You are on page 1of 8

ANALISIS ENERGI NUKLIR DAN ENERGI TERBARUKAN DAN KAITANNYA

DENGAN PEMANASAN GLOBAL DI INDONESIA

Arymukti Wibowo
Universitas Negeri Jakarta

ABSTRACT
Largely energy at Indonesian being gotten from fossil’s fuel. Fossil’s energy stockpiling
that progressively thin coercing us to look for new energy that can replace fossil’s energy role to
the fore it. Along with using up amount increase, causing emission of CO2’s gas also getting
higher and ensues on global warming. Therefore has available energy conversion to reduce that
global instillation. Emerging alternative present remained chooses among utilize nuclear energy
or new energy for from Carbon dioxide issue viewpoint the both reputed low CO2’s issue.

ABSTRAK
Sebagian besar energi di Indonesia didapat dari bahan bakar fossil. Persediaan energi
fossil yang semakin menipis memaksa kita untuk mencari energi baru yang dapat menggantikan
peran energi fossil kedepannya. Seiring dengan pertambahan jumlah pemakaian, menyebabkan
gas CO2 yang dikeluarkan juga semakin bertambah dan berakibat pada pemanasan global. Oleh
sebab itu harus ada konversi energi untuk mengurangi pemanasan global tersebut. Alternatif
yang muncul sekarang tinggal memilih antara menggunakan energi nuklir atau energi terbarukan
karena dari sudut pandang emisi karbondioksida kedua jenis ini dianggap rendah emisi CO2.
Kata kunci: pemanasan global, emisi karbon, energi fossil, energi nuklir, energi terbarukan.

1 PENDAHULUAN
Pemanasan global beserta segala isu yang menyertainya saat ini harus dijadikan acuan
untuk pemerintah Indonesia dalam melakukan langkah pembangunan. Terkait dengan laju
pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat, pemerintah serta merta mendukung
pembangunan fasilitas mewah dan sarana untuk masyarakat tanpa mempedulikan resikonya.
Pada akhirnya dibutuhkan lagi solusi baru untuk menangani solusi-solusi sebelumnya, seolah-
olah bagaikan solusi tumpang tindih.
Pembangunan besar-besaran di Jakarta dan sekitarnya, pembabatan hutan di daerah
pedalaman, penggunaan alat transportasi yang meningkat merupakan faktor utama terjadinya
pemanasan global. Disamping itu pertumbuhan penduduk memacu kebutuhan akan pasokan
energi penunjang kehidupan. Seiring dengan meningkatnya pemanasan global, masyarakat juga
harus bijak dalam menentukan pemakaian dan pengolahan energi.
Secara global hal ini juga terjadi di seluruh Negara terutama Negara berkembang. Tanpa
adanya tindakkan yang serius dengan pola yang ada sekarang, pada akhir abad ini bisa
diperkirakan suhu udara global di bumi akan naik 6 derajat Celcius. Kenaikkan sebesar ini secara
langsung akan membahayakan kehidupan di bumi. Dunia internasional sepakat bahwa untuk
menghindari pemanasan global, kenaikan suhu hanya boleh maksimum 2 derajat dari kondisi
sebelum masa industrialisasi dimulai. Untuk mencapai target ini diperlukan pengurangan emisi
karbon sebesar 80% pada tahun 2050[1].
Alternatif yang muncul sekarang tinggal memilih antara menggunakan energi nuklir atau
energi terbarukan karena dari sudut pandang emisi karbondioksida kedua jenis ini dianggap
rendah emisi CO2. Masing-masing energi memiliki keunggulan dan kekurangan. Energi nuklir
merupakan solusi jangka panjang untuk skala yang besar. Dengan biaya yang mahal pada awal
pengoperasiannya, tetapi selanjutnya tidak membutuhkan biaya yang besar. Namun masyarakat
Indonesia masih takut dengan resiko yang akan terjadi bila terjadi kebocoran pada reaktor daya
tersebut. Bila jangkauannya keamanan dan biaya yang lebih murah tentu lebih baik memilih
energi terbarukan. Tetapi kapasitas dan skala yang dijamah masih kecil, dan untuk
mengalokasikannya dibutuhkan akomodasi dan biaya tambahan.
Tujuan dari penulisan ini adalah membandingkan keunggulan dan kekurangan energi
nuklir dan energi terbarukan sebagai energi pengganti energi fossil dalam menghadapi
pemanasan global di Indonesia. Tulisan ini akan mencoba membahas kedua jenis energi pilihan
tersebut. Energi angin dipilih sebagai representasi dari energi terbarukan karena porsinya yang
relatif besar disbanding jenis energi terbarukan lainnya.

