Professional Documents
Culture Documents
(Studi Konsep Ketuhanan Husain Ibn Manshur al-Hallaj, Abu Yazid al-Bustami dan
Ibn `Arabi)
A. Pendahuluan
Secara umum, dalam diri manusia terdapat dua dimensi yang antara
argumentsi yang kokoh bahwa secara jasmaniyah manusia berasal dari tanah dan
yang memuaskannya, semua berasal dari tanah serta ketika matipun, jasad
dikembalikan ke tanah. Kedua, dimensi ruhani (ruh) yang berasal dari Allah.2
Konsekuensi logisnya, bahwa ruh berasal dari Allah dan yang bisa
memuaskannya juga sesuatu yang berasal dari Allah serta ketika manusia
bernuansa spritualis. Antara keduanya menjadi satu kesatuan yang utuh dalam diri
manusia.
Manusia yang mampu memahami dirinya secara utuh, maka akan sampai
1
al-Qur’an al-Karim Surat al-Mukminun (23) : 12-14.
2
al-Qur’an al-Karim surat al-Hijr (15) : 29, lihat juga surat Shaad (38) : 72.
3
M. Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi, Al-Asma’ al-Husna Dalam Perspektif al-
Qur’an, Jakarta, Lentera Hati, Cetakan VIII, 2006, hal. 17.
mengenal dirinya sendiri, maka sungguh ia telah mengetahui dan mengenal
Tuhannya.4 Pada tataran ini, tidak ada batas dan tidak ada sesuatu yang dapat
Nasution “Kesadaran berada dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk
Formulasi ini dibangun berdasarkan persepsinya yang utuh bahwa antara manusia
dan Tuhan memiliki dua sifat yang sama, yaitu al-Lahut dan al-Nasut. Apabila
kedua sifat ini melebur jadi satu, maka berarti antar manusia dengan Allah sebagai
Tuhannya bisa menyatu. Momentum menyatunya antara al-Lahut dan al-Nusut ini
Nama ibn `arabi dimili tidak hanya oleh satu orang. Dalam sejarah
pemikiran Islam ada dua tokoh terkemuka yang mempunyai nama yang sama.
Yang pertama adalah Abu Bakr Muhammad Ibn `Abd Allah Ibn al-`Arabi al-
Muhammad Ibn `Ali ibn Muhammad ibn al`arabi al-Ta`i al-hatimi, seorang sufi
4
M. Amin Syukur, Zikir Menyembuhkan Kankerku: Pengalaman Kesembuhan Seseorang
Penderita Kanker Ganas yang Divonis Memiliki Hidup Hanya Tiga Bulan, (Jakarta: Hikmah,
2007), hal. 57.
5
Yusuf Qardawi, Al-Iman wa al-Hayat, (terj. Jaziratul Islamiyah), (Jakarta: Mitra
Pustaka, 2002), Cet V, hal. 65.
6
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973),
hal. 56.
7
J. Robson, Ibn al-`Arab The Encylopedia of Islam, New Edition (London dan Laiden:
Luzac dan Brill, 1979), hal. 3:707.
Tokoh pertama adalah sang kadi bukan objek pembicaraan dalam makalah
ini, tokoh yang kedua adalah sang sufi, dalam hal ini akan mengkaji tentang
pengertian yang berbeda dalam konteks-konteks yang berbeda pula. Namun dalam
hal ini konteks al-haqq yang dimaksudkan adalah hubungan ontologis antara al-
haqq dan al-khalq. Dalam konteks ini al-haqq adalah Allah, sedangkan al-khalq
Menurut Ibn ’Arabi, hanya ada satu Realitas. Realitas ini kita pandang dari
dua sudut yang berbeda. Ketika kita menganggapnya sebagai Esensi dari semua
fenomena, Realitas itu kita namai al-Haqq (the Real). Sementara, ketika kita
Satu dan Yang Banyak hanyalah nama-nama untuk dua aspek subjektif dari
Realitas Tunggal.
Allah dan alam, antara Sang Pencipta dan ciptaan, antara Yang Satu dan Yang
wujud adalah Allah; tidak ada wujud selain wujud Allah. Dengan kata lain, wujud
dalam pengertian hakiki hanya milik al-Haqq. Segala sesuatu selain al-Haqq
sesungguhnya tidak memiliki wujud. Karena itu, wujud hanya satu yaitu al-Haqq.
