Professional Documents
Culture Documents
Dian Cahyadi
Istilah propaganda menurut Heinz Dietrich Fischer dan John Calhoun Merril yang dikutip oleh Onong Uchjana Effendi
dalam buku Ilmu Komunikasi, Teori Dan Praktek, berasal dari nama suatu kegiatan penyiaran agama Katolik, yaitu Sacra
Conregatio de Propaganda Fide atau Majelis Suci Untuk Menyebarkan Kepercayaan yang sudah dilakukan semasa Paus
Gregorias XV di Roma tahun 1622.
Buku yang dianggap pertama kali mengupas propaganda secara luas dan teoritis adalah Mein Kampf (Perjuanganku)
karangan Adolf Hitler (berisi berbagai pedoman untuk menguasai rakyat sendiri dan melumpuhkan mental musuh), buku
tersebut menurut Robert B. Downs dianggap sebagai propagandic masterpiece of the age.
Menurut Astrid S. Soesanto propaganda adalah suatu proses penerangan (mengenai suatu paham, pendapat, dan
sebagainya) yang benar atau pun salah yang dikembangkan dengan tujuan meyakinkan orang (biasanya disertai dengan
janji-janji muluk) agar menganut suatu aliran, sikap, atau arah tindakan tertentu.
F. Rachmadi dalam buku Public Relatios Dalam Teori Dan Praktek (Aplikasi dalam Badan Usaha Swasta dan Lembaga
Pemerintah) menyatakan bahwa : “Pengertian dari propaganda adalah informasi yang berisikan doktrin, opini, ataupun
pernyataan resmi dari pemerintah. Propaganda adalah suatu kegiatan komunikasi dengan teknik tertentu”.
Pendapat dari Merrill seperti dikutip oleh F. Rachmadi dalam buku Public Relatios Dalam Teori Dan Praktek (Aplikasi
dalam Badan Usaha Swasta dan Lembaga Pemerintah) bahwa : “ ... propaganda bisa diartikan mengontrol sikap tingkah
laku manusia. Artinya, propaganda digunakan untuk mengubah sikap dan tingkah laku manusia untuk kesamaan dalam
suatu pendapat atau cita-cita”.
Selanjutnya menurut Casey yang dikutip oleh F. Rachmadi dalam buku Public Relatios Dalam Teori Dan Praktek
(Aplikasi dalam Badan Usaha Swasta dan Lembaga Pemerintah) menyebutkan bahwa beberapa ciri khas propaganda
sebagai berikut :
Para propagandis dalam tugasnya hanyalah melayani para produser pemberitaan tetapi bukan para konsumennya.
Propagandis adalah orang-orang pilihan; mereka adalah orang pintar, disiplin, dan memiliki keberanian moral.
Berita propaganda selalu diperiksa secara cermat, sehingga propagandis harus cerdas.
Propaganda terkadang berbentuk hiburan, seperti film, sinetron, novel, komik dan lainnya, karena hiburan dianggap lebih
ampuh untuk menarik khalayak.
Secara teoritis, pesan propaganda harus diulang-ulang. Teknik pengulangan adalah sangat penting dan merupakan dasar
dalam kegiatan propaganda.
Para propagandais harus selalu siap menyesaikan strategi propagandanya pada saat menghadapi situasi yang berbeda.
Misal kegiatan propaganda melalui media massa dapat diikuti dengan kegiatan Komunikasi Interpersonal yang lebih
searah, karena dalam propaganda tidak menghendaki adanya dialog.
Selanjutnya F. Rachmadi dalam buku Public Relatios Dalam Teori Dan Praktek (Aplikasi dalam Badan Usaha Swasta dan
Lembaga Pemerintah) telah mengutip publikasi yang diterbitkan oleh Harcourt, Brace and Company di Amerika Serikat
bahwa dalam menerapkan strategi propaganda perlu digunakan tujuh cara (Devices of Propaganda / muslihat
propaganda) sebagai berikut :
• The name calling device (Penggunaan nama ejekan), adalah strategi untuk menjatuhkan reputasi seseorang dengan
ucapan-ucapan yang tidak baik agar pendengarnya atau pembaca pesan itu tidak menyenangi yang bersangkutan.
• The glittering generalation device (Penggunaan kata-kata muluk), adalah strategi percakapan dengan memaparkan hal-
hal umum sehingga soal-soal detail yang sebenarnya penting tidak sempat diperhatikan oleh khalayak.
• The transfe device (Pengalihan), merupakan visualisasi konsep untuk mengalihkan karakter tertentu ke suatu pihak.
Sebagai contoh : para politikus memajang fotonya ketika sedang bersalaman dengan presiden di ruang kantornya. Hal ini
dimaksudkan untuk memindahkan wibawa yang dimiliki presiden ke dalam dirinya.
• The testimonial device (Pengutipan), adalah meminta dukungan seseorang yang berstatus tinggi untuk mengesahkan dan
memperkuat tindakannya sendiri.
• The plain-folks device (Perendahan diri), adalah suatu usaha untuk mengenal motif seseorang dalam berkecimpung di
bidang kemasyarakatan.
• The card stacking device (Pemalsuan), berisikan fakta yang mendukung pendapat seseorang dan mengesampingkan
semua fakta yang berlawanan. Kemudian fakta tersebut disajikan guna menarik khalayak agar menerimanya, walaupun
fakta tersebut berlawanan dengan kebenaran.
• The bandwagon device (Hura-hura), merupakan imbauan kepada khalayak untuk bergabung karena tujuan yang akan
dicapai pasti berhasil. Dalam hal ini propagandais harus turun ke lapangan untuk mencapai keberhasilan tersebut. (1993 :
139 – 140).
Perang Urat Saraf (Psy War) adalah suatu proses komunikasi saling melakukan kegiatan propaganda antara seorang figur
politik dengan figur politik lain, antara suatu kelompok dengan kelompok lain, dan antara suatu negara dengan negara
lain, dengan tujuan untuk saling menekan dan menjatuhkan nama orang atau kelompok atau negara lain tersebut.
Bagaimana caranya memusnahkan semangat juang musuh (dengan cara menyelundupkan agen-agen rahasia di kalangan
musuh untuk menyebarkan desas-desus yang dapat menggoyahkan kekuatan musuh), dan sebaliknya bagaimana
membangkitkan semangat juang jajaran sendiri.
Onong Uchjana Effendi dalam buku Ilmu Komunikasi, Teori Dan Praktek, telah mengutip dan menterjemahkan pendapat
William E. Daugherty dan Morris Janowitz dari buku yang diterbitkan Departemen of Army USA berjudul A
Psychological Warface Casebook, menyatakan bahwa perang urat saraf dapat didefinisikan sebagai :
“ ... The planned use of propaganda and other actions designed to influence the opinions, emotions, attitudes, and behavior
of enemy, neutral, and friendly foreign groups in such a way as to support the acomplishment of national aims and
objectives.
(Penggunaan secara berencana propaganda dan kegiatan-kegiatan lainnya yang dirancangkan untuk mempengaruhi
pendapat, emosi, sikap, dan perilaku pihak musuh, pihak netral, pihak kelompok asing yang bersahabat dalam rangka
mendukung pencapaian sasaran dan tujuan nasional). (1994 : 160)
Selanjutnya pendapat Paul M.A. Linebarger yang dikutif dan diterjemahkan Onong Uchjana Effendy dalam buku Ilmu
Komunikasi, Teori Dan Praktek, bahwa prang urat saraf terdapat dua pengertian, yaitu :
Perang urat saraf dalam arti sempit, adalah : “The use of propaganda against an enemy, together with such other
operasional measures of a military, economic, or political nature as may be required to supplement propaganda
(Penggunaan propaganda terhadap musuh beserta tindakan-tindakan operasional lainnya yang bersifat militer, ekonomis,
atau politis sebagaimana disyaratkan untuk melengkapi propaganda)”.
Perang urat saraf dalam arti luas, adalah : “ The application of parts of the science of psychology to further the efforts of
political, economic, or military actions (Penerapan bagian-bagian dari ilmu psikologi guna melanjutkan kegiatan-kegiatan
politik, ekonomi, atau militer)”.
Kemudian Onong Uchjana Effendy menyimpulkan bahwa perang urat saraf meliputi hal-hal berikut :
Ruang Lingkup : Bidang-bidang politik, ekonomi, dan militer.
Sasaran :
Orang-orang yang bersangkutan dengan kegiatan politik, ekonomi, dan militer.
Orang-orang yang ada hubungannya dengan gerakan militer :
• pihak musuh,
• pihak netral,
• pihak sahatat.
Tujuan :
Mencapai kemenangan
Mempengaruhi sikap, pendapat, dan perilaku.
Cara :
• Menerapkan aspek ilmu psikologi
• Merencanakan propaganda
• Merancang kegaiatn-kegiatan lain.
(1994 : 162)
Nama-nama lain untuk istilah perang urat saraf menurut Onong Uchjana Effendy, yaitu :
• political walfare (perang politik)
• ideological warfare (perang ideologi)
• nerve warfare ( saraf)
• propaganda warfare (perang propaganda)
• cold war (perang dingin)
• thought war (perang otak)
• war of ideas (perang ide)
• war of words (perang kata-kata)
• war of wits (perang kecerdasan)
• battle for men’s mind (perjuangan terhadap otak manusia)
• campaign of truth (kampanye kebenaran)
• indirect aggression (agresi tak langsung)
• international communication (komunikasi internasional)
• internatiopnal information (informasi internasional)
• international propaganda (propaganda internasional).(1994 : 163)
Dari nama-nama tersebut di atas maka perang urat saraf itu apapun julukannya pada hakikatnya adalah “suatu metode
komunikasi yang secara berencana dan sistematis berupaya mengubah sikap, pendapat, atau perilaku seseorang atau
kelompok orang dalam ajang kemiliteran, politik, ekonomi, dan lain-lain untuk meraih kemenangan”.
Selanjutnya William E. Daugherty dan Morris Janowitz yang dikutip dan diterjemahkan oleh Onong Uchjana Effendi
dalam buku Ilmu Komunikasi, Teori Dan Praktek, bahwa klasifikasi propaganda meliputi :
White propaganda (Propaganda putih), yaitu propaganda yang diketahui sumbernya. Hal ini sering juga disebut overt
propaganda atau propaganda terbuka. Propagandanya dilakukan secara terang-terangan hingga dapat dengan mudah
diketahui sumbernya. Misalnya semasa peperangan Irak-Iran hampir setiap hari dari surat kabar atau setiap malam dari
radio atau televisi dapat diperoleh berita mengenai hasil dan kemenangan pertempurannya, sumbernya jelas disebutkan.
