You are on page 1of 11

Cara Berbicara

oleh; Teguh Wahyu Utomo


(cilukbha@gmail.com)

Salah satu bagian yang menyenangkan dari kepribadian seseorang adalah


kemampuan untuk bisa berbicara dengan baik. Seseorang yang bisa mengekspresikan diri
dengan jelas dan tidak samar akan lebih unggul daripada yang tidak bisa. Pandai
berbicara adalah salah satu anugerah besar terhadap orang-orang tertentu. Dengan
bantuan kehebatan berbicara, seseorang bisa menemukan jalan yang jelas dalam semua
bentuk situasi atau masalah. Yang lebih penting, lewat kata-kata yang tepat lah ia bisa
merembeskan semua kepercayaan diri yang menjadi kunci semua kesuksesan. Bahkan,
faktanya; kemampuan berbicara adalah kualitas yang paling menonjol yang bisa dicatat
seseorang untuk membukakan jalan baginya menuju semua jenis kesuksesan dan dalam
semua bidang pekerjaan.
Ada berbagai mode kemampuan berbicara. Ada orang yang gampang terselip
lidah dan otaknya berputar-putar tak karuan saat berbicara dengan seseorang di ruang
kecil atau saat hendak berbicara di ruang besar yang dihadiri banyak orang. Ada juga
orang yang tidak terlalu lancar dengan kata-kata tapi punya jenis ekspresi dan suara yang
memikat pendengarnya sehingga bisa memberikan kesan sangat kuat. Ada juga jenis-
jenis lainnya.
Meski ini bakat yang sudah terbawa sejak lahir, kemampuan berbicara ini bisa
juga dikembangkan dengan menggunakan cara-cara latihan sistematis. Salah satu cara
dasar untuk belajar meningkatkan kualitas berbicara adalah latihan berbicara lebih jelas
dan lebih efektif. Yang dimaksud efektif di sini bukanlah si orang yang berbicara bakal
segera melihat dampak dari pembicaraanya pada si pendengar saat pembicaraan
berlangsung. Bahkan, kebiasaan menerawangkan mata untuk mencari tahu seberapa besar
dampak pembicaraan itu pada pendengar justru akan berdampak lebih buruk bagi
efektifitas pembicaraan itu sendiri. Berbicara efektif ini lebih berarti kita harus berbicara
dengan cara sedemikian rupa sehingga pasti bisa menghasilkan suatu dampak tertentu.
Cara berbicara semacam ini harus dilatih jika kita tidak dianugerahi bakat berbicara
efektif. Setelah bisa menguasai kemampuan berbicra seperti ini, kita segera lupakan
tentang dampaknya langsung pada pihak yang kita ajak bicara. Justru, kita harus
melanjutkan pembicaraan secara alami dalam bentuk obrolan, tanya-jawab, atau bahkan
pidato tanpa berharap mendapatkan dampak langsung saat pembicaraan sedang
berlangsung. Biasanya, dampak pembicaraan itu akan lebih terasa setelah pembicaraan
berlangsung.