8
Kautsar Azhari Noer, Ibn Al-`Arabi Wahdat al-wujud dalam Perdebatan, (Jakarta:
Paramadina, 1995), hal. 46.
Apakah alam identik dengan Tuhan? Atau, apakah alam tidak mempunyai wujud
sama sekali? Jawaban Ibn ’Arabi tampak ambigu. Menurutnya, alam adalah al-
Haqq dan bukan al-Haqq, atau dengan kata lain, “Dia dan bukan Dia” (huwa la
huwa).
Maka tidak ada dalam wujud kecuali Allah dan sifat-sifat dari entitas-
entitas al-mumkinat yang dipersiapkan untuk disifati dengan wujud.
Karena itu, dalam wujud adalah ia [entitas-entitas mumkinat] dan bukan
dia. Karena yang nampak (azh-zhahir) adalah sifat-sifatnya, maka [itu]
adalah ia [dalam wujud]. Tetapi ia tidak mempunyai entitas dalam wujud
karena ia tidak ada [dalam wujud]. Dengan cara yang sama, ”[Itu adalah]
Dia [Allah] dan bukan Dia; karena Dia adalah yang nampak, maka itu
adalah Dia. Tetapi perbedaan antara maujudat ditangkap oleh akal dan
indra karena adanya perbedaan sifat-sifat dari entitas-entitas, maka itu
bukan Dia.
Istilah-istilah paradoks dalam irfan Ibn ’Arabi memang diakui juga oleh
Bulent Rauf, seorang peminat Ibn ’Arabi masa modern. Menurutnya, Ibn ’Arabi
Dia dan Dia adalah aku”, ”Aku adalah Dia dan bukan Dia”, ”Al-Haqq adalah al-
khalq dan al-khalq adalah al-Haqq”, ”al-Haqq bukan al-khalq dan al-khalq bukan
al-Haqq” dan seterusnya. Paradoks ini sebetulnya bukan paradoks sama sekali. Ia
adalah konsep relatif dari dua aspek Realitas. Sesungguhnya, ada resiprositas utuh
antara Yang Satu dan Yang Banyak sebagaimana dipahami oleh Ibn ’Arabi.
Seperti halnya dua korelasi logis, tak ada suatu makna apa pun tanpa yang lain.
9
Ibid..., hal. 47.
Dalam pandangan Ibn ’Arabi, alam adalah penyingkapan-diri atau tajali
al-Haqq. Dengan demikian, segala sesuatu dan segala peristiwa di alam ini adalah
entifikasi (ta’ayun) al-Haqq. Karena itu, baik Tuhan maupun alam, keduanya
horizontal tetapi juga vertikal seperti yang terlihat antara Nama al-Zhahir dan al-
Ibn ’Arabi memandang, realitas itu Satu, namun memiliki dua sifat yang
berbeda: sifat ketuhanan dan sifat kemakhlukan. Kedua sifat ini hadir dalam
segala sesuatu yang ada di alam. Dalam wujud hanya ada satu realitas yang dapat
dipandang dari dua aspek yang berbeda. “Tidak ada dalam wujud kecuali satu
realitas. Dipandang dari satu aspek, realitas itu kita sebut Yang Benar, Pelaku, dan
Pencipta. Dipandang dari aspek lain, ia kita sebut ciptaan, penerima, dan
makhluk.”10 Dengan demikian, al-Haqq dan al-khalq adalah dua aspek bagi wujud
Manshur al-Hallaj lahir di Persia (Iran) pada tahun 224 H/858 M. Nama
lengkapnya adalah Abu al-Mughist al-Husain ibn Mansur ibn Mahma al-Baidlawi
Pemahaman tasawuf pertama kali ia kenal dan pelajari dari seorang sufi yang
10
Ibid..., hal. 50.
