You are on page 1of 37

ANAK DENGAN KELAINAN MAJEMUK

Oleh: Irham Hosn


PLB FIP UPI
A. PENDAHULUAN

Pada bagian lain telah dibahas tentang bermacam kelainan yang dapat disandang oleh
anak sengga ia memiliki kebutuhan pembelajaran yang khusus. Tetapi itu semua sifatnya
satu kelainan pada seorang anak, dan yang akan dibahas pada bagian ini adalah
bagaimana anak yang dalam dirinya menyandang dua tatau lebih kelainan. Anak dengan
menyandang kelainan lebih dari satu kelainan dikenal “anak dengan kelainan majemuk”.
Anak dengan kelainan majemuk tentu akan mengakibatkan masalah pendidikan yang berat.
Anak ini tidak bias diakomudasi kedalam Kelas, program dan layanan yang khusus
dirancang untuk mereka “anak” dengan kelainan tunggal. Kondisi Kelainan yang umum
disandang oleh Anak dengan kelainan majemuk adalah Buta -Tuli (deaf-blind), tunagrahita
(mental retardation)- Cerebral palsy, mental retardation – hearing impaired (tunagrahita-
tunarungu), dan mental retardation-Visually impaired (tunagrahita-tunanetra). Anak dengan
tunagrahita dan kelainan lain banyak mendominasi anak kelainan majemuk tetapi ANAK
DENGAN TUNAGRAHITA BERAT yang disertai kelainan lain tidak dimasukkan ke anak
dengan kelainan majemuk, tetapi dalam leteratur sering disebut anak dengan severe and
profound handicaps. Disamping berakibat pada masalah pendidikan, luasnya variasi yang
ditampilkan oleh anak dengan kelainan majemuk, maka berakibat pula terhadap rumitnya
menyiapkan strategi pembelajaran khusus untuk satu bidang studi yang dapat di terapkan
pada setiap anak dengan kelainan majemuk. Untu lebi jelasnya, akan dibahas lebih rinci
dalam selanjutnya

B. PENGERTIAN ANAK DENGAN KELAINAN MAJEMUK

Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa anak tunagrahita berat dan sedang yang juga
menyandang kelainan lain tidak disebut dengan anak berkelainan majemuk, meskipun
kenyataannya mereka menyandang kelainan lebih dari satu. Anak yang demikian disebut
anak dengan “ severe and profound handicaps. Di Indonesia istilah anak dengan sebutan
“severe and profoundly handicapped” tidak popular. Orang pada umumnya tetap menyebut
anak dengan kelainan majemuk atau juga lebih popular anak dengan kecacatan gandea
atau juga Jadi Anak dengan “severe and profound handicaps” secara fungsional besiknya
adalah anak Mentally retarded atau di Indonesia dikenal dengan Anak tunagrahita akan
tetapi mereka memiliki kelainan tambahan pada apakah motoriknya, sensorisnya, tingkah
lakunya, komunikasinya dan sebagainya
Semua ini di kita tetap menyebut anak dengan kelainan atau kecacatan ganda (doble
handicap atau multiple handicap). Mengacu pada difinisi tersebut diatas maka Anak dengan
“severe and profound handicaps” maka para professional dalam bidang ini secara umum
sepakat bahwa istilah diatas belum disepakati secara universal. Tetapi para professional
secara umum sepakat bahwa secara pendidikan anak denga ”severe and profound
handicaps” memiliki unsure-unsur sebagai berikut
1. Memiliki kelainan serius didalam cognitifnya dan setelah di tes dengan alat tes inteligensi
yang standart mereka memiliki IQ dibawah normal.
2. Memiliki kelainan atau kecacatan tambahan apakah kelainan fisik dan atau kelainan
sensoris seperti penglihatan pendengaran dan lainnya.
3. Mereka memerlukan sumber dan penanganan lebih bila dibandingkan dengan kelainan lain yang
ringan.
Apabila kita baca leteratur terutama buku-buku dari terbitan luar (Amerika) anak dengan
kelainan majemuk (multiple disabilities) tersebut adalah mereka yang memiliki kecerdasan
atau inteligensi sedikit dibawah rata ( mild retardation), kecerdasan rata atau
kecerdasannya diatas rata-rata dan mereka menyandang dua atau lebih kelainan (multiple
disabilities). Jadi bila kita simak uraian pengertian dari anak dengan kelainan majemuk
diatas, maka di Indonesia anak dengan kelainan majemuk atau lebih dikenal dengan Cacat
Ganda atau tunaganda didalamnya berisi:
1. Anak ”severe and profound handicaps”
2. Anak “multiply handicap
Kita akan sepakat bahwa bagi kita sebagai tenaga professional khususnya sebagai
pendidik tidak akan menekankan pada apa jenis kelainan yang disandang anak didik kita.
Dalamm kontek pendidikan kita harus menekankan pada apa masalah atau problem yang
dihadapi anak dengan kelainan majemuk tersebut
.: . Jadi difinisi yang kita bahas ini harus dikaitkan dengan orientasi kedepan. Artinya kita
berusaha menemukan masalah dan problem yang ada pada anak tersebut dan seberapa
berat derajat masalah yang ada padak anak tersebut. Implikasinya adalah bagaimana
definisi tersebut dapat memberikan guid line atau garis penunjuk untuk menemukan tingkat
masalahnya, problemnya, kemampuannya dan kebutuhan penangannya. Dengan demikian
akan menghasilkan klasifikasi anak tersebut dan bukan tipe atau jenis kelainannya.

C. PENYEBAB KELAINAN MAJEMUK


tuna ganda. 2

Ciri Anak Disleksia Ketahuan Sebelum Anak Belajar


Baca ( www.detik health.comm )
AN Uyung Pramudiarja - detikHealth

Jakarta, Gejala paling umum pada penyandang disleksia adalah kesulitan membaca dan
mengeja. Namun gejala ini bisa dikenali sebelum anak belajar membaca, agar bisa
mendapatkan penanganan yang tepat.

Berbeda dengan gangguan belajar biasa, kesulitan mengeja pada penyandang disleksia bukan
disebabkan oleh kurangnya kecerdasan. Gangguan ini merupakan kelainan genetik yang
dialami individu denganIntelegency Quotient (IQ) normal atau bahkan di atas rata-rata.

Karena sering terlambat diketahui, disleksia banyak memberi dampak pada masalah belajar di
sekolah. Selain nilainya merosot, tak jarang penyandang disleksia mengalami tekanan
psikologis karena tidak percaya diri atau bahkan menjadi korbanbullying (kekerasan) dari
teman-teman sekolahnya.

"Disleksia biasanya diketahui pada usia 7 tahun, ditandai dengan merosotnya prestasi belajar.
Padahal dampaknya bisa dikurangi jika terdeteksi pada usia prasekolah, saat anak belum mulai
belajar membaca," ungkap dr Purboyo Solek, SpA (K) dalam pembukaan Simposium Nasional
Dyslexia Awareness, di Kementerian Pendidikan Nasional, Jakarta, Sabtu (31/7/2010).

Menurur dr Purboyo, beberapa tanda bisa dikenali sebagai gejala awal disleksia pada anak
diantaranya adalah:
1. Kesulitan membedakan sisi kanan dan kiri yang dialami saat anak berusia 3 tahun
2. Bisa juga dari cara si anak bertutur atau menceritakan pengalaman.

"Coba ditanya, 'bagaimana tadi di sekolah?' Kalau jawabnya 'ya, pokoknya gitu deh' maka
orang tua perlu waspada," tambah dr Purboyo.

Dalam kesempatan yang sama, dr Kristiantini Dewi, SpA menambahkan beberapa gejala
disleksia yang bisa dikenali pada anak sesuai tahapan usia perkembangannya.

Beberapa gejala yang dimaksud adalah sebagai berikut.

Prasekolah:

1. Kidal atau tidak terampil jika hanya menggunakan 1 tangan saja


2. Bingung membedakan sisi kanan dan kiri
3. Grusa-grusu atau tidak melakukan sesuatu tanpa terorganisir
4. Miskin kosa kata, banyak menggunakan kata ganti 'ini-itu'
5. Kesulitan memilih kosa kata yang tepat, misalnya 'kolam yang tebal' padahal
maksudnya 'kolam yang dalam'.
Antara 5-8 tahun

1. Kesulitan mempelajari huruf (bentuk dan bunyinya)


2. Kesulitan menggabungkan huruf menjadi sebuah kata
3. Kesulitan membaca
4. Kesulitan memegang alat tulis

Meski tidak bisa diobati, gangguan ini bisa datasi dengan penanganan yang tepat. dr Purboyo
mengatakan ada 2 jenis penanganan untuk disleksia yakni remedial dan akomodasi.

1. Remedial berarti mengulang-ulang materi belajar sampai benar-benar paham.


Kadang-kadang pengulangan dilakukan untuk mempelajari kebutuhan penyandang disleksia,
terkait cara yang bersangkutan dalam memahami suatu hal.

"Kalau anak normal mudah memahami huruf A dari bentuknya yang demikian, penyandang
disleksia belum tentu seperti itu. Cara otak memahami sesuatu bisa berbeda, misalnya A
dipahami sebagai sebuah bangun dengan sudut-sudut tertentu," ungkap dr Purboyo.

2. Penanganan akomodasi, yakni memenuhi kebutuhan khusus penyandang disleksia.


dr Purboyo mencontohkan, ujian untuk penyandang disleksia bisa diberikan dengan waktu yang
lebih longgar dan soalnya dicetak dengan huruf yang tidak terlalu rapat
(up/ir) 

DESLEKSIA

Ciri kanak Bermasalah Pembelajaran

• Kecerdasan normal, tetapi prestasi pembelajaran di bawah tahap yang dijangkakan

• kurang memberi perhatian terhadap pembelajaran

• perkembangan kognitif lambat

• keupayaan koodinasi motor yang lemah

• masalah membuat persepsi dan tanggapan

• kesulitan dalam pertuturan

• kesukaran dalam bacaan

• kesukaran dalam tulisan

• kesukaran dalam matematik

• t.laku sosial tidak sesuai.

MEMAHAMI MURID DISLEKSIA

• “ Kanak-kanak disleksia membingungkan.Dia tampak cerdik dan berkemampuan, segar dan
berminat, mempunyai kemahiran lisan yang baik….. Tetapi kemahiran membaca dan menulis
lemah daripada apa yang dijangkakan, semacam di bawah potensinya. Dia senang dianggap tidak
menumpukan perhatian, malas atau cuai “

DISLEKSIA
• Mengenali disleksia sebagai suatu kesukaran pembelajaran sepesifik

• Memahami bahawa kanak disleksia mempunyai kekuatan yang bolehmembantu mereka


mengatasi kesukaran spesifik

APA ITU DISLEKSIA

• Perkataan disleksia ( dyslexia ) gabungan dua perkataan Greek iaitu ‘dys’ bermaksud kesukaran
dan ‘lexia’ bermaksud perkataan.Diterjemah membawa maksud ‘ kesukaran dengan perkataan
bertulis’.

• British Psycological Society ( 1999 ) - “Dyslexia is evident when accurate and fluent word reading
or spelling develops or with great difficulty”(Disleksia terbukti wujud apabila ketepatan dan
kelancaran membaca atau mengeja berkembang dengan kesukaran yang amat sangat )

MASALAH BAHASA

• Masalah membaca : -

• a. disleksia audiotori

• b. disleksia visual

• c. disleksia fonologikal

• d. disleksia pusat

• e. disleksia emosional

• f. disleksia pegagogik

Istilah dan makna

• Susah menguasai kemahiran membaca dan menulis TETAPI memiliki bakat, kepintaran atau
kecerdasan yang lain.

• Disebabkan oleh perbezaan dalam cara otak memproses maklumat- terutama sekali berkenaan
dengan bunyi, simbol dan makna

• .

OTAK TERBAHAGI KEPADA DUA SFERA

• Sebelah Kiri - Penggunaan bahasa, Pemikiran Logik , Susunan dan struktur

• Sebelah kanan visual, daya kreatif dan kemahiran seni.

Otak Sebelah Mana ? Disleksia

• Orang disleksia cenderung menggunakan otak kanan.

• - Cara berfikir dan belajar mereka berlainan.

• - Berbakat kreatif/ seni

• - Lemah dalam kemahiran bahasa, logik, turutan dan struktur.

Lelaki atau perempuan ?


• Lebih ramai budak lelaki berbanding budak perempuan pada nisbah 3:1.

• Membawa kesan yang berbeza, pada darjah yang berbeza, kepada individu yang berbeza.

• 10-15% mengalami tahap ringan manakala 4% mengalami masalah teruk.

TEORI PENGENALPASTIAN DISLEKSIA

• 1. Teori kepincangan ( Discrepancy

• - Kepincangan antara kecerdasan murid dengan kegagalan menguasai kemahiran membaca.

• 2. Teori Pengasingan ( Exclusion )

• - Disleksia tidak boleh dikategorikan sebagai masalah pembelajaran, pendengaran dan
penglihatan. Kerana mereka tidak mengalami masalah gangguan emosi yang teruk.