Untuk iu maka sering juga disebut counter propaganda atau propaganda balasan. Kalau dalam bidang ekonomi hal ini
sering disebut commercial propaganda.
Black propaganda (Propaganda hitam), adalah propaganda yang menunjukkan sumbernya, tetapi bukan sumber yang
sebenarnya. Hal ini disebut juga covert propaganda atau propaganda terselubung. Propaganda bagaikan istilah ‘lempar
batu sembunyi tangan’ yang termasuk kegiatan yang tidak terpuji.
Gray propaganda (Propaganda kelabu), propaganda dilancarkan dengan menghindari identifikasi sumbernya, maka ada
yang menganggap tidak lebih sebagai propaganda hitam atau propaganda terselubung yang kurang mantap. (1994 : 163 –
164).
http://bs-ba.facebook.com/topic.php?uid=107221150420&topic=8130
Komunikasi Internasional
Posted on Oktober 25, 2009 by FISIP
1 Votes
Pengantar
Tragedi 9/11 yang terjadi delapan tahun lalu masih meninggalkan trauma baik bagi AS
maupun negara-negara muslim yang menjadi “kambing hitam” atas luluh-lantaknya
WTC dan Pentagon: simbol kedigdayaan ekonomi dan militer AS. Sebagai mana
diketahui, telunjuk bekas Presiden George Walker Bush langsung diarahkan kepada
Osama bin Laden dengan Al Qaeda-nya sebagai dalang utama peristiwa September hitam
ini. Epilognya sudah sama-sama kita ketahui, stigma teroris tidak hanya menempel pada
sosok Osma bin Laden dan jaringan Al Qaeda. Tetapi juga meluas ke seluruh negara
muslim. Pemerintah Taliban di Afganistan pun ikut terguling dari kekuasaan karena
dianggap melindungi sang teoris yang paling diburu hidup atau mati itu, yang sampai
tulisan ini dibuat masih tetap lolos dari kepungan mesin perang AS. Ironisnya, Bush Jr
pun kini digantikan oleh Presiden Barrack Hussein Obama yang setengah negro dan
berayah seorang muslim asal Kenya. Ini keluar dari mainstream politik AS WASP
(White, Anglo Saxon, Protestant). Nama akhirnya pun sekilas mirip dengan musuh
bebuyutannya. Hanya berbeda huruf “B” dan “S” saja.
Kita pun perlu bertanya: siapa sebetulnya yang layak disebut teroris itu? Osama, Bush Jr
atau Obama yang mau tampil beda dan tidak mau disamakan dengan pendahulunya itu.
Hanya sejarah yang mencatat dan waktu yang bisa menjawabnya. Kata “teroris” itu pun
memerlukan telaah linguistik. Noam Chomsky menyebut istilah news peg yang sadar
atau tidak dimanipulasi oleh media massa yang tidak hanya sekedar memetakan realitas.
Tetapi sekaligus merekonstruksinya. Dalam konteks terakhir inilah terletak signifikannya
kajian komunikasi internasional. Sebagai ilustrasi, eksistensi televisi satelit Qatar Al
Jazeera sebagai televisi alternatif yang lebih dipercaya oleh Osama daripada televisi
sekelas CNN menarik untuk dikaji. Reputasi CNN merosot drastis ketika tunduk pada
kemauan pemerintah Bush Jr untuk tidak menayangkan rekaman video Osama. Sebab
kuatir rekaman ini berisi semacam bahasa sandi untuk mengadakan serangan berikutnya.
Kecaman pun bermunculan, termasuk dari bekas wartawan CNN Peter Arnett yang dulu
sempat mewawancarai bekas Presiden Irak Sadam Hussein (alm) dalam era Perang
Teluk. Tindakan ini juga bertentangan dengan amandemen pertama konstitusi AS.
Di sela-sela tugas mengajar yang menyita tenaga dan waktu, sebagai dosen yang
mengajar mata kuliah: Komunikasi Internasional, saya pun berusaha menulis semacam
diktat kuliahnya. Ini dengan harapan tulisan ini bukan dijadikan semacam bacaan instant
mahasiswa yang mengambil mata kuliah ini. Sebab ia hanya memuat pokok-pokok
pemikian penulisnya. Kajian yang lebih rinci bisa dilihat pada referensi aslinya. Apalagi
perkembangan ilmu pengetahuan via IT sangat pesat. Sehingga tidak tertutup
kemungkinan referensi yang menjadi acuan tulisan ini pun sudah out of date.
Akhirnya, kutip-mengutip dalam karya ilmiah merupakan hal yang wajar sejauh
menyebutkan sumbernya aslinya untuk menghindari tudingan plagiat. Jika terdapat
banyak kekeliruan di sana-sini sehingga menurut Anda tulisan ini tidak layak dianggap
sebagai tulisan ilmiah, maka sejujurnya maafkanlah saya untuk tidak minta maaf. Sebab
lebih bermartabat jika Anda pun membuat tulisan dengan tema yang sama sebagai
komparasinya dalam rangka dialektika ilmiah. Sekian.
I. Introduksi
Pembicaraan tentang komunikasi internasional mencakup pula disiplin ilmu hubungan
internasional; komunikasi politik; komunikasi antarbudaya. Ini dimungkinkan karena
disiplin ilmu komunikasi umumnya dan komunikasi internasional khususnya bersifat
interdisipliner (Bride, 1980). Misalnya, kutipan dari Encyclopedia Americana tentang
konsep ilmu hubungan internasional sbb:
“International relationships denotes the interaction among nations or among individuals
of different nations. Such relations maybe political, cultural, economic or military. The
concept is closely related to, and often includes, such subject as international diplomacy,
international communication and international organization”.
Jelas terlihat bahwa komunikasi internasional adalah bagian dari hubungan internasional.
Selanjutnya, mengingat kajian komunikasi internasional ini menembus batas-batas negara
dengan budaya yang berbeda maka kajian komunikasi antarbudaya pun tidak bisa
dihindari. Pakar komunikasi budaya Edwin R McDaniel mengatakan, “intercultural
communication occurs whenever a person from one cultural sends a message tobe
processed by a person from a different culture”.
Dalam konteks komunikasi internasional dampak dari perkembangan IT terjadilah
peluberan informasi (spill over of information) yang bisa melahirkan masyarakat
informasi menurut Naisbitt atau semacam global village menurut Toffler yang bukan
tidak mungkin berujung pada sejenis imperialisme budaya (Schiller, 1976);
Tulisan ini membahas enam pokok bahasan: Pertama, membahas konsep dasar
komunikasi dan komunikasi internasional. Kedua, menjelaskan proses terjadinya
komunikasi internasional. Ketiga, menganalisis perkembangan dan dimensi komunikasi
internasional. Keempat, membandingkan sistem komunikasi internasional dalam konteks
ideologinya. Kelima, memperlihatkan adanya ketimpangan arus informasi internasional
antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang atau miskin. Keenam,
memaparkan opini publik dan propaganda dalam komunikasi internasional.
II. Konsep Dasar Komunikasi dan Komunikasi Internasional
Sebelum berbicara panjang lebar tentang komunikasi internasional, sebaiknya dianalisis
dulu apa yang dimaksud dengan komunikasi itu. Untuk melacak asal-usul komunikasi
harus dikaji dulu perkembangannya di Eropa dan AS. Sebab dari yang disebut pertama,
khususnya Jerman inilah cikal-bakal perkembangan disiplin ilmu komunikasi di
Indonesia yang dahulu disebut publisistik. Ini berasal dari publizistikwissenshaft.
Sementara kontribusi AS berujung pada mass communication science.
Publizistikwissenshaft yang diindonesiakan menjadi publisistik berasal dari
zaitungwissenshaft (ilmu persuratkabaran). Perkembangan selanjutnya, obyek penelitian
publisistik bukan lagi sekedar surat kabar, tetapi pernyataan umum (offeticheaussage).
Artinya, ilmu ini mencoba memahami dan mengendalikan tindakan khalayak yang
manisfestasinya terlihat dalam pernyataan umum yang aktual. Pertanyaan berikutnya
adalah bagaimana menempatkan pernyataan yang tidak umum dan aktual. Dari sinilah
titik tolak kajian komunikasi.
A. Gambaran Umum Komunikasi
Seperti yang disebutkan semula, komunikasi berkembang di AS yang juga berasal dari
jurnalistik, mirip zaitungskunde di Jerman yaitu sejenis ketrampilan dalam dunia
persuratkabaran. Sebelumnya ia hanya bagian dari departemen Bahasa Inggris di
berbagai perguruan tinggi AS dengan nama speech communication. Pasca PD II pakar
politik, sosiologi dan psikologi seperti Harold D Lasswell. Paul Lazarfewld dan Cari I
Hovland memperluas kajian jurnalistik ke bidang radio, televisi dan film. Kelak menjadi
mass communication, peleburan speech communication dengan mass communication
menjadi communication science. Konsekuensinya, obyek studi komunikasi bukan lagi
sekedar pernyataan umum (publisistik); surat kabar (jurnalistik); retorika (speech
communication); media massa (mass communication). Tetapi telah menjadi pernyataan
antarmanusia (human communication).
Mengutip Wilbur Schramm, komunikasi itu sangat ekletif. Dengan sedikit anekdot ia
mengatakan komunikasi ibarat jalan simpang yang ramai dengan segala macam disiplin
ilmu yang melintasinya. Terlihat dari para pakar komunikasi yang berasal dari berbagai
disiplin ilmu yang berbeda. Misalnya, Harold D Lasswell (politik); Carl I Hovland
(psikologi); Charles W Wright (sosiologi), Shannon dan Weaver (matematika); Wilbur
Schramm (linguistik).
Pengaruh psikologi dan sosiologi jtermasuk fisika sangat besar terhadap disiplin ilmu
komunikasi. Hal ini melahirkan berbagai paradigma komunikasi. Paradigma dimaknai
sebagai pandangan mendasar suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi subject matter
yang semestinya dipelajari. Menurut Thomas S Khun ilmu tidak berkembang secara
kumulatif tetapi secara revolusioner. Begitu pula dengan ilmu komunikasi yang
melahirkan dua kelompok paradigma: paradigma lama (mekanis) dan paradigma baru
(psikologis; interaksional; pragmatis) yang akan dijelaskan di bawah ini:
a. Paradigma mekanis: dipengaruhi oleh fisika klasik dengan mengkonseptualisasikan
komunikasi sebagai proses mekanistis antarmanusia. Pesan mengalir melintasi ruang dan
waktu dari komunikator ke komunikan secara simultan. Lokusnya (eksistensi empirik)
terletak pada channel. Doktrin mekanis ini berdasarkan logika sebab-akibat dengan
tekanan pada efek, metode ekperimental dan kuantitatif.
b. Paradigma psikologis: komunikasi dimaknai sebagai mekanisme internal penerimaan
dan pengolahan informasi pada diri manusia. Lokusnya pada filter of conceptual individu
ybs. Pandangan ini dipengaruhi oleh psikologi sosial. Sehingga komponennya bukan lagi
komunikator dan komunikan semata melainkan stimulus dan respon. Metodenya masih
ekperimental dan kuantitatif.
c. Paradigma interaksional: dipengaruhi oleh sosiologi khususnya interaksi simbolis.
