KUHP itu sebagai suatu perbuatan yang nyata, yakni suatu penafsiran yang oleh
Hoge Raad (HR) sendiri telah ditinggalkan sejak lebih dari setengah abad yang lalu. Kiranya tim
penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman itu juga tidak akan
menerjemahkan perkataan feit di dalam rumusan pasal 63 ayat (1) KUHP itu dengan perkataan
perbuatan, seandainya tim tersebut mengetahui bahwa sudah sejak setengah abad yang lalu
terdapat keberatan-keberatan terhadap penggunaan perkataan perbuatan itu sendiri.
Sebelum kita membicarakan apa yang disebut samenloop van strafbare feiten itu sendiri,
perlu diketahui bahwa orang hanya dapat berbicara mengenai adanya suatu samenloop van
strafbare feiten, apabila di dalam suatu jangka waktu yang tertentu, seseorang telah melakukan
lebih daripada satu tindak pidana dan di dalam jangka waktu tersebut orang yang bersangkutan
belum pernah dijatuhi hukuman oleh pengadilan, karena salah satu dari tindakan-tindakan yang
telah ia lakukan.
Apa yang disebut samenloop van strafbare feiten atau gabungan tindak-tindak pidana itu,
oleh pembentuk undang-undang telah diatur di dalam Bab ke-VI dari Buku ke-1 KUHP atau
tegasnya di dalam pasal 63 sampai dengan pasal 71 KUHP, yaitu berkenaan dengan pengaturan
mengenai berat ringannya hukuman yang dapat dijatuhkan oleh seorang hakim terhadap seorang
tertuduh yang telah melakukan lebih daripada satu tindak pidana, yang perkaranya telah
diserahkan kepadanya untuk diadili secara bersama-sama.
Dalam suatu samenloop itu, hakim harus memperhatikan kenyataan-kenyataan apakah
tertuduh itu hanya melakukan satu tindak pidana, atau ia telah melakukan lebih daripada satu
tindak pidana. Prof. Simons berpendapat, bahwa apabila tertuduh itu hanya melakukan satu
tindak pidana dan dengan melakukan tindakan tersebut, tindakannya itu ternyata telah memenuhi
rumusan-rumusan dari beberapa ketentuan pidana, atau dengan perkataan lain apabila dengan
melakukan satu tindak pidana itu, tertuduh ternyata telah melakukan beberapa tindak pidana,
maka di situ terdapat apa yang disebut eendaadse samenloop atau concursus idealis ataupun apa
yang oleh Prof. Van Hamel juga telah disebut sebagai samenloop van strafbepalingen atau
gabungan ketentuan-ketentuan pidana.
Ukuran Pidana yang dapat dijatuhkan atas diri seseorang dalam tindak pidana Concursus.
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa perlunya studi kasus berupa suatu
gabungan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang secara sadar maupun tidak sadar
serta pembedaan yang sangat mendasar untuk mengetahui sebatas mana gabungan tindak pidana
dapat ditafsirkan menjadi sebuah eendaadse samenloop ataukah meerdaadse samenloop.
Perumusan Masalah
Dari pembahasan diatas, penulis ingin menyampaikan beberapa inti permasalahan, antara
lain:
Apakah dalam kasus benturan truk dan kereta api dapat digolongkan tindakan satu perbuatan
(eendaadse samenloop) ataukah beberapa perbuatan (meerdaadse samenloop)?
Apakah Putusan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, ataupun Mahkamah Agung sudah tepat?
BAB II
KASUS
Paulus Arisman Bin Suripto (PA) adalah seorang pengemudi truk AB 2282 D, yang memiliki
SIM B1 Umum, dengan pengalaman kerja selama sepuluh tahun sebagai sopir truk. Pada suatu
hari, pada April 1988 PA mengemudikan truk dibantu dengan keneknya, mengangkut bahan
bangunan berupa 4000 genteng, karena bak truk masih ada ruangan yang kosong, maka PA
bermaksud mengambil lagi genteng di tempat lain untuk diangkutnya.
Dalam perjalanannya, truk yang dikemudikan PA tersebut harus melewati rel kereta api yang
tidak ada pintu pengamannya, melainkan hanya dipasang beberapa rambu, yang menunjukan
adanya Rel Kereta Api tanpa pintu. Beberapa puluh meter sebelum truk melintasi rel kereta api,
PA kurang memperhatikan situasi kanan kiri dari rel tersebut. PA baru sadar ketika kereta api
akan melintasi rel tersebut, setelah kenek truk berteriak-teriak ada kereta api akan lewat.
Mendengar teriakan kenek tersebut, maka PA berusaha mempercepat jalannya truk yang akan
melintasi kereta api tersebut. Akan tetapi, karena truk sarat muatannya, maka truk tidak bisa lari
lebih cepat seperti yang dikehendaki oleh PA. Dari jarak ± 200 meter, masinis kereta api telah
melihat ada truk akan melintasi rel kereta api, ia telah membunyikan tanda semboyan 35 dan
berusaha mengurangi kecepatan lokomotifnya.