FAKTOR KEJADIAN DISLEKSIA

• Genetik ( kromonsom 15, 1 dan 16 )

• Biologi ( lahir tidak cukup bulan )

• Kemantangan ( Saraf lambat berkembang ) kajian - kanak lelaki lambat berkembang


dibandingkan dengan kanan perempuan

• Faktor lain- ( bahasa, visual, ruang dan motor )

CIRI DAN MASALAH KANAK DISLEKSIA

• 1. Bahasa dan Pertuturan - Kesukaran fonologikal dalam proses pertuturan termasuklah
( perkataan, salah sebut, mencampur adukkan perkataan, lemah sintaksis

• 2. Urutan ( sequencing ) - kesukaran visual dan audiotori. Sukar dalam memadan, mengasing,
sukar memakai pakaian, masalah membuka/tutup paip, butang baju, buka pintu.

• 3. Kemahiran motor -motor kasar dan halus ( penggunaan garpu, sukar gunting, menekap,
memegang pensil, ikat tali leher, melompat, menangkap bola, sukar naik tangga,naik basikal,
menyiapkan kerja, berenang, arahan kiri, kanan, undur, maju kehadapan.

CIRI DAN MASALAH DISLEKSIA

• 4. LATERALITI - Lateraliti bersilang menggunakan kedua belah bahagian kiri dan kanan dalam
melakukan pekerjaan.

• ( contoh : sepak kaki kiri, lensa kamera mata kanan )

JENIS-JENIS DISLEKSIA

• A. Dyscalculia ( diskalkulia ) - Matematik

• B. Dysgraphia ( disgrafia ) - bahasa

• Dysparaxia ( dispraksia ) - masalah kordianasi motor-mata- tangan

FAKTOR KEWUJUDAN MASALAH DISLEKSIA


• Faktor pengajaran dan pembelajaran

• - kesesuaian kaedah P&P

• Faktor deria dan Fizikal –

Masalah Murid Disleksia

• 1. Keliru dengan bentuk huruf seakan-akan sama.

• Contoh : ( h --n, c -- e, f -- t, g --q )

• 2. Keliru huruf yang terbalik.

• Contoh : ( w -- m, h -- y, u -- n )

• 3. Keliru huruf songsang.

• Contoh : ( p -- q , b -- d )

• 4. Keliru dengan bunyi seakan-akan sama

• Contoh : ( b -- p, d -- t, m -- n )

• 5. Keliru dengan konsonan berganding

• Contoh : ( sy, ny )

• 6. Keliru semasa menyebut bunyi suku kata

• Contoh : ( lari disebut ‘ lali ‘

MASALAH MATEMATIK

• Keliru dengan nilai nombor

• Keliru angka 6 : 9

• Bilang mengikut urutan.

• Keliru dengan angka belas

• Tidak boleh mengenal angka

• Tidak boleh menulis angka dengan betul

• Tidak boleh melengkap nombor turutan menaik.

• Tidak boleh menyusun dua kumpulan nombor untuk menjadi ayat matematik

• Tidak boleh menulis ayat matematik bagi operasi tolak

MASALAH FIZIKAL/PENGURUSAN DIRI/ SOSIAL

• Pakaian sentiasa tidak kemas/ kotor

• Butang baju salah butang

• Tali kasut tidak diikat rapi

• Kidal• Tidak berminat dalam pelajaran


• Perhatian singkat dan keliru

• Pengamatan lemah.

MASALAH PERTUTURAN

• Lisan

• Artikulator tidak sempurna

• Sebutan kurang jelas

• Intonasi bacaan

MASALAH DALAM PEMBELAJARAN

• Lemah dalam bacaan

• Lemah menyelesaikan masalah matematik

• Perlakuan mengigit jari dan pen ketika melakukan kerja bertulis

• Bahasa lisan baik dibandingkan daripada penulisan

• Tulisan sukar dibaca, menekan semasa menulis,

• Kerap menggunakan pemadam dan tidak memulakan huruf besar memulakan ayat

PENGENALPASTIAN DISLEKSIA

• PEMERHATIAN

• PELBAGAI UJIAN PIAWAI

• PENAFSIRAN REKOD PRESTASI

• REKOD PROFIL

PROGRAM MEMBANTU DISLEKSIA

• Program kemahiran keibubapaan

• Program peningkatan akademik

• Program Peningkatan Konsep dan Keyakinan diri.

• Program Kaunseling Kelompok

• Program kerjsama antara disiplin

• Program Perkongsian Mengajar Berhasil

Bagaimana Guru Membantu ?

• Kenalpasti kekuatan dan kelemahan

• Kenalpasti bakat, kebolehan atau kemahiran khusus.

• Mengenalpasti pola kesilapan atau masalah spesifik dalam bacaan, tulisan atau cara menjawab
matematik.

• Kenalpasti sebab jejas kemajuan


• Pelbagai cara tarik minat

• Memahami gaya pembelajaran

Pendekatan Pengajaran

• Gunakan pelbagai deria : sebut, dengar, lihat, rasa, sentuh

• Kerap ulang : Cara berbeza mengukuh kefahaman dan ingatan

• Berstruktur dan turutan : Dari unit kecil dalam turutan jelas, usahakan kemajuan melalui
langkah kecil dan berperingkat.

• Kumalatif : Kaitkan maklumat baru dengan yang dipelajari

• Strategi ingatan/ hafalan : peta minda, lukisan, carta

Dekati kanak-kanak melalui kekuatan

• Ingatkan ciri otak kanan :

• - Kecerdasan visual, kepekaan warna, bentuk dan pola.

• - Kreatif, berbakat seni atau muzik

• - Daya imaginasi kuat

• - Fikiran spontan, intuitif, holistic

Izinkan kanak-kanak bentang hasil kerja melalui cara yang sesuai dengan bakat/ keupayaan

• Jaringan

• gambarajah

• carta aliran

• pita rakaman

• menaip ganti menulis


Posted by Yanz at 6:52 PM 

 

Berbicara masalah penyebab dari terjadinya kelainan majemuk pada seseorang tentunya
bermacam Untuk anak dengan ”severe and profound handicaps” yang dasar fungsionalnya
adalah tunagrahita dengan kelainan tambahan (fisik, motorik dan atau sensoris) berbeda
dan atau sama dengan anak kelainan majemuk yang dasar fungsionalnya bukan
tunagrahita. Misalnya anak dengan kelainan pendengaran dan penglihatan yang dikenal
dengan “deaf-blind children” Anak dengan ”severe and profound handicaps” factor
penyebabnya sangat berfariasi diantaranya adalah:
a. Genitik problem yaitu factor genitik dari orang tua dan anak.
b. Exposure to radiation
c. Maternal desease
d. Birth injury
e. Chromusomal mutation
f. Drugs
g. Infections
h. Lack of oxygen to the brain
i. Malnutrition
j. Dll
-macam. 3

Anak dengan kelainan majemuk yang base funtionalnya tidak pada kelainan mental atau
tunagrahita seperti anak buta tuli (deaf-blind children) penyebab kelainannya bias sebagai
berikut:
a. Rubella (campak)
b. Prenatal causes seperti bermacam infeksi atau toxin yang ditularka dari ibu ke janin yang
dikandungnya.
c. Kelainan genetic yang bisa menyebabkan kelainan penglihatan dan pendengarannya.
d. Trauma pada anak yang dialaminya pada saat Ibu menjalani persalinan sehingga
menybabkan rusaknya system sensorisnya.
e. Penyakit Setelah kelahiran seperti meningitis dan encephalitis juga bias menyebabkan
kurangnya pendengaran dan penglihatan.

Banyak juga penyebab terjadinya kelainan majemuk pada anak yang belum diketahui. Ini tidak
berarti tidak ada penyebabnya tapi penyebabnya belum ditemukan. Itulah rahasia Tuhan.
D. IDENTIFIKASI ANAK DENGAN KELAINAN MAJEMUK Untuk
dapat mengenal dan mengiidentifikasii seorang anak dengan kelainan majemuk sangat
kompolek. Hal ini desebabkan oleh terlibatnya lebih dari satu problem atau masalah dalam
diri Kekomplekan anak dengan kelainan majemuk untuk di identifikasi karena berfariasinya
kombinasi kelainan yang ada pada setiap anak. Disamping itu tidak ada dua individu yang
memiliki disability atau ketidakmampuan yang betul-betul sama meskipun dia memiliki jenis
kelaina yang sama. Luasnya variasi kombinasi kelainan, ketidak mampuanan pada anak
dengan kelainan majemuk dapat dicontohkan misalnya anak dengan kelainan visual dia
bisa berkombinasi dengan:
seorang anak sehingga ia membutuhkan pendidikan khusus 4

1. visual and auditory impairments


2. Visual, auditory, and motor impairments
3. Visual and auditory impairments and mental retardation.
4. Visual and motor impairments
5. visual and motor impairments and mental retardation
6. visual impairments and mental retardation.
7. Visual impairment and emotional disturbance
8. Visual impairment and learning disability. (Geraldine T.Scholl, 1986)

Setiap kelompok kelainan tersebut diatas tentunya memiliki kesulitan tersendiri dalam
identifikasinya, menemukan potensi yang bisa dikembangkan, menemukan apa yang ada
pada dirinya, apa yang belum ada pada dirinya dan apa yang dibutuhkan olehnya.termasuk
kebutuhan pendidikan khususnya. Setiap impairment atau kelainan yang disandang oleh
anak dengan kelainan majemuk tentunya memiliki karakteristik masing masing.
Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa anak dengan kelainan majemuk ada yang
berbasis tunagrahita plus kelainan lain ada yang tidak. Bagi anak kelainan majemuk yang
tergolong profound and Severe handicaps secara umum memiliki satu atau lebih dari
karakteristik tingkah laku berikut ini:
Aggression toward others refers to behaviors that can inflict bodily harm on othe persons,
such as biting, kicking, hitting, hair pulling, and throwing things.
No attention to even the most pronounced social stimuli means that the child does not make
eye contact with adults and other chidren, does not look at instructionall materials, and does
not respond to simple verbal instructions.
Self-mutilation refers to behaviors such as head banging, biting oneself, eye gouging, and
hitting oneself on the head.
Rumination refers to self-induced vomiting after which a portion of the vomitus is chewed
again and swallowed.
Self-stimulation refers to purposeless, repetitive behaviors, such as body rocking, hand
flapping, and finger twirling.
Durable and intense temper tantrums refers to a combinationsof physical aggression, self-
mutilation, or self –stimulation occurring over an extended period.
Imitation is the ability to mimic or repead a behavior immediately after someone (refered to
as the”model”) demonstrates it.
5 Extremely brittle medical existence refers to the presence of life-threatening conditions,
such as heart failure, respiratory difficulties, central nevous system disorders, and digestive
system malfunctions.(David L. Gast and Margo Berkler, 1981
Untuk memperjelas identifikasi anak dengan kelainan majemuk, tidak mungkin kita bahas
secara spesifik. Hal ini banyaknya fariasi dari kombinasi kelainan yang dapat terjadi pada
anak dengan kelainan majemuk. Untuk membantu kita dalam menidentifikasi anak dengan
kelainan majemuk, akan diuraikan masing masing kelainan. Kelainan yang sering kita
temukan pada anak dengan kelainan majemuk yaitu antara lain:
A. Anak Tunanetra dan kebutuhan pembelajarannya
Anak Tunanetra
Tunanetra (Visually Impaired) adalah mereka yang penglihatannya menghambat untuk
memfungsikan dirinya dalam pendidikan, tanpa menggunakan material khusus, latihan
khusus atau bantuan lainnya secara khusus. Mereka termasuk anak yang :
Melihat dengan acuity 20/70 (anak tunanetra melihat dari jarak 20 feet sedangkan
orang normal dari jarak 70 feet).
Mampu membaca huruf E paling besar di Snellen Chart dari jarak 20 feet (acuity
20/200 -legallyy blind)
Kelompok lebih terbatas lagi adalah mereka yang:
Mengenal bentuk atau objek dari berbagai jarak.
Menghitung jari dari berbagai jarak.
Tidak mengenal tangan yang digerakkan.
Kelompok yang lebih berat lagi adalah mereka yang:
Mempunyai persepsi cahaya (light perception)
Tidak memiliki persepsi cahaya (no light perception)

Pengelompokan secaca pendidikan


Secara pendidikan tunanetra dikelompokkan menjadi:
1. Mereka mampu membaca cetakan standart.
2. Mampu membaca cetakan standart dengan menggunakan kaca pembesar.
3. Mampu membaca cetakan besar (ukuran Huruf No. 18).
4. Mampu membaca cetakan kombinasi cetakan regular dan cetakan besar.
5. Membaca cetakan besar dengan menggunakan kaca pembesar.
6. Menggunakan Braille tetapi masih bisa melihat cahaya (sangat berguna untuk mobilitas).
7. Menggunakan Braille tetapi tidak punya persepsi cahaya.
6 Kebutuhan Pembelajaran anak tunanetra
Keterbatasan anak tunanetra:
1. Keterbatasan dalam konsep dan pengalaman baru.
2. Keterbatasan dalam berinteraksi dengan lingkungan
3. Keterbatasan dalam mobilitas.

