You are on page 1of 17

Metode Pembelajaran Problem Posing

Bentuk lain dari problem posing adaslah problem posing, yaitu pemecahan
masalah dngan melalui elaborasi, yaitu merumuskan kembali masalah menjadi bagian-
bagian yang lebih simple sehingga dipahami. Sintaknya adalah: pemahaman, jalan keluar,
identifikasi kekeliruan, menimalisasi tulisan-hitungan, cari alternative, menyusun soal-
pertanyaan.

Pengertian Pendekatan Problem Posing


Menurut Brown dan Walter dalam Kadir (2006:7), pada tahun 1989 untuk pertama
kalinya istilah problem posing diakui secara resmi oleh National Council of Teacher of
Mathematics (NCTM) sebagai bagian dari national program for re-direction of
mathematics education (reformasi pendidikan matematika). Selanjutnya istilah ini
dipopulerkan dalam berbagai media seperti buku teks, jurnal serta menjadi saran yang
konstruktif dan mutakhir dalam pembelajaran matematika. Problem posing berasal dari
bahasa Inggris, yang terdiri dari kata problem dan pose. Problem diartikan sebagai soal,
masalah atau persoalan, dan pose yang diartikan sebagai mengajukan (Echols dan
Shadily, 1990:439 dan 448). Beberapa peneliti menggunakan istilah lain sebagai padanan
kata problem posing dalam penelitiannya seperti pembentukan soal, pembuatan soal, dan
pengajuan soal (Yansen, 2005:9).

Suryanto (Sutiarso: 2000) mengemukakan bahwa problem posing merupakan istilah


dalam bahasa Inggris, sebagai padanan katanya digunakan istilah “merumuskan masalah
(soal)” atau “membuat masalah (soal)”. Sedangkan menurut Silver (Sutiarso: 2000)
bahwa dalam pustaka pendidikan matematika, problem posing mempunyai tiga
pengertian, yaitu: pertama, problem posing adalah perumusan soal sederhana atau
perumusan ulang soal yang ada dengan beberapa perubahan agar lebih sederhana dan
dapat dipahami dalam rangka memecahkan soal yang rumit (problem posing sebagai
salah satu langkah problem solving). Kedua, problem posing adalah perumusan soal yang
berkaitan dengan syarat-syarat pada soal yang telah dipecahkan dalam rangka mencari
alternatif pemecahan lain (sama dengan mengkaji kembali langkah problem solving yang
telah dilakukan). Ketiga, problem posing adalah merumuskan atau membuat soal dari
situasi yang diberikan.
Sedangkan The Curriculum and Evaluation Standard for School Mathematics
merumuskan secara eksplisit bahwa siswa harus mempunyai pengalaman mengenal dan
memformulasikan soal-soal (masalah) mereka sendiri. Lebih jauh The Professional
Standards for Teaching Mathematics menyarankan hal yang penting bagi guru-guru
untuk menyusun soal-soal mereka sendiri. Siswa perlu diberi kesempatan merumuskan
soal-soal dari hal-hal yang diketahui dan menciptakan soal-soal baru dengan cara
memodifikasi kondisi-kondisi dari masalah-masalah yang diketahui tersebut (Silver &
Cai, 1996).
Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan di atas, maka dirumuskan pengertian
problem posing adalah perumusan atau pembuatan masalah/soal sendiri oleh siswa
berdasarkan stimulus yang diberikan.
jenis-jenis penelitian
Penelitian dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis penelitian, misalnya:

Penelitian kualitatif

(termasuk penelitian historis dan deskriptif)adalah penelitian yang tidak menggunakan


model-model matematik, statistik atau komputer. Proses penelitian dimulai dengan
menyusun asumsi dasar dan aturan berpikir yang akan digunakan dalam penelitian.
Asumsi dan aturan berpikir tersebut selanjutnya diterapkan secara sistematis dalam
pengumpulan dan pengolahan data untuk memberikan penjelasan dan argumentasi.
Dalam penelitian kualitatif informasi yang dikumpulkan dan diolah harus tetap obyektif
dan tidak dipengaruhi oleh pendapat peneliti sendiri. Penelitian kualitatif banyak
diterapkan dalam penelitian historis atau deskriptif.
Penelitian historis