Tabrakan dan benturan antara kereta api dengan truk yang dikemudikan PA tidak dapat
dihindarkan. Truk terbelah menjadi 2 (dua), cabin dengan baknya. PA dengan keneknya
terlempar keluar dari truk dan menderita luka-luka. Demikian pula masinis lokomotif menderita
luka-luka terkena genteng yang dimuat truk yang jatuh berterbangan dan berhamburan,
sedangkan tutup mesin lokomotifnya menjadi rusak berat.
DAKWAAN
Dakwaan Pertama: Pasal 360 ayat (2) KUHP, yaitu
“Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain luka
sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan
jabatan atau pekerjaannya sementara, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan
bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu
lima ratus rupiah.”
Dakwaan Kedua: Pasal 409 KUHP, yaitu
“Barangsiapa yang karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan bangunan-
bangunan tersebut dalam pasal di atas dihancurkan, dirusakkan atau dibuat tak dapat
dipakai, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu bulan atau pidana denda paling
banyak seribu lima ratus rupiah.”
PUTUSAN
Pengadilan Negeri No. Register Perkara 60/Pid.S/1987/PN.KBM
1. Menyatakan Terdakwa PA terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
kejahatan:
Karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka;
Karena kealpaannya menyebabkan kereta api rusak.
2. Menghukum Terdakwa PA dengan hukuman Penjara selama 2 bulan dan 15 hari.
3. ..........
Pengadilan Tinggi No. Register Perkara 762/Pid/1987/PN.SMG
1. Menyatakan Terdakwa PA terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
kejahatan:
Karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka;
Karena kealpaannya menyebabkan kereta api rusak.
2. Menghukum Terdakwa PA dengan hukuman Penjara selama 10 bulan.
3. ..........
Mahkamah Agung No. Register Perkara 1286 K/Pid/1988
1. Menyatakan Terdakwa PA terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
kejahatan:
Karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka;
Karena kealpaannya menyebabkan kereta api rusak.
2. Menghukum Terdakwa PA dengan hukuman
Untuk kejahatan ke-1 dengan pidana Penjara selama 3 bulan;
Untuk kejahatan ke-2 dengan pidana Kurungan selama 15 hari.
3. ..........
BAB III
LANDASAN TEORI
Samenloop / concursus dapat diterjemahkan gabungan atau perbarengan. Dalam makalah
ini akan digunakan istilah “gabungan”. Gabungan tindak pidana yaitu apabila seseorang atau
lebih melakukan satu perbuatan dan dengan melakukan satu perbuatan, ia melanggar beberapa
peraturan pidana atau apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, dan itu belum dijatuhi
putusan hakim atas diri orang tersebut dan terhadap beberapa pelanggaran dari beberapa
peraturan pidana itu diadili sekaligus.
Dengan demikian maka syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat menyatakan
adanya gabungan adalah:
Ada dua/ lebih tindak pidana dilakukan;
Bahwa dua/ lebih tindak pidana tersebut dilakukan oleh satu orang (atau dua orang dalam hal
penyertaan);
Bahwa dua/ lebih tindak pidana tersebut belum ada yang diadili; dan
Bahwa dua/ lebih tindak pidana tersebut akan diadili sekaligus.
Sistem Pemidanaan
Pada dasarnya teori gabungan tindak pidana dimaksudkan untuk menentukan pidana apa
dan berapa ancaman maksimum pidana yang dapat dijatuhkan terhadap seseorang yang telah
melakukan lebih dari satu tindak pidana.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengenal 4 (empat) sistem atau stelsel
pemidanaan, yaitu:
Sistem Absorpsi
Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa delik yang
masing-masing diancam dengan pidana yang berbeda, maka menurut sistem ini hanya dijatuhkan
satu pidana saja, yaitu pidana yang terberat walaupun orang tersebut melakukan beberapa delik.
Sistem Kumulasi
Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa delik yang
diancam dengan pidana sendiri-sendiri, maka menurut sistem ini tiap-tiap pidana yang
diancamkan terhadap delik-delik yang dilakukan oleh orang itu semuanya dijatuhkan.
Sistem Absorpsi Diperberat
Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa jenis delik
yang masing-masing diancam dengan pidana sendiri-sendiri, menurut stelsel ini pada hakikatnya
hanya dapat dijatuhkan 1 (satu) pidana saja yakni yang terberat, akan tetapi dalam hal ini
diperberat dengan menambah 1/3 (sepertiga).
Sistem Kumulasi Terbatas
Apabila seeorang melakukan beberapa jenis perbuatan yang menimbulkan beberapa jenis
delik yang masing-masing diancam dengan pidana sendiri-sendiri, maka menurut stelsel ini,
semua pidana yang diancamkan terhadap masing-masing delik dijatuhkan semuanya. Akan
tetapi, jumlah pidana itu harus dibatasi, yaitu jumlahnya tidak boleh melebihi dari pidana terberat
ditambah 1/3 (sepertiga).
