You are on page 1of 9

KOMUNIKASI PEMBANGUNAN DAN PERUBAHAN SOSIAL

Pembangunan dan perubahan sosial adalah fenomena yang tidak mungkin kita
hindari selaku masyarakat yang terus berubah demi kemajuan hidup, apalagi kita ini
termasuk sebagai masyarakat yang tinggal di negara Dunia Ketiga atau negara
berkembang.
Dengan adanya pembangunan dan perubahan sosial, kita melihat adanya berbagai
efek yang terjadi pada kehidupan sosial, baik itu efek positif maupun negatif.
Bagaimana mengukur keberhasilan atau kegagalan suatu pembangunan? Kita dapat
melihat dari berbagai faktor, yaitu:
 menghitung kekayaan rata-rata masyarakat,
 pemerataan pendapatan,
 bagaimana kualitas kehidupan yang ada,
 kerusakan lingkungan, dan
 keadilan sosial dan kesinambungan.
Memang berbagai faktor tersebut adalah syarat-syarat keberhasilan pembangunan
suatu negara, tapi lingkup itu terlalu luas, maka saya gunakan juga syarat-syarat tersebut
untuk mengukur keberhasilan pembangunan suatu daerah.
Dalam tugas ini saya mengangkat tema pembangunan dan perubahan sosial yang
terjadi pada orang-orang yang bekerja dengan penghasilan di bawah UMR. Saya
menggunakan standar upah minimum regional (UMR) Bandung. Untuk mengukur tingkat
kesejahteraan dan pembangunan itu saya mewawancarai tiga orang karyawan di Unpad.
Pertama adalah seorang petugas kebersihan Unpad, kedua adalah penjaga perustakaan
Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad, dan yang terakhir adalah penjaga keamanan Unpad.
Dari tiga orang narasumber yang saya wawancarai, saya menemukan banyak hal
baru mengenai keadaan sosial. Menurut saya, mereka merupakan orang-orang yang hebat
karena dapat bertahan hidup dengan penghasilan yang kurang mencukupi, bahkan bisa
dibilang kurang pantas dibandingkan apa yang telah mereka lakukan untuk Unpad.
Bagaimana mungkin di zaman yang serba mahal ini seseorang dengan tanggungan 2
orang anak dapat bertahan hidup dengan penghasilan hanya 200 ribu rupiah? Apakah
UMR sudah memberikan keadilan bagi para karyawan? Menurut saya, dengan jumlah
UMR Bandung yang hanya sekitar Rp 850.000,- para karyawan hanya menjadi sapi perah
bagi para pengusaha dan pemilik kepentingan lainnya.
Menurut saya, keadaan pada masyarakat yang bekerja dengan penghasilan di bawah
UMR ini memang belum mewakili keseluruhan keadaan di Indonesia, namun tidak ada
salahnya membahasa masalah ini dari satu standar sebagai pedoman awal.
Oleh karena itu dalam tugas ini saya mau mengangkat mengenai teori modernisasi
untuk membahas masalah ini.
Teori-teori tersebut adalah:
 Teori Harrod-Domar: Tabungan dan Investasi
 Max Weber: Etika Protestan
 David McClelland: Berprestasi atau n-Ach
 W.W. Rostow: Lima Tahap Pembangunan
 Bert F. Hoselitz: Faktor-Faktor Non-ekonomi
 Alex Inkeles dan David H.Smith: Manusia Modern

1. Teori Harrord-Domar: Tabungan dan Investasi


Teori ini mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh tinggi
rendahnya tabungan dan investasi. Pada intinya, teori ini menekankan bahwa
pembangunan hanya merupakan masalah penyediaan modal untuk investasi.
Bila dikaikan dengan ketiga narasumber yang saya wawancarai, mereka
mengatakan bahwa penghasilan yang mereka dapat hanya dapat mencukupi uang makan
sehari-hari. “Bagaimana mau menabung, gaji saja kurang. Anak saya ada dua dan suami
saya cuma seorang kerja di bengkel. Sebenernya saya juga jualan layang-layang, tapi kan
tidak setiap hari laku,” demikian kata Ibu Dede, petugas kebersihan Unpad.
“Wah, gaji saya mah pas-pasan buat hidup sehari-hari,” ujar Udin petugas
keamanan Unpad. Ketika ditanyakan hal yang sama kepada Ai, penjaga perpustakaan
Fikom Unpad, dia bilang uang itu cukup untuk ongkos dan makannya sehari-hari.
Dari sini saya menyimpulkan keberadaan tabungan dan investasi belum menjadi
prioritas para karyawan yang bergaji di bawah UMR. Mereka lebih memilih
menggunakan penghasilannya untuk kebutuhan sehari-hari dibandingkan pemenuhan
jaminan akan masa depan dan tidak memikirkan bahwa tabungan serta investasi tersebut
merupakan variabel yang penting bagi pembangunan suatu daerah bahkan negara.
Namun, kita masih harus merujuk pada teori lain lagi karena tabungan dan investasi
saja tidak cukup untuk mewakili keadaan mengenai pertumbuhan ekonomi.