Karena itu pengajaran bagi tunanetra harus mengacu kepada:


1. Kebutuhan akan pengalaman kongkrit.
2. Kebutuhan akan pengalaman memadukan
3. Kebutuhan akan berbuat dan bekerja dalam belajar.

Media belajar Anak Tunanetra dikelompokkan menjadi dua yaitu:


1. Kelompok buta dengan media pendidikannya adalah tulisan braille.

2. Kelompok low Vision dengan medianya adalah tulisan awas


B. Anak Tunarungu dan kebutuhan pembelajarannya

Tunarungu
Untuk mengidentifikasi anak tunarungu, seorang guru harus mengetahui gejala dan tanda
tandanya, seperti:
1. Sering mengeluh tentang sakit telinganya.
2. Artikulasi bicaranya jelek.
3. Pertanyaan yang mudah kurang tepat jawabannya.
4. Pada situasi bicara biasa anak sering salah dalam merespon dan perhatiannya kurang.
5. Mendengar lebih jelas bila berhadapan muka dengan yang diajak bicara.
6. Sering meminta diulangi apa yang diucapkan pembicara.
7. Bila mendengarkan radio ia sering memutar volume sangat tinggi sehingga untuk ukuran orang
normal sudah melebihi batas.

Kebutuhan pembelajaran Anak tunarungu


Saran untuk para guru dalam pembelajaran:
1. Dalam berbicara jangan membelakangi anak.
2. Anak hendaknya duduk dan berada ditengah paling depan kelas sehingga memiliki
peluang untuk mudah membaca bibir guru.
3. Bila telinganya hanya satu yang tuli tempatkan anak sehingga telinga yang baik berada
dekat dengan guru.
4. Perhatikan posture anak, sering anak meggelengkan kepala untuk mendengarkan.
7
5. Dorong anak untuk selalu memperhatikan wajah guru dan bicaralah dengan anak
dengan posisi berhadapan dan bila memungkinkan kepala guru sejara dengan kepala anak.
6. Guru bicara dengan volume biasa tetapi gerakan bibirnya harus jelas.
Pengajaran anak tunarungu mempertimbangkan :
1. Merehabilitasi pendengarannya.
2. Mengembangkan Komunikasinya.
3. Mengembangkan dan menata pendidikan

C. Anak Tunagrahita dan kebutuhan pembelajarannya


Tunagrahita
Ketunagrahitaan mengacu pada fungsi intelektual umum yang secara signifikan berada di
bawah rata-rata normal. Bersamaan dengan itu pula, tunagrahita mengalami kekurangan
dalam tingkah laku dan penyesuaian. Semua itu berlangsung atau terjadi pada masa
perkembangannya. Dengan demikian, seorang dikatakan tunagrahita apabila memiliki tiga
faktor, yaitu: (1) keterhambatan fungsi kecerdasan secara umum atau di bawah rata-rata,
(2) ketidakmampuan dalam perilaku adaptif, dan (3) terjadi selama perkembangan sampai
usia 18 tahun. Keterbelakangan mental yang biasa dikenal dengan anak tunagrahita
biasanya dihubungkan dengan tingkat kecerdasan seseorang. Tingkat kecerdasan secara
umum biasanya diukur melalui tes Inteligensi yang hasilnya disebut dengan IQ (intelligence
quotient).
1. Tuna grahita ringan biasanya memiliki IQ 70 –55
2. Tunagrahita sedang biasanya memiliki IQ 55 – 40
3. Tunagrahita berat biasanya memiliki IQ 40 – 25
4. Tunagrahita berat sekali biasanya memiliki IQ <25

Para ahli indonesia menggunakan klasifikasi:


Tunagrahita ringan IQnya 50 – 70
Tunagrahita Sedang IQnya 30 – 50
Tunagrahita berat dan sangat berat IQnya kurang dari 30
BAB I
PENDAHULUAN
A. Karateristik

1. Anak Tunarungu

Secara fisik, anak tunarungu tidak berbeda dengan anak dengar pada umumnya, sebab orang akan
mengetahui bahwa anak menyandang ketunarunguan pada saat berbicara, mereka berbicara tanpa
suara atau dengan suara yang kurang atau tidak jelas artikulasinya, atau bahkan tidak berbicara sama
sekali, mereka hanya berisyarat.
Anak tunarungu adalah anak yang mengalami gangguan pendengaran dan percakapan dengan derajat
pendengaran yang berfariasi antara 27dB –40 dB dikatakan sangat ringan 41 dB – 55 dB dikatakan
Ringan, 56 dB – 70 dB dikatakan Sedang, 71 dB – 90 dB dikatakan Berat, dan 91 ke atas dikatakan
Tuli
Dari ketidakmampuan anak tunarungu dalam berbicara, muncul pendapat umum yang berkembang,
bahwa anak tunarungu ialah anak yang hanya tidak mampu mendengar sehingga tidak dapat
berkomunikasi secara lisan dengan orang dengar. Karena pendapat itulah ketunarunguan dianggap
ketunaan yang paling ringan dan kurang mengundang simpati, dibanding dengan ketunaan yang berat
dan dapat mengakibatkan keterasingan dalam kehidupan sehari-hari.

Batasan ketunarunguan tidak saja terbatas pada yang kehilangan pendengaran sangat berat,
melainkan mencakup seluruh tingkat kehilangan pendengaran dari tingkat ringan, sedang, berat
sampai sangat berat. Menurut Moores, definisi ketunarunguan ada dua kelompok.

Pertama, seorang dikatakan tuli (deaf) apabila kehilangan kemampuan mendengar pada tingkat 70 dB
Iso atau lebih, sehingga ia tidak dapat mengerti pembicaraan orang lain melalui pendengarannya baik
dengan ataupun tanpa alat bantu mendengar.

Kedua, seseorang dikatakan kurang dengar (hard of hearing) bila kehilangan pendengaran pada 35 dB
Iso sehingga ia mengalami kesulitan untuk memahami pembicaraan orang lain melalui
pendengarannya baik tanpa maupun dengan alat bantu mendengar.
Heward & Orlansky memberikan batasan ketunarunguan sebagai berikut :
Tuli (deaf) diartikan sebagai kerusakan yang menghambat seseorang untuk menerima rangsangan
semua jenis bunyi dan sebagai suatu kondisi dimana suara-suara yang dapat dipahami, termasuk
suara pembicaraan tidak mempunyai arti dan maksud-maksud kehidupan sehari-hari. Orang tuli tidak
dapat menggunakan pendengarannya untuk dapat mengartikan pembicaraan, walaupun sebagian
pembicaraan dapat diterima, baik tanpa maupun dengan alat bantu mendengar.
Kurang dengar (hard of hearing) adalah seseorang kehilangan pendengarannya secara nyata yang
memerlukan penyesuaian-penyesuaian khusus, baik tuli maupun kurang mendengar dikatakan
sebagai ganggunan pendengaran (hearing impaired).
Dari berbagai batasan yang dikemukakan oleh beberapa pakar ketunarunguan, maka dapat
disimpulkan bahwa ketunarunguan adalah suatu keadaan atau derajat kehilangan pendengaran yang
meliputi seluruh gradasi ringan, sedang dan sangat berat yang dalam hal ini dikelompokkan ke dalam
dua golongan besar yaitu tuli (lebih dari 90 dB) dan kurang dengar (kurang dari 90 dB), yang
walaupun telah diberikan alat bantu mendengar tetap memerlukan pelayanan khsusus.
2. Klasifikasi Tunarungu

a. Berdasarkan tingkat kerusakan/kehilangan kemampuan mendengar percakapan/bicara orang


digolongkan dalam 5 kelompok, yaitu

1. Sangat ringan 27 – 40 dB
2. Ringan 41 – 55 dB
3. Sedang 56 – 70 dB
4. Berat 71 – 90 dB
5. Ekstrim 91 dB ke atas Tuli
b. Ketunarunguan berdasarkan tempat terjadinya kerusakan, dapat dibedakan atas

1. Kerusakan pada bagian telinga luar dan tengah, sehingga menghambat bunyi-bunyian yang akan
masuk ke dalam telinga disebut tuli konduktif.
2. Kerusakan telinga bagian dalam dan hubungan ke saraf otak yang menyebabkan tuli sensoris
3. Karakteristik Ketunarunguan

Kognisi anak tunarungu antara lain adalah sebagai berikut:

1. Kemampuan verbal (verbal IQ) anak tunarungu lebih rendah dibandingkan kemampuan verbal anak
mendengar.
2. Namun performance IQ anak tunarungu sama dengan anak mendengar.
3. Daya ingat jangka pendek anak tunarungu lebih rendah daripada anak mendengar terutama pada
informasi yang bersifat suksesif/berurutan.
4. Namun pada informasi serempak antara anak tunarungu dan anak mendengar tidak ada
perbedaan.
5. Daya ingat jangka panjang hampir tak ada perbedaan, walaupun prestasi akhir biasanya tetap lebih
rendah.
4. Lingkup Pengembangan Program Pendidikan bagi individu Tunarungu

1. TKLB/TKKh Tunarungu Tingkat Rendah : ditekankan pada pengembangan kemampuan senso-


motorik, berbahasa dan kemampuan berkomunikasi khususnya berbicara dan berbahasa.
2. SDLB/SDKh Tunarungu kelas tinggi ditekankan pada keterampilan senso-motorik, keterampilan
berkomunikasi kemudian pengembangan kemampuan dasar di bidang akademik dan keterampilan
sosial.
3. SLTPLB/SMPKh Tunarungu ditekankan pada peningkatan keterampilan berkomunikasi dan
keterampilan senso-motorik, keterampilan berkomunikasi dan keterampilan mengaplikasikan
kemampuan dasar di bidang akademik dalam pemecahan masalah kehidupan sehari-hari, peningkatan
keterampilan sosial dan dasar-dasar keterampilan vokasional.
4. SMLB/SMAKh Tunarungu ditekankan pada pematangan keterampilan berkomunikasi, keterampilan
menerapkan kemampuan dasar di bidang akademik yang mengerucut pada pengembangan
kemampuan vokasional yang berguna sebagai pemenuhan kebutuhan hidup, dengan tidak menutup
kemungkinan mempersiapkan siswa tunarungu melanjutkan pendidikannya kejenjang yang lebih
tinggi.
B. Dasar Hukum

1. Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Bab IV pasal 5 ayat 2, 3 dan 4 serta bab VI pasal 32 ayat 1, 2 dan 3 menyatakan bahwa warga
negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak
memperoleh layanan pendidikan khusus.
2. Undang-undang No. 22 tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 tentang
Pemerintahan Daerah dan Pembagian Kewenangan Pusat dan Propinsi, mengatakan bahwa
Pengelolaan Pendidikan Luar Biasa ada pada Dinas Pendidikan Propinsi.
3. Kepmendiknas No. 031/O/2002 tanggal 18 Maret 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Depdiknas pasal 125 bahwa Direktorat Pendidikan Luar Biasa mempunyai tugas melaksanakan
perumusan kebijakan, pemberian bimbingan dan evaluasi di bidang pendidikan luar biasa.
C. Tujuan

Tujuan penyelenggaraan Layanan Pendidikan bagi Anak Tunarungu adalah sebagai berikut:

1. Tujuan Umum

Agar dapat mewujudkan penyelenggaraan pendidikan bagi anak yang berkebutuhan khusus,
khususnya bagi anak Tunarungu seoptimal mungkin dan dapat melayani pendidikan bagi anak didik
dengan segala kekurangan ataupun kelainan yang diderita sehingga anak-anak tersebut dapat
menerima keadaan dirinya dan menyadari bahwa ketunaannya tidak menjadi hambatan untuk belajar
dan bekerja, memiliki sifat dasar sebagai warga negara yang baik, sehat jasmani dan rohani, memiliki
pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diperlakukan untuk melanjutkan pelajaran, bekerja di
masyarakat serta dapat menolong diri sendiri dan mengembangan diri sesuai dengan azas pendidikan
seumur hidup.