Bentuk-Bentuk Gabungan Tindak Pidana
Gabungan memiliki beberapa bentuk, yaitu:
Gabungan dalam satu perbuatan (Eendaadse Samenloop/Concursus Idealis)
Eendaadse Samenloop terjadi apabila seseorang melakukan satu perbuatan, tetapi dengan
satu perbuatan itu ia melanggar beberapa peraturan pidana yang berarti ia telah melakukan
beberapa tindak pidana.Hal ini diatur dalam pasal 63 KUHP yang bunyinya sebagai berikut:
Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang
dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda
yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
Jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur
pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang
dikenakan.
Di antara para sarjana terdapat perbedaan pendapat mengenai apa yang dimaksud dengan
satu tindakan. Sebelum tahun 1932, Hoge Raad barpendirian yang ternyata dalam
putusannya, bahwa yang dimaksud dengan satu tindakan dalam pasal 63 ayat (1) KUHP
adalah tindakan nyata atau tindakan materiil.
Taverne bertolak pangkal dari pandangan hukum pidana bahwa tindakan itu terdiri dari
dua/lebih tindakan yang terdiri sendiri yang mempunyai sifat yang berbeda yang tak ada
kaitannya satu sama lain dapat dibayangkan keterpisahan masing-masing. Akibat dari
pendirian Hoge Raad ini, makna dari pasal 63 ayat (1) menjadi sempit. Hanya dalam hal-hal
terbatas masih apat dibayangkan kemanfaatan dari ketentuan pasal tersebut.
Pendirian Hoge Raad bersandar kepada sifat atau ciri yang terdapat pada tindakan
tersebut, namun belum secara tegas dapat diketahui apa yang dimaksud dengan satu tindakan
dan beberapa perbuatan. Maka dapat disimpulkan bahwa dalam prakterknya Hoge Raad
menyelesaikan perkara secara kasuistis.
Modderman mengatakan bahwa dilihat dari sudut badaniah tindakan itu hanyalah satu
saja akan tetapi dari sudut rohani ia merupakan pluralitas (ganda). Sedangkan Pompe
mengutarakan bahwa apabila seseorang melakukan satu tindakan pada suatu tempat dan saat,
namun harus dipandang merupakan beberapa tindakan apabila tindakan itu mempunyai lebih
dari satu tujuan atau cukupan.
Ketentuan dalam pasal 63 ayat (2) sesuai dengan asas lex spesialis derogat lex general,
yang artinya ketentuan khusus mengenyampingkan ketentuan yang umum. Yang dimaksud
dengan ketentuan pidana khusus adalah jika pada tindak pidana khusus itu termuat atau
tercakup semua unsur-unsur yang ada pada tindak pidana umum, akan tetapi padanya masih
ada unsur lainnya atau suatu kekhususan. Pemidanaan dalam hal concursus idealis
menggunakan stelsel absorpsi murni yaitu dengan salah satu pidana yang terberat.
Gabungan dalam beberapa perbuatan (Meerdaadse Samenloop/concursus realis)
Meerdaadse Samenloop terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, dan
tiap-tiap perbuatan tindak pidana sendiri-sendiri dan terhadap perbuatan-perbuatan tadi
diadili sekaligus. Hal ini diatur dalam pasal 65, 66, 70 dan 70 bis KUHP. Menurut ketentuan
yang termuat dalam KUHP, concursus realis dibedakan antara jenis tindak pidana yang
dilakukan. Tindak pidana kejahatan termuat dalam pasal 65 dan 66 KUHP. Sedangkan tindak
pidana pelanggaran termuat dalam pasal 70 dan 70 bis.
Pasal 65 KUHP mengatur gabungan dalam beberapa perbuatan yang diancam dengan
pidana pokok sejenis dan sistem pemidanaan menggunakan sistem absorpsi diperberat. Pasal
66 KUHP mengatur gabungan dalam beberapa perbuatan yang diancam dengan pidana
pokok yang tidak sejenis dan sistem pemidanaanya juga menggunakan absorpsi diperberat.
Perbedaan antara pasal 65 dan 66 KUHP terletak pada pidana pokok yang diancamkan
terhadap kejahatan-kejahatan yang timbul karena perbuatan-perbuatannya itu yaitu apakah
pidana pokok yang diancamkannya itu sejenis atau tidak. Sedangkan pasal 70 KUHP
mengatur apabila seseorang melakukan beberapa pelanggaran atau apabila seseorang
melakukan beberapa perbuatan yang merupakan kejahatan dan pelanggaran.
