You are on page 1of 13

Analisis Kesenian

Ludruk Cak.Syukur - Probolinggo

1. Ludruk
Kata ludruk berasal dari kata lodrok (b.Jawa). Kata itu dikategorikan ke dalam
bahasa tingkat ngoko yang berarti badhut ‘lawak.’ Kata ludruk juga bermakna jembek,
jeblok, gluprut, badut, dan teater rakyat.
Hasil penelitian Suripan Sadi Hutomo, menurut kamus javanansch Nederduitssch
Woordenboek karya Gencke dan T Roorda (1847), Ludruk artinya Grappermaker
(badutan). Sumber lain menyatakan ludruk artinya penari wanita dan badhut artinya
pelawak di dalam karya WJS Poerwadarminta, Bpe Sastra (1930). Sedangkan menurut
S.Wojowasito (1984) bahwa kata badhut sudah dikenal oleh masyarakat Jawa timur sejak
tahun 760 masehi di masa kerajaan Kanyuruhan Malan dengan rajanya Gjayana, seorang
seniman tari yang meninggalkan kenangan berupa candi Badhut.
Ludruk adalah kesenian drama tradisional dari Jawa Timur. Ludruk pada awalnya
muncul dari kesenian rakyat ‘besutan’, yang biasa dipentaskan di lapangan dan ditonton
banyak orang.
Ludruk merupakan salah suatu drama tradisional yang diperagakan oleh sebuah
grup kesenian yang di gelarkan disebuah panggung dengan mengambil cerita tentang
kehidupan rakyat sehari-hari, cerita perjuangan dan lain sebagainya yang diselingi
dengan lawakan dan diiringi dengan gamelan sebagai musik.
Dialog/monolog dalam ludruk bersifat menghibur dan membuat penontonnya
tertawa, menggunakan bahasa khas Surabaya, meski terkadang ada bintang tamu dari
daerah lain seperti Jombang, Malang, Madura, Madiun dengan logat yang berbeda.
Bahasa lugas yang digunakan pada ludruk, membuat dia mudah diserap oleh kalangan
non intelek.
Dialog dalam ludruk pada umumnya menggunakan dialek Surabaya, sementara
ludruk di daerah Probolinggo, Lumajang, dan Jember menggunakan bahasa Madura.

1
Ludruk berbeda dengan ludruk dari Jawa Tengah. Cerita ludruk sering diambil
dari kisah zaman dulu (sejarah maupun dongeng), dan bersifat menyampaikan pesan
tertentu. Sementara ludruk menceritakan cerita kehidupan sehari-hari (biasanya)
masyarakat bawah.
Pada umumnya, ludruk dibuka dengan ‘tandhakan’ seperti tari remo,atau
‘beskalan putri’. Sedangkan pada ludruk Malang, pembuka pementasan diwujudkan
dengan mendendangkan ‘parikan’ yang berisi tentang keadaan dalam masyarakat sosial,
atau permasalahan sosial yang sedang hangat diperbincangkan sesuai dengan judul dan
tema yang akan diusung dalam pertunjukan drama tersebut.