2 ANALISIS DATA DAN HASIL


Pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar fosil sudah tidak dijadikan prioritas
kebijakan yang dijalankan untuk mencapai target pengurangan emisi karbon. Pilihannya hanya
tinggal energi nuklir atau energi terbarukan. Kedua jenis ini dianggap rendah emisi.
Tanpa memasukkan pembangkit air pada pembahasan tentang energi terbarukan kali ini,
energi terbarukan sendiri secara global sudah tumbuh dengan sangat cepat belakangan ini.
Sekitar 60% instalasi baru di eropa dan 50% di Amerika Serikat adalah dari sektor energi
terbarukan.
Pada tahun 2008 kapasitas pembangkit nuklir di dunia sekitar 370 GW menghasilkan
energi sebesar 2600 TWh. Porsi ini sekitar 14% dari total listrik global. Pembangunan
pembangkit nuklir cukup pesat pada awal pengoperaiannya di dunia pada tahun 1970-1980.
Pertumbuhan energi nuklir 20 tahun belakangan ini tidak terlalu berarti[2]. Hal ini dikarenakan
telah banyak energi terbarukan yang lebih dikembangkan seperti solar cell, pembangkit tenaga
angin, pembangkit tenaga air, pembangkit berbasis geothermal, sampai pengolahan material
teknologi nano untuk mendapatkan efisiensi yang tinggi.
Melihat grafik laju pertumbuhan masing-masing sekarang ini, kontribusi pertumbuhan
energi nuklir jauh lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan energi terbarukan. Sejak satu
dekade terakhir pertumbuhan energi nuklir hanya sekitar 2GW per tahun. Di sisi lain,
pertumbuhan energi terbarukan, pada kasus ini angin, mencapai 10 GW rata-rata pertahun.
Gambar 1 menunjukkan pertumbuhan energi nuklir dan angin.

Gambar 1. Pertumbuhan energi nuklir dan angin dalam GW. [1]


Walaupun pertumbuhan energi angin cukup tajam dalam tahun-tahun belakangan ini,
tetapi apabila dilihat secara menyeluruh, kontribusi energi terbarukan non-hidro masih sangat
jauh dibandingkan dengan kontribusi energi nuklir terhadap total kebutuhan energi global. Pada
saat sekarang ini tersedia 370 GW dari energi nuklir, dibandingkan dengan hanya 37 GW yang
tersedia dari energi terbarukan angin pada tahun 2009[1]. Dari sisi besar energi yang diberikan,
kontribusi energi terbarukan angin hanya sekitar 400 TWh, sekitar enam kali lebih kecil dari
kontribusi energi nuklir sebesar 2600 TWh yang ditunjukkan pada gambar 5.

Gambar 5. Kontribusi energi nuklir dan angin dalam Tera Watt hour (TWh). [1]

Ada perbedaan cara pandang yang cukup jelas dalam pengambilan kebijakan apakah
nuklir atau terbarukan yang akan dijadikan energi pengganti rendah emisi. Pembangkitan
berbasis nuklir adalah sesuatu yang besar, tidak banyak unit, dan terpusat. Berlawanan dengan
itu, pembangkitan berbasis energi terbarukan biasanya dibangun secara tersebar, skala kecil, dan
sangat bergantung terhadap keadaan lokal. Perbedaan ini sangat penting karena akan menentukan
arah pembangunan setelahnya, apakah akan terpusat atau tersebar. Terlepas dari hal dasar
tersebut, ada beberapa poin khusus antara energi nuklir dan energi terbarukan yang menjadi
dasar untuk pengambilan keputusan yang baik.

2.1 Investasi
Ciri mencolok dari pembangkit listrik berbasis nuklir adalah biaya investasi yang sangat
besar di awal pembangunan, walaupun biaya operasi setelah pembangkit berjalan bisa lebih
rendah daripada pembangkit listrik berbasis bahan bakar fossil.
Apabila teknologi lain harganya akan semakin murah seiring semakin banyak dipakai dan
teknologinya semakin matang, tidak demikian dengan nuklir. Sejak pertama kali mulai gencar
pembangunan pembangkit nuklir di tahun 1970-an[1], harga investasinya justru malah semakin
naik. Untuk harga pembangkit energi terbarukan akan semakin murah seiring semakin banyak
pemakaian dan semakin matangnya teknologi yang dipakai.