Jika pasal 65 dan 66 menyebutkan tentang gabungan kejahatan dengan kejahatan, pasal
70 memberi ketentuan tentang gabungan kejahatan dengan pelanggaran atau pelanggaran
dengan pelanggaran. Dalam hal ini maka kejahatannya dijatuhkan hukumannya sendiri,
sedangkan bagi masing-masing pelanggarannya pun dikenakan hukuman sendiri-sendiri
dengan pengertian bahwa jumlah semuanya dari hukuman kurungan yang dijatuhkan bagi
pelanggaran-pelanggaran itu tidak boleh lebih dari satu tahun empat bulan dan mengenai
hukuman kurungan pengganti denda tidak lebih dari delapan bulan. Pasal 70 bis menentukan
kejahatan-kajahatan ringan dianggap sebagai pelanggaran. Bagi masing-masing kejahatan
ringan tersebut harus dijatuhkan hukuman sendiri-sendiri dengan ketentuan bahwa jika
dijatuhkan hukuman penjara maka jumlah semua hukuman tidak boleh lebih dari delapan
bulan.
Perbuatan berlanjut (Voorgezette Handeling)
Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan dan beberapa perbuatan itu merupakan
tindak pidana sendriri. Tetapi di antara perbuatan itu ada yang hubungan sedemikian eratnya
satu sama lain sehingga beberapa perbuatan itu harus dianggap sebagai satu peruatan
lanjutan. Hal ini diatur dalam pasal 64 KUHP dan pemidanaannya menggunakan sistem
absorpsi.
Apa yang dimaksud dengan perbuatan berlanjut? Terdapat beberapa pendapat mengenai
perbuatan berlanjut tersebut. Ada sarjana yang memberikan pengertian bahwa perbuatan
berlanjut adalah apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing
merupakan delik, tetapi beberapa perbuatan yang masing-masing delik itu seolah-olah
digabungkan menjadi satu delik.
Sedangkan Simons mengatakan bahwa KUHP yang berlaku sekarang tidak mengenal
vorgezette handeling sebagaimana diatur dalam pasal 64 KUHP yang merupakan bentuk
gabungan dalam concursus realis. Hanya tentang pemidanaan pasal 64 KUHP menyimpang
dari ketentuan pasal 65 KUHP dan 66 KUHP. Menurut pasal 65 KUHP dan 66 KUHP yang
dijatuhkan adalah satu pidana yang terberat ditambah dengan sepetiganya. Sedangkan
menurut pasal 64 KUHP yang dijatuhkan hanya satu pidana yang diperberat. Oleh karena itu,
Simons menganggap pasal 64 KUHP sebagai pengecualian terhadap concursus realis/
meerdaadse samenloop.
Adapun ciri-ciri dari perbuatan berlanjut adalah:
Tindakan-tindakan yang terjadi adalah sebagai perwujudan dari satu kehendak jahat;
Delik-delik yang terjadi itu sejenis; dan
Tenggang waktu antara terjdinya tindakan-tindakan tersebut tidak terlampau lama.
Persoalan mengenai sejauh mana cakupan dari satu kehendak jahat tersebut erat
hubungannya dengan delik dolus/ culpa dan delik materil/ formil. Untuk delik dolus dalam
hubungannya dengan delik materiil/ formal tidak ada persoalan mengenai cakupan dari sau
kehendak jahat tersebut.
BAB IV
ANALISIS KASUS
Perbuatan Terdakwa merupakan Concurus Realis
Setelah menganalisa kasus tersebut berdasarkan teori-teori penggabungan seperti yang
sudah diterangkan diatas, kelompok kami mengambil kesimpulan bahwa kasus tersebut
merupakan kasus yang termasuk ke dalam penggabungan. Bentuk penggabungan yang terjadi
dalam kasus tersebut adalah Concursus Realis Heterogenius. Walaupun istilah concursus realis
dan idealis masih diperdebatkan oleh para sarjana, akan tetapi penulis menggunakan istilah ini
untuk memudahkan dengan landasan teori yang telah dijabarkan sebelumnya.
Putusan Mahkamah Agung (MA) pada kasus tersebut memang sudah tepat bahwa
memang terdapat penggabungan yaitu Concursus Realis dalam kasus tersebut. Akan tetapi, MA
tidak menerangkan dasar hukum dari Concursus Realis secara tepat karena mencantumkan baik
pasal 65 dan 66 KUHP secara bersamaan padahal kedua pasal tersebut mengatur dua hal yang
berbeda. Hal ini membuktikan bahwa MA tidak tahu secara pasti bentuk dari Concursus Realis
yang terjadi. Selain itu, MA juga tidak mencantumkan dasar-dasar hukum lainnya yang
menguatkan posisi dari Concursus Realis dalam kasus tersebut dan hanya mencermati dari
pemidanaan yang seharusnya diberikan kepada terdakwa. Oleh karena itu, pasal yang tepat
dalam menjelaskan dan menggali pertimbangan tersebut kami menjelaskan Pasal 66 ayat (1)
KUHP yang menjadi landasan kami untuk menganalisis, yang menyebutkan:
“Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang masing-masing harus
dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri-sendiri, sehingga merupakan
beberapa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis,
maka dijatuhkan pidana atas tiap-tiap kejahatan tetapi jumlahnya tidak boleh
melebihi maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga.”