2. Sejarah Kesenian Ludruk


Pada tahun 1994 , group ludruk keliling tinggal 14 group saja. Mereka main di
desa desa yang belum mempunyai listrik dengan tarif Rp 350. Group ini didukung oleh
50 - 60 orang pemain. Penghasilan mereka sangat minim yaitu: Rp 1500 s/d 2500 per
malam. Bila pertunjukan sepi, terpaksa mengambil uang kas untuk bisa makan di desa.
Sewaktu James L Peacok (1963-1964) mengadakan penelitian ludruk di Surabaya
tercatat sebanyak 594 group. Menurut Depdikbud propinsi jatim, sesudah tahun 1980
meningkat menjadi 789 group (84/85), 771 group (85/86), 621 group (86/87) dan 525
(8788). Suwito HS, seniman ludruk asal Malang mengatakan tidak lebih dari 500 group
karena banyak anggota group yang memiliki keanggotaan sampai lima group.
Ludruk tidak terbentuk begitu saja, tetapi mengalami metamorfosa yang cukup
panjang. Kita tidak punya data yang memadai untuk merekonstruksi waktu yang
demikian lama, tetapi Hendricus Supriyanto mencoba menetapkan berdasarkan nara
sumber yang masih hidup sampai tahun 1988, bahwa ludruk sebagai teater rakyat dimulai
tahun 1907, oleh pak Santik dari desa Ceweng, Kecamatan Goda kabupaten Jombang.
Bermula dari kesenian ngamen yang berisi syair syair dan tabuhan sederhana, pak
Santik berteman dengan pak Pono dan Pak Amir berkeliling dari desa ke desa. Pak Pono
mengenakan pakaian wanita dan wajahnya dirias coret coretan agar tampak lucu. Dari
sinilah penonton melahirkan kata .Wong Lorek.. Akibat variasi dalam bahasa maka kata
lorek berubah menjadi kata Lerok.

2
• Periode Lerok Besud (1920 - 1930)
Kesenian yang berasal dari ngamen tersebut mendapat sambutan penonton. Dalam
perkembangannya yang sering diundang untuk mengisi acara pesta pernikahan dan pesta
rakyat yang lain.
Pertunjukkan selanjutnya ada perubahan terutama pada acara yang disuguhkan.
Pada awal acara diadakan upacara persembahan. Persembahan itu berupa penghormatan
ke empat arah angin atau empat kiblat, kemudian baru diadakan pertunjukkan. Pemain
utama memakai topi merah Turki, tanpa atau memakai baju putih lengan panjang dan
celana stelan warna hitam. Dari sini berkembalah akronim Mbekta maksud arinya
membawa maksud, yang akhirnya mengubah sebutan lerok menjadi lerok besutan.

• Periode Lerok dan Ludruk (1930-1945)


Periode lerok besut tumbuh subur pada 1920-1930, setelah masa itu banyak
bermunculan ludruk di daerah Jawa timur. Istilah ludruk sendiri lebih banyak ditentukan
oleh masyarakat yang telah memecah istilah lerok. Nama lerok dan ludruk terus
berdampingan sejak kemunculan sampai tahun 1955, selanjutnya masyarakat dan
seniman pendukungnya cenderung memilih ludruk.
Pada tahun 1933, Cak Durasim mendirikan Ludruk Oraganizatie (LO). Ludruk
inilah yang merintis pementasan ludruk berlakon dan amat terkenal keberaniannya dalam
mengkritik pemerintahan baik Belanda maupun Jepang.
Ludruk pada masa ini berfungsi sebagai hiburan dan alat penerangan kepada
rakyat, oleh pemain pemain ludruk digunakan untuk menyampaikan pesan pesan
persiapan Kemerdekaan, dengan puncaknya peristiwa akibat kidungan Jula Juli yang
menjadi legenda di seluruh grup Ludruk di Indonesia yaitu : Bekupon Omahe Doro,
Melok Nipon Soyo Sengsoro., cak Durasim dan kawan kawan ditangkap dan dipenjara
oleh Jepang.
• Periode Ludruk Kemerdekaan (1945-1965)
Ludruk pada masa ini berfungsi sebagai hiburan dan alat penerangan kepada
rakyat, untuk menyampaikan pesan pesan pembangunan. Pada masa in Ludruk yang
terkenal adalah Marhaen, milik Partai Komunis Indonesia.. Oleh sebab itu tidaklah
mengherankan jika PKI saat itu dengan mudah mempengaruhi rakyat, dimana ludruk

3
digunakan sebagai corong PKI untuk melakukan penggalangan masa untuk tujuan
pembrontakan.
Ludruk benar benar mendapatkan tempat di rakyat Jawa Timur. Ada dua grup
ludruk yang sangat terkenal yaitu : Ludruk Marhaen dan Ludruk tresna Enggal.

