You are on page 1of 12

“SEBAB-SEBAB DIWAJIBKAN SHALAT 5 WAKTU”

Sebab-sebab yang mewajibkan shalat banyak sekali, baik dalam Al-Qur'an maupun
dalam Hadis Nabi Muhammad Saw. Dalil ayat-ayat Al-Qur'an yang mewajibkan shalat
antara lain yang berbunyi :
Wa-Aqiimush shalaata Wa-aatuz zakaata warja'uu ma'arraaki'iin.
(Artinya: Dan dirikanlah shalat, dan keluarkanlah zakat,dan tunduklah/ruku' bersama-
sama orang-orang yang pada ruku)

(S.Al-Baqarah,ayat.43). Wa-Aqimish Shalaata Innash Shalaata Tanhaa'anil Fakhsyaa-


Iwalmunkari.
(Artinya: Kerjakanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah perbuatan yang jahat /
keji, dan mungkar)
(S.Al-'Ankabut,ayat.45). Perintah shalat ini hendaklah di tanamkan kedalam hati dan jiwa
anak-anak dengan cara pendidikan yang cermat, dan di lakukan sejak kecil, sebagaimana
tersebut dalam hadis Nabi Muhammad Saw sbb :
Muruu Aulaadakum bish Shalaati wahum Abna-u sab'in wadl-ribuuhum 'Alaihaa wahum
abnna-u 'asyrin.
(Artinya: perintahlah anak-anak mengerjakan shalat diwaktu usia mereka meningkat
tujuh tahun, dan pukulah kalau tidak mau melakukan shalat di waktu usia meningkat
sepuluh tahun)

Berbicara tentang sholat tidak bisa dipisahkan dengan peristiwa isra’ mi’raj. 
Karena sholat adalah oleh-oleh rasulullah SAW ketika melakukan perjalanan isra’ mi’raj
tersebut. Isro’ artinya berjalan malam yang dilakukan dan dilaksanakan rasul dari
masjidil Haram ke Masjidil Aqsa di Jerussalem sejauh ± 2000 km, seperti tersebut dalam
surat Al-Isra’ ayat 1 yang artinya : “Maha suci Allah yang telah menjalankan hamba nya
(tubuh serta roh) di waktu malam dari Masjidil Haram (Mekkah) sapai ke Masjidil Aksa
(Palestina), yang kami berkahi sekitarnya guna memperlihatkan kebesaran kami.
Sesungguhnya Allah Maha Pendengar lagi Maha Melihat”.

 Mi’raj artinya alat untuk naik, pandangan tidak terhitung, tak terkira-kirakan oleh
otak manusia. Nabi diajak Jibril demi perintah Tuhan Azza Wajalla naik menjelajahi
ruang angkasa sejauh : 1395 tahun pantulan cahaya sesudah tamasya di bumi sejauh 2000
km. Menjelang sampai ke tempat yang ditentukan, Nabi sempat bertemu dengan Nabi
Adam, Nabi Idris, Nabi Musa, Nabi Suaib, Nabi Harun Alaihis salam, terakhir nabi
bertemu dengan Nabi Ibrahim khalilullah.  Kemudian sampai ke sidrotul Muntaha sebuah
planet yang paling besar, merupakan penggerak seluruh alam. Disini nabi menyaksikan
rupa jibril AS, dalam bentuk aslinya. Disitu dilihatnya pula surga. Nabi berada di alam
malaikat serta Mesjidil yang indah pantulan makmur.

Tidaklah hatinya dusta akan apa yang dilihatnya. Apa yang dia ucapkan bukan
kehendaknya, tapi adalah wahyu Allah. Ayat ini dasar keyakinan kita bahwa benar Nabi
Muhammad melakukan Mi’raj dengan tubuh dan rohnya.

1
Kalau dihubungkan pula dengan hambanya Abdihi. Hamba berarti orang yang
mengabdi mengerjakan perintah dengan seluruh jasadnya, menyatukan tekad dalam
pengabdian. Pengertian hamba ialah kesatuan unsur roh dan tubuhnya yang mengabdi.
Dengan kesatuan unsur tersebut beliau menerima perintah shalat

Kemampuan jibril dan mikail menemani rasul hanya sampai di Sidrotul Muntaha.
Jibril mengatakan bahwa dia tidak bisa menembus nur yang lebih atas lagi.
Kalau diteruskan dia akan hancur. Sebab asalnya dari nur itu pula. Nabi Muhammad
manusia pilihan Tuhan yang suci, jiwanya tembus menerobos nur tersebut. Maka  nabi
muhammad demi sangat cinta dan patuhnya kepada Allah berani menembus nur terse but.
Sehingga sampai ke Rafraf dimana berada arasy Tuhan Maha Kuasa.

Nabi Muhammad menyaksikan sesuatu yang tak terkatakan betapa nikmatnya.


Disitu beliau bercakap-cakap langsung dengan Allah. Serta beliau menerima perintah
shalat 50 kali sehari semalam dengan tidak membantah lagi dan nabi menerimanya.
Karena perintah itu dianggapnya kecil kalau dibandingkan dengan betapa nikmat Tuhan
yang telah diberikan kepada makhluknya.

Ketika Nabi Muhammad turun bertemu dengan Nabi Musa, Nabi Musa
menanyakan berapa jumlah shalat yang diterimanya. Setelah diterangkan Rasul, Nabi
Musa merasakan itu terlalu berat dikerjakan oleh umat Nabi Muhammad yang lebih kecil
dari Umat Nabi Musa. Sampai Nabi Muhammad 9 kali pulang pergi agar Tuhan
mengurangi Rakaat Shalat. Sehingga akhirnya menjadi 5 kali sehari semalam. Beliau
turun kembali. Sementara jibril sudah menunggu, lalu turun ke Masjidil Aqsa menaiki
Burraq yang dengan kecepatan kilat (Barqun) melayang diatas udara jazirah Arab. Dan
sebelum waktu shalat subuh, sudah mendarat di depan masjidil Haram.

Hal ini didasarkan kepada hadist Nabi yang diriwayat kan oleh Imam Muslim
dalam kumpulan hadist shahihnya, lewat anas Ibn Malik. Disana diceritakan bahwa
Rasulullah SAW pada awalnya menerima perintah shalat 50 waktu, tetapi akhirnya
diturunkan sampai 5 waktu, setelah Rasulullah disarankan oleh Nabi Musa untuk
memohon keringanan.

Dari perjalaan tersebut rasulullah mendapatkan wahyu berupa perintah untuk


sholat 5 waktu. Hal ini tertuang dalam Q.S Al Isra’ ayat :

Artinya: Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan
dirikan pula shalat shubuh. Sesungguhnya sholat subuh itu disaksikan oleh malaikat.

2
            Kata ”Aqimi”  dalam ayat ini adalah bentuk kata kerja untuk menunjukkan kata
perintah. Kata kerja perintah dalam bahasa arab disebut fiil amar. Kata as-shalat dalam
ayat ini bererti sholat wajib; yaitu sholat dzuhur, asar’ maghrib. Isya’ dan shubuh.

            Adapun kelima waktu sholat wajib itu diambil dari kata-kata berikut :

1.      Li duluk asy-syamsi, menunjukkan waktu pelaksanaan sholat ketika matahari


tergelincir; berarti mencakup waktu sholat dzuhur dan sholat ashar.

2.      Ilaa ghasaq al’lail, menunjukkan waktu pelaksanaan sholat ketika gelap malam,
yaitu mencakup waktu sholat  maghrib dan sholat isya’.

3.      waa Qur-aanal fajr, menunjukkan waktu pelaksanaan sholat ketika terbit fajar,
menunjukkan waktu shubuh.

Li duluk asy-syamsimenjadi sebab adanya sebab kewajiban sholat dzuhur dan sholat
asar, yakni sejak tergelincirnya matahari hingga saatnya terbenamnya matahari. Saat
menunaikan sholat dzuhur dijelaskan dalam sunah nabi, yakni sejak tergelincirnya
matahari hingga tinggi-tinggi bayang suatu benda sama dengan benda itu sendiri.

Waktu menunaikan sholat asar adalah sejak bayang-bayang suatu benda sama
tingginya dengan benda itu sendiri hingga terbenamnya matahari. Sedangkan Ilaa ghasaq
al’lail berarti tibanya kewajiban menunaikan sholat maghrib dan sejak isya’, sejak saat
terbenam matahari hingga terbit fajar. Waktu sholat maghrib dimulai sejak terbenam
matahari hingga hilangnya mega kuning. Adapun waktu menunaikan sholat isya’ dimulai
sejak mega kuning hingga tiba saat terbit fajar.

Makna waa Qur-aanal fajr menjadikan terbit fajar sebagai awal tibanya kewajiban
menunaikan sholat shubuh. Dengan demikian waktu menunaikan sholat shubuh dimulai
sejak terbit fajar hingga terbit matahari.

Dalam tafsir Al Misbah, vol 7 : hal 525, Prof. Quraysh Shihab menjelaskan bahwa
ayat tersebut memberikan perintah shalat 5 waktu secara langsung. Yang dimaksud
dengan sesudah matahari tergelincir (Li duluk asy-syamsi) adalah shalat Dzuhur dan
Ashar. Sedangkan yang dimaksud sampai gelap malam (Ilaa ghasaq al’lail) adalah sholat
maghrib dan shalat Isya’, dan shalat subuh diistilahkan dengan Qur-aanal fajr. Menurut
Quraysh Shihab, penempatan perintah shalat 5 waktu dalam surat Al Israa’ itu sangatlah
tepat, karena terkait langsung dengan cerita Isra’ Mi’raj, meskipun kita tidak menemukan
penjelasan yang eksplisit dalam firman Allah bahwa perintah shalat 5 waktu itu diterima
oleh Rasulullah saw pada saat Mi’raj di langit ke tujuh.

3
Hadits dari Abdullah bin Umar ra, Nabi Muhammad bersabda: Waktu shalat Dzuhur
jika matahari telah tergelincir, dan dalam keadaan bayangan dari seseorang sama
panjangnya selama belum masuk waktu Ashar. Dan waktu Ashar hingga matahari belum
berwarna kuning (terbenam). Dan waktu shalat Maghrib selama belum terbenam mega
merah. Dan waktu shalat Isya’ hingga pertengahan malam bagian separuhnya. Waktu
shalat Subuh dari terbit fajar hingga sebelum terbit matahari. (Shahih Muslim)

            Jalalain menulis pula dalam kitab tafsirnya yang termashur, “ Tafsir Jalalain”,
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir, artinya dari sejak matahari
tergelincir – ila ghosaqil_lail (sampai gelap malam) hingga kegelapan malam tiba; yg
dimaksud adalah shalat Dzuhur, Ashar, Maghrib dan Isya’.”

Sementara itu, dalam Muhammad Jawad Muqniyyah. At-Tafsir al-Kasif, 15:74


Menerangkan bahwa awal waktu sholat ada lima . Hal ini didasarkan pada pemahaman
terhadap Q. S. An-Nisa’ ayat 103, Al-Isra’ ayat 78, dan Q. S. Taha ayat 130 yang
didukung pula dengan hadis dari Jabir bin Abdullah yang diriwayatkan oleh Ahmad,
Nasa’i dan Tirmidzi. Berdasarkan pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an maupun
hadis tersebut dirinci ketentuan waktu-waktu salat sebagai berikut: (1) Dzuhur, Waktu
dzuhur dimulai sejak matahari tergelincir, yaitu sesaat setelah matahari mencapai titik
kulminasi (culmination) dalam peredaran hariannya, sampai tiba waktu Asar, (2) Asar,
waktu Asar dimulai saat panjang bayang-bayang suatu benda sama dengan bendanya
ditambah dengan panjang bayang-bayang saat matahari berkulminasi sampai tibanya
waktu Maghrib, (3) Maghrib, waktu Maghrib dimulai sejak matahari terbenam sampai
tiba waktu Isya’, (4) Isya’, waktu Isya’ dimulai sejak hilang mega merah sampai separuh
malam (ada juga yang menyatakan akhir salat Isya adalah terbit fajar), dan (5) Subuh,
waktu Subuh dimulai sejak terbit fajar sampai terbit matahari.

     Pandangan-pandangan tersebut bermuara pada satu pandangan yang sama,


bahwa sholat wajib yang diperintah Allah SWT melalui rasulnya Nabi Muhammad
adalah ada lima sholat wajib; yakni Sholat dzuhur, Ashar, maghrib, isya’ dan shubuh.  
Sedangkan lima sholat wajib tersebut mempunyai lima waktu yang berbeda sesuai
dengan batas awal dan akhirnya masing-masing waktu sholat tersebut.

“SEMBILAN SYARAT SAHNYA SHALAT”

1. Islam

Lawannya adalah kafir. Orang kafir amalannya tertolak walaupun dia banyak
mengamalkan apa saja, dalilnya firman Allah ‘azza wa jalla, “Tidaklah pantas bagi
orang-orang musyrik untuk memakmurkan masjid-masjid Allah padahal mereka
menyaksikan atas diri mereka kekafiran. Mereka itu, amal-amalnya telah runtuh dan di
dalam nerakalah mereka akan kekal.” (At-Taubah:17)

4
Dan firman Allah ‘azza wa jalla, “Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan,
lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (Al-Furqan:23)

Shalat tidak akan diterima selain dari seorang muslim, dalilnya firman Allah ‘azza wa
jalla, “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.”
(Aali ‘Imraan:85)

2. Berakal

Lawannya adalah gila. Orang gila terangkat darinya pena (tidak dihisab amalannya)
hingga dia sadar, dalilnya sabda Rasulullah,  ”Diangkat pena dari tiga orang: 1. Orang
tidur hingga dia bangun, 2. Orang gila hingga dia sadar, 3. Anak-anak sampai ia baligh.”
(HR. Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa-i, dan Ibnu Majah).

3. Tamyiz

Yaitu anak-anak yang sudah dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk,
dimulai dari umur sekitar tujuh tahun. Jika sudah berumur tujuh tahun maka mereka
diperintahkan untuk melaksanakan shalat, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam,   “Perintahkanlah anak-anak kalian shalat ketika berumur tujuh tahun, dan
pukullah mereka ketika berumur sepuluh tahun (jika mereka enggan untuk shalat) dan
pisahkanlah mereka di tempat-tempat tidur mereka masing-masing.” (HR. Al-Hakim, Al-
Imam Ahmad dan Abu Dawud)

4. Menghilangkan Hadats (Thaharah)

Hadats ada dua: hadats akbar (hadats besar) seperti janabat dan haidh, dihilangkan
dengan mandi (yakni mandi janabah), dan hadats ashghar (hadats kecil) seperti buang air
besar, air kecil atau buang angin, dihilangkan dengan wudhu`, sesuai sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Allah tidak akan menerima shalat tanpa bersuci.” (HR.
Muslim dan selainnya)

Dan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Allah tidak akan menerima shalat orang
yang berhadats hingga dia berwudlu`.” (Muttafaqun ‘alaih)

5. Menghilangkan Najis

Menghilangkan najis dari tiga hal: badan, pakaian dan tanah (lantai tempat shalat),
dalilnya firman Allah ‘azza wa jalla, “Dan pakaianmu, maka sucikanlah.” (Al-
Muddatstsir:4)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,   ”Bersucilah dari kencing, sebab


kebanyakan adzab kubur disebabkan olehnya.”

6. Menutup Aurat

Menutupnya dengan apa yang tidak menampakkan kulit (dan bentuk tubuh), berdasarkan
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Allah tidak akan menerima shalat wanita
yang telah haidh (yakni yang telah baligh) kecuali dengan khimar (pakaian yang menutup
seluruh tubuh, seperti mukenah).” (HR. Abu Dawud)

Para ulama sepakat atas batalnya orang yang shalat dalam keadaan terbuka auratnya
padahal dia mampu mendapatkan penutup aurat. Batas aurat laki-laki dan budak wanita
ialah dari pusar hingga ke lutut, sedangkan wanita merdeka maka seluruh tubuhnya aurat
selain wajahnya selama tidak ada ajnaby (orang yang bukan mahramnya) yang
melihatnya, namun jika ada ajnaby maka sudah tentu wajib atasnya menutup wajah juga.

5
Di antara yang menunjukkan tentang mentutup aurat ialah hadits Salamah bin Al-Akwa`
radhiyallahu ‘anhu, “Kancinglah ia (baju) walau dengan duri.”

Dan firman Allah ‘azza wa jalla, “Wahai anak cucu Adam, pakailah pakaian kalian yang
indah di setiap (memasuki) masjid.” (Al-A’raaf:31) Yakni tatkala shalat. 

7. Masuk Waktunya Sholat

Dalil dari As-Sunnah ialah hadits Jibril ‘alaihis salam bahwa dia mengimami Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam di awal waktu dan di akhir waktu (esok harinya), lalu dia
berkata: “Wahai Muhammad, shalat itu antara dua waktu ini.”

Dan firman Allah ‘azza wa jalla, “Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang
ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (An-Nisa`:103)

Artinya diwajibkan dalam waktu-waktu yang telah tertentu. Dalil tentang waktu-waktu
itu adalah firman Allah ‘azza wa jalla, “Dirikanlah shalat dari sesudah tergelincirnya
matahari sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) Shubuh. Sesungguhnya shalat
Shubuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (Al-Israa`:78)

8. Menghadap Kiblat

Dalilnya firman Allah, “Sungguh Kami melihat wajahmu sering menengadah ke langit,
maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke Kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah
wajahmu ke arah Masjidil-Haram, dan di mana saja kalian berada maka palingkanlah
wajah kalian ke arahnya.” (Al-Baqarah:144)

9. Niat

Tempat niat ialah di dalam hati, sedangkan melafazhkannya adalah bid’ah (karena tidak
ada dalilnya). Dalil wajibnya niat adalah hadits yang masyhur, “Sesungguhnya amal-amal
itu didasari oleh niat dan sesungguhnya setiap orang akan diberi (balasan) sesuai
niatnya.” (Muttafaqun ‘alaih dari ‘Umar Ibnul Khaththab)

“HAL-HAL YANG MEMBATALKAN SHOLAT 5 WAKTU”

Yang dimaksud dengan hal-hal yang membatalkan sholat adalah gerakan-gerakan atau
lisan yang bisa membatalkan sholat, sehingga sholatnya tidak sah dan harus diulang

Yang termasuk hal-hal yang dapat membatalkan sholat, adalah :

 1. Berbicara ketika sholat

2. Tertawa

3. Makan dan minum

4. Berjalan terlalu banyak tanpa ada keperluan

5. Tersingkapnya aurat

6. Memalingkan badan dari kiblat

7. Menambah rukuk, sujud, berdiri atau duduk secara sengaja 

6
8. Mendahului imam dengan sengaja

Perlu diingatkan disini bahwa batalnya sholat adalah rusaknya seluruh hal yang ada pada 
“Syarat-syarat (dibolehkannya) Sholat” saat sholat berlangsung, antara lain adanya
Hadats (haid, buang air, dan sebagainya) atau terkena najis, atau segala hal yang
membatalkan wudhu.

“Hadist Dan Firman Allah Tentang Keringanan-Keringanan Dalam Ibadah Puasa”

Pertama: Orang sakit ketika sulit berpuasa.

Yang dimaksudkan sakit adalah seseorang yang mengidap penyakit yang membuatnya
tidak lagi dikatakan sehat. Para ulama telah sepakat mengenai bolehnya orang sakit untuk
tidak berpuasa secara umum. Nanti ketika sembuh, dia diharuskan mengqodho’ puasanya
(menggantinya di hari lain). Dalil mengenai hal ini adalah firman Allah Ta’ala,

‫َو َم ْن َكانَ َم ِريضًا أَوْ َعلَى َسفَ ٍر فَ ِع َّدةٌ ِم ْن أَي ٍَّام أُ َخ َر‬

“Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.”
(QS. Al Baqarah: 185)

Untuk orang sakit ada tiga kondisi:

Kondisi pertama adalah apabila sakitnya ringan dan tidak berpengaruh apa-apa jika tetap
berpuasa. Contohnya adalah pilek, pusing atau sakit kepala yang ringan, dan perut
keroncongan. Untuk kondisi pertama ini tetap diharuskan untuk berpuasa.

Kondisi kedua adalah apabila sakitnya bisa bertambah parah atau akan menjadi lama
sembuhnya dan menjadi berat jika berpuasa, namun hal ini tidak membahayakan. Untuk
kondisi ini dianjurkan untuk tidak berpuasa dan dimakruhkan jika tetap ingin berpuasa.

Kondisi ketiga adalah apabila tetap berpuasa akan menyusahkan dirinya bahkan bisa
mengantarkan pada kematian. Untuk kondisi ini diharamkan untuk berpuasa. Hal ini
berdasarkan firman Allah Ta’ala,

‫َوال تَ ْقتُلُوا أَ ْنفُ َس ُك ْم‬

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu.” (QS. An Nisa’: 29)

Apakah orang yang dalam kondisi sehat boleh tidak berpuasa karena jika berpuasa dia
ditakutkan sakit?

Boleh untuk tidak berpuasa bagi orang yang dalam kondisi sehat yang ditakutkan akan
menderita sakit jika dia berpuasa. Karena orang ini dianggap seperti orang sakit yang jika
berpuasa sakitnya akan bertambah parah atau akan bertambah lama sembuhnya. Allah
Ta’ala berfirman,

‫َوال تَ ْقتُلُوا أَ ْنفُ َس ُك ْم‬

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu.” (QS. An Nisa’: 29)

‫ي ُِري ُد هَّللا ُ بِ ُك ُم ْاليُ ْس َر َوال ي ُِري ُد بِ ُك ُم ْال ُعس َْر‬

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”


(QS. Al Baqarah: 185)

7
ٍ ‫َو َما َج َع َل َعلَ ْي ُك ْم فِي الدِّي ِن ِم ْن َح َر‬
‫ج‬

“Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama
suatu kesempitan.” (QS. Al Hajj: 78)

‫َوإِ َذا أَ َمرْ تُ ُك ْم بِأ َ ْم ٍر فَأْتُوا ِم ْنهُ َما ا ْستَطَ ْعتُ ْم‬

“Jika aku memerintahkan kalian untuk melakukan suatu perkara, maka lakukanlah
semampu kalian.”

Kedua: Orang yang bersafar ketika sulit berpuasa.

Musafir yang melakukan perjalanan jauh sehingga mendapatkan keringanan untuk


mengqoshor shalat dibolehkan untuk tidak berpuasa.

Dalil dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala,

‫َو َم ْن َكانَ َم ِريضًا أَوْ َعلَى َسفَ ٍر فَ ِع َّدةٌ ِم ْن أَي ٍَّام أُ َخ َر‬

“Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.”
(QS. Al Baqarah: 185)

Apakah jika seorang musafir berpuasa, puasanya dianggap sah?

Mayoritas sahabat, tabi’in dan empat imam madzhab berpendapat bahwa berpuasa ketika
safar itu sah.

Ada riwayat dari Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar yang menyatakan bahwa
berpuasa ketika safar tidaklah sah dan tetap wajib mengqodho’. Ada yang mengatakan
bahwa seperti ini dimakruhkan.

Namun pendapat mayoritas ulama lebih kuat sebagaimana dapat dilihat dari dalil-dalil
yang nanti akan kami sampaikan.

Manakah yang lebih utama bagi orang yang bersafar, berpuasa ataukah tidak?

Para ulama dalam hal ini berselisih pendapat. Setelah meneliti lebih jauh dan
menggabungkan berbagai macam dalil, dapat kita katakan bahwa musafir ada tiga
kondisi.

Kondisi pertama adalah jika berat untuk berpuasa atau sulit melakukan hal-hal yang baik
ketika itu, maka lebih utama untuk tidak berpuasa. Dalil dari hal ini dapat kita lihat dalam
hadits Jabir bin ‘Abdillah. Jabir mengatakan,

‫ فَقَالُوا‬. » ‫ فَقَا َل « َما هَ َذا‬، ‫ َو َر ُجالً قَ ْد ظُلِّ َل َعلَ ْي ِه‬، ‫ فَ َرأَى ِز َحا ًما‬، ‫َكانَ َرسُو ُل هَّللا ِ – صلى هللا عليه وسلم – فِى َسفَ ٍر‬
‫ْس ِمنَ ْالبِ ِّر الصَّوْ ُم فِى ال َّسفَ ِر‬
َ ‫ فَقَا َل « لَي‬. ‫صائِ ٌم‬
َ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersafar melihat orang yang berdesak-
desakan. Lalu ada seseorang yang diberi naungan. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengatakan, “Siapa ini?” Orang-orang pun mengatakan, “Ini adalah orang
yang sedang berpuasa.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Bukanlah suatu yang baik jika seseorang berpuasa ketika dia bersafar”. Di sini
dikatakan tidak baik berpuasa ketika safar karena ketika itu adalah kondisi yang
menyulitkan.

8
Kondisi kedua adalah jika tidak memberatkan untuk berpuasa dan tidak menyulitkan
untuk melakukan berbagai hal kebaikan, maka pada saat ini lebih utama untuk berpuasa.
Hal ini sebagaimana dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di mana beliau
masih tetap berpuasa ketika safar.

Dari Abu Darda’, beliau berkata,

‫ض َع ال َّر ُج ُل يَ َدهُ َعلَى َر ْأ ِس ِه ِم ْن ِش َّد ِة‬ ِ َ‫ْض أَ ْسف‬


َ َ‫ار ِه فِى يَوْ ٍم َحا ٍّر َحتَّى ي‬ ِ ‫خَ َرجْ نَا َم َع النَّبِ ِّى – صلى هللا عليه وسلم – فِى بَع‬
َ‫صائِ ٌم إِالَّ َما َكانَ ِمنَ النَّبِ ِّى – صلى هللا عليه وسلم – َوا ْب ِن َر َوا َحة‬ َ ‫ َو َما فِينَا‬، ‫ْال َح ِّر‬

“Kami pernah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di beberapa safarnya
pada hari yang cukup terik. Sehingga ketika itu orang-orang meletakkan tangannya di
kepalanya karena cuaca yang begitu panas. Di antara kami tidak ada yang berpuasa.
Hanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja dan Ibnu Rowahah yang berpuasa ketika
itu.”

Apabila tidak terlalu menyulitkan ketika safar, maka puasa itu lebih baik karena lebih
cepat terlepasnya kewajiban. Begitu pula hal ini lebih mudah dilakukan karena berpuasa
dengan orang banyak itu lebih menyenangkan daripada mengqodho’ puasa sendiri
sedangkan orang-orang tidak berpuasa.

Kondisi ketiga adalah jika berpuasa akan mendapati kesulitan yang berat bahkan dapat
mengantarkan pada kematian, maka pada saat ini wajib tidak berpuasa dan diharamkan
untuk berpuasa. Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata,

َ َ‫صا َم َحتَّى بَلَ َغ ُك َرا َع ْال َغ ِم ِيم ف‬


‫صا َم النَّاسُ ثُ َّم‬ َ َ‫ضانَ ف‬َ ‫ح إِلَى َم َّكةَ فِى َر َم‬ ِ ‫ َخ َر َج عَا َم ْالفَ ْت‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫ُول هَّللا‬ َ ‫أَ َّن َرس‬
ُ
َ ‫صا َم فَقَا َل « أولَئِكَ ْالع‬ َ ‫َح ِم ْن َما ٍء فَ َرفَ َعهُ َحتَّى نَظَ َر النَّاسُ إِلَ ْي ِه ثُ َّم َش ِر‬
ُ‫ُصاة‬ َ ‫اس قَ ْد‬ ِ َّ‫ْض الن‬َ ‫ك إِ َّن بَع‬َ ِ‫ب فَقِي َل لَهُ بَ ْع َد َذل‬ ٍ ‫َدعَا بِقَد‬
ُ‫ُصاة‬ ْ
َ ‫ك الع‬ َ
َ ِ‫أولئ‬ ُ

“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada tahun Fathul


Makkah (8 H) menuju Makkah di bulan Ramadhan. Beliau ketika itu berpuasa.
Kemudian ketika sampai di Kuroo’ Al Ghomim (suatu lembah antara Mekkah dan
Madinah), orang-0rang ketika itu masih berpuasa. Kemudian beliau meminta diambilkan
segelas air. Lalu beliau mengangkatnya dan orang-orang pun memperhatikan beliau.
Lantas beliau pun meminum air tersebut. Setelah beliau melakukan hal tadi, ada yang
mengatakan, “Sesungguhnya sebagian orang ada yang tetap berpuasa.” Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan, “Mereka itu adalah orang yang durhaka.
Mereka itu adalah orang yang durhaka”.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela
keras seperti ini karena berpuasa dalam kondisi sangat-sangat sulit seperti ini adalah
sesuatu yang tercela.

Kapan waktu diperbolehkan tidak berpuasa bagi musafir?

Dalam hal ini, kita mesti melihat beberapa keadaan:

Pertama, jika safar dimulai sebelum terbit fajar atau ketika fajar sedang terbit dan dalam
keadaan bersafar, lalu diniatkan untuk tidak berpuasa pada hari itu; untuk kondisi
semacam ini diperbolehkan untuk tidak berpuasa berdasarkan kesepakatan para ulama.
Alasannya, pada kondisi semacam ini sudah disebut musafir karena sudah adanya sebab
yang memperbolehkan untuk tidak berpuasa.

Kedua,  jika safar dilakukan setelah fajar (atau sudah di waktu siang), maka menurut
pendapat Imam Ahmad yang lain, juga pendapat Ishaq dan Al Hasan Al Bashri, dan
pendapat ini juga dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, boleh berbuka (tidak
berpuasa) di hari itu. Inilah pendapat yang lebih kuat.

Dalil dari pendapat terakhir ini  adalah keumuman firman Allah Ta’ala,

9
‫َو َم ْن َكانَ َم ِريضًا أَوْ َعلَى َسفَ ٍر فَ ِع َّدةٌ ِم ْن أَي ٍَّام أُ َخ َر‬

“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.”
(QS. Al Baqarah: 185)

Dan juga hadits Jabir sebagaimana telah disebutkan di atas: “Sesungguhnya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada tahun Fathul Makkah (8 H) menuju Makkah di
bulan Ramadhan. Beliau ketika itu berpuasa. Kemudian ketika sampai di Kuroo’ Al
Ghomim (suatu lembah antara Mekkah dan Madinah), orang-0rang ketika itu masih
berpuasa. Kemudian beliau meminta diambilkan segelas air. Lalu beliau mengangkatnya
dan orang-orang pun memperhatikan beliau. Lantas beliau pun meminum air tersebut.

Begitu pula yang menguatkan hal ini adalah dari Muhammad bin Ka’ab. Dia mengatakan,

ُ ‫اب ال َّسفَ ِر فَ َدعَا بِطَ َع ٍام فَأ َ َك َل فَقُ ْل‬


ٌ‫ت لَهُ ُسنَّة‬ َ ِ‫احلَتُهُ َولَب‬
َ َ‫س ثِي‬ ِ ‫ت لَهُ َر‬ ْ َ‫ضانَ َوه َُو ي ُِري ُد َسفَرًا َوقَ ْد رُ ِحل‬ َ ‫ْت أَن‬
ٍ ِ‫َس ْبنَ َمال‬
َ ‫ك فِى َر َم‬ ُ ‫أَتَي‬
‫ب‬َ ‫ ثُ َّم َر ِك‬.ٌ‫قَا َل ُسنَّة‬.

“Aku pernah mendatangi Anas bin Malik di bulan Ramadhan. Saat ini itu Anas juga
ingin melakukan safar. Dia pun sudah mempersiapkan kendaraan dan sudah
mengenakan pakaian untuk bersafar. Kemudian beliau meminta  makanan, lantas beliau
pun memakannya. Kemudian aku mengatakan pada Annas, “Apakah ini termasuk
sunnah (ajaran Nabi)?” Beliau mengatakan, “Ini termasuk sunnah.” Lantas beliau pun
berangkat dengan kendaraannya.” Hadits ini merupakan dalil bahwa musafir boleh
berbuka sebelum dia pergi bersafar.

Ketiga, jika berniat puasa padahal sedang bersafar, kemudian karena suatu sebab di
tengah perjalanan berbuka, maka hal ini diperbolehkan. Alasannya adalah dalil yang telah
kami sebutkan pada kondisi kedua dari hadits Abu Darda: “Kami pernah keluar bersama
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di beberapa safarnya pada hari yang cukup terik.
Sehingga ketika itu orang-orang meletakkan tangannya di kepalanya karena cuaca yang
begitu panas. Di antara kami tidak ada yang berpuasa. Hanya Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam saja dan Ibnu Rowahah yang berpuasa ketika itu.”

Kapan berakhirnya keringanan untuk tidak berpuasa bagi musafir?

Berakhirnya keringanan (rukhsoh) bagi musafir untuk tidak berpuasa adalah dalam dua
keadaan: (1) ketika berniat untuk bermukim, dan (2) jika telah kembali ke negerinya.

Jika orang yang bersafar tersebut kembali ke negerinya pada malam hari, maka keesokan
harinya dia wajib berpuasa tanpa ada perselisihan ulama dalam hal ini.

Sedangkan apabila dia kembali pada siang hari, sedangkan sebelumnya tidak berpuasa,
apakah ketika dia sampai di negerinya, dia jadi ikut berpuasa hingga berbuka?

Untuk kasus yang satu ini ada dua pendapat. Pendapat yang lebih tepat adalah dia tidak
perlu menahan diri dari makan dan minum. Jadi boleh tidak berpuasa hingga waktu
berbuka. Inilah pendapat Imam Asy Syafi’i dan Imam Malik. Terdapat perkataan yang
shohih dari Ibnu Mas’ud,

ِ ْ‫ار فَ ْليَأْ ُكل‬


ُ‫آخ َره‬ ِ َ‫َم ْن أَ َك َل أَ َّو َل النَّه‬

“Barangsiapa yang makan di awal siang, maka makanlah pula di akhir siang.” Jadi, jika
di pagi harinya tidak berpuasa, maka di siang atau sore harinya pun tidak perlu berpuasa.

10
Ketiga: Orang yang sudah tua rentah dan dalam keadaan lemah, juga orang sakit
yang tidak kunjung sembuh.

Para ulama sepakat bahwa orang tua yang tidak mampu berpuasa, boleh baginya untuk
tidak berpuasa dan tidak ada qodho baginya. Menurut mayoritas ulama, cukup bagi
mereka untuk memberi fidyah yaitu memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari
yang ditinggalkan. Pendapat mayoritas ulama inilah yang lebih kuat. Hal ini berdasarkan
firman Allah Ta’ala,

ٍ ‫َو َعلَى الَّ ِذينَ يُ ِطيقُونَهُ فِ ْديَةٌ طَ َعا ُم ِم ْس ِك‬


‫ين‬

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al Baqarah: 184)

Begitu pula orang sakit yang tidak kunjung sembuh, dia disamakan dengan orang tua
rentah yang tidak mampu melakukan puasa sehingga dia diharuskan mengeluarkan fidyah
(memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan).

Ibnu Qudamah mengatakan, “Orang sakit yang tidak diharapkan lagi kesembuhannya,
maka dia boleh tidak berpuasa dan diganti dengan memberi makan kepada orang miskin
bagi setiap hari yang ditinggalkan. Karena orang seperti ini disamakan dengan orang
yang sudah tua.”

Keempat: Wanita hamil dan menyusui.

Di antara kemudahan dalam syar’at Islam adalah memberi keringanan kepada wanita
hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa. Jika wanita hamil takut terhadap janin yang
berada dalam kandungannya dan wanita menyusui takut terhadap bayi yang dia sapih –
misalnya takut kurangnya susu- karena sebab keduanya berpuasa, maka boleh baginya
untuk tidak berpuasa, dan hal ini tidak ada perselisihan di antara para ulama. Dalil yang
menunjukkan hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ِّ ‫ض ِع الصَّوْ َم أَ ِو ال‬
‫صيَا َم‬ ِ ْ‫صالَ ِة َو َع ِن ْال ُم َسافِ ِر َو ْال َحا ِم ِل َو ْال ُمر‬ ْ ‫ض َع َع ِن ْال ُم َسافِ ِر َش‬
َّ ‫ط َر ال‬ َ ‫إِ َّن هَّللا َ َع َّز َو َج َّل َو‬

“Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla meringankan setengah shalat untuk musafir dan
meringankan puasa bagi musafir, wanita hamil dan menyusui.”

Namun apa kewajiban wanita hamil dan menyusui jika tidak berpuasa, apakah ada
qodho’ ataukah mesti menunaikan fidyah? Inilah yang diperselisihkan oleh para ulama.

Al Jashshosh rahimahullah mengatakan, “Para ulama salaf telah berselisih pendapat


dalam masalah ini menjadi tiga pendapat. ‘Ali berpendapat bahwa wanita hamil dan
menyusui wajib qodho’ jika keduanya tidak berpuasa dan tidak ada fidyah ketika itu.
Pendapat ini juga menjadi pendapat Ibrahim, Al Hasan dan ‘Atho’. Ibnu ‘Abbas
berpendapat cukup keduanya membayar fidyah saja, tanpa ada qodho’. Sedangkan Ibnu
‘Umar dan Mujahid berpendapat bahwa keduanya harus menunaikan fidyah sekaligus
qodho’.”

Pendapat terkuat adalah pendapat yang menyatakan cukup mengqodho’ saja. Ada dua
alasan yang bisa diberikan,

Alasan pertama: dari hadits Anas bin Malik, ia berkata,

ِ ْ‫صاَل ِة َوالصَّوْ َم َوع َْن ْال ُح ْبلَى َو ْال ُمر‬


‫ض ِع‬ َّ ‫ض َع ع َْن ْال ُم َسافِ ِر نِصْ فَ ال‬
َ ‫إِ َّن هَّللا َ َو‬

“Sesungguhnya Allah meringankan separuh shalat dari musafir, juga puasa dari wanita
hamil dan menyusui.”

11
Al Jashshosh rahimahullah menjelaskan, “Keringanan separuh shalat tentu saja khusus
bagi musafir. Para ulama tidak ada beda pendapat mengenai wanita hamil dan menyusui
bahwa mereka tidak dibolehkan mengqoshor shalat. … Keringanan puasa bagi wanita
hamil dan menyusui sama halnya dengan keringanan puasa bagi musafir. … Dan telah
diketahui bahwa keringanan puasa bagi musafir yang tidak berpuasa adalah
mengqodhonya, tanpa adanya fidyah. Maka berlaku pula yang demikian pada wanita
hamil dan menyusui. Dari sini juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara
wanita hamil dan menyusui jika keduanya khawatir membahayakan dirinya atau anaknya
(ketika mereka berpuasa) karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak merinci
hal ini.”

Perkataan Al Jashshosh ini sebagai sanggahan terhadap pendapat yang menyatakan wajib
mengqodho’ bagi yang hamil sedangkan bagi wanita menyusui adalah dengan
mengqodho’ dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang
ditinggalkan.

Alasan kedua: Selain alasan di atas, ulama yang berpendapat cukup mengqodho’ saja
(tanpa fidyah) menganggap bahwa wanita hamil dan menyusui seperti orang sakit.
Sebagaimana orang sakit boleh tidak puasa, ia pun harus mengqodho’ di hari lain. Ini
pula yang berlaku pada wanita hamil dan menyusui. Karena dianggap seperti orang sakit,
maka mereka cukup mengqodho’ sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,

‫فَ َم ْن َكانَ ِم ْن ُك ْم َم ِريضًا أَوْ َعلَى َسفَ ٍر فَ ِع َّدةٌ ِم ْن أَي ٍَّام أُ َخ َر‬

“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada
hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 184)

Pendapat ini didukung pula oleh ulama belakangan semacam Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin
‘Abdillah bin Baz rahimahullah. Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata, “Hukum wanita
hamil dan menyusui jika keduanya merasa berat untuk berpuasa, maka keduanya boleh
berbuka (tidak puasa). Namun mereka punya kewajiban untuk mengqodho (mengganti
puasa) di saat mampu karena mereka dianggap seperti orang yang sakit. Sebagian ulama
berpendapat bahwa cukup baginya untuk menunaikan fidyah (memberi makan kepada
orang miskin) untuk setiap hari yang ia tidak berpuasa. Namun pendapat ini adalah
pendapat yang lemah. Yang benar, mereka berdua punya kewajiban qodho’ (mengganti
puasa) karena keadaan mereka seperti musafir atau orang yang sakit (yaitu diharuskan
untuk mengqodho’ ketika tidak berpuasa, -pen). Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala
(yang artinya), “Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 184)

Kondisi ini berlaku bagi keadaan wanita hamil dan menyusui yang masih mampu
menunaikan qodho’. Dalam kondisi ini dia dianggap seperti orang sakit yang diharuskan
untuk mengqodho’ di hari lain ketika ia tidak berpuasa. Namun apabila mereka tidak
mampu untukk mengqodho’ puasa, karena setelah hamil atau menyusui dalam keadaan
lemah dan tidak kuat lagi, maka kondisi mereka dianggap seperti orang sakit yang tidak
kunjung sembuhnya. Pada kondisi ini, ia bisa pindah pada penggantinya yaitu
menunaikan fidyah, dengan cara memberi makan pada satu orang miskin setiap harinya.

Catatan penting yang perlu diperhatikan bahwa wanita hamil dan menyusui boleh tidak
berpuasa jika memang ia merasa kepayahan, kesulitan, takut membahayakan dirinya atau
anaknya. Al Jashshosh rahimahullah mengatakan, “Jika wanita hamil dan menyusui
berpuasa, lalu dapat membahayakan diri, anak atau keduanya, maka pada kondisi ini
lebih baik bagi keduanya untuk tidak berpuasa dan terlarang bagi keduanya untuk
berpuasa. Akan tetapi, jika tidak membawa dampak bahaya apa-apa pada diri dan anak,
maka lebih baik ia berpuasa, dan pada kondisi ini tidak boleh ia tidak berpuasa.”

12

You might also like