Professional Documents
Culture Documents
IMAM GHOZALI
“ Kritik Terhadap Para Filosof”
Disusun Guna Memenuhi Tugas Terstruktur Mata Kuliah
Filsafat Islam
Dosen Pengampu : Drs. Jonkenedi, M.Pd.I.
Oleh:
Muhammad Syein (092311044)
Ni’matusofa (092311045)
Nur Asih Utami (092311046)
PROGRAM STUDI BIMBINGAN KONSELING ISLAM BKI-2
JURUSAN DAKWAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PURWOKERTO
2010
1
1. PENDAHULUAN
1
http://www.albarokah.or.id. Diakses tanggal 28 oktober 2010.
2
2. BIOGRAFI SINGKAT IMAM GHOZALI
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad Al-
Ghazali2. Al-Ghazali lahir di Thus bagian dari kota Kurasan, Irak pada 450 H
(1056 M). Diperkirakan Al-Ghozali, hidup dalam suasana kesederhanaan sufi
tersebut sampai usia 15 tahun (450-465 H).
Dalam perkembangannya Imam Al-Ghazali lebih dikenal sebagai ulama
thasawuf dan aqidah. Oleh sebab itu sumbangannya terhadap bidang falsafah
dan ilmu pengetahuan lain tidak boleh dinafikan. Al-Ghazali merupakan
seorang ahli Sufi yang bergelar "Hujjatul Islam". Al-Ghazali telah dilantik
sebagai Mahaguru Universitas Baghdad pada tahun 488 H (1095 M). Al-
Ghozali mengunjungi kota kelahirannya, Thus disini pun ia tetap berkhalwat.
Keadaan berlangsung selama 10 tahun. Pada periode itulah ia menulis karyanya
yang terbesar ihya ‘Ulumudin. Dalam kitab tersebut, Imam Al -Ghazali
mengatakan bahwa ilmu agamalah yang wajib dipelajari secara pribadi oleh
para muslimin. Sementara ilmu dunia, hanyalah fardhu kifayah. Beliau juga
mengarang kitab Tahafut al-Falasifah yang menjelaskan tentang kerancuan-
kerancuan dalam dunia filsafat. Imam Ghozali yang bergelar Hujjatul Islam
meninggal dikota kelahirannya Thus pada hari Senin 14 Jumadil Akhir 505
H/111 M.
3
Al-Ghozali, sebagaimana halnya para penganut aliran al-Asy’ariyah
menyelaraskan akal dengan naql. Ia berpendapat bahwa akal harus digunakan
sebagai penopang, karena ia bisa mengetahui dirinya sendiri dan bisa
mempersepsikan benda lain, yang jika lepas dari sumbat angan-angan dan
khayalan maka ia bisa mempersepsi benda-benda secara hakiki. Namun al-
Ghozali menghentikan akal pada batas-batas tertentu, dan hanya naql-lah yang
bisa melewati batas-batas ini. Mengenai problematika sifat-sifat (Allah), al-
Ghozali memegang pendapat yang dianut oleh al-Asy’ari, sehingga ia tidak
menerima pendapat yang dikemukakan oleh aliran Hasywiah 3 maupun
Mu’tazilah4, karena kedua aliran ini ekstrim. Yang paling baik adalah tengah-
tengah5.
3
Aliran Hasywiah berpegang pada arti dari suatu teks(ayat-ayat al-Qur’an dan as-
Sunnah) agar mereka tidak mengosongkan Allah dari sifat-sifat, sehingga mereka antropomorfis.
4
Mu’tazilah berlebih-lebihan dalam menyucikan Allah, sehingga mereka harus
menafikan sifat-sifat dari Allah.
5
Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hlm,
74.
6
Ibid, hlm, 75.
7
Amin Abdullah, Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam,(Bandung: Mizan,
2002) hlm. 58.
4
Karena teologi ini bersifat rasional, salah satu asumsi dasarnya adalah
bahwa rasio manusia mampu menyelesaikan sebagian besar dari persoalan-
persoalan teologi. Asumsi inilah sesungguhnya yang ingin ditolak oleh Al-
Ghazali; dan penolakan ini, sebagaimana terjadi, melibatkan pembuktian
kesalahan asumsi-asumsi tersebut secara rasional. Jika ini dapat diperlihatkan,
kita tidak lagi dapat mempercayai akal pikiran manusia dalam usaha ini; dan
sebaliknya kita mesti menolak metafisika rasional dan menggunakan bantuan
Wahyu untuk pengetahuan semacam itu.8
Al-Farabi dan Ibnu Sina, selaku Muslim, tidak menolak bahwa Tuhan
adalah pencipta abadi alam dan semesta, tetapi mereka percaya bahwa
aktivitas Tuhan hanya mencakup memunculkan dalam keadaan aktualitas
kemungkinan-kemungkinan yang sebetulnya inheren dalam materi pertama
yang dinyatakan sebagai abadi bersama Tuhan. Inisesuai dengan pemahaman
Aristotelian tentang perubahan, bukan sebagai jalan pintas dari tidak ada
menjadi ada , akan tetapi, sebagai proses melalui apa yang disebut “wujud
potensial” berkembangmelalui “bentuk” menuju “wujud aktual”. Oleh karena
itu, Tuhan selaku pencipta abadi konstan mengombinasikan materi dengan
bentuk-bentuk baru; Dia tidak menciptakan alam semesta muncul dari
ketiadaan belaka pada saat tertentu pada masa lampau. Sebagai akibat
logisnya, mereka percaya pada keabadian waktu.9
Keabadian Dunia
8
Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, hlm. 58.
9
Ibid, hlm. 62.
10
Ibid, hlm. 62.
5
Al-Ghazali menolak menggunakan asumsi-asumsi yang dinyatakan
oleh falasifah dan memperlihatkan bahwa mempercayai asal-usul dunia dari
kehendak Tuhan yang abadi dalam waktu tertentu sesuai dengan pilihan-Nya
sama sekali tidak melanggar prinsip-prinsip fundamental logika. Sedangkan
asumsi falasifah bahwa efek memiliki sebab dan bahwa suatu sebab
merupakan kekuatan di luar efek yang disebabkan, tidak memiliki pemaksaan
logis tentang hal itu. Adalah sah untuk percaya bahwa kehendak Tuhan
memperlakukan suatu sebab atau setidak-tidaknya bahwa sebab tersebut tidak
terletak di luar, tetapi di dalam kehendak-Nya. Adalah mungkin untuk berpikir
bahwa kehendak Tuhan bersifat abadi dan objek dari kehendak tersebut telah
terjadi pada saat tertentu dalam waktu. Di sini harus dibuat pembeda antara
keabadian objek dari kehendak Tuhan. Oleh karenanya secara logis bukan
tidak sah untuk menegaskan keyakinan ortodoks bahwa Tuhan secara azali
berkehendak bahwa dunia harus terwujud secara demikian dan pada saat
tertentu dalam waktu.11
Teori Emanasi
6
atasnya dan akan menjadi sebab bagi unit lain di bawahnya menurut model
linear. Namun, dalam kenyataan tidak demikian. Menurut falasifah, setiap
objek setidaknya tersusun dari forma dan materi. Bagaimana benda yang
tersusun (berkomposisi) kemudian terwujud ? Apakah dia hanya memiliki satu
sebab ? Jika jawabannya afirmatif, maka pernyataan bahwa “dari satu hanya
satu yang muncul” itu batal dan tidak berarti lagi. Sebaliknya, jika benda
berkomposisi memiliki sebab gabungan, maka persoalan yang sama akan
terulang kembali begitu seterusnya hingga pada titik yang majemuk secara
niscaya bertemu dengan sederhana. Kontak antara efek majemuk dan sebab
tunggal di mana saja dia terjadi akan membuktikan kesalahan prinsip tersebut.
Jadi, Seluruh maujud di alam semesta ditandai dengan ketersusunan dan hanya
Prinsip pertama, yakni Tuhan sendiri, yang dapat dikatakan memiliki
kesederhanaan dan kesatuan sejati. Hanya Dia semata yang memiliki identitas
sempurna, baik esensi maupun eksistensi. Dapat disimpulkan bahwa apakah
prinsip ”hanya satu dari yang satu” yang gagal menjelaskan ketersusunan dan
keanekaragaman, seperti yang tampak di alam semesta, ataukah memang
Tuhan tidak memiliki keesaan murni. Seluruh premis falasifah yang berkaitan
dengan teori mereka tentang emanasi dikritik oleh Al-Ghazali tanpa
pengecualian12.
12
Ibid, hlm, 64.
7
untuk membangun batang tubuh pengetahuan dalam upaya memahami
fenomena alam, terutama etika mistiknya.13
KESIMPULAN
13
Ibid, hlm. 65.
8
dalam keraguan dan kegelapan. Segala kebenaran, keadilan, kecintaan, dan
keyakinan kita memang menjadi pintar (rasio), pandai mengumpulkan fikiran
kita sendiri. Tetapi, jiwa menjadi kosong. Sebab, akal saja tidaklah dapat
mencari nilai.
DAFTAR PUSTAKA