menerapkan metode pemecahan yang ilmiah dengan pendekatan historis. Proses


penelitiannya meliputi pengumpulan dan penafsiran fenomena yang terjadi di masa
lampau untuk menemukan generalisasi yang berguna untuk memahami, meramalkan atau
mengendalikan fenomena atau kelompok fenomena. Penelitian jenis ini kadang-kadang
disebut juga penelitian dokumenter karena acuan yang dipakai dalam penelitian ini pada
umumnya berupa dokumen. Penelitian historis dapat bersifat komparatif, yakni
menunjukkan hubungan dari beberapa fenomena yang sejenis dengan menunjukkan
persamaan dan perbedaan; bibliografis, yakni memberikan gambaran menyeluruh tentang
pendapat atau pemikiran para ahli pada suatu bidang tertentu dengan menghimpun
dokumen-dokumen tentang hal tersebut : atau biografis, yakni memberikan pengertian
yang luas tentang suatu subyek, sifat dan watak pribadi subyek, pengaruh yang diterima
oleh subyek itu dalam masa pembentukan pribadinya serta nilai subyek itu terhadap
perkembangan suatu aspek kehidupan.
Penelitian deskriptif

adalah penelitian tentang fenomena yang terjadi pada masa sekarang. Prosesnya berupa
pengumpulan dan penyusunan data, serta analisis dan penafsiran data tersebut. Penelitian
deskriptif dapat bersifat komparatif dengan membandingkan persamaan dan perbedaan
fenomena tertentu; analitis kualitatif untuk menjelaskan fenomena dengan aturan berpikir
ilmiah yang diterapkan secara sistematis tanpa menggunakan model kuantitatif; atau
normatif dengan mengadakan klasifikasi, penilaian standar norma, hubungan dan
kedudukan suatu unsur dengan unsur lain.
Penelitian teoritis

adalah penelitian yang hanya menggunakan penalaran semata untuk memperoleh


kesimpulan penelitian. Proses penelitian dapat dimulai dengan menyusun asumsi dan
logika berpikir. Dari asumsi dan logika tersebut disusun praduga (konjektur). Praduga
dibuktikan atau dijelaskan menjadi tesis dengan jalan menerapkan secara sistematis
asumsi dan logika. Salah satu bentuk penerapan asumsi dan logika untuk membentuk
konsep guna memecahkan soal adalah membentuk model kuantitatif. Dalam beberapa
penelitian teoritis tidak diadakan pengumpulan data.
Penelitian ekperimental

adalah penelitian yang dilakukan dengan menciptakan fenomena pada kondisi terkendali.
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan hubungan sebab-akibat dan pengaruh faktor-
faktor pada kondisi tertentu. Dalam bentuk yang paling sederhana, pendekatan
eksperimental ini berusaha untuk menjelaskan, mengendalikan dan meramalkan
fenomena seteliti mungkin. Dalam penelitian eksperimental banyak digunakan model
kuantitatif.
Penelitian rekayasa

(termasuk penelitian perangkat lunak) adalah penelitian yang menerapkan ilmu


pengetahuan menjadi suatu rancangan guna mendapatkan kinerja sesuai dengan
persyaratan yang ditentukan. Rancangan tersebut merupakan sintesis unsur-unsur
rancangan yang dipadukan dengan metode ilmiah menjadi suatu model yang memenuhi
spesifikasi tertentu. Penelitian diarahkan untuk membuktikan bahwa rancangan tersebut
memenuhi spesifikasi yang ditentukan. Penelitian berawal dari menentukan spesifikasi
rancangan yang memenuhi spesifikasi yang ditentukan, memilih alternatif yang terbaik,
dan membuktikan bahwa rancangan yang dipilih dapat memenuhi persyaratan yang
ditentukan secara efisiensi, efektif dan dengan biaya yang murah. Penelitian perangkat
lunak komputer dapat digolongkan dalam penelitian rekayasa.

