You are on page 1of 8

PSIKOLOGI AGAMA

PENGAMPU: ARIF WIBISONO ADI

TUJUAN MATA KULIAH

- Agar mahasiswa memahami sejarah perkembangan cabang


psikologi yang disebut Psikologi Agama (The Psychology of
Religion), yang khusus mempelajari perilaku religius.
- Agar mahasiswa memahami latar belakang beberapa fenomena
perilaku religius seperti Konversi dan lain-lainnya.
- Agar mahasiswa memahami perkembangan perilaku religius sejak
lahir sampai lanjut usia, tahap-tahap dan masing-masing ciri
khasnya.
- Agar mahasiswa memahami apa yang dimaksud dengan
Kematangan Religius (The Religious Maturity) serta ciri-cirinya.

BAB I. DEFINISI DAN SEJARAH PSKOLOGI AGAMA

= DEFINISI:

Psikologi Agama adalah bidang psikologi yang mempelajari Perilaku


Religius (Religious Behavior).

= SEJARAH:

Pada hakekatnya sejarah Psikologi Agama dapat dibagi dalam tiga


tahap:

1). Early Period (l899 – 1930),

Tonggak sejarah timbulnya cabang baru psikologi: Psikologi Agama.

- 1899 Edwin Starbuck : “The Psychology of Religion”,

- 1902 William James: “The Varieties of Religious Experience”.


2). Middle Period (1930 – 1950),

Perkembangan Psikologi Agama dalam periode ini seolah macet, tidak ada
penulisan buku atau penelitian tentang perillaku religius pada waktu itu. Hal
ini disebabkan oleh perkembangan psikologi dan kondisi agama pada waktu
itu.

Pertama-tama perkembangan psikologi didominasi oleh aliran Psikoanalisa


Freud yang pandangannya tentang agama agak kurang mengenakkan. Freud
beranggapan bahwa bukan Tuhan yang menciptakan manusia, tapi
manusialah yang menciptakan Tuhan. Karena manusia sering frustrasi
terhadap tokoh ayah, maka diciptakanlah Tuhan sebagai “Substitute of
Father Figure” yang lebih sempurna, yang bersifat serba Maha. Juga
pandangan Freud bahwa orang yang aktif menjalankan ibadah agama itu
justru menderita neurosis jenis “obsessive compulsive reaction”. Pandangan
Freud seperti itu membikin marah kaum agama, dan mereka tidak rela
agama yang sakral dijadikan objek psikologi. Maka Psikologi Agama
mengalami kemacetan.

Di samping itu pada waktu itu aliran psikologi yang dominan pula adalah
Behaviorisme, yang mengutamakan hal-hal yang empiris dan inderawi dalam
diri manusia sebagai objek psikologi, kalau mau mengembangkan psikologi
sebagai ilmu yang ilmiah. Perilaku religius dalam Psikologi Agama banyak
membahas hal-hal yang tidak empiris dan tidak inderawi. Mereka takut
psikologinya dianggap tidak ilmiah sehingga Psikologi Agama tidak banyak
ditulis.

Kondisi agama pada waktu itu: 1930-1950 sedang digunakan oleh


imperialisme Barat yang sedang mencapai puncaknya untuk melanggengkan
kekuasaannya. Agama non-Barat dipelajari supaya kaum agamanya dapat
ditundukkan dan dikuasai, contoh Snouck Hurgronje yang mempelajari Islam
di Aceh supaya Aceh dapat mudah dikuasai atau dijajah oleh imperialisme
Belanda. Maka Psikologi yang mempelajari Agama ditakutkan tidak obyektif
dan ada maksud yang kurang terpuji seperti itu, maka kajian Psikologi
Agama lebih sering dihindari.
3). Contemporary Period ( >1950 )

Sehabis Perang Dunia II, banyak orang mengalami kekosongan hidup, dan
agama mulai dibutuhkan lagi dalam kehidupan manusia. Bahkan situasi
kontemporer makin menyadarkan manusia, bahwa agama memegang
peranan penting dalam kehidupan manusia. Psikologi Agama mulai dipelajari
dan diteliti lagi bahkan semakin lebih intensif dan mendalam.