2. Max Weber: Etika Protestan


Max Weber adalah seorang sosiolog Jerman yang dianggap sebagai bapak sosiologi
modern. Menurutnya, peran agama adalah faktor yang menyebabkan munculnya
kapitalisme di Eropa Barat dan Amerika Serikat. Etika Protestan mengajarkan bahwa
orang-orang bekerja keras untuk mencapai sukses, dan mereka akan mendapatkan imbala
ndari Tuhan yatu masuk Surga. Hal inilah yang mendorong ekspansi kaum Barat
menjelajahi dunia.
Disini saya tidak melihat bahwa Etika Protestan hanya utnuk orang Barat ataupun
mereka yang beragama Protestan. Kita harus memandangnya sebagai suatu semangat
kerja keras demi apa yang disebut pahala dan kesuksesan. Hal ini dilakukan demi
pengabdian kepada agama mereka, bukan untuk hasil material. Oleh karena itu, Etika
Protestan menjadi sebuah nilai tentang kerja keras tanpa pamrih untuk mencapai sukses.
Dari ketiga narasumber saya, mereka merupakan orang yang rajin beribadah.
Mereka melaksanakan sholat lima waktunya dengan benar. Jika tidak sempat
melaksanakan sholat pada waktu tertentu, mereka akan menggantinya pada waktu lain.
Ketka ditanyakan apakah mereka mengharapkan pahala dari pekerjaan yang mereka
lakoni, mereka hanya mengatakan bahwa itu semua sudah rencana Tuhan. Mereka hanya
melaksanakan apa yang sudah menjadi peranannya namun mereka tetap mengharapkan
kenaikan penghasilan. Jika penghasilan mereka tidak berubah juga tidak apa-apa. Mereka
tidak mau ada masalah dengan pejabat Unpad yang menyebabkan mereka akan dipecat
jika berusaha meminta kenaikan gaji.
Menurut saya mereka pasrah menghadapi kenyataan. Apa yang mereka dapat
merupakan suatu anugerah. Tinggal menjalankan apa yang sudah menjadi anugerah
tersebut.
Sebenarnya sikap seperti ini baik, tapi sebagai manusia kita juga harus berjuang
demi perbaikan kualitas hidup. Penguasa juga harus memikirkan para pekerjanya. Sulit
bagi saya membayangkan hidup dengan penghasilan 200 ribu sebulan dengan
menanggung dua anak dan bekerja lima hari dalam seminggu, mulai dari pagi sampai
sore ketika matahari hampir terbenam. Ini merupakan premanisme dan bentuk pemerasan
yang dilakukan penguasa terhadap bawahannya yang setia.
Perlu ada aturan yang menguntungkan kedua belah pihak. Jangan timpang sebelah
seperti ini.