2.2 Ketersediaan
Penggunaan energi terbarukan membutuhkan perhitungan yang cermat untuk pemilihan
lokasi dan potensi yang tersedia. Sifat dari sumber-sumber energi terbarukan non-hidro yang
tidak konstan juga menuntut adanya prakiraan beban dan produksi energi yang akurat dari
operator. Semakin banyak porsi energi terbarukan yang masuk ke sistem yang ada berarti juga
meningkatkan ketidakpastian sistem dalam menghasilkan energi dan melayani permintaan
beban[3]. Tentu saja hal ini harus menjadi perhatian khusus.
Berbeda dengan energi nuklir, karena bahan bakar radioaktif, ketersediaan energi dapat
dijamin dengan mudah dan umumnya pada skala besar.

2.3 Waktu
Untuk tujuan pengurangan emisi yang cepat, pembangunan pembangkit berbasis nuklir
tidak akan bisa secepat pembangkit berbasis energi terbarukan. Pembangunan pembangkit
berbasis nuklir selalu membutuhkan waktu yang lama dan biasanya tertunda. Dengan kondisi
saat ini, waktu rata-rata yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pembangunan satu pembangkit
nuklir adalah 77 bulan, terlepas dari waktu yang diperlukan untuk studi kelayakan dan
pembebasan lahan. Dibandingkan dengan pembangkit biasa, pembangkit berbasis energi
terbarukan non-hidro relative cepat tersedia karena skala yang relative kecil dan biasanya parsial.

2.4 Infrastruktur listrik


Hal utama yang membedakan energi nuklir dengan energi terbarukan adalah pada nuklir
yaitu terpusat dan terbarukan. Hal ini berhubungan dengan infrastruktur listrik, seperti transmisi,
yang harus disediakan untuk menunjang pembangunan pembangkit energi-energi tersebut.
Pilihan yang harus disiapkan adalah pembangunan transmisi besar, atau menyiapkan
infrastruktur untuk pembangkitan terdistribusi.
Di sisi lain, kebijakan menyangkut bisnis listrik juga harus disiapkan. Pada pembangkitan
berbasis energi terbarukan berarti harus membuka jalan untuk pembelian daya dari arah
konsumen, artinya sekarang konsumen boleh menjual kelebihan energi yang dimilikinya dari
investasi pembangkit energi terbarukan yang dilakukannya. Berbeda dengan pembangkitan
berbasis nuklir yang besar dan terpusat dimana model bisnis listrik tradisional, dimana konsumen
hanya boleh membeli, masih bisa digunakan.