1. Pidato yang bagus

Kita semua tentu sudah sangat akrab apa yang dimaksud dengan cara pidato atau
ceramah yang bagus. Mari kita lihat gaya ceramah dai kondang. Ia berbicara di depan
publik. Jumlah pendengarnya bisa kecil atau sangat besar tergantung pada kapasitas
ruang dan medianya. Hal yang menjadi perhitungan dai itu adalah bagaimana ia
menyampaikan khotbah dengan penampilan paling mengesankan –selain isi dari
khotbahnya itu sendiri. Jika berhasil, ia akan memikat perhatian audiens lalu
mendapatkan applause dari siapa saja yang mendengarkan khotbahnya.
Maculay menegaskan, semakin besar audiens atau publik berarti semakin bagus
hasilnya bagi seorang orator. Sebaliknya, bagi pembicara yang setengah-setengah,
semakin besar publik berarti rasa cemasnya juga semakin besar. Ini artinya, pembicara
sejati tidak takut pada besarnya jumlah pendengar. Seorang pembicara yang tanggung
akan takut pada jumlah pendengar yang besar.
Kualitas utama bagi pidato yang baik adalah para pendengar bisa menerima isi
pesannya dengan baik. Semua pemikiran, ide, maupun sikap penentangan dari pihak
pendengar segera meleleh di hadapan arus kuat kata-kata yang dialirkan si pembicara.
Aliran kata-kata itu bisa menyengat bagaikan listrik sehingga secara bertahap mengubah
pandangan para pendengar yang berbeda menjadi sependapat dengan apa yang
disampaikan si pembicara. Masing-masing pendengar menjadi lupa ia sebelumnya punya
pendapat yang berbeda. Atau, pendengar tak peduli lagi bahwa sebelumnya ia jengkel
atas volume atau kecepatan suara si pembicara. Masing-masing pendengar merasa apa
yang diucapkan si pembicara adalah kebenaran sejati.
Lalu, power bagaimana yang dipunyai pembicara semacam itu? Tentu saja
powernya luar biasa. Pembicara semacam itu bisa menciptakan atau menghapus suatu
isu, bisa menyuntikkan doktrin jauh ke dalam benak si pendengar, dan sejenisnya. Andai
(sekali lagi, andai) pembicara sekaliber ini ingin menyakiti pendengarnya, ia akan bisa
dengan mudah melakukannya lewat kata-kata. Kalau untuk kebaikan pendengar, ia bisa
mengajarkan cara-cara baru, disiplin baru, kepatuhan, dan kesetiaan untuk menghasilkan
manfaat sebesar-besarnya.
Orang secara umum akan menyukai pembicara yang baik ini. Mereka akan
merasa si pembicara ini tidak sekadar ingin menciptakan nama baik bagi diri sendiri tapi
memiliki sesuatu yang diperjuangkan untuk orang banyak. Ia menginginkan hal-hal yang
baik bagi khalayak ramai dan bukannya sekadar mencari nama baik untuk diri sendiri. Ia
menyampaikan sesuatu yang brilian dan tujuan kejayaan di dalam kehidupan dan bahkan
sesudah hidup. Ia akan melihat dirinya sekadar alat atau suatu cara bagi suatu tujuan yang
lebih besar. Hal utama yang ia buru adalah membangkitkan masyarkaat agar
berpartisipasi aktif dan memetik hasil, bukannya menjerumuskan mereka ke dalam
perbudakan atau jeratan.
Saat pembicara sekaliber ini sudah angkat bicara, ia bakal meleburkan diri sendiri.
Dalam kondisi sudah kehilangan diri sendiri ini, ia seolah-olah bukan lagi manusia,
bukan lagi pembicara, tapi hanya penyampai pesan dari sesuatu yang jauh lebih besar dan
agung. Pembicara seperti ini bisa menjadi pemimpin sejati. Applause dan dukungan yang
ia terima sifatnya seragam dan abadi terhadap kepribadiannya.
Selain dalam khalayak yang lebih besar, kita juga melihat bagaimana pembicara
yang baik dalam lingkup percakapan yang melibatkan lingkaran-lingkaran lebih kecil; di
antara teman dan mitra, dalam pesta atau pertemuan ramah-tamah, di dalam acara-acara
kecil, dan sejenisnya. Dalam kondisi seperti ini, pembicara yang bagus harus bisa
mengikuti aturan atau penampilan yang berbeda dalam percakapan. Itu karena dalam
lingkungan yang lebih kecil tentu saja efek dramatis dari oratorinya juga berbeda. Meski
hanya sejumlah kecil kata-kata yang disampaikan, bisa saja beribu opini didengarkan.
Bahkan, orang bisa mendapatkan popularitas sebagai pembicara yang baik karena
suaranya, volumenya, intonasinya, rasa humornya, dan kecerdasannya.
Suara yang bagus dan mengesankan adalah separo dari total bobot mutu pembicara itu.
Jika seseorang memiliki suara yang bagus dan pengucapan yang khas, lalu memiliki
taktik yang pas untuk ambil bagian dalam suatu percakapan, maka ia akan lebih gampang
disukai dalam pertemuan-pertemuan skala kecil ini. Selain dari pertemuan keluarga atau
teman, ia bisa saja diundang ke dalam pertemuan sosial (yang banyak pesertanya tidak
dikenal) untuk mengungkapkan fikirannya tentang topik-topik tertentu. Atau, mungin
saja ia diminta ambil bagian dalam membahas tren umum yang sedang jadi perbincangan.
Jika ia tidak bisa memberikan nilai baik dalam pembicaraan itu, popularitasnya bisa
memudar. Itu karena, dalam semua keadaan, pembicara yang bagus harus memiliki
banyak informasi, perbendaharaan kata, dan banyak kreativitas dalam penyampaiannya
untuk memelihara penerimaan sosial di antara orang-orang lain.