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus Sekolah penyelengara pendidikan khusus (tunarungu) adalah:

1. Turut melaksanakan pemerataan dan perluasan kesempatan memperoleh pendidikan bagi anak
usia sekolah.
2. Peningkatan efisiensi dan efektifitas pendidikan bagi anak tunarungu di Indonesia.
3. Penyelenggaraan fasilitas pendidikan yang luwes dan relevan terhadap keperluan anak tunarungu.
4. Memiliki pengetahuan, kesadaran pengalaman dan keterampilan tentang isi bidang-bidang studi
yang tercantum dalam kurikulum yang resmi.
5. Mengarahkan dan membina anak Tunarungu agar dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan
sekitarnya.
6. Membantu dan membina anak Tunarungu agar memiliki keterampilan, keahlian, kejujuran, ataupun
sumber pemnghasilan yangh sesuai denan jenis dan tingkat ketunaan yang disandangnya.
D. Penyelenggaraan Sekolah

Sejalan dengan usaha Peningkatan Mutu Pendidikan dan pemerataan kesempatan beklajar bagi anak
berkebutuhan khusus maka pemerintah senantiasa berusaha secara terus menerus memperhatikan
perkembangan dan pertambahan Sekolah penyelenggara pendidikan khusus baik kualitatif maupun
kuantitatif. Dalam menyelenggarakan pendidikan khusus untuk anak Tunanrungu perlu diperhatikan
hal-hal sebagai berikut:

1. Lokasi
2. Bangunan/gedung
3. Perabot
4. Alat pendidikan khusus
5. Alat peraga pendidikan
6. Personil sekolah
a. Tenaga kependidikan
b. Tenaga Administrasi
c. Tenaga ahli
d. Tenaga kepustakaan
7. Kurikulum
8. Manajemen dan Administrasi
BAB II
SARANA PRASARANA, KURIKULUM, DAN MANAJEMEN
A. Sarana Prasarana
Sarana Prasarana adalah lingkungan fisik sekolah yang secara tidak langsung menunjang proses
keterlaksanaan belajar mengajar di suatu sekolah, meliputi: jalan, saluran air, sanitasi, listrik, telpon.
1. Sarana Fisik Sekolah

Dalam membangun kampus pendidikan khusus untuk anak Tunarungu ada beberapa faktor yang
harus diperhatikan antara lain:

a. Karakteristik

Faktor edukasi harus menjadi titik tolak perencanaan bentuk sekolah harus diciptakan dalam
hubungan yang harmonis dengan tujuan yaitu untuk mengembangkan potensi anak tuna rungu
semaksimal mungkin termasuk didalamnya beberapa persyaratan paedagogis yang bersifat umum
dan khusus antara lain:

1. Suasana yang tentram, tidak berdekatan dengan pasar atau bengkel, pabrik-pabrik. Suasana yang
ramai dari hiruk pikuk dengan segala macam bunyian yang merusak telinga tidak menguntungkan
anak-anak tuli apa lagi kalau anak tuli itu sedang mengadakan latihan mendengar dengan Hearing
Aid.
2. Tanah yang disediakan selain untuk membangun juga cocok bagi latihan berkebun, beternak dan
sebagainya.
3. Adanya fasilitas air, listrik yang dapat menjadi penunjang sarana pendidikan.
b. Keamanan dan transportasi

Keamanan harus cukup terjamin, yaitu letak sekolah tidak ada dalam areal berbahaya (dekat gedung
mesiu, sungai besar dan sebagainya). Untuk itu perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Letak sekolah harus strategis dalam arti sekolah dihubungkan dengan bagian-bagian lain oleh jalan
yang baik dan yang cukup dilalui kendaraan umum. Sehingga memudahkan orangtua murid, dokter
dan lainnya ke lokasi sekolah.
2. Agar sekolah benar-benar dapat menjadi tempat pengembangan potensi bagi anak penyandang
tunarungu hendaknya memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Tanah untuk sekolah harus memenuhi syarat-syarat kesehatan antara lain :
(1). tidak dekat pembuangan sampah.
(2). tanahnya mudah dikeringkan.
(3) Pembuangan kotoran mudah dilaksanakan karena (saluran) riolringnya baik.
2. Untuk sekolah pendidikan khusus Tunarungu dengan kapasitas 100 orang yang ideal diperlukan
tanah seluas kurang lebih 20.000 m2 dan dipergunakan untuk :
(1). komplek bangunan kurang lebih 10.000 m2
(2). lapangan bermain olahraga, tempat parkir, kebun bunga/taman kurang lebih 5.000 m2
(3). tanah untuk pertanian kurang lebih 5.000 m2
Dengan fasilitas tanah seluas itu anak-anak dapat belajar dalam suasana aman dan tentram serta
memberikan keluasaan bergerak yang optimal.

B. Bangunan-bangunan yang diperlukan di sekolah pendidikan khusus Tunarungu adalah sebagai


berikut:

1. Ruang belajar
(a) ruang teori
(b) ruang bina wicara
(c) ruang laboratorium
(d) ruang keterampilan putri
(e) ruang keterampilan putra
(f) ruang serba guna/kesenian
(g) ruang latihan mendengar (ruang training 1 ruang)
(h) ruang audiologi
(i) ruang observasi
2. Ruang penunjang
(a) ruang perpustakaan
(b) ruang bimbingan dan penyuluhan
(c) ruang klinik ruang dokter anak, dokter THT dan psikolog
(d) ruang UKS
(e) ruang audiometer
(f) ruang pameran
(g) ruang kepala sekolah
(h) ruang tata usaha
(i) ruang guru
(j) ruang ibadah
(k) gudang
(l) kamar mandi/WC murid
(m) kamar mandi/WC guru
(n) ruang koperasi/kantin
(o) ruang tunggu/bangsal pertemuan
(p) bangsal kendaraan
(r) rumah penjaga
(s) ruang latihan keterampilan
- Menjahit, seni lukis, pekerjaan tangan, perbengkelan, dan koleksi hasil pekerjaan tangan
(t) rumah kepala sekolah
(u) rumah guru
3. Asrama
Sebaiknya asrama dibangun dengan sistem pavilyun penghuni dari pavilyun maksimal 10 orang
termasuk satu orang penjaga. Untuk 100 orang anak diperlukan maksimal 12 pavilyun dengan
fasilitas tersendiri tiap-tiap pavilyun terdiri dari :
a) kamar untuk penjaga
b) kamar tidur untuk anak-anak
C. Tata Letak Ruang
1. Ruang-ruang di sekolah

1. Ruang kelas biasa. Bangunan dan ruang kelas untuk anak tunarungu dan anak normal pada
umumnya tidak berbeda dengan sekolah umum yaitu bangunan harus kokoh, udara harus cukup
untuk anak dan selalu segar karena ventilasi yang sempurna, dinding dan lantai harus kering tidak
boleh lembab, penerangan harus cukup dan cahaya dari luar hendaknya datang dari sebelah kiri anak.
Persyaratan mengenai papan tulis dan bentuk bangku yang tidak membahayakan kesehatan anak.
2. Ruang latihan bicara dan ruang audiometri sebaiknya agar tidak terganggu oleh anak-anak lain,
pelajaran latihan bicara diberikan dalam suatu ruang khusus, cukup untuk 1 guru 2 anak dan alat-alat
yang diperlukan. Jika ruangan latihan bicara sekaligus dipakai untuk latihan mendengar dengan
menggunakan alat pembantu dengar, sebaiknya dinding ruang diberi atau berlapis dengan semacam
gabus peredap suara.
3. Ruang Audiometri. Ruang untuk keperluan meneliti dan mengukur (sisa) pendengaran dengan
audimeter, merupakan ruang khusus yang letaknya sejauh mungkin dari sumber kegaduhan. Ruang
itu dibuat kedap suara; sedemikian sehingga seberapa boleh tidak ada suara dapat masuk. Dinding
dibagian dalam sebaiknya terdiri atau dilapisi bahan peredap suara.
2. Perabot Sekolah

Secara garis besar perabot yang diperlukan untuk Sekolah pendidikan khusus Tunarungu hampir sama
dengan keperluan anak-anak normal, mereka memerlukan : meja, kursi, almari, papan tulis, peta-
peta, buku tulis, buku pelajaran, alat olahraga dan lapangan olahraga normal, baik ukuran maupun
syarat permainannya.
Sarana pendidikan adalah alat atau salah satu komponen dalam proses belajar mengajar yang
diganakan untuk memvisualkan, memperagakan dan mempraktekkan serta memperjelas konsep ide
atau gagasan untuk membantu mempercepat daya serap terhadap mata pelajaran.
3. Sarana Pendidikan

a. Alat Pendidikan Khusus

Berhubung dengan ketulian yang dideritanya, maka sangat diperlukan alat-alat bantu khusus
meningkatkan potensinya, yang masih dapat diperbaiki dan dikembangkan terutama masalah
komunikasi baik dengan menggunakan bahasa lisan maupun tulisan.

Kebutuhan minimal alat kebutuhan khusus di Sekolah Luar Biasa untuk anak-anak tunarungu antara
lain:

1) Audiometer

Yaitu alat penelitian yang dapat mengukur segala aspek dari pendengaran seseorang. Dengan
audiometer dapat dibuat sebuah audigram yang dapat memberitahukan angka dari sisa pendengaran
anak.

2) Alat bantu mendengar (hearing aid)

Dengan mempergunakan alat bantu dengar (hearing aid) perorangan dan alat bantu dengan (group
hearing aid) kelompok, anak-anak tunarungu diberikan latihan mendengar. Latihan-latihan tersebut
dapat diberikan secara individual atau secara kelompok.

3) Cermin

Untuk memberikan cantoh-contoh ucapan dengan artikulasi yang baik diperlukan sebuah cermin.
Dengan bantuan cermin kita dapat menyadarkan anak terhadap posisi bicara yang kurang tepat.
Dengan bantuan cermin kita dapat mengucapkan beberapa contoh konsonan, vokal dan kata-kata
atau kalimat dengan baik.

3) Alat bantu wicara (speech trainer)

Speech trainer ialah sebuah alat elektronik terdiri dari amplifaer, head phone dan mickrophone.
Gunanya untuk memberikan latihan bicara individual. Bagi yang masih mempunyai sisa pendengaran
cukup banyak akan sangat membantu pembentukan ucapannya. Bagi yang sisa pendengarannya
sedikit akan membantu dalam pembentukan suara dan irama.

b. Alat Peraga

Untuk memperkaya perbendaharaan bahasa anak hendaknya jangan dilupakan alat-alat peraga
tradisional seperti:
1) Miniatur binatang-binatang
2) Miniatur manusia
3) Gambar-gambar yang relevan
4) Buku perpustakaan yang bergambar
5) Alat-alat permainan anak
Sesuai dengan kemampuan anak tunarungu dalam kurikulum lebih diutamakan mata pelajaran
keterampilan yang menuju kearah irama. Untuk itu diperlukan alat-alat keterampilan untuk pria dan
atau wanita antara lain sebagai berikut :
1) Alat pertukangan
2) Alat pertanian
3) Alat perbengkelan
4) Alat tenun
5) Alat masak memasak
6) Alat jahit menjahit
7) Alat salon kecantikan   Alat potong rambut (barber shop)
9) Komputer
D. Kurikulum Pendidikan Khusus Anak Tunarungu

Ketunarunguan yang berdampak kepada kemiskinan bahasa dan hambatan dalam berkomunikasi,
dianggap menyulitkan orang lain termasuk dalam layanan pendidikannya. Hal ini dapat dibuktikan
terutama di Indonesia, hingga kini layanan pendidikan bagi anak tunarungu sebagian besar bersifat
segregatif, yaitu pelayanan pendidikan bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus yang terpisah dari
satuan pendidikan pada umumnya. Wujud dari pendidikan segregatif ini adalah yang lazim dikenal
Sekolah Khusus (SKh).

Sistem segregatif ini baik, jika hanya untuk kepentingan pembelajaran, namun jika sampai kepada
layanan pendidikan, segregatif tentu saja akan merugikan anak. Mereka akan kehilangan haknya
untuk belajar, bersosialisasi dan berkomunikasi dengan teman sebayanya yang mendengar. Sistem
pendidikan segregatif (SKh) sangat tidak membantu perkembangan sosialitas peserta didik. Sehingga
tetap sulit bagi anak khusus, khususnya anak tunarungu yang sudah tamat dari SKh untuk dapat
diterima sebagai anggota masyarakat. Hal ini merupakan akibat dari adanya penyederhanaan strategi
pembelajaran yang tidak memperhitungkan bahwa pergaulan antar peserta didik dalam komunitasnya
merupakan bentuk proses pembelajaran natural yang seharusnya tidak boleh diabaikan.

