Professional Documents
Culture Documents
Disusun Oleh:
Fakultas Hukum
2010
1
BAB I
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
2
b. Seperti apakah masalah hukum yang timbul & Bagaimanakah penyelesaian
Kasus Tembakau Bremen?
C. Tinjauan Pustaka
Dalam studi hukum internasional publik, dikenal ada dua macam sengketa
internasional: sengketa hukum (legal or judicial disputes) dan sengketa politik (political
or non-justiciable disputes). Sebetulnya tidak ada kriteria yang jelas dan diterima secara
umum mengenai pengertian kedua istilah tersebut. Yang kerapkali dipakai menjadi
ukuran suatu sengketa sebagai sengketa hukum yakni manakala sengketa tersebut bisa
atau dapat diserahkan dan diselesaikan oleh pengadilan internasional. Namun
pandangan demikian sulit diterima. Sengketa-sengketa internasional, secara teoritis
pada pokoknya selalu dapat diselesaikan oleh pengadilan internasional. Sesulit apapun
suatu sengketa, meskipun tidak ada pengaturannya sekalipun, suatu pengadilan
internasional tampaknya bisa memutuskannya dengan bergantung kepada prinsip
kepatutan dan kelayakan (ex aequo et bono).
1
Martin Dixon and Robert McCorquodale, Cases and Materials on International Law,
London: Blackstone Press Ltd., 1991, hlm. 511.
3
Pada pokoknya, ada banyak sengketa yang bisa diserahkan dan kemungkinan besar
bisa diselesaikan oleh pengadilan internasional. Tetapi karena salah satu atau kedua
negara enggan menyerahkannya kepada pengadilan, pengadilan menjadi tidak
berwenang mengadilinya. Dalam hal ini yang menjadi dasar hukum bagi pengadilan
untuk melaksanakan jurisdiksinya adalah kesepakatan para pihak yang bersengketa.
Meskipun sulit untuk membuat perbedaan tegas antara istilah sengketa hukum dan
sengketa politik, namun ada tiga golongan pendapat atau teori penting yang
berkembang dalam hukum internasional.
Pendapat Friedmann.
Pendapat pertama adalah pendapat yang dikemukakan oleh golongan sarjana
hukum internasional Amerika Serikat dengan pemukanya Professor Wolfgang
Friedmann. Menurut beliau, meskipun sulit untuk membedakan kedua pengertian
tersebut, namun pembedaannya dapat tampak pada konsepsi sengketanya. Konsepsi
sengketa hukum memuat hal-hal berikut:
o sengketa hukum adalah perselisihan-perselisihan antara negara yang mampu
diselesaikan oleh pengadilan dengan menerapkan aturan-aturan hukum yang ada atau
yang sudah pasti;
o sengketa hukum adalah sengketa-sengketa yang sifatnya mempengaruhi
kepentingan vital negara, seperti integritas wilayah dan kehormatan atau kepentingan-
kepentingan penting lainnya dari suatu negara;
o sengketa hukum adalah sengketa dimana penerapan hukum internasional yang
ada cukup untuk menghasilkan suatu putusan yang sesuai dengan keadilan antara negara
dengan perkembangan progresif hubungan-hubungan internasional;
o sengketa hukum adalah sengketa-sengketa yang berkaitan dengan persengketaan
hak-hak hukum yang dilakukan melalui tuntutantuntutan yang menghendaki suatu
perubahan atas suatu hukum yang telah ada.
Pendapat Waldock.
Pendapat kedua dikemukakan oleh para sarjana dan ahli hukum internasional dari
Inggris yang membentuk suatu kelompok studi mengenai penyelesaian sengketa tahun
4
1963. Kelompok studi ini yang diketuai oleh Sir Humprey Waldock menerbitkan
laporannya yang sampai sekarang masih dipakai sebagai sumber penting untuk studi
tentang penyelesaian sengketa internasional. Menurut kelompok studi ini penentuan
suatu sengketa sebagai suatu sengketa hukum atau politik bergantung sepenuhnya
kepada para pihak yang bersangkutan. Jika para pihak menentukan sengketanya sebagai
sengketa hukum, maka sengketa tersebut adalah sengketa hukum. Sebaliknya, jika
sengketa tersebut menurut para pihak membutuhkan patokan-patokan tertentu yang
tidak ada dalam hukum internasional, misalnya soal perlucutan senjata, maka sengketa
tersebut adalah sengketa politik. Pendapatnya ini dirumuskan sebagai berikut:
• 'the legal or political character of a dispute is ultimately determined by the
objective aimed at or the position adopted by each party in the dispute. If both parties
are demanding what they conceive to be their existing legal rights. If both are
demanding the application of standards or factors not rooted in the existing rules of
international law - as, for example, in a dispute regarding disarmament - the dispute is
evidently political.'