2. Bercakap-cakap

Kita sudah menyentuh subyek ini dalam pembahasan sebelumnya. Sama-sama


bertujuan menyampaikan pesan, bercakap-cakap sangat beda dengan berpidato, berorasi,
berkhotbah, atau beraksi-panggung. Dalam percakapan, pesan tidak disampaikan satu
arah tapi dari dan ke berbagai arah yang melibatkan sejumlah kecil peserta.
Agak aneh, tapi nyata, bahwa ada beberapa orator ulung atau aktor pangung
jagoan yang agak tidak bagus dalam percakapan. Bisa jadi ini karena kondisi yang
berbeda. Seorang orator mungkin mempertimbangkan pendengarnya berdasarkan bentuk
dan besarnya jumlah. Tapi, jika di dalam ruang, saat berbicara dengan hanya empat atau
lima orang, ia memandang audiensnya menyempit sehingga tidak bisa mengekspresikan
diri sepenuhnya. Ini karena ia terjebak dalam kebiasaan memperlakukan semua orang
sebagai pendengarnya –seperti halnya kebiasaan beberapa guru yang menganggap semua
orang adalah muridnya. Bagi aktor panggung, kegagalan melakukan percakapan mungkin
juga disebakan kegagalannya menyesuaikan diri dengan keadaan. Mungkin ia orang seni
sejati sehingga kesulitan memberikan perhatian atau mengungkapkan perasaan di tempat-
tempat umum dan hal-hal biasa dalam kehidupan sehari-hari. Sepertinya, ia telah terjebak
di dalam upaya memenuhi ekspresi teatrikal dalam situasi dramatis. Jadi, untuk menjadi
partisipan yang baik dalam percakapan kecil, ia harus memiliki seni yang beda mutlak
dari seni-budaya meski sama-sama menggunakan suara dan kata-kata.
Esensi dari percakapan ini bukan pada talenta (seperti yang dimiliki orator atau
seniman) tapi lebih pada seni atas kesadaran dan perasaan praktis tentang kondisi
lingkungan. Maka, jangan heran jika banyak orang dari strata lebih rendah yang lebih
memiliki seni ini daripada masyarakat dari kelas menengah atau bahkan yang
berpendidikan tinggi. Ini karena orang-orang yang dicap berada di kelas sosial rendah
ternyata memiliki lebih banyak pengetahuan dan pengalaman praktis. Mereka juga lebih
akrab bersentuhan dengan cara-cara hidup praktis di dunia ini sehingga cara berfikir dan
berekspresi mereka lebih gampang tumbuh dan terasah. Mereka juga lebih mengandalkan
pada eksistensi sosial dan kelompok –masyarakat pedesaan, suku-suku primitif, dan
sejenisnya– dan mereka mengembangkan cara ekspresi yang impresif. Yang lebih
penting, mereka sudah meleburkan semua kesadaran atas diri sendiri serta mengurangi
rasa malu. Ini membuat mereka lebih bisa membuka benak mereka kapan pun mereka
mau dan kapan pun mereka ingin melalui kata-kata sederhana, jelas, bisa dipahami, dan
jauh dari istilah-istilah ornamental yang biasa dipakai kelas-kelas berpendidikan tinggi.
Cara ekspresi terbaik yang bisa dipakai orang-orang yang terlibat percakapan
adalah mengekspresikan pemikiran dengan jalan pintas tanpa berbelit-belit. Tapi, itu
bukan berarti berbicara dengan sangat cepat dan tergesa-gesa bisa membuat seseorang
lebih cepat dan menemukan jalan pintas untuk mengekspresikan fikirannya dan
membuktikan diri sebagai pembicara yang bagus. Yang paling impresif bukan lah orang
yang berbicara dengan kecepatan tertinggi, tapi orang yang yang berbicara dengan jelas,
dengan memikat, dan dengan kepercayaan diri. Karena itu, jangan berfikiran untuk
memuntahkan segala pemikiran dalam waktu secepat mungkin tapi manfaatkan waktu
serasional mungkin untuk mengungkapkan fikiran. Kalau waktunya mendesak, boleh
bicara singkat, padat, dan cepat. Kalau ada banyak waktu, ya bicaralah dengan lebih
santai, tenang dan jelas.
Kadang, ada pembicara yang tiba-tiba diinterupsi dalam suatu percakapan. Dalam
hal seperti ini, si pembicara jangan langsung patah arang, lalu memaksakan pembicaraan
ke tema yang ia ungkapkan. Jika pembicaraan dihentikan karena ada sesuatu yang lebih
penting, ia harus rela menghentikan percakapan dengan tema apa pun. Jika memang ada
