You are on page 1of 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pemilikan tanah diawali dengan menduduki suatu wilayah yang oleh


masyarakat adat disebut sebagai tanah komunal (milik bersama). Khususnya
diwilayah pedesaan diluar Jawa, tanah ini diakui oleh hukum adat tak tertulis
baik berdasarkan hubungan keturunan maupun wilayah. Seiring dengan
perubahan pola sosial ekonomi dalam setiap masyarakat tanah milik bersama
masyarakat adat ini secara bertahap dikuasai oleh anggota masyarakat
melalui penggarapan yang bergiliran. Sistem pemilikan individual kemudian
mulai dikenal didalam sistem pemilikan komunal.
Situasi ini terus berlangsung didalam wilayah kerajaan dan kesultanan sejak
abad ke lima dan berkembang seiring kedatangan colonial Belanda pada
abad ke tujuh belas yang membawa konsep hukum pertanahan mereka.
Selama masa penjajahan Belanda, pemilikan tanah secara perorangan
menyebabkan dualisme hukum pertanahan, yaitu tanah-tanah dibawah
hukum Adat dan tanah-tanah yang tunduk kepada hukum Belanda. Menurut
hukum pertanahan colonial, tanah bersama milik adat dan tanah milik adat
perorangan adalah tanah dibawah penguasaan Negara.
Hak individual atas tanah, seperti hak milik atas tanah, diakui terbatas kepada
yang tunduk kepada hukum barat. Hak milik ini umumnya diberikan atas
tanah-tanah diperkotaan dan tanah perkebunan di pedesaan. Dikenal pula
beberapa tanah instansi pemerintah yang diperoleh melalui penguasaan.

Persoalan sengketa tanah mengenai hak Milik tak pernah reda. Masalah
tanah bagi manusia tidak ada habis-habisnya karena mempunyai arti yang

1
amat penting dalam penghidupan dan hidup manusia sebab tanah bukan saja
sebagai tempat berdiam juga tempat bertani, lalu lintas, perjanjian dan pada
akhirnya tempat manusia berkubur.

Sebagaimana diketahui sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria


berlaku bersamaan dua perangkat hukum tanah di Indonesia (dualisme).
Satu bersumber pada hukum adat disebut hukum tanah adat dan yang lain
bersumber pada hukum barat disebut hukum tanah Barat. Dengan
berlakunya hukum agraria yang bersifat nasional (UU No. 5 Tahun 1960)
maka terhadap tanah-tanah dengan hak barat maupun tanah-tanah dengan
hak adat harus dicarikan padanannya di dalam UUPA. Untuk dapat masuk ke
dalam sisem dari UUPA diselesaikan dengan melalui lembaga konversi.
Setelah adanya UUPA masih saja ada masalah yang lingkupnya pada hak
atas tanah, seharusnya ada suatu peraturan yang menjelaskan lebih jelas
dan mengikat mengenai hak atas tanah.
Undang-undang pertanahan tersebut diharapkan secepatnya dibuat dan
diundangkan agar dapat memberikan kepastian hukum dan jaminan
perlindungan hukum kepemilikan dan penguasaan hak atas tanah.

B. IDENTIFIKASI MASALAH

1. Apa yang dimaksud dengan Hak Atas Tanah?


2. Apa saja yang termasuk Hak Atas Tanah?
3. Bagaimanakah contoh kasus dalam permasalahan Hak Atas Tanah?

C. TUJUAN PENELITIAN

Pembuatan makalah yang berjudul Hak Atas Tanah ini memiliki tujuan yang
ingin dicapai, yaitu :
1. Agar kita dapat mengetahui apakah yang dimaksud dengan Hak Atas

2
Tanah
2. Agar kita dapat mengetahui apa saja yang termasuk dalam Hak Atas
Tanah
3. Agar kita mengetahui contoh-contoh kasus dalam permasalahan Hak
Atas Tanah
D. MANFAAT PENELITIAN

Manfaat yang penyusun dapat setelah menyusun makalah yang berjudul Hak
Atas Tanah ini, yaitu :
Manfaat teoritis :
1. Penyusun mendapat lebih banyak pengetahuan mengenai Hak Atas
Tanah
2. Penyusun mendapatkan pengetahuan mengenai apa saja yang termasuk
kedalam Hak Atas Tanah