Berdasarkan karakteristik anak tunarungu, khususnya miskinnya bahasa yang disebabkan karena
ketunarunguannya yang berakibat ia tidak mengalami masa pemerolehan bahasa seperti halnya anak
dengar lainnya, maka dalam pengembangan kurikulum untuk anak tunarungu harus dilandasi pada
kompetensi berbahasa dan komunikasi yang selanjutnya dapat diimplementasikan dalam pengajaran
bahasa yang menggunakan pendekatan percakapan. Disinilah nampak metode ini sejalan dengan
konsep Language Across the Curricullum atau kurikulum lintas bahasa, yang memiliki filosofi bahwa
tujuan kurikulum akan dapat dicapai dahulu jika didahului dengan keterampilan dan penguasaan
bahasa yang tinggi.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dari Language Across the Curricullum itu adalah sebuah
metode pembelajaran yang senantiasa disajikan melalui konteks kebahasaan melalui percakapan,
yang tahapannya dari mulai penguasaan bahasa, aturan bahasa, hingga ke pengetahuan umum.
Untuk itu perlu dikembangkan satu model kurikulum bagi anak dengan gangguan pendengaran yang
berbasiskan Kompetensi Berbahasa dan Komunikasi untuk menuju kecakapan hidup.
Kurikulum yang berlaku di pendidikan khusus untuk anak tunarungu masih menggunakan Kurikulum
1994, sedangkan wacana yang berkembang sekarang ini kurikulum yang berbasis kompetensi
sehingga mengarah pada skill dan keterampilan masing-masing peserta didik sesuai dengan
kekhususannya. Secara proporsional kurikulum pada SMPKh menitikberatkan pada program
keterampilan 42% dan SMAKh menitikberatkan pada program keterampilan 62%. Pelaksanaannya di
lapangan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan di mana sekolah tersebut berada dan hal ini pun
masih harus disesuaikan dengan keberadaan situasi dan kondisi lingkungan daerah masing-masing.
Sebagai contoh:

1. Sekolah yang berada di lingkungan pantai, maka kurikulum muatan lokalnya antara lain
pengolahan hasil laut, atau keterampilan yang menunjang perangkat nelayan, misalnya merajut
jaring, jala dan sebagainya;
2. Sedangkan untuk sekolah yang berada pada daerah pegunungan atau dataran rendah dapat
menerapkan keterampilan pertanian, perikanan darat, keterampilan menganyam dan sebagainya.
3. Sekolah yang berada di perkotaan dapat menerapkan keterampilan otomotif, percetakan, sablon,
mengukir atau membatik.
Kurikulum Sekolah Luar Biasa 1994 yang memuat tentang Landasan Program dan Pengembangan;
Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP); Tentang Pedoman Pelaksanakan, sedangkan Kurikulum
yang telah diberlakukan pada tahun 2003 adalah Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), yang
mencakup satuan pendidikan TKLB, SDLB, SLTPLB, dan SMLB memberikan kesempatan bagi anak-
anak berkebutuhan khusus untuk mengembangkan kompetensinya seoptimal dan setinggi mungkin
dan untuk mendapatkan pekerjaan yang berguna agar dapat hidup mandiri di masyarakat dan dapat
bersaing di era global. Kurikulum ini memungkinkan siswa dapat belajar atau mempelajari sesuai
dengan bakat dan minat serta program keterampilan yang ditawarkan pada lembaga pendidikan
khusus, dengan komposisi perbandingan antara teori dan praktik cukup proporsional.
C. Manajemen
Manajemen pada lembaga pendidikan khusus di era sekarang ini lebih menitikberatkan pada aspek
pengelolaan yang mengarah pada kemandirian sekolah dan sebuah bentuk atau wujud keterlaksanaan
otonomi sekolah
Sebagai individu yang merupakan sesama warganegara, anak tunarungu juga memiliki hak yang
sama dalam memperoleh layanan pendidikan. Itu merupakan satu hal yang bersifat kodrati, alami dan
manusiawi. Oleh sebab itu tak dapat dipungkiri lagi bahwa pendidikan merupakan salah satu hak
dasar bagi setiap individu manusia, termasuk didalamnya anak tunarungu.

Namun demikian, upaya untuk menempatkan anak tunarungu sejajar dengan anak yang mendengar
adalah bukanlah hal yang mudah. Pertanyaannya adalah, strategi apakah yang dapat memberikan
kemampuan komunikasi dan berbahasa yang cukup sehingga anak tunarungu memiliki kecukupan
bahasa untuk belajar bidang-bidang studi lainnya, serta bersosialisasi dengan guru dan teman
sebayanya di sekolah maupun di luar sekolah ? Untuk menentukan strategi yang sesuai terhadap
layanan pendidikan anak tunarungu tidak lepas dari beberapa faktor manajemen pengelolaan
pendidikan bagi anak tunarungu sebagai berikut:
1. Manajemen Berbasis Sekolah

Di era desentralisasi ini seluruh sektor termasuk sektor pendidikan dituntut untuk ber “otonomi”,
antara lain Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah dalam mengelola pendidikan luar
biasa sudah saatnya menyerahkan sebagian kewenangan pengelolaannya kepada daerah dan
masyarakat lingkungan sekolah. Salah satu kebijakan yang menyangkut otonomi pendidikan luar
biasa, pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah adalah konsep
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Pada awal tahun 2000 Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah telah memperkenalkan dan mensosialisasikan konsep manajemen berbasis sekolah,
sebagai konsekuensi logis terhadap diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah dan PP No. 25 tahun 2000, tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi
sebagai daerah otonom.

Manajemen Berbasis Sekolah bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui
pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan
pengambilan keputusan secara partisipatif. Lebih rincinya Manajemen Berbasis Sekolah bertujuan
untuk:

1. Meningkatkan peranserta warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan


melalui pengambilan keputusan bersama;
2. Meningkatkan tanggungjawab sekolah terhadap orangtua, mayarakat, pemerintah dan mutu
sekolahnya;
3. Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai;
4. Memberikan pertanggungjawaban tentang mutu pendidikan kepada pemerintah, orangtua peserta
didik, dan masyarakat;
5. Memberikan kesempatan kepada sekolah untuk menyusun kurikulum muatan lokal, sedangkan
kurikulum inti dan evaluasi berada pada kewenangan pusat dan pengembangannya disesuaikan
dengan daerah dan sekolah masing-masing.
6. Memberikan kesempatan untuk menjalin hubungan kerjasama kepada sekolah baik dengan
perorangan, masyarakat, lembaga dan dunia usaha yang tidak mengikat.
Manajemen berbasis sekolah sudah mulai dirintis Direktorat Pendidikan Luar Biasa lebih awal. Wujud
nyata dari ide School Base Management itu dapat kita lihat mulai dari enrolment-assessment awal,
penempatan siswa pada kelas-kelas yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, pembuatan
Individual Educational Program (IEP) oleh guru dalam mengajar yang selalu melibatkan orang tua
murid, guru, tenaga ahli, dan para spesialis yang membidangi, sehingga anak betul-betul dapat
dilayani secara profesional. Hubungan guru dengan orangtua dan masyarakat selalu dijaga
kelangsungannya sehingga permasalahan yang timbul dapat diatasi bersama secara holistik.

2. Ketenagaan

a. Tenaga Kependidikan

1. Kepala Sekolah bertugas dan bertanggung jawab memimpin/manajemen dari terselenggaranya


program pendidikan pada sekolah luar biasa yang dibinanya.
2. Guru Bidang Keterampilan bertugas mengembangkan bakat dan minat anak, yang berhubungan
dengan kemampuan kerja mereka juga menyusun program latihan kerja yang diperlukan, sehingga
anak menjadi kreatif dan produktif.
3. Guru Kelas bertugas melaksanakan program pengajaran di kelas mungkin dengan mengindahkan
pentingnya pelayanan individual pada anak.
4. Guru Latihan Bicara, Semua guru untuk anak tunarungu harus mempunyai keahlian untuk memberi
latihan bicara, latihan bicara secara klasikal dapat diberikan setiap hari di kelas. Sedangkan untuk
latihan individual di ruang latihan bicara diberikan oleh guru khusus latihan.
5. Ahli Bina Wicara bertugas mencari sebab-sebab kesukaran bicara atau kelainan bicara yang
bersumber pada kesukaran-kesukaran psikologis.
Misalnya kelainan emosi (takut, malu, tertekan, rasa rendah diri, tidak percaya pada kemampuan diri,
merasa diperlakukan kurang adil, kurang diperhatikan, kurang kasih sayang) serta memberikan
terapinya dengan program yang matang. Jika kesukaran bicara anak disebabkan oleh kelainan
organis, ia dapat memberikan saran untuk mengatasi kelainan tersebut pada orangtua yang
bertanggung jawab sebagai wali.
6. Guru mata pelajaran yang lain sama dengan guru mata pelajaran pada sekolah normal lainnya
seperti : guru agama, guru olahraga, kesenian dan lainnya sama dengan sekolah normal.
b. Tenaga Ahli

Ahli-ahli yang diperlukan antara lain:

1. Dokter THT (Dokter spesial telinga hidung dan tenggorokan) ia bertugas mengevaluasi hidung,
tenggorokan dan telinga, untuk menetapkan apakah organ-organ tersebut berfungsi normal, apakah
terjadi pembesaran tonsil, terjadi infeksi dan apakah ada kelainan pada organ pendengaran tersebut.
2. Audiometris bertugas memeriksa derajat sisa pendengaran anak, memeriksa anak mendengar
dengan kondisi hawa atau dengan kondisi tulang, ia juga menentukan sisa pendengaran pada telinga
kiri dan kanan serta menentukan
jenis alat
3. Psikolog menentukan tingkat kecerdasan anak, menentukan kalainan-kelainan psikologis lainnya
yang berpengaruh negatif pada diri anak misalnya perkembangan kepribadian anak, kemampuan
ingatan anak, kemajuannya di sekolah, tingkah laku anak, keadaan emosinya dan sebagainya.
4. Pekerja Sosial bertugas mengumpulkan data terutama yang berhubungan dengan latar belakang
sosial anak problem-problem yang terjadi hubungan antar keluarga, latar belakang ekonomi
keluarganya, sikap sosial anak, orangtua dan masyarakat sekitar.
5. Orto Pedagogik atau seorang ahli pendidikan anak luar biasa bertugas dan berwenang menentukan
jenis program pendidikan untuk setiap kelompok anak tunarungu. Bimbingan dan Penyuluhan selama
anak mengikuti pendidikan di sekolah perlu diselenggarakan bimbingan dan penyuluhan yang positif
dalam berbagai keaktifan hidup mereka. Bimbingan dan penyuluhan tersebut bertujuan memberikan
kemampuan kepada anak supaya dapat menyelesaikan dan memecahkan persoalan-persoalan yang
dihadapi mereka dalam bermacam-macam situasi bimbingan dan penyuluhan yang diperlukan antara
lain:
• Bimbingan dan penyuluhan dalam pendidikan
• Bimbingan dan penyuluhan dalam kejuruan/kerja
• Bimbingan dan penyuluhan dalam segi sosial/kemasyarakatan
• Bimbingan dan penyuluhan dalam segi pribadi
• Bimbingan dan penyuluhan dalam segi kesehatan
c. Tenaga Administrasi dan Tenaga lainnya

Selain guru pada sekolah luar biasa diperlukan juga pegawai yang tidak kalah pentingnya dalam
upaya terselenggaranya program penyelenggaraan suatu sekolah diantaranya :
1) Tata Usaha Sekolah dan staf
2) Pesuruh sekolah
3) Penjaga sekolah
4) Tukang kebun
5) Sopir
d. Tenaga Asrama

Bagi Sekolah Luar Biasa yang menyelenggarakan asrama diperlukan tenaga asrama sebagai berikut :
1) Kepala Asrama
2) Pembimbing anak
3) Juru masak
4) Pelayan
5) Sopir Asrama
Sedikit banyak meraka turut mempunyai andil dalam mensukseskan kemampuan menghayati suka
duka anak-anak luar biasa bagian tunarungu dan mempunyai dedikasi untuk membantu anak-anak
tunarungu secara wajar dengan penuh pengertian dan rasa cinta kasih yang mendalam.

Pegawai-pegawai SLB bagian tunarungu harus bekerjasama dan dapat membantu staf, guru, dan
dapat menciptakan suasana dan situasi yang menguntungkan untuk berlangsungnya Pendidikan Luar
Biasa tersebut.

3. Administrasi dan Keuangan Sekolah

Administrasi sekolah berpedoman pada administrasi yang dibakukan oleh Departemen Pendidikan
Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pendidikan Luar Biasa
meliputi, Administrasi Program Pengajaran, Kemuridan, Kepegawaian, Keuangan dan Perlengkapan
Barang. Administrasi sekolah di era otonomi ini menggunakan prinsip School Based Management yang
menempatkan kewenangan pengelolaan sekolah sebagai satu entitas sistem, dalam format ini kepala
sekolah dan guru-guru sebagai kelompok profesional, bermitra dengan pihak-pihak yang
berkepentingan lainnya, dianggap memiliki kapasitas untuk memahami kekuatan, kelemahan, peluang
dan tantangan yang dihadapi sekolah dalam upaya mengembangkan program-program sekolah yang
diinginkan sesuai dengan visi dan misi sekolah.

Prinsip perencanaan pengadministrasian, penganggaran sampai dengan penggunaan dan


pertanggungjawaban dapat dilakukan bersama antara stake holders sekolah dengan masyarakat
dalam hal ini dewan sekolah/komite sekolah.

Fungsi dasar suatu administrasi sekolah adalah sebagai suatu bentuk perencanaan, pencatatan,
penginventarisasian, pengendalian, dan analisis kebutuhan barang dana/keuangan. Sebagai contoh
dalam penyusunan anggaran berangkat dari rencana kegiatan atau program yang telah disusun dan
kemudian diperhitungkan berapa biaya yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan tersebut, bukan
dari jumlah dana yang tersedia dan bagaimana dana tersebut dihabiskan. Dengan rancangan yang
demikian fungsi anggaran sebagai alat pengendalian kegiatan akan dapat diefektifkan.