orang lain yang tertarik dengan subjek percakapannya, tentu ia akan diminta melanjutkan
pembicaraan kembali setelah interupsi lewat. Ia bisa kembali mengangkat tema yang
sempat terputus. Sebaliknya, jika tidak ada lagi orang yang tertarik pada tema itu setelah
interupsi, lebih baik si pembicara melupakan saja tema yang ia ungkapkan. Ia harus
segera mengganti dengan topik baru yang mungkin saja menjadi tema percakapan dalam
kelompok. Seorang pembicara yang baik tentu harus bisa mengikuti arah angin, dan
bukannya mencoba menentang arus percakapan atau mencoba memonopoli pembicaraan.
Lalu, kualitas dasar apa yang harus dimiliki pembicara dalam percakapan
kelompok kecil seperti ini? Hal pertama yang harus dipelajari adalah bagaimana memiliki
ketertarikan praktis terhadap situasi di sekitarnya lalu memberikan konsentrasi atau
perhatian pada sekitarnya. Seorang penyair memang pandai mengangkat topik tertentu
lewat bahasanya yang memikat. Tapi, bisa jadi penyair itu bukan pembicara yang baik
dalam percakapan kelompok kecil. Itu karena mungkin saja ia tidak terlalu tertarik pada
topik mutakhir atau perjuangan hidup individual sehari-hari, meski ia menulis tentang
perjuangan semacam itu dalam bentuk puisi. Ia mungkin penyair jenius, tapi ia juga harus
terlibat secara personal dalam topik-topik tertentu jika ingin tahu secara menyeluruh atau
menjadi pembicara yang baik. Atau, mungkin juga penyair tadi memandang semua
bentuk percakapan kecil sebagai hal yang tidak berguna. Ia merasa waktunya lebih
berguna jika digunakan untuk melakukan analisis sendiri atau mencurahkan power
fikirannya sendiri daripada digunakan untuk berbicara yang ringan-ringan dengan
sejumlah kecil orang. Namun, bagi orang-orang kebanyakan, pembicaraan kecil semacam
ini adalah cara untuk mengetahuii sesuatu. Bisa jadi, mereka bisa memanfaatkan
pembicaraan kecil ini untuk saling tukar pandangan dan informasi sehingga bisa
melegakan rasa dahaga mereka akan pengetahuan.
Hal yang sangat penting bagi orang yang ingin terlibat aktif dalam percakapan
adalah tertarik pada orang lain dan lingkungan serta tertarik dalam cara bertukar bicara.
Jika tertarik dalam kehidupan dan segala pernik di dalamnya, ia akan dapat dengan
mudah menemukan penyulut percakapan untuk mengekspresikan opininya. Ia akan
memiliki kecenderungan untuk menerima dan diterima. Ia juga harus bisa menghargai
opini orang lain sambil tetap menghargai opini diri sendiri. Saling penghargaan yang
timbal-balik ini adalah landasan bagi percakapan yang produktif dan berkesinambungan.
Setiap bentuk perasaan lebih tinggi atau perasaan lebih rendah dan sejenisnya akan
membuat komunikasi antara dua pihak menjadi tidak imbang dan tidak menarik. Susah
sekali terjadi perbincangan seimbang antara majikan dan pembantu, antara orang yang
punya otorita dengan yang sekadar bekerja, antara pemberi utang dengan penerima utang,
dan sejenisnya. Yang terjadi adalah satu pihak mengungkapkan sesuatu dan pihak lain
mau-tak-mau harus menerimanya. Jika ingin menjadi pembicara yang baik dan
mendapatkan percakapan yang menarik, kita harus menghilangkan semua kondisi
kompleksitas seperti yang baru disebutkan di atas. Memang selalu ada hubungan
semacam antara boss-majikan, tapi kompleksitas hubungan yang semacam itu harus
disisihkan atau dikurangi hingge mendekati nol. Tidak boleh ada pembedaan sekecil apa
pun atas satu pribadi terhadap pribadi lainnya, namun harus ada keharmonisan sempurna
antara dua pribadi atau lebih dalam hal bertukar kata, apresiasi, kritik, dan sejenisnya.
Jika ada satu pihak yang tidak didengar, maka percakapan pada dasarnya sudah tidak ada.
Topik dalam percakapan harus dimainkan seperti sepakbola yakni dioper dari satu orang
ke orang lain. Jangan sampai dikotaki hanya di satu atau sedikit orang.