• Periode Ludruk Pasca G 30 S PKI


Peristiwa G30S PKI benar benar memperak perandakan grup grup Ludruk
terutama yang berafiliasi kepada Lembaga Kebudayaan Rakyat milik PKI.
Terjadi kevakuman antara 1965-1968. Sesudah itu muncullah kebijaksanaan baru
menyangkut grup grup ludruk di Jawa Timur. Peleburan ludruk dikoordinir oleh
Angkatan Bersenjata dalam hal ini DAM VIII Brawijaya proses peleburan ini terjadi
antara tahun 1968-1970.
Diberbagai daerah, ludruk dibina oleh ABRI, sampai tahun 1975. Sesudah itu
mereka kembali ke grup seniman ludruk yang independen hingga kini.
Dengan pengalaman pahit yang pernah dirasakan akibat kesenian ini, ludruk lama
tidak muncul kepermukaan sebagai sosok Kesenian yang menyeluruh. Pada masa ini
ludruk benar benar menjadi alat hiburan. Sehingga generasi muda yang tidak mendalami
sejarah akan mengenal ludruk sebagai grup sandiwara Lawak.

• Periode Orde Baru


Dalam masa ini, ludruk kembali tampil dengan kritik sosialnya. Namun itu tak
berlangsung lama, karena ketatnya pengawasan pemerintah pada kesenian, dan kegiatan
masyarakat, kesenian yang berbau kritik pada pemerintah tirani mulai dibekukan.
Tema dalam cerita dibatasi, dan pementasannya diawasi. Hingga membuahkan
berkurangnya kemampuan seniman dalam mengembangkan keseniannya.

3. Ludruk di era modern


Sekarang ini masyarakat dunia, termasuk Indonesia, sedang masuk dalam era
globaliasi. Globalisasi merupakan sebuah istilah yang muncul sekitar dua puluh tahun
yang lalu, dan mulai begitu populair sebagai ideologi baru sekitar sepuluh tahun terakhir.
Sebagai istilah, globalisasi begitu mudah diterima atau dikenal masyarakat seluruh dunia.

4
Wacana globalisasi sebagai sebuah proses ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi sehingga ia mampu mengubah dunia secara mendasar.
Kemampuan berubah merupakan sifat yang penting dalam kebudayaan manusia.
Tanpa itu kebudayaan tidak mampu menyesuaikan diri dengan keadaan yang senantiasa
berubah. Perubahan yang terjadi saat ini berlangsung begitu cepat. Hanya dalam jangka
waktu satu generasi banyak negara-negara berkembang telah berusaha melaksanakan
perubahan kebudayaan, padahal di negara-negara maju perubahan demikian berlangsung
selama beberapa generasi.
Gejala yang juga menonjol sebagai dampak dari globalisasi informasi adalah
terjadinya perubahan budaya dalam masyarakat tradisional, yakni perubahan dari
masyarakat tertutup menjadi masyarakat yang lebih terbuka, dari nilai-nilai yang bersifat
homogen menuju pluralisme nilai dan norma sosial. Ilmu pengetahuan dan teknologi
telah mengubah dunia secara mendasar. Komunikasi dan transportasi internasional telah
menghilangkan batas-batas budaya setiap bangsa. Kebudayaan setiap bangsa cenderung
mengarah kepada globalisasi dan menjadi peradaban dunia sehingga melibatkan manusia
secara menyeluruh.
Kesenian ludruk yang sampai pada tahun 80-an masih berjaya di Jawa Timur
sekarang pun mulai pudar. Tampaknya terpuruknya berbagai kesenian tradisional Jawa
seperti wayang orang, dan ludruk di Jawa Timur oleh berbagai kesenian massa yang
murah dan mudah dinikmati semakin didesak dengan pesatnya perkembangan dunia
penyiaran tv di tanah air. Sekarang jarang ada anggota masyarakat menanggap kesenian
ini dalam acara-acara hajatan dan ritual mereka. Pementasan ludruk jarang sekali ada,
kecuali sesekali di RRI Surabaya dan TVRI Surabaya.
Iklim reformasi pasca ambruknya kekuasaan Orde Baru ternyata tak juga
membawa angin segar kepada nasib kesenian ludruk, seperti yang dialami oleh mayoritas
kesenian tradisional lainnya. Ludruk merupakan salah satu seni pertunjukan tradisional
yang menjadi korban perubahan selera berkesenian dan selera publik terhadap jenis
tontonan dan hiburan.
Ketergantungan ludruk pada pemerintah di masa rezim ORBA yang membekukan
kesenian ini, membuahkan berkurangnya kemampuan adaptasi seniman ludruk terhadap
perkembangan jaman.