11
Azyumardi Azra, et.al., Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002),
Cet X, hal. 74.
bernama Sahl al-Tustari.12 Karena pengembaraannya yang intens, maka ia dapat
bertemu, berteman dan bahkan berguru kepada para sufi kenamaan pada masa itu.
seterusnya pindah Bagdad untuk menemui sekaligus berguru kepada tokoh sufi
modern yang termasyhur, yaitu al-Junaid al- Baghdadi. Ia digelari al- Hallaj
Selanjutnya, al-Hallaj muda pergi ke kota Makkah. Selama di kota suci ini
kesufiannya. Pada situasi dan kondisi seperti inilah, ia mengalami dan merasakan
pengakuannya, ia telah mengalami pengalaman mistik yang luar biasa, yang pada
luar bisa tersebut, al-Hallaj memutuskan untuk kembali ke kota Baghdad dan
tertindas dari kekejaman penguasa saat itu. Pada tanggal 18 Dzulkaidah 309 H /
922 M ia ditangkap dan dijatuhi hukuman mati oleh pengusa Dinasti Abbasiyah
(Khalifah Al-Muktadir Billah). Motif dan latar belakang penangkapan dan vonis
12
Ibid.
13
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo, 1997),
hal. 144.
14
Ib id
hukuman mati ini adalah bermuara dari tuduhan membawa paham hulul yang
berikut dengan segala atribut nuansa spiritualnya bertumpu pada konsep teologi
mengungkap Yang Satu, dan mengenali Yang Satu, Tuhan dalam kemutlakan
tubuhnya. Menurut al-Hallaj bahwa Tuhan mempunyai dua sifat dasar, yaitu al-
lahut (sifat ketuhanan) dan al-nasut (sifat kemanusiaan).17 Demikian juga manusia
juga memiliki dua sifat dasar yang sama. Oleh karena itu, antara Tuhan dan
15
Syiah Qaramitah adalah sebuah kelompok Syiah beraliran garis keras yang dipimpin
oleh Hamdan bin Qarmat yang menentang dan memusuhi pemerintah Dinasti Abbasiyah sejak
abad kesepuluh sampai dengan abad ke sebelas, Lihat : Azyumardi Azra, et.al.,Ibid., hal. 74-75.
16
Sayyed Hossein Nasr (ed.), Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam: Manifestasi, (tim
penerjemah Mizan), (Bandung: Mizan, 2003), hal. 23.
17
Azyumardi Azra, et.al.,op.cit, hal. 75.
sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan Ahmad bin Hambal atau
Imam Hambali. Hadits ini memberikan wawasan bahwa di dalam diri Adam as
terdapat bentuk Tuhan yang disebut al- lahut. Sebaliknya di dalam diri Tuhan
sifat antara Tuhan dan manusia tersebut, maka integrasi atau persatuan antara
Tuhan dan manusia sangat mungkin terjadi. Proses bersatunya antara Tuhan dan
manusia dalam pemahaman ini adalah dalam bentuk hulul.18 Bersatunya antara
Tuhan dan manusia harus melalui proses bersyarat, dimana manakala manusia
sifat al-nasutnya. Lenyapnya sifat al-nasut, maka secara otomatis akan dibarengi
dengan munculnya sifat al-lahut dan dalam keadaan seperti inilah terjadi
pengalaman hulul.19 Peristiwa ini terjadi hanya sesaat, pernyataan al-Hallaj bahwa
dirinya tetap ada, yang terjadi adalah bersatunya sifat Tuhan di dalam dirinya,
yang gemilang. Kemudian kelihatan bagi makhluknya dengan nyata dalam bentuk
Dalam syair di atas tampak Tuhan mempunyai dua sifat dasar ke- Tuhanan,
yaitu “Lahut” dan “Nasut”. Dua istilah ini oleh al-Hallaj diambil dari falsafah
18
Ibid.
19
M. Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hal. 57.
20
Kamil Musthafa al-Syaiby, Syarah al-Diwan al-Hallaj, (Beirut, Maktabah, an-
Nahdhoh, 1974), hal. 18.
dalamnya.21 Dalam konsep hulul al-Hallaj dimana Tuhan dengan sifat ketuhanan
menyatu dalam dirinya, berbaur sifat Tuhan itu dengan sifat kemanusiaan.