3. Terlalu Aktif

Kita secara sekilas sudah menyinggung tentang sifat buruk berupa terlalu aktif
berbicara. Orang yang terlalu aktif berbicara akan berusaha memusatkan pembicaraan
pada dirinya sendiri. Ia tidak akan berhenti bicara kecuali hanya untuk menarik nafas.
Setelah itu, ia memulai lagi segalanya dengan penuh nafsu sehingga seolah-olah orang
lain tidak punya apa pun untuk dibicarakan. Jika ada orang seperti ini, yang paling
menyakitkan orang lain adalah semua pembicaraan dan semua ekspresi terpaksa harus
ditekan habis. Bagi beberapa orang, kondisi hanya mendengar rentetan ucapan orang lain
ini bisa menjadi tekanan mental dan fisik. Jadi, sikap terlalu aktif berbicara adalah salah
satu sisi negatif yang harus dienyahkan dalam pembicaraan karena bisa memberikan
tekanan pada pihak tertentu.
Memang, orang yang aktif berbicara adalah orang yang mendapat bakat
kemampuan berbicara yang patut dihargai. Tapi, jika ia mengekspresikan kemampuan itu
secara berlebihan dan melampaui batas, itu juga tidak baik. Pertama-tama, bisa saja setiap
orang terpikat lalu memberikan perhatian penuh pada omongannya. Tapi, sesaat
kemudian, orang akan mulai sadar bahwa ia itu masuk ke dalam golongan orang yang
terlalu banyak bicara. Kalau harus terus mendengar selama periode pembicaraan, orang
akan mulai bosan padanya dan bahkan menaruh curiga.
Sifat terlalu aktif berbicara hendaknya dijauhi. Jika ingin membangun karakter
dan kepribadian yang bagus, kita harus tahu bagaimana mengendalikan lidah pada waktu
yang tepat. Orang yang cermat akan cepat tahu kapan ketertarikan pendengar mulai tidak
fokus. Ini berarti lampu kuning pertama bagi si pembicara. Maka, ia harus bersedia
berhenti sejenak lalu memberi kesempatan pada pihak lain untuk bicara.
Pembicara yang terlalu aktif biasanya sudah menyadari kemampuannya itu sejak
dini, saat ia merasa menjadi pembicara di antara rekan, pendengar, hingga pengagumnya.
Adanya secercah kekaguman itu lalu membuatnya kecanduan. Jika pembicaraannya
diterima orang lain, ia akan merasa berbangga hati. Semakin banyak didengar, semakin
bangga ia. Semakin kecanduan akan kebanggaan, semakin banyak ia melakukan
pembicaraan. Semakin banyak demikian, semakin banyak pula ia mengupayakan agar
pembicaraan selalu terpusat pada dirinya. Ia berusaha menjadikan dirinya sebagai pusat
ketertarikan orang lain dalam setiap pembicaraan.
Gejala ‘penyakit’ terlalu aktif bicara itu bisa ditemukan pada usia dini. Anak-anak
yang bicaranya bagus bisa dipertemukan di dalam satu kelompok untuk saling berbicara.
Anak-anak yang bicaranya terlalu aktif tidak akan bisa dipertemukan dalam satu
kelompok untuk melakukan pembicaraan. Ada kecenderungan masing-masing anak atau
orang yang terlalu aktif ini membentuk kelompok pembicaraan sendiri di mana ia bisa
menjadi pusat perhatian dan orang lain hanya pasif mendengarnya.
Gejala ‘penyakit’ ini bisa dikoreksi sejak usia dini. Namun, jika gejala ini
dibiarkan tumbuh lalu mengakar dalam kepribadian, ia akan menjadi tipe orang yang
dihindari orang lain. Dalam beberapa paragraf sebelumnya, kita sudah menyebut
berbicara secara aktif bisa membuat orang disenangi dalam lingkaran-lingkaran
pergaulan. Namun, aktif ekstrim dalam pembicaraan adalah hal yang berbeda. Orang
yang terlalu aktif berbicara bakal sulit mendapatkan teman sejati. Ada kecenderungan, ia
selalu menginginkan korban baru yang mau mendengar segala pembicaraannya seperti
kerbau yang dicocok hidung. Karena sadar bahwa teman-teman akan menghindarinya,
maka ia akan selalu memburu wajah-wajah baru sebagai mangsa.
Sifat terlalu aktif bicara ini tak ubahnya seperti penyakit –yang sebenarnya bisa
disembuhkan dalam usia dini melalui langkah-langkah kuat yang ditegaskan orang tua,
guru, atau pengasuhnya. Sifat demikian ini, jika dibiarkan, bisa menghancurkan
kepribadian seseorang. Seberapa pun tinggi pendidikannya, ia akan langsung tidak
dihargai orang lain saat diketahui ia punya penyakit terlalu aktif bicara. Unsur-unsur lain
dalam pengembangan kepribadiannya tidak akan bisa mengenyahkan dampak penyakit
ini. Orang yang bagus dalam banyak hal di dalam hidup bisa saja menjadi orang yang
penuh kegagalan hanya karena mengumbar kelemahannya sebagai orang yang terlalu
aktif berbicara.
Dalam kehidupan praktis dan bisnis, sifat terlalu aktif bicara ini juga dibenci.
Orang yang terlalu aktif bicara bakal memburu kepuasan dengan terus berbicara tanpa
tujuan jelas. Orang yang terlalu banyak bicara hanya akan bicara dan terus bicara. Ia
menyentuh satu topik tertentu, lalu meninggalkannya begitu saja, kemudian kembali lagi,
tanpa motif atau dorongan tertentu. Akibatnya, orang yang diajak bicara menjadi bingung
lalu mencampakkan ia begitu saja tanpa memberinya bisnis.