Manfaat Praktis :
1. Penyusun dapat memaparkan mengenai Hak Atas Tanah
2. Penyusun dapat mengetahui bagaimana kepemilikan Hak Atas Tanah di
Indonesia
3. Jika suatu hari penyusun bekerja pada bidang Hukum Agraria atau yang
berhubungan dengan pertanahan maka penyusun sudah mengetahui
bagaimanakah penjelasan mengenai Hak Atas Tanah Tersebut serta
dapat pula mengaplikasikannya apabila terjadi masalah yang
berhubungan dengan Hak Atas Tanah.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. PENJELASAN

HAK ATAS TANAH Definisi hak atas tanah adalah hak yang memberi
wewenang kepada seseorang yang mempunyai hak untuk mempergunakan
atau mengambil manfaat atas tanah tersebut. Hak atas tanah berbeda
dengan hak penggunaan atas tanah.

Ciri khas dari hak atas tanah adalah seseorang yang mempunyai hak
atas tanah berwenang untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas
tanah yang menjadi haknya. Hak–hak atas tanah yang dimaksud ditentukan
dalam pasal 16 jo pasal 53 UUPA, antara lain:

1. Hak Milik
2. Hak Guna Usaha
3. Hak Guna Bangunan
4. Hak Pakai
5. Hak Sewa
6. Hak Membuka Tanah
7. Hak Memungut Hasil Hutan
8. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang
ditetapkan oleh undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara
sebagaimana disebutkan dalam pasal 53.

Dalam pasal 16 UU Agraria disebutkan adanya dua hak yang sebenarnya


bukan merupakan hak atas tanah yaitu hak membuka tanah dan hak
memungut hasil hutan karena hak–hak itu tidak memberi wewenang untuk

4
mempergunakan atau mengusahakan tanah tertentu. Namun kedua hak
tersebut tetap dicantumkan dalam pasal 16 UUPA sebagai hak atas tanah
hanya untuk menyelaraskan sistematikanya dengan sistematika hukum
adat. Kedua hak tersebut merupakan pengejawantahan (manifestasi) dari
hak ulayat. Selain hak–hak atas tanah yang disebut dalam pasal 16,
dijumpai juga lembaga–lembaga hak atas tanah yang keberadaanya dalam
Hukum Tanah Nasional diberi sifat “sementara”. Hak–hak yang dimaksud
antara lain :

1. Hak gadai,
2. Hak usaha bagi hasil,
3. Hak menumpang,
4. Hak sewa untuk usaha pertanian.

Hak–hak tersebut bersifat sementara karena pada suatu saat nanti sifatnya
akan dihapuskan. Oleh karena dalam prakteknya hak–hak tersebut
menimbulkan pemerasan oleh golongan ekonomi kuat pada golongan
ekonomi lemah (kecuali hak menumpang). Hal ini tentu saja tidak sesuai
dengan asas–asas Hukum Tanah Nasional (pasal 11 ayat 1). Selain itu,
hak–hak tersebut juga bertentangan dengan jiwa dari pasal 10 yang
menyebutkan bahwa tanah pertanian pada dasarnya harus dikerjakan dan
diusahakan sendiri secara aktif oleh orang yang mempunyai hak. Sehingga
apabila tanah tersebut digadaikan maka yang akan mengusahakan tanah
tersebut adalah pemegang hak gadai. Hak menumpang dimasukkan dalam
hak–hak atas tanah dengan eksistensi yang bersifat sementara dan akan
dihapuskan karena UUPA menganggap hak menumpang mengandung
unsur feodal yang bertentangan dengan asas dari hukum agraria Indonesia.
Dalam hak menumpang terdapat hubungan antara pemilik tanah dengan
orang lain yang menumpang di tanah si A, sehingga ada hubungan tuan
dan budaknya. Feodalisme masih mengakar kuat sampai sekarang di
Indonesia yang oleh karena Indonesia masih dikuasai oleh berbagai rezim.
Sehingga rakyat hanya menunngu perintah dari penguasa tertinggi. Sutan

