You are on page 1of 6

PENDAHULUAN

Suatu masa dimana Belanda menyerahkan kekuasaanya di Indonesia


kepada Inggris, dikarenakan pada waktu itu belanda mengalami kekalahan atas
peperangan dengan Perancis. Kecuali daerah Bengkulu yang masih tetap menjadi
daerah kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda. Belanda menyerahkan daerah
jajahannya kepada Inggris karena Pangeran William V melarikan diri ke Inggris
meminta perlindungan agar daerah jajahanya tidak direbut oleh negara lain. Dan
setelah Belanda bebas dari Perancis maka daerah tesebut dikembalikan.

Keadaan masyarakat Jawa pada masa itu sangat sengsara karena dalam
penarikan pajak masih menggunakan perantara Bupati kemudian hasil pajak itu
diberikan kepada pemerintahan kolonial. Namun Bupati sendiri dalam penarikan
pajak terkadang juga meminta jatah dari rakyat. Sehingga rakyat semakin
sengsara karena tidak mendapatkan hasil apa-apa dari penanaman dalam sisten
tanam paksa. Inilah yang membuat Daendels dan Raffles yang memiliki
pemikiran yang liberal ingin mengubah cara kerja Bupati.

Daendels yang berkuasa pada tahun 1808 – 18011 berusaha untuk


menghapus sistem feodal yang dipakai oleh Belanda sendiri. Namun hal itu tidak
semudah membalikkan telapak tangan, sebab di pemeritahan pribumi sendiri
sistem feodal masih berlaku. Jadi bagaimanapun Daendels harus menyesuaikan
dengan keadaan di daerah pribumi. Salah satu tindakan yang ia lakukan adalah
mengangkat para Bupati sebagai pegawai pemerintahan namun masih mempunyai
kekuasaan feodal. Sehingga pada saat penarikan pajak bupati masih digunakan
sepagai petugas penarik dan juga bupati sebagai orang yang mengawasi jalannya
sistem tanam paksa.

Namun yang saya bahas disini bukanlah bagaimana kerja Daendels dalam
mengubah sistem feodal yang ada di daerah pribumi melainkan kedudukan bupati
pada masa daerah jajahan Belanda berada dalam pemerintahan Inggris. Yaitu pada
masa pemerintahan dipegang oleh Raffles.
PEMBAHASAN

Bupati adalah raja yang berada di daerah yang berkuasa penuh atas daerah
kekuasaannya. Apabila daerah kekuasaan bupati itu jauh dari pusat kerajaan
kekusaannya semakin kuat kedudukannya atas daerah tersebut. Menurut sistem
feodal yang berlaku selama berabad-abad para bupati di daerahnyamempunyai
tanah kedudukan serta memungut hasil serta mengerahkan tenaga penduduknya
untuk pelbagai keperluan jabatan dan rumah tangganya.1 Selain itu bupati juga
berperan sebagai perantara antara pemerintah kolonial dan rakyat. Bupati
beranggapan bahwa mereka juga memiliki tanah di daerahnya, yang kemudian
ssifat tersebut menurun kepada penguasa-penguasa dibawahnya.

Kedudukan bupati yang strategis itu juga menimbulkan permasalahan bagi


pemerintah kolonial dan rakyat pada umumnya. Sebab kadang dalam menjalankan
tugasnya sebagai perantara, bupati menyelewengkan wewenangnya. Dalam
pendahuluan di atas telah dikatakan bahwa dalam penarikan pajak terkadang
bupati juga meminta jatah dari rakyat. Bukan hanya bupati yang meminta jatah
dari rakyat, penyewa tanah juga memiliki kedudukan seperti bupati sudah barang
tentu mempunyai hasrat besar untuk mengambil keuntungan yang sebesar-
besarnya.2 Para penyewa melakukan hal demikian selama mereka menyewa tanah.
Sehingga rakyat tambah sengsara dan pemerintah kolonial sendiri mengalami
kerugian karena dianggap tidak manusiawi sebab rakyat pribumi dibiarkan
sengsara.

Kedudukan bupati mulai berkurang sejak kolonialisasi mulai diterapkan di


Indonesia. Dimulai sejak Dirk van Hogendorp berkuasa yaitu pada tahun 1799,
yaitu setelah VOC dibubarkan dan daerah jajahan dipegang langsung oleh
pemerinthan Belanda. Van Hogendorp mengusulkan agar kekuasaan bupati
dikurangi dan pnguasa daerah lainnya diatur kembali.3
1
Sartono Kartodirjo. Pengantar sejarah indnesia baru : 1500-1900, 1999.
Hal. 299.
2
.Ibid. hal 301
3
. Ibid. hal. 290
Kekuasaan benar-benar berkurang saat Inggris berkuasa di Indonesia.
Yaitu pada saat Thomas Stanford Raffles (1811 – 1816) menjadi penguasa d I
Indonesia menggantikan Daendels. Raffles adalah wakil dari raja muda Lord
Minto. Seperti halnya Daendel, Raffles juga ingin menerapkan sistem liberal. Dan
ia juga hendak menghapuskan penyerahan paksa dan jasa-jasa – perorangan, dan
diadakannya kebebasan bercocok tanam dan berdagang.4 Selain itu pada saat
Raffles berkuasa kekuasaan bupati dibatasi, dan saat pemungutan pajak para
bupati tidak lagi berperan sebagai perantara. Bupati diberlakukan layaknya
pegawai biasa yang bekerja pada pemerintah yang kemudian digaji oleh
pemerintah.

Selain mengatur kekuasaan bupati Raffles juga mengahapus seluruh


pengerahan wajib dan wajib kerja dengan member kebebasan penuh untuk kultur
dan perdagangan, pemerintah secara langasung mengawasi tanh-tanah,hasil
ipungut oleh langsung oleh pemerintah ttanpa perantara bupati yang tugasnya
terbatas pada dinas-dinas umum serta penyewaan tanah dibeberapa daerah
dilakukan berdasarkan kontrak dan terbatas waktunya.

Dalam penarikan pajak pun pada saat Raffles jumlah pajak yang dipungut
diatur ulang, yaitu diatur dengan menggunakan sistem barat, setiap hasil
penanaman sawah dipungut 1/5, 2/5, atau seperrtiga dari hasil panen kotor (bruto)
dalam bentuk uang atau beras. Dalam pelaksanaan cara ini mengalami kesulitan,
salah satunya adalah belum ada alat yang tepat untuk untuk mengukur tanah
secara benar, baik luas tanah yang ditanami maupun tingkat kesuburan tanah.
Terkadang dalam penarikan pajak ini terjadi kecurangan yang dilakukan oleh para
lurah. Pada saat laporan kepada pemerintah mereka memberikan laporan palsu
tentang luas wilayah tanah yang mereka garap.

Dalam pelaksanaannya pembaharuan sistem kerja bupati tentu saja tidak


mudah, banyak sekali pertentangan antara bupati dan raja dengan pemerintah
pusat. Hal ini disebabkan karena mereka merasa bahwa kekuasaan mereka telah
berkurang karena mereka hanya dianggap sebagai pegawai yang menerima gaji
4
. Mawarti dan Nugroho. Sejarah nasiona Indonesia V, 1976. Hal. 3.
tiap bulannya. Para bupati tidak ingin kehilangan kekuasaanya di daerah. Mereka
tidak ingin dilangkahi oleh pemerintah kolonial, sehingga mereka menolak Sistem
Tanam Paksa dengan berbagai aksi obstruksi terhadap Sistem Tanam Paksa.
Berbagai cara dilakukan demi mereka dapat memberlakukan cara yang telah lama
berlaku di daerah. Mereka ingin tetap mempertahankan sistem feodal lama.
Pemberontakan pun kadang terjadi dikalangan para bupati yang ditujukan kepada
pemerintah kolonial. Seperti yang terjadi di Tegal, Pekalongan, dan Cirebon
banyak orang yang tidak berani keluar dari rumah karena ada pencurian secara
besar-besaran yang rupanya dibiarkan bahkan mungkin digerakkan oleh penguasa
sendiri. Ada pula gerombolan perampok yang diorganisasi oleh bupati dengan
akibat bahwa tidak cukup orang yang mengerjakan tanah untuk STP. Sifat
kepemimpinan bupati sebagai otoritas tertingi di daerahnya adalah pomorfik
( bersegi banyak), maka dalam penyelenggaraan STP agak dipersempit , yaitu
secara khusus mengawasi dan menjamin produksi. Dipandang secara demikian,
itu berarti suatu kemerosotan atau seperti yang disebut Schrieke, bupati berubah
menjadi mandor tanam paksa.5

Dengan demikian bahwa kedudukan kekuasaannya telah berkurang pada


daerah yang mereka pimpin. Jelaslah mereka hanya sebagai pengawas jalannya
penarikan pajak yang dilaksanakan oleh pemerintah kolonial dan menjadi
pengawas dalam pelaksanaan tanam paksa. Mereka kehilangan pengaruh di
wilayah yang mereka kuasai sendiri. Dapat dikatakan mereka hanya sebagai
simbol kekuasaan saja di daerah yang mereka kuasai, dan juga mereka kehilangan
para pengikut yang dapat mereka manfaatkan sebagai pembantu mereka,
meskipun ada sedikit yang tetap mau menjadi bawahan bupati.

5
Sartono Kartodirjo. Pengantar sejarah indnesia baru : 1500-1900, 1999.
Hal. 308-309.
KESIMPULAN

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa bupati adalah penguasa yang
berada didaerah yang berkuasa penuh atas daerah kekuasaannya. Apabila daerah
kekuasaan bupati itu jauh dari pusat kerajaan kekusaannya semakin kuat
kedudukannya atas daerah tersebut.

Kedudukan bupati mulai berkurng sejak awal diterapkannya kolonialisasi


di daerah jajaahan Belanda yaitu Indonesia. Berawal dari pemerintahan Van
Hogendorp kemudian Daendels dan Raffles, mereka mncoba untuk mengubah
sistem foudal yang ada di daerah menjadi liberal. Yaitu mengubah penarikan
pajak yang semula melalui perantara Bupati menjadi penarikan pajak secara
langung yang dilakukan oleh pemerintah kolonial.

Pada masa Raffles kedudukan bupati semakin di bawah. Mereka hanya


sebagai pegawai kolonial yang digaji tiap bulannya dan wewenang atas daerah
mereka pun dibatasi. Mereka hanya seperti mandor yang mengawai kerja para
bawahan. Dalam hal ini ada pula ketidak sepakatan dengn peraturan yang
dikeluarkan oleh Raffles. Masih banyak dari mereka mencoba untuk merusak
keamanan yang ada dalam masyarakat. Seperti yang terjadi di Tegal, Pekalongan,
dan Cirebon banyak orang yang tidak berani keluar dari rumah karena ada
pencurian secara besar-besaran yang rupanya dibiarkan bahkan mungkin
digerakkan oleh penguasa sendiri. Ada pula gerombolan perampok yang
diorganisasi oleh bupati yang mengakibatkan berkurangnya orang yang
mengerjakan tanah untuk STP. Hal tersebut adalah salah satu bentuk dari protes
yang mereka lakukan terhadap pemerintah kolonial yang dijalankan oleh Raffles.
DAFTAR PUSTAKA

Kartodirjo, Sartono. 1999. Pengantar Sejarah Indnesia Baru : 1500-1900;


Jakarta. PT Gramedia Puskata Utama.

Mawarti Djoened Poesponegoro Dan Nugroho Notosusanto. 1984. Sejarah


Nasional Indonesia V; jakarta. Balai Pustaka.

You might also like