Dalam rumusan pasal tersebut terdapat kata ”beberapa perbuatan” yang membuat
perbuatan pidana yang mendasari Concursus Realis terlihat menjadi sempit, yaitu hanya
perbuatan fisik semata. Akan tetapi, dalam rumusan pasal 66 ayat (1) KUHP pun disebutkan
bahwa ”masing-masing harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri-sendiri
sehingga merupakan beberapa kejahatan.” Rumusan ini menjelaskan bahwa diantara
perbuatan-perbuatan yang terjadi yang merupakan kejahatan dan dapat dihukum pidana, harus
berdiri sendiri-sendiri. Jadi, untuk menentukan apakah suatu penggabungan tindak pidana
merupakan Concursus Realis atau Concursus Idealis maka hubungan dari perbuatan-perbuatan
tersebut adalah sangat penting.
Walaupun demikian, kami juga berusaha mencari dari sumber hukum lainnya yaitu
berupa doktrin dari beberapa sarjana, seperti Jonkers secara negatif mengatakan bahwa segala
yang tidak termasuk concursus idealis atau perbuatan terus-menerus merupakan concursus
realis. Dengan membuat definisi yang negatif ini, Jonkers merasa bahwa dirinya telah terbebas
dari kewajiban membuat satu uraian tersendiri tentang apa itu concursus realis. Definisi Jonkers
tentang concursus realis tersebut memang tidak memberikan penjelasan yang tepat dan pasti dari
concursus realis apalagi membahas tentang ”beberapa perbuatan” yang merupakan unsur dari
concursus realis, akan tetapi telah memberikan sedikit pemahaman bahwa concursus idealis,
concursus realis, dan juga perbuatan berlanjut, adalah tiga jenis bentuk perbuatan yang berbeda.
VOS membuat definisi bahwa concursus realis terjadi dalam hal beberapa fakta yang
harus dipandang sebagai perbuatan yang tersendiri-sendiri dan yang masing-masing merupakan
peristiwa pidana, dilakukan oleh satu orang dan diantara waktu terjadinya masing-masing fakta
itu tidak diputuskan hukuman terhadao salah satu fakta-fakta tersebut, dan juga tidak tidak perlu
ada hubungan antara fakta-fakta itu.
VOS berpendapat bahwa yang harus dimaksud dengan ”perbuatan” dalam pasal 65-66
KUHP adalah seluruh kompleks (gedraging), akibat, unsur-unsur kesalahan yang subjektif, serta
fakta-fakta lain yang menyertai terjadinya delik. Dengan kata lain, tiap-tiap kompleks kejadian
yang tercangkup dalam satu ketentuan pidana.
Pompe juga mengemukakan keberatan-keberatan baik yang ditinjau dari sudut teoritis
mapun yang ditinjau dari sudut praktis, terhadap penafsiran tentang perbuatan (feit) sebagai satu
perbuatan yang dilihat sebagai perbuatan fisik (materiil) saja. Menurut Pompe, pendapat klasisk
tersebut sebenarnya hanya tepat untuk delik-delik yang terjadi karena dilakukan perbuatan-
perbuatan materiil (fisik). Jadi, hanya tepat untuk delik-delik komisi (commisie delicten) saja.
Dalam hal dilakukannya delik-delik lain maka ajaran klasik ini tidak dapat digunakan, dan harus
dicari ukuran lain yang tidak begitu materiil dan tidak begitu fisik.
Ukuran yang dimaksud oleh Pompe juga lebih sesuai dengan sifat dari hukum karena
dalam hukum tidak dipermasalahkan tentang gerak badan tertentu, tetapi yang dipersoalkan
adalah apakah sikap tertentu seseorang berhubungan dengan tujuan yang hendak dicapai orang
tersebut. R.Soesilo dalam penjelasan pasal 63 KUHP mengatakan bahwa seseorang yang
mengendarai kendaraan bermotor di malam hari tanpa memakai penerangan dengan tidak
membawa SIM, lalu menabrak orang sehingga luka berat, meskipun ia hanya melakukan satu
perbuatan fisik yaitu mengedarai sepeda motor tetapi tidak bisa dianggap sebagai concursus
idealis, karena, peristiwa pidana tersebut dapat dipisah-pisah satu sama lain tanpa
melenyapkan salah satu peristiwa. Maka, perbuatan tersebut termasuk concursus realis dan
hukuman yang dipakai adalah ketentuan dalam pasal 70 KUHP.
Kasus yang dapat menjelaskan suatu perbuatan tidak hanya dilihat dari perbuatan fisik
saja, atau dengan kata lain tidak hanya apa yang terlihat secara kasat mata antara lain:
A mengendarai sebuah mobil tanpa memasang lampu dan pada saat itu juga berada dibawah
pengaruh minuman keras. Hoge Raad melihat apa yang dilakukan oleh A sebagai concursus
realis karena tidak mungkin ada concursus apabila yang bersangkutan tidak melakukan suatu
perbuatan yang berjiwa satu. Dapat pula dicatat bahwa peristiwa yang satu dapat dilihat
terlepas dari peristiwa yang lain.