3. David McClelland: Dorongan Berprestasi


McClelland tiba pada konsepnya yang terkenal, yaitu need for achievement, atau
kebutuhan untuk berprestasi. Menurutnya, mirip dengan Etika Protestan, keinginan,
dorongan untuk berprestasi ini tidak sekedar untuk meraih imbalan material yang besar.
Ada kepuasan pribadi tersendiri apabila seseorang berhasil melaksanakan pekerjaannya
dengan sempurna.
Selanjutnya menurutnya, apabila dalam sebuah masyarakat ada banyak orang yang
memiliki n-Ach yang tinggi, masyarakat tersebut akan menghasilkan pertumbuhan
ekonomi yang tinggi.
Apakah kesimpulan ini dapat dipakai untuk masyarakat sekarang? Saya akan
menilainya melalui ketiga narasumber saya.
Ketiga narasumber saya memiliki n-Ach yang berbeda. Bu Dede mengatakan dia
ingin bekerja lebih baik dan maksimal asalkan penghasilannya ditambah dan Unpad tidak
menambah lagi petugas kebersihan, yang menurutnya akan membuat mereka semakin
sulit dari segi kenaikan penghasilan.
Ai Herman merasa bahwa dia sudah cukup dengan penghasilannya sekarang. Dia
bangga sudah bisa bekerja dan membantu orang tuanya yang bekerja sebagai petani. Ini
merupakan satu dorongan berprestasi juga buatnya, karena ia memiliki status sudah
bekerja dibandingkan dengan teman-teman sebayanya yang menganggur.
Udin Wahyudin ingin statusnya sebagai pegawai kontrak diubah menjadi pegawai
negeri karena menurutnya, dia sudah lama bekerja di unpad, yaitu sembilan tahun sampai
sekarang ini. Katanya, pengabdiannya setidaknya musti dihargai dengan kenaikan
penghasilan. Ini juga merupakan n-Ach dalam bentuk keinginan perubahan status karena
pengabdian kerja.
4. W.W. Rostow: Lima Tahap Pertumbuhan
Pada awal 50s, selepas Perang Dunia II, kebanyakan negara yang dijajah telah
mendapat merdeka. Bawah regim komunis, negara yang baru merdeka merupakan
Negara kapital telah cuba menggunakan polisi yang ketat bagi meletakkan negara yang
kurang membangun kepada sebahagian pembangunan. Dalam perancangan U.S.Mashall
telah berjaya mengubah daripada negara yang berasaskan pertanian kepada negara sedang
membangun yang menjalankan kegiatan industri dan memimpin maklumat bagi teori
tahap Rostow's. Dalam peralihan daripada negara kurang membangun kepada negara
membangun, beberapa tahap dalam proses bagi sesebuah negara haruslah dilalui.
Rostow's telah menghuraikan tahap-tahap ini kepada 5 tahap iaitu yang dikenali sebagai
Teori Pembangunan Linear.
Kelima tahap tersebut adalah:
- Tahap 1: Masyarakat Tradisional (Tradisional Society)
Ilmu pengetahuan pada masyarakat ini masih belum banyak dikuasai. Masyarakat
jenis ini masih dikuasai oleh hal-hal mistis. Masyarakat ini cenderung statis, dalam arti
kemajuan berjalan dengan sangat lambat. Produksi digunakan untuk konsumsi. Tidak ada
investasi.
- Tahap 2: Perubahan (Transitional Stage)
Dalam tahap ini, terdapat pertumbuhan tabungan, pelaburan dan pengusahaan.
Kelebihan perdagangan akibat pertumbuhan telah menyokong kemunculan infrastruktur
pengangkutan. Biasanya, keadaan ini terjadi akibat campur tangan dari luar, dari
masyarakat yang sudah lebih maju. Campur tangani ini menggoyahkan masyarakat
tradisional itu, dan di dalamnya mulai ada ide pembaharuan.

- Tahap 3: Lepas Landas (Take Off)


Ini adalah awal bagi proses pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan,
ditandai dengan 3 ciri utama dalam sektor ini yang dikenal pasti:
a. Terdapat peningkatan dalam peleburan secara produktif, yaitu mencapai
pertumbuhan dari 5% menjadi lebih dari 10%.
b. Terdapat kadar pertumbuhan yang tinggi bagi pembangunan dalam satu
atau beberapa sektor ekonomi.
c. Kewujudan yang cepat bagi rangka kerja politik, sosial, dan institusi yang
mendorong perkembangan sektor modern.

- Tahap 4: Bergerak ke Arah Kedewasaan (Drive to Maturity)


Ini adalah tahap di mana semua rintangan atau halangan bagi lepas landas (take-off)
diatasi. Masyarakat harus melancarkan diri kepada masyarakat yang dapat menampung
keperluan asas bagi mencapai pertumbuhan ekonomi.

- Tahap 5: Konsumsi Massal yang Tinggi (High Mass Consumption)