4. Cara Bicara yang Buruk

Bicara yang buruk ini bukan berarti ada kekurangan dalam power berbicara.
Esensi dari ini lebih merujuk pada fakta bahwa ekspresi si pembicara tidak jelas. Kadang
ia berbicara menggumam, suaranya tak terdengar, bahasanya kacau, atau kondisi tidak
jelas lainnya. Ini membuat orang lain sukar menangkap apa yang sedang ia bicarakan.
Saat seseorang mengalami tekanan atau stress tertentu, atau sehabis bekerja
terlalu berat, atau saat benar-benar kelelahan, atau sedang kehabisan nafas setelah
olahraga lari cepat, ia butuh menghirup udara segar sehingga akan sulit berbicara dengan
sikap normal. Saat nafasnya sudah tidak lagi terengah-engah, tentu ia akan kembali bisa
berbicara seperti biasanya.
Kadang juga terjadi, jika seseorang tidak memberi perhatian khusus pada seni
berbicara maka ia mengalami kesulitan berbicara dalam cara berkelanjutan atau
memfokuskan perhatian dalam tempo lama terhadap satu topik tertentu. Akibatnya, lama-
kelamaan kata-katanya menjadi tidak terangkai dengan padu dan bagus, kehilangan
warna dan kegairahan, hingga akhirnya cara berbicaranya menjadi ngelantur, tidak lagi
cerdas, dan tidak enak didengar telinga orang-orang lainnya.
Bentuk lain dari cara berbicara yang buruk adalah hasil dari kebiasaan buruk di
masa muda. Ketika masih muda, orang itu biasa bergaul dengan anak-anak sembarangan.
Ia jadi terbiasa menggunakan kata-kata slang, penuh umpatan, kasar, dan sejenisnya.
Ketika sudah dewasa, tapi ia masih susah menghilangkan kebiasaan buruk itu, maka kata-
kata yang keluar dari mulutnya seringkali menyakiti hati orang sekitarnya. Akibat cara
bicara yang kurang menyenangkan ini, ia menjadi dihindari oleh masyarakat sekitar.
Cara berbicara yang buruk adalah bukan karena kualitasnya tidak bagus tapi
karena kurangnya tujuan atau sasaran yang biasa terkandung dalam semua jenis
pembicaraan. Saat berbicara, seseorang harus melakukannya sedemikian rupa sehingga
ada sesuatu yang bisa disampaikan pada pihak lain. Jika cara penyampaian itu tidak
dilakukan dengan baik, artinya jika pihak lain tidak bisa menangkap isi otaknya atau
salah memahaminya, maka akan terjadi banya kebingungan sehingga mengikis habis
tujuan dari pembicaraan itu. Jadi, saat pembicaraan tertentu –baik di depan publik
maupun pribadi– gagal mencapai target berupa respons yang diharapkan, maka kita bisa
simpulkan bahwa pembicaraan itu buruk atau tidak efektif. Meski demikian, ini bukan
berarti semua pidato atau pembicaraan atau percakapan akan selalu berhasil. Bahkan
dalam pembicaraan yang tiak bisa diterima pun, isi pembicaaan akan tetap dihargai jika si
pembicara bisa melontarkan ide-idenya dengan cara terbaik.
Cara berbicara yang buruk atau tidak efektif bisa berbentuk mermacam-macam
tipe. Misalnya; bicara yang tanpa tujuan, bicara yang tanpa jeda, bicara yang diulang-
ulang, bicara yang tergesa-gesa, bicara yang bahasanya asal-asalan, bicara yang
logikanya tidak jalan, bicara yang suaranya terlalu lirih atau terlalu keras, bicara yang
tidak sesuai kondisi lingkungan, dan lain-lain.
Mari kita kaji kasus berbicara yang buruk terkait dengan cara bicara yang
mengulang-ulang alias redudansi. Orang yang suka mengulang-ulang tema tertentu atau
kata-kata tertentu dalam suatu pembicaraan bisa menimbulkan kesan bahwa ia orang
yang tidak berfikir efektif. Karena menggunakan kata atau tema yang lebih banyak
daripada yang dibutuhkan, ia bakal terkesan susah menemukan poin pembicaraan dalam
waktu sesingkat mungkin –dan kadang malah tidak bisa menemukan poin pembicaraan
itu sama sekali. Cara berbicara yang berulang-ulang itu mungkin didapatkan karena
kebiasaan buruk sejak usia dini. Jika tidak mendepak jauh kebiasaan itu, ia akan kesulitan
berkomunikasi karena tidak bisa sepenuhnya diterima orang normal di sekitarnya.
Cara untuk mengenyahkan kebiasaan itu adalah mengendalikan diri untuk berlatih
memberikan jawaban seminim mungkin semisal ‘ya’ atau ‘tidak’ saja. Kalau bisa dilatih
secara terkontrol, ia akan kagum betapa kalimat pendek itu bisa membantunya dalam
hidup terkait semua percakapan dan bisa menyelamatkannya dari duel kata-kata yang
fatal. Jika bisa mempraktikkan diri menghargai kata-kata pendek ‘ya’ atau ‘tidak’, ia
bakal bisa mempelajari nilai dahsyat dari kata dan waktu. Maka, saat ingin
mengungkapkan pandangan atau ide lebih lebar, ia akan menggunakan kata-kata yang
hemat dan waktu yang seefektif mungkin.
Lawan kata dari redudansi adalah bicara yang terlalu disingkat-singkat sependek
mungkin. Orang yang demikian akan sangat pelit bicara, dan pilihan kata-katanya sangat
pendek dan terbatas sehingga penjelasan dari suatu ide bakal sangat kurang. Cara bicara
seperti ini juga tidak disukai orang lain karena juga sulit dimengerti. Dalam kasus
ekstrim, ini bisa menjurus ke perilaku kasar.
Menjaga diri untuk menghemat kata-kata seefektif mungkin jelas beda dengan
memberikan jawaban monoton terhadap semua pertanyaan atau menghindari jawaban
dari pertanyaan substansial. Yang pertama itu baik, yang kedua itu kurang baik.
Berbicara ‘straight to the point’ memang bagus untuk kondisi tertentu, tapi kondisi lain
juga membutuhkan sekadar basa-basi atau penghormatan. Bicara yang pendek dan cepat,
seperti perintah atau komando dalam militer, boleh-boleh saja dilakuan saat dalam situasi
eksekusi memburu sasaran tertentu –dan bukannya saat ingin menjelaskan sesuatu.
Namun, dalam masyarakat secara umum, gaya bicara seperti itu akan menimbulkan kesan
tidak enak pada orang yang diajak bicara. Mungkin pihak lain akan merasa diperintah-
perintah atau bahkan dibentak-bentak.
Tapi, ada sejumlah kecil orang yang beranggapan berbicara pendek dan keras
semacam itu bertujuan untuk menunjukkan kewibawaan dan intelijensia. Betapa
kelirunya orang yang beranggapan demikian. Hal-hal besar digerakkan oleh kesabaran
dan ‘industri’ (kerja keras, terus-menerus, teratur). Hasil terbaik yang bisa didapat dari
suatu pembicaraan adalah dengan perpaduan yang tepat antara kesopanan, keberadaban,
dan pemahaman atas kondisi lingkungan.