A dengan mobilnya menabrak sekaligus tiga orang yang naik sepeda. Satu diantara tiga orang
tersebut mati dan dua diantaranya luka berat. Biarpun satu tabrakan tetapi HR beranggapan
bahwa perbuatan tersebut adalah concursus realis.
Pertimbangan Hoge Raad menyatakan bahwa “Tertuduh telah mengendarai mobilnya pada
waktu ia sedang dalam keadaan mabuk. Dalam pada itu mobilnya tersebut tidak dilengkapi
dengan dua buah lampu. Yang penting di dalam kenyataan yang pertama itu adalah keadaan
tertuduh, sedang id dalam kenyataan yang kedua adalah keadaan mobilnya. Kenyataan-
kenyataan tersebut dapat dipandang sebagai kenyataan-kenyataan yang berdiri sendiri-sendiri.
Masing-masing merupakan pelanggaran yang berdiri sendiri-sendiri dengan sifat yang
berbeda-beda. Bahwa dua kenyataan itu telah timbul pada waktu yang bersamaan, bukanlah
merupakan sesuatu yang bersifat menentukan. Kenyataan yang satu itu tidak ada kaitannya
dengan kenyataan yang lain dan kenyataan yang satu itu bukan merupakan syarat bagi
tumbulnya kenyataan yang lain. Kenyataan-kenyataan tersebut dapat dipandang sebagai
kenyataan-kenyataan yang berdiri sendiri-sendiri. Disini terdapat suatu meerdaadse
samenloop.”
Selain itu, Hoge Raad pada kasus poin 2 diatas menjelaskan pertimbangannya yaitu “Di dalam
suatu kecelakaan itu seorang pengemudi mobil telah menyebabkan matinya seorang pengendara
sepeda dan telah menyebabkan seorang lainnya mendapat luka-luka berat pada tubuhnya. Apa
yang sesungguhnya telah terjadi itu bukanlah pelanggaran-pelanggaran ataupun suatu
pelanggaran – oleh karena hal tersebut dengan sendirinya tidaklah relevan – melainkan
perbuatan menimbulkan dua akibat yang terlarang oleh undang-undang. Ini merupakan dua
tindakan, dimana undang-undang sendiri telah menggunakan perkataan tersebut untuk
menunjukan segala sesuatu yang dapat termasuk ke dalam suatu ketentuan pidana. Pasal 65
KUHP telah menyebut tindakan-tindakan tersebut kejahatan-kejahatan yang berbeda-beda.
Dalam hal ini yang harus diberlakukan itu bukanlah Pasal 63 ayat (1) KUHP melainkan Pasal
65 KUHP.” Artinya dalam suatu perbuatan yang terlihat dengan kasat mata hanya terlihat satu
tindak pidana saja, sedangkan Hoge Raad sudah menafsirkan sebagai kenyataan, sebagai
tindakan dan sebagai segala sesuatu yang dapat termasuk ke dalam suatu ketentuan pidana,
sehingga dapat disimpulkan bahwa apabila pelaku melakukan suatu perbuatan yang mau tidak
mau akan mengakibatkan beberapa akibat, harus dipandang sebagai suatu perbuatan, dan begitu
sebaliknya.
Mengutip dari pendapat Prof. Simons yang mengatakan didalam suatu samenloop itu orang
harus membedakan apakah si pelaku hanya melakukan satu tindakan – diartikan menurut arti
sebenarnya, jadi sebagai pelaksanaan secara material – ataupun ia telah melakukan beberapa
tindakan sehingga dapat ditarik benang merah yaitu perkataan feit itu menurut paham yang baru
harus diartikan lebih sempit dari pada tindakan dalam arti material dan pada saat yang sama ia
juga harus diartikan lebih luas dari pada tindak pidana.
Dari kasus tabrakan truk dengan kereta diatas, memang apabila dilihat dari sudut
perbuatan materiil (fisik) semata maka unsur ”beberapa perbuatan” tidak terpenuhi. Akan
tetapi, apabila menggunakan ukuran lain dalam menentukan perbuatan dalam pasal tersebut
seperti yang sudah diuraikan dalam doktrin-doktrin para sarjana hukum dan yurisprudensi diatas,
maka dapat terlihat bahwa sebenarnya telah terjadi beberapa perbuatan yang merupakan
kejahatan yang dapat dipidana.