5
Tingkat ketertarikan terhadap ludruk semakin lama semakin menurun drastis. Dan
regenerasipun mengalami kemacetan karena kurangnya minat untuk menjadi pewaris
aktif kesenian ini.
Dalam situasi seperti itu tidak ada pilihan lain selain melakukan kolaborasi
dengan nilai-nilai dan simbol-simbol modernitas serta menggunakan media-media yang
dekat dengan gaya hidup modern. Diantaranya, adalah media televisi. Maka, kemudian
dapat disaksikan taburan pertunjukan ludruk di stasiun-stasiun televisi seperti Ludruk
Tjap Toegoe Pahlawan, Ludruk Glamor, Ludruk Hoki, Bintang Timur dan sebagainya.
Namun, tayangan ludruk telah berganti wajah. Ludruk tak ubahnya sebuah
tayangan humor dan lawakan tanpa makna yang mengemas dan mengatasnamakan
dirinya ‘ludruk’. Isinya bukan lagi cerita tentang kehidupan masyarakat, melainkan hanya
berisi humor (meskipun masih memiliki jalan cerita dan tema), tak jauh berbeda dengan
‘Jula-Juli Guyonan’ yang dipopilerkan Kartolo cs.
Ludruk pada era modern tidak lagi seperti yang kita kenal sebelumnya sebagai
‘ludruk konvensional’. Ludruk konvensional tergeser dengan hadirnya ludruk ludruk
yang bisa dikatakan sebagai ‘ludruk kontemporer’. Dengan tema yang menjadikan pakem
dan spirit ludruk yang berupa perlawanan dan kritik sosial telah hilang.
Lakon-lakon dalam ludruk tak lagi mementaskan gambaran karakter-karakter
orang kampung yang homogen, seperti dalam ludruk gaya Besutan yang populer pada
1930-an. Ludruk makin mengidealisasikan masyarakat ekstra-kampung yang heterogen
dan menjadikan warga kampung bahan tertawaan.
Menanggapi hal tersebut, Henricus, seorang pengamat budaya menyuarakan
kekecewaannya. “Saya melihat pakem ludruk sudah hilang. Bahkan spirit perlawanan dan
kritik sosial sudah hilang dari ludruk. Kalau masyarakat tidak jeli, bisa-bisa mereka
menganggap seperti itulah ludruk. Padahal bukan”, terangnya menyuarakan
kegelisahannya.
Seni konvensional kini mulai dilupakan masyarakat, masyarakat beralih ke ludruk
moderen (ludruk konvensional) yang dinilai lebih sesuai dengan perkembangan zaman.
Fenomena perubahan ini terjadi karena masyarakat sudah tidak terlalu tertarik
pada pentas-pentas ludruk tradisional, mereka lebih suka melihat pentas ludruk modern
yang dibalut humor. Ketertarikan masyarakat pada seni ludruk modern adalah hal yang

