You are on page 1of 5

Pengertian Istihsan

Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik terhadap sesuatu.


Menurut istilah ahli usul fiqih istihsan ialah meninggalkan qiyas jaly (jelas) untuk
berpindah kepada qiyas kafi (samar-samar) atau dari hukum kully (umum) kepada
hukum Juz’i atau Istisna’i (pengecualian) karena ada dalil yang membenarkan
perpindahan itu.Istihsan dapat berarti juga:
a. Berbuat sesuatu yang lebih baik
b. Mencari yang lebih baik untuk diikuti
c. Mengikuti sesuatu yang lebih baik
d. Memperhitungkan sesuatu sebagai yang lebih baik
Pengertian Istihsan secara terminologis menurut para ulama adalah:
a. Al-Bazdawi (Hanafi)
Istihsan “Berpaling dari kehendak qiyas kepada Qiyas yang lebih kuat atau
pengkhususan qiyas berdasarkan dalil yang lebih kuat”
b. Al-Ghazali (Syaf’iy)
Istihsan ialah Semua hal yang dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya
c. Ibnu Qudamahi (Hanbali)
Istihsan ialah suatu keadilan terhadap hokum Karena adanya dalil tertentu dari Al-
Quran dan Sunnah. Imam Ahmad menggunakan istihsan dalam berbagai masalah.
d. Asy-Syatibi (Maliki)
Istihsan ialah pengambian suatu kemaslahatan Yang bersifat juz’iy dalam menanggapi
dalil yang bersifat global

Kehujjahan Istihsan Menurut Ulama


Para ulama berbeda pendapat tentang kehujjahan istihsan.

1. Golongan syafi’iyyah menolak Istihsan, karena berhujjah dengan


istihsan dianggap menetapkan suatu hukum tanpa dasar yang kuat
hanya semata-mata didasarkan pada hawa nafsunya.

2. Golongan Hanafiyah dan Malikiyah memperbolehkan istihsan dengan


pertimbangan istihsan merupakan usaha melakukan qiyas kafi dengan
mengalahkan Qiyas Jaly atau mengutamakan dalil yang istisna’i dari
pada yang kully.
Jenis Istihsan

a. Istihsan Nash
Istihsan Nash ialah istihsan yang sandaran nya adalah nash. Contohnya jual beli
beli salam/indent.
b. Istihsan Dharury.
Istihsan al-dharurah adalah istihsan yang sandarannya adalah dharurat.
Contohnya : tidak diberlakukannya hukum potong tangan terhadap pencuri, karena
pencurian dilakukan secara terpaksa/untuk mempertahankan hidup, seperti yang terjadi
pada masa Umar ketika terjadi tahun kelaparan (‘amul maja’ah).
c. Istihsan ‘Urf
Istihsan ‘Urf, yaitu istihsan yang sandarannya ‘urf. Contohnya : jual beli
mu’athah di swalayan.
d. Istihsan Istislahi, yaitu qiyas yang sandarannya maslahah
Dalam hal ini ulama berpindah dari dalil yang biasa/umum digunakan
kepada dalil lain yang khusus, berdasarkan pertimbangan maslahah . Contoh :
Penerapan revenue sharing dalam sistem bagi hasil (profit distribution) di bank syariah.
Menurut kebiasaan umum yang berlaku digunakan PLS, namun berdasarkan maslahah
diterapkan Revenue sharing.
e. Istihsan Qiyasi, adalah istihsan yang sandarannya adalah qiyas khafi.
Dalam istihsan ini seorang ulama meninggalkan qiyas jali kemudian berpegang
kepada qiyas khafi karena ada kemaslahatan. Contoh : Bersihnya makanan/minuman sisa
burung buas (elang dan gagak). Menurut qiyas jali, sisa tersebut najis karena
mengqiyaskannya kepada binatang buas yang lain yang dagingnya sama-sama haram
dimakan. Namun, dalam hal kasus ini, ia diqiyaskan kepada burung biasa (qiyas khafi),
sehingga sisa minuman/makananya dihukumkan bersih.

Dasar hukum istihsan


Yang berpegang dengan dalil istihsan ialah Madzhab Hanafi, menurut
mereka istihsan sebenarnya semacam qiyas, yaitu memenangkan qiyas khafi atas
qiyas jali atau mengubah hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau
kejadian yang ditetapkan berdasar ketentuan umum kepada ketentuan khusus
karena ada suatu kepentingan yang membolehkannya. Menurut mereka jika
dibolehkan menetapkan hukum berdasarkan qiyas jali atau maslahat mursalah,
tentulah melakukan istihsan karena kedua hal itu pada hakekatnya adalah sama,
hanya namanya saja yang berlainan. Disamping Madzhab Hanafi, golongan lain
yang menggunakan istihsan ialah sebagian Madzhab Maliki dan sebagian
Madzhab Hambali.
Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah
ialah Madzhab Syafi’i. Istihsan menurut mereka adalah menetapkan hukum syara’
berdasarkan keinginan hawa nafsu. Imam Syafi’i berkata: "Siapa yang berhujjah
dengan istihsan berarti ia telah menetapkan sendiri hukum syara’ berdasarkan
keinginan hawa nafsunya, sedang yang berhak menetapkan hukum syara’
hanyalah Allah SWT." Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan beliau,
dinyatakan: "Perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti orang
yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan
bahwa arah itu adalah arah Ka’bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat
syara’ untuk menentukan arah Ka’bah itu."
Jika diperhatikan alasan-alasan yang dikemukakan kedua pendapat itu
serta pengertian istihsan menurut mereka masing-masing, akan jelas bahwa
istihsan menurut pendapat Madzhab Hanafi berbeda dari istihsan menurut
pendapat Madzhab Syafi’i. Menurut Madzhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas,
dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang
menurut Madzhab Syafi’i, istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian
pindah kepada rasa yang lebih enak. Seandainya istihsan itu diperbincangkan
dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan
pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu asy-Syathibi menyatakan: "orang yang
menetapkan hokum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan
keinginannyya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui
bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara’ dan sesuai
pula dengan kaidah-kaidah syara’ yang umum".
Tugas kelompok Dosen mata kuliah : Asril Natun, S.Ag

MAKALAH

ISTIHSAN

OLEH

BAKHRUL ULUM
MEGASARI

PRODI MUAMALAH EKONOMI ISLAM


JURUSAN SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM TAFAQQUH FIDDIN
DUMAI
2011

You might also like