2.5 Sosialisasi
Pembangunan energi pengganti fossil baik nuklir maupun terbarukan tidak akan pernah
tersampaikan tanpa adanya sosialisasi kepada masyarakat. Masyarakat sudah terlalu nyaman
dengan energi fossil tanpa menghiraukan dampak kedepannya. Emisi karbon hasil pembakaran
batu bara untuk bidang industri, serta minyak bumi untuk bidang transportasi semakin lama
semakin terlihat efeknya pada pemanasan global.
Energi terbarukan merupakan energi yang ramah lingkungan dan sangat didukung oleh
masyarakat. Selain itu harganya semakin lama semakin terjangkau seiring meningkatnya kualitas
energi terbarukan. Di luar itu untuk pengoperasiannya dipengaruhi biaya tak terduga setelah
pembangunannya dan skala yang dijangkau juga kecil. Jadi untuk membangun energi terbarukan
untuk mencakup energi total yang dibutuhkan di Indonesia perlu dibangun energi terbarukan di
beberapa tempat yang tersebar secara menyeluruh.
Energi nuklir dimata masyarakat masih merupakan suatu hal yang mengerikan bila terjadi
kebocoran. Indonesia berencana membangun pembangkit listrik tenaga nuklir sebagai usaha
untuk mengatasi krisis energi. Lokasi yang direncanakan adalah Semenanjung Muria di pantai
utara Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan. Tetapi gagasan ini mengkhawatirkan para ahli
lingkungan. Mereka katakan keputusan ini berbahaya karena catatan keamanan Indonesia yang
buruk dan jumlah bencana alam yang terjadi setiap tahun. Namun rencana ini mendapatkan
dukungan internasional.
Permasalahan pada nuklir adalah menjaga keamanan reaksi fisi. Teknologi yang kini
digunakan adalah melapisi Uranium dengan selongsong material, air pendingin, bejana tekan,
reflector, perisai radiasi, hingga container tahan benturan. Kepala Pusat Teknologi Akselarator
dan Proses Bahan (PTAPB) BATAN Widi Setiawan mengungkapkan reaksi fisi bisa padam jika
diserap oleh material boron carbit. “Kami juga telah mengantisipasi kemungkinan terburuk. Jika
salah pun, akan tetap aman,” ujar Widi[4].
Untuk mendukung pembangunan reaktor nuklir guna menuntaskan masalah krisis energi,
telah diadakan talk show The Forum yang diselenggarakan , Jumat (05/03/10), mengulas tentang
manfaat nuklir bagi kesejahteraan masyarakat. Acara tersebut menghadirkan sejumlah
narasumber seperti kepala BATAN Hudi Hastowo, Presiden PT PLN Geothermal Udibowo
Septomulyono, Ketua Bidang Organisasi dan Kelembagaan Himpunan Masyarakat Nuklir
Indonesia Markus Wauran, Kepala BAPETEN As Natio Lasman, dan bertindak sebagai
moderator Soegeng Sarjadi.
Menurut kepala BATAN, Hudi Hastowo untuk menanggulangi masalah pemanasan
global, salah satu caranya adalah dengan menggunakan energi baru dan terbarukan yang
jumlahnya besar serta ramah lingkungan namun sedikit mengeluarkan gas CO2. Dan energi
tersebut salah-satunya adalah nuklir.
Terkait rencana pembangunan PLTN di Indonesia, Ketua Bidang Organisasi dan
Kelembagaan Himpunan Masyarakat Nuklir Indonesia Markus Wauran mengatakan komisi VII
DPR RI telah mendukung dan mendesak pemerintah untuk segera mengaplikasikan nuklir.
Selain itu dalam Peraturan Pemerintah telah dibuat aturan yang mendasar tentang PLTN.
Peraturan tersebut diantaranya mengharuskan PLTN dibangun di atas tanah, dan menggunakan
proven technology.
Kepala BAPETEN menyebutkan bahwa energi nuklir adalah suatu energi yang sangat
berbeda dengan bahan bakar lainnya. Bahan bakar yang telah dipakai dan kemudian
menghasilkan bahan bakar kembali hanya terdapat di nuklir. Maka tugas BAPETEN juga ikut
melakukan pengawasan agar plutonium hasil peluruhan uranium tersebut tidak digunakan untuk
hal-hal yang dapat menimbulkan potensi negatif[5].

3 KESIMPULAN
Dengan menganalisis data tentang perkembangan energi nuklir dan energi terbarukan
serta mempertimbangkan dukungan dari masyarakat dapat disimpulkan bahwa untuk energi
nuklir dan energi terbarukan masing-masing memiliki keunggulan dan kekurangan. Jalan
akhirnya tinggal menyesuaikan dengan kebutuhan sekarang tanpa mengabaikan kedepannya.
Dalam tulisan ini telah dipaparkan hal-hal yang harus dipertimbangkan sebelum pengambilan
kebijakan tentang pembangkitan energi rendah emisi. Dari sisi biaya dan waktu, energi nuklir
tidak memilki potensi yang baik daripada energi terbarukan, namun dari sisi jaminan
ketersediaan dan kuantitas, energi nuklir jelas memiliki keunggulan dibandingkan dengan energi
terbarukan. Baik nuklir ataupun energi terbarukan, kebijakan yang diambil harus berorientasi
jangka panjang. Tanpa visi jangka panjang mustahil pembangunan sektor energi bisa berjalan
lancar.

DAFTAR RUJUKAN

[1]A. Froggat, M. Schneider, Systems for Change: Nuclear Power vs. Energy
Efficiency + Renewables?, Henrich Boll Foundation, 2010
[2]Global Investment Trends in Green Energy Unveiled In Recent Reports
(2010), www.renewablepowernews.com
[3]H. Outhred, S. Bull, S. Kelly, Meeting the Challenges of Integrating
Renewable Energy into Competitive Electricity Industries, www.reilproject.org
[4] Kompas, Senin, 30 Juli 2007, hal.22 kol.1-2
[5]Bapeten.go.id

You might also like