Dalam syairnya yang lain, al-Hallaj melukiskan dengan sangat jelas bahwa:
“Aku adalah Dia yang kucintai dan Dia yang kucinta adalah aku. Kami adalah
dua roh yang bersatu dalam satu tubuh. Jika engkau lihat aku, engkau lihat Dia,
aneh),23 dari lidah al-Hallaj yang berbunyi Ana al-Haqq (Aku adalah Yang Maha
Benar). Kata al-Haq dalam istilah tasawuf, berarti Tuhan. Sebagian masyarakat
saat itu menganggap al-Hallaj telah kafir, karena ia mengaku dirinya sebagai
Tuhan. Padahal yang sebenarnya, dengan segala kearifan dan kerendahan hati
Dalam pengertian lain dapat diungkapkan bahwa syatahat yang keluar dari
mulut al-Hallaj tidak lain adalah ucapan Tuhan melalui lidahnya. Dengan
ungkapan ini, semakin tidak mungkin untuk memahami bahwa maksud al-Hallaj
dengan hululnya dalam berbagai syairnya adalah dirinya al-Haq. Jadi karena
sangat cintanya kepada Allah menjadikan tidak ada pemisah antara dirinya dengan
21
Abdul Kadir Mahmud, al-Fikr al-Islami wa al-Falsafat al-Muaridlah fi al-Qadim wa
al-Hadits, (Mesir: Hajah al Misriyah al-Ammah li al-Kitab, 1986), hal. 78.
22
Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal. 90.
23
Secara kebahasan perkatan syathahat berasal dari kata kerja syathaha yang berarti
taharraka, yaitu gerak atau tergerak. Syathahat dalam bahasa Arab berarti gerak, yakni gerak
yang bersumber dari perasaan, ketika menjadi kuat dan meluap, lalu melahirkan ungkapan yang
terasa asing kedengarannya. Syathahat menurut kaum Sufi adalah ungkapan perasaan para sufi
yang bergelora, ketika pertama kali memasuki gerbang ilahi.
diungkapkan dalam syairnya: “Aku adalah Dia yang kucintai dan Dia yang
al-Hallaj mengenai perintah Tuhan agar sujud kepada Adam (QS. 2: 34) adalah
pendapat yang sebenarnya yang dimaksud oleh al-Hallaj, tentu ini pandangan
yang sesat. Karena apabila masuk ke jiwa seseorang misalnya Isa, maka jadilah
Tuhan semisal Isa, ini bertentangan dengan firman Allah “Laisa kamitslihi
syaiun”.
ketuhanan itu akan masuk ke dalam diri manusia dengan jalan fana’ yaitu dengan
al-Hallaj ia bukanlah Yang Maha Benar, tetapi hanyalah satu dari yang benar. Jadi
menurutnya, ia bukan Tuhan. Oleh karena itu yang lebih tepat dalam manafsirkan
atau memahami ajaran al- Hallaj adalah bahwa menurutnya, Tuhan mengisi diri
manusia-manusia tertentu dengan sifat ketuhanan, maka jadilah manusia itu satu
dari yang benar, dialah manusia yang memiliki/ dikaruniai sifat Tuhan.
a. Pengertian It-Tihad
berarti bersatu atau kebersatuan. Sedangkan ittihâd menurut Abû Yazîd al-
24
Kamil Musthafa al-Syaiby, Syarah al-Diwan al-Hallaj, (Beirut, Maktabah, an-
Nahdhoh, 1974), hal. 27
menyatu, atau persatuan. Dan secara istilah, ittihâd merupakan pengalaman
puncak spiritual seorang sufi, ketika ia dekat, bersahabat, cinta, dan mengenal
Allah sedemikian rupa hingga dirinya merasa menyatu dengan Allah. 25 Ittihâd
melewati mahabbah dan ma‘rifah kemudian mengalami fanâ’ dan baqâ’ sebagai
pintu gerbang menuju ittihâd. Dengan kata lain sebelum mengalami ittihâd para
sufi harus mengalami al-fanâ’ ‘an al-nafs dan al-baqâ’ bi Allâh. Fanâ’ secara
Sedangkan baqâ’ secara etimologis berarti kekal, abadi, tetap dan tinggal.
Keadaan fana’- baqa’ dan ittihad sebagaimana yang dialami oleh Abu
pengalaman sufi yang tejadi setelah tercapainya makam ma’rifat. Dan hal ini tidak
banyak sufi yang mencapai tataran demikian, bahkan kalaupun ada maka tidak
akan pernah lepas dari dijumpainya pro- kontra dari kalangan umat Islam sendiri,
terutama dari kalangan mutakallimun, karena perjalanan para sufi pada maqam
Seorang sufi yang hendak bersatu dengan tuhan; ittihad terlebih dahulu
harus melalui dengan dua keadaan yang tidak dapat dipisahkan, yaitu keadaan
25
http://gilitengah.multiply.com/journal/item/13
seseorang tentang dirinya dan makhluk lain disekitarnya, dan baqa’ tetap kekal,
Fana’ dan baqa’ merupakan pengetahuan atau pengalaman yang tidak bisa
identikkan dengan hancurnya sifat jiwa, atau sirnanya sifat-sifat tercela, maka
barang siapa fana’ dari sifat tercela, maka pada dirinya akan muncul sifat-sifat
terpuji.27 Fana’ dan baqa’ merupakan sesuatu yang kembar, karena ia terjadi di
dalam waktu yang bersamaan, sehingga jika terjadi fana’, dimana pada waktu
kesadaran dengan diri dan alam sekelilingnya telah hilang maka bersamaan
disisi Tuhan.
