You are on page 1of 2

BAB II

PEMBAHASAN

Dalam kasus, pasien adalah seorang perempuan berusia 52 tahun. Dengan berbagai gejala
klinis dan hasil dari pemeriksaan yang didapatkan, keterangan ini merupakan salah satu fakta
pendukung, karena menjadi salah satu ciri khas penyakit tuberculosis (TB), yang prevalensinya
paling tinggi di Indonesia. Pasien tersebut mengeluh batuk darah sebanyak satu gelas sejak satu
hari yang lalu. Batuk darah ini merupakan ekspektorasi dari sputum ditambah dengan darah,
yang terjadi akibat iritasi pada sel-sel di dinding bronkus, sehingga pembuluh darah disekitarnya
ikut pecah. Penderita mengeluh batuk dengan dahak sulit keluar sejak 3 bulan, diikuti demam
hilang timbul dan keringat malam. Batuk dengan dahak yang sulit keluar tersebut terjadi karena
adanya rangsang iritan yang mengakibatkan terjadinya batuk. Sebenarnya pada siang hari,
penderita juga berkeringat, namun keringat siang hari ini tidak terlalu terlihat, karena pada siang
hari penderita beraktivitas, sehingga keringat yang terjadi pada malam hari terlihat mencolok.
Selain itu, penurunan kadar kortisol di malam hari yang mengakibatkan turunnya aktivitas
penekanan proses infeksi mengakibatkan demam disertai keluarnya keringat cenderung lebih
terasa pada malam hari.

Sekitar 2 minggu yang lalu penderita datang berobat ke puskesmas dengan keluhan batuk
lebih dari 3 minggu, disertai demam yang hilang timbul dan keringat malam, sehingga dicurigai
menderita TB. Kemudian dilakukan pemeriksaan dahak SPS dengan hasil BTA + dan dilengkapi
pemeriksaan foto toraks dengan lesi infiltrat di lapang atas paru kanan. Selanjutnya pasien
dirujuk oleh dokter puskesmas ke rumah sakit tingkat II (RS MRM) untuk tatalaksana lanjut.

Di poli paru RS MRM pasien mendapat terapi OAT fixed dose selama 2 bulan, dalam hal
ini pasien memasuki terapi fase intensif kategori I menggunakan obat-obat Rifampisin, Isoniazid,
Pirazinamid, Etambutol. Namun sebelumnya pasien mendapat pemeriksaan laboratorium fungsi
hati, karena OAT bersifat hepatotoksik.
Setelah 7 hari mengkonsumsi OAT pasien mengeluh batuk berdarah disertai bercak
merah kehitaman di punggung kedua tangan, dan sedikit terasa gatal. Keadaan ini membuat
pasien kembali berobat ke poli paru dan memerlukan rawat inap untuk mengevaluasi lebih lanjut
penyebab dari keluhan pasien. Pada saat masuk perawatan OAT dihentikan untuk sementara dan
diberikan obat-obatan untuk mengurangi perdarahan, antara lain Asam traneksamat, dicynon,
dan vitamin K.

Pada hari perawatan berikutnya pasien mengalami perbaikan, ditandai dengan


berkurangnya bercak merah-kehitaman pada kulit, serta tidak terdapat lagi batuk darah. Setelah
kondisi stabil pasien kembali dicoba diberikan OAT. Namun, keesokan harinya pasien
mengalami keluhan perdarahan serupa saat masuk ke rumah sakit, disertai bercak kemerahan
yang lebih luas dari reaksi sebelumnya. OAT kembali dihentikan, hal ini memperkuat dugaan
bahwa pasien hipersensitif terhadap OAT. Sehingga diberikan obat-obatan untuk mengurangi
perdarahan dan reaksi hipersensitifitas, antara lain anti-histamin dan kortikosteroid.

Penatalaksanaan pasien dengan efek samping “gatal dan kemerahan kulit” dilakukan
dengan menyingkirkan dulu kemungkinan penyebab lain. Sementara dapat diberikan anti-
histamin, sambil meneruskan OAT dengan pengawasan ketat. Gatal – gatal tersebut pada
sebagian pasien akan hilang, namun pada sebagian pasien malahan terjadi kemerahan kulit. Bila
keadaan seperti ini terjadi maka OAT yang diberikan harus dihentikan, dan ditunggu sampai
kemerahan kulit tersebut hilang.

You might also like