5
Syahrir dalam diskusinya dengan Josh Mc. Tunner, pengamat Amerika
(1948) mengatakan bahwa feodalisme itu merupakan warisan budaya
masyarakat Indonesia yang masih rentan dengan pemerintahan diktatorial.
Kemerdekaan Indonesia dari Belanda merupakan tujuan jangka pendek.
Sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah membebaskan Indonesia dari
pemerintahan yang sewenang–wenang dan mencapai kesejahteraan
masyarakat. Pada saat itu, Indonesia baru saja selesai dengan
pemberontakan G 30 S/PKI. Walaupun PKI sudah bisa dieliminir pada tahun
1948 tapi ancaman bahaya totaliter tidak bisa dihilangkan dari Indonesia.
Pasal 16 UUPA tidak menyebutkan hak pengelolaan yang sebetulnya hak
atas tanah karena pemegang hak pengelolaan itu mempunyai hak untuk
mempergunakan tanah yang menjadi haknya. Dalam UUPA, hak–hak atas
tanah dikelompokkan sebagai berikut :

1.Hak atas tanah yang bersifat tetap, terdiri dari :

1. Hak Milik
2. Hak Guna Usaha
3. Hak Guna Bangunan
4. Hak Pakai
5. Hak Sewa Tanah Bangunan
6. Hak Pengelolaan

2.Hak atas tanah yang bersifat sementara, terdiri dari :

1. Hak Gadai
2. Hak Usaha Bagi Hasil
3. Hak Menumpang
4. Hak Sewa Tanah Pertanian

Pencabutan Hak Atas Tanah

6
Maksud dari pencabutan hak atas tanah adalah pengambilan tanah secara
paksa oleh negara yang mengakibatkan hak atas tanah itu hapus tanpa
yang bersangkutan melakukan pelanggaran atau lalai dalam memenuhi
kewajiban hukum tertentu dari pemilik hak atas tanah tersebut. Menurut
Undang–undang nomor 20 tahun 1961 tentang pencabutan hak atas tanah
dan benda–benda diatasnya hanya dilakukan untuk kepentingan umum
termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama milik
rakyat merupakan wewenang Presiden RI setelah mendengar pertimbangan
apakah benar kepentingan umum mengharuskan hak atas tanah itu harus
dicabut, pertimbangan ini disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri, Menteri
Hukum dan HAM, serta menteri lain yang bersangkutan. Setelah Presiden
mendengar pertimbangan tersebut, maka Presiden akan mengeluarkan
Keputusan Presiden yang didalamnya terdapat besarnya ganti rugi untuk
pemilik tanah yang haknya dicabut tadi. Kemudian jika pemilik tanah tidak
setuju dengan besarnya ganti rugi, maka ia bisa mengajukan keberatan
dengan naik banding pada pengadilan tinggi.

7
BAB III
ANALISIS

B. PENGERTIAN-PENGERTIAN :

1. HAK MILIK

Hak milik diatur didalam pasal 20-27 UUPA. Hak milik bersifat turun-temurun,
terkuat, dan terpenuh, berfungsi sosial. Maksudnya adalah, turun temurun
contohnya dapat diwariskan, terkuat maksudnya dapat dipertahankan,
terpenuh maksudnya adalah tidak mengenal jangka waktu, dan berfungsi
sosial yaitu harus sesuai dengan sifat dan tujuannya (pasal 6 UUPA).

Hak milik dapat dialihkan kepada siapa saja, dapat didirikan Hak guna
bangunan diatasnya.

Subjek hak milik :

a. Warga Negara Indonesia

b. Badan hukum tertentu ( PP No. 38 tahun 1963) yaitu, badan hukum


perbankan negara, koperasi pertanian, dan usaha
sosial/keagamaan.

Luas kepemilikan hak atas tanah dibatasi oleh CEILING yang dibatasi
secara maksimum dan minimum.

Berakhirnya suatu hak milik atas tanah yaitu dapat dengan cara :

a. Pencabutan hak

b. Melanggar prisip nasionalitas

c. Terlantar

8
d. Penyerahan secara sukarela

e. Tanahnya musnah misalnya karena bencana alam longsor

Dasar hak milik :

a. Konversi dari tanah-tanah eks-BW dan dari tanah eks-tanah adat

b. Dari hasil pengelolaan yang teruang dalam perjanjian pendirian hak


tersebut

c. SK pemberhentian hak oleh pemerintah BPN

2. HAK GUNA USAHA

Hak guna usaha diatur didalam pasal 28-34 UUPA, dan PP No. 40 tahun
1996.

Hak guna usaha merupakan hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai
oleh negara. Obyeknya merupakan tanah negara.

Subyek hak guna usaha :

1. Warga Negara Indonesia

2. Badan HukumIndonesia

Hak guna usaha dapat dapat dialihkan asal kepada WNI. Hal ini berdasarkan
prinsip asas nasionalitas.