Hal-Hal yang Dilakukan Oleh Guru

Sebagai komponen yang secara langsung berhubungan dengan permasalah rendahnya


motivasi belajar siswa, maka guru harus mengetahui beberapa hal yang bisa dilakukannya
untuk menumbuhkan motivasi belajar siswa, diantaranya adalah :

• Memilih cara dan metode mengajar yang tepat termasuk memperhatikan


penampilannya
• Menginformasilkan dengan jelas tujuan pembelajaran yang ingin dicapai
• Menghubungkan kegiatan belajar dengan minat siswa
• Melibatkan siswa secara aktif dalam kegiatan pembelajaran misalnya melalui
kerja kelompok
• Melakukan evaluasi dan menginformasikan hasilnya, sehingga siswa mendapat
informasi yang tepat tentang keberhasilan dan kegagalan dirinya
• Melakukan improvisasi-improvisasi yang bertujuan untuk menciptakan rasa
senang anak terhadap belajar. Misalnya kegiatan belajar diseling dengan
bernyanyi bersama atau sekedar bertepuk tangan yang meriah
• Menanamkan nilai atau pandangan hidup yang positif tentang belajar misalnya
dalam agama islam belajar dipandang sebagi sebuah kegiatan jihad yang akan
mendapatkan nilai amal disisi Allah.
• Menceritakan keberhasilan para tokoh-tokoh dunia yang dimulai dengan mimpi-
mimpi mereka dan ceritakan juga cara-cara mereka meraih mimpi-mimpi itu.
Ajak siswa untuk bermimpi meraih sukses dalam bidang apa saja seperti
mimpinya para tokoh dunia tersebut.
• Memberikan respon positif kepada siswa ketika mereka berhasil melakukan
sebuah tahapan kegiatan belajar. Respon positif ini bisa berupa pujian, hadiah,
atau pernyataan-pernyataan positif lainnya.

Ciri- Ciri Guru yang Bisa Memotivasi Siswa

Salah satu ciri guru yang bisa memotivasi adalah antusiasme, mereka peduli dan paham
dengan apa yang diajarkannya dan mengkomunikasikannya dengan murid bahwa apa
yang sedang mereka pelajari itu penting. Ia memberikan teladan yang dapat menjadi
inspirasi bagi siswanya.
Ciri-ciri guru yang berkualitas dan bisa memotivasi siswa adalah guru yang melakukan
hal-hal sebagai berikut :

1. Menjadi manajer yang baik yang mampu merencanakan,mengelola,


mengorganisasikan serta mengevaluasi kelasnya, murid-murid akan merasa aman
dan nyaman bersamanya
2. fasilitator yang memperlakukan semua siswa mendapatkan kesempatan untuk
belajar dan bertanggungjawab
3. Memberikan pengaruh arus balik yang bersifat korektif
4. Memberikan test-tes yang adil, penilaian yang bersifat informative
5. Membantu murid-murid untuk menyadari bahwa mereka sedang tumbuh dalam
persaingan dan keunggulan.