5. Cara Bicara yang Defektif

Ini terkait dengan cara bicara yang cacat, rusak, atau tidak sempurna. Ada
berbagai gradasi dari tipe kekurangan ini. Misalnya; dari kegagapan kecil hingga gagap
absolut, dari sengau kecil hingga bindeng absolut, dan sejenisnya. Tapi, buku ini tidak
membahas orang yang bermasalah bicara karena bodoh total atau punya degradasi
mental.
Cara bicara yang defektif ini bisa menjadi kendala di dalam hidup, baik secara
sosial maupun karir. Orang yang punya kendala berupa bicara defektif bisa menemui
hambatan jika menerjuni profesi-profesi tertentu, semisal; aktor, pengacara, guru, dai,
dan sejenisnya. Selain penderitaan batin, orang demikian juga bisa dihinggapi sifat
rendah diri yang bakal menghambatnya meraih kemajuan dalam hidup. Namun, jika
orang ini bisa menjaga keberimbangan mental dan mengendalikan sifat agresif, cara
bicara yang tidak sempurna ini tidak akan menghalangi ia meraih kesuksesan. Bahkan,
kecacatan ini bisa dimanfaatkan untuk meraih kelebihan. Contohnya, ada aktor yang
cacat bicara tapi bisa memanfaatkan kecacatan itu sebagai karakter khas dia yang tidak
dimiliki aktor lain.
Tentang kecacatan berbicara ini, ada pertanyaan besar yang harus dijawab.
Apakah orang yang sudah berlatih keras dan lama bisa mengatasi masalah keterbatasan
ini? Ada kecacatan berbicara yang terkait dengan penyakit klinis –dan buku ini tidak
memberikan saran khusus tentang penyembuhannya. Meski demikian, latihan yang rutin,
teratur, dan tekun akan memberikan dampak perkembangan besar sehingga ketidak-
sempurnaan berbicara ini bisa tampak lenyap atau bahkan benar-benar lenyap.
Sebelum mulai menjalani berbagai latihan yang disyaratkan untuk mengurangi
kecacatan ini, ada faktor-faktor psikologis tertentu yang harus diperhatikan lebih dulu.
Pertama, adalah kehendak dan keteguhan untuk berhasil menyempurnakan diri. Kedua,
menundukkan masalah sehingga bisa membangkitkan kepercayaan diri.
Sebagaimana semua upaya untuk melakukan hal-hal besar, manuver pertama dan
awal untuk latihan berbicara ini sering kali berakhir dengan kegagalan. Tapi, jangan
putus asa. Jika sudah punya kehendak besar dan keteguhan, orang akan terus berusaha
mencapai tujuan menyingkirkan kecacatan berbicara. Seperti semua pencapaian, ia harus
tekun dan teguh dan tidak langsung patah arang dalam beberapa kegagalan awal. Jika
punya keinginan besar, maka keteguhan berlatih akan gampang dijalani.
Kemudian, ia harus punya kepercayaan diri yang tinggi. Jika saat berlatih ia
merasa malu, nervous, atau bahkan goyah, maka ia akan kesulitan meraih hasil yang
optimal tak peduli betapa kuat ia berusaha menaklukkan permasalahnnya. Karena itu,
syarat penting dalam mengatasi kendala bicara defektif adalah membuang semua bentuk
rasa malu, cemas, nervous, dan bahkan takut. Takut adalah salah satu dampak buruk yang
berakar dari sifat nervous. Jika berhasil mengatasi rasa nervous, maka orang bisa
mencegah munculnya ketakutan di semua lini.
Ada anak yang tiba-tiba jadi gagap kalau berhadapan dengan ayahnya, atau
prajurit yang selalu gagap jika berhadapan dengan komandannya, atau pria yang susah
menata bahasa saat berhadapan dengan wanita cantik, dan sejenisnya. Padahal, mereka
biasanya berbicara normal dan tenang. Sebaliknya, ada pembicara profesional –misalnya;
aktor, orator, pengacara, salesman, dan lain-lain– yang saat dalam kondisi takut atau
ketakutan pun tetap saja cara berbicaranya tidak goyah, cacat, atau kacau. Dalam kasus-
kasus luar biasa ini, kata-kata yang mereka ucapkan bukanlah representasi sejati dari
kondisi aktual otaknya dan batinnya. Mereka mungkin saja takut seperti orang lain, tapi
mereka telah melatih diri agar suara dan sikapnya tidak mengekspos kondisi internal
mereka.
Orang yang gampang nervous hendaknya mau belajar pada orang-orang yang
gampang menyampaikan kata-kata. Dengan mengikuti contoh-contoh dari mereka, ia bisa
belajar berbicara dan menyampaikan kata-kata secara sendirian atau di ruang tertutup.
Cara lain untuk melatih adalah membaca buku keras-keras dengan sikap sebaik mungkin.
Namun, untuk memulainya, ia harus setenang mungkin. Jangan keburu mencoba
melafalkan kata-kata sulit tertentu. Kalau gagal, itu malah bisa menghasilkan ketegangan
baru. Jadi, biarkan lidah dan organ mulut lainnya bekerja dengan caranya sendiri dahulu.
Terlalu memaksakan diri melafalkan dengan benar pada tahap-tahap awal latihan hanya
akan menghasilkan kekecewaan. Ingat, inti dari latihan adalah memberi kesempatan pada
lidah dan organ lain di mulut untuk menyesuaikan diri dengan berbagai kata sehingga
bisa mencapai kenyamanan penuh saat mengucapkan kata-kata dengan benar.
Yang paling sulit diucapkan adalah beberapa konsonan tertentu. Jangan merasa
malu atau kesal jika masih melafalkan ‘r’ sebagai ‘l’ atau ‘s’ sebagai ‘c’ dan lain-lain.
Biarkan dulu melafalkan kata sebagaiman yang bisa dilafalkan; jangan mamaksakan diri.
Lalu, jika sudah santai, perlahan-lahan arahkan pengucapan ke yang benar tanpa harus
membuat otot-otot di sekitar mulut jadi keseleo.
Latihan tertentu juga mensyaratkan beberapa kalimat dibaca keras beberapa kali
sehingga dengan tanpa sadar sudah berusaha mengoreksi kecacatan lidah. Dalam latihan
membaca beberapa kali, lidah akan mulai terasa kehilangan kekakuannya. Saat lidah
semakin lancar, pelafalan kata juga akan semakin lancar. Pembacaan pun bakal dirasakan
semakin ringan, mudah dan lancar.
Meski demikian, kecacatan dalam hal-hal lain mungkin masih ada. Ini harus
secara bertahap dieliminasi dengan latihan yang sama secara reguler setiap hari. Saat
sudah merasa mencapai level yang baik dalam satu tahap latihan membaca, segeralah
masuk ke tahap latihan berikutnya yakni berbicara tentang topik tertentu di depan orang
lain. Ia harus bicara dengan lantang dan jelas pada beberapa pendengar dan harus
mengkonstruksi kalimat yang baik seperti para dai, para guru, atau penceramah. Dengan
kata lain, tindakan berfikirnya harus dicocokkan dengan kekuatan bicaranya sehingga
kata-kata yang keluar dari bibirnya bakal mulus, logis dan penuh energi. Jika tidak ada
kesesuaian antara otak dan mulut, maka ucapan akan sangat terganggu. Kebanyakan
gangguan dalam berucap –atau tiba-tiba berhenti bicara di tengah pembicaraan– terjadi
karena tidak ada keselarasan antara kekuatan berfikir dan kekuatan berbicara.
Kebanyakan orang biasa berfikir lebih dulu baru kemudian berbicara. Namun,
pembicaraan yang lancar harus berlangsung normal dan tampak seperti terlontar begitu
saja bebarengan dengan otak berfikir. Kelancaran berbicara seperti ini bisa didapatkan
dengan praktik latihan yang panjang dan reguler. Karena itu lah orator atau guru senior
akan bisa berbicara panjang dan lebar sehingga terkesan apa yang ia ucapkan bisa
mengalir begitu saja di luar kepala. Maka, latihan penyesuaian antara otak dan mulut
perlu terus dilakukan agar kata-kata bisa mengalir terus dari mulut. Itu akan sangat
membantu seseorang misalnya saat akan menggambarkan keindahan alam. Selain bisa
memaparkan dengan pilihan kata-kata yang tepat, ia juga bisa menggambarkannya
dengan mimik dan bahasa tubuh yang memikat. Latihan demikian juga bisa untuk
meningkatkan kemampuan berfikir otak, serta untuk menciptakan kohesi antara berfikir
dan berbicara.