Penggunaan hak guna usaha dapat digunakan untuk pertanian


(perkebunan), perikanan, peternakan. Dan dapat dijadikan objek hak
tanggunangan atau dapat dijaminkan.

Jangkau waktunya : Didalam UUPA 25 tahun, diperpanjang maksimal 35


tahun dengan perpanjangan waktu 25 tahun, perpanjangan atau
9
pembaharuan dapat diberikan sekaligus (pasal 11 PP 40 Tahun 1996) 30
tahun diperbaharui.

Berakhirnya hak : waktunya berakhir melanggar syarat pemberian, dilepas


haknya, dicabut haknya untuk kepentingan umum, tanahnya musnah,
melanggar prinsip nasionalitas.

Dasar hak : PMDN No 6 Tahun 1972 jo. Peraturan kepala BPN No 16 Tahun
1990 sampai dengan 100 HA asal tidak dengan fasilitas penanaman modal
oleh Kanwil BPN ; diatas 100 HA oleh Kepala BPN (Pasal 2 s.d 18 PP No 40
Tahun 1996)

3. HAK GUNA BANGUNAN

Hak untuk mengusahakan dan mempunyai bangunan atas tanah bukan


milik sendiri

Subyeknya : .

1. WNI

2. Badan Hukum Indonesia

Hak guna Bangunan dapat dialihkan asal kepada WNI, berdasarkan asas
nasionalitas

Dapat sebagai objek hak tanggungan

Jangka waktu hak guna bangunan : paling lama 30 tahun dapat


diperpanjang 20 tahun, perpanjangan/ pembaharuan dapat diberikan
sekaligus

Berakhirnya hak guna bangunan:

10
Jangka waktunya berakhir, dihentikan sebelum jangka waktu berakhir,
dilepas oleh pemegang hak, dicabut untuk kepentingan umum,
ditelantarkan, tanah musnah, bukan WNI lagi (pasal 30 ayat 2 jo pasal 20
PP 40/ 1996

Alas/ dasar hak guna bangunan

1. PMDN 6/1972 sampai 2000m2 oleh kepala BPN ps 22 PP 40/1996

2. Hak pengelolaan Vide PMDN 1/77 jo PMDN 6/1972 jo ps 22 ayat (2) PP


40/1996

3. Konversi tanah ex adat

4. Kinversi tanah ex BW : hak eigendom, hak opstal, hak erfacht

5. Karena perjanjian, pemilik HM dan seseorang untuk menimbulkan hak


guna bangunan

4. HAK PAKAI

1) Hak pakai keperdataan

Hak untuk menggunakan dan memungut hasil dari tanah yang dikuasai
negara/ tanah yang dikuasai seseorang dengan hak milik

Subjeknya : WNI, Badan Hukum Indonesia, orang asing penduduk Indonesia


( pasal 39 PP 40/ 1996), badan hukum asing yang mempunyai manfaat bagi
penduduk Indonesia dan badan hukum asing yang ada ijin operasional

Dapat dialihkan ; dapat menjadi objek tanggungan

Berakhirnya hak : jangka waktu berakhir, tanah musnah, dicabut untuk


kepentingan umum, ditelantarkan

11
Jangka waktu :

 Tidak jelas ( pasal 41-43 UUPA)

 PMDN 6/1972 = 10 tahun

 Pasal 45 PP 40/ 1996 -25 tahun dengan perpanjangan 20 tahun

 Hak pakai di atas hak milik = 25 tahun dengan pembaharuan 25 tahun

2) Hak pakai khusus :

Hak milik mempergunakan tanh untuk pelaksanaan tugas yang berasal dari
tanah yang dikuasai negara.

Subjeknya ialah departemen, LPND, PEMDA, perwakilan negara asing,


lembaga keagamaan, dan lembaga sosial (Lembaga pemerintah non
departemen).

Tidak dapat dialihkan :

Tidak dapat dijadikan objek hak tanggungan

Berakhirnya hak:

Jika tidak dapat dipergunakan lagi kembali kepada negara.

Jangka waktu :

Tidak terbatas selama masih dipergunakan (pasal 45 ayat 1 PP. 40 tahun


1996).

