You are on page 1of 14

TUGAS MATA KULIAH

PATOLOGI KLINIK

Dosen Pengajar:
Syamsul Arifin

Oleh :
Inda Listiani
J1E107005

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU

2010
INTERAKSI HEREDITAS DAN LINGKUNGAN TERHADAP
PENYAKIT:
UJI DIAGNOSTIK PEMERIKSAAN PENAPISAN FENOTIP

Inda Listiani

Program Studi Farmasi


Fakultas Matematika dan Imu Pengetahuan Alam
Universitas Lambung Mangkurat

I. PENDAHULUAN
Kita sering mendengar pertanyaan, “Apakah penyakit ini menurun?”
Dalam beberapa hal, pertanyaan tersebut tidak tepat. Faktor intrinsic hampir selalu
terlibat dalam penyakit. Karena itu sebaiknya pertanyaan tersebut diungkapkan
sebagai berikut, “Sampai seberapa jauhkah pentingnya faktor keturunan pada
penyakit ini?” Walaupun pada penyakit infeksi yang jelas penyebabnya eksogen,
faktor genetik dapat dan mempengaruhi kepekaan terhadap agen yang menular
tersebut dan terhadap pola penyakit yang ditimbulkannya.
Berdasarkan alasan analitis, genetika terutama terpusat pada ciri-ciri yang
di dalamnya hereditas tampak menonjol dan faktor lingkungan dapat diabaikan.
Tetapi hal ini tidak bisa dipungkiri memberikan gambar satu sisi karena gen suatu
individu tidak berfungsi in-vacuo. Mereka beraksi dalam seperangkat kondisi luar
tertentu, dan banyak ciri-ciri manusia dan penyakit yang penyebab pentingnya
tampaknya adalah sekaligus faktor genetik dan lingkungan. Oleh karena itu dalam
hal ini penting sekali untuk memahami bagaimana konstitusi genetik individu bisa
terungkap secara berlainan pada keadaan lingkungan yang berbeda. Tetapi
masalah penguraian peran hereditas dan lingkungan dalam keadaan dimana
keduanya tampak merupakan penyebab penting, secara analitis bersifat kompleks
dan secara konseptual sering tampak sulit.
Dengan memperhatikan keseimbangan relatif antara keturunan dan
lingkungan sebagai penyebab timbulnya penyakit, terdapat spektrum yang lebar.
Pada ujung yang satu dari spektrum itu terdapat penyakit-penyakit yang terutama
ditentukan oleh beberapa agen lingkungan terlepas dari latar belakang keturunan
individu, sedangkan pada ujung yang lain terdapat penyakit-penyakit yang
merupakan akibat dari perencanaan susunan genetik yang salah. Penyakit-
penyakit yang terakhir ini mencakup yang biasanya disebut sebagai penyakit
keturunan, penyakit yang diwujudkan pada hampir setiap orang pembawa
informasi genetik yang salah tanpa mengindahkan pengaruh ekstrinsik. Hampir
semua penyakit pada manusia berada diantara kedua ujung spektrum ini dan
kedua faktor tersebut, baik faktor genetik maupun faktor ekstrinsik, saling
mempengaruhi secara bermakna.

II. STRUKTUR DAN FUNGSI DNA


DNA dibentuk oleh dua untaian susunan molekul fosfat dan deoksiribosa
secara bergantian dengan satu basa purin (adenine atau guanine) atau satu basa
pirimidin (timin atau sitosin). Dalam satu nukleotida terdapat satu deoksiribosa,
satu kelompok fosfat, dan satu basa, dan satu untai DNA merupakan
polinukleotida. Basa tersusun seperti anak tangga dan deoksiribosa dan kelompok
fosfat tersusun seperti tiang dari tangga tersebut. Kedua untai tersebut terkait pada
satu aksis yang sama dan membentuk heliks ganda. Urutan basa pada satu untai
berpasangan secara saling melengkapi dengan basa yang berada pada untai yang
lain, sehingga adenine (A) pada untai yang satu selalu berpasangan dengan timin
(T) pada untai yang lain, dan guanine (G) selalu berpasangan dengan sitosin (C).
Pasangan basa ini diikat menjadi satu oleh ikatan hidrogen. Sewaktu terjadi
replikasi DNA, maka urutan basa pada untai yang satu secara “otomatis”
menentukan urutan basa pada untai yang lain. Dalam tahap persiapan pembelahan
sel, untaian-untaian dalam heliks ganda berpisah dan masing-masing berfungsi
sebagai tempat sintesis dari pasangan untaian yang baru.
DNA membawa informasi genetik dalam bentuk kode, kode tersebut
disusun dengan memakai dua basa purin dan dua basa pirimidin. Tiga dari basa-
basa ini dalam susunannya pada kode molekul DNA diperlukan untuk asam
amino tertentuk dan dipakai sebagai sisipan pada peptida yang sudah ada. Basa-
basa ini menyalurkan semua informasi yang diperlukan untuk sintesis protein.
Suatu urutan tiga basa seperti ini disebut kodon. Pasangan basa sangat penting
selama proses biosintesis protein, baik untuk RNA demikian juga untuk DNA.
Sebenarnya semua DNA yang berada di dalam sel berkedudukan di nucleus,
sedangkan sintesis protein dari asam amino terjadi dalam sitoplasma. RNA
memainkan peranan sebagai perantara dalam menyalurkan kode informasi dari
nukleus ke sitoplasma, kemudian membantu pembentukan rantai peptida.
Pada sel yang tidak membelah, DNA ditemukan hampir di seluruh bagian
nukleus. Sewaktu sel mulai membelah, bahan tersebut mulai mengatur dirinya
untuk membentuk untaian kromosom. Gen merupakan sub unit dari kromosom.
Gen adalah bagian DNA yang menentukan produksi polipeptida yang
mengendalikan perkembangan satu sifat bawaan tertentu.
Sel-sel tubuh manusia pada umumnya terdiri dari 46 kromosom atau 23
pasang, merupakan susunan diploid. Dari 23 pasang ini, 22 pasang disebut sebagai
otosom, dan satu pasang kromosom seks. Wanita memliki dua kromosom X, dan
pria memiliki 1 kromosom X dan 1 kromosom Y dalam setiap sel. Dalam
terminology standar, seorang wanita normal ditandai dengan 46XX, seorang pria
normal ditandai dengan 46XY. Gen-gen dari seorang individu membentuk
genotip; ekspresi luar dari genotip, atau penampilan luar dari seorang individu
disebut fenotip.
Kromosom dapat divisualisasi dan dipelajari dalam susunan yang disebut
kariotip. Untuk menentukan kelainan-kelainan yang terjadi, sel-sel dari seorang
individu, biasanya sel darah putih, ditanam pada medium pembiakan dan
diinduksi untuk membelah. Mitosis dihambat dengan menggunakan bahan kimia
sewaktu berada dalam metafase, karena untaian kromosom terlihat paling jelas.
Setelah diwarnai maka dilakukan pemotretan kromosom, pasangan-pasangan
kromosom dapat dikenal melalui ukurannya, posisinya dari sentrometer, dan
panjangnya lengan. Kecuali kromosom seks, pasangan-pasangan kromosom lain
tersusun dalam format standar.

III. PENYAKIT GENETIK


Secara klinis, penyakit genetik terbagi atas 2 kelompok yang
berhubungan dengan:
1. Kelainan kromosom
Beberapa penyakit yang disebabkan oleh kelainan kromosom adalah
sebagai berikut:
Sindrom Jacobs (47, XYY atau 44A + XYY)
Penderita mempunyai 44 Autosom dan 3 kromosom kelamin (XYY). Kelainan
ini ditemukan oleh P.A. Jacobs pada tahun 1965 dengan ciri – ciri pria
bertubuh normal, berperawakan tinggi, bersifat antisosial, perilaku kasar dan
agresif, wajah menakutkan, memperlihatkan watak kriminal, IQ dibawah
normal.
Sindrom Klinefelter (47, XXY atau 44A + XXY)
Penderita mempunyai 44 Autosom dan 3 kromosom kelamin (XXY). Kelainan
ini ditemukan oleh H.F. Klinefelter tahun 1942. Penderita berjenis kelamin laki
– laki tetapi cenderung bersifat kewanitaan, testis mengecil dan mandul,
payudara membesar, dada sempit, pinggul lebar, rambut badan tidak tumbuh,
tubuhnya cenderung tinggi (lengan dan kakinya panjang), mental terbelakang.
Sindrom Turner (45, XO atau 44A + X)
Penderita mempunyai 44 Autosom dan hanya 1 kromosom kelamin yaitu X.
Kelainan ini ditemukan oleh H.H. Turner tahun 1938. Penderita Sindrom
Turner berkelamin wanita, namun tidak memiliki ovarium, alat kelamin bagian
dalam terlambat perkembangannya (infatil) dan tidak sempurna, steril, kedua
puting susu berjarak melebar, payudara tidak berkembang, badan cenderung
pendek (kurang lebih 120 cm), dada lebar , leher pendek, mempunyai gelambir
pada leher, dan mengalami keterbelakangan mental.
Sindrom Cri du chat
Anak yang dilahirkan dengan delesi pada kromosom nomor 5 ini mempunyai
mental terbelakang, memiliki kepala yang kecil dengan penampakan wajah
yang tidak biasa, dan memiliki tangisan yang suaranya seperti suara kucing.
Penderita biasanya meninggal ketika masih bayi atau anak – anak.

2. Defek pada gen dan tidak dapat dilihat pada analisis kromosom, tapi dapat
dianalisis dari family tree atau dengan pemeriksaan biokimia dan tes biologi
molekuler. Golongan ini dikenal sebagai penyakit akibat defek gen tunggal
yang digolongkan sebagai mutasi baru atau penyakit keturunan yang
diturunkan seperti:
a) Penyakit autosomal dominan
Huntington
Huntington merupakan suatu penyakit karena terjadi degenerasi sistem saraf
yang cepat dan tidak dapat balik. Penderita menggelengkan kepala pada satu
arah. Huntington disebabkan oleh alel dominan (H). Oleh karena itu, dengan
satu alel H saja semua individu yang heterozigot akan mendapatkan
Huntington. Individu normal mempunyai alel resesif (hh).
Polidaktili
Polydactyly ialah terdapatnya jari tambahan pada satu atau kedua tangan /
kaki. Tempat jari tambahan itu berbeda - beda , ada yang terdapat dekat ibu
jari dan ada pula yang terdapat dari jari kelingking.
b) Penyakit autosomal resesif
Anemia sel sabit
Penyakit anemia sel sabit disebabkan oleh substitusi suatu asam amino
tunggal dalam protein hemoglobin berisi sel sel darah merah. Ketika
kandungan oksigen darah individu yang diserang, dalam keadaan rendah
(misalnya pada saat berada ditempat yang tinggi atau pada wktu mengalami
ketegangan fisik), hemoglobin sel sabit akan mengubah bentuk sel – sel
darah merah menjadi bentuk sabit. Individu yang menderita anemia sel sabit
disimbolkan dengan ss. Sedangkan individu normal memiliki genotipe SS
dan karier anemia sel sabit disimbolkan dengan Ss.
Albino
Kata albino berasal dari albus yang berarti putih.Kelainan terjadi karena
tubuh tidak mampu membentuk enzim yang diperlukan untuk merubah
asam amino tirosin menjadi beta-3,4-dihidroksipheylalanin untuk
selanjutnya diubah menjadi pigmen melanin. Pembentukan enzim yang
mengubah tirosin menjadi melanin, ditentukan oleh gen dominan A,
sehingga orang normal mempunyai genotipe AA atau Aa, dan albino aa.
Phenylketonuria
Phenylketonuria merupakan suatu penyakit keturunan yang disebabkan oleh
ketidakberesan metabolisme, dimana penderita tidak mampu melakukan
metabolisme fenilalanin dengan normal. Asam amino ini merupakan bahan
untuk mensintesis protein, tirosin dan melanin. Sebagian fenilalanin diubah
menjadi fenil piruvat. Gejala penyakit ditandai dengan bertimbunnya asam
amino dalam darah yang banyak terbuang melalui urin, mental terbelakang
(IQ 30), rambut putih, mata kebiruan (produksi melanin kurang baik),
bentuk tubuh khas seperti orang psychotic, gerakan menyentak – nyentak
dan bau tubuh apak. Bayi yang menderita phenylketonuria mengandung
kadar fenilalanin yang tinggi di dalam darah dan jaringan, karena tidak
memiliki enzim phenylalanin hidroxylase, yang mengubah fenilalanin
menjadi tirosin. Asam phenylpiruvatpun meningkat, diekskresi melalui urin
dan keringat, sehingga tubuh berbau apak. Kadar fenilalanin yang tinggi
dapat merusak otak bayi, dan mundurnya kejiwaan setelah berumur 6 tahun.
Penderita mempunyai genotip phph (homozigot resesif). Orang normal
mempunyai genotip PhPh (homozigot dominan) dan Phph (heterozigot).
c) X-linked resesif.
Hemofilia
Hemofilia merupakan gangguan koagulasi herediter yang paling sering
dijumpai. Hemofilia disebabkan oleh mutasi gen faktor VIII atau faktor IX
sehingga dapat dikelompokkan menjadi hemofilia A dan hemofilia B.
Kedua gen tersebut terletak pada kromosom X, sehingga termasuk penyakit
resesif terkait –X, yang disebabkan karena tidak adanya protein tertentu
yang diperlukan untuk penggumpalan darah, atau kalaupun ada kadarnya
rendah sekali. Umumnya luka pada orang normal akan menutup (darah akan
membeku) dalam waktu 5 – 7 menit. Tetapi pada penderita hemofilia, darah
akan membeku 50 menit sampai 2 jam, sehingga mudah menyebabkan
kematian karena kehilangan terlalu banyak darah. Perempuan yang
homozigot resesif untuk gen ini merupakan penderita (X hXh), sedangkan
perempuan yang heterozigot (XhXH) pembekuan darahnya normal namun ia
hanya berperan sebagai pembawa / carier. Seorang laki – laki penderita
hanya mempunyai satu genotip yaitu (XhY).
Buta Warna
Penderita tidak dapat membedakan warna hijau dan merah , atau semua
warna. Individu yang buta terhadap warna hijau (tipe deutan) dan merah
(tipe protan) dikarenakan individu tersebut tidak mempunyai reseptor yang
dapat mendeteksi cahaya pada panjang gelombang hijau atau merah. Buta
warna merupakan penyakit yang disebabkan oleh gen resesif c (color blind)
yang terdapat pada kromosom X. Perempuan normal mempunyai genotip
homozigotik dominan CC dan heterozigotik Cc, sedangkan yang buta warna
adalah homozigotik resesif cc. Laki – laki hanya mempunyai sebuah
kromosom-X, sehingga hanya dapat normal XY atau buta warna XY.
Sindrom Fragile X
Nama sindrom fragile diambil dari penampakan fisik kromosom X yang
tidak normal. Bagian kromosom X yang mengalami konstriksi (pelekukan)
dibagian ujung lengan kromosom yang panjang. Dari semua bentuk
keterbelakangan mental yang disebabkan oleh faktor genetik, bentuk yang
paling umum adalah fragile.
Sindrom Lesch-Nyhan
Penyakit ini timbul karena adanya pembentukan purin yang berlebihan.
Sebagai hasil metabolisme purin yang abnormal ini, penderita
memperlihatkan kelakuan yang abnormal, yakni kejang otak yang tidak
disadari serta menggeliatkan anggota kaki dan jari – kari tangan. Selain dari
itu penderita juga tuna mental, menggigit serta merusak jari – jari tangan da
jaringan bibir. Semua penderita adalah laki – laki dibawah umur 10 tahun,
dan belum pernah ditemukan pada perempuan.

IV. DIAGNOSIS PENYAKIT GENETIK


Dalam hal penyakit genetis, deteksi dini secara molekuler saat ini sudah
mulai digunakan untuk beberapa jenis penyakit keturunan. Pengobatan penyakit
genetis tentu tidak dapat dilakukan dengan cara pengobatan kimia konvensional
karena penyakit ini disebabkan oleh adanya mutasi pada tingkat DNA atau RNA.
Penggantian DNA yang mengalami mutasi menjadi DNA normal dan dimasukkan
kembali ke dalam tubuh saat ini masih merupakan tujuan jangka panjang. Metode
pengobatan ini dinamakan gene therapy.
Kurang lebih 0,6% neonates memiliki kelainan kromosom mayor yang
dapat menyebabkan peningkatan morbiditas atau mortalitas. Tetapi, sebagian
besar kalainan kromosom menyebabkan kematian, dan hasil konsepsi lenyap pada
tahap tertentu dalam kehamilan atau tidak melekat pada uterus. Sekitar 50% dari
embrio dan fetus yang mengalami abortus spontan memiliki kelainan kromosom.
Hilangnya sebagian kromosom atau duplikasi kromosom yang tidak menimbulkan
kematian seringkali mengakibatkan bentuk tubuh disformik, retardasi mental, dan
ketidakmampuan untuk berkembang. Trisomi otosom yang paling sering terjadi
dan dapat tetap bertahan hidup setelah lahir adalah trisomi 21, sindrom Down;
trisomi 18, sindrom Edward; dan trisomi 13, sindrom Patau.
Manifestasi klinis dari tiga sindrom trisomi yang dapat tetap hidup
setelah lahir :
Kromosom Nama Gambaran Klinis
(genotip) Umum (fenotip)
Trisomi 21 Sindrom Wajah: terdapat lipatan epikantus, fisura palpebra
47XX, +21 Down oblik, jembatan hidung lebar, profil wajah datar, mulut
47Y, +21 terbuka, lidah menonjol keluar.
Tubuh: tangan pendek dan lebar, garis tunggal di
telapak tangan, ada celah yang besar antara jari kaki
pertama dan kedua, telinga rendah, dan tag
preaulikular, sering terdapat cacat jantung dan
hipotoni
Berbagai derajat retardasi mental
Trisomi 18 Sindrom Aterm, berat badan lahir rendah
47XX, +18 Edward Oksiput menojol, mikrognatia, posisi telinga rendah
47XY, +18 dengan malformasi, labioskisis dan palatoskisis
Retardasi motorik dan retardasi mental berat
Jarang dapat hidup lebih dari beberapa bulan
Trisomi 13 Sindrom Aterm, berat badan lahir rendah
47XX, +13 Patau Wajah: hidung lebar, hipertelorisme, mikrognatia,
47XY, +13 deformitas pada mata; mikroensefali, posisi telinga
rendah dengan malformasi, gangguan fleksi,
polidaktili, dan sindaktili
Daya tahan hidup sangat rendah
Ekspresi fenotip dari gen dapat terjadi dalam satu dari empat macam pola
keturunan: dominan otosomal, resesif otosomal, dominan terkait X, dan resesif
terkait X (mendelian). Abnormalitas dari gen tunggal tak dapat diketahui dengan
pemeriksaan sel secara mikroskopis, karena kariotip dari individu yang terkena
normal. Adanya gen abnormal dapat dilacak dengan mengamati sebuah sifat
bawaan fenotipik yang abnormal pada individu dan pada pohon keluarga.
Abnormalitas gen tunggal dapat nampak dalam berbagai keadaan, mulai dari
defek lokalisasi anatomis yang sederhana sampai pada gangguan yang tak nyata
atau komples dari kimia tubuh. Populasi secara keseluruhan dari frekuensi
gangguan gen tunggal adalah sekitar 1%, dengan 0,7% sebagai dominan, 0,25%
sebagai resesif, dan 0,04% terkait X.
Dalam sebuah kategori abnormalitas gen tunggal, DNA yang
menyimpang dapat mengakibatkan produksi molekul protein abnormal, misalnya,
molekul hemoglobin. Sedikit penyimpangan pada struktur hemoglobin dapat
mengakibatkan perubahan secara fisik dan dapat berkembang menjadi penyakit
yang serius. Penyakit dapat terjadi akibat tidak adanya produk akhir, penumpukan
substrat yang tidak terpakai karena adanya hambatan, atau akibat penimbunan
produk darijalur metabolik lain yang biasanya sedikit dipakai akibat
“terhambatnya” jalur metabolik yang biasanya dipakai. Contoh klasik dari
keadaan yang disebabkan tidak adanya produk akhir adalah albinisme. Pigmen
melanin tidak diproduksi, akibatnya tidak ada pigmen pada rambut, kulit, atau iris.
Contoh yang lain adalah tidak adanya hormon tiroid yang mengakibatkan
kretinisme, dan diabetes insipidus akibat tidak diproduksinya hormone anti
diuretik oleh kelenjar pituitary.
Penyakit genetik dapat dipelajari dalam beberapa tingkat yaitu mulai dari
tingkat populasi, keluarga, individu, sel, kromosom, dan gen. Pada tingkat
populasi, mencari variasi penyakit genetik yang tidak dapat dipisahkan dari faktor
lingkungan. Pada tingkat keluarga dan individu, apakah kelainan tersebut X-linked
atau autosomal; pada tingkat sel, ekspresi protein dapat dipelajari, sedangkan pada
tingkat kromosom dan gen banyak sekali kemajuan yang telah dicapai.
Dua pendekatan yang berbeda diterapkan untuk diagnosis penyakit-
penyakit genetik dengan teknologi DNA rekombinan:
1. Diagnosis gen langsung, yaitu deteksi gen mutan.
Berdasarkan identifikasi perbedaan kualitas antara rangkaian DNA
pada gen normal dan abnormal. Digunakan dua metode:
a. Satu berdasarkan kenyataan bahwa beberapa mutasi merubah atau
menghancurkan tempat-tempat terbatas tertentu pada DNA normal. Sebagai
contoh, gen β globin normal mempunyai tiga tempat terbatas untuk enzim
Mst II, salah satunya hilnag pada siklus gen globin. Ini menghasilkan pita-
pita dengan ukuran berbeda jika DNA dari individu normal dan individu
yang terkena dicerna dengan Mst II serta dibandingkan dengan analisa
Sauthern blot.
b. Analisa pemeriksaan oligonukleotida digunakan jika mutasi menghasilkan
gen abnormal yang tidak mengubah tempat terbatas yang diketahui. Dua
oligonukleotida dengan panjang 18 – 20 basa disintesa, di bagian tengah
terdapat basa tunggal dimana gen normal dan gen mutan berbeda. Setiap
oligonukleotida hibridisasi kuat dengan gen (normal) yang sesuai, tetapi
lemah dengan gen yang tidak pada urutan yang tepat. Jadi pada analisa
Southern blot gen normal dan gen mutan dapat dibedakan berdasarkan
kekuatan hibridisasi dengan pemeriksaan dua oligonukleotida.
2. Diagnosis gen tidak langsung, yaitu deteksi ikatan gen penyakit dengan
“petanda gen” yang tidak berbahaya.
Pada banyak penyakit genetik, gen mutan dan bagian normalnya
belum diidentifikasi atau diurut, dan oleh sebab itu diagnosis gen langsung
tidak dapat digunakan. Karenanya perlu memakai “pelacakan gen” yang
menentukan apakah anggota keluarga yang mendapatkan atau fetus yang
diturunkan mempunyai daerah kromosom yang sesuai dengan anggota keluarga
yang terkena sebelumnya. Perlu dibedakan kromosom yang membawa gen
normal dengan gen mutan pada heterozigot. Untuk ini, digunakan sifat variasi
urutan DNA di sekitar (dan berikatan dengan) gen mutan. Analisa seperti ini
disebut “Restriction fragment length polymorphism” (RFLP), berdasarkan
polimorfisme DNA yang menimbulkan fragmen dengan panjang berbeda-beda
pada analisa Southern blot. Misalnya pada fibrosis kistik, orangtua dan anak-
anak heterozigot mempunyai dua pita yang berasal dari kromosom normal dan
kromosom yang terkena. Sebaliknya individu (homozigot) yang terkena
menunjukkan pita tunggal berasal dari dua kromosom identik yang membawa
gen mutan.
Teknik RFLP telah terbukti berguna pada deteksi antenatal beberapa
kelainan genetik seperti fibrosis kistik, penyakit Huntington, penyakit ginjal
polikistik, dan sindroma Lesch-Nyhan. Bagaimanapun terdapat beberapa
keterbatasan:
a. Untuk diagnosis prenatal, beberapa anggota keluarga yang terkena dan yang
tidak terkena harus bersedia diperiksa.
b. Anggota keluarga yang menjadi kunci (misalnya orang tua, saudara
kandung) harus heterozigot untuk RFLP (yaitu kromosom normal dan yang
membawa gen mutan harus dibedakan dengan analisa Southern blot).
Dengan perkataan lain, polimorfisme DNA informatif harus diberikan
dengan gen yang dicari.
c. Rekombinasi antara kromosom homolog selama gametogenesis dapat
menyebabkan hilangnya ikatan antara polimorfisme DNA dan gen mutan.
Selain secara RFLP, teknik analisis yang sering digunakan adalah
sebagai berikut:
Southern blot
Bila struktur gen yang mengalami mutasi dan yang normal diketahui, dapat
dilakukan hibridisasi dengan oligonukleotida tertentu yang telah didesain untuk
hibridisasi tersebut.
Northern blot
Hibridisasi RNA dengan cDNA untuk melihat ekspresi atau produk gen tertentu.
Western blot
Identifikasi produk gen dengan dasar reaksi antigen antibody.
Setiap organisme mempunyai urutan DNA yang unik, pemeriksaan DNA
dapat dipakai untuk mendeteksi semua mikroba. Dua metode yang digunakan:
a. Dot blot hybridization
b. In situ hybridization, yang dapat mendeteksi dan melokalisasi sel organisme
Keuntungan pemeriksaan DNA pada diagnosis penyakit infeksius adalah
sebagai berikut:
a. Organisme yang sukar tumbuh atau tumbuh lambat dapat dideteksi dengan
cepat.
b. Jumlah organisme yang sedikit (102) dapat dideteksi.
Sebagai tambahan nilainya pada diagnosis kelainan genetik dan
infeksius, analisa pemeriksaan DNA berguna dalam (1) diagnosis beberapa bentuk
kanker, dan (2) identifikasi positif individu untuk patologi forensik
.
V. PENUTUP
Telah diuraikan di atas mengenai interaksi hereditas dan lingkungan
terhadap penyakit. Anomali atau malformasi congenital umumnya merupakan
hasil interaksi dari gen-gen majemuk dengan beberapa keadaan lingkungan
tertentu. Sebagian besar anomali congenital terjadi tanpa pola penurunan yang
jelas. Penyelidikan pada kembar menunjukkan bahwa kemungkinan untuk
mendapatkan anomaly tertentu pada tiap anak kembar lebih besar pada kembar
identik daripada kembar fraternal. Lagipula banyak penelitian pada keluarga
menunjukkan bahwa kerabat dari seorang yang menderita anomaly tertentu,
mempunyai insidens yang lebih besar daripada populasi pada umumnya.
Sebaliknya, peranan dari lingkungan sudah jelas, karena bahkan pada kembar
identik sekalipun frekuensi dari anomali tertentu tidak sepenuhnya 100%. Pada
segi lain, ada faktor-faktor lingkungan, seperti zat kimia toksik, obat-obatan,
pengaruh fisik, dan virus-virus yang mengakibatkan anomali congenital. Tetapi,
bahkan pada lingkungan teratogen yang sudah jelas dan kuat sekalipun seperti
thalidomide, faktor-faktor lain (genetik dan/atau lingkungan) tetap harus
diperhitungkan, karena tidak semua janin yang terkena pada masa kritisnya
menunjukkan anomali. Tak perlu dikatakan lagi bahwa interaksi yang kompleks
antara gen majemuk dan faktor-faktor lingkungan mengakibatkan anomali yang
belum dapat dimengerti sepenuhnya.
Jelas bahwa karena suatu kondisi tertentu, bagian dari populasi yang
secara genetis memiliki predisposisi mungkin sangat kecil atau sungguh besar,
dan proporsi yang terpapar pada keadaan lingkungan yang merugikan demikian
pula dapat berbeda-beda. Lagipula, pasti diduga bahwa banyak macam gen
seringkali dengan satu dan lain cara menghasilkan jenis predisposisi tertentu.
Kajian tentang genetik banyak penyakit bisa menimbulkan pencegahan atau
perbaikannya dengan metode lingkungan semata-mata. Memang sangat mungkin
bahwa salah satu penerapan medis dan sosial paling penting dari penelitian genetis
terletak pada pengendalian lingkungan, karena semakin dimungkinkannya untuk
mengkarakterisasi konstitusi genetis individu secara tepat semakin dimungkinkan
untuk melihat bagaimana mengubah atau menyesuaikan lingkungan menurut
kebutuhannya.

DAFTAR PUSTAKA

Elvita, A., dkk. Genetika Dasar. http://yayanakhyar.files.wordpress.com/2009/


01/genetika-dasar_files-of-drsmed.pdf. Diakses tanggal 22 Mei 2010.

Harris, Harry. 1994. Dasar-Dasar Genetika Biokemis Manusia Edisi 3. Gadjah


Mada University Press, Yogyakarta.

Nuswantara, S. dan Usep Soetisna. Era Bioteknologi dalam Pengobatan dan


Diagnosis Penyakit Infeksi dan Genetis.
http://katalog.pdii.lipi.go.id/index.php/searchkatalog/downloadDatabyId/
4226/4227.pdf. Diakses tanggal 22 Mei 2010.

Pringgoutomo, S., Sutisna H., dan Achmad T. 2002. Patologi I (Umum) Edisi 1.
Sagung Seto, Jakarta.

Robbins, S.L., et al. 1994. Dasar Patologik Penyakit, Binarupa Aksara, Jakarta.

Robbins, S.L., dan Vinay Kumar. 1995. Buku Ajar Patologi I. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.

S. A. Price & L. M. 1994. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses Penyakit Edisi 4.


Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

You might also like