Kenaikan pendapatan menyebabkan konsumsi tidak hanya untuk kebutuhan
pokok saja, tetapi meningkat kepada kebutuhan hidup yang lebih tinggi. Produksi industri
juga berubah, dari kebutuhan dasar menjadi barang knsumsi yang tahan lama. Pada titik
ini, pembangunan sudah merupaka sebuah proses yang berkesinambungan, yang bisa
menopang kemajuan secara terus menerus.
Dari kelima tahap ini, saya melihat Jatinangor sebagai daerah transisional, yaitu
desa yang menjadi kota. Dulu, sebelum menjadi kawasan pendidikan, Jatinangor adalah
desa yang menjadi lintasan berbagai kendaraan yang mengarah ke Sumedang. Namun,
saat banyak mahasiswa datang, ada kebudayan-kebudayaan baru yang juga ikut masuk,
sehingga bercampur dengan kebudayaan setempat. Kebudayaan tersebut bisa
menggoyahkan kebudayaan asli.
Jaman pun semakin maju dan teknologi informasi juga semakin canggih.
Masyarakat Jatinangor jadi lebih mudah mendapatkan informasi dari luar karena akses
informasi sudah banyak. Melalui informasi yang masyarakat dapat, mereka dapat menjadi
lebih kreatif dalam berusaha. Namun, ada banyak juga orang-orang yang ‘terjajah’, dalam
arti tidak menjadi tuan bagi daerahnya sendiri. Mereka kalah karena kekurangan modal
dibandingkan dengan orang-orang kota yang datang ke Jatinangor. Contohnya adalah
dengan berdirnya dua pusat perbelanjaan baru di Jatinangor yaitu Jatinangor Town
Square (Jatos) dan Plaza Padjadjaran (PP).
Para pedagang tradisional merasa keuntungannya berkurang dengan adanya Jatos
dan PP. Mereka beralih pekerjaan demi kebutuhan hidup seperti pencuci pakaian,
menjual nasi di warung atau berkeliling, ojek, supir angkut, dan lain-lain. Kemiskinan
dan hal tersbut dapat menimbulkan kecemburuan sosial yang umumnya berujung pada
hal-hal negatif misalnya kejahatan pencurian, perampokan disertai kekerasan, penipuan,
pemerkosan, dan sebagainya. Kita dapat melihat banyak calo angkutan di Jatinangor.
Mereka memanggil-manggil penumpang dan setelah mobil angkutan tersebut penuh
mereka meminta uang kepada sopir. Ini juga disebabkan akibat pengangguran. Menurut
saya, perlu kesadaran bersama untuk berbagi.
Contoh yang nyata dari keadaan ini adalah para narasumber saya yang tidak
menjadi tuan di tanah mereka sendiri. Alternatif yang baik menurut saya adalah dengan
memajukan pendidikan di desa-desa yang terdapat di Jatinangor, perbaikan sarana
kesehatan (sekarang sudah lumayan bagus karena terdapat pelayanan kesehatan gratis
bagi warga, namun hanya beberapa tempat), dan perbaikan birokrasi.
5. Bert F Hoselitz: Faktor-Faktor Non-ekonomi
Faktor non-ekonomi ini disebut oleh Hoselitz sebagai faktor kondisi lingkungan,
yang dianggap penting dalam proses pembangunan. Menurutnya, yang penting adalah
keterampilan kerja tertentu, termasuk tenaga wiraswasta yang tangguh. Namun, itu saja
tidak cukup. Untuk membangun diperlukan modal, dan modal itu didapat dari perbankan.
Artinya, bank memiliki peran yang sentral dalam memajukan suatu daerah.
Dari ketiga narasumber saya, mereka belum pernah mengecap pendidikan sampai
jenjang perguruan tinggi, mereka juga tidak mengikuti kursus-kursus keterampilan. Oleh
karena itu, saya menarik kesimpulan bahwa bank-bank yang ada seharusnya memodali
atau memberikan subsidi kepada lembaga-lembaga keterampilan tersebut agar dapat
menolong masyarakat dalam menambah keterampilan. Dari lembaga-lembaga tersebut
diharapkan adanya lulusan-lusan yang ahli dan terampil dalam suatu bidang hingga dapat
memajukan daerah dimana dia tinggal atau bekerja.
Di Jatinangor ada dua bank, yaitu BNI dan BRI. Kedua bank tersebut layaknya
memerhatikan hal seperti ini, agar komitmen mereka sebagai pelayan masyarakat dapat
dipenuhi.
6. Alex Inkeles dan David H. Smith : Manusia Modern
Modernisasi, menunjukkan suatu proses dari serangkaian upaya untuk menuju atau
menciptakan nilai-nilai (fisik, material dan sosial) yang bersifat atau berkualifikasi
universal, rasional, dan fungsional. Lazimnya suka dipertentangkan dengan nilai-nilai