6
wajar, namun hal itu berakibat pada penolakan terhadap ludruk konvensional, dan
mengalihkan pandangan menuju pada ludruk kontemporer yang telah jauh keluar dari
pakem ludruk asli. Padahal, ludruk konvensional saat ini sebenarnya sudah mulai berubah
tanpa meninggalkan pakem.
Siapapun yang mendambakan kehadiran ludruk dengan keasliannya harus
bersiap-siap untuk kecewa. Perubahan-perubahan terhadap ludruk menjadikan ludruk
selalu menjadi milik orang lain, tidak lagi menyuarakan kepentingan masyarakat
kebanyakan.
Oleh karena itu, diperlukan upaya serius untuk menjaga kelestarian ludruk selain
itu, konvensional, salah satunya adalah dengan membentuk sebuah wadah bagi
komunitas-komunitas ludruk agar mereka dapat terus berkarya. Dimana dalam komunitas
tersebut terdapat sebuah kesamaan visi dari berbagai pihak, wadah bersama bagi
komunitas ludruk dan akan menjadi kekuatan bagi seniman ludruk untuk menyalurkan
aspirasi mereka.
Selain itu, upaya pelestarian ludruk dapat dilakukan dengan penanaman nilai-nilai
seni di kalangan generasi muda dan pelajar sebagai cara untuk menumbuhkan minat
mereka pada seni tradisional.
Dengan penanaman minat pada generasi muda, regenerasi seniman tradisi akan
berjalan dan seni tradisional tak akan mati.

4. Ludruk Probolinggo-Madura

Faktor ekologis sebuah wilayah bisa menjadi faktor utama pembentukan kultur
sebuah masyarakat. Tradisi diasporik masyarakat Madura, berawal dari sejarah
kelangkaan ekologis (ecological scarcity) yang panjang pada abad ke-18, yang memaksa
penduduknya untuk berimigrasi ke daerah lain terutama pulau Jawa.
Sejarah Madura selama hampir seabad (1850-1940) memperlihatkan saling
keterkaitan antara pengaruh faktor ekologis dengan pelaku sejarah dalam membentuk
sebuah masyarakat dan nasib masyarakat itu. Ekotipe ladang kering yang menetap atau
ekotipe tegal telah menghasilkan unit eko-historikal tersendiri, berbeda dengan ekotipe

7
sawah di Jawa dan ekotipe perladangan di Indonesia bagian Timur (Kompas, 24 Februari
2005).
Penelitian Kuntowijoyo (2002) tentang pengaruh ekologi pada formasi sosial di
Madura, melihat bahwa migrasi ke pulau Jawa merupakan bagian dari sejarah orang
Madura. Dibukanya perkebunan di Jawa Timur menarik orang Madura untuk menjadi
buruh di perkebunan. Pada tahun 1930, lebih dari separuh keseluruhan etnis Madura
tinggal di Jawa, kebanyakan di pojok bagian Timur. Di Jawa Timur, sebagai kelompok
mayoritas (kecuali Banyuwangi), orang Madura aktif berperan dalam pergerakan nasional
di kota dan di lingkungan kelompok etnis Madura umumnya (Kuntowijoyo, 2002: 75-
81).
Hal itu berpengaruh pula dalam perkembagan kesenian di Jawa Timur. Etnis
Madura berusaha menyesuaikan / beradaptasi dengan masyarakat asli Jawa Timur dengan
mempelajari budayanya. Dan salah satu diantaranya adalah kesenian ludruk yang
merupakan kesenian asli Jawa Timur.
Daerah Probolinggo adalah salah satu daerah migrasi etnis Madura. Terutama di
daerah pesisir yang berseberangan dengan pesisir pulau Madura.
Ludruk di daerah Probolinggo muncul dengan lahirnya beberapa kelompok seni.
Dan diantaranya adalah orang-orang pendatang dari etnis Madura, salah satunya adalah
kelompok seni Putra Buana yang dibina oleh Cak.Syukur.

5. Ludruk Cak Sukur (OM.Putra Buana – Probolinggo)


Dengan kelompoknya, Cak.Syukur berusaha masuk dalam kancah budaya ludruk
di daerah Probolinggo dengan memperkenalkan budaya tersebut dalam kelompok
etnisnya. Yaitu dengan menggunakan bahasa Madura dalam pementasan ludruknya. Tidak
hanya itu, tidak jarang Cak.Syukur cs juga menghadirkan ludruknya dengan bahasa
Indonesia, Bahasa Jawa, dan Bahasa Madura sekaligus dengan tujuan untuk melebur
batas pembeda antara etnis Jawa sebagai masyarakat asli, dan etnis Madura sebagai
masyarakat pendatang.
Ludruk Cak.Sukur yang berkembang di Probolinggo ini adalah salah satu contoh
akulturasi kebudayaan ludruk Jawa dengan budaya Madura. Ini terlihat dari bahasa yang
digunakan dalam pertunjukan tersebut.