Langkah-langkah penyusunan anggaran yang dilakukan dan direncanakan bersama masyarakat


meliputi:

1. Menginventarisasi rencana kegiatan yang akan dilaksanakan.


2. Menyusun rencana berdasar skala prioritas pelaksanaannya.
3. Menentukan program kerja dan rincian program.
1) Menetapkan kebutuhan untuk pelaksanaan rincian program.
2) Menghitung dana yang dibutuhkan.
3) Menentukan sumber dana untuk membiayai rencana.
Berbagai rencana yang dituangkan ke dalam Rencana dan Program Tahunan sekolah pada dasarnya
untuk merealisasikan program sekolah, oleh karena itu anggaran yang diperlukan juga tercakup
dalam Rencana Anggaran dan Pendapatan Belanja Sekolah (APBS). Prinsip efisiensi harus diterapkan
dalam penyusunan rencana anggaran setiap program sekolah. Pada anggaran yang disusun perlu
dijelaskan, apakah rencana program yang akan dilaksanakan merupakan hal yang baru atau
merupakan kelanjutan atas kegiatan yang telah dilaksanakan dalam periode sebelumnya, dengan
menyebutkan sumber dana sebelumnya.
BAB III
PENUTUP
Sebagai salah satu usaha mewujudkan peningkatan mutu pendidikan dan pemerataan kesempatan
belajar bagi anak berkebutuhan khusus tunarungu serta usaha mewujudkan kesejahteraan bagi anak,
khususnya anak tunarungu, maka pemerintah senantiasa berusaha merealisasikan cita-cita tersebut
antara lain dengan menyusun buku tentang informasi pelayanan pendidikan sesuai dengan jenis
kelainan yang disandang oleh peserta didik.

Penyusunan buku untuk anak tunarungu ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi dan menjadi
pedoman bagi pemerintah khususnya bagi para pembina dan penyelenggara pendidikan khusus pada
umumnya.

BAB I
PENDAHULUAN
A. Karateristik

1. Anak Tunarungu

Secara fisik, anak tunarungu tidak berbeda dengan anak dengar pada umumnya, sebab orang akan
mengetahui bahwa anak menyandang ketunarunguan pada saat berbicara, mereka berbicara tanpa
suara atau dengan suara yang kurang atau tidak jelas artikulasinya, atau bahkan tidak berbicara sama
sekali, mereka hanya berisyarat.
Anak tunarungu adalah anak yang mengalami gangguan pendengaran dan percakapan dengan derajat
pendengaran yang berfariasi antara 27dB –40 dB dikatakan sangat ringan 41 dB – 55 dB dikatakan
Ringan, 56 dB – 70 dB dikatakan Sedang, 71 dB – 90 dB dikatakan Berat, dan 91 ke atas dikatakan
Tuli
Dari ketidakmampuan anak tunarungu dalam berbicara, muncul pendapat umum yang berkembang,
bahwa anak tunarungu ialah anak yang hanya tidak mampu mendengar sehingga tidak dapat
berkomunikasi secara lisan dengan orang dengar. Karena pendapat itulah ketunarunguan dianggap
ketunaan yang paling ringan dan kurang mengundang simpati, dibanding dengan ketunaan yang berat
dan dapat mengakibatkan keterasingan dalam kehidupan sehari-hari.

Batasan ketunarunguan tidak saja terbatas pada yang kehilangan pendengaran sangat berat,
melainkan mencakup seluruh tingkat kehilangan pendengaran dari tingkat ringan, sedang, berat
sampai sangat berat. Menurut Moores, definisi ketunarunguan ada dua kelompok.

Pertama, seorang dikatakan tuli (deaf) apabila kehilangan kemampuan mendengar pada tingkat 70 dB
Iso atau lebih, sehingga ia tidak dapat mengerti pembicaraan orang lain melalui pendengarannya baik
dengan ataupun tanpa alat bantu mendengar.

Kedua, seseorang dikatakan kurang dengar (hard of hearing) bila kehilangan pendengaran pada 35 dB
Iso sehingga ia mengalami kesulitan untuk memahami pembicaraan orang lain melalui
pendengarannya baik tanpa maupun dengan alat bantu mendengar.

Heward & Orlansky memberikan batasan ketunarunguan sebagai berikut :


Tuli (deaf) diartikan sebagai kerusakan yang menghambat seseorang untuk menerima rangsangan
semua jenis bunyi dan sebagai suatu kondisi dimana suara-suara yang dapat dipahami, termasuk
suara pembicaraan tidak mempunyai arti dan maksud-maksud kehidupan sehari-hari. Orang tuli tidak
dapat menggunakan pendengarannya untuk dapat mengartikan pembicaraan, walaupun sebagian
pembicaraan dapat diterima, baik tanpa maupun dengan alat bantu mendengar.
Kurang dengar (hard of hearing) adalah seseorang kehilangan pendengarannya secara nyata yang
memerlukan penyesuaian-penyesuaian khusus, baik tuli maupun kurang mendengar dikatakan
sebagai ganggunan pendengaran (hearing impaired).
Dari berbagai batasan yang dikemukakan oleh beberapa pakar ketunarunguan, maka dapat
disimpulkan bahwa ketunarunguan adalah suatu keadaan atau derajat kehilangan pendengaran yang
meliputi seluruh gradasi ringan, sedang dan sangat berat yang dalam hal ini dikelompokkan ke dalam
dua golongan besar yaitu tuli (lebih dari 90 dB) dan kurang dengar (kurang dari 90 dB), yang
walaupun telah diberikan alat bantu mendengar tetap memerlukan pelayanan khsusus.
2. Klasifikasi Tunarungu

a. Berdasarkan tingkat kerusakan/kehilangan kemampuan mendengar percakapan/bicara orang


digolongkan dalam 5 kelompok, yaitu

1. Sangat ringan 27 – 40 dB
2. Ringan 41 – 55 dB
3. Sedang 56 – 70 dB
4. Berat 71 – 90 dB
5. Ekstrim 91 dB ke atas Tuli
b. Ketunarunguan berdasarkan tempat terjadinya kerusakan, dapat dibedakan atas

1. Kerusakan pada bagian telinga luar dan tengah, sehingga menghambat bunyi-bunyian yang akan
masuk ke dalam telinga disebut tuli konduktif.
2. Kerusakan telinga bagian dalam dan hubungan ke saraf otak yang menyebabkan tuli sensoris
3. Karakteristik Ketunarunguan

Kognisi anak tunarungu antara lain adalah sebagai berikut:

1. Kemampuan verbal (verbal IQ) anak tunarungu lebih rendah dibandingkan kemampuan verbal anak
mendengar.
2. Namun performance IQ anak tunarungu sama dengan anak mendengar.
3. Daya ingat jangka pendek anak tunarungu lebih rendah daripada anak mendengar terutama pada
informasi yang bersifat suksesif/berurutan.
4. Namun pada informasi serempak antara anak tunarungu dan anak mendengar tidak ada
perbedaan.
5. Daya ingat jangka panjang hampir tak ada perbedaan, walaupun prestasi akhir biasanya tetap lebih
rendah.
4. Lingkup Pengembangan Program Pendidikan bagi individu Tunarungu

1. TKLB/TKKh Tunarungu Tingkat Rendah : ditekankan pada pengembangan kemampuan senso-


motorik, berbahasa dan kemampuan berkomunikasi khususnya berbicara dan berbahasa.
2. SDLB/SDKh Tunarungu kelas tinggi ditekankan pada keterampilan senso-motorik, keterampilan
berkomunikasi kemudian pengembangan kemampuan dasar di bidang akademik dan keterampilan
sosial.
3. SLTPLB/SMPKh Tunarungu ditekankan pada peningkatan keterampilan berkomunikasi dan
keterampilan senso-motorik, keterampilan berkomunikasi dan keterampilan mengaplikasikan
kemampuan dasar di bidang akademik dalam pemecahan masalah kehidupan sehari-hari, peningkatan
keterampilan sosial dan dasar-dasar keterampilan vokasional.
4. SMLB/SMAKh Tunarungu ditekankan pada pematangan keterampilan berkomunikasi, keterampilan
menerapkan kemampuan dasar di bidang akademik yang mengerucut pada pengembangan
kemampuan vokasional yang berguna sebagai pemenuhan kebutuhan hidup, dengan tidak menutup
kemungkinan mempersiapkan siswa tunarungu melanjutkan pendidikannya kejenjang yang lebih
tinggi.
B. Dasar Hukum
1. Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Bab IV pasal 5 ayat 2, 3 dan 4 serta bab VI pasal 32 ayat 1, 2 dan 3 menyatakan bahwa warga
negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak
memperoleh layanan pendidikan khusus.
2. Undang-undang No. 22 tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2000 tentang
Pemerintahan Daerah dan Pembagian Kewenangan Pusat dan Propinsi, mengatakan bahwa
Pengelolaan Pendidikan Luar Biasa ada pada Dinas Pendidikan Propinsi.
3. Kepmendiknas No. 031/O/2002 tanggal 18 Maret 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Depdiknas pasal 125 bahwa Direktorat Pendidikan Luar Biasa mempunyai tugas melaksanakan
perumusan kebijakan, pemberian bimbingan dan evaluasi di bidang pendidikan luar biasa.
C. Tujuan

Tujuan penyelenggaraan Layanan Pendidikan bagi Anak Tunarungu adalah sebagai berikut:

1. Tujuan Umum

Agar dapat mewujudkan penyelenggaraan pendidikan bagi anak yang berkebutuhan khusus,
khususnya bagi anak Tunarungu seoptimal mungkin dan dapat melayani pendidikan bagi anak didik
dengan segala kekurangan ataupun kelainan yang diderita sehingga anak-anak tersebut dapat
menerima keadaan dirinya dan menyadari bahwa ketunaannya tidak menjadi hambatan untuk belajar
dan bekerja, memiliki sifat dasar sebagai warga negara yang baik, sehat jasmani dan rohani, memiliki
pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diperlakukan untuk melanjutkan pelajaran, bekerja di
masyarakat serta dapat menolong diri sendiri dan mengembangan diri sesuai dengan azas pendidikan
seumur hidup.

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus Sekolah penyelengara pendidikan khusus (tunarungu) adalah:

1. Turut melaksanakan pemerataan dan perluasan kesempatan memperoleh pendidikan bagi anak
usia sekolah.
2. Peningkatan efisiensi dan efektifitas pendidikan bagi anak tunarungu di Indonesia.
3. Penyelenggaraan fasilitas pendidikan yang luwes dan relevan terhadap keperluan anak tunarungu.
4. Memiliki pengetahuan, kesadaran pengalaman dan keterampilan tentang isi bidang-bidang studi
yang tercantum dalam kurikulum yang resmi.
5. Mengarahkan dan membina anak Tunarungu agar dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan
sekitarnya.
6. Membantu dan membina anak Tunarungu agar memiliki keterampilan, keahlian, kejujuran, ataupun
sumber pemnghasilan yangh sesuai denan jenis dan tingkat ketunaan yang disandangnya.
D. Penyelenggaraan Sekolah

Sejalan dengan usaha Peningkatan Mutu Pendidikan dan pemerataan kesempatan beklajar bagi anak
berkebutuhan khusus maka pemerintah senantiasa berusaha secara terus menerus memperhatikan
perkembangan dan pertambahan Sekolah penyelenggara pendidikan khusus baik kualitatif maupun
kuantitatif. Dalam menyelenggarakan pendidikan khusus untuk anak Tunanrungu perlu diperhatikan
hal-hal sebagai berikut:

1. Lokasi
2. Bangunan/gedung
3. Perabot
4. Alat pendidikan khusus
5. Alat peraga pendidikan
6. Personil sekolah
a. Tenaga kependidikan
b. Tenaga Administrasi
c. Tenaga ahli
d. Tenaga kepustakaan
7. Kurikulum
8. Manajemen dan Administrasi
BAB II
SARANA PRASARANA, KURIKULUM, DAN MANAJEMEN
A. Sarana Prasarana
Sarana Prasarana adalah lingkungan fisik sekolah yang secara tidak langsung menunjang proses
keterlaksanaan belajar mengajar di suatu sekolah, meliputi: jalan, saluran air, sanitasi, listrik, telpon.
1. Sarana Fisik Sekolah

Dalam membangun kampus pendidikan khusus untuk anak Tunarungu ada beberapa faktor yang
harus diperhatikan antara lain:

a. Karakteristik

Faktor edukasi harus menjadi titik tolak perencanaan bentuk sekolah harus diciptakan dalam
hubungan yang harmonis dengan tujuan yaitu untuk mengembangkan potensi anak tuna rungu
semaksimal mungkin termasuk didalamnya beberapa persyaratan paedagogis yang bersifat umum
dan khusus antara lain:

1. Suasana yang tentram, tidak berdekatan dengan pasar atau bengkel, pabrik-pabrik. Suasana yang
ramai dari hiruk pikuk dengan segala macam bunyian yang merusak telinga tidak menguntungkan
anak-anak tuli apa lagi kalau anak tuli itu sedang mengadakan latihan mendengar dengan Hearing
Aid.
2. Tanah yang disediakan selain untuk membangun juga cocok bagi latihan berkebun, beternak dan
sebagainya.
3. Adanya fasilitas air, listrik yang dapat menjadi penunjang sarana pendidikan.
b. Keamanan dan transportasi

Keamanan harus cukup terjamin, yaitu letak sekolah tidak ada dalam areal berbahaya (dekat gedung
mesiu, sungai besar dan sebagainya). Untuk itu perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Letak sekolah harus strategis dalam arti sekolah dihubungkan dengan bagian-bagian lain oleh jalan
yang baik dan yang cukup dilalui kendaraan umum. Sehingga memudahkan orangtua murid, dokter
dan lainnya ke lokasi sekolah.
2. Agar sekolah benar-benar dapat menjadi tempat pengembangan potensi bagi anak penyandang
tunarungu hendaknya memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Tanah untuk sekolah harus memenuhi syarat-syarat kesehatan antara lain :
(1). tidak dekat pembuangan sampah.
(2). tanahnya mudah dikeringkan.
(3) Pembuangan kotoran mudah dilaksanakan karena (saluran) riolringnya baik.
2. Untuk sekolah pendidikan khusus Tunarungu dengan kapasitas 100 orang yang ideal diperlukan
tanah seluas kurang lebih 20.000 m2 dan dipergunakan untuk :
(1). komplek bangunan kurang lebih 10.000 m2
(2). lapangan bermain olahraga, tempat parkir, kebun bunga/taman kurang lebih 5.000 m2
(3). tanah untuk pertanian kurang lebih 5.000 m2
Dengan fasilitas tanah seluas itu anak-anak dapat belajar dalam suasana aman dan tentram serta
memberikan keluasaan bergerak yang optimal.
B. Bangunan-bangunan yang diperlukan di sekolah pendidikan khusus Tunarungu adalah sebagai
berikut:

1. Ruang belajar
(a) ruang teori
(b) ruang bina wicara
(c) ruang laboratorium
(d) ruang keterampilan putri
(e) ruang keterampilan putra
(f) ruang serba guna/kesenian
(g) ruang latihan mendengar (ruang training 1 ruang)
(h) ruang audiologi
(i) ruang observasi
2. Ruang penunjang
(a) ruang perpustakaan
(b) ruang bimbingan dan penyuluhan
(c) ruang klinik ruang dokter anak, dokter THT dan psikolog
(d) ruang UKS
(e) ruang audiometer
(f) ruang pameran
(g) ruang kepala sekolah
(h) ruang tata usaha
(i) ruang guru
(j) ruang ibadah
(k) gudang
(l) kamar mandi/WC murid
(m) kamar mandi/WC guru
(n) ruang koperasi/kantin
(o) ruang tunggu/bangsal pertemuan
(p) bangsal kendaraan
(r) rumah penjaga
(s) ruang latihan keterampilan
- Menjahit, seni lukis, pekerjaan tangan, perbengkelan, dan koleksi hasil pekerjaan tangan
(t) rumah kepala sekolah
(u) rumah guru
3. Asrama
Sebaiknya asrama dibangun dengan sistem pavilyun penghuni dari pavilyun maksimal 10 orang
termasuk satu orang penjaga. Untuk 100 orang anak diperlukan maksimal 12 pavilyun dengan
fasilitas tersendiri tiap-tiap pavilyun terdiri dari :
a) kamar untuk penjaga
b) kamar tidur untuk anak-anak
C. Tata Letak Ruang

1. Ruang-ruang di sekolah

1. Ruang kelas biasa. Bangunan dan ruang kelas untuk anak tunarungu dan anak normal pada
umumnya tidak berbeda dengan sekolah umum yaitu bangunan harus kokoh, udara harus cukup
untuk anak dan selalu segar karena ventilasi yang sempurna, dinding dan lantai harus kering tidak
boleh lembab, penerangan harus cukup dan cahaya dari luar hendaknya datang dari sebelah kiri anak.
Persyaratan mengenai papan tulis dan bentuk bangku yang tidak membahayakan kesehatan anak.
2. Ruang latihan bicara dan ruang audiometri sebaiknya agar tidak terganggu oleh anak-anak lain,
pelajaran latihan bicara diberikan dalam suatu ruang khusus, cukup untuk 1 guru 2 anak dan alat-alat
yang diperlukan. Jika ruangan latihan bicara sekaligus dipakai untuk latihan mendengar dengan
menggunakan alat pembantu dengar, sebaiknya dinding ruang diberi atau berlapis dengan semacam
gabus peredap suara.
3. Ruang Audiometri. Ruang untuk keperluan meneliti dan mengukur (sisa) pendengaran dengan
audimeter, merupakan ruang khusus yang letaknya sejauh mungkin dari sumber kegaduhan. Ruang
itu dibuat kedap suara; sedemikian sehingga seberapa boleh tidak ada suara dapat masuk. Dinding
dibagian dalam sebaiknya terdiri atau dilapisi bahan peredap suara.
2. Perabot Sekolah

Secara garis besar perabot yang diperlukan untuk Sekolah pendidikan khusus Tunarungu hampir sama
dengan keperluan anak-anak normal, mereka memerlukan : meja, kursi, almari, papan tulis, peta-
peta, buku tulis, buku pelajaran, alat olahraga dan lapangan olahraga normal, baik ukuran maupun
syarat permainannya.
Sarana pendidikan adalah alat atau salah satu komponen dalam proses belajar mengajar yang
diganakan untuk memvisualkan, memperagakan dan mempraktekkan serta memperjelas konsep ide
atau gagasan untuk membantu mempercepat daya serap terhadap mata pelajaran.
3. Sarana Pendidikan

a. Alat Pendidikan Khusus

Berhubung dengan ketulian yang dideritanya, maka sangat diperlukan alat-alat bantu khusus
meningkatkan potensinya, yang masih dapat diperbaiki dan dikembangkan terutama masalah
komunikasi baik dengan menggunakan bahasa lisan maupun tulisan.

Kebutuhan minimal alat kebutuhan khusus di Sekolah Luar Biasa untuk anak-anak tunarungu antara
lain:

1) Audiometer

Yaitu alat penelitian yang dapat mengukur segala aspek dari pendengaran seseorang. Dengan
audiometer dapat dibuat sebuah audigram yang dapat memberitahukan angka dari sisa pendengaran
anak.

2) Alat bantu mendengar (hearing aid)

Dengan mempergunakan alat bantu dengar (hearing aid) perorangan dan alat bantu dengan (group
hearing aid) kelompok, anak-anak tunarungu diberikan latihan mendengar. Latihan-latihan tersebut
dapat diberikan secara individual atau secara kelompok.

3) Cermin

Untuk memberikan cantoh-contoh ucapan dengan artikulasi yang baik diperlukan sebuah cermin.
Dengan bantuan cermin kita dapat menyadarkan anak terhadap posisi bicara yang kurang tepat.
Dengan bantuan cermin kita dapat mengucapkan beberapa contoh konsonan, vokal dan kata-kata
atau kalimat dengan baik.

3) Alat bantu wicara (speech trainer)

Speech trainer ialah sebuah alat elektronik terdiri dari amplifaer, head phone dan mickrophone.
Gunanya untuk memberikan latihan bicara individual. Bagi yang masih mempunyai sisa pendengaran
cukup banyak akan sangat membantu pembentukan ucapannya. Bagi yang sisa pendengarannya
sedikit akan membantu dalam pembentukan suara dan irama.

b. Alat Peraga

Untuk memperkaya perbendaharaan bahasa anak hendaknya jangan dilupakan alat-alat peraga
tradisional seperti:
1) Miniatur binatang-binatang
2) Miniatur manusia
3) Gambar-gambar yang relevan
4) Buku perpustakaan yang bergambar
5) Alat-alat permainan anak
Sesuai dengan kemampuan anak tunarungu dalam kurikulum lebih diutamakan mata pelajaran
keterampilan yang menuju kearah irama. Untuk itu diperlukan alat-alat keterampilan untuk pria dan
atau wanita antara lain sebagai berikut :
1) Alat pertukangan
2) Alat pertanian
3) Alat perbengkelan
4) Alat tenun
5) Alat masak memasak
6) Alat jahit menjahit
7) Alat salon kecantikan   Alat potong rambut (barber shop)
9) Komputer
D. Kurikulum Pendidikan Khusus Anak Tunarungu

Ketunarunguan yang berdampak kepada kemiskinan bahasa dan hambatan dalam berkomunikasi,
dianggap menyulitkan orang lain termasuk dalam layanan pendidikannya. Hal ini dapat dibuktikan
terutama di Indonesia, hingga kini layanan pendidikan bagi anak tunarungu sebagian besar bersifat
segregatif, yaitu pelayanan pendidikan bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus yang terpisah dari
satuan pendidikan pada umumnya. Wujud dari pendidikan segregatif ini adalah yang lazim dikenal
Sekolah Khusus (SKh).

Sistem segregatif ini baik, jika hanya untuk kepentingan pembelajaran, namun jika sampai kepada
layanan pendidikan, segregatif tentu saja akan merugikan anak. Mereka akan kehilangan haknya
untuk belajar, bersosialisasi dan berkomunikasi dengan teman sebayanya yang mendengar. Sistem
pendidikan segregatif (SKh) sangat tidak membantu perkembangan sosialitas peserta didik. Sehingga
tetap sulit bagi anak khusus, khususnya anak tunarungu yang sudah tamat dari SKh untuk dapat
diterima sebagai anggota masyarakat. Hal ini merupakan akibat dari adanya penyederhanaan strategi
pembelajaran yang tidak memperhitungkan bahwa pergaulan antar peserta didik dalam komunitasnya
merupakan bentuk proses pembelajaran natural yang seharusnya tidak boleh diabaikan.

Berdasarkan karakteristik anak tunarungu, khususnya miskinnya bahasa yang disebabkan karena
ketunarunguannya yang berakibat ia tidak mengalami masa pemerolehan bahasa seperti halnya anak
dengar lainnya, maka dalam pengembangan kurikulum untuk anak tunarungu harus dilandasi pada
kompetensi berbahasa dan komunikasi yang selanjutnya dapat diimplementasikan dalam pengajaran
bahasa yang menggunakan pendekatan percakapan. Disinilah nampak metode ini sejalan dengan
konsep Language Across the Curricullum atau kurikulum lintas bahasa, yang memiliki filosofi bahwa
tujuan kurikulum akan dapat dicapai dahulu jika didahului dengan keterampilan dan penguasaan
bahasa yang tinggi.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dari Language Across the Curricullum itu adalah sebuah
metode pembelajaran yang senantiasa disajikan melalui konteks kebahasaan melalui percakapan,
yang tahapannya dari mulai penguasaan bahasa, aturan bahasa, hingga ke pengetahuan umum.
Untuk itu perlu dikembangkan satu model kurikulum bagi anak dengan gangguan pendengaran yang
berbasiskan Kompetensi Berbahasa dan Komunikasi untuk menuju kecakapan hidup.
Kurikulum yang berlaku di pendidikan khusus untuk anak tunarungu masih menggunakan Kurikulum
1994, sedangkan wacana yang berkembang sekarang ini kurikulum yang berbasis kompetensi
sehingga mengarah pada skill dan keterampilan masing-masing peserta didik sesuai dengan
kekhususannya. Secara proporsional kurikulum pada SMPKh menitikberatkan pada program
keterampilan 42% dan SMAKh menitikberatkan pada program keterampilan 62%. Pelaksanaannya di
lapangan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan di mana sekolah tersebut berada dan hal ini pun
masih harus disesuaikan dengan keberadaan situasi dan kondisi lingkungan daerah masing-masing.
Sebagai contoh:

1. Sekolah yang berada di lingkungan pantai, maka kurikulum muatan lokalnya antara lain
pengolahan hasil laut, atau keterampilan yang menunjang perangkat nelayan, misalnya merajut
jaring, jala dan sebagainya;
2. Sedangkan untuk sekolah yang berada pada daerah pegunungan atau dataran rendah dapat
menerapkan keterampilan pertanian, perikanan darat, keterampilan menganyam dan sebagainya.
3. Sekolah yang berada di perkotaan dapat menerapkan keterampilan otomotif, percetakan, sablon,
mengukir atau membatik.
Kurikulum Sekolah Luar Biasa 1994 yang memuat tentang Landasan Program dan Pengembangan;
Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP); Tentang Pedoman Pelaksanakan, sedangkan Kurikulum
yang telah diberlakukan pada tahun 2003 adalah Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), yang
mencakup satuan pendidikan TKLB, SDLB, SLTPLB, dan SMLB memberikan kesempatan bagi anak-
anak berkebutuhan khusus untuk mengembangkan kompetensinya seoptimal dan setinggi mungkin
dan untuk mendapatkan pekerjaan yang berguna agar dapat hidup mandiri di masyarakat dan dapat
bersaing di era global. Kurikulum ini memungkinkan siswa dapat belajar atau mempelajari sesuai
dengan bakat dan minat serta program keterampilan yang ditawarkan pada lembaga pendidikan
khusus, dengan komposisi perbandingan antara teori dan praktik cukup proporsional.
C. Manajemen
Manajemen pada lembaga pendidikan khusus di era sekarang ini lebih menitikberatkan pada aspek
pengelolaan yang mengarah pada kemandirian sekolah dan sebuah bentuk atau wujud keterlaksanaan
otonomi sekolah
Sebagai individu yang merupakan sesama warganegara, anak tunarungu juga memiliki hak yang
sama dalam memperoleh layanan pendidikan. Itu merupakan satu hal yang bersifat kodrati, alami dan
manusiawi. Oleh sebab itu tak dapat dipungkiri lagi bahwa pendidikan merupakan salah satu hak
dasar bagi setiap individu manusia, termasuk didalamnya anak tunarungu.