Tampaknya pendekatan yang diambil oleh kelompok studi ini "lebih tepat".
Sengketa yang timbul antara dua neqara, bentuk atau jenis sengketa yang bersangkutan
ditentukan sepenuhnya oleh para pihak. Suatu sengketa hukum, misalnya penetapan
garis batas wilayah, pelanggaran hak-hak istimewa diplomatik, sengketa hak-hak dan
kewajiban dalam perdagangan, dll., yang pasti, sengketa demikian sedikit banyak
mempengaruhi hubungan (baik) kedua negara. Bagaimana kedua negara memandang
sengketa tersebut adalah faktor penentu untuk menentukan apakah sengketa yang
bersangkutan sengketa hukum hukum atau politik.
Dalam hubungan internasional hal seperti itu acapkal terjadi, misalnya saja
pelanggaran hak-hak istimewa diplomatik, khususnya sewaktu berlangsunanya perang
dingin antara blok Barat (AS dan sekutunya) dan Timur (Uni Sovyet dan sekutunya).
Contoh aktual adalah pertikaian perdagangan, misalnya tuduhan pelanggaran ketentuan
kuota ekspor antara Amerika Serikat dengan Jepang atau antara Masyarakat Eropa
dengan Jepang atau masalah tuduhan dumping perdagangan (internasional). Sengketa-
sengketa tersebut adalah sengketa hukum murni. Karena salah satu negara menuduh
pihak lainnya melanggar ketentuan kuota ekspor atau ketentuan perdagangan
internasional yang telah disepakati. Namun dalam menyelesaikan sengketa itu, para
5
pihak jarang menyerahkannya ke badan-badan pengadilan. Sebaliknya para plhak
tampaknya menganggap pertikaian itu sebagai suatu persoalan atau pertikaian politik
dan penyelesaiannya pun acapkali dilakukan melalui saluran politik, seperti negosiasi
atau manakala saluran penyelesaian sengketa secara politik demikian buntu, baru
penyelesaian sengketa secara hukum ditempuh.
6
BAB II
PEMBAHASAN
2
Undang-Undang No. 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan
Milik Belanda di
Indonesia, Lembaran Negara No. 162 Tahun 1958
3
Ekspropriasi (expropriation) adalah proses penggunaan kontrol untuk memaksimumkan kesejahteraan sendiri
dengan distribusi kekayaan dari pihak lain , http://joernalakuntansi.wordpress.com
7
bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh negara-negara
(general principles of law as recognized by civilized nations)?
8
usaha untuk mengubah struktur ekonomi Indonesia dari ekonomi kolonial ke ekonomi
yang bersifat nasional secara radikal. Menurut pihak tergugat nasionalisasi tersebut
perlu dilakukan dalam rangka perubahan struktur ekonomi tersebut.
Mengenai ganti rugi, Indonesia sudah menyediakan ganti kerugian yang dengan
Peraturan Pemerintah no. 9 tahun 1959 ditentukan bahwa dari hasil penjualan hasil
perkebunan tembakau dan perkebunan lainnya akan disisihkan suatu presentasi tertentu
untuk disediakan pembayaran ganti rugi.
9
hasil produksi tembakau tahun 1967 dilelang tahun 1968 di Bremen untuk pertama
kalinya.5
Jika dikaji lebih mendalam, Kasus Tembakau Bremen ( The Bremen Tobacco Case)
tidak hanya terkait permasalahan politik antara Indonesia-Belanda saja, namun juga
terkait permasalahan yang menyangkut kepentingan ekonomi ( Bisnis) antar dua negara
tersebut. Indonesia, sebagai negara yang baru merdeka, dengan perekonomian yang
belum stabil, tentu tidak ingin kehilangan aset ekonomi yang berharga, yaitu
perusahaan-perusahaan tembakau milik Belanda yang dinasionalisasi tersebut.
Sebaliknya, Belanda pun tidak ingin kehilangan aset perekonomianya yang sangat
penting, mengingat pada saat itu, tembakau merupakan salah satu primadona dalam
pasar eropa. Terlebih lagi tembakau asal Jawa dan Sumatra( Deli) sangat digemari oleh
orang eropa.
Dalam masyarakat bisnis, dikenal dua pendekatan umum yang digunakan dalam
penyelesaian sengketa. Pendekatan pertama, yaitu dengan menggunakan paradigma
penyelesaian sengketa litigasi. Pendekatan ini merupakan suatu pendekatan untuk
5
http://kumpulanspasi.wordpress.com, berkaitan dengan hal tersebut, dalam UU no.1 tahun 1967,
disebutkan bahwa Penanaman modal asing menurut UU No. 1 tahun 1967 yang dalam pelaksanaannya
diperkuat oleh Undang-undang No. 11 tahun 1970 tentang Penanaman Modal Asing juga memberikan
batasan terhadap bidang-bidang yang tertutup bagi penanaman modal asing yaitu pada bidang yang
penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak Terkait ketentuan mengenai
penyelesaian sengketa yang sesungguhnya merupakan muatan yang menjadi pilihan-pilihan bagi para
pihak untuk menentukan pilihan hukum apa yang akan digunakan jika terjadi sengketa dalam realisasi
kontrak karya.