8
Tidak mengherankan kalau orang Madura seperti Cak.Syukur dapat mengikuti
kesenian orang Jawa dengan baik, dan seringkali mereka mementaskan dalam tiga bahasa
yang dicampur. Yaitu bahasa Madura, Jawa, dan Indonesia. Itu dikarenakan 60 persen
kosa-kata bahasa Madura berasal dari bahasa Melayu. Sementara tata bahasanya serupa
dengan bahasa Jawa. Sampai pertengahan abad ke-18, sastra Madura masih memakai
bahasa Jawa madya. Barulah kemudian pada akhir abad ke-18 menggunakan bahasa
Madura tinggi, dan itupun tidak begitu berbeda dengan bahasa Jawa. Bedanya hanya cara
mengucapkan saja.
Dalam pertunjukannya, kebudayaan Madura tidak hanya terlihat dari bahasa yang
digunakan. Tetapi juga dari cerita dan tokoh yang hadir dalam pertunjukan tersebut.
Seperti cerita tentang warok, dan cerita yang berkisar pada masalah sosial yang biasa
terjadi dalam masyarakat Madura yaitu ‘carok’.
Namun dalam perkembangannya, dan seiring mulai tersisihnya ludruk dari dunia
hiburan rakyat yang terlah tergantikan oleh kehadiran media televisi, Cak.Syukur
membuat berbagai pembaharuan.
Demi mempertahankan kelompoknya dari ketersisihan tersebut, ludruk tidak lagi
hanya memuat kisah atau tema sosial. Melainkan dengan membubuhkan berbahai macam
humor. Dan itu juga sejalan dengan perubahan yang terjadi pada ludruk Jawa yang
menjadi pertunjukan humor.
Selain itu, ludruk Cak.Syukur sudah tidak lagi dibuka dengan dengan ‘tandhakan’
seperti tari remo. Melainkan dengan mendendangkan ‘parikan’ yang berisi tentang
keadaan dalam masyarakat sosial, permasalahan sosial yang sedang hangat
diperbincangkan sesuai dengan judul dan tema yang akan diusung dalam pertunjukan
drama tersebut, puisi mainan anak-anak, yang berupa kumpulan kata-kata yang bisa
ditafsirkan bebas dengan unsur bunyi yang cukup dominan, mensaratkan lompatan-
lompatan imajinasi, atau sekedar pantun lucu yang didendangkan dengan iringan musik.
Iringan musik dalam ludruk Cak.Sukur tidak menggunakan gamelan, atau alat
musik tradisional. Melainkan menggunakan ketipung, gitar, dan drum, yang biasa dipakai
untuk pertunjuan musik dangdut, dan memang biasanya, paertunjukan ludruk ini
disajikan bersamaan dengan pementaan orkes melayu yang bernuansa dangdut.

9
Dengan berusaha untuk tidak mengesampingkan pakem ludruk aslinya, dalam
beberapa hal seperti penokohan dan tema, Cak.Syukur tetap menggunakan tema sosial
dalam beberapa pertunjukannya.