tradisi. Hal ini berhubungan dengan perubahan orientasi.
Yang dimaksudkan orientasi atau arah perubahan di sini meliputi beberapa
orientasi, antara lain (1) perubahan dengan orientasi pada upaya meninggalkan faktor-
faktor atau unsur-unsur kehidupan sosial yang mesti ditinggalkan atau diubah, (2)
perubahan dengan orientasi pada suatu bentuk atau unsur yang memang bentuk atau
unsur baru, (3) suatu perubahan yang berorientasi pada bentuk, unsur, atau nilai yang
telah eksis atau ada pada masa lampau. Tidaklah jarang suatu masyarakat atau bangsa
yang selain berupaya mengadakan proses modernisasi pada berbagai bidang kehidupan,
apakah aspek ekonomis, birokrasi, pertahanan keamanan, dan bidang iptek; namun
demikian, tidaklah luput perhatian masyarakat atau bangsa yang bersangkutan untuk
berupaya menyelusuri, mengeksplorasi, dan menggali serta menemukan unsur-unsur atau
nilai-nilai kepribadian atau jati diri sebagai bangsa yang bermartabat.
Namun, proses modernisasi tampaknya masih dimonopoli oleh masyarakat
perkotaan sampai sekarang, terutama di kota-kota negara sedang berkembang seperti
Indonesia. Kota-kota tersebut dikonsentrasikan sebagai pusat pembangunan, baik itu
aspek material, mental-spiritual, dan sosio-kultural. Dengan kemudahan akses informasi,
masyarakat desa melihat tersebut sebagai sesuatu yang menarik dan layak ditiru, sehingga
sering kita dengar istilah ‘kebarat-baratan’, ‘anak gaul’, atau ‘kekota-kotaan’.
Selanjutnya, mereka berusaha merubah citranya yang berakibat juga dengan perubahan
citra daerah yang ditinggalinya.
Lalu apa yang disebut dengan manusia modern?
Menurut Inkeles dan Smith dalam buk mereka Becoming Modern, manusia modern
dapat dilihat dari ciri-cirinya, yaitu:
 Keterbukaan terhadap pengalaman dan ide baru
 Berorientasi ke masa sekarang dan masa depan
 Punya kesanggupan merencanakan
 Percaya bahwa manusia bisa menguasai alam dan bukan sebaliknya
Menurut mereka setiap orang dapat menjadi manusia modern asalkan ditempatkan
di lingkungan yang tepat. Untuk mengubah manusia menjadi modern, pendidikan sangat
dibutuhkan. Setelah itu, pengalaman kerja dan pengenalan terhadap media massa
merupakan cara kedua yang efektif.
Inkeles dan Smith menekankan faktor pengalaman kerja, terutama bekerja di pabrik
(lembaga kerja modern), sebagai faktor yang berperan dalam mengubah manusia
tradisional menjadi modern. Mereka mengambil contoh bahwa di pabrik, pekerja
diharuskan datang tepat waktu, membuat perencanaan, bekerja sama dengan orang lain,
dan sebagainya. Jika nilai-nilai kerja ini diserap ke dalam kepribadian pekerja dan
diekspresikan lagi ke dalam sikap, nilai dan tingkah lakunya, dia akan menjadi manusia
modern.
Bila dikaitkan dengan ketiga narasumber saya, mereka dapat diibaratkan sebagai
pegawai pabrik yang bernama Unpad. Mereka menyerap nilai-nilai yang Unpad berikan
seperti disiplin waktu, membuat perencanaan kerja (target kerja), bekerja sama dengan
orang lain (kelompok), musyawarah, dan lain-lain.
Nilai-nilai itu harus menjadi pedoman bagi para pekerja, namun harus ada timbal
baliknya seperti peningkatan kesejahteraan dan berbagai tunjangan yang membuat para
pegawai betah bekerja.
Setelah melihat teori manusia modern, ketiga narasumber saya sudah bisa disebut
sebagai manusia modern jika dilihat dari sisi disiplin waktu kerja dan bekerja dalam
kelompok. Namun, mereka masih percaya tahayul-tahayul daerah, hal-hal mistis, belum
membuat perencanaan atau target kerja karena hanya menunggu perintah. Seperti Udin
Wahyudin yang bekerja setelah diatur oleh komandan dan Bu Dede yang bekerja setelah
diatur oleh pemimpinnya.
Mereka juga belum berani mengutarakan pendapatnya kepada atasan karena takut
akan terkena sanksi. Sikap seperti ini belum memnuhi standar sebagai manusia modern.
Melihat keadaan yang seperti ini, Unpad diharapkan terus melakukan perbaikan
kinerja para karyawannya melalui berbagai programnya.

You might also like