Komunikasi dimaknai sebagaim proses interaksi manusiawi dengan lokus peran sosial
manusia dalam tindakan sosialnya. Dunia panggung sandiwara, lagu yang dipopulerkan
oleh vokalis God Bless Ahmad Albar sedikit banyak bisa menjelaskan paradigma ini.
Metodenya fenomenologis, analisa kontekstual dan kualitatif.
d. Paradigma pragmatis: masih dipengaruhi oleh sosiologi khususnya teori sistem.
Komunikasi dipahami sebagai sistem prilaku yang berurutan berupa pola interaksi,
sistem, struktur dan fungsinya. Metodenya hanya dimungkinkan dengan menggunakan
analisa kualitatif.
B. Komunikasi Internasional
“International relationships denotes the interaction among nations or among individuals
of different nations. Such relations maybe political, cultural, economic or military. The
concept is closely related to, and often includes, such subject as international diplomacy,
international organization and international communication” (Encyclopedia Americana).
Dari kutipan di atas terlihat bahwa komunikasi internasional adalah bagian dari hubungan
internasional.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kajian komunikasi internasional ini menembus
batas-batas suatu negara dengan politik dan kultur yang berbeda. Ini jelas memerlukan
pula kajian komunikasi politik dan komunikasi antarbudaya. Sebab kajian komunikasi
umumnya dan komunikasi internasional khsususnya sangat interdisipliner (Bride, 1980).
Mengutip pakar komunikasi Gerhard Malezke: “Intercultural communication is an
exchange of meaning berween culture. Meanwhile international communication take
place on the level of countries or nations of different culture, which is to say across
frontiers”.
Peluberan informasi (spill over of information) akibat perkembangan IT dalam konteks
komunikasi internasional tidak tertutup melahirkan sejenis imperialisme baru berupa
imperialisme komunikasi (Galtung, 1971) atau imperialisme budaya (Schiller, 1976).
Disamping melahirkan revolusi komunikasi dengan global village yang diperkenalkan
oleh Alvin Toffler atau masyarakat informasi menurut John Naisbitt.
Meminjam konsep Jalaluddin Rakhmat, komunikasi internasional dipahami sebagai
komunikasi yang dilakukan oleh komunikator yang mewakili suatu negara untuk
menyampaikan pesan yang berkaitan dengan berbagai kepentingan negaranya kepada
komunikan yang juga mewakili negaranya dengan tujuan memperoleh saling pengertian.
Konsep ini menjelaskan bahwa komunikasi internasional merupakan gabungan antara
komunikasi dengan hubungan internasional yang bermuara pada diplomasi internasional
melalui media massa yang secara teoritis lebih dekat pada komunikasi massa.
III. Proses Komunikasi Internasional
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam konteks teoritis komunikasi
internasional termasuk pada kajian komunikasi massa. Dengan demikian prosesnya pun
hamper sama dengan komunikasi massa. Mengutip ilmuwan politik AS Harold D
Lasswell dalam karyanya Propaganda Technique in The World War, yang juga pendiri
Institute for Propaganda Analysis untuk mengantisipasi NAZI Jerman, mengatakan mass
communications is who says what in which channel to whom with what effect.
Terlihat jelas tesis Lasswell di atas termasuk dalam kategori paradigma mekanis yang
diintrodusir Fisher dengan tekanan pada effect. Ia mengatakan communication is a
process by which a source intentionally change the behaviour of a receiver. Pendapat ini
juga didukung oleh Carl I Hovland yang mengatakan communication is the process by
which an individual (source) change the behaviour of other individuals (audience).
Meskipun agak berbeda, tetapi substansinya sama, pakar linguistik Wilbur Schramm
dalam karyanya The Process and Effect of Mass Communication menggunakan istilah
paradigma sirkular dalam mengkaji how communication work yang mencakup encoder
interpreter dan decoder.
Kembali ke Lasswell, ia menyimpulkan bahwa proses komunikasi internasional sebagai
berikut: Pertama, who: institutionalized person. Kedua, says what: a message has
dimensions in the time and space. It has some structure, it may have a read or listen to or
look at. The qualities too contribute to the total response a receiver makes to it. Ketiga, in
which channel: the principle channel through which ideas are exchange among nations
include international news service and the press, radio and television, film, book and
other publication, cultural event and personal contacts pass through national boundaries.
The mechanism, as well as, subsidiary ones such as international mail service,
telecommunication and recordings are patched together to form a tangled network.
Keempat, to whom: international audience. Kelima, with what effect: bullet theory or
hypodermic needle (the all powerful media are able to impress ideas defenceless mind);
limited effect model (such that opinion leader typically render mass communication a
contributory agent, but not the sole cause, in a process of reinforcing the existing
conditions); moderate effect model (audience perspective, the use and gratifications, the
agenda setting and the culture norm theory).
IV. Perkembangan dan Dimensi Komunikasi Internasional
A. Masalah dan Bidang Perkembangan
Ada 4 (empat) masalah utama dalam perkembangan komunikasi internasional. Pertama,
kebebasan versus kontrol terhadap arus informasi atau kebebasan dan keseimbangan arus
informasi (free flow of information versus control of information or free flow and
balance of information). Kedua, budaya dan imperialisme media (cultural and media
imperialism). Ketiga, jaringan komunikasi antardua negara atau lebih yang menembus
batas wilayah nasionalnya (communication network of two or more countries pass
through national boundaries). Keempat, berita dan informasi versus hiburan dan materi
budaya dalam perspektif analisis isi (news and information versus entertainment and
cultural materials in content analysis perspective).
Sementara itu ada 4 (empat) bidang perkembangan komunikasi internasional, yaitu:
1. Penelitian:
a. Tidak jelasnya perbedaan antara kajian volume dan arus informasi internasional
(transactional analysis technique) yang menggunakan statistik ekonometri dengan kajian
liputan berita internasional di berbagai media massa (content analysis).
b. Jarang ada penelitian jangka panjang (longitudinal analysis) yang mempertimbangkan
perubahan konstelasi politik dan hubungan internasional sangat langka. Misalnya, liputan
pers tentang RRC dari masa Mao Tse Tung sampai masa Deng Xioping. Atau Iran di
masa Syah Reza Pahlevi sampai di masa Imam Khomeini.
c. Langkanya analisis korelasional (correlational analysis) yang menelaah liputan dan
arus informasi internasional dengan faktor-faktor struktural yang mempengaruhi proses
komunikasi internasional.
d. Terjadi ketimpangan analisis pola arus informasi internasional secara menyeluruh.
Sebab titik beratnya selama ini lebih tertuju pada kajian negara maju (baca: Barat) seperti
AS, Amerika Utara dan Eropa Barat. Dalam konteks perbandingan media massa juga
terjadi ketimpangan komposisi surat kabar, majalah, radio dan televisi.
2. Metodologi:
a. Pendekatan Geografis (geographical approach): mengkaji arus informasi dan liputan
internasional pada suatu bangsa atau negara dengan lingkup dunia. Misalnya, karya H.D.
Fisher dan John Merril (ed.) International and Intercultural Communication.
b. Pendekatan Media (media approach): mengkaji berita-berita internasional dalam suatu
media atau multi media. Misalnya, karya Edwar W. Said Covering Islam: How The
Media and The Experts Determine How We See The Rest of The World.
c. Pendekatan Peristiwa (event approach): membandingkan sistem pers antarbangsa atau
negara. Serta menelaah penyebaran arus berita internasional berdasarkan ideologi negara
ybs. Misalnya, karya L. John Martin dan Anju Grover Chaundhary Comparative Mass
Media System.
3. Perspektif:
a. Jurnalistik: mempelajari aspek-aspek jurnalistik internasional dan dampak yang
ditimbulkannya.
b. Diplomatik: dilakukan melalui jalur diplomasi antarpejabat tinggi negara untuk
memperluas pengaruh dan mengatasi salah pengertian antara negara yang diwakilinya.
Tekanannya pada proses dan teknik komunikasi dalam berdiplomasi. Bukan pada materi
diplomasi yang menjadi obyek kajian disiplin ilmu hubungan internasional.
c. Propaganda: menelaah penggunaan media komunikasi internasional dalam rangka
menuangkan ide atau gagasan untuk mengubah opini internasional yang ditujukan pada
bangsa atau negara lain.
4. Teori:
Mengutip pakar komunikasi dan linguistik Wilbur Schramm terdapat 4 (empat) kajian
sbb:
a. Pola arus berita internasional (the patterns of international news flow).
b. Sifat dan tipologi liputan berita internasional (the nature and type of international news
coverage).
c. Struktur organisasi berita internasional dan prilaku jurnalisnya (the structure of
international news organization and the behaviour of journalist in the organization).
d. Faktor-faktor struktural yang mempengaruhi arus dan liputan berita internasional (the
structural factors affecting international news flow and coverage).
Menurut Schramm, keempat penjelasan di atas dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor berikut:
the ownership of the great avenues or exchange agencies; the ownership of long distance
telecommunication facilities; the concentration of wealth, technology and power in a few
highly developed nations.
Ini dibenarkan oleh Guru Besar jurnalistik Universitas Georgia AS, Al Hester yang
mengatakan arus informasi sebagai variabel bebas. Sedangkan kekuasaan, kesamaan
budaya dan persekutuan ekonomi sebagai variabel terikat.
B. Dimensi Komunikasi Internasional
Pertama, politik: semua negara pasti merasakan pentingnya sistem komunikasi dalam
kehidupan politiknya. Yang perlu dicatat corak atau bentuk sistem komunikasinya secara
teoritis tergantung pada sistem politik yang berlaku di negara tersebut. Namun yang jelas
semuanya bermuara pada kebebasan mengeluarkan pendapat. Tesis ini bisa dilacak jauh
sampai kepemikiran Yunani kuno. Mulai dari zaman Sokrates, Plato dan Aristoteles yang
menelaah konsep “yang baik”, “negara ideal” dan “politik”.