6. Konsentrasi

Di akar kohesi antara berfikir dan berbicara ini ada kekuatan konsentrasi.
Seseorang tidak akan bisa menjadi pembicara yang baik jika tidak bisa menjaga
konsentrasinya cukup lama atas topik yang sedang dibahas. Bahkan, andai ia tidak bisa
menyelami topik itu atau memidainya seperti selayaknya seorang pakar, maka dengan
terus berkonsentrasi ia setidaknya masih bisa mengikuti kecenderungan umum dari
pembicaraan itu dan kemudian bisa membumbuinya dengan pengetahuan atau
pendapatrnya sendiri. Dengan konsentrasi terhadap topik itu, ia tidak sekadar mengikuti
cara pandang orang lain yang diajak bicara. Ia juga bisa memperkaya topik itu dengan
pengetahuan dan pandangannya sendiri. Beberapa orang dikaruniai bakat tidak gampang
berkonsentrasi pada hal-hal serius tertentu. Tapi, mereka tetap bisa menjadi pembicara
yang baik jika tetap menjaga konsentrasi pada pembicaraan dan menjaga ketertarikan
pada pokok bahasan. Ini bisa membuat mereka tidak hanya terus menambahkan hal-hal
serius dalam diskusi tapi juga bisa memberikan humor ringan, komentar cerdas, dan
sejenisnya. Dengan tetap memelihara ketertarikan pada pembicaraan, entah untuk tujuan
serius atau sekadar rekreasi, orang tidak akan menjadi bosan atau lelah tapi bisa ikut
hidup saat diskusi atau pembicaraan berjalan.
Ketidak-acuhan adalah siftat yang bisa memadamkan semua tipe pembicaraan.
Pembicara yang baik harus acuh pada pembicaraan umum yang berlangsung di
sekitarnya. Semakin acuh pada pembicaraan yang sedang berlangsung atau yang
berkelanjutan itu, semakin besar ketertarikannya. Maka, seluruh bagian dari dirinya akan
lebih gampang merespon pembicaraan. Ia akan bisa tertawa bersama lainnya,
memberikan kritik atau applause bersama pihak lain. Ia akan merasa natural untuk
membuka fikiran dan pihak lain akan merasakan hal serupa. Dengan sikap seperti ini, ia
akan menjadi bagian dari percakapan. Saat ia sudah meleburkan diri dan merasa terlibat
sepenuhnya maka ia akan merasakan apa pun yang ia ucapkan bakal diterima pihak lain
dengan ketertarikan yang sama. Ia pun akan dianggap sebagai pembicara yang baik.
Ada orang yang suka berbicara bukan demi mendapatkan kenikmatan dari
pembicaraan itu sendiri tapi demi menciptakan citra dan menahan audiensnya belaka.
Orang semacam ini adalah pembicara yang sudah mempertimbangkan segala sesuatu
sebelumnya demi kepuasannya sendiri. Ia umumnya punya segudang bahan candaan
yang bisa digunaan setiap kali ada kesempatan. Tapi, ia mungkin tidak sadar sisi
negatifnya. Mungkin saja pancingan candanya menghasilkan gelak tawa, namun orang
lama-kelamaan akan mulai sadar bahwa guyonan itu tidak sesuai dengan arah
pembicaraan. Orang lain akan menjadi sadar ia hanya mencari popularitas dan tidak
memberi kontribusi apa-apa pada inti pembicaraan. Bahkan, setiap ada peluang
menggeser arah pembicaraan, orang lain akan melihat ia sebagai ganguan.
Tipe upaya-upaya semu dalam percakapan seperti di atas tidak akan pernah bisa
membuat seseorang menjadi pembicara sejati. Bahkan, andai orang itu bisa memancing
tawa di sana-sini, ia tidak akan bisa menjaga argumennya. Pada akhirnya, ia akan merasa
kelelahan atau kaku lidah saat mendapat argumen kuat dari pihak lain.
Karena itu, lebih baik tidak mencoba memaksa pihak lain dalam percakapan
terjerat dalam kepentingan sendiri dan lebih baik justru meleburkan diri di dalam
pembicaraan itu. Jika seseorang punya sesuatu yang harus dikatakan atau disumbangkan
dalam percakapan, ia harus menempuh taktik seperti di atas. Komentar atau lainnya harus
diungapkan secara natural. Pembicara yang ingin benar-benar terlibat aktif di dalam
percakapan bakal tahu dengan yakin komentar semacam apa yang layak untuk
melengkapi dan menambah mutu percakapan. Jika dalam kondisi tertentu ia merasa tidak
memiliki sesuatu yang ekstra untuk ditambahkan, maka ia akan merasa lebih baik
mendengar saja apa yang diutarakan pihak lain. Dengan cara itu setidaknya ia bisa tahu
lebih banyak tentang topik yang diperbincangkan sehingga bisa menambah pengetahuan
dan pemahamannya sendiri.
Perlu dicatat, unsur utama pelengkap percakapan bukan cuma lontaran ide dan
komentar. Yang juga bagus untuk membentuk tubuh percakapan adalah pertanyaan
cerdas. Jika dalam percakapan itu ada satu pihak yang bisa melontarkan pertanyaan
cerdas dan mencerahan, maka akan muncul jawaban yang tak kalah cerdas dan
mencerahkan. Jadi, pertanyaan yang baik adalah bagian yang tak terpisahkan dalam suatu
perbincangan, percakapan, atau pembicaraan dalam bentuk lainnya. Pertanyaan yang baik
harus harus diapresiasi.

You might also like