Walaupun demikian, untuk menentukan concursus realis dalam kasus diatas adalah
dengan melihat pasal yang didakwakan pada terdakwa (P.Aris) yaitu pasal 360 ayat (2) KUHP
tentang karena kealpaan menyebabkan orang lain luka-luka dan pasal 409 KUHP tentang
kesengajaan merusakkan fasilitas umum. Apabila melihat akibat-akibat dari perbuatan-perbuatan
yang muncul dari kasus diatas, dapat terlihat dengan jelas bahwa ”perbuatan yang
menimbulkan akibat-akibat pidana tersebut dapat dipisah-pisah satu sama lain tanpa
melenyapkan salah satu peristiwa.” Maksudnya, untuk dengan sengaja merusakan fasilitas
umum, PA tidak harus dengan lalainya menyebabkan orang lain terluka. Dua akibat tersebut
merupakan hal-hal yang tidak bisa diprediksikan sebelumnya dan dapat dipisah-pisahkan. Jadi,
tidak perlu ada keterkaitan antara akibat-akibat yang terjadi. Selain itu, perbuatan yang dilakukan
seharusnya bukan mau tidak mau akan terjadi, akan tetapi PA mengetahui apabila truk di gas dan
ada kemungkinan untuk tidak bisa mengejar target untuk sampai melawati rel, maka akan terjadi
suatu tabrakan, selain itu ada perbuatan lain yaitu PA juga mengetahui seandainya terjadi
tabrakan akan menyebabkan rusaknya lokomotif atau rel kereta api. Memang PA tidak bisa
menyadari, akan tetapi dapat memperkirakan bahwa apa yang terjadi yaitu tabrakan dan
rusaknya fasilitas umum dapat diperhitungkan, khususnya menjadi 2 perbuatan akibat lalainya
PA.
Maka dari itu, bentuk yang terjadi dalam kasus diatas adalah concursus realis
heterogenius, dan karena diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis maka dasar
pemidanaannya cukup dengan pasal 66 ayat (1) KUHP.
Penjatuhan Pidana
Dalam kasus diatas dapat dilihat yaitu penerapan pasal 66 ayat (1) KUHP tidak dipergunakan
sebagaimana mestinya, karena sudah terbuktinya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh PA.
Pertimbangan Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri (PN) tidak bisa menjadi patokan karena
Hakim PN hanya menjatuhkan pidana dengan jenis Penjara saja, tanpa melihat bahwa ketentuan
pasal yang diancamkan pada Pasal 360 ayat (2) KUHP dan Pasal 409 KUHP mempunyai jenis
yang berbeda yaitu penjara dan kurungan. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi juga tidak
mempertimbangkan masalah yang sama, sehingga memperbaiki putusan PN hanya masalah
beratnya pidana yang dijatuhkan tanpa melihat ada dasar-dasar yang meringankan pidana non-
yuridis yang lebih banyak dibandingkan dasar pemberat pidana non-yuridis, yaitu:
Hal-hal yang meringankan
1. Terdakwa mengaku terus terang sehingga memperlancar jalannya persidangan
2. Terdakwa bersikap sopan
3. Terdakwa masih muda
4. Terdakwa belum pernah dihukum
Hal-hal yang memberatkan
1. Akibat perbuatan terdakwa menimbulkan keterlambatan perjalanan kereta api sampai 5
jam.
Apabila kita meneliti dari hal-hal yang meringankan dan memberatkan non-yuridis, maka kita
akan menyimpulkan bahwa hal-hal yang meringankan lebih banyak dari pada hal-hal yang
memberatkan, artinya penjatuhan pidana yang maksimal akan dikurangi lebih banyak ketimbang
ditambahkan pemidanaannya. Terlepas dari hukuman yang dijatuhkan, maka apabila kita melihat
ancaman hukuman pasal yang didakwakan, yaitu:
Pasal Dakwaan Ancaman Pidana Vonis
Pasal 360 ayat Penjara 9 bulan, atau
(2) KUHP Kurungan 6 bulan, atau
Denda Rp. 4500,-
Pasal 409 KUHP Kurungan 1 bulan, atau
Denda Rp. 1500,-

PENGADILAN NEGERI Penjara 2 bulan dan 15 hari

PENGADILAN TINGGI Penjara 10 bulan

MAHKAMAH AGUNG Kejahatan I: Penjara 3 Bulan


Kejahatan II: Kurungan 15 hari
Dalam penentuan pidana pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi tidak menerapkan
hukum dalam menjatuhkan sanksi pemidanaan, seharusnya Hakim menjatuhkan maksimum
penjara adalah sebagai berikut:
Kejahatan I: Penjara 12 bulan
Kejahatan II: Kurungan 1 bulan 10 hari
Dengan demikian, pertimbangan Mahkamah Agung dari segi penjatuhan pidana sudah tepat, dan
kelompok kami setuju dengan amar putusan tersebut, karena berdasarkan pasal 66 ayat (1)
KUHP, maka perbuatan yang diancamkan berbeda jenisnya (vide pasal 10 KUHP), sehingga
harus dijatuhkan pidana yang berbeda terhadap kejahatan yang berbeda pula.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah diuraikan dihubungkan dengan pokok permasalahan yang telah
dirumuskan, maka kami dapat menarik kesimpulan bahwa:
Perbuatan yang dilakukan yang terdapat dalam pasal 65-66 KUHP tidak dapat hanya diartikan
sebagai perbuatan materiil atau fisik saja. Akan tetapi, perbuatan-perbuatan yang terjadi
harus dilihat dalam suatu kompleks perbuatan dan juga akibat-akibat yang terjadi.