Kedua, ekonomi: perkembangan teknologi informasi yang diawali dengan penemuan
mesin cetak oleh Gutenberg tahun 1453, radio telegram oleh Marconi tahun 1895 dan
televisi pertama di AS tahun 1927 telah mengubah wajah komunikasi dari human
communication menjadi mass communication. Komunikasi tidak lagi sekedar fenomena
sosiologis tetapi sekaligus punya dimensi ekonomi. Dalam konteks Indonesia munculnya
istilah pers konglomerat dan konglomerat pers seakan menjadi pembenarnya. Misalnya,
Jakob Oetama dengan KKG (Kelompok Kompas Gramedia)-nya dan Surya Paloh dengan
kelompok Media Indonesia-nya.
Ketiga, budaya: selain itu media komunikasi juga merupakan alat kultural. Inilah yang
disebut Schiller sebagai imperialisme budaya yang disokong oleh iklan sebagai ujung
tombak kapitalisme internasional yang didominasi Barat. Ia mengatakan, “the cultural
penetration that has occurred in recent decade embraces all the socializing institutions of
the host area and the impact of the penetration is felt through out the realm of individual
and social consciousness in the penetrated provinces” (Schiller, 1976). Dengan demikian,
ketika kita makan ayam goreng Kentucky Fried Chicken, minum Coca Cola dan
menonton film Rambo maka semua itu bukan sekedar makanan, minuman atau tontonan.
Tetapi sekaligus produk budaya. Budayawan dan bekas Pemimpin Redaksi Majalah
Tempo Goenawan Mohammad mengintrodusir konsep imogologi: ketika ideologi
dikalahkan oleh realitas dan realitas dikalahkan oleh image.
V. Perbandingan Sistem Komunikasi Internasional
Perbedaan sistem komunikasi internasional didasarkan pada sistem politik (baca:
ideologi) negara ybs. Mengutip Siebert secara garis besar ada 4 (empat) kelompok sistem
komunikasi sbb:
A. Otoriter (authoritarian):
Sistem ini memandang kedudukan negara lebih tinggi daripada individu. Dalam konteks
komunikasi, terjadi pengendalian yang ketat atas komunikasi massa. Secara filosofis,
sistem ini dapat dilacak dari pemikiran filsuf Yunani kuno: Plato (428 – 348 SM) dalam
karyanya The Republic yang mengemukakan tipe pemimpin ideal sebagai raja filosof;
filsuf Italia Nicollo Machiavelli (1469 – 1527) dalam karyanya Il Principe (Sang
Pangeran) yang intinya dalam situasi chaos dibutuhkan seorang pemimpin otoriter yang
menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan; filsuf Inggris Thomas Hobbes (1588 –
1679) dalam karyanya Leviathan yang melihat manusia secara intelektual tidak jauh
berbeda dengan hewan. Tesisnya yang sangat terkenal homo homini lupus; filsuf idealis
Jerman Georg Wilhelm Friedrich Hegel yang mengilhami konsep negara fasis NAZI
Hitler di Jerman. Ia mengatakan, “the march of God in the world, that the state is”.
B. Liberal (libertarian)
Sistem ini sangat mendukung the free market of idea. Dapat dilacak dari pemikiran filsuf
rasionalis Perancis Rene Descartes, “Cogito Ergo Sum” (aku berpikir aku ada); filsuf
empiris Inggris John Locke (1632 – 1704) dengan karyanya Social Contract dan John
Stuart Mill (1806 – 1873) dengan karyanya On Liberty yang intinya menghendaki
kebebasan berpendapat. Termasuk kebebasan berekspresi melalui media massa.
C. Komunis Soviet (soviet communist concept)
Konsep ini tidak lain dari new authoritarian yang berdasarkan pemikiran Karl Marx
(1818 – 1883). Ia mengatakan ide adalah manifestasi dari dunia materi. Pemikirannya
diadobsi oleh Bapak pendiri USSR Vladimir Oeljanov Lenin (1870 – 1924) yang
mengatakan, “freedom of the press is one of the keynote of pure democracy. This
freedom is a lie so long as the best printing works and the largest stocks of paper are in
capitalist hands. Meanwhile the independence of the Bolshevic press rest in the closes
dependence on the working class” (Martin, 1983).
D. Tanggung Jawab Sosial (social responsibility)
Ini tidak lain dari new libertarian sebagai reaksi atas konsep libertarian yang dalam
tingkat praksis identik dengan kapitalisme dalam kepemilikan media. Hakekat sistem ini,
setiap orang harus punya akses yang sama ke media massa (Rachmadi, 1990).
Mengakhiri topik ini akan dibahas sedikit tentang sistem komunikasi internasional di
Barat: AS, Inggris dan Perancis. Media massa AS sangat private ownerships yang
eksistensinya bertumpu pada advertising. Semangatnya free fight liberalism. Namun
demikian, untuk mengawasi media massa agar tidak “kebablasan” ada lembaga FCC
(Federal Communication Commission) yang berfungsi sebagai the watch dog of the
press. Sejarah komunikasi AS dimulai dengan zaman keemasan radio tahun 1940 – 1950.
Diantaranya CBS (Columbia Broadcasting System) dan ABC (American Broadcasting
Company). Pengaruh iklan membuat mutu siarannya dianggap rendah. Kemudian
muncullah ETV (Education Television) yang bersifat regional.
Di Inggris Sir Hugh Greene mendirikan BBC (British Broadcasting Coorporation) yang
harus steril dari pengaruh para politisi. Kemudian muncul IBA (Independence
Broadcasting Authority). Baik BBC maupun IBA diberi wewenang dalam siaran radio
dan televisi di seluruh Inggris Raya. Struktur BBC terdiri dari 12 gubernur, redaksi,
administrasi dan instalasi yang semuanya diangkat oleh Ratu Inggris atas usul parlemen.
Tetapi sifatnya tidak partisan dengan masa jabatan 5 tahun. Sebagai media massa BBC
bersifat publik dan tidak menerima pemasukan dari iklan sama sekali.
Berbeda dengan di Inggris yang media massanya berfungsi sebagai alat kontrol terhadap
pemerintah yang berkuasa maka di Perancis sejarahnya dimulai sebagai transmisi
tindakan pemerintah. Awalnya, baik radio maupun televisi didirikan oleh pendukung
Jenderal De Gaulle pemimpin Perancis dalam PD II menghadapi fasis NAZI Jerman yang
dipimpin oleh Adolf Hitler. Didirikanlah ORTF (Organization de Radio Diffusion
Television) yang merupakan subordinasi partai pendukung De Gaulle. Tetapi tahun 1975
dibubarkan oleh parlemen dengan membentuk Dewan Administratif yang terdiri dari dari
2 wakil pemerintah, 1 wakil parlemen, 1 wakil pers dan 1 wakil pegawai dinas
kebudayaan. Untuk mengawasi kinerjanya Dewan Menteri di Paris membentuk
Delegation Parlementerie Pour la Radio Diffusion Televison Francaise (Martin, 1983).
VI. Ketimpangan Arus Informasi Internasional
Johan Galtung dalam karyanya A Structural Theory of Imperialism menyatakan
penyebaran informasi dari negara maju (baca: Barat) ke negara-negara berkembang dan
miskin (baca: Non Barat) berpola interaksi feodal yang menguntungkan pihak pertama.
Dalam konteks komunikasi internasional manifestasinya berupa imperialisme media yang
tidak lain berupa peluberan informasi yang tidak berimbang antara negara-negara maju
dengan negara-negara berkembang dan miskin. Ini mencakup 3 (tiga) aspek: politik
informasi (political aspect of information); hukum informasi (legal aspect of
information); teknik dan keuangan informasi (technico-financial aspect of information).
Dengan kata lain, negara-negara berkembang dan miskin cenderung menjadi konsumen
daripada produsen informasi internasional. Bisa dicermati di berbagai media baik cetak
maupun elektronik. Berita dari negara-negara berkembang dan miskin yang biasanya
terletak di Asia, Afrika dan Amerika Latin biasanya didominasi informasi seputar
kemiskinan, keterbelakangan, pengangguran, bencana alam, kudeta milter dll. Sebaliknya
informasi dari negara-negara maju seperti AS dan sekutu Eropa-nya, biasanya berupa
informasi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dll.
Dalam konteks politik konflik Palestina versus Israel dapat dijadikan ilustrasi yang
menarik. Dengan dukungan finansial dan lobby politik Yahudi di AS mereka mampu
mempengaruhi opini dunia via media massa yang mereka kuasai untuk menciptakan
stereotype bahwa Arab umumnya dan Palestina khususnya sebagai teroris (Azra, 1996).
Terlebih pasca peristiwa black September 9/11 delapan tahun yang lalu. Serta menjadikan
Osama ibn Laden dengan Al-Qaeda-nya sebagai terdakwa utama.
Berbagai usaha untuk memperbaiki kondisi ini pernah dijalankan. Diantaranya ide
membentuk Tatanan Informasi Internasional Baru (The New World Information Order)
dari pihak Barat pun terkesan bermakna ideologis (baca: pamrih). Ini dicetuskan oleh
manajer eksekutif Associated Press Kent Cooper meniru Reuter Inggris yang
menggunakan teknologi kabel laut yang mendapat dukungan Federal Communication
Commission. Pasca PD II didukung lagi oleh American Society of Newspaper Editor.
Selanjutnya pada bulan Februari 1945 di Mexico City gagasan ini diterima oleh Inter-
American Conference on Problem of War and Peace. Kemudian dipraktekkan di negara-
negara Amerika Latin dan berdasarkan resolusi no. 59 tanggal 14 Desember 1945
diterima oleh UNESCO-PBB sebagai hak atas informasi adalah hak fundamental
manusia. Tahun 1948 di Jenewa-Swiss berlangsung konferensi PBB tentang kebebasan
informasi dengan hasil: 30 setuju; 5 abstain (Cekoslavakia, Ukraina, Belarusia,
Yugoslavia dan USSR); 1 tidak setuju (Polandia). Inilah kemudian yang mendasari
Declaration of Human Right pasal 19 yang berbunyi’ “Hak kebebasan memegang
keyakinan dan ide melalui media tidak mengenal perbatasan”.
Di sisi lain negara-negara berkembang dan miskin pun tidak tinggal diam mengatasi
ketimpangan yang makin menganga dengan negara-negara maju. Sebab yang sebenarnya
mereka butuhkan adalah tatanan kebebasan dan keseimbangan arus informasi (free flow
and balance of information order). Ini mencakup beberapa faktor sebagai berikut: hukum
internasional; politik internasional; teknologi komunikasi; hegemoni dan dominasi
budaya. Dalam KTT Non Blok di Peru tahun 1975 muncul NANAP (Non Aligned News
Agency’s Pool) dan BONAC (Broadcasting Organisation of Non Aligned Countries) di
Sarajevo-Yugoslavia pada bulan Oktober 1977 yang mengajukan usulan A New World
Economic Order dan A New International Information and Communication Order.
