You are on page 1of 11

Kasus Hukum Perdata

PT. Metro Batavia vs PT. GMF

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Apa yang terjadi apabila seseorang atau badan hukum telah terikat dalam suatu
perjanjian/kontrak, tetapi seseorang atau badan hukum tersebut tidak dapat memenuhi
prestasinya, yang dikenal dengan istilah wanprestasi? Indonesia sebagai negara hukum,
telah mengatur situasi tersebut sebagai salah satu kasus Hukum Perdata.

Hukum Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan


hukum antara orang yang satu dengan orang lain, dengan menitkiberatkan kepada
kepentingan perseorangan. Maka dari itu, sangatlah pantas apabila wanprestasi
dikategorikan sebagai kasus perdata.

Pada umumnya, seseorang atau badan hukum yang terlibat kasus wanprestasi akan
membayar sejumlah denda. Namun, ada juga yang menerapkan hukuman sita jaminan
bagi mereka yang tebuki melakukannya. Yang dimaksud dengan sita jaminan adalah
jaminan berupa uang atau aset lain yang diserahkan oleh pengugat ke pengadilan yang
dapat dipakai untuk mengganti biaya yang diderita oleh termohon jika ternyata
permohonan tersebut tidak beralasan.

Konflik yang terjadi antara PT. Metro Batavia dengan PT. Garuda Maintenance Facility
Aero Asia merupakan salah satu contoh kasus wanprestasi. Kasus ini bermula ketika
GMF memberikan biaya jasa kepada Batavia Air, seperti menambah angin ban dan
penggantian oli pesawat. Sampai pada akhirnya, Batavia Air tidak juga melunasi biaya
perawatan pesawat yang telah jatuh tempo sejak awal tahun 2008. GMF menuding
Batavia telah melakukan wanprestasi sampai jatuh tempo. Total nilai utang yang
seharusnya dilunasi oleh Batavia Air adalah sebesar 1,192 juta dollar AS.

Untuk menyelesaikan penagihan utang tersebut, GMF telah mengajukan gugatan perdata
terhadap Batavia melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 25 September 2008. Pada
tanggal 4 Maret 2009 lalu, untuk pertama kalinya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
mengabulkan permohonan sita jaminan terhadap pesawat terbang milik Batavia dengan
surat penetapan sita jaminan Nomor 335/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Pst. GMF menyita ketujuh
pesawat Batavia yang merupakan pesawat Boeing 737-200 dengan tujuh nomor seri dan
nomor registrasi yang berbeda. Agar gugatan tidak sia-sia, permohonan sita jaminan
diajukan agar selama perkara berlangsung Batavia tidak memindahtangankan atau
memperjualbelikan asetnya. Ketujuh pesawat Batavia berstatus sita jaminan sampai
kewajibannya dilunasi. Batavia juga dihukum membayar sisa tagihan kepada GMF atas
biaya penggantian dan perbaikan mesin bearing pesawat Batavia. Maskapai penerbangan
itu terbukti melakukan wanprestasi terhadap pembayaran utang sebesar AS$ 256.266 plus
bunga 6 persen per tahun terhitung sejak 17 November 2007. Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat juga menolak seluruh gugatan yang diajukan PT Metro Batavia
terhadap GMF AeroAsia dalam perkara kerusakan dua engine berkode ESN 857854 dan
ESN 724662. Keputusan ini dibacakan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat pada 11 Maret 2009.

