You are on page 1of 15

Opinion and Editorial, The Jakarta Post - June 18, 2005

Jan Dormer, Malang, East Java


Apparently, misconceptions abound as to the nature and purpose of bilingual
education. In a recent The Jakarta Post's article (Foreign Teachers not Qualified, May
21), Alex Tubagus decried the use of English in National Plus Schools, asking, "Why
must students leave behind their mother-tongue to (apparently) study in English?"
Parents, teachers, and even bilingual school administrators seem to sometimes also
lack an understanding of what it is that bilingual education is trying to accomplish,
and whether or not it is good for Indonesian children, and for Indonesia. Some
people appear to think that bilingual education is simply tossing English into the
curriculum randomly, hoping that a bilingual child will emerge.

"Bilingual education," more often referred to as "language immersion" or "dual


language" education in countries where the language to be learned is a foreign
language, is essentially learning academic content in two languages. If these two
languages are Indonesian and English, for example, perhaps half of the school
subjects would be taught in English and half in Indonesian. This is a "50/50" school
model.

"Pendidikan dwibahasa," lebih sering merujuk ke sebagai "pembenaman bahasa" atau


pendidikan "bahasa ganda" di negara di mana bahasa untuk dipelajari adalah bahasa
asing, pada hakekatnya mempelajari isi akademis di dua bahasa. Jika dua bahasa ini
menjadi bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, misalnya, barangkali separuh mata
pelajaran sekolah akan diajar di bahasa Inggris dan separuh di bahasa Indonesia. Ini
"50/50" sekolah model.

In non-English speaking majority countries such as Indonesia, a school may choose


to begin in grade one with 80 percent of instruction in English and 20 percent in
Indonesian. This helps children learn English quickly, and assures their ability to
learn academic subjects in English by the time those academic subjects are laden
with complex ideas and vocabulary – at about grade four.
Di negara mayoritas berkata tak Inggris seperti Indonesia, sekolah mungkin pilih untuk
mulai di kelas sesuatu dengan 80 persen pelajaran di bahasa Inggris dan 20 persen di
bahasa Indonesia. Ini menolong anak mempelajari bahasa Inggris dengan cepat, dan
memastikan kemampuan mereka untuk mempelajari subyek akademis di bahasa Inggris
sampai waktu subyek akademis itu sarat dengan gagasan kompleks dan perbendaharaan
kata – di tentang angka empat.

Such early immersion bilingual education models usually begin reversing the balance
of the instructional language in junior high and high school, often finishing with 80
percent instructional time being spent in the first language (e.g. Indonesian), and
only 20 percent being spent in English.

Some schools even eliminate instruction in the foreign language altogether at the
high school level, except for English class, as their intent is to prepare students well
for local college entrance exams. Thus, the whole of 12 grades of school instruction
is usually a "50/50" language balance, or even a greater percentage in the native
language. Whatever the bilingual educational model chosen -- early or late
immersion, "50/50" throughout or a shifting language balance --the goal is always
the same: To produce students who are highly proficient in two languages.

Jim Cummins, a leading writer in bilingual education, has stated time and again in
his writings over three decades that the first language – the native language -- must
be highly valued. He and others consistently argue that effective bilingual education
never replaces the first language with another. Instead, the goal is additive
bilingualism -- simply providing the student with an additional linguistic
communication code.

Still, it is legitimate to ask, "Is bilingual education good for Indonesian children?"
Indonesian educators are much better prepared to answer this question than I. Still,
it can be helpful to look at bilingual schools in other countries, and the results they
have experienced. Parents and educators in non-English speaking countries rightfully
ask questions such as, "Will learning English through bilingual education diminish our
students' abilities to speak and use their first language?" and "Will learning English
diminish students' value of their own culture and language?"

Research in bilingual education in international contexts is still relatively new, and


definitive answers to those questions are not yet readily apparent. However, the
news from some initial projects is encouraging. For example, Mike Bostwick, the
director of a bilingual school in Japan (using an "80/20" early immersion model) has
found children in that school to be more proficient in Japanese language by high
school age than children who studied in Japanese only schools.

This is in addition, of course, to their being highly proficient in English. This supports
various other studies showing that children in bilingual education tend to acquire
higher levels of both languages than children experiencing monolingual education.
This is probably due to the greater emphasis on language in the school, and the fact
that language concepts transfer from one language to another.

What about culture? Do children in bilingual education value their own culture less
than children who have studied only in the local language? According to Bostwick,
no. He has found that Japanese children in his school actually place a higher value on
their own culture than do monolingual Japanese students.

It is true that Tubagus has some genuine cause for concern. Bilingual education is
great when done well, but can be highly damaging when done poorly. In worst case
scenarios, students can be hindered in their acquisition of academic content because
of their poor command of the language of instruction. Teachers may need to take
valuable classroom time for translation, lessening the amount of time available for
instruction.

Tubagus points out one such problem in Indonesia: Poorly trained native speakers.
While local native speakers can be a great asset for Indonesian bilingual schools,
they do need training and qualification -- as do Indonesian teachers -- in teaching
English and bilingual education.

A final caution is that languages should be learned for the right reasons. Will facility
in English enable Indonesian students to compete more successfully in the job
market and partake more fully in international resources? If so, knowing English is a
good thing.
Pendahuluan

Dalam era globalisasi seperti sekarang bahasa Inggris memegang


peranan penting dalam komunikasi internasional baik dalam bidang pembangunan,
teknologi, ekonomi, maupun pendidikan. Sejalan dengan arus globalisasi, kebutuhan
akan kemampuan berbahasa Inggris semakin terasa. Oleh sebab itu tidak mengherankan 
bahwa para ahli yang berkecimpung  dalam dunia pendidikan merasa perlu memberikan
pelajaran bahasa Inggris secara intensif dan berkesinambungan kepada para anak didik di
sekolah menengah bahkan sejak anak-anak masih  masih duduk di bangku sekolah dasar.
Pada tingkat sekolah menengah telah banyak SMP dan SMA yang dijadikan rintisan
sekolah bertaraf internasional  dan sudah banyak juga sekolah yang memperoleh status
Sekolah Bertaraf Internasional atau SBI.

Sekolah-sekolah tersebut mempersiapkan para siswanya agar pada masa mendatang


mereka  dapat bersaing secara global. Menyadari akan pentingnya kualitas pendidikan
dan keinginan untuk mengejar ketertinggalan dalam bidang pendidikan dibandingkan
dengan negara lain, pemerintah terdorong untuk melakukan terobosan besar dalam
bidang pendidikan dengan merancang Sekolah Bertaraf Internasional.

SBI adalah sekolah yang sudah memenuhi seluruh Standar Nasional Pendidikan (SNP)
yang meliputi standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik
dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar
pembiayaan, dan standar penilaian. SNP ini diperkaya dengan beberapa unsur pendidikan
yang mengacu pada standar pendidikan salah satu negara anggota Organization for
Economic Cooperation and Development (OCD) dan / atau negara maju lainnya yang
mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan sehingga memiliki daya saing
di forum internasional (Sofa, 2009). Lebih lanjut Sofa menjelaskan bahwa ciri esensial
dari SBI ditinjau dari komponen pendidikan ialah: (a) lulusan SBI dapat melanjutkan
pendidikan pada satuan pendidikan yang bertaraf internasional, baik di dalam maupun di
luar negeri, (b) lulusan SBI dapat bekerja pada lembaga-lembaga internasional dan/atau
negara-negara lain, dan (c) lulusan SBI meraih medali tingkat internasional pada berbagai
kompetisi sains, matematika, teknologi, seni, dan olah raga.

Landasan hukum SBI ialah: (a) UU No. 20 tahun 2003, pasal 50, ayat 3, yang menyataan
bahwa pemerintah dan/atau pemda menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan
pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan
pendidikan yang bertaraf internasional, (b) PP No 19 tahun 2005, pasal 61, ayat 1 yang
menyatakan bahwa pemerintah bersama-sama pemda menyelenggarakan sekurang-
kurangnya satu satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan sekurang-
kurangnya satu satuan pendidikan pada jenjang pendidikan menengah untuk
dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional, (c) Renstra Depdiknas
2005-2009 Bab V, halaman 58, tentang SBI yang menyatakan bahwa untuk
meningkatkan daya saing bangsa perlu dikembangkan SBI pada tingkat Kab/Kota melalui
kerjasama yang konsisten antara pemerintah dengan Pemda Kab/Kota, untuk
mengembangkan SD,SMP, SMA dan SMK yang bertaraf internasional
(http://sbi.sman5bekasi.blogspot.com).

Kelas bilingual

Untuk mencapai tujuan SBI beberapa mata pelajaran seperti Matematika, Fisika, Kimia,
Biologi, dan Ekonomi harus diselenggarakan dalam bahasa Inggris dalam sistem
pembelajaran kelas bilingual. Menurut Dharma (2007) penyelenggaraan kelas bilingual  
melalui beberapa tahap; pada tahun pertama memakai bahasa pengantar bahasa Inggris
sebanyak 25 persen dan 75 persen bahasa Indonesia. Pada tahun kedua bahasa
pengantarnya masing-masing 50 persen untuk Inggris dan 50 persen bahasa Indonesia.
Pada tahun ketiga bahasa pengantar menggunakan 75 persen bahasa Inggris dan 25
persen bahasa Indonesia. Model kelas bilingual yang berjenjang ini, menurut Lee (2008:
85) disebut sebagai biligual transitional education karena siswa tidak langsung diajar
dengan menggunakan bahasa Inggris secara penuh tetapi bertahap, porsi bahasa Inggris
makin lama makin besar dan porsi bahasa siswa makin lama makin kecil. Model ini
mengasumsikan pengetahuan dan ketrampilan guru dalam mengajar dengan bahasa
Inggris sudah mencapai tingkat lanjut sehingga dapat menentukan proporsi bahasa
Inggris dan bahasa Indonesia dalam mengajar.

Untuk dapat melaksanakan konsep kelas bilingual ini ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi, antara lain: (a) Substansi pelajaran harus cocok dengan tingkat perkembangan
kognitif dan kemampuan bahasa Inggris siswa, (b) sekolah harus dapat menciptakan
lingkungan belajar yang kondusif untuk mendorong pemakaian bahasa yang bermakna
baik tulis maupun lisan, (c) pembelajaran harus menekankan latihan pemecahan masalah
dan siswa didorong untuk bekerjasama melalui tema-tema yang menarik dan menantang.

Sekolah-sekolah yang sudah atau sedang menyiapkan program kelas bilingual


menghadapi masalah yang cukup serius, antara lain belum tersedianya buku ajar dalam
bahasa Inggris yang cocok dengan kebutuhan sekolah, belum tersedianya silabus dalam
bahasa Inggris,  belum siapnya guru mengajar dengan pengantar bahasa Inggris, dan
belum adanya model pembelajaran bilingual yang efektif. Di SBI, peranan guru bilingual
untuk mempersiapkan siswa agar kelak dapat bersaing secara global dalam dunia kerja
sangat besar. Competitive advantage para lulusan sekolah bertaraf internasional antara
lain sangat bergantung kepada proses pembelajaran selama pendidikan. Keuntungan
kompetitif ini akan dapat dimiliki oleh para siswa jika guru mata pelajaran mempunyai
pengetahuan dan ketrampilan bahasa Inggris yang memadai baik untuk memahami bahan
pelajaran, mengajarkannya, dan melakukan evaluasi. Seorang guru bilingual harus
memiliki tingkat ketrampilan dua bahasa yang cukup untuk bisa mengajar kelas bilingual.
Chin dan Wigglesworth, (2007:5) mengemukakan tingkat ketrampilan bilingual sebagai
berikut,
At the heart of the description of bilingualism is the issue of degree of bilingualism.
Simply put, degree of bilingualism refers to the levels of linguistic proficiency a bilingual
must achieve in both languages  to be considered a bilingual.

Seorang guru kelas bilingual harus orang yang bilingual, fasih dalam dua bahasa.
Masalahnya apakah guru-guru mata pelajaran mampu menjadi seorang bilingual yang
siap mengajar dengan dua bahasa, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Berapa lama
waktu yang dibutuhkan oleh seorang guru agar siap mengajar. Di samping itu tingkat
ketrampilan bilingual seperti apa yang dibutuhkan atau yang harus dicapai oleh seorang
guru supaya mampu mengajar kelas bilingual. Chin dan Wigglesworth (2007)
membedakan dua macam ketrampilan bilingual. Pertama, balanced bilingual, yaitu orang
yang dapat menguasai dua bahasa secara sempurna dalam konteks yang berbeda-beda.
Dalam konteks sistem pendidikan Indonesia, kemampuan seperti ini sangat sulit untuk
dikuasai. Yang kedua ialah dominant bilingual, yaitu orang yang dominan dalam salah
satu bahasa. Dalam praktek, ketrampilan seperti ini tidak dapat diterapkan untuk
membicarakan semua hal. Guru bahasa Inggris, misalnya, mungkin tidak mampu
menerangkan masalah biologi dengan benar dalam bahasa Inggris karena bahasa yang
lebih dikuasainya atau yang lebih dominan ialah bahasa Indonesia. Demikian juga halnya
dengan orang asing yang menguasai bahasa Indonesia mungkin tidak mampu
menerangkan masalah budaya mereka dalam bahasa Indonesia; mereka akan
menggunakan bahasa Inggris karena bahasa ini yang lebih dominan.

Mengingat kondisi sumber daya guru SBI saat ini, sangat sulit rasanya untuk mencapai
tingkat kemampuan bilingual tertentu agar dapat mengajar kelas bilingual seperti yang
diharapkan. Banyak hasil penelitian pemerolehan bahasa menunjukkan bahwa secara
umum penguasaan bahasa asing (Inggris) akan bisa maksimal jika dimulai sejak kecil,
terutama dalam penguasaan ucapan. Orang dewasa, termasuk guru-guru di SBI yang
harus belajar bahasa Inggris lagi melalui kursus atau pelatihan, akan sangat terpengaruh
oleh sikap, motivasi, bakat, umur, dll, dan faktor-faktor tersebut akan secara signifikan
dapat mempengaruhi hasil belajar.

Pelatihan untuk guru bilingual

Bahan pelajaran dalam kelas bilingual (seharusnya) memakai bahasa Inggris. Sangat aneh
jika bahan pelajaran memakai bahasa Indonesia. Oleh sebab itu tidak relistis jika
penyampaian substansi pelajaran disampaikan (sebagian besar) dalam bahasa Indonesia.
Ini merupakan tantangan bagi pengembangan SBI di Indonesia yang memerlukan kerja
keras dan komitmen yang tinggi secara berkelanjutan. Menurut Education Advisor dari
British Council, Itje Chodidjah, berdasarkan hasil penelitian, murid perlu waktu tujuh
tahun untuk fasih berbahasa Inggris dalam mempelajari mata pelajaran tertentu (Dharma,
2007). Hal ini perlu didukung oleh tersedianya bahan ajar yang baik dan ketrampilan
pedagogik guru yang memadai.

Tuntutan untuk memakai bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam beberapa mata
pelajaran tersebut di atas telah mendorong sekolah untuk merancang berbagai program
pelatihan bahasa Inggris untuk guru-guru. Mereka dikirim ke lembaga-lembaga
pendidikan formal untuk mengikuti kursus bahasa Inggris selama beberapa bulan dengan
harapan bahwa setelah menyelesaikan kursus mereka akan siap mengajar dengan bahasa
Inggris. Ada juga sekolah yang mengundang pakar pendidikan bahasa Inggris untuk
memberi pelatihan kepada guru-guru di sekolah secara reguler, di tengah-tengah
kesibukan mereka mengajar. Yang menjadi pertanyaan ialah apakah para guru yang
sudah mendapat pelatihan bahasa Inggris sudah siap dengan tugas yang diamanatkan oleh
undang undang tersebut di atas. Jika mereka belum siap,  pengetahuan atau ketrampilan
apa yang harus dimiliki oleh para guru agar mereka benar-benar siap mengajar dengan
bahasa Inggris.

Salah satu SMA di Jawa Tengah memaparkan strateginya untuk pengembangan menuju
sekolah unggul, antara lain sejak tahun 2006 para guru diberi training untuk
meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris melalui diklat bahasa Inggris Dasar.
Sekolah tersebut berkerja sama dengan English Language Center, Universitas Sebelas
Maret. Pada tahun 2007, ditindak lanjuti dengan kursus English Funcional. Selain itu
dilakukan pula diklat bahasa Inggris berkerja sama dengan lembaga kursus bahasa San
Diego Wonogiri.  Sedangkan untuk tahun 2008, telah dilaksanakan tes TOEIC untuk
mengetahui sampai sejauh mana kualitas/ kemampuan guru dalam berkomunikasi dengan
bahasa Inggris (http://sman2wonogiri.blog.plasa.com).

Program pelatihan serupa juga dilaksanakan oleh sekolah-sekolah lain yang sedang
dipersiapkan menuju SBI. Namun perlu dipahami bahwa hasil tes standar seperti TOEIC
atau TOEFL bukan menjadi jaminan bahwa seorang guru akan bisa mengelola kelas
bilingual dengan benar seperti argumen yang dikemukakan oleh Dharma (2007) dalam
kutipan di bawah ini,

Konsep ini berangkat dari asumsi yang salah tentang penguasaan bhs Inggris sebagai
bahasa pengantar dan hubungannya dengan nilai TOEFL. Penggagas mengasumsikan
bahwa untuk dapat mengajar hard science dalam pengantar bahasa Inggris maka guru
harus memiliki TOEFL> 500. Padahal tidak ada hubungan antara nilai TOEFL dengan
kemampuan mengajar hard science dalam bhs Inggris. Skor TOEFL yang tinggi belum
menjamin kefasihan dan kemampuan orang dalam menyampaikan gagasan dalam bahasa
Inggris. Banyak orang yang memiliki nilai TOEFL<500 yang lebih fasih berbahasa
Inggris dibandingkan orang yang memiliki nilai TOEFL > 500 . Singkatnya, menjadikan
nilai TOEFL sebagai patokan keberhasilan pengajaran hard science bertaraf internasional
adalah asumsi yang keliru. TOEFL lebih cenderung mengukur kompetensi seseorang,
padahal yang dibutuhkan guru sekolah bilingual adalah performancenya, dan
performance ini banyak dipengaruhi faktor-faktor non-linguistic. TOEFL bukanlah
ukuran kompetensi pedagogik.

Dengan asumsi bahwa tes TOEFL atau TOEIC yang diambil ialah tes dalam bentuk yang
lama, bukan computer atau internet-based test,  argumen di atas menunjukkan bahwa
ketrampilan membaca dan ketrampilan berbicara adalah dua ketrampilan yang berbeda.
Ketrampilan membaca bukan jaminan dapat fasih berbicara apalagi dalam bahasa Inggris.
Dalam literatur pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing banyak dibahas
perbedaan antara ketrampilan membaca dan ketrampilan berbicara yang mempunyai
implikasi pedagogis yang berbeda secara mendasar.

Jika argumen Dharma (2007) di atas benar, pola pelatihan guru bilingual yang selama ini
dilakukan perlu dievaluasi.  Koordinator SBI  Jawa Tengah, dalam sebuah diskusi
informal dengan penulis, menyatakan bahwa PBM kelas-kelas bilingual belum bisa
berjalan sesuai dengan yang diharapkan walaupun para guru sudah menyelesaikan
pelatihan bahasa Inggris. Mereka belum siap dan merasa belum memiliki ketrampilan
yang memadai untuk melaksanakan pembelajaran bilingual walaupun mereka sudah
mengikuti kursus dan pelatihan bahasa Inggris selama beberapa bulan. Keprihatinan ini
perlu dicermati karena sebuah survei yang dilakukan oleh Astika, Wahyana, dan
Andreyana (2008) tentang evaluasi diri menyangkut kemampuan dan ketrampilan bahasa
Inggris dalam hubungannya dengan pembelajaran kelas bilingual menunjukkan hasil
yang tidak menggembirakan. Hasil survei menunjukkan bahwa semua guru yang menjadi
sampel menyatakan mereka mempunyai pengetahuan yang sangat baik tentang substansi
mata pelajaran. Hal ini bisa dimengerti karena mereka mempunyai keahlian dalam mata
pelajaran yang selama ini diampu. Dalam hal penguasaan bahasa Inggris, hasil survei
menunjukkan kelemahan guru yang sangat mendasar, yaitu: (a) sebanyak 33,3 %
responden menyatakan tidak memiliki bakat berbahasa Inggris, (b) sebanyak 66,7 %
responden tidak dapat mengevaluasi efektifitas materi pelajaran dalam bahasa Inggris
namun mereka dapat memahami konsepnya, (c) sebanyak 77,8 % responden tidak dapat
menerangkan konsep materi dalam bahasa Inggris, dan (d) semua  responden (100 %)
tidak mampu menjelaskan tata bahasa yang ada dalam materi pelajaran. Walupun
kemampuan bahasa Inggris guru sangat kurang, mereka (100 %) mempunyai keinginan
untuk selalu mengembangkan pengetahuan bahasa Inggris melalui pelatihan atau kursus.
Hal lain yang menggembirakan ialah adanya fasilitas pendukung PBM berupa
laboratorium komputer yang terhubung dengan internet yang cukup memadai dan 100 %
responden berpendapat bahwa dukungan sekolah untuk melaksanakan program bilingual
sudah bagus.

Kelas bilingual adalah kelas ESP

Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahan ajar di kelas bilingual harus disajikan dalam
bahasa Inggris. Oleh sebab itu kelas bilingual merupakan salah satu bentuk pengajaran
content-based instruction (Dudley-Evans & St John, 1998) karena bahan ajar dibuat
berdasarkan silabus mata pelajaran. Dalam konteks SBI, mengajar dengan medium
bahasa Inggris merupakan salah satu bentuk program ESP (Hutchinson & Waters, 2006).
Bentuk lain dari content-based instruction ialah program imersi di mana proses belajar
mengajar sepenuhnya memakai bahasa Inggris. Keunggulan kelas bilingual ialah materi
pelajaran ditulis dalam bahasa Inggris dan relevan dengan kurikulum atau kebutuhan
akademik siswa. Dengan demikian pengajaran menjadi sangat bermakna dan dapat
menjadi faktor pendorong motivasi belajar.

Guru bilingual di SBI adalah guru ESP dan mempunyai tiga macam peran dalam
menjalankan tugasnya: (a) sebagai praktisi, (b) sebagai perancang materi, dan (c) sebagai
evaluator. Sebagai praktisi, guru mempunyai tugas untuk mendesain dan mengatur proses
belajar mengajar, memberi penjelasan masalah-masalah kebahasaan (bahasa Inggris), dan
secara terus menerus mengembangkan kemampuan bahasa Inggris siswa. Dalam
perannya sebagai perancang materi, guru mempunyai tugas untuk merencanakan PBM,
memilih materi yang cocok dengan silabus, memodifikasi materi supaya sesuai dengan
tingkat kemampuan siswa, atau membuat materi yang baru sama sekali jika materi yang
siap pakai tidak ada. Sebagai evaluator, guru mempunyai tugas untuk mengevaluasi
efektivitas materi pelajaran dan melakukan evaluasi terhadap pemerolehan belajar siswa.
Ketiga peran tersebut di atas dapat dijalankan dengan baik jika bahasa Inggris merupakan
bahasa pertama atau bahasa kedua, dan guru ESP tidak mengalami kesulitan dalam
menggunakan bahasa Inggris karena mereka adalah penutur asli bahasa Inggris. Dalam
konteks pendidikan di Indonesia, bahasa Inggris adalah bahasa asing yang harus
dipelajari dan diajarkan dengan model pendekatan yang berbeda dengan model
pendekatan pembelajaran di negara-negara yang berbahasa Inggris di mana para guru
ESP tidak mempunyai masalah dengan bahasa pengantar. Masalah yang dihadapi oleh
guru bilingual SBI ialah pengetahuan dan ketrampilan menggunakan bahasa Inggris.

Dalam menjalankan proses belajar mengajar, guru bilingual SBI  harus mempunyai dua
macam pengetahuan kebahasaan, yaitu pengetahuan tentang istilah tehnis (technical
vocabulary) dalam mata pelajaran tertentu dan pengetahuan tentang tata bahasa Inggris.
Menerangkan konsep yang terkandung dalam istilah-istilah tehnis mungkin bukan
merupakan masalah yang terlalu berat karena guru sudah mempunyai latar belakang ilmu
yang diajarkan. Ini merupakan kekuatan bagi guru bilingual. Yang perlu harus
dikembangkan ialah pengetahuan tentang tata bahasa dan ketrampilan menggunakan
bahasa Inggris baik untuk keperluan umum (non-pedagogis) maupun untuk mengajarkan
materi pelajaran (ketrampilan pedagogis). Bagaimanapun juga, mengajarkan suatu topik
mata pelajaran dengan pengantar bahasa Inggris tidak bisa lepas dari pengajaran tata
bahasa walaupun cara mangajarkannya tidak persis sama seperti mengajarkan tata bahasa
dalam pelajaran bahasa Inggris sebagai mata pelajaran wajib (English for General
Purposes) pada umumnya.

Dalam mengajar, guru bilingual akan selalu mengadakan interaksi verbal dengan siswa
baik satu arah maupun dua arah. Dalam hubungan ini, ada berbagai fungsi bahasa yang
perlu dikuasai dalam mengajarkan materi (content knowledge), misalnya saja:
menjelaskan konsep, melaporkan kejadian tertentu, memberikan definisi, memberi
instruksi, menjelaskan proses, menjelaskan klasifikasi, memberi contoh, menerangkan
tabel, gambar, ilustrasi, atau grafik, membandingkan dua masalah, membuat kesimpulan,
dll.(Gillet, 2007). Fungsi-fungsi bahasa seperti ini memerlukan transactional skills, yaitu
ketrampilan untuk menyampaikan infromasi yang bersifat satu arah, dan interactional
skills, yaitu  ketrampilan untuk melakukan interaksi bahasa dua arah, misalnya dalam
diskusi walaupun dalam bentuk sederhana, atau dalam menjawab pertanyaan atau
memberikan feedback (Yule, 1997).  Dalam proses pembelajaran bahasa, dikenal dua
macam feedback, yaitu feedback terhadap kesalahan tata bahasa (Doughty & Williams,
1998) dan feedback terhadap masalah makna komunikasi seperti yang terungkap dalam
penelitian oleh Astika (2007).  Kedua macam feedback tersebut bisa juga dilakukan
dalam bentuk tulis jika assessment terhadap hasil pembelajaran siswa dilakukan dalam
bentuk tertulis, atau dalam bentuk dialog (Weisberg, 2006), di mana guru, selama proses
belajar berlangsung,  berdialog dengan siswa agar siswa dapat menyelesaikan tugas.
Sudah barang tentu guru harus memiliki ketrampilan bahasa Inggris tingkat lanjut.

Masalah linguistik dalam kelas bilingual

Manfaat pengajaran bahasa Inggris yang berdasarkan pada content telah banyak dibahas
di dalam literatur yang menunjukkan keunggulan pendekatan ini dalam hubungannya
dengan pemerolehan bahasa dan substansi mata pelajaran. Dalam pendekatan ini peran
tata bahasa tidak dapat diabaikan. Menurut Chin dan Wigglesworth (2007), pemahaman
suatu konsep dan pemerolehan bahasa dalam pembelajaran dapat terjadi jika siswa
memperoleh bimbingan yang jelas tentang masalah kebahasaan dan konsep-konsep
esensial dalam ilmu tertentu. Dengan kata lain, pemahaman konsep tidak dapat
dipisahkan dari pemahaman tentang masalah kebahasaan. Oleh sebab itu ketrampilan
menerangkan konsep dan tata bahasa merupakan syarat mutlak bagi guru bilingual.
Pentingnya peran bahasa dalam memahami suatu ilmu dijelaskan oleh Chin dan
Wiggleswroth (2007) yang mengutip pernyataan Halliday sebagai berikut,

… language is the essential condition of knowing, the process by which experience


becomes knowledge that would lead to the realization that ‘knowledge’ itself is
constructed  in varying patterns of discourse’. A key way for enhancing mental abilities
is through enhancing learners’ text-based language patterns.

Jadi pemahaman yang tepat tentang suatu pokok bahasan dapat terjadi bila bahasa dan
konsep tidak diterangkan secara terpisah tetapi merupakan suatu kesatuan yang utuh dan
diajarkan bersamaan melalui langkah-langkah pedagogis yang disusun secara cermat.
Pemahaman teks sangat bergantung kepada konsep linguistik. Siswa yang tidak dapat
memahami suatu konsep dapat disebabkan oleh bahasa guru yang tidak mencerminkan
penguasaan masalah kebahasaan. Sebuah teks bahasa Inggris selalu memakai penanda
linguistik yang menunjukkan hubungan antara konsep yang satu dengan yang lain.
Pemahaman teks yang tidak lengkap bisa terjadi karena tidak dipahaminya fungsi dari
penanda linguistik dalam suatu kalimat atau antar kalimat. Sebuah paragraf bukan
merupakan kumpulan kalimat yang terpisah-pisah, ada banyak penanda linguistik yang
menunjukkan hubungan ide antar kalimat yang membuat teks menjadi kohesif. Di kelas
bilingual, ketrampilan untuk memahami fungsi penanda linguistik perlu diajarkan untuk
memahami informasi tertentu, misalnya memahami contoh, klasifikasi, hubungan sebab
akibat, deskripsi, kesimpulan, argumen, dan sebagainya.

Task sebagai dasar pengajaran di kelas bilingual

Salah satu pendekatan mengajar bahasa yang sedang berkembang ialah pendekatan yang
didasarkan pada task. Pendekatan ini dapat dicoba di kelas bilingual.  Menurut Nunan
(2004), task ialah,

a piece of classroom work which involves learners in comprehending, manipulating,


producing or interacting in the target language while their attention is focused on
mobilizing their grammatical knowledge in order to express meaning and in which their
intention is to convey meaning rather than to manipulate form.

Pemahaman terhadap task seperti inilah yang sebaiknya diterapkan dalam mengajarkan
mata pelajaran kelas bilingual di SBI. Dalam konteks SBI, di mana bahasa Inggris
dipakai sebagai bahasa pengantar, menyelesaikan sebuah tugas (task completion) dalam
proses belajar di kelas memerlukan keterampilan menggunakan tata bahasa Inggris
(language forms) dan pemahaman terhadap substansi materi pelajaran (meaning or
content knowledge). Jadi bahasa Inggris berfungsi sebagai alat untuk menyelesaikan
tugas-tugas pembelajaran. Pemahaman ini dapat diterjemahkan ke dalam langkah-
langkah pedagogis menggunakan sebuah pedagogical framework (Willis, 1996, 2005)
yang terdiri dari pre-task, task cycle, dan feedback. Pada tahap  pre-task, guru
menerangkan konsep-konsep penting dari materi pelajaran (technical dan semi-technical
vocabulary), hubungan antar-konsep, dan masalah-masalah kebahasaan yang esensial
untuk memahami materi atau teks. Pada langkah task cycle, guru memberi dan
menerangkan tugas (task) yang akan dikerjakan siswa, menjadi fasilitator bagi siswa
dalam proses mengerjakan tugas, dan pada tahap feedback, guru memberi masukan
terhadap hasil pekerjaan siswa. Masukan bisa ditujukan untuk perbaikan substansi tugas
atau bisa juga untuk kesalahan bahasa Inggris. Untuk melaksanakan pembelajaran dengan
pendekatan seperti ini guru perlu menguasai keterampilan memakai fungsi-fungsi bahasa
dan keterampilan memberikan feedback baik pada waktu pelajaran berlangsung maupun
feedback untuk tugas-tugas yang harus diselesaikan oleh siswa.

Pengajaran berdasarkan pada task mempunyai landasan teoritis yang sangat kuat. Teori
yang dijadikan dasar pendekatan ini ialah interactionist theory (Pica, Kanagy, & Falodun,
1993). Teori ini mengatakan bahwa cara yang paling efektif untuk belajar ialah melalui
interaksi. Di kelas ada banyak kesempatan untuk mendengarkan dan memahami konsep-
konsep baru, bertukar pendapat, bertukar pikiran antar siswa maupun dengan guru.
Tujuan belajar bukan hanya untuk memahami konsep, tetapi juga untuk melatih
kemampuan memakai bahasa  (Inggris) sebagai sarana untuk bertukar pikiran atau
pendapat dalam usaha untuk mencapai tujuan dari tugas yang diberikan (task goal). 
Dalam hubungan ini, Long (1983, 1996) mengemukakan bahwa pembelajaran dapat
terjadi jika siswa memperoleh input yang dapat dimengerti (comprehensible input)
sebagai hasil dari interaksi yang bermakna.

Implikasi dari teori ini ialah bahwa agar terjadi pembelajaran di kelas, perlu diciptakan
kesempatan bagi siswa untuk mangadakan interaksi sebab interaksi merupakan pra-syarat
penting untuk terjadinya pembelajaran. Hal ini dapat terjadi jika kegiatan belajar
dirancang berdasarkan pada task atau pemberian tugas. Bahan pelajaran yang dianggap
dapat mendorong terjadinya interaksi antar siswa ialah bahan pelajaran yang, antara lain:
(a) mengharuskan siswa untuk saling bertukar informasi, (b) berisi informasi yang harus
disampaikan dengan cara dua arah, (c) mempunyai tujuan yang jelas, (d) mengandung
masalah yang harus dipecahkan bersama.

Teori lain yang mendasari model pembelajaran berdasarkan task ialah sociocultural
theory yang mengatakan bahwa dalam komunikasi, orang akan melakukan aktivitas
secara bersama-sama sesuai dengan tujuan yang sudah ditentukan sebelumnya. Hasil
penelitian dalam bidang ini (Ellis, 2000) menunjukkan bahwa komunikasi bergantung
pada interaksi antara penutur dan petutur, bukan karakteristik dari task itu sendiri.  Task
yang sama dapat menghasilkan interaksi yang berbeda jika dilakukan oleh orang yang
berbeda dalam waktu yang berbeda atau bahkan dalam waktu yang sama. Pembelajaran
dapat terjadi jika siswa terlibat dalam interaksi sosial di mana mereka dapat saling
membantu satu sama lain, misalnya dengan teknik belajar kolaboratif (Wee & Jacobs,
2006). Ini menunjukkan bahwa untuk terjadinya pembelajaran, guru perlu merancang
kegiatan belajar yang melibatkan siswa dalam interaksi sosial di mana mereka dapat
saling membantu mengerjakan tugas yang diberikan guru. Uraian di atas menunjukkan
bahwa guru bilingual harus memiliki keterampilan tambahan di samping penguasaan
konsep materi mata pelajaran, yaitu keterampilan berbahasa Inggris dan keterampilan
menggunakan bahasa tersebut dalam proses belajar mengajar termasuk keterampilan
pengiring dalam pengelolaan PBM.

Model kelas bilingual yang bisa dikembangkan

SBI merupakan perkembangan baru dalam sistem pendidikan nasional Indonesia.


Perkembangan ini memerlukan pembaruan daya dukung berupa sarana dan prasarana
pendidikan, sistem manajemen sekolah, dan   guru yang berkualitas yang dapat
menguasai teknologi informasi. Sistem pembelajaran yang konvensional yang bergantung
pada papan tulis dan kapur dan dibatasi oleh ruang kelas yang statis tidak dapat lagi
sepenuhnya mendukung sistem pembelajaran yang dituntut oleh SBI. Oleh sebab itu
perlu dirancang model pembelajaran yang  dapat mengakomodasi cita-cita SBI dan
perkembangan teknologi agar pembelajaran dapat efektif dan kompetitif.  Model tersebut
dapat digambarkan sebagai berikut:

Model ini menunjukkan bahwa dalam kelas bilingual perlu ada dua orang guru, misalnya
guru bahasa Inggris yang bertanggung jawab mengajarkan masalah-masalah kebahasaan
(Inggris) dan guru Matematika yang bertanggung jawab mengajarkan substansi pelajaran
– matematika. Bahan ajar dalam model seperti ini sudah tentu harus dalam bahasa
Inggris. Dalam pelaksanaan pembelajaran, konsep-konsep matematika dapat diajarkan
terlebih dahulu oleh guru Matematika dalam bahasa Indonesia dan beberapa kata dalam
bahasa Inggris yang dikuasainya dengan baik. Sesudah itu guru bahasa Inggris
mengajarkan masalah-masalah kebahasaan dalam bahasa Inggris yang diperlukan untuk
memahami bahan ajar matematika dalam bahasa Inggris. Karena siswa sudah diajar
konsep-konsep matematika, mereka sudah mempunyai pengetahuan tentang pokok
bahasan dan pengetahuan ini dapat membantu pemahaman mereka untuk mengetahui
bahan tersebut dalam bahasa Inggris.  Dengan model seperti ini, kelemahan guru
Matematika yaitu kurangnya kemampuan bahasa Inggris,  dapat dibantu oleh guru bahasa
Inggris dan guru bahasa Inggris tidak perlu lagi mengajarkan konsep-konsep matematika.
Dalam kondisi yang ada sekarang di mana guru mata pelajaran belum sepenuhnya dapat
mengajar kelas bilingual secara mandiri, pendampingan guru bahasa Inggris dengan
model ini sangat diperlukan. Model ini dapat membantu siswa menguasai substansi mata
pelajaran dan bahasa Inggris secara bersamaan. Keberhasilan dari model ini sudah tentu
akan bergantung kepada banyak faktor. Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa
kerjasama kedua orang guru harus mulai dari pembahasan tentang KTSP, desain silabus,
seleksi dan atau adaptasi materi, dan proses belajar mengajar di kelas.  Setiap tahap dari
pengembangan model ini harus disertai dengan evaluasi dengan mempertimbangkan
konteks belajar (learning needs) dan tujuan belajar (target needs)  seperti yang dapat
dilihat dalam bagan di bawah ini.

Model seperti ini juga


disebut co-teaching (Liu, 2008) yang dikembangkan di sekolah dasar di Cina dalam
kelas-kelas bilingual. Guru yang terlibat dalam co-teaching ialah guru penutur asli
berbahasa Inggris dan guru lokal. Dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas, mereka
bekerjasama mulai dari perencanaan pelajaran sampai dengan pelaksanaan evaluasi.
Model ini telah menunjukkan hasil yang menggembirakan. Di Indonesia, untuk
memperoleh guru penutur asli berbahasa Inggris sangat sulit. Namun demikian, kendala
ini bisa diatasi dengan melibatkan guru bahasa Inggris yang ada di sekolah dengan
mempertimbangkan masalah-masalah administratif dan manajerial sekolah.

Menurut Liu (2008), co-teaching atau  team teaching sekarang semakin populer karena
beberapa penelitian menunjukkan bahwa sistem ini menghasilkan kualitas pembelajaran
yang bagus dan dapat mengembangkan ketrampilan guru yang terlibat dalam proses
PBM. Sistem mengajar ini telah diterapkan di banyak negera tidak hanya di negara
negara barat tetapi juga di Asia.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan team teaching (Liu, 2008).
Dalam team teaching, guru-guru yang terlibat mempunyai tanggung jawab dan status
yang sama. Secara bersama-sama mereka mendesain perencanaan mengajar, mengadakan
evaluasi dan bertanggung jawab kepada semua siswa di kelas. Guru bahasa Inggris dalam
team teaching tidak lagi dianggap sebagai asisten guru mata pelajaran, tetapi dianggap
sebagai sumber pengetahuan, fasilitator, dan guru yang mempunyai status yang sama.
Dengan kata lain, kedua guru secara efektif saling melengkapi satu sama lain sesuai
dengan tanggung jawabnya masing-masing dalam proses belajar mengajar.

Model team teaching ini bisa berhasil hanya jika kedua guru memiliki ketrampilan dan
hubungan kerja yang kuat, profesional, mempunyai rasa saling percaya, bersedia
menyediakan waktu yang cukup untuk mewujudkan tujuan pengajaran. Guru yang
terlibat dalam team teaching harus mempunyai pengalaman mengajar yang cukup.
Mereka perlu memahami peran masing-masing di kelas, jika tidak, hal ini dapat
mempengaruhi kenerja team dan dapat dianggap sebagai kompetisi antara guru dalam
team, yang akhirnya dapat melemahkan semangat kerja. Team teaching harus dipahami
sebagai usaha untuk meningkatkan kompetensi mengajar dan melengkapi kelemahan
masing-masing sebagai guru kelas bilingual.

Strategi pelaksanaan team teaching harus juga dipersiapkan dengan seksama, antara lain,

1. Persiapan

Dalam tahap ini, guru mata pelajaran dan guru bahasa Inggris membicarakan bagaimana
cara mengajar siswa secara efektif. Diskusi difokuskan pertama-tama pada tingkat
kemampuan siswa secara keseluruhan dalam kelas yang akan diajar, kekuatan dan
kelemahan mereka, aspek apa yang perlu diperhatikan, masalah disiplin, dll. Guru dalam
team harus menetapkan tujuan mengajar, menentukan topik bahasan untuk satu semester.
Persiapan ini bisa memerlukan beberapa pertemuan agar setiap guru memahami apa yang
menjadi target pembelajaran dan memahami ciri-ciri pengajaran dalam team, dan
mengembangakan rasa percaya diri.

Model pengajaran ini juga memerlukan pertemuan dan diskusi secara teratur selama
semester berjalan untuk merencanakan persiapan pengajaran. Oleh sebab itu sangat
penting membuat jadwal yang teratur untuk mengadakan pertemuan dan merencanakan
unit-unit pelajaran, antara lain menyangkut:

1. apa yang akan diajarkan,


2. materi atau sumber belajar yang akan dipakai,
3. peran dan tanggung jawab masing-masing guru,
4. bagaimana mengevaluasi belajar siswa, dan
5. bagaimana cara membantu siswa yang lemah dan perlu bantuan.

Masalah-masalah ini memerlukan diskusi mendalam agar peran dan tanggung jawab
masing-masing guru menjadi jelas. Setiap guru harus mempunyai hak untuk
mengutarakan pendapat dan memberikan kontribusi positif dalam membuat rencana
pelajaran. Pada dasarnya, setiap guru dalam team perlu menyadari pentingnya toleransi,
adanya perbedaan, dan mencari jalan untuk membuat perencanaan yang bermanfaat bagi
siswa.
2. Pelaksanaan

Dalam implementasinya, model team teaching memerlukan dukungan manajerial dan


administratif.  Guru akan memerlukan waktu lebih banyak, program akan mempunyai
dampak terhadap fasilitas mengajar, jadwal mengajar, dan dukungan finansial dalam
pengadaan alat dan sumber belajar. Keberhasilan team teaching akan sangat bergantung
kepada manajemen sekolah yang harus mengambil langkah-langkah berikut (Liu, 2008):

1. menciptakan kondisi kerja yang kondusif bagi guru dalam team untuk
merencanakan pelajaran,
2. membagi beban mengajar secara proporsional untuk guru dalam team,
3. bersama-sama dengan semua guru menciptakan kegiatan yang dapat membangun
ralasi yang harmonis dan produktif,
4. membangun kesadaran yang kuat akan pentingnya kerjasama dalam menangani
isu pendidikan dalam model team teaching agar terbentuk kondisi yang dapat
mendukung keberhasilan program.

Tanpa dukungan yang terus-menerus dari manajemen sekolah, semangat model team
teaching bisa berubah menjadi frustasi dan implementasinya akan menghasilkan
pembelajaran yang tidak efektif. Menurut Elena (2006), efektivitas seseorang dapat
berkembang melalui dorongan dan dukungan orang lain. Setiap orang dapat diyakinkan
bahwa dia memiliki ketrampilan dan kemampuan untuk menyelesaikan tugas tertentu dan
mencapai keberhasilan. Dukungan dan dorongan secara verbal dapat meningkatkan usaha
seseorang untuk mencapai tujuan, bukannya menyerah ketika dia mengalami hambatan.

Menurut Lee (2008), dari hasil penelitiannya tentang team teaching, rahasia keberhasilan
terletak pada adanya sikap terbuka dari guru dan cara menghindari konflik dalam team.
Mereka melaksanakan perannya secara fleksibel, kadang-kadang sebagai ‘asisten’ kadang
kadang sebagai guru utama (pemimpin) dengan tetap berpedoman kepada tujuan dan arah
pembelajaran. Mereka percaya bahwa setiap guru harus bersedia untuk saling
mendengarkan dan menerima saran satu sama lain, mempelajari masalah yang muncul,
dan mencari win-win solution. Dalam proses merencanakan kelas bilingual perlu disadari
bahwa pertemuan yang teratur antara guru bahasa Inggris dan guru mata pelajaran mutlak
harus dilaksanakan. Oleh sebab guru-guru dalam team harus membangun komitmen yang
berkelanjutan dan  menyediakan waktu untuk merencanakan kelas bilingual.

Penutup

Artikel ini memaparkan sebuah model yang bisa dipakai sebagai bahan pertimbangan
untuk mengembangkan sistem pembelajaran kelas bilingual di SBI. Model ini
mempunyai  beberapa implikasi yang perlu diperhatikan. Pertama, pengembangan
profesional guru kelas bilingual dan guru bahasa Inggris. Guru mata pelajaran jelas
memerlukan pelatihan untuk mengembangkan ketrampilan bahasa Inggris. Yang perlu
diperhatikan ialah pelatihan jenis apa yang dapat membekali mereka agar bisa mandiri
mengajar kelas bilingual. Guru bahasa Inggris mungkin perlu training tambahan untuk
memahami seluk beluk pembelajaran ESP di sekolah menengah. Kedua, dukungan
administratif dan manajerial dari pihak sekolah mutlak diperlukan. Model ini memberi
tambahan beban mengajar kepada guru bahasa Inggris yang pada umumnya sudah
mendapat beban mengajar yang maksimal. Demikian juga dengan guru mata pelajaran,
mereka memiliki beban tambahan untuk mempelajari bahan ajar yang memakai bahasa
Inggris. Untuk memastikan apakah model ini dapat diterapkan, perlu kiranya didesain
sebuah pilot study sebelum model ini diterapkan di semua kelas bilingual.

You might also like