Selain itu, ukuran dari concursus realis (juga untuk membedakan dengan concursus idealis)
yang terbaik adalah melihat keterkaitan atau hubungan dari peristiwa-peristiwa pidana yang
terjadi beserta akibat-akibatnya. Apakah suatu peristiwa pidana A merupakan syarat dari
peristiwa pidana B dan seterusnya. Apakah peristiwa-peristiwa pidana yang terjadi
merupakan perbuatan yang tidak dapat dipisah-pisah yang satu dengan lainnya tanpa
melenyapkan peristiwa yang lain ataukah dapat dipisah-pisah satu dengan lainnya tanpa
melenyapkan salah satu peristiwa? Apabila ternyata dapat dipisah-pisah tanpa melenyapkan
peristiwa yang lain maka bentuk penggabungan yang terjadi adalah concursus realis. Hal
tersebut merupakan ukuran yang paling mudah dimengerti dan digunakan untuk menentukan
apakah bentuk penggabungan yang terjadi merupakan concursus realis atau bukan, sehingga
dalam kasus yang dibahas akan menjadi terang suatu permasalahan yang dihadapi di
prakteknya. Dengan demikian, dalam kasus benturan Truk dan Kereta Api terdapat suatu
gabungan tindak pidana berupa concursus realis atau perbarengan beberapa perbuatan.
Dalam Putusan Mahkamah Agung sudah tepat, sedangkan Putusan Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Tinggi tidak tepat, karena tidak mempertimbangkan dasar-dasar dikenakannya
suatu penjatuhan hukuman berupa vonis maupun masalah gabungan tindak pidana tidak
dipertimbangkan dalam penjatuhan pidana, sehingga putusan tersebut haruslah diperbaiki..
Saran
Kelompok kami memberikan beberapa rekomendasi yang penting bagi para aparatur penegak
hukum termasuk calon aparatur penegak hukum kelak di masa datang, agar selalu
mempertimbangkan dan menganalisis suatu permasalahan dengan menyeluruh sehingga
mendapatkan suatu penafsiran yang tidak salah, terutama Hakim. Selain itu, perlu suatu pelatihan
mengenai teori-teori hukum pidana yang dipelajari bagi para penegak hukum nantinya,
khususnya mengenai pemidanaan yang terkadang tidak adil dirasakan oleh terdakwa.
Pemahaman ataupun konsep yang salah akan menimbulkan permasalahan yang berlarut-larut dan
kontroversial. Dengan demikian, teori-teori gabungan tindak pidana hendaknya tidak ditafsirkan
secara leterlijk saja yaitu yang berdasar pada undang-undang, tetapi juga sumber hukum tidak
terbatas dari perundang-undangan, akan tetapi meliputi juga doktrin, yurisprudensi hakim dan
lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Jonkers “Alles, wat niet eendaadsche samanloop of voortgezette handeling is, is meerdaadsche
samanloop.”
Kanter, E.Y. dan S.R. Sianturi. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya.
(Jakarta: Penerbit Storia Grafika, 2002).
Lamintang, P.A.F.. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
1997).
Loqman, Loebby. Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan Tindak Pidana. (Jakarta: Universitas
Tarumanegara, 1996).
Marpaung, Leden .Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005).
Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta : Bina Aksara, 1987).
Prodjodikoro, Wirjono.Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Jakarta: Eresco, 1967).
Prodjodikoro, Wirjono.Tindak Pidana Tertentu, (Jakarta: Eresco, 1967).
Sianturi, S.R.. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Rineka Cipta,
1985).
Simons, Leerboek van het Nederlandsee Straftrecht, P. Noordhoff N. V., (Groningen: Batavia,
1937).
Soesilo, R..Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal
demi Pasal. (Bogor: Politeia, 1993).
Utrecht, E.. Rangkaian Sari Kuliah: Hukum Pidana II. (Bandung: PT. Penerbitan Universitas,
1958).
Putusan
Keputusan HR tertanggal 11 April 1927, NJ 1927, W Nr 11673.
Keputusan HR tertanggal 24 Oktober 1932, NJ 1932.
Keputusan HR tertanggal 8 Februari 1932, NJ 1932.
Jonkers “Alles, wat niet eendaadsche samanloop of voortgezette handeling is, is meerdaadsche samanloop.”,
hal. 136.
Vos (hal 312).
Pompe, Kritik terhadap Keputusan HR tertanggal 11 April 1927, NJ 1927, W Nr 11673.
E. Utrecht. Rangkaian Sari Kuliah: Hukum Pidana II. (Bandung: PT. Penerbitan Universitas, 1958), hal 145.
Keputusan HR tertanggal 8 Februari 1932, NJ 1932, hal.289.
Keputusan HR tertanggal 24 Oktober 1932, NJ 1932, hal. 16.
P.A.F. Lamintang. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997), hal.
680.
Ibid, hal. 681.
Prof. Mr. Simons, Leerboek van het Nederlandsee Straftrecht, P. Noordhoff N. V., (Groningen: Batavia,
1937), hal. 464.
Lamintang, op. cit., hal. 682

You might also like