Professional Documents
Culture Documents
BAB 1
PENDAHULUAN
Apa yang terjadi apabila seseorang atau badan hukum telah terikat dalam suatu
perjanjian/kontrak, tetapi seseorang atau badan hukum tersebut tidak dapat memenuhi
prestasinya, yang dikenal dengan istilah wanprestasi? Indonesia sebagai negara hukum,
telah mengatur situasi tersebut sebagai salah satu kasus Hukum Perdata.
Pada umumnya, seseorang atau badan hukum yang terlibat kasus wanprestasi akan
membayar sejumlah denda. Namun, ada juga yang menerapkan hukuman sita jaminan
bagi mereka yang tebuki melakukannya. Yang dimaksud dengan sita jaminan adalah
jaminan berupa uang atau aset lain yang diserahkan oleh pengugat ke pengadilan yang
dapat dipakai untuk mengganti biaya yang diderita oleh termohon jika ternyata
permohonan tersebut tidak beralasan.
Konflik yang terjadi antara PT. Metro Batavia dengan PT. Garuda Maintenance Facility
Aero Asia merupakan salah satu contoh kasus wanprestasi. Kasus ini bermula ketika
GMF memberikan biaya jasa kepada Batavia Air, seperti menambah angin ban dan
penggantian oli pesawat. Sampai pada akhirnya, Batavia Air tidak juga melunasi biaya
perawatan pesawat yang telah jatuh tempo sejak awal tahun 2008. GMF menuding
Batavia telah melakukan wanprestasi sampai jatuh tempo. Total nilai utang yang
seharusnya dilunasi oleh Batavia Air adalah sebesar 1,192 juta dollar AS.
Untuk menyelesaikan penagihan utang tersebut, GMF telah mengajukan gugatan perdata
terhadap Batavia melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 25 September 2008. Pada
tanggal 4 Maret 2009 lalu, untuk pertama kalinya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
mengabulkan permohonan sita jaminan terhadap pesawat terbang milik Batavia dengan
surat penetapan sita jaminan Nomor 335/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Pst. GMF menyita ketujuh
pesawat Batavia yang merupakan pesawat Boeing 737-200 dengan tujuh nomor seri dan
nomor registrasi yang berbeda. Agar gugatan tidak sia-sia, permohonan sita jaminan
diajukan agar selama perkara berlangsung Batavia tidak memindahtangankan atau
memperjualbelikan asetnya. Ketujuh pesawat Batavia berstatus sita jaminan sampai
kewajibannya dilunasi. Batavia juga dihukum membayar sisa tagihan kepada GMF atas
biaya penggantian dan perbaikan mesin bearing pesawat Batavia. Maskapai penerbangan
itu terbukti melakukan wanprestasi terhadap pembayaran utang sebesar AS$ 256.266 plus
bunga 6 persen per tahun terhitung sejak 17 November 2007. Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat juga menolak seluruh gugatan yang diajukan PT Metro Batavia
terhadap GMF AeroAsia dalam perkara kerusakan dua engine berkode ESN 857854 dan
ESN 724662. Keputusan ini dibacakan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat pada 11 Maret 2009.
Meski ketujuh pesawat Batavia disita, pesawat Batavia masih bisa beroperasi selama
masa sitaan di wilayah Indonesia. Karena apabila pesawat berada di luar negeri,
pengadilan negeri tidak memiliki kewenangan untuk melakukan eksekusi. Hal itu untuk
menjaga kepentingan transportasi umum tetap terlayani. Izin operasional ini masuk dalam
penetapan sita jaminan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
335/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Pst tertanggal 4 Maret 2009 yang diumumkan kuasa hukum
Garuda, Adnan Buyung Nasution. Dalam hal ini berdasarkan Pasal 227 HIR dan Pasal
1131 KUHPerdata, semua jenis atau bentuk harta kekayaan debitur, baik yang bergerak
maupun tidak bergerak, menjadi tanggungan atau jaminan untuk segala utang debitur.
Sita jaminan hanya dilarang terhadap hewan dan barang yang bisa digunakan untuk
menjalankan pencaharian debitur. Pesawat terbang bisa dijadikan objek sita jaminan.
Pesawat tidak dikategorikan sebagai barang yang diatur dalam Pasal 196 HIR, melainkan
sebagai alat perdagangan.
BAB 2
LANDASAN TEORI
Hukum Perdata diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Sipil yang disingkat KUHS
(Burgerlijk Wetboek, disingkat B.W.).
1. Hukum Benda,yaitu peraturan –peraturan hukum yang mengatur hak –hak kebendaan
yang bersifat mutlak yang artinya hak terhadap benda yang oleh setiap wajib di akui dan
dihormati.
Debitur adalah fihak yang berkewajiban memenuhi suatu perikatan, sedangkan Kreditur
adalah fihak yang berhak atas pemenuhan sesuau perikatan tersebut.
Prestasi merupakan obyek dari perikatan, yaitu hal pemenuhan perikatan. Macam-macam
prestasi adalah :
2.1.5.1 Memberikan sesuatu
Misalnya untuk tidak mendirikan suatu bangunan, tidak menggunakan merek dagang
tertentu, kesemuanya karena ditetapkan oleh putusan pengadilan.
Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Adapun yang
dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau
kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam
perjanjian dan bukan dalam keadaan memaksa. Adapun bentuk-bentuk dari wanprestasi
yaitu:
Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap
memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.
Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak
dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali.
Menurut pasal 1238 KUH Perdata yang menyakan bahwa: “Si berutang adalah lalai,
apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan
lalai, atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus
dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.
Dari ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa debitur dinyatakan wanprestasi
apabila sudah ada somasi (in gebreke stelling).
Dalam perkembangannya, suatu somasi atau teguran terhadap debitur yang melalaikan
kewajibannya dapat dilakukan secara lisan akan tetapi untuk mempermudah pembuktian
dihadapan hakim apabila masalah tersebut berlanjut ke pengadilan maka sebaiknya
diberikan peringatan secara tertulis.
1) Surat perintah
Surat perintah tersebut berasal dari hakim yang biasanya berbentuk penetapan. Dengan
surat penetapan ini juru sita memberitahukan secara lisan kepada debitur kapan selambat-
lambatnya dia harus berprestasi. Hal ini biasa disebut “exploit juru Sita”
2) Akta sejenis
Akta ini dapat berupa akta dibawah tangan maupun akta notaris.
Yang dimaksud kerugian yang bisa dimintakan penggantikan itu, tidak hanya biaya-biaya
yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan (kosten), atau kerugian yang sungguh-sungguh
menimpa benda si berpiutang (schaden), tetapi juga berupa kehilangan keuntungan
(interessen), yaitu keuntungan yang didapat seandainya siberhutang tidak lalai
(winstderving).
Bahwa kerugian yang harus diganti meliputi kerugian yang dapat diduga dan merupakan
akibat langsung dari wanprestasi, artinya ada hubungan sebab-akibat antara wanprestasi
dengan kerugian yang diderita. Berkaitan dengan hal ini ada dua sarjana yang
mengemukakan teori tentang sebab-akibat yaitu:
Menyatakan bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari peristiwa B (peristiwa lain) dan
peristiwa B tidak akan terjadi jika tidak ada peristiwa A
b) Adequated Veroorzaking (Von Kries)
Menyatakan bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari peristiwa B (peristiwa lain). Bila
peristiwa A menurut pengalaman manusia yang normal diduga mampu menimbulkan
akibat (peristiwa B).
Dari kedua teori diatas maka yang lazim dianut adalah teori Adequated Veroorzaking
karena pelaku hanya bertanggung jawab atas kerugian yang selayaknya dapat dianggap
sebagai akibat dari perbuatan itu disamping itu teori inilah yang paling mendekati
keadilan.
Seorang debitur yang dituduh wanprestasi dapat mengajukan beberapa alasan untuk
membela dirinya, yaitu:
c) Mengajukan alasan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti
rugi.
Apabila debitur melakukan wanprestasi maka ada beberapa sanksi yang dapat dijatuhkan
kepada debitur, yaitu:
2) Pembatalan perjanjian;
3) Peralihan resiko;
2.1.10.1 Perikatan sipil (civiele verbintenissen), yaitu perikatan yang apabila tidak
dipenuhi dapat dilakukan gugatan (hak tagihan) misalnya jual beli, pinjam meminjam,
sewa menyewa dan sebagainya.
2.1.11.1 Pembayaran (betaling) artinya jika kewajiban terhadap perikatan itu telah
dipenuhi. Pembayaran harus diartikan luas, misalnya seorang pekerja melakukan
pekerjaan termasuk juga pembayaran. Ada kemungkinan fihak ketiga yang membayar
hutang seorang debitur kemudian ia sendiri menjadi kreditur baru pengganti kreditur
yang lama. Keadaan semacam itu disebut subrogasi.
PT. Metro Batavia harus membayar hutang sebesar 1,192 juta dollar AS yang sudah jatuh
tempo pada awal tahun 2008. Agar gugatan tidak sia-sia, permohonan sita jaminan
diajukan agar selama perkara berlangsung Batavia tidak memidahtangankan atau
memperjualbelikan asetnya, PT. GMF menyita tujuh pesawat PT. Metro Batavia.
2.1.11.8 Hilangnya benda yang diperjanjikan (het vergaan der verschuldigde zaak)
2.1.11.9 Timbul syarat yang membatalkan (door werking ener ontbindende
voorwaarde).
Perjanjian Adalah suatu perbuatan dimana seseorang atau beberapa orang mengikatkan
dirinya kepada seorang atau beberapa orang lain.
Suatu perbuatan dimana seseorang atau beberapa orang mengikatkan dirinya kepada
seorang atau beberapa orang lain.
Perjanjian antara pihak pertama PT. GMF memberikan biaya jasa kepada PT. Metro
Batavia, seperti menambah angin ban dan penggantian oli pesawat, dimana PT. Metro
Batavia membayar sejumlah uang yang sudah ditentukan kepada PT. GMF.
1. Perserikatan (Maatschap, KUHS pasal 1618 dst.)
2. Pemberian beban (Lastgeving, KUHS pasal 1792)
2.1.12.2 Undang-Undang
Yaitu dikarenakan keadaan yang telah ditentukan oleh peraturan perundangan, maka
timbullah suatu perikatan seperti timbulnya hak dan kewajiban.
Ini diatur dalam KUHS 1365 dst. yang berbunyi : “ Setiap tindakan melanggar hukum
yang menyebabkan kerugian pada orang lain, maka orang yang bersalahmenyebabkan
kerugian itu wajib mengganti kerugian”.
BAB 3
Berdasarkan kasus wanprestasi antara PT. Metro Batavia dan PT. Garuda Maintanence
Facility yang sudah dibahas sebelumnya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan
permohonan sita jaminan terhadap pesawat terbang milik Batavia dengan surat penetapan
sita jaminan Nomor 335/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Pst. GMF menyita ketujuh pesawat Batavia
yang merupakan pesawat Boeing 737-200 dengan tujuh nomor seri dan nomor registrasi
yang berbeda. Yang menjadi pertanyaannya adalah, apakah putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat sesuai dengan penerapan Pasal 227 HIR, Pasal 1131 KUHPerdata dan Pasal
196 HIR?
Di dalam Pasal 227 HIR disebutkan bahwa “Jika ada sangka beralasan bahwa Tergugat
akan menggelapkan atau memindahtangankan barang miliknya dengan maksud akan
menjauhkan barang tersebut dari Penggugat, maka atas permohonan Penggugat
Pengadilan dapat memerintahkan agar diletakkan sita atas barang tersebut untuk
menjaga/menjamin hak Penggugat”. Isi pasal tersebut, sesuai dengan permohonan sita
jaminan yang diajukan PT. GMF agar selama perkara berlangsung, Batavia tidak
memindahtangankan atau memperjualbelikan asetnya.
Dalam hal ini, Penyitaan dalam sita jaminan bukan dimaksudkan untuk melelang, atau
menjual barang yang disita , namun hanya disimpan oleh pengadilan dan tidak boleh
dialihkan atau dijual oleh termohon/tergugat. Dengan adanya penyitaan, tergugat
kehilangan kewenangannya untuk menguasai barang, sehingga seluruh tindakan tergugat
untuk mengasingkan, atau mengalihkan barang-barang yang dikenakan sita tersebut
adalah tidak sah dan merupakan tindak pidana.
Pasal 1311 KUHPerdata menyatakan bahwa segala kebendaan si berutang, baik yang
bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di
kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perserorangan. Pihak GMF
sejak semula telah meminta kepada Batavia Air agar hartanya, yaitu tujuh pesawat
Batavia yang merupakan pesawat Boeing 737-200 dengan tujuh nomor seri dan nomor
registrasi yang berbeda, secara khusus dijadikan jaminan pembayaran utang. Sehingga
apabila dikemudian hari pada saat jatuh tempo PT. Batavia Air tidak dapat menepati
janjinya untuk membayar atau melunasi utangnya maka harta tergugat tersebut dapat
dieksekusi oleh penggugat melalui prosedur tertentu.
Pasal 196 HIR menyatakan bahwa jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk
memenuhi isi keputusan itu dengan damai, maka fihak yang menang memasukkan
permintaan, baik dengan lisan, maupun dengan surat, kepada ketua, pengadilan negeri
yang tersebut pada ayat pertama pasal 195, buat menjalankan keputusan itu Ketua
menyuruh memanggil fihak yang dikalahkan itu serta memperingatkan, supaya ia
memenuhi keputusan itu di dalam tempo yang ditentukan oleh ketua, yang selama-
lamanya delapan hari.
Penjelasan: Biasanya pihak yang kalah itu dengan kemauan sendiri mematuhi isi
keputusan hakim, akan tetapi apabila ia lalai atau tidak mau memenuhinya, maka pihak
yang menang baik dengan lisan maupun dengan surat memajukan permintaan kepada
pengadilan negeri yang telah memutus perkara itu, untuk melaksanakan keputusan
tersebut. Ketua pengadilan kemudian menyuruh memanggil pihak yang kalah itu dan
diberi ingat supaya dalam tempoh yang ditetapkan oleh ketua yang selama-lamanya
delapan hari, memenuhi keputusan itu. Setelah lewat tempo yang ditetapkan itu dan yang
kalah belum juga memenuhi perintah hakim, maka menurut pasal 167 hakim kemudian
memerintahkan kepada Panitera untuk menyita barang-barang terangkat milik orang yang
kalah sekira cukup untuk memenuhi tagihan uang dan biaya eksekusi.
Berdasarkan kasus wanprestasi yang dilakukan oleh PT. Batavia terhadap PT. GMF dan
analisis kasus yang sesuai dengan Pasal 227 HIR, Pasal 1131 KUHPerdata dan Pasal 196
HIR, maka kami menyatakan bahwa kasus wanprestasi GMF terhadap Batavia
dibenarkan untuk melakukan sita jaminan sampai Batavia dapat melunasi utang
sebesar….
BAB 4
PENUTUP
Kesimpulan
Hukum perdata bersumber pokok pada kitab undang-undang hukum sipil yang berlaku di
Indonesia sejak tanggal 1 mei 1848 KUHP yang berdasarkan asas konkordansi. Hukum
perdata ialah aturan-aturan hukum yang mengatur tingkah laku setiap orang terhadap
orang lain yang berkaitan dengan hak dan kewajiban yang timbul dalam pergaulan
masyarakat maupun pergaulan keluarga. Hukum perdata dibedakan menjadi dua, yaitu
hukum perdata material dan hukum perdata formal. Hukum perdata material mengatur
kepentingan-kepentingan perdata setiap subjek hukum. Hukum perdata formal mengatur
bagaimana cara seseorang mempertahankan haknya apabila dilanggar oleh orang lain.
Kasus Hukum Perdata PT. Metro Batavia dan PT Garuda Maintenance Facility Aero Asia
terdapat masalah jatuh tempo dari PT Metro Batavia yang sesuai dengan Pasal 196 HIR
(Herzien Inlandsch Reglement), terdapat juga Pasal 227 HIR yang berisikan sita jaminan
untuk PT Metro Batavia dan Pasal 1311 KUHPerdata Kebendaan siberhutang berhak
menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Semua keputusan pengadilan
sesuai dengan Hukum Perdata yang berlaku.
Dilihat dari pembahasan dan penjabaran masalah kasus wanprestasi di atas yang
mengenai konflik antara PT Metro Batavia dan PT Garuda Maintenance Facility Aero
Asia, penulis menyimpulkan bahwa kasus tersebut merupakan tindak perdata yang sesuai
dengan penerapan pasal 227 HIR (Herzien Inlandsch Reglement), pasal 1131
KUHPerdata, dan pasal 196 HIR. Untuk itu, segala keputusan Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat yang telah dibuat sudah sesuai dengan perkara kasus yang berdasarkan hukum yang
telah ditetapkan.
Saran
Dengan adanya kasus Wanprestasi antara PT Metro Batavia dan PT GMF kami
mengharapkan agar masyarakat pada umumnya dapat terlebih dahulu memahami seluruh
isi perjanjian kontrak kerja sebelum menyetujui kontrak terse but. Dengan demikian
masyarakat dapat memenuhi apa yang menjadi Hak dan Kewajiban dari isi perjanjian
tersebut, agar masyarakat tidak mendapat masalah dengan perjanjian kontrak.