10
mendapatkan keadilan melalui sistem perlawanan ( the adversary system) dan
menggunakan paksaan ( coercion ) dalam mengelola sengketa serta menghasilkan suatu
keputusan win-lose solution bagi pihak-pihak yang bersengketa. Sedangkan pendekatan
kedua adalah dengan menggunakan paradigma penyelesaian sengketa non-litigasi.
Paradigma ini dalam mencapai keadilan lebih mengutamakan pendekatan ‘konsensus’
dan berusaha mempertemukan kepentingan pihak yang bersengketa untuk menghasilkan
suatu keputusan win-win solution6.
Sarana atau alternatif lain yang dapat digunakan adalah dengan menggunakan
Negoisasi atau Altrnatif sengketa ( ADR). Negoisasi atau ADR adalah penyelesaian
sengketa yang paling banyak digunakan saat ini. Lebih dari 80% sengketa di bidang
ekonomi ( Bisnis ) terselesaikan dengan menggunakan pendekatan ini. Penyelesainya
atau keputusan yang dihasilkan, tidak win-lose solution, tetapi win-win solution. Cara
penyelesaian ini dapat memuaskan pihak-pihak yang bersengketa. Penyelesaian
sengketa dengan cara negoisasi atau ADR, merupakan salah satu alternatif penyelesaian
sengketa dalam paradigma atau pendekatan non-litigasi
Ada lagi alternatif penyelesaian sengketa lain, yaitu melalu Arbitrase, dalam hal ini
adalah Arbitrase Internasional. Arbitrase adalah penyelesaian sengketa perdata diluar
pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak
6
Adi Sulistiyono,Mengembangkan Paradigma non-litigasi di Indonesia, hal.abstrak
11
yang bersengketa7. Arbitrase internasional bertujuan untuk menyelesaikan sengketa
antar negara oleh hakim-hakim pilihan mereka dan atas dasar ketentuan-ketentuan
hukum. Penyelesaian melalui arbitrase ini berarti bahwa negara-negara yang
bersangkutan harus mempunyai itikad baik. Arbitrase sama dengan pengadilan, artinya
mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan dan menyelesaikan sengketa
dengan pendekatan adversial, dengan hasil keputusan win-win solution. Karenanya,
walaupun menghasilkan suatu keputusan dengan hasil win-win, namun arbitrase masuk
dalam penyelesaian sengketa dalam pendekatan atau paradigma litigasi.
Sengketa internasional terbagi menjadi dua, yaitu Justisiabel dan Non yustisiabel.
Justisiabel maksudnya bahwa sengketa tersebut dapat diajukan ICJ ( International Court
Of Justice ), merupakan sengketa hukum yang timbul dari Hukum Internasional dan
deselesaikan pula berdasar Hukum Internasional melalui pengadilan maupun non-
pengadilan. Sedangkan non-yustisiabel maksudnya bahwa sengketa tersebut bukan
merupakan sasaran dari Pengadilan Internasional, lebih merupakan sengketa politik
semata yang penyelesaianya menekankan pada proses dan kemahiran diplomasi tiap
negara yang bersangkutan.
Penyelesaian sengketa internasional ada dua cara, yaitu dengan cara damai dan cara
kekerasan. Dengan cara damai dibedakan menjadi dua lagi, yakni melalui Pengadila
(litigasi) dan di luar pengadilan (non-litigasi). Melalu pengadilan misalnya adalah
melalui Arbitrase Internasional dan Pengadilan Internasional ( Mahkamah Internasional
7
UU No. 30 tahun 1999, pasal 1 ayat 1
12
& Mahkamah Pidana Internasional ). Sedangkan dengan cara kekerasan misalnya
dengan perang, retorsi, reprisal, blokade damai, embargo, dan lain sebagainya.
8
http://senandikahukum.wordpress.com
13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
14
segala sesuatunya yang berdasarkan kesepakatan semua pihak yang bersengketa
menjadi daya tarik dalam menyelesaikan sengketa internasional. Selain itu,
pengembangan hukum internasional di Indonesia, sepatutnya harus memiliki sebuah
paradigma atau kerangka keyakinan yang bersumber dari lokalitas, praktik-praktik, serta
kepentingan nasional, sehingga kita dpat selalu kritis terhadap isu-isu internasional yang
telah, sedang, dan yang kemungkinan akan terjadi di masa depan.
15
16