Meski ketujuh pesawat Batavia disita, pesawat Batavia masih bisa beroperasi selama
masa sitaan di wilayah Indonesia. Karena apabila pesawat berada di luar negeri,
pengadilan negeri tidak memiliki kewenangan untuk melakukan eksekusi. Hal itu untuk
menjaga kepentingan transportasi umum tetap terlayani. Izin operasional ini masuk dalam
penetapan sita jaminan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
335/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Pst tertanggal 4 Maret 2009 yang diumumkan kuasa hukum
Garuda, Adnan Buyung Nasution. Dalam hal ini berdasarkan Pasal 227 HIR dan Pasal
1131 KUHPerdata, semua jenis atau bentuk harta kekayaan debitur, baik yang bergerak
maupun tidak bergerak, menjadi tanggungan atau jaminan untuk segala utang debitur.
Sita jaminan hanya dilarang terhadap hewan dan barang yang bisa digunakan untuk
menjalankan pencaharian debitur. Pesawat terbang bisa dijadikan objek sita jaminan.
Pesawat tidak dikategorikan sebagai barang yang diatur dalam Pasal 196 HIR, melainkan
sebagai alat perdagangan.

Penetapan itu berbunyi, mengabulkan permohonan sita jaminan (conservatoir beslag)


penggugat dengan batasan dan ketentuan sebagai berikut. Pertama, menyatakan pesawat-
pesawat terbang dalam sitaan tersebut tetap dapat dioperasikan demi kepentingan
pelayanan transportasi umum selama dalam sitaan. Kedua, menyatakan pesawat-pesawat
terbang dalam sitaan tersebut hanya boleh dioperasikan terbatas dalam wilayah Negara
Republik Indonesia selama dalam sitaan. Ketiga, memerintahkan termohon (Batavia Air)
merawat pesawat-pesawat terbang dalam sitaan itu sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku dengan biaya yang dibebankan kepada termohon sita. Keempat,
memerintahkan termohon untuk selalu melaporkan kepada Departemen Perhubungan cq
Direkrorat Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara dan Pemohon atas setiap
perubahan pada pesawat, termasuk tidak terbatas pada mesin pesawat udara dan auxiliary
power unit (APU) dari pesawat yang disita. Kelima, memerintahkan termohon sita
menghadirkan pesawat-pesawat terbang dalam sitaan tersebut di Bandara Soekarno-Hatta
pada saat sita jaminan diletakkan oleh Pengadilan Negeri. Keenam, memerintahkan juru
sita Pengadilan Negeri melaporkan sita jaminan atas pesawat-pesawat terbang yang telah
diletakkan pada Departemen Perhubungan cq Direkrorat Kelaikan Udara dan
Pengoperasian Pesawat Udara. Ketujuh, memerintahkan juru sita Pengadilan Negeri yang
melakukan sita jaminan pesawat terbang berkoordinasi dengan Departemen Perhubungan
cq Direkrorat Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara dalam melakukan sita
jaminan, terkait dengan identifikasi pesawat terbang dan status pesawat guna
menghindari terjadinya peletakan sita jaminan dan eksekusi yang sia-sia. Kedelapan,
memerintahkan termohon sita melaporkan segala perubahan barang tersita kepada
Departemen Perhubungan cq Direkrorat Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat
Udara.
Batavia melaporkan penyitaan kepada Departemen Perhubungan supaya dicatat, atas
pesawat yang disita ke Direktorat Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara
Ditjen Pehubungan Udara Departemen Perhubungan. Pencatatan itu terkait dengan
identifikasi dan status pesawat agar sita jaminan tidak sia-sia, termasuk setiap perubahan
terhadap pesawat selama dalam masa sitaan. Selain itu, Batavia harus merawat pesawat
sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Majelis hakim membebankan biaya
perawatan itu ke Batavia.

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Teori-Teori Hukum

2.1.2 Pengertian Hukum Perdata

Hukum Perdata (burgerlijkrecht) adalah rangkaian peraturan-peraturan hukum yang


mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain dengan
menitik beratkan pada kepentingan perseorangan.

Hukum Perdata diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Sipil yang disingkat KUHS
(Burgerlijk Wetboek, disingkat B.W.).

2.1.3 Pengertian Hukum Harta Kekayaan

Hukum harta kekayaan adalah peraturan-peraturan hukum yang mengatur


kewajibanmanusia yang bernilai uang.hukum kekayaan meliputi 2 lapangan ,yaitu:

1. Hukum Benda,yaitu peraturan –peraturan hukum yang mengatur hak –hak kebendaan
yang bersifat mutlak yang artinya hak terhadap benda yang oleh setiap wajib di akui dan
dihormati.