Pelaksanaan Pendekatan Problem posing dalam


Pembelajaran

Pendek atan probelem posing (pengajuan masalah) dapat dilakukan secara individu atau
kelompok (classical), berpasangan (in pairs) atau secara berkelompok (groups). Masalah
matematika yang diajukan secara individu tidak memuat intervensi atau pemikiran dari
siswa yang lain. Masalah tersebut adalah murni sebagai hasil pemikiran yang dilatar
belakangi oleh situasi yang diberikan. Masalah matematika yang diajukan oleh siswa
yang dbuat secara berpasangan dapat lebih berbobot, jika dilakukan dengan cara
kolaborasi, utamanya yang berkaitan dengan tingkat keterselesaian masalah tersebut.
Sama halnya dengan masalah matematika yang dirumuskan dalam satu kelompok kecil,
akan menjadi lebih berkualitas manakala anggota kelompok dapat berpartsipasi dengan
baik (Hamzah, 2003: 10).
Dalam pelaksanaannya dikenal beberapa jenis model problem posing antara lain:
1.Situasi problem posing bebas, siswa diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk
mengajukan soal sesuai dengan apa yang dikehendaki . Siswa dapat menggunakan
fenomena dalam kehidupan sehari-hari sebagai acuan untuk mengajukan soal.
2.Situasi problem posing semi terstruktur, siswa diberikan situasi/informasi terbuka.
Kemudian siswa diminta untuk mengajukan soal dengan mengkaitkan informasi itu
dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya. Situasi dapat berupa gambar atau informasi
yang dihubungkan dengan konsep tertentu.
3.Situasi problem posing terstruktur, siswa diberi soal atau selesaian soal tersebut,
kemudian berdasarkan hal tersebut siswa diminta untuk mengajukan soal baru.
Problem posing adalah kegiatan perumusan soal atau masalah oleh peserta didik. Peserta
didik hanya diberikan situasi tertentu sebagai stimulus dalam merumuskan soal/masalah.
Berkaitan dengan situasi yang dipergunakan dalam kegiatan perumusan masalah/soal
dalam pembelajaran matematika, Walter dan Brown (1993: 302) menyatakan bahwa soal
dapat dibangun melalui beberapa bentuk, antara lain gambar, benda manipulatif,
permainan, teorema/konsep, alat peraga, soal, dan solusi dari soal. Sedangkan English
(1998) membedakan dua macam situasi atau konteks, yaitu konteks formal bisa dalam
bentuk simbol (kalimat matematika) atau dalam kalimat verbal, dan konteks informal
berupa permainan dalam gambar atau kalimat tanpa tujuan khusus.
Pembelajaran dengan pendekatan problem posing mungkin bukan suatu hal yang baru
dalam dunia pendidikan. Pendekatan ini pada awal tahun 2000 sempat menjadi kata kunci
di setiap seminar pembelajaran, khususnya pembelajaran matematika. Meskipun
pendekatan ini lebih dikembangkan dalam pembelajaran matematika, namun belakangan
ini pembelajaran fisika dan kimia juga menggunakan pendekatan ini. Dan tidak menutup
kemungkinan pendekatan ini juga sudah dikembangkan dalam pembelajaran rumpun IPS
dan bahasa.
Pembelajaran dengan pendekatan problem posing bisanya diawali dengan penyampaian
teori atau konsep. Penyampaian materi biasanya menggunakan metode ekspositori.
Setelah itu, pemberian contoh soal dan pembahasannya. Selanjutnya, pemberian contoh
bagaimana membuat masalah dari masalah yang ada dan menjawanya. Kemudian siswa
diminta belajar dengan problem posing. Mereka diberi kesempatan belajar induvidu atau
berkelompok. Setelah pemberian contoh cara membuat masalah dari situasi yang tersedia,
siswa tidak perlu lagi diberikan contoh. Penjelasan kembali contoh, bagaimana cara
mengajukan soal dan menjawabnya bisa dilakukan, jika sangat diperlukan.
Penerapan dan penilaian yang cukup sederhana dari pendekatan ini, yaitu dengan cara
siswa diminta mengajukan soal yang sejenis atau setara dari soal yang telah dibahas.
Dengan cara ini kita bisa melihat sejauh mana daya serap siswa terhadap materi yang
baru saja di sampaikan. Cara yang seperti ini sangat cocok digunakan dalam
pembelajaran untuk rumpun mata pelajaran MIPA. Melalui tugas membuat soal yang
setara dengan soal yang telah ada, kita bisa mencermati bagaimana siswa mengganti
variabel-variabel yang dikatahui lalu mencari variabel yang ditanyakan.
Bagi siswa yang memiliki daya nalar diatas rata, pendekatan seperti ini memberikan
peluang untuk melakukan eksplorasi intelektualnya. Mereka akan tertatang untuk