Setahun sebelumnya dalam KTT Non Blok diadakan Symposium on Information di
Tunisia tahun 1976 muncul IGC (Intergovernmental Council for the Coordination of
Information and Mass Communication) yang menghasilkan free flow of news, cultural,
imperialism, information order, technology transfer yang diajukan ke PBB dalam IPDC
(International Programme for the Development of Communication).
Masalahnya, ini tidak menguntungkan negara-negara berkembang dan miskin. Dalam
konteks negara-negara Amerika Latin ada ECLAC (Economic Commission for Latin
America). Pakar teori ketergantungan Andre Gunder Frank dalam karyanya Capitalism
and Underdevelopment in Latin America telah lama mengatakan hal ini. Ini diperkuat
rekannya Theotonio Dos Santos yang mengindentifikasi dua jenis ketergantungan:
kolonial dan finansial-industrial. Data dari Bank Dunia menyatakan bahwa sekitar 19%
negara-negara maju memiliki 64,5% GNP dunia. Sebaliknya 32,6% sisanya bagi negara-
negara berkembang dan miskin yang hanya berkisar 4,4% GNP dunia. Ironisnya, di sini
bermukim sekitar 1,5 milyar manusia. Sementara UNESCO melalui International
Comission for The Study of Communication Problem mencatat dua hal. Pertama,
ketimpangan sistem informasi internasional: 2/3 didominasi oleh negara-negara maju.
Sementara hanya 1/4 untuk negara-negara berkembang dan miskin. Kedua, informasi
seputar negara-negara berkembang dan miskin pun didominasi oleh berita negatif.
Kondisi ini diperparah dengan merajalelanya paham neoliberalisme yang berlindung di
balik konsep globalisasi dengan pemain utamanya MNC’S. Mengutip Martin Albrow,
“globalization refers to all those process by which the people of the world are
incorporated into a single world society, global society to borderless world.
VII. Opini Publik dan Propaganda dalam Komunikasi Internasional
A. Proses opini publik
Mengutip Milton a Maxwell dalam Introductory of Sociology: “Public is the collectivity
of people who are at the time interested in what is going to happen on social issues”.
Sementara William Albig dalam Modern Public Opinion mengatakan: “Public opinion is
any expression on a controversial topic or the expression of all those members of a group
who are giving attention in any way to a given issue”.
Sementara proses terjadinya opini publik dalam 4 (empat) bentuk sebagai berikut:
1. Rasionalisasi: pembenaran dengan alasan semu (pseudologis). Misalnya, korupsi
atasan dengan dalih demi kesejahteraan bawahan.
2. Proyeksi: pendapat penguasa yang dimanipulasi seolah-olah pendapat rakyat.
Misalnya, iklan kenaikan harga BBM dengan tokoh Bajaj Bajuri sebagai representasi
kaum marjinal yang menyetujui kenaikan harga BBM.
3. Identifikasi: penyesuaian opini individu terhadap opini kelompok atau opini umum.
Misalnya, para personel F4 asal Taiwan dalam sinetron Mandarin Meteor Garden yang
diidolakan oleh banyak remaja putri Indonesia. Secara individual bisa saja ada diantara
mereka memiliki pendapat lain, tapi tidak berani mengutarakannya. Sebab kuatir
dianggap out group oleh peer group-nya.
4. Efek band wagon: opini simultan atau ikut arus. Misalnya, teriakan-teriakan para
demonstran yang senada menyetujui apa yang disuarakan oleh tokohnya. Tidak akan
mungkin dalam situasi seperti itu muncul pendapat berbeda yang berlawanan arus.
B. Strategi propaganda
Dalam Public Opinion and Propaganda, Leonard W Doob mengatakan: “Propaganda can
be called the attempt to affect the personalities and control the behaviour of individual
towards ends considered unscientific or doubtful value in a society at particular time”.
Kata “propaganda” berasal dari propagare (Latin) yang berarti cara tukang kebun
menyemaikan tunas suatu tanaman ke lahan untuk mereproduksi tanaman baru yang
kelak tumbuh sendiri. Dalam konteks historis digunakan oleh Paus Gregorius XV dalam
Congregatio de Propaganda Fide (The Congregation of Propaganda) tahun 1633 dalam
rangka misi Kristenisasi. Sementara dalam konteks modern digunakan oleh Dr. Goebbels
(menteri propaganda NAZI) dalam PD II dengan tujuan menguasai massa.
1. Klasifikasi propaganda:
a. Bentuk: revealed propaganda: sumber dan tujuannya jelas; concealed propaganda:
sumber dan tujuannya tidak jelas biasanya berbentuk rumor atau gosip; delayed
propaganda: sumber dan tujuannya tertutup tetapi terbuka bila kondisinya
memungkinkan.
b. Bidang: commercial propaganda; political propaganda; cultural propaganda; religious
propaganda; war propaganda.
c. Sifat: white propaganda; black propaganda; ratio propaganda; senso/mental
propaganda.
d. Tujuan: conversionary propaganda: mengubah kesetiaan; divisive propaganda:
memecah-belah; consolidation propaganda: mempersatukan.
e. Misi dan operasionalisasi: defensive propaganda: bertahan; offensive propaganda:
menyerang; counter propaganda: menangkis.
2. Teknik propaganda:
a. Stereotype: pemberian julukan karikatural terhadap pihak lain.
b. Name calling: pencercaan dengan konotasi emosional.
c. Selection: pemilihan fakta yang sesuai dengan tujuan.
d. Down right lying: berbohong tujuan menghalalkan cara.
e. Repetition: pengulangan slogan yang menyudutkan pihak lain.
f. Assertion: penonjolan sisi dan menutupi sisi lainnya.
g. Delaying strategy: startegi penundaan dengan sengaja.
h. Favourable argument: alasan yang menyenangkan.
i. Appeal to authority or testimonials: pengutipan pernyataan pihak yang berwenang.
Bibliografi
Azra, Azyumardi, “Zionisme, Media Massa Barat dan Citra Islam” dalam Pergolakan
Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post Modernisme. Jakarta:
Yayasan Wakaf Paramadina, 1996.
Bride, Sean Mac. Aneka Suara Satu Dunia (terj.). Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1980.
Martin, L. John and Anju Grover Chaudary. Comparative Media System. New York:
Longman Inc, 1983.
Said, Edward W. Covering Islam: How The Media and The Experts Determine How We
See The Rest of The World. New York: Pantheon Books, 1981.
!.
http://fisip8.wordpress.com/2009/10/25/komunikasi-internasional/
(Bauer Griffin)
Kajian komunikasi politik bersifat spesifik, karena materi bahasan terarah kepada topik
tertentu yaitu politik dan aspek-aspek yang tercakup di dalamnya.
Secara filosofis kajian komunikasi politik adalah hakikat kehidupan manusia untuk
mempertahankan hidup dalam lingkup berbangsa dan bernegara.
Setiap negara akan selalu berorientasi kepada fungsi primer negara yaitu tujuan negara.
Tujuan ini dapat dicapai apabila terwujud sifat-sifat integratif dari semua unsur penghuni
negara.
Pada dasarnya keempat sistem tersebut dapat dikualifikasikan ke dalam dua polar, yaitu:
polar totaliter dan polar demokrasi.
Sumber komunikasi dapat berupa ideologi, paham, pola keyakinan, dapat pula berupa
seperangkat norma-norma dan dokumen-dokumen yang tersimpan rapi. Atau dapat pula
berasal dari kitab suci para pemeluk agama.
Objek Kajian Komunikasi Politik: Perilaku Penguasa, Pola Keyakinan dan Pendapat
Umum (Public Opinion)
Sikap perilaku penguasa (elit berkuasa) memberi dampak cukup berarti terhadap lalu
lintas transformasi pesan-pesan komunikasi baik yang berada dalam struktur formal,
maupun yang berkembang dalam masyarakat.
Elit politik berada dalam struktur kekuasaan dan elit masyarakat. Sebagai elit berkuasa ia
mampu mengendalikan dan menjalankan kontrol politik, sekaligus mengendalikan
sumber-sumber komunikasi.
Kebesaran suatu bangsa bergantung kepada kemampuan rakyat, masyarakat umum, dan
massa untuk menemukan simbol dalam orang pilihan, karena orang pilihlah yang mampu
membimbing massa. Elit terdapat lima macam tipe, yaitu: elit kelas menengah, elit
dinasti, elit kolonial, kaum intelek revolusioner dan pemimpin-pemimpin nasional.
Pada prinsipnya teori kepemimpinan meliputi empat macam teori, yaitu: Unitary traits
theory, Constellation of traits theory, Situasional theory dan Interaction theory.
Pendapat umum merupakan unsur kekuatan politik yang memiliki dasar moral dan selalu
cenderung kepada kebenaran dan menghargai nilai-nilai normatif.
Dalam setiap sistem politik selalu terdiri dari dua suasana yaitu suprastruktur politik dan
infrastruktur politik yang saling berpengaruh.
Jalinan fungsional antara lembaga eksekutif dengan lembaga legislatif memberi dampak
tajam terhadap produk-produk komunikasi politik.
Komunikator infrastruktur yaitu para politisi, kelompok profesi, para aktivis dan
termasuk para pemuka pendapat (opinion leader).
Media massa merupakan alat komunikasi politik berdimensi dua, yaitu bagi pemerintah
sebagai alat mentransformasikan kebijaksanaan politik, dan bagi masyarakat sebagai
sarana sosial kontrol.
Dalam peristiwa politik perhatian terhadap media massa akan meningkat. Pada media
massa pers kegiatan politik dapat menggunakan 3 macam rubrik yaitu: news item,
editorial, dan advertising.
Sebelum perundingan resmi berlangsung biasa dilakukan lobbying oleh para lobbyist atau
spokes person sebagai pelicin jalan.
Kegiatan komunis erat kaitannya dengan tingkah laku manusia, karena dapat dipastikan
bahwa komunikasi merupakan aktivitas manusia, dengan sikap, tingkah laku yang
melekat pada dirinya.
Sikap bersifat selektif dan rasional, di dalam mengubah sikap memerlukan waktu relatif
lama.
Pembentukan pola orientasi berpikir dikualifikasikan ke dalam pola protektif dan pola
pluralistik. Atau dapat dikualifikasikan ke dalam sistem totaliter komunis dan sistem
demokrasi.
Perilaku Kebersamaan (Collective Behavior) : Komunikasi Politik, Dampak Situasi
Politik
Peristiwa politik pada hakikatnya merupakan produk berpikir dan produk perilaku
individu-individu baik sebagai pemegang kekuasaan maupun sebagai masyarakat.
Tingkah laku manusia dikualifikasi ke dalam tiga bentuk yaitu: tingkah laku nonsosial,
tingkah laku sosial dan tingkah laku kebersamaan.
Gejala perilaku kebersamaan memberi warna dominan terhadap situasi politik, karena
dapat dimanfaatkan untuk maksud-maksud tertentu.
Massa merupakan unsur masyarakat yang memberi saham dalam pemilihan penguasa,
dan wakil-wakil rakyat. Massa setia dan jinak kepada komunikatornya.
Massa menurut sifatnya terdapat dua macam yaitu di dalamnya yang terdiri orang baik
dan di dalamnya terdiri orang jahat.
Dalam situasi politik negara yang tidak menentu maka dalam masyarakat akan muncul
kegiatan-kegiatan seperti gosip, rumor, fads, booms, rush dan crazes.
Demokrasi Sebagai Suatu Sikap Atau Sebagai suatu Sistem Keyakinan
Demokrasi sebagai suatu pilihan yang paling disenangi di dalam terapan suatu sistem.
Pada negara-negara penganut sistem demokrasi maka hak-hak asasi manusia mendapat
tempat terhormat.
Berbagai bentuk partisipasi dapat dilakukan oleh warga negara. Partisipasi yang baik
adalah partisipasi yang tumbuh dari pribadi tanpa ada paksaan luar (pure participation).
Partisipasi harus diberi makna turut campurnya rakyat di dalam menentukan arah negara
dan kebijaksanaan pemerintahan melalui lembaga perwakilan.
Partisipasi dapat dilihat dari dua dimensi yaitu dari pemerintah sebagai pengakuan dan
penghargaan terhadap warga negara untuk berperan serta dan dari dimensi warga negara
yaitu suatu kepuasan bahwa ia dapat mengaktualisasikan dirinya dalam kehidupan
negara.
Partisipasi memberi dampak positif terhadap tatanan kehidupan bernegara, karena dengan
adanya partisipasi warga negara menandakan bahwa warga negara mendukung terhadap
segala kebijaksanaan pemerintah. Karena itu partisipasi merupakan tingkat kesadaran
optimal warga negara di dalam melihat kemajuan negaranya pada saat sekarang dan masa
yang akan datang.
Dalam komunikasi politik media massa berfungsi sebagai sumber informasi politik,
partisipasi politik, integrasi mengembangkan budaya politik.
Aktualisasi dan popularitas diberi makna peningkatan dari ikatan rohaniah dan sikap
rohaniah untuk menarik publik.
Sifat saling mengisi antara media dan non-media memberi tanda bahwa kedua unsur
tersebut memiliki nilai-nilai lebih. Kelebihan yang ada pada media massa yaitu nilai
akurasi dan aktualitas, dari sisi pemberitaannya.
Komunikasi yang berada dalam lingkup eksekutif lebih tinggi tingkat frekuensi di dalam
mengelola dan mengoperasikan sumber-sumber komunikasi, karena eksekutif dibebani
fungsi sebagai fungsi layanan dan fungsi membangun.
Tayangan atau sajian informasi pada media massa harus mampu membangun imajinasi
masyarakat yang memicu kepada peningkatan kualitas partisipasi politik masyarakat.
Media massa dapat berfungsi sebagai sarana demokrasi apabila filsafat politik suatu
negara menginginkannya.
Di Indonesia timbul istilah baru yaitu duet integral dan harmonis antara pemerintah dan
masyarakat dengan media massa sebagai jembatannya. Istilah ini dinyatakan sebagai
interaksi positif antara ketiga unsur tersebut.
Dalam negara penganut sistem liberal ruang gerak media massa berada dalam kondisi
bebas dan dijadikan ajang rebutan para penyandang modal sebagai sektor bisnis yang
menguntungkan.
Kesertaan infrastruktur komunikasi menunjukkan bahwa partisipasi tidak dipola dari atas,
tapi tumbuh atas kesadaran sendiri.
Partisipasi politik yang sangat memberi warna khusus adalah partisipasi partai politik.
Tinjauan komunikasi politik bahwa partai politik merupakan kelompok individu yang
memiliki simbol-simbol pribadi yang sama yang berorientasi kepada tujuan kelompok
partainya.
Kesertaan masyarakat dalam proses kehidupan politik sangat bermanfaat bagi masyarakat
bersangkutan yang memberi makna terhadap kehidupan demokrasi. Partisipasi politik
apabila dikaitkan dengan variabel pembangunan, maka akan muncul model-model
partisipasi yaitu: model autokrasi, model teknokrasi, model populasi, model borjuis dan
model liberal.
Komunikasi politik sebagai unsur dinamis berfungsi membentuk sikap dan perilaku yang
terintegrasi ke dalam sistem politik.
Sikap perilaku itu diarahkan kepada upaya mempertahankan dan melestarikan sistem
nilai.
Sosialisasi politik merupakan pula unsur dinamis berfungsi untuk mempersiapkan unsur
dinamis yang ada pada diri manusia untuk menerima sistem nilai yang sedang
berlangsung dan sekaligus melestarikannya.
Sosialisasi politik dilakukan secara bertahap yaitu dimulai dari sejak kecil sampai
individu-individu menginjak dewasa. Sosialisasi ini terdapat dua tipe yaitu tipe terikat
dan tipe bebas.
Sosialisasi politik dapat dilihat dari beberapa dimensi di antaranya, dimensi psikologis,
ideologis dan dimensi normatif.
Pendidikan sebagai suatu aktivitas mempengaruhi, mengubah, dan membentuk sikap dan
perilaku berdasar nilai-nilai yang telah dianggap benar dan memberi manfaat bagi
kehidupan umat manusia.
Pewarisan nilai-nilai hanyalah dapat dialihkan melalui pendidikan dalam arti luas, baik
secara formal maupun nonformal.
Transformasi nilai-nilai dan sikap perilaku politik hanyalah akan berlangsung apabila
tidak ingkar dari norma-norma yang berlaku.
Terwujudnya wawasan kebangsaan biasanya berakar pada akar budaya. Pada masyarakat
pluralis untuk mewujudkan wawasan kebangsaan membutuhkan upaya
menginterpretasikan dari simbol-simbol pluralis ke simbol-simbol pola keyakinan yang
diakui bersama.
Wawasan kebangsaan muncul melalui proses diskusi proses adu argumentasi secara
sadar, sifat toleransi dan loyalitas optimal menempatkan negara sebagai pemberi naungan
terhadap seluruh kelompok ideologi.
Yang paling sering digunakan di antara bentuk kegiatan tersebut yaitu propaganda
politik, terutama pada waktu kampanye pemilihan kandidat presiden atau pemilihan
wakil-wakil rakyat.
Di dalam kegiatan kampanye dibantu pula oleh kegiatan melalui pers yaitu dengan
menggunakan news item, editorial dan advertensi politik.
Propaganda politik sangat bergantung kepada sistem politik tempat propaganda itu
dilakukan.
Empat instrumen kebijaksanaan baik dalam masa perang atau waktu damai, yaitu
propaganda, diplomasi, senjata dan ekonomi.
Propaganda pada negara-negara totaliter sangat berbeda dengan propaganda pada negara-
negara demokrasi.
Propaganda komunis sesuai karakter ideologinya yaitu tidak memperhatikan etika moral,
tidak menghargai hak-hak asasi manusia.
Dalam wacana politik dasawarsa belakangan ini isu ideologi bergeser ke isu hak-hak
asasi manusia.
Kegiatan propaganda politik lebih tinggi tingkat intensitas penggunaannya yaitu pada
waktu kampanye pemilihan kandidat presiden, pemilihan wakil-wakil rakyat, pada waktu
menyebarkan ide-ide baru atau segala objek yang bersifat baru.
Bentuk Spesialisasi Public Relations : Karakter, Mengembangkan Sistem Demokrasi,
Mengembangkan Sistem Umpan Balik, Public Relations Dalam Infrastruktur
Public relations sebagai bentuk kegiatan yang sering digunakan baik dalam kegiatan
secara struktural maupun secara fungsional.
Public relations merupakan kegiatan yang paling demokratis, karena selain komunikasi
bersifat dua arah juga dalam hal orientasinya lebih memperhatikan kondisi komunikan.
Empat sasaran utama public relations, yaitu: menumbuhkan pengertian khalayak (public
understanding), menumbuhkan dukungan khalayak (public support), menumbuhkan kerja
sama khalayak (public cooperation), dan menumbuhkan kepuasan publik (public
confidence).
Konflik disebabkan oleh faktor perbedaan perorangan, perbedaan kebudayaan atau pola
keyakinan dan perbedaan di dalam cara mencapai tujuan.
Konflik yang terjadi dapat berakibat hancurnya nilai-nilai lama atau timbulnya perbaikan-
perbaikan terhadap nilai lama. Lebih jauh bahwa konflik dapat berakibat penggantian
sistem nilai apabila konflik sudah mengarah kepada revolusi.
Politik internasional yaitu suatu perjuangan untuk mendapatkan power (lebih dari
kekuasaan).
Kecenderungan untuk berkuasa pada dasarnya merupakan kodrat manusia. Lahirnya Nazi
Jerman pada hakikatnya adalah kodrat manusia Hitler yang ingin menguasai dunia.
Untuk membatasi keserakahan manusia atau bangsa maka dibutuhkan tumbuhnya moral
nasional, yaitu yang mengarahkan sikap perilaku suatu negara nasional di dalam
mengadakan aktivitas dengan negara nasional lainnya.
Moral nasional sebagai dasar tumbuhnya moral internasional. Moral internasional adalah
hakikat kehidupan umat manusia dengan segala peradabannya.
Kehancuran peradaban umat manusia sebagai akibat moral nasional suatu bangsa yang
mengidap power maniac dan tidak berfungsi moral internasional.
Terwujud tidaknya moral internasional akan sangat bergantung kepada sikap perilaku
negara-negara nasional.
Pendapat Umum Nasional dan Internasional
Pendapat umum biasanya muncul apabila terdapat kebijaksanaan penguasa yang bersifat
asing dan tidak diduga sebelumnya.
Pada negara-negara demokrasi pendapat umum berkembang dalam ruang gerak bebas,
karena pendapat umum merupakan bagian dari hak-hak asasi manusia. Berbeda dengan
negara-negara komunis pendapat umum tidak dapat berkembang karena dianggap
merusak keutuhan ideologi.
Ada beberapa Sarjana yang menyangsikan terhadap kompetensi pendapat umum, karena
pendapat umum sebagai gejala projection, identification, rationalization dan bandwagon.
Setiap sistem tidak dapat menghindari pengaruh sistem politik suatu negara dan tidak
dapat melepaskan diri dari pengaruh sistem negara lain.
Terjadinya pertukaran simbol dalam dengan simbol luar, menuntut setiap individu untuk
dapat menginterpretasikan simbol-simbol pribadi ke dalam simbol nasional dan ke dalam
simbol luar.
Derasnya arus komunikasi yang memasuki struktur komunikasi dalam negara menggeser
orientasi berpikir tradisional ke orientasi berpikir modernisasi.
Pergeseran berpikir dapat pula dipengaruhi oleh terobosan budaya luar atau karena
pertukaran budaya melalui komunikasi yang disebut cross cultural communication dan
intercultural communication.
Keterkaitan antar sistem dapat juga disebabkan oleh persamaan kepentingan, sehingga
terjadinya jalinan komunikasi antar sistem.
Sistem politik yang bagaimanapun sifat dan bentuknya akan menampakkan pola tetap.
Dalam kajian ilmu komunikasi dijumpai empat macam sistem komunikasi, yaitu sistem
otoriter, sistem liberal, sistem tanggung jawab sosial dan sistem komunis.
Setiap sistem menampakkan karakter berbeda yang memberi warna dominan terhadap
proses komunikasi yang berada dalam lingkup kekuasaan dan proses komunikasi yang
berada dalam masyarakat.
Warna yang paling dominan terhadap sistem komunikasi yaitu perilaku para penguasa
sebagai pengelola sumber-sumber komunikasi. Peran penguasa memperoleh hak
memakai kekuasaan untuk mencapai kebaikan publik.
Tawaran pemecahan secara liberal pada dasarnya merupakan warna tersendiri dalam
demokrasi, karena demokrasi liberal mempunyai tanda-tanda spesifik.
Kebebasan dalam kesertaan mengelola media massa tampak jelas dalam sistem liberal
sebagai sifat yang berseberangan dengan sistem totaliter atau sistem komunis.
Sistem social responsibility belum dapat dikualifikasikan sebagai suatu sistem, karena
tidak ada satu negara pun yang mengaktualisasikan sistem ini.
Kondisi disintegratif dan tuntutan penggantian sistem nilai (reformasi) sebagai akibat
sikap perilaku elit berkuasa yang berorientasi kepada kepentingan pribadi dan sifat
perlakuan diskriminatif.
Dua komponen dasar yang mendorong timbulnya perombakan total (revolusi), yaitu:
pertama, tuntutan emansipasi untuk perbaikan hidup, dan kedua tuntutan masyarakat
tentang moral.
Oleh sebab itu perombakan sebagai produk elit infrastruktur yang merasa tidak puas
terhadap kebijaksanaan elit berkuasa, karena setiap kebijaksanaan tidak mampu
mengakomodasikan kepentingan-kepentingan elit infrastruktur.
http://www.zimbio.com/Simple+but+Effective+Women+Abs+Workout/articles/3EU-
3TP9gcY/Pendekatan+Teoritis+dan+Pokok+pokok+Pengertian
Romeltea Magazine
•
• MY PROFILE
• Konsultasi
• My Books
• MY SERVICES
• TOLAK PLTSA
• BUKU TAMU
• ONLINE CLASS
• NewsPage
Tegasnya, komunikasi internasional juga adalah studi tentang berbagai macam Mass
Mediated Communication antara dua negara atau lebih yang berbeda latar belakang
budaya. Perbedaan latar belakang tersebut dapat berupa perbedaan ideologi, budaya,
perkembangan ekonomi, dan perbedaan bahasa.
Ada tiga kriteria yang membedakan komunikasi internasional dengan bentuk komuniksai
lainnya:
Fokus Studi
Fokus studi komunikasi internasional pada awalnya adalah studi tentang arus informasi
antar negara-negara dan dalam perkembangannya muncul studi tentang propaganda.
Fenomena kontemporer mengenai komunikasi internasional yang dapat diamati saat ini,
adalah bagaimana hubungan antarnegara kini semakin dinamis dengan perkembangan
teknologi informasi. Banyak masalah antarnegara yang dibahas dalam bingkai
komunikasi internasional, yang tidak melulu masalah politik dan keamanan.
Romeltea Magazine
•
• MY PROFILE
• Konsultasi
• My Books
• MY SERVICES
• TOLAK PLTSA
• BUKU TAMU
• ONLINE CLASS
• NewsPage
1. Mendinamisasikan hubungan internasioanl yang terjalin antara dua negara atau lebih
serta hubungan di berbagai bidang antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda
negara/kebangsaan.
Ruang Lingkup
Komunikasi internasional dapat dipelajari dari tiga perspektif: diplomatik, jurnalistik, dan
propagandistik.
1. Perspektif Diplomatik.
Lazim dilakukan secara interpersonal atau kelompok kecil (small group) lewat jalur
diplomatik; komunikasi langsung antara pejabat tinggi negara untuk bekerjasama atau
menyelesaikan konflik, memelihara hubungan bilateral atau multilateral, memperkuat
posisi tawar, ataupun meningkatkan reputasi. Dilakukan pada konferensi pers, pertemuan
politik, atau jamuan makan malam.
2. Perspektif Jurnalistik.
Dilakukan melalui saluran media massa. Karena arus informasi didominasi negara maju,
ada penilaian komunikasi internasional dalam perspektif ini didominasi negara maju, juga
dijadikan negara maju sebagai alat kontrol terhadap kekuatan sosial yang dikendalikan
kekuatan politik dalam percaturan politik internasional.
Penguasa arus informasi menjadi gatekeeper yang mengontrol arus komunikasi. Jalur
jurnalistik ini jug sering digunakan untuk tujuan propaganda dengan tujuan mengubah
kebijakan dan kepentingan suatu negara atau memperlemah posisi negara lawan.
3. Perspektif Propaganda.
Menurut tipologi klasik, sistem pers di dunia ini dibagi dalam 4 sistem pers besar,
yaitu: sistem pers otoritarian, sistem pers libertarian, sistem pers Soviet-Komunis,
dan sistempers tanggung jawab sosial. Sistem pers Soviet-Komunis dipandang
sebagai perwujudan lain dari sistem pers otoritarian; sementara sistem tanggung
jawab sosial merupakan respons dari sistem libertarian.
Landasan yang membedakan keempat sistem tersebut adalah filsafat masing-
masing sistem dalam memandang: manusia. Masyarakat, negara, dan kebenaran.
Perbedaan filsafat tersebut mengakibatkan lahirnya perbedaan dalam hal
penanganan kebebasan arus informasi. Dalam sistem otoritarian, kebebasan hanya
akan mengarah pada kekacauan, karena pada dasarnya masyarakat secara
individual tak akan mampu mencapai kebenaran tanpa dituntut oleh para
pemimpin negara. Kaum Soviet-Komunis memandang kebebasan pers hanya akan
memperkuat dominasi kaum borjuasi di atas masyarakat awam. Sebaliknya kaum
libertarian justru memandang kebebasan pers sebagai syarat mencapai kebenaran
dan kesejahteraan. Sementara kaum penganut gagasan tanggung jawab sosial,
kendatipun tetap percaya pada kebebasan pers, namun juga percaya bahwa
kebebasan pers harus disertai dengan tanggung jawab pada masyarakat.
Selain tipologi klasik yang diperkenalkan Siebert dan kawan-kawan, telah hadir
pula berbagai tipologi sistem pers lain yang merupakan respons terhadap tipologi
klasik tadi. Merrill memperkenalkan model “Tiga dan Satu”, yang meleburkan
kategori sistem pers otoritarian, Soviet-Komunis, dan Tanggung jawab Sosial
dalam satu kelompok; dan kategori Libertarian di kelompok lain. Ralph
Loewenstein memperkenalkan modul “Loewenstein Progression”, yang mengubah
kategori Soviet-Komunis menjadi kategori Social Centralist, sementara kategori
Tanggung jawab Sosial diubahnya menjadi Social Libertarian.
Gagasan Tata Komunikasi dan Informasi Dunia Baru berasal dari berbagai
keprihatinan tentang struktur komunikasi internasional lama yang dianggap terlalu
didomunasi oleh negara-negara maju. Gagasan ini menjadi semakin menguat
terutama pada dekade 1970-1980. Saat itu terlihat adanya potensi perkembangan
dalam dunia teknologi komunikasi dan informasi.
Bila memang ada bayangan tentang sebuah era yang akan dipenuhi perkembangan
teknologi tersebut, mengapa yang muncul adalah gagasan TKIDB yang menuntut
restrukturisasi? Kekhawatiran terhadap dominasi negara-negara maju ini berakar
dari kenyataan bahwa tata komunikasi dan informasi yang ada sebenarnya
dikuasai negara-negara maju, yang ditunjukkan oleh dominasi negara-negara
tersebut dalam hal industri berita, televisi, film, musik, dan berbagai sektor
komunikasi lainnya.
UNESCO yang berawal dari Inggris pada November 1945 dan semula didomunasi
negara-negara Barat, terutama Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat, pada tahun
1950-an berlangsung pergeseran dan berlanjut sampai pada akhirnya masuk
negara-negara Asia, Afrika, dan wilayah Dunia Ketiga lainnya.
Dengan demikian, kedua kubu pandangan ini melihat dominasi arus informasi oleh
negara-negara maju bukan sebagai hal yang negatif. Bahkan mengingat negara
maju adalah contoh negara yang berhasil dalam peradaban dunia saat ini, dominasi
tersebut nampak sebagai sesuatu yang dibutuhkan bagi negara-negara
berkembang.
Di luar teori imperialisme, berkembang pula keprihatinan lain yang terkait dengan
visi nasionalistik, yang mempersoalkan perbedaan kontekstualitas budaya antara
masyarakat produsen dan masyarakat konsumen, serta yang terkait dengan
kekhawatiran bahwa negara berkembang menjadi sasaran disinformasi yang
dilakukan negara maju.
Tata Komunikasi dan Informasi Dunia baru (TKIDB) adalah sebuah gagasan yang
mengangankan terwujudnya sebuah struktur sistem media dan telekomunikasi
internasional di mana berlangsung arus komunikasi yang berimbang antara negara
maju dan negara berkembang. Gagasan ini menjadi salah satu agenda terpenting
dalam dunia komunikasi tahun 1970-an, karena periode itu merupakan masa awal
revolusi komunikasi yang meskipun di satu sisi akan mempercepat arus informasi
dari satu belahan dunia ke belahan dunia lain, namun di sisi yang lain
dikhawatirkan akan memperkokoh dominasi negara-negara industri maju.
Satu aktor utama yang berperan dalam upaya mewujudkan TKIDB adalah
UNESCO, badan PBB yang memang sejak tahun 1960-an memberi perhatian luas
terhadap kondisi arus informasi internasional. Meskipun tak memiliki kekuatan
legal untuk memaksakan kebijakan, UNESCO memiliki kekuatan moral yang akan
menjadikan para negara anggotanya merasa berkewajiban mematuhi keputusan-
keputusan bersama mereka.
Sejak pertengahan 1970-an, ada kesan gagasan Tata Komunikasi dan Informasi
Dunia Baru akan berhasil diwujudkan melalui UNESCO. Saat itu, sikap
pemerintah AS di bawah Presiden Jimmy Carter juga menunjukkan pengertian
yang cukup mendalam terhadap apa yang dibutuhkan negara-negara berkembang.
Akibatnya suasana konfrontatif antara negara industri maju, terutama AS, dengan
para pendukung TKIDB di UNESCO belum sepenuhnya meruncing.
Di sisi lain, UNESCO sendiri menunjukkan bahwa penentangannya terhadap tata
komunikasi lama bukanlah didasarkan pada penentangan terhadap kepercayaan
mengenai prinsip kebebasan pers. Ini terlihat pada Deklarasi Media 1978 maupun
pada Resolusi UNESCO 1980 yang didasarkan pada laporan Komisi MacBride. Di
sana tertera jelas dukungan terhadap arti penting arus informasi yang bebas serta
perlindungan terhadap wartawan yang menjalankan profesinya.
Yang lebih awal menunjukkan secara tegas penolakan terhadap gagasan TKIDB
adalah komunitas pers barat, sebagaimana terlihat dalam peliputan mereka
terhadap sidang-sidang UNESCO maupun dalam Konferensi World Press Freedom
Committee. Yang terutama mereka serang adalah gagasan tentang peran
pemerintah dalam sistem media sebuah negara serta konsep pers yang bebas dan
berimbang.
Dominasi 3 Besar adalah fenomena yang baru lahir setelah abad 20. Sebelumnya,
sejak awal kelahiran kantor berita pada pertengahan abad 19, dominasi tersebut
dipegang oleh Tiga Besar kantor berita Eropa: Havas, Wolff, dan Reuter. Tiga
alasan keunggulan ketiga kantor berita tersebuat adalah: (a) Mereka adalah
perintis kantor berita; (b) keterkaitan mereka dengan peran yang dijalankan
negara mereka masing-masing dalam percaturan politik-ekonomi-militer
interasional pada masanya; (c) mereka menguasai teknologi yang dibutuhkan. Dua
hal utama yang menyurutkan posisi mereka sejak awal abad 20: a) kondasi politik
internasional di Eropa; b) tantangan dari munculnya kantor-kantor berita AS.
Setelah Perang Dunia II, konstelasi kantor berita praktis berubah.
Ketimpangan Isi Berita dan Kendala-kendala bagi Perubahan Terhadapnya
Gugatan yang diajukan terhadap ketimpangan arus berita internasional tidak
hanya berkaitan dengan segi kuantitas namun juga segi kualitas berita, yakni
mengenai isi berita yang diedarkan kantor-kantor berita Barat. Pemberitaan
tentang negara-neqera berkembang dianggap tidak proporsional jumlahnya,
cenderung bersifat negatif, tidak ditempatkan dalam konteks keseluruhan, lebih
merefleksikan nilai Barat, dan mengabaikan dimensi pembangunan.
PERIKLANAN INTERNASIONAL
Definisi, Fungsi, dan Latar Belakang Pertumbuhan Periklanan
Bagi perusahaan-perusahaan yang beroperasi dengan skala global ini, terdapat dua
pilihan strategi utama yang lazim digunakan saat memasuki pasar asing.
Pendekatan pertama adalah pendekatan standarisasi global, yakni menerapkan
satu cara promosi yang sama di berbagai negara berbeda. Implikasinya adalah
sebuah strategi promosi global yang dirancang dari sebuah kantor pusat di pusat
produksi, dengan menggunakan lembaga-lembaga periklanan yang berada di pusat
produksi tersebut. Sedangkan pendekatan kedua mementingkan adaptasi lokal.
Kedua pendekatan itu sama-sama mendorong lahirnya biro-biro iklan lokal, namun
dengan pola kerja sama berbeda. Dalam pendekatan pertama, posisi biro iklan
sekadar sebagai perpanjangan tangan untuk memasuki pasar domestik. Sementara
dalam pendekatan kedua, biro iklan lokal menempati posisi menentukan karena
dianggap lebih memahami kebutuhan lokal.
HIBURAN GLOBAL
Ciri-ciri Industri Hiburan Global
Arus hiburan internasional mengalami peningkatan pesat dalam satu dua dekade
terakhir ini bersamaan dengan terbangunnya sebuah industri hiburan global.
Sejumlah hal yang menjadi ciri industri tersebut adalah industri berkembang
dengan rentang variasi produk semakin luas, penyebarannya berskala global yang
dipermudah dengan diadopsinya kebijakan yang lebih terbuka oleh berbagai
pemerintah, pertumbuhannya dipercepat dengan perkembangan teknologi
komunikasi, dalam pertumbuhannya tersebut sejumlah negara memang memiliki
posisi dominan namun posisi sejumlah negara berkembang pun di sebagian wilayah
turut menguat.
Kebutuhan akan medium hiburan yang bersifat massal ini memberi insentif bagi
perkembangan teknologi komunikasi yang melahirkan berbagai medium yang
saling mengisi dan bisa diakses dengan mudah dan relatif murah oleh masyarakat.
Kesalingterkaitan ini mendorong berkembangnya industri budaya populer yang
memiliki nilai ekonomi tinggi.
Dalam industri film dominasi AS paling menonjol disebabkan oleh pasar dalam
negeri yang besar sehingga tercapai skala ekonomi, memiliki sumberdaya yang
handal, dan penerapan teknologi canggih dalam industri film. Demikian halnya
dalam industri televisi dan musik, dominasinya ditunjang oleh harga yang murah,
pasokan dapat diandalkan dan memiliki diskon kultural. Dalam kasus Indonesia
menunjukkan sulitnya sebuah negara berkembang menerapkan kebijakan protektif
terhadap arus hiburan internasional.
Dalam hal film Indonesia terpaksa membuka diri terhadap arus impor dari AS
setelah memperoleh tekanan dari MPEAA yang akan menerapkan sanksi
perdagangan. Selain itu, tumbuhnya teknologi audio visual baru
menumbuhsuburkan penyebaran film-film AS.
Dalam hal musik, pertumbuhan radio swasta dan murahnya harga kaset audio.
Harga kaset ini memang melonjak setelah AS mendesak Indonesia menerapkan UU
hak cipta. Namun karena sudah terbentuknya selera musik populer di Indonesia
tingkat penjualan produk musik Barat segera meningkat kembali. Dalam hal
televisi, peningkatan program televisi asing meningkat seiring dengan lahirnya
kebijakan yang mengizinkan pendirian stasiun televisi swasta.
Pengiriman sinyal siaran tak selalu memakai satelit tetapi bisa menggunakan
teknologi microwave dan jaringan kabel coaxical. Ketiga sistem ini mempunyai
spesifikasi yang berbeda. Tiap sistem memiliki kelebihan dan kekurangan yang bisa
saling mengisi. Sistem satelit dikembangkan untuk mengatasi distorsi yang
diakibatkan karena gangguan fisik, seperti lautan dan gunung. Penggagas teknologi
satelit dipelopori oleh Arthur C. Clarke asal Inggris. Penggunaan satelit memicu
perkembangan teknologi komunikasi seperti yang kita lihat seperti sekarang ini.
Sekarang ini angkasa di atas benua Asia banyak ditaburi benda artifisial yang
disebut satelit. Awalnya satelit Palapa milik Indonesia menjadi penghuni tunggal di
kawasan ini hingga beberapa dekade, tetapi kini keberadaannya tidak sendiri lagi.
Banyak satelit bertengger di angkasa benua Asia, seperti Palapa C-1, Intelsat 701,
704, dan 705, Asia Sat 1, 2, Thaicom 1-A, 2, PAS-2, Apstar-1, PAS-4, Rimsat 1, dan
2. Sebagai pioner pemilikan satelit Palapa saat itu menghantarkan Indonesia
memperoleh peringkat keempat dunia sebagai negara pemilik satelit setelah
Amerika Serikat, Uni Soviet, dan Kanada.
Ada beberapa argumen yang melatari Indonesia mesti memiliki satelit sendiri
antara lain, untuk memobilisasi arus informasi dari pusat ke daerah atau
sebaliknya, mengingat luas wilayah dan kondisi geografis yang berpulau-pulau,
selain untuk memicu pertumbuhan pembangunan, ekonomi, dan bisnis. Namun
demikian, lantaran pemerintah dalam menerapkan kebijakan mengenai siaran
asing di Indonesia terlalu ketat dan sering berubah, maka banyak pihak yang ingin
menyewa transponden Palapa dibatalkan. Karena itu, meskipun Palapa
keberadaannya lebih dulu ada dibanding satelit Asia-Sat 1 misalnya, tetapi yang
belakangan ini lebih maju dalam arti jangkauan siaran, jumlah pemirsa dan
penyewa transponder. Padahal jika semua kapasitas transponder yang dimiliki
satelit semua laku disewa, maka pemilik satelit tinggal memetik keuntungan yang
besar.
PROPAGANDA INTERNASIONAL
Pengertian Propaganda
Komunikasi persuasif ini pun dapat dibedakan antara yang dijalankan dalam masa
damai dan yang dilancarkan dalam masa perang yang mengambil bentuk agresif.
Dalam masa perang, masing-masing kubu bertikai memanfaatkan berbagai sarana
komunikasi untuk mempengaruhi kubu lawan, terutama untuk memecah belah,
melemahkan, serta menghancurkan semangat bertempur musuh.
Propaganda Internasional Melalui Media Massa Swasta
Dalam masa damai ini, propaganda yang dijalankan memiliki pola lebih halus.
Pemerintah negara-negara besar lazim mendirikan perpustakaan,
menyelenggarakan seminar, diskusi, acara budaya, pertukaran siswa di negara lain
aktivitas-aktivitas yang pada dasarnya berfungsi mempengaruhi publik luar negeri
mendukung negara besar tersebut. Hampir setiap negara juga menyelenggarakan
stasiun radio gelombang pendek untuk menjalankan propaganda internasional
mereka.
Namun, seperti terlihat dalam kasus AS, ‘peperangan informasi’ itu tak hanya
dijalankan sepenuhnya oleh organ-organ pemerintah, namun juga didukung oleh
inisiatif-inisiatif non-pemerintah, serta melalui media massa swasta yang baik
secara terencana atau tidak terencana mendukung kebijakan pemerintah tersebut.