BAB II. DIMENSI-DIMENSI KOMITMEN RELIGIUS

Glock & Stark: (ada lima dimensi agama: Idin ex Rico)

1. the Ideological Dimension (Religious Belief), seberapa jauh seseorang


mempercayai ajaran-ajaran atau pandangan-pandangan dalam agamanya,

2. the Intellectual Dimension (Religious Knowledge), seberapa jauh seseorang


mempunyai pengetahuan tentang agamanya,

3. the Experiential Dimension (Religious Feeling), seberapa jauh seseorang


mempunyai perasaan kedekatan kepada Tuhan dalam agamanya,

a). confirming type; seseorang pernah merasakan bahwa Tuhan


memang betul-betul ada, dia mengkonfirmasi,

b). responsive type; seseorang pernah merasakan bahwa Tuhan telah


merespons doa-doa atau permintaannya,

c). ecstatic type; seseorang pernah merasakan bahwa dia mengalami


kebahagiaan yang sangat, ekstatif, pengalaman mistik, ketika dekat dengan
Tuhannya,

d).revelational type, seseorang pernah mendapatkan


wahyu/ilham/pesan-pesan/risalah/panggilan dari Tuhannya untuk
menyampaikan misinya.

4. the Ritualistic Dimension (Religious Practice), seberapa jauh seseorang


menjalankan ritual (upacara ibadah) dalam agamanya,
5. the Consequential Dimension (Religious Effects), seberapa jauh seseorang
konsekuen dengan agamanya, termasuk konsekuen di bidang moral dan
kepribadian, sebagai penganut agama.

Tapi belum tentu kalau suatu dimensi tinggi pada seseorang, maka dimensi
lain pun tentu tinggi pula. Kadang yang satu tinggi, yang lain rendah. Contoh
seorang orientalis pengetahuan agamanya tinggi, tapi kepercayaannya
rendah. Ada yang masih buta huruf Al-Qur’an yang pengetahuan agamanya
rendah, tapi kepercayaannya tinggi. Apa-apa yang diuraikan pak Kiai tentang
Islam selalu dipercayai penuh. Dimensi yang sering jatuh walau dimensi lain
cukup tinggi adalah dimensi konsekuensi, karena akhlaqnya sering tidak
sesuai sebagai seorang muslim atau bahkan sudah haji. Tapi kalau seluruh
dimensi itu tinggi, maka dikatakan beragama secara kaaffah.

Dimensi 1 dan 2 termasuk unsur Cognitive, dimensi 3 termasuk unsur


Affective, dimensi 4 dan 5 termasuk unsur Behavioral.

BAB III. KONVERSI AGAMA

ARTI

Conversion secara etimologis berasal dari kata Conversio yang artinya pindah
atau berubah, taubat (agama).

Secara terminologi Conversion menurut Max Heinrich berarti tindakan


seseorang atau sekelompok orang masuk atau berpindah ke suatu sistem
kepercayaan (agama) atau perilaku (agama) yang berlawanan dengan yang
sebelumnya.

William James mengemukakan ada dua macam keberagamaan:

1. Healthy-Mindedness.
Gembira, optimis, positif, happy (bahagia), joy.
2. Sick Soul.
Sedih, pesimis, negatif.
Konversi pada hakekatnya adalah kelahiran kembali atau lahir
untuk kedua kalinya (twice-born) ke arah beragama yang lebih
positif. Konversi merupakan peningkatan atau perubahan ke arah
kualitas spiritual yang lebih tinggi di bidang state of consciousness.
Ciri-cirinya menurut William James
- Perubahan arah pandangan atau keyakinan,
- Dipengaruhi kondisi kejiwaan: berproses atau mendadak.

Starbuck mengemukakan ada dua tipe Konversi:

1. Volitional Type (Gradual / Step by step), berdasar trial and error.


2. Self-Surrender Type (Spontaneous / Sudden), karena insight, Aha
Erlebnis.
Ada yang menambahkan
3. Religious Socialization.

TAHAP-TAHAPNYA

Menurut Zakiah Daradjat, ada empat tahap proses konversi agama:

1. Masa Tenang.
2. Masa Krisis.
3. Masa Konversi.
4. Masa Tenang Baru.
5. Masa Ekspresi Konversi.

Pada Konversi Sejati (Genuine Converts) timbul suatu fenomena


yang disebut oleh William James sebagai Saintliness atau Kesalehan,
yang mempunyai tanda-tanda dalam dan tanda-tanda luar.

Tanda-tanda dalam Kesalehan (Inner Traits):

1. Timbul perasaan akan adanya kehidupan yang lebih luas daripada


dunia material ini, dengan keyakinan bahwa Kekuasaan Ideal memang
betul-betul ada.
2. Timbul perasaan adanya kontinuitas antara Kekuasaan ini dengan
kehidupannya sendiri, yang diaserahkan seluruhnya kepadaNya.
3. Timbul perasaan akan kebahagiaan (elation) dan kebebasan (freedom)
ketika egoismenya luluh.
4. Timbul pengarahan pusat emosinya ke arah afeksi yang sangat positif,
penuh cinta kasih, dan harmonis.
Sedangkan tanda-tanda luar dari Kesalehan (Outer Manifestation):

1. Asceticism (Zuhud).
Tidak rakus dunia. Hal-hal yang fana tidak melekat di hatinya, tapi
dimanfaatkan untuk mendapatkan yang kekal abadi.
2. Strength of Soul (Kekuatan Jiwa).
Tahan menderita karena merasa Kekuatan Ideal menyertainya
selalu.
3. Purity (Wara’ – Kemurnian).
Penuh kehati-hatian, bukan yang haram saja yang dihindari, tapi
bahkan yang syubhatpun dijauhinya supaya rasa bahagia dan
kebebasan yang timbul karena ridhoNya jangan sampai terlepas
hilang.
4. Charity (Kedermawanan – Rasa Sosial).
Timbul Rasa Cinta Kasih yang mendalam terhadap sesama manusia,
apalagi terhadap mereka yang sedang menderita atau
membutuhkan.

BAB IV. TEORI TENTANG TIMBULNYA KEBUTUHAN MANUSIA AKAN AGAMA

1. The Four Wishes Theory dari Thomas:


- Security
- Recognition
- Response
- New Experience
2. Conflict Theory dari Stratton.
3. Eros & Thanatos Conflict Theory dari Clark (gabungan teori Stratton &
teori Freud).
4. The Sixth Sense Theory dari Rudolf Otto: Numinous Experience (Sejak
lahir manusia sudah dibekali oleh Penciptanya kemampuan untuk
menghayati keberadaanNya dan kemampuan untuk berkomunikasi
denganNya, itulah agama).
5. Pandangan Islam.
BAB V. CIRI-CIRI DAN TAHAP PERKEMBANGAN RELIGIUS PADA ANAK

Ciri agama pada anak menurut MacLean:

1. Ideas accepted on authority (Ide-ide diterima dari otoritas).


2. Unreflective (tidak kritis).
3. Egocentric (berpusat pada diri sendiri).
4. Anthropomorphic (bentuk-bentuk seperti manusia).
5. Verbalized and Ritualistic (pentingkan kata-kata dan ritual).
6. Imitative (bersifat meniru).
7. Spontaneous in some respects (spontan dalam beberapa hal).
8. Wondering (penuh ingin tahu).

Tahap-tahap perkembangan religius pada anak menurut Ernest Harms:

1. The Fairy-tale Stage (3 - 6).


2. The Realistic Stage (7 - 12).
3. The Individualistic Stage (13 - 18):
a. Conventional / Conservative.
b. Mystical with symbols – (individual, personal, unique).
c. Like primitive or ancient religion (universal humanistic ethic).

Perkembangan doa pada anak menurut Long, Elkind & Spilka:


1. Global, undifferentiated (5 – 7).
2. Concrete, differentiated (7 - 9).
3. Abstract, differentiated (11 – 12).

Cara Tuhan kabulkan doa:

- Direct.
- Indirect.

You might also like