membuat tambahan informasi dari informasi yang tersediakan. Sehingga pertanyaan yang
diajukan memiliki jawab yang lebih kompleks. Sedangkan bagi anak yang
berkemampuan biasa cara ini akan memberikan kemudahan untuk membuat soal dengan
tingkat kesukaran sesuai dengan kemampuannya.
Pembelajaran dengan pendekatan problem posing dapat juga dimulai dari membaca
daftar pertanyaan pada halaman soal latihan yang terdapat dalam buku ajar. Setelah itu
baru membaca materinya. Cara ini berkebalikan dengan cara belajar selama ini. Tugas
membaca yang diperintahkan pada siswa biasanya bermula dari materi, lalu menjawab
soal pada halaman latihan. Kelebihan membaca soal terlebih dahulu baru membaca
materi, terletak pada fokus belajar siswa. Ketika siswa membaca pertanyaan terlebih
dahulu, maka mereka akan berusaha untuk mencari jawaban dari pernyaan yang telah
mereka baca. Tapi lain masalahnya ketika dibalik. Bila membaca materi terlebih dahulu,
maka ketika sampai pada bagian soal latihan, ada kemungkinan siswa akan membacanya
kembali atau membuka-buka bagian yang telah dibaca untuk menjawab soal yang ada.
Sehingga waktu yang dibutuhkan untuk cara belajar membaca materi terlebih dahulu,
lebih banyak dibandingkan dengan cara belajar membaca soalnya setelah itu baru
membaca materinya.
Pada pembelajaran bahasa Indonesia, pembelajaran dengan pendekatan problem posing
akan melatih sikap kritis dan cara berfikir divergen. Misalnya, seorang guru cukup
membagi-bagikan foto kopian sebuah artikel yang diambil dari majalah atau koran.
Berdasarkan artikel tersebut, siswa diminta membuat pertanyaan dan jawabannya. Maka
akan muncul ratusan pertanyaan dan jawaban hanya berdasarkan sebuah artikel. Mungkin
akan lebih dari itu. Sebab aspek kebahasaan yang dimuat dalam sebuah artikel banyak
sekali.
Sebenarnya banyak cara bagaimana mengaktifkan siswa. Salah satunya melalui
pembelajaran dengan pendekatan problem posing. Melalui pendekatan ini mereka bisa
terangsang untuk mengembangkan pengetahuannya dengan cara yang mudah dan murah.
Pengetahuan siswa dengan pendekatan ini, bisa dikembangkan dari yang sederhana
hingga pada pengetahuan yang kompleks. Selain itu, dengan pendekatan tersebut siswa
akan belajar sesuai dengan tingkat berfikirnya. Karena antara siswa yang pandai dengan
yang kurang pandai tidak diperlakukan sama. Mereka akan belajar dengan problem
posing sesuai dengan pengetahuaan mereka yang telah dimiliki sebelumnya. Dengan
pendekatan ini diharapkan siswa lebih bersemangat, kritis dan kreatif. Walhasil, dengan
pendekatan problem posing siswa diharapkan lebih peka terhadap masalah yang timbul
disekitanya dan mampu memberikan penyelesaian yang cerdas.
Sebagai ilustrasi tentang perumusan soal, berikut disajikan contoh pembelajaran objek
matematika yang berupa teorema, yang dikutip oleh Sutiarso dalam Brown dan Walter
(1990).
Guru : “Anak-anak, perhatikan persamaan x2 + y2 = z2, carilah nilai x, y, dan z yang
memenuhi persamaan tersebut!”
Siswa : “Saya ingat, itu seperti persamaan dalam Pythagoras, tentu nilai x = 3, y = 4, dan
z = 5”.
Guru : “Bagus! Sekarang apakah ada x, y, dan z yang lain?”
Siswa : “Ada. Berapa ya?”
Guru: “Nah, sekarang tulis nilai x, y, dan z sebanyak-banyaknya di buku kalian!”
(Setelah siswa menulis hasilnya, guru melanjutkan pertanyaan)
Guru: “Anak-anak, setelah kita menentukan x, y, dan z yang sesuai, sekarang buatlah satu
pertanyaan dari persamaan tersebut”
Siswa: “Bagaimana caranya pak?”
Guru: “Baik, sekarang Bapak akan menunjukkan contoh merumuskan soal, misalnya,
siapakah penemu pertama pesamaan itu?, atau Apakah nilai x, y, dan z selalu bilangan
bulat?. Bagaimana, mudah bukan?”
Siswa: “Baik pak, kami akan mencobanya.”
Berdasarkan ilustrasi di atas, Brown dan Walter (Sutiarso, 2000) menjelaskan bahwa
perumusan soal dalam pembelajaran matematika memiliki dua tahapan kegiatan kognitif,
yaitu accepting (menerima), dan challenging (menantang). Tahap menerima adalah suatu
kegiatan siswa menerima situasi-situasi yang diberikan guru atau situasi-situasi yang
sudah ditentukan, sedangkan tahap menantang adalah suatu kegiatan siswa menantang
situasi tersebut dalam rangka perumusan soal. Dalam contoh ilustrasi di atas, tahap
accepting-nya Siswa menerima situasi berupa persamaan
x2 + y2 = z2, sedangkan tahap challengingnya, Siswa menantang situasi persamaