You are on page 1of 4

c  



 

   

Posted on 16 November 2010.

Fenomena perubahan sosial budaya yang terjadi sangat tergantung dari kemampuan
masyarakat dalam mengarungi perubahan itu termasuk kesiapan dalam melakukan
perubahan. Perubahan secara cepat dapat terjadi apabila ada keinginan umum untuk
mendorong terjadinya perubahan itu, ada pemimpin, tujuan yang pasti, dan waktu yang
tepat untuk melaksanakan perubahan yang cepat tersebut.

Berdasarkan tingkat perubahan yang terjadi, adakalanya perubahan tersebut memiliki


pengaruh yang besar dan mendasar, tetapi ada juga yang pengaruhnya tidak begitu besar
dan tidak mendasar. Sebagai contoh, perkembangan mode pada fashion bersifat siklis dan
pengaruhnya tidak begitu mendasar karena hanya bersifat sementara, jangka waktu
perubahan relatif cepat. Contoh perubahan yang amat mendasar dan memerlukan waktu
yang panjang adalah perubahan dari masyarakat agraris be masyarakat industri.

Adakalanya perubahan itu memang direncanakan data tahapan-tahapan tertentu. Data


sejarah pembangunan Indonesia, kita mengenal adanya tahapan-tahapan data
pembangunan (PELITA), sehingga perubahan itu pada suatu saat tertentu akan
memperoleh hasil yang diharapkan.

Apa dan bagaimana 




 

dapat terjadi? Kalau kita pikirkan
sebenarnya yang selalu abadi dalam perjalanan kehidupan manusia adalah ³perubahan´
itu sendiri. Namun, secara garis besar, kita dapat membedakan sebab terjadinya
perubahan tersebut berasal dari faktor internal dan faktor eksternal.

Perilaku masyarakat akibat perubahan sosial dapat berupa pemberontakan, aksi pastes,
demonstrasi, data tindakan kriminal. Berikut beberapa contoh perubahan sosial budaya di
indonesia:

  


Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS)
Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) terjadi ketika sebagian kecil kelompok
masyarakat Ambon yang dipimpin oleh Christian Robert Steven Soumokil, bekas Jaksa
Agung Negara Indonesia Titnur (NIT) tidak puas dengan terjadinya proses kembali ke
negara kesatuan setelah Konfe-rensi Meja Bandar (KMB). Pemberontakan ini
menggunakan unsur KNIL yang merasa tidak pasti tentang status mereka setelah KMB.
Pemberontakan ini berlangsung sekitar 4 balms dan berakhir setelah pemimpin mereka,
dr. Soumokil, ditangkap. Sebagian dari yang berhasil lolos dari kejaran tentara RI
melarikan diri ke Belanda data bergabung dengan mereka yang telah bermigrasi lebih
awal serta membentuk RMS di pengasingan. Di sini jelas bahwa pemberontakan yang
mereka lakukan karena adanya perubahan sosial-budaya khususnya status mereka
anggota KNIL setelah KMB.
b.Pemberontakan Darul Islam (DI/TII) di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh
Pemberontakan ini merupakan gerakan keagamaan yang bertujuan membentuk negara
Indonesia berazaskan hukum Islam. Pemberontakan di daerah-daerah tersebut pada
umumnya terjadi karena ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat yang tidak
memberikan penghargaan yang pastas untuk mereka yang telah berjuang membela dan
mempertahankan RI. Bentuk ketidakpuasan itu tentu mempunyai latar belakang yang
berbeda. Yang pasti pars pemimpin gerakan merasa tidak puas karena adanya perubahan
sosial budaya. Di Aceh misalnya Daud Beureh tidak puas akan kedudukannya yang
semula sebagai gubemur Daerah istimewa Aceh menjadi salah satu karesidenan Sumatra
utara bukan lagi provinsi. Pemerintah RI setelah kembali menjadi negara kesatuan
melakukan penyederhanaan administrasi, sehingga status Daud Beureh tidak lagi menjadi
gubernur Aceh melainkan hanya seorang residen.

c. Pemberontakan PRRI/Permesta
Pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) terjadi di Sumatra
Barat dan Permesta di Sulawesi Utara. Kedua pemberontakan ini terjadi karena
ketidakpuasan terhadap kebijakan ekonomi tersentralisir yang dikeluarkan pemerintah
pusat yang semula otonomi. Sebab dalam kenyataannya hasil yang diperoleh dari daerah
ke pusat tidak dimanfaatkan untuk mensejahterakan penduduk daerah mereka sendiri.
Mereka menuntut kembali adanya desentralisasi ekonomi khususnya di bidang ekspor.
K     

Posted on 11 December 2010.

Dalam konteks otonomi daerah,      


mengacu pada konflik yang terjadi
antara pemerintah daerah dalam tingkatan yang sama (antara propinsi atau antara
kabupaten/kota). Konflik horizontal juga mengacu pada konflik antara kelompok-
kelompok di dalam masyarakat, baik kelompok yang terorganisir maupun yang tidak
terorganisir. Konflik ini terjadi karena adanya perbedaan kepentingan dan persepsi yang
menghasilkan benturan-benturan baik berupa benturan pendapat (berupa debat, polemik,
dan sejenisnya). Konflik adalah sebuah fenomena yang biasa dalam kehidupan sosial.
Tidak ada masyarakat yang tidak memiliki konflik dan tidak ada satu pun cara untuk
menghilangkan konflik dari kehidupan bermasyarakat. Di atas telah disinggung bahwa
konflik akan meningkat bila kebebasan juga semakin meningkat. Oleh karena itu tidak
mengherankan bila otonomi daerah diberlakukan konflik antar daerah juga akan
meningkat.

Kita sudah melihat mulai munculnya konflik antar daerah sebagai akibat dari
meningkatnya kewenangan daerah. Masalah perbatasan antar kabupaten/kota
kelihatannya akan menjadi sumber konflik penting di masa mendatang. Daerah-daerah
yang secara ekonomis mempunyai potensi yang besar diperkirakan akan menjadi sumber
sengketa antara kabupaten/kota dan antara propinsi. Hal ini diperparah oleh kenyataan
bahwa batas antara kabupaten/kota dan antara propinsi banyak yang tidak jelas dan
diabaikan selama ini karena dianggap tidak penting. Dengan semakin pentingnya sumber-
sumber yang bisa menghasilkan dana dapat diperkirakan bahwa akan terjadi banyak
rebutan desa-desa dan kecamatan-kecamatan yang kaya sumber-sumber dana. Beberapa
kasus yang sempat menghangat adalah sengketa antara Kabupaten Agama dengan Kota
Bukittinggi di Sumatera Barat. Hal yang sama juga terjadi antara Kota Padang
Sidempuan dengan Kabupaten Tapanuli Selatan di Sumatera Utara. Beredar isu bahwa
Propinsi Jambi akan mengklaim pulau Singkep sebagai wilayahnya padahal pulau
tersebut selama ini merupakan bagian Propinsi Riau.

Maraknya tawuran antara berbagai kelompok masyarakat dalam empat tahun terakhir
lebih banyak disebabkan oleh berkembangnya rasa kebebasan di dalam masyarakat yang
mengakibatkan euphoria. Masyarakat tiba-tiba menemukan kembali keberanian mereka
untuk menuntut hak-hak mereka yang selama Orde Baru dilanggar. Tumbang-nya Orde
Baru berarti tumbang pula kekuatan represif yang menakutkan sehingga rakyat menjadi
berani bersuara dan menuntut. Kedua, aparat penegak hukum (Polri dan TNI) dan aparat
pemerintah berada dalam posisi terpojok karena dianggap turut berbuat kesalahan selama
Orde Baru. Hujatan-hujatan yang ditujukan kepada aparat keamanan dan birokrasi
membuat aparat negara takut dan ragu-ragu bertindak, padahal masyarakat sedang berada
pada puncak euphoria. Ketiga, banyak sekali tindakan-tindakan Orde Baru dan kaki
tangannya (pengusaha kroni) yang merugikan rakyat banyak, seperti mengambil-alih
lahan pertanian dan hutan secara semena-mena. Semuanya itu dilakukan atas nama
penguasa politik tertinggi di tingkat pusat (keluarga Cendana) yang memang membuat
rakyat tidak berkutik. Para pengusaha kroni tersebut melakukan eksploitasi terhadpa
sumber-sumber alam dengan mengatas-namakan keluarga Cendana yang menimbulkan
kerusakan lingkungan dan kerugian bagi rakyat setempat. Menghilangnya kekuatan yang
represif sudah pasti akan menimbulkan pembalasan yang menakutkan.

K     
yang berkaitan dengan otonomi daerah terjadi bila ada kelompok-
kelompok masyarakat membela kabupaten/kota masing-masing dalam rangka perebutan
daerah antara kabupaten/kota masing-masing. Ini berarti bahwa konflik antara
kabupaten/kota telah berlangsung sedemikian hebatnya sehingga pemerintah daerah
kemudian melibatkan warga masyarakat masing-masing. Gejala seperti ini belum terlihat
sampai sekarang, namun di masa yang akan datang tidak tertutup kemungkinan terjadinya
konflik antar kelompok masyarakat yang disebabkan oleh sengketa antara kabupaten/kota

«.

You might also like