HAK HAK SEMENTARA

12
A. PENGERTIAN
Hak hak yang bersifat sementara dikatakan sementara karena mengandung
sifat-sifat yang bertentangan dengan UUPA (mengandung unsur
pemerasan). Maka hal-hal tersebut diusahakan agar dapat dihapus dalam
waktu singkat, sebelum ada peraturan-peraturan yang baru, sementara
ketentuan yang sudah ada dianggap masih berlaku. Hak-hak tersebut
adalah:
1. Hak Usaha Bagi Hasil, berasal dari hukum adat ”hak menggarap”, yaitu
hak seseorang untuk mengusahakan pertanian diatas tanah milik orang
lain dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi bagi kedua belah pihak
berdasarkan perjanjian. Diatur dalam Undang-Undang No.2 tahun 1960
tentang perjanjian bagi hasil, Permenag No. 8 tahun 1964, Inpres No.13
tahun 1980.
2. Hak Gadai, berasal dari hukum adat “Jual Gadai”, yaitu penyerahan
sebidang tanah oleh pemilik kepada pihak lain dengan membayar uang
kepada pemilik tanah dengan perjanjian, bahwa tanah itu akan
dikemalikan apabila pemilik mengembalikan uang kepada pemegang
tanah. Hal itu diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang No.56/ Prp/ 1960
tentang penetapan luas tanah pertanian, pasal 7 : “Barangsiapa
menguasai tanah pertanian dengan hak gadai, sudah berlangsung 7 tahun
atau lebih, wajjib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam
waktu sebulan stelah tanaman selesai dipanen. Dengan tidak ada hak
untuk menuntut pembayaran uang tebusan.”

Rumus : 7+0.5 – Waktu Berlangsungnya Gadai x Uang gadai


7

3. Hak Menumpang, yaitu hak yang mengizinkan seseorang untuk


mendirikan serta untuk menempati rumah diatas tanah pekarangan orang
lain dengan tidak membayar kepada pemilik pekarangan tersebut, seperti

13
hak pakai, tetapi sifatnya sangat lemah, karena setiap saat pemilik dapat
mengambil kembali tanahnya.
4. Hak Sewa Tanah Pertanian, bersifat sementara karena berkaitan dengan
pasal 10 ayat 1 UUPA yang menghendaki setiap orang atau badan hukum
yang mempunyai suatu hak atas tanah pertanian. Pada asasnya
diwajibkan mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif dengan
cara mencegah cara pemerasan.

Contoh Kasus :
Sengketa Lahan Meruya

Kasus ini bermula pada 1972. Waktu itu, Haji Djuhri bin Haji Geni, Yahya bin
Haji Geni, dan Muhammad Yatim Tugono membeli tanah-tanah girik dari
warga Meruya Udik, yang kini menjadi Kelurahan Meruya Selatan. Seluruh
tanah ini mencapai luas 78 hektare dan kemudian dijual dengan harga Rp
300 per meter persegi ke perusahaan properti milik Beny Rachmat itu.

Masalah muncul ketika Portanigra menuduh tiga mandor itu belakangan


membuat girik palsu dan menjual lagi tanah tersebut ke beberapa pihak.
Kasus pemalsuan girik ini ditemukan oleh Operasi Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban Pusat pimpinan Laksamana Sudomo pada 1978.

Dalam proses pemeriksaan, tiga mandor tadi mengaku menjual lagi girik
tersebut kepada beberapa perusahaan. Di antaranya ke pemerintah DKI
Jakarta pada 1974 seluas 15 hektare, kepada PT Intercone (2 hektare) dan
PT Copylas (2,5 hektare) pada 1975, serta kepada BRI seluas 3,5 hektare
pada 1977.

14
Pada 1986, Djuhri divonis hukuman setahun penjara oleh Pengadilan Negeri
Jakarta Barat. Di tingkat banding, Yahya terkena vonis setahun penjara.
Adapun Tugono, kasasinya ditolak Mahkamah Agung sehingga ia harus
masuk penjara pada 1989.

Berbekal putusan pidana itu, Portanigra kemudian menggugat perdata ketiga


mandor tersebut pada 1996. Ketika itu, Pengadilan Negeri Jakarta Barat
sudah meletakkan sita jaminan terhadap tanah seluas 44 hektare yang
diklaim milik Porta. Gugatan ini sempat ditolak di tingkat pertama dan
banding.

Namun, pada 2001, nasib berbalik memihak Porta ketika perkara sampai di
Mahkamah Agung. Mahkamah memenangkan Porta. Putusan perkara pidana
dan bukti jual-beli yang jadi pegangan putusan kasasi.

Meskipun bukan pihak yang bersengketa, warga kini berusaha melawan


putusan Mahkamah Agung dengan mengajukan gugatan perlawanan hukum
ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat.

Warga juga berusaha menghalangi eksekusi dengan mengadukan Portanigra


ke polisi karena adanya sejumlah kejanggalan di berkas perkara.

Kejanggalan itu di antaranya menyangkut domisili perusahaan tersebut di


Duta Merlin yang ternyata kosong dan nomor wajib pajak ganda atas nama
Portanigra.

Dari tiga terpidana, kini cuma Haji Djuhri yang sudah berusia 80 tahun dan
pikun itu yang ikut melawan. Sebab, Yahya sudah meninggal dan Tugono
pindah entah ke mana.

Portanigra sendiri kini menunggu upaya Dewan Perwakilan Rakyat mencari


solusi untuk tak merugikan pihak ketiga atau warga dalam sengketa tanah
tersebut.

15
Badan Pertanahan Jakarta yang disebut-sebut ikut punya andil membuat
masalah ini jadi kisruh sepertinya malah tak diganggu gugat. Padahal jika
dokumen tanah berupa hak girik dipegang PT Portanigra dan tanah tersebut
berstatus sengketa, mestinya ribuan warga itu tak bisa memiliki sertifikat hak
milik. Mestinya BPN tidak mengeluarkan dokumen kepemilikan tanah di atas
lahan yang terlibat sengketa.

Nasi telah menjadi bubur. BPN mengeluarkan sertifikat itu dan kini jadi
masalah.

Sumber : www.tempointeraktif.com

Analisis Kasus

Perspektif Legal

Kasus Meruya sebenarnya adalah persoalan pidana antara PT Porta Nigra


dengan Juhri CS. PT Porta Nigra yang dalam hal ini dirugikan dengan
penipuan yg dilakukan Juhri CS dalam proses pengambilalihan lahan di
Meruya. Secara legal, tanah yang dibeli Porta Nigra dari Juhri CS belum
beralih karena dasar hukum atas tanah tersebut, dalam hal ini girik
dinyatakan palsu oleh pengadilan pidana dan berdasarkan putusan
pengadilan negeri dimusnahkan.

Selain itu, dalam proses peralihan hak atas tanah, PT.Portanigra sebagai
perusahaan developer melakukan kesalahan karena tidakmelakukan
transaksi beli tanah sesuai aturan dan tidak mengurus sertifikat pasca
transaksi maka Porta Nigra belum dapat disebut sebagai pemilik secara
yuridis atas tanah tersebut.

Perspektif Yurisdiksi

Putusan Mahkamah Agung untuk melakukan eksekusi tanah di Meruya


memang patut dipertanyakan karena penerbitan sertifikat tanah adalah
16
putusan dari BPN (pejabat negara). jadi, yang dapat mempertanyakan
sertifikat tersebut adalah peradilan Tata Usaha Negara. Seharusnya putusan
dari MA adalah memaksa Juhri CS untuk mengganti kerugian akibat
penipuan yang dilakukannnya dan bukan menyerahkan tanah yg menjadi
objek jual beli pada awalnya. terlebih secara hukum proses peralihan hak
atas tanah tersebut belum terjadi. Atau setidaknya tidak ada dokumen hukum
yang menunjukkan hal tersebut.

BAB IV
KESIMPULAN

Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang yang
mempunyai hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah
tersebut. Di dalam pelaksanaannya banyak terdapat masalah-masalah akibat
ketidaktahuan atau ketidakmengertian masyarakat terhadap hak-hak atas
tanah.
Masalah tanah bagi manusia seperti tidak ada habisnya karena tanah
mempunyai arti yang sangat penting dalam penghidupan manusia
Oleh karena itu sangat penting bagi kita untuk mengetahui dan mengerti
mengenai hak-hak atas tanah agar kejadian-kejadian persengketaan tanah
seperti kasus diatas tidak terulang kembali.

17
DAFTAR PUSTAKA

 Harsono,Boedi,2008, Hukum Agraria Indonesia ,Himpunan


Peraturan-peraturan Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta
 Catatan kuliah Hukum Agraria
 Harsono, Boedi, 2008, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah
pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, isi dan
pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta
 Perangin, Effendi, 1986, 401 Pertanyaan dan Jawaban
Tentang Hukum Agraria, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
 www.google.com/kasushakatastanah
 www.google.com/hakatastanah
 http://id.wikipedia.org/wiki/Hak_atas_tanah "

18
19

You might also like