6. Analisis Ludruk Cak.Syukur “Sukur Si.Kucing Garong”

• Ringkasan Cerita
Syukur adalah seorang yang kaya raya, hartanya banyak, memiliki banyak rumah
dan mobil. Dalam kesehariannya, Syukur dikenal dengan sebutan ‘juragan’ dan
‘Si.Kucing Garong’. Sebutan ‘Si.Kucing Garong’ itu didapatnya karena ia selalu
menginginkan untuk beristri lebih dari satu.
Syukur mempunyai seorang tangan kanan bernama Buarto yang selalu
endampinginya. Atas permintaan Syukur, Buarto memberinya sebuah aji-aji dan mantra
untuk memikat wanita.
Setelah itu, kepada Buarto, Syukur mengutarakan maksudnya untuk memiliki istri
lima. Maksud itu pun disangsikan oleh Buarto. Tetapi Syukur meyakinkan dan telah
memantapkan niatnya.Buarto hanya menyarankan untuk mempertimbangkannya, dan
menanyakan terlebih dahulu pada istri Syukur.
Untuk itu, Syukur memanggil istrinya. Dipanggilnya Kancil, pembantu yang
selalu mendampinginya beserta istrinya.
Setelah mengutarakan maksudnya untuk beristri lagi pada Anisa, istrinya, istrinya
menolak tawaran tersebut. Anisa beralasan, bila Syukur menikah lagi, ia akan sangat
terpukul, dan meminta Syukur tidak melakukan hal itu.
Syukur marah, dan mengancam akan mengikat dan menutup mulut istrinya, dan
menyekapnya di rumah. Anisa pun hanya bisa pasrah dan bersabar. Setelah itu Syukur
memanggil bodyguard nya yang bernama Jamal.
Jamal, bodyguardnya, datang dengan pacarnya yang bernama Lia. Selanjutnya
Jamal memperkenalkan pacarnya itu kepada majikannya
Syukur berkenalan dengan Lia, dan ia pun mulai merayu gadis itu dan tertarik
memperistrinya. Selanjutnya Syukur meminta Jamal untuk pergi membeli rokok dan
meninggalkan pacarnya. Seperginya Jamal, tanpa basa-basi, ia mengutarakan niatnya

10
pada Lia untuk menjadi istrinya. Awalnya Lia menolak. Akan tetapi, Syukur mengancam
akan memecat dan membunuh Jamal kalau Lia tidak mau menikah denganya. Syukur pun
menjanjikan harta untuk Lia. Akhirnya, Lia pun mau memenuhi permintaan Jamal. Istri
pertama Syukur hanya bisa melihat dan bersabar.
Setelah itu, Buarto datang, memberitahu bahwa pada hari itu Syukur harus
menemui orang yang berhutang kepadanya.
Syukur meminta Jamal membantunya untuk menagih hutang. Dan ia pun meminta
kedua istrinya pulang.

(di rumah Hasan, orang yang berhutang kepada Syukur)

Buarto masuk, menemui Hasan, yang berhutang kepada Syukur. Merasa dipaksa
untuk membayar dan dilecehkan oleh Buarto, orang tersebut marah, dan mengeluarkan
celuritnya. Buarto pun ketakutan dan memanggil Jamal.
Selanjutnya terjadi adu mulut antara Jamal dan Hasan dengan sama-sama
menunjukkan ketajaman celurit mereka.
Akhirnya, Hasan merasa kalah dan mengambil jalan tengah dengan meminta
bernego dengan Syukur.
Jamal pun memanggil Syukur, untuk memintanya menemui Hasan. Setelah
bernego beberapa saat, akhirnya Hasan memperkenalkan anaknya, Eni, kepada Syukur,
dengan maksud untuk menikahkan anaknya dengan Syukur untuk melunasi hutangnya.
Karena kecantikan anak Hasan, Syukur pun tertarik, dan mengutarakan niatnya
untuk meminang Eni. Hasan pun setuju, dan menanyakan hal itu kepada anaknya.
Awalnya Eni menolak, tetapi Syukur mengancam akan melaporkan ayahnya kepada
polisi dan menyita semua hartanya. Karena takut, akhirnya Eni bersedia menjadi istri
ketiga Syukur.
Setelah Hasan, Syukur, dan Eni pergi, tinggallah Kancil, Buarto, dan Jamal
membicarakan kelakuan Syukur Si Kucing Garong itu. Mereka menganggap bahwa
Syukur telah berbuat keterlaluan. Awalnya Jamal berpikiran biasa saja, tetapi setelah
mendapat penjelasan dari Buarto dan Kancil bahwa mantan pacarnya, Lia, juga hanya