Namun demikian, upaya untuk menempatkan anak tunarungu sejajar dengan anak yang mendengar
adalah bukanlah hal yang mudah. Pertanyaannya adalah, strategi apakah yang dapat memberikan
kemampuan komunikasi dan berbahasa yang cukup sehingga anak tunarungu memiliki kecukupan
bahasa untuk belajar bidang-bidang studi lainnya, serta bersosialisasi dengan guru dan teman
sebayanya di sekolah maupun di luar sekolah ? Untuk menentukan strategi yang sesuai terhadap
layanan pendidikan anak tunarungu tidak lepas dari beberapa faktor manajemen pengelolaan
pendidikan bagi anak tunarungu sebagai berikut:

1. Manajemen Berbasis Sekolah

Di era desentralisasi ini seluruh sektor termasuk sektor pendidikan dituntut untuk ber “otonomi”,
antara lain Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah dalam mengelola pendidikan luar
biasa sudah saatnya menyerahkan sebagian kewenangan pengelolaannya kepada daerah dan
masyarakat lingkungan sekolah. Salah satu kebijakan yang menyangkut otonomi pendidikan luar
biasa, pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah adalah konsep
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Pada awal tahun 2000 Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah telah memperkenalkan dan mensosialisasikan konsep manajemen berbasis sekolah,
sebagai konsekuensi logis terhadap diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah dan PP No. 25 tahun 2000, tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi
sebagai daerah otonom.

Manajemen Berbasis Sekolah bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui
pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan
pengambilan keputusan secara partisipatif. Lebih rincinya Manajemen Berbasis Sekolah bertujuan
untuk:

1. Meningkatkan peranserta warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan


melalui pengambilan keputusan bersama;
2. Meningkatkan tanggungjawab sekolah terhadap orangtua, mayarakat, pemerintah dan mutu
sekolahnya;
3. Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai;
4. Memberikan pertanggungjawaban tentang mutu pendidikan kepada pemerintah, orangtua peserta
didik, dan masyarakat;
5. Memberikan kesempatan kepada sekolah untuk menyusun kurikulum muatan lokal, sedangkan
kurikulum inti dan evaluasi berada pada kewenangan pusat dan pengembangannya disesuaikan
dengan daerah dan sekolah masing-masing.
6. Memberikan kesempatan untuk menjalin hubungan kerjasama kepada sekolah baik dengan
perorangan, masyarakat, lembaga dan dunia usaha yang tidak mengikat.
Manajemen berbasis sekolah sudah mulai dirintis Direktorat Pendidikan Luar Biasa lebih awal. Wujud
nyata dari ide School Base Management itu dapat kita lihat mulai dari enrolment-assessment awal,
penempatan siswa pada kelas-kelas yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, pembuatan
Individual Educational Program (IEP) oleh guru dalam mengajar yang selalu melibatkan orang tua
murid, guru, tenaga ahli, dan para spesialis yang membidangi, sehingga anak betul-betul dapat
dilayani secara profesional. Hubungan guru dengan orangtua dan masyarakat selalu dijaga
kelangsungannya sehingga permasalahan yang timbul dapat diatasi bersama secara holistik.

2. Ketenagaan

a. Tenaga Kependidikan

1. Kepala Sekolah bertugas dan bertanggung jawab memimpin/manajemen dari terselenggaranya


program pendidikan pada sekolah luar biasa yang dibinanya.
2. Guru Bidang Keterampilan bertugas mengembangkan bakat dan minat anak, yang berhubungan
dengan kemampuan kerja mereka juga menyusun program latihan kerja yang diperlukan, sehingga
anak menjadi kreatif dan produktif.
3. Guru Kelas bertugas melaksanakan program pengajaran di kelas mungkin dengan mengindahkan
pentingnya pelayanan individual pada anak.
4. Guru Latihan Bicara, Semua guru untuk anak tunarungu harus mempunyai keahlian untuk memberi
latihan bicara, latihan bicara secara klasikal dapat diberikan setiap hari di kelas. Sedangkan untuk
latihan individual di ruang latihan bicara diberikan oleh guru khusus latihan.
5. Ahli Bina Wicara bertugas mencari sebab-sebab kesukaran bicara atau kelainan bicara yang
bersumber pada kesukaran-kesukaran psikologis.
Misalnya kelainan emosi (takut, malu, tertekan, rasa rendah diri, tidak percaya pada kemampuan diri,
merasa diperlakukan kurang adil, kurang diperhatikan, kurang kasih sayang) serta memberikan
terapinya dengan program yang matang. Jika kesukaran bicara anak disebabkan oleh kelainan
organis, ia dapat memberikan saran untuk mengatasi kelainan tersebut pada orangtua yang
bertanggung jawab sebagai wali.
6. Guru mata pelajaran yang lain sama dengan guru mata pelajaran pada sekolah normal lainnya
seperti : guru agama, guru olahraga, kesenian dan lainnya sama dengan sekolah normal.
b. Tenaga Ahli

Ahli-ahli yang diperlukan antara lain:

1. Dokter THT (Dokter spesial telinga hidung dan tenggorokan) ia bertugas mengevaluasi hidung,
tenggorokan dan telinga, untuk menetapkan apakah organ-organ tersebut berfungsi normal, apakah
terjadi pembesaran tonsil, terjadi infeksi dan apakah ada kelainan pada organ pendengaran tersebut.
2. Audiometris bertugas memeriksa derajat sisa pendengaran anak, memeriksa anak mendengar
dengan kondisi hawa atau dengan kondisi tulang, ia juga menentukan sisa pendengaran pada telinga
kiri dan kanan serta menentukan
jenis alat
3. Psikolog menentukan tingkat kecerdasan anak, menentukan kalainan-kelainan psikologis lainnya
yang berpengaruh negatif pada diri anak misalnya perkembangan kepribadian anak, kemampuan
ingatan anak, kemajuannya di sekolah, tingkah laku anak, keadaan emosinya dan sebagainya.
4. Pekerja Sosial bertugas mengumpulkan data terutama yang berhubungan dengan latar belakang
sosial anak problem-problem yang terjadi hubungan antar keluarga, latar belakang ekonomi
keluarganya, sikap sosial anak, orangtua dan masyarakat sekitar.
5. Orto Pedagogik atau seorang ahli pendidikan anak luar biasa bertugas dan berwenang menentukan
jenis program pendidikan untuk setiap kelompok anak tunarungu. Bimbingan dan Penyuluhan selama
anak mengikuti pendidikan di sekolah perlu diselenggarakan bimbingan dan penyuluhan yang positif
dalam berbagai keaktifan hidup mereka. Bimbingan dan penyuluhan tersebut bertujuan memberikan
kemampuan kepada anak supaya dapat menyelesaikan dan memecahkan persoalan-persoalan yang
dihadapi mereka dalam bermacam-macam situasi bimbingan dan penyuluhan yang diperlukan antara
lain:
• Bimbingan dan penyuluhan dalam pendidikan
• Bimbingan dan penyuluhan dalam kejuruan/kerja
• Bimbingan dan penyuluhan dalam segi sosial/kemasyarakatan
• Bimbingan dan penyuluhan dalam segi pribadi
• Bimbingan dan penyuluhan dalam segi kesehatan
c. Tenaga Administrasi dan Tenaga lainnya

Selain guru pada sekolah luar biasa diperlukan juga pegawai yang tidak kalah pentingnya dalam
upaya terselenggaranya program penyelenggaraan suatu sekolah diantaranya :
1) Tata Usaha Sekolah dan staf
2) Pesuruh sekolah
3) Penjaga sekolah
4) Tukang kebun
5) Sopir
d. Tenaga Asrama

Bagi Sekolah Luar Biasa yang menyelenggarakan asrama diperlukan tenaga asrama sebagai berikut :
1) Kepala Asrama
2) Pembimbing anak
3) Juru masak
4) Pelayan
5) Sopir Asrama
Sedikit banyak meraka turut mempunyai andil dalam mensukseskan kemampuan menghayati suka
duka anak-anak luar biasa bagian tunarungu dan mempunyai dedikasi untuk membantu anak-anak
tunarungu secara wajar dengan penuh pengertian dan rasa cinta kasih yang mendalam.

Pegawai-pegawai SLB bagian tunarungu harus bekerjasama dan dapat membantu staf, guru, dan
dapat menciptakan suasana dan situasi yang menguntungkan untuk berlangsungnya Pendidikan Luar
Biasa tersebut.

3. Administrasi dan Keuangan Sekolah

Administrasi sekolah berpedoman pada administrasi yang dibakukan oleh Departemen Pendidikan
Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pendidikan Luar Biasa
meliputi, Administrasi Program Pengajaran, Kemuridan, Kepegawaian, Keuangan dan Perlengkapan
Barang. Administrasi sekolah di era otonomi ini menggunakan prinsip School Based Management yang
menempatkan kewenangan pengelolaan sekolah sebagai satu entitas sistem, dalam format ini kepala
sekolah dan guru-guru sebagai kelompok profesional, bermitra dengan pihak-pihak yang
berkepentingan lainnya, dianggap memiliki kapasitas untuk memahami kekuatan, kelemahan, peluang
dan tantangan yang dihadapi sekolah dalam upaya mengembangkan program-program sekolah yang
diinginkan sesuai dengan visi dan misi sekolah.

Prinsip perencanaan pengadministrasian, penganggaran sampai dengan penggunaan dan


pertanggungjawaban dapat dilakukan bersama antara stake holders sekolah dengan masyarakat
dalam hal ini dewan sekolah/komite sekolah.

Fungsi dasar suatu administrasi sekolah adalah sebagai suatu bentuk perencanaan, pencatatan,
penginventarisasian, pengendalian, dan analisis kebutuhan barang dana/keuangan. Sebagai contoh
dalam penyusunan anggaran berangkat dari rencana kegiatan atau program yang telah disusun dan
kemudian diperhitungkan berapa biaya yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan tersebut, bukan
dari jumlah dana yang tersedia dan bagaimana dana tersebut dihabiskan. Dengan rancangan yang
demikian fungsi anggaran sebagai alat pengendalian kegiatan akan dapat diefektifkan.

Langkah-langkah penyusunan anggaran yang dilakukan dan direncanakan bersama masyarakat


meliputi:

1. Menginventarisasi rencana kegiatan yang akan dilaksanakan.


2. Menyusun rencana berdasar skala prioritas pelaksanaannya.
3. Menentukan program kerja dan rincian program.
1) Menetapkan kebutuhan untuk pelaksanaan rincian program.
2) Menghitung dana yang dibutuhkan.
3) Menentukan sumber dana untuk membiayai rencana.
Berbagai rencana yang dituangkan ke dalam Rencana dan Program Tahunan sekolah pada dasarnya
untuk merealisasikan program sekolah, oleh karena itu anggaran yang diperlukan juga tercakup
dalam Rencana Anggaran dan Pendapatan Belanja Sekolah (APBS). Prinsip efisiensi harus diterapkan
dalam penyusunan rencana anggaran setiap program sekolah. Pada anggaran yang disusun perlu
dijelaskan, apakah rencana program yang akan dilaksanakan merupakan hal yang baru atau
merupakan kelanjutan atas kegiatan yang telah dilaksanakan dalam periode sebelumnya, dengan
menyebutkan sumber dana sebelumnya.

BAB III
PENUTUP
Sebagai salah satu usaha mewujudkan peningkatan mutu pendidikan dan pemerataan kesempatan
belajar bagi anak berkebutuhan khusus tunarungu serta usaha mewujudkan kesejahteraan bagi anak,
khususnya anak tunarungu, maka pemerintah senantiasa berusaha merealisasikan cita-cita tersebut
antara lain dengan menyusun buku tentang informasi pelayanan pendidikan sesuai dengan jenis
kelainan yang disandang oleh peserta didik.

Penyusunan buku untuk anak tunarungu ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi dan menjadi
pedoman bagi pemerintah khususnya bagi para pembina dan penyelenggara pendidikan khusus pada
umumnya.

You might also like