2. Hukum Perikatan ialah,peraturan-peraturan yang mengatur perhubungan yang bersifat


kehartaan antara dua orang lebih dimana pihak pertama berhak atas sesuatu prestasi
(pemenuhan sesuatu) dan pihak yang lain wajib memenuhi sesuatu prestasi.

2.1.4 Pengertian Debitur dan Kreditur

Debitur adalah fihak yang berkewajiban memenuhi suatu perikatan, sedangkan Kreditur
adalah fihak yang berhak atas pemenuhan sesuau perikatan tersebut.

2.1.5 Pengertian Prestasi

Prestasi merupakan obyek dari perikatan, yaitu hal pemenuhan perikatan. Macam-macam
prestasi adalah :
2.1.5.1 Memberikan sesuatu

Seperti membayar harga, menyerahkan barang, dan sebagainya.

2.1.5.2 Berbuat sesuatu

Misalnya memperbaiki barang yang rusak,membonkar bangunan, kesemuanya karena


putusan pengadilandan sebagainya.

2.1.5.3 Tidak berbuat sesuatu

Misalnya untuk tidak mendirikan suatu bangunan, tidak menggunakan merek dagang
tertentu, kesemuanya karena ditetapkan oleh putusan pengadilan.

2.1.6 Pengertian Wanprestasi

Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Adapun yang
dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau
kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam
perjanjian dan bukan dalam keadaan memaksa. Adapun bentuk-bentuk dari wanprestasi
yaitu:

2.1.6.1 Tidak memenuhi prestasi sama sekali

Sehubungan dengan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasinya maka


dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.

2.1.6.2 Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya

Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap
memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.

2.1.6.3 Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru.

Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak
dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali.

Menurut pasal 1238 KUH Perdata yang menyakan bahwa: “Si berutang adalah lalai,
apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan
lalai, atau demi perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus
dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.

Dari ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa debitur dinyatakan wanprestasi
apabila sudah ada somasi (in gebreke stelling).

2.1.7 Pengertian Somasi


Somasi adalah pemberitahuan atau pernyataan dari kreditur kepada debitur yang berisi
ketentuan bahwa kreditur menghendaki pemenuhan prestasi seketika atau dalam jangka
waktu seperti yang ditentukan dalam pemberitahuan itu.

Dalam perkembangannya, suatu somasi atau teguran terhadap debitur yang melalaikan
kewajibannya dapat dilakukan secara lisan akan tetapi untuk mempermudah pembuktian
dihadapan hakim apabila masalah tersebut berlanjut ke pengadilan maka sebaiknya
diberikan peringatan secara tertulis.

Adapun bentuk-bentuk somasi menurut pasal 1238 KUH Perdata adalah:

1) Surat perintah

Surat perintah tersebut berasal dari hakim yang biasanya berbentuk penetapan. Dengan
surat penetapan ini juru sita memberitahukan secara lisan kepada debitur kapan selambat-
lambatnya dia harus berprestasi. Hal ini biasa disebut “exploit juru Sita”

2) Akta sejenis

Akta ini dapat berupa akta dibawah tangan maupun akta notaris.

3) Tersimpul dalam perikatan itu sendiri

Maksudnya sejak pembuatan perjanjian, kreditur sudah menentukan saat adanya


wanprestasi.

2.1.8 Ganti Kerugian

Penggantian kerugian dapat dituntut menurut undang-undang berupa “kosten, schaden en


interessen” (pasal 1243 dsl).

Yang dimaksud kerugian yang bisa dimintakan penggantikan itu, tidak hanya biaya-biaya
yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan (kosten), atau kerugian yang sungguh-sungguh
menimpa benda si berpiutang (schaden), tetapi juga berupa kehilangan keuntungan
(interessen), yaitu keuntungan yang didapat seandainya siberhutang tidak lalai
(winstderving).