11
dipermainkan oleh Syukur dengan dijadikan istri dengan status ‘kawin sirih’, Jamal mulai
sependapat dengan Buarto dan Kancil.
Untuk membuat Syukur jera, Buarto berinisiatif untuk menipu Syukur. Buarto
meminta Jamal dan Kencil bertugas untuk menyampaikan pesan kepada Syukur, bahwa
masih adal satu wanita lagi yang bisa dijadikannya istri.
Sesampai di rumah Syukur, Jamal menyampaikan apa yang dikatakan Buarto.
Syukur pun merasa gembira dan meminta anak buahnya membawa gadis yang mereka
maksud padanya.
Tak lama kemudian, Buarto membawakan seorang waria. Dan ketika Syukur
tengah merayu waria itu, Buarto membawa semua istri Syukur dan mengeroyok Syukur
beramai-ramai. Akhirnya, Syukur pun meminta maaf kepada semua istrinya, mengakui
kesalahannya, dan bertaubat.

• Unsur-unsur Intrinsik

a. Judul : Sukur Si.Kucing Garong


b. Bentuk : Drama (ludruk humor-kontemporer)
c. Tokoh :
- Syukur (Si.Kucing Garong)
- Buarto (tangan kanan Syukur)
- Annisa (istri pertama Syukur)
- Lia (istri kedua Syukur)
- Eni (istri ketiga Syukur)
- Susan (waria, istri keempat Syukur)
- Kancil (pembantu Syukur)
- Jamal (bodyguard Syukur)
- Hasan (bapak Eni)
d. Tema : masalah dalam keluarga (poligami)
e. Alur : maju
f. Gaya Bahasa : gaya bahasa sehari-hari

12
• Unsur-unsur Ekstrinsik

a. Latar Belakang :
Kebudayaan Madura di kalangan menengah kebawah. Dimana banyak ditemukan
fenomena poligami dalam masyarakat tersebut. Dan itu banyak dilakukan ketika kaum
pria dalam etnis ini sudah merasa mampu untuk menghidupi, beristri lebih dari satu
dengan kekayaan yang dimilikinya.
b. Sutradara : Cak.Sukur
Cak.Sukur adalah seorang etnis Madura yang menetap di daerah pesisir
Probolinggo. Dia mendirikan ludruk dan orkes melayu tunggal (OM) dangdut yang
bernama ‘OM. Putra Buana’.
Karena itu, pada setiap pementasannya, diikuti pula oleh pertunjukan orkes
dangdut.

c. Fungsi Pementasan :
Hiburan humor dalam acara hajatan yang sekaligus menyampaikan pesan yang
berhubungan dengan acara hajatan (perkawinan).

d. Hubungan dengan Kondisi Masyarakat Sekitar :


Penikmat / penangap adalah seorang etnis Madura yang sedang mengadakan acara
hajatan, dan menghadirkan ludruk sebagai acara hiburan. Tema dalam ceritanya sengaja
memuat tentang kehidupan rumah tangga yang diwarnai percekckan, dan dalam hal ini
mengenai poligami dalam rumah tangga yang telah menjadi masalah sosial dalam
masyarakat.

e. Amanat :
Amanat berkisar pada masalah dalam rumah tangga yang berujung dari seorang
suami yang bermaksud poligami, dan melukai hati istri. Suami bersikap seperti itu karena
merasa memiliki kemampuan lebih dalam memenuhi kebutuhan hidup dengan beberapa
istri. Hingga ia pun berniat menikahi lebih dari satu istri.

7. Beberapa Karya Lain


• “Syukur Jadi Murid Teladan”
 ludruk bertema sosial, tentang wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan
pemerintah.
• “Syukur Jadi Korban Lumpur Lapindo”
 ludruk humor, dengan latar belakang kehidupan rakyat yang sedang
dilanda bencana semburan Lumpur.

13

You might also like