b. Al-Ittihad
sufi merasakan dirinya telah bersatu dengan Tuhan, saat yang mencintai dan yang
dicintai telah menyatu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang
Ittihad tidak muncul dengan begitu saja, tetapi harus setelah menenpuh
tingkatan fana’- baqa’ yang dapat ditempuh dengan menyadari keadaan dirinya
hatinya, dengan mengikis sifat-sifat tercela, yang dilakukan secara terus menerus.
26
Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspek, Op. Cit., hal. 83.
27
Abu Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islam, Terj. Ahmad
Rafi’ Usman, (Bandung: Pustaka, 1985), hal. 106.
Setelah Abu Yazid mengalami ke-fana’an, dengan sirnanya segala sesuatu
yang selain Allah dari pandangannya, saat itu dia tidak lagi menyaksikan selain
hakikat yang satu, yaitu Allah. Bahkan dia tidak lagi melihat dirinya sendiri
karena dirinya telah terlebur dalam Dia yang disaksikannya. Dalam keadaan yang
seperti ini terjadi penyatuan dengan Yang Maha Benar. Kondisi seperti itu telah
menghilangkan batas antara sufi dengan Tuhan, antara yang mencintai dan yang
dicintai. Pada saat seperti ini sufi dapat melihat dan merasakan rahasia Tuhan.
Ketika sufi telah menyatu dengan Tuhan, sering terjadi pertukaran peran antara
sufi dengan Tuhan. Saat itu sufi tidak lagi berbicara atas namanya, melainkan atas
nama Tuhan, atau Tuhan berbicara melalui mulut sufi, yang keluar dari mulutnya
Ku”, akupun berkata, “Aku adalah Engkau, Engaku adalah aku adalah Engkau”,
maka pemilahanpun terputus, kata menjadi satu, bahkan seluruhnya menjadi satu.
Dia berkata, “Hai engkau”, aku dengan perantara-Nya menjawab, “Hai aku”. Dia
berkata, “Engkau yang satu”. Aku menjawab, “Akulah yang satu”. Dia
selanjutnya berkata, “Engkau adalah engaku”. Aku menjawab, “Aku adalah aku”.
Kata aku yang diucapkan Abu Yazid bukanlah sebagai gambaran diri Abu Yazid
tetapi sebagai gambaran Tuhan, karena saat itu Abu Yazid telah bersatu dengan
Tuhan, dengan kata lain, dalam ittihad Abu Yazid berbicara dengan nama Tuhan
atau lebih tepat lagi, Tuhan berbicara melalui lidah Abu Yazid.28
28
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme Dalam Islam, Op. Cit., hal. 85.
Dalam peristiwa lain, Abu Yazid dikunjungi seseorang, kemudian ia
bertanya: “Siapa yang engkau cari? jawabnya, “Abu Yazid”, Abu Yazid
mengatakan: “Pergilah, di rumah ini tak ada kecuali Allah Yang Maha Kuasa dan
Maha Tinggi”.29
bersatu dengan Tuhan. Sehingga dia tidak sadar akan diri dan lingkungannya
karena yang ada saat itu hanya Allah semata. Sebenarnya Abu Yazid tetap
mengakui adanya wujud, Tuhan dan Makhluk, hanya saja dia merasakan
esensinya, Tuhan tetap Tuhan, makhluk tetap makhluk. Ketika terjadinya ittihad,
yang dimaksud bersatu adalah dalam arti ruhani, bukan hakekat jazad.
dan menjadikan diri sebagai obyek Tuhan, dengan cinta di dalam batin, pikiran
Semakin larutnya dalam ittihad, di suatu pagi setelah shalat shubuh, Abu
Yazid pernah melafalkan kalimat sampai orang lain menganggapnya orang gila
dan menjauhinya dengan kalimat, “Sesungguhnya aku adalah Allah, tiada Tuhan
selain aku, maka sembahlah aku, maha suci aku, maha besar aku”.30
dilihat secara harfiah, tetapi harus dipandang sebagai ungkapan seorang sufi yang
sedang dalam keadaan fana’, seluruh pikiran, kehendak dan tindakannya telah
29
Ibid..., hal. 86.
30
Harun Nasution, Op. Cit. , hal. 84.
baqa’ dalam Tuhan. Pada dasarnya semua wujud selain wujud Tuhan adalah
fana’, atau segala sesuatu selain Tuhan, dipandang dari keberadaan dirinya, sudah
tidak ada fana’. Dengan demikian satu-satunya wujud yang ada hanyalah wujud
Tuhan.
Dalam pengalaman tasawuf, keadaan fana’ para sufi berbeda antara satu
dengan yang lain. Ada yang kembali kepada keadaan normal sehingga dia tetap
menganggap dualitas antara Tuhan dan alam, tetapi ada pula yang betul-betul
bidangnya ternyata juga mendapat kritik, sebagai contoh adalah al-Thusi yang
memaparkan bahwa ittihad sebagaimana yang di lakukan oleh Abu Yazid, yang
dari manusia. Oleh karena itu persangkaan bahwa manusia bisa fana’, sehingga ia
pendapat itu hanya akan mengantar mereka kepada hulul atau pendapat orang
Namun juga tidak kurang dari tokoh sufi lain yang memberikan dukungan,
memberikan komentar, “Terhadap apa yang di ucapkan para sufi, tidak bisa
31
Abu Wafa’ al-Ghanimi al-Taflazani, Op. Cit., hal. 109
dijatuhkan hukum, kecuali apa yang di ungkapkannya dalam keadaan sadar”32
karena persoalannya tidak lebih dari psikis yang sedang dialami oleh masing-
masing pelaku sufi yang sedang melangsungkan tawajjuh dengan Allah sehingga
keadaan alam dan seisinya benar-benar tertutup dari jangkauan akal mereka.
KESIMPULAN
manusia dipahami memiliki dua sifat yang sama. Suatu saat apabila manusia
berbagai ibadah yang tulus ikhlas hanya mencari keridlaan Allah, maka dipastikan
ia akan bisa bertemu dan menyatu dengan sifat Allah. Sebaliknya, apabila
kemanusiaannya, maka sulit untuk bisa dipastikan akan bertemu dan menyatu
dengan Allah.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
32
Ibid..., hal. 119.
Abdul Kadir Mahmud, al-Fikr al-Islami wa al-Falsafat al-Muaridlah fi al-Qadim
wa al-Hadits, (Mesir: Hajah al Misriyah al-Ammah li al-Kitab, 1986.
Azyumardi Azra, et.al., Ensiklopedia Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
2002.
Abu Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islam, Terj.
Ahmad Rafi’ Usman, Bandung: Pustaka, 1985.
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1973.
Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspek,
http://gilitengah.multiply.com/journal/item/13
J. Robson, Ibn al-`Arab The Encylopedia of Islam, London dan Laiden: Luzac dan
Brill, 1979.
Kautsar Azhari Noer, Ibn Al-`Arabi Wahdat al-wujud dalam Perdebatan, Jakarta:
Paramadina, 1995.
Kamil Musthafa al-Syaiby, Syarah al-Diwan al-Hallaj, Beirut, Maktabah, an-
Nahdhoh, 1974.
M. Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi, Al-Asma’ al-Husna Dalam
Perspektif al- Qur’an, Jakarta, Lentera Hati, Cetakan VIII, 2006.
M. Amin Syukur, Zikir Menyembuhkan Kankerku: Pengalaman Kesembuhan
Seseorang Penderita Kanker Ganas yang Divonis Memiliki Hidup Hanya
Tiga Bulan, Jakarta: Hikmah, 2007.
M. Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam, Jakarta: Raja Grafindo,
1997.
Sayyed Hossein Nasr (ed.), Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam: Manifestasi,
(tim penerjemah Mizan), Bandung: Mizan, 2003.
Yusuf Qardawi, Al-Iman wa al-Hayat, (terj. Jaziratul Islamiyah), Jakarta: Mitra
Pustaka, 2002.