Bahwa kerugian yang harus diganti meliputi kerugian yang dapat diduga dan merupakan
akibat langsung dari wanprestasi, artinya ada hubungan sebab-akibat antara wanprestasi
dengan kerugian yang diderita. Berkaitan dengan hal ini ada dua sarjana yang
mengemukakan teori tentang sebab-akibat yaitu:

a) Conditio Sine qua Non (Von Buri)

Menyatakan bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari peristiwa B (peristiwa lain) dan
peristiwa B tidak akan terjadi jika tidak ada peristiwa A
b) Adequated Veroorzaking (Von Kries)

Menyatakan bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari peristiwa B (peristiwa lain). Bila
peristiwa A menurut pengalaman manusia yang normal diduga mampu menimbulkan
akibat (peristiwa B).

Dari kedua teori diatas maka yang lazim dianut adalah teori Adequated Veroorzaking
karena pelaku hanya bertanggung jawab atas kerugian yang selayaknya dapat dianggap
sebagai akibat dari perbuatan itu disamping itu teori inilah yang paling mendekati
keadilan.

Seorang debitur yang dituduh wanprestasi dapat mengajukan beberapa alasan untuk
membela dirinya, yaitu:

a) Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmach);

b) Mengajukan alasan bahwa kreditur sendiri telah lalai;

c) Mengajukan alasan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti
rugi.

2.1.9 Pengertian Sanksi

Sanksi adalah hukuman yang dijatuhkan oleng pengadilan.

Apabila debitur melakukan wanprestasi maka ada beberapa sanksi yang dapat dijatuhkan
kepada debitur, yaitu:

1) Membayar kerugian yang diderita kreditur;

2) Pembatalan perjanjian;

3) Peralihan resiko;

4) Membayar biaya perkara apabila sampai diperkarakan dimuka hakim.

2.1.10 Macam-macam perikatan, yaitu:

2.1.10.1 Perikatan sipil (civiele verbintenissen), yaitu perikatan yang apabila tidak
dipenuhi dapat dilakukan gugatan (hak tagihan) misalnya jual beli, pinjam meminjam,
sewa menyewa dan sebagainya.

2.1.10.2 Perikatan wajar (natuurlijke verbintenissen)

2.1.10.3 Perikatan yang dapat dibagi (deelbare verbintenissen)


2.1.10.4 Perikatan yang tak dapat dibagi (ondeelbare verbintenissen)

2.1.10.5 Perikatan pokok (principale atau hoof-dverbintenissen)

2.1.10.6 Perikatan tambahan (accessoire atau nevenverbintenissen)

2.1.10.7 Perikatan spesifik (spesifieke verbintenissen)

2.1.10.8 Perikatan generic (genericke verbintenissen)

2.1.10.9 Perikatan jamak (meervoudige verbin-tenissen)

2.1.10.10 Perikatan murni (zuivere verbintenis)

2.1.10.11 Perikatan bersyarat (voorwaardelijke verbintenis) PT. GMF melakukan


Perikatan dengan PT. Batavia dengan memberikan biaya jasa kepada PT. Batavia, seperti
menambah angin ban dan penggantian oli pesawat dengan batas waktu sejak awal tahun
2008.

2.1.11 Sebab Berakhirnya Perikatan

2.1.11.1 Pembayaran (betaling) artinya jika kewajiban terhadap perikatan itu telah
dipenuhi. Pembayaran harus diartikan luas, misalnya seorang pekerja melakukan
pekerjaan termasuk juga pembayaran. Ada kemungkinan fihak ketiga yang membayar
hutang seorang debitur kemudian ia sendiri menjadi kreditur baru pengganti kreditur
yang lama. Keadaan semacam itu disebut subrogasi.

PT. Metro Batavia harus membayar hutang sebesar 1,192 juta dollar AS yang sudah jatuh
tempo pada awal tahun 2008. Agar gugatan tidak sia-sia, permohonan sita jaminan
diajukan agar selama perkara berlangsung Batavia tidak memidahtangankan atau
memperjualbelikan asetnya, PT. GMF menyita tujuh pesawat PT. Metro Batavia.

2.1.11.2 Penawaran bayar tunai diikuti penyimpanan (consignatie)

2.1.11.3 Pembaharuan hutang atau novasi

2.1.11.4 Imbalan (vergelijking) atau kompensasi

2.1.11.5 Pencampuran hutang (schuldvermenging)

2.1.11.6 Pembebasan hutang (kwijtschelding der schuld)

2.1.11.7 Batal dan Pembatalan (nietigheid of te niet doening)

2.1.11.8 Hilangnya benda yang diperjanjikan (het vergaan der verschuldigde zaak)
2.1.11.9 Timbul syarat yang membatalkan (door werking ener ontbindende
voorwaarde).

2.1.11.10 Kadaluwarsa (verjaring).

2.1.12 Sumber Hukum Perikatan

2.1.12.1 Perjanjian (kontrak)

Perjanjian Adalah suatu perbuatan dimana seseorang atau beberapa orang mengikatkan
dirinya kepada seorang atau beberapa orang lain.

Suatu perbuatan dimana seseorang atau beberapa orang mengikatkan dirinya kepada
seorang atau beberapa orang lain.

Perjanjian dianggap sah, harus memenuhi syarat sebagai berikut :

1. Ijin kedua belah fihak berdasarkan persetujuan kehendak mereka masing-masing,


tidak terdapat paksaan, penipuan atau kekeliruan.
2. Kedua belah fihak harus cakap bertindak : jika syarat ini tidak dipenuhi maka
perjanjian itu dapat dibatalkan dengan perantara hakim.
3. Ada objek tertentu : jumlah, jenis dan bentuk yang diperjanjikan sudah tertentu.
4. Ada sebab yang dibolehkan, artinya ada sebab-sebab hukum yang menjadi dasar
perjanjian yang tidak dilarang oleh peraturan-peraturan, bertentangan dengan
keamanan dan ketertiban umum, misalnya tidak boleh mengadakan perjanjian
pemberian hadiah untuk memukul atau membunuh orang yang ditunjuk; dilarang
mengadakan perjanjian jual beli budak dan lain-lain.

Jenis-jenis perjanjian tertentu:

1. Perjanjian jual beli (koop en verkoop)


2. Perjanjian tukar menukar (Ruil, KUHP pasal 1541 dst.)
3. Perjanjian sewa menyewa (Huur en Verhuur, KUHP pasal 1548 dst.)
4. Pinjam pakai (Bruiklening, KUHS pasal 1740 dst.)
5. Pinjam pakai sampai habis = pinjam mengganti (Verbruiklening, KUHS pasal
1754 dst.)
6. Perjanjian penitipan (Bewaargeving, KUHS pasal 1694 dst.)
7. Perjanjian kerja (Arbeidscontract, KUHS pasal 1601 dst.) adalah suatu perjanjian
dimana pihak pertama (buruh,kerja) akan memberikan tenaganya untuk
melakukan sesuatu pekerjaan bagi pihak lain (majikan) dengan menerima upah
yang telah ditentukan.

Perjanjian antara pihak pertama PT. GMF memberikan biaya jasa kepada PT. Metro
Batavia, seperti menambah angin ban dan penggantian oli pesawat, dimana PT. Metro
Batavia membayar sejumlah uang yang sudah ditentukan kepada PT. GMF.
1. Perserikatan (Maatschap, KUHS pasal 1618 dst.)
2. Pemberian beban (Lastgeving, KUHS pasal 1792)

10. Pemberian hadiah (Schenking, KUHS pasal 1666 dst)\

11. Pertanggungan (Borgtocht, KUHS pasal 1820 dst.)

12. Penarikan perkara (Dading, KUHS pasal 1851 dst.)

2.1.12.2 Undang-Undang

Perikatan yang terjadi karena undang-undang, dibagi dalam dua golongan :

1. Perikatan yang terjadi karena undang-undang itu sendiri

Yaitu dikarenakan keadaan yang telah ditentukan oleh peraturan perundangan, maka
timbullah suatu perikatan seperti timbulnya hak dan kewajiban.

1. Perikatan yang terjadi karena undang-undang disertai dengan tindakan manusia,


yakni :
1. Tindakan menurut hukum / hakiki (rechmatige daad)

Yaitu perbuatan manusai berdasarkan haknya.

1. Tindakan melanggar hukum ( onrechmatige daad)

Ini diatur dalam KUHS 1365 dst. yang berbunyi : “ Setiap tindakan melanggar hukum
yang menyebabkan kerugian pada orang lain, maka orang yang bersalahmenyebabkan
kerugian itu wajib mengganti kerugian”.

BAB 3

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan kasus wanprestasi antara PT. Metro Batavia dan PT. Garuda Maintanence
Facility yang sudah dibahas sebelumnya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan
permohonan sita jaminan terhadap pesawat terbang milik Batavia dengan surat penetapan
sita jaminan Nomor 335/Pdt.G/2008/PN.Jkt.Pst. GMF menyita ketujuh pesawat Batavia
yang merupakan pesawat Boeing 737-200 dengan tujuh nomor seri dan nomor registrasi
yang berbeda. Yang menjadi pertanyaannya adalah, apakah putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat sesuai dengan penerapan Pasal 227 HIR, Pasal 1131 KUHPerdata dan Pasal
196 HIR?

Di dalam Pasal 227 HIR disebutkan bahwa “Jika ada sangka beralasan bahwa Tergugat
akan menggelapkan atau memindahtangankan barang miliknya dengan maksud akan
menjauhkan barang tersebut dari Penggugat, maka atas permohonan Penggugat
Pengadilan dapat memerintahkan agar diletakkan sita atas barang tersebut untuk
menjaga/menjamin hak Penggugat”. Isi pasal tersebut, sesuai dengan permohonan sita
jaminan yang diajukan PT. GMF agar selama perkara berlangsung, Batavia tidak
memindahtangankan atau memperjualbelikan asetnya.

Dalam hal ini, Penyitaan dalam sita jaminan bukan dimaksudkan untuk melelang, atau
menjual barang yang disita , namun hanya disimpan oleh pengadilan dan tidak boleh
dialihkan atau dijual oleh termohon/tergugat. Dengan adanya penyitaan, tergugat
kehilangan kewenangannya untuk menguasai barang, sehingga seluruh tindakan tergugat
untuk mengasingkan, atau mengalihkan barang-barang yang dikenakan sita tersebut
adalah tidak sah dan merupakan tindak pidana.

Pasal 1311 KUHPerdata menyatakan bahwa segala kebendaan si berutang, baik yang
bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di
kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perserorangan. Pihak GMF
sejak semula telah meminta kepada Batavia Air agar hartanya, yaitu tujuh pesawat
Batavia yang merupakan pesawat Boeing 737-200 dengan tujuh nomor seri dan nomor
registrasi yang berbeda, secara khusus dijadikan jaminan pembayaran utang. Sehingga
apabila dikemudian hari pada saat jatuh tempo PT. Batavia Air tidak dapat menepati
janjinya untuk membayar atau melunasi utangnya maka harta tergugat tersebut dapat
dieksekusi oleh penggugat melalui prosedur tertentu.

Pasal 196 HIR menyatakan bahwa jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk
memenuhi isi keputusan itu dengan damai, maka fihak yang menang memasukkan
permintaan, baik dengan lisan, maupun dengan surat, kepada ketua, pengadilan negeri
yang tersebut pada ayat pertama pasal 195, buat menjalankan keputusan itu Ketua
menyuruh memanggil fihak yang dikalahkan itu serta memperingatkan, supaya ia
memenuhi keputusan itu di dalam tempo yang ditentukan oleh ketua, yang selama-
lamanya delapan hari.

Penjelasan: Biasanya pihak yang kalah itu dengan kemauan sendiri mematuhi isi
keputusan hakim, akan tetapi apabila ia lalai atau tidak mau memenuhinya, maka pihak
yang menang baik dengan lisan maupun dengan surat memajukan permintaan kepada
pengadilan negeri yang telah memutus perkara itu, untuk melaksanakan keputusan
tersebut. Ketua pengadilan kemudian menyuruh memanggil pihak yang kalah itu dan
diberi ingat supaya dalam tempoh yang ditetapkan oleh ketua yang selama-lamanya
delapan hari, memenuhi keputusan itu. Setelah lewat tempo yang ditetapkan itu dan yang
kalah belum juga memenuhi perintah hakim, maka menurut pasal 167 hakim kemudian
memerintahkan kepada Panitera untuk menyita barang-barang terangkat milik orang yang
kalah sekira cukup untuk memenuhi tagihan uang dan biaya eksekusi.

Berdasarkan kasus wanprestasi yang dilakukan oleh PT. Batavia terhadap PT. GMF dan
analisis kasus yang sesuai dengan Pasal 227 HIR, Pasal 1131 KUHPerdata dan Pasal 196
HIR, maka kami menyatakan bahwa kasus wanprestasi GMF terhadap Batavia
dibenarkan untuk melakukan sita jaminan sampai Batavia dapat melunasi utang
sebesar….
BAB 4

PENUTUP

Kesimpulan

Hukum perdata bersumber pokok pada kitab undang-undang hukum sipil yang berlaku di
Indonesia sejak tanggal 1 mei 1848 KUHP yang berdasarkan asas konkordansi. Hukum
perdata ialah aturan-aturan hukum yang mengatur tingkah laku setiap orang terhadap
orang lain yang berkaitan dengan hak dan kewajiban yang timbul dalam pergaulan
masyarakat maupun pergaulan keluarga. Hukum perdata dibedakan menjadi dua, yaitu
hukum perdata material dan hukum perdata formal. Hukum perdata material mengatur
kepentingan-kepentingan perdata setiap subjek hukum. Hukum perdata formal mengatur
bagaimana cara seseorang mempertahankan haknya apabila dilanggar oleh orang lain.

Kasus Hukum Perdata PT. Metro Batavia dan PT Garuda Maintenance Facility Aero Asia
terdapat masalah jatuh tempo dari PT Metro Batavia yang sesuai dengan Pasal 196 HIR
(Herzien Inlandsch Reglement), terdapat juga Pasal 227 HIR yang berisikan sita jaminan
untuk PT Metro Batavia dan Pasal 1311 KUHPerdata Kebendaan siberhutang berhak
menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Semua keputusan pengadilan
sesuai dengan Hukum Perdata yang berlaku.

Dilihat dari pembahasan dan penjabaran masalah kasus wanprestasi di atas yang
mengenai konflik antara PT Metro Batavia dan PT Garuda Maintenance Facility Aero
Asia, penulis menyimpulkan bahwa kasus tersebut merupakan tindak perdata yang sesuai
dengan penerapan pasal 227 HIR (Herzien Inlandsch Reglement), pasal 1131
KUHPerdata, dan pasal 196 HIR. Untuk itu, segala keputusan Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat yang telah dibuat sudah sesuai dengan perkara kasus yang berdasarkan hukum yang
telah ditetapkan.

Saran

Dengan adanya kasus Wanprestasi antara PT Metro Batavia dan PT GMF kami
mengharapkan agar masyarakat pada umumnya dapat terlebih dahulu memahami seluruh
isi perjanjian kontrak kerja sebelum menyetujui kontrak terse but. Dengan demikian
masyarakat dapat memenuhi apa yang menjadi Hak dan Kewajiban dari isi perjanjian
tersebut, agar masyarakat tidak mendapat masalah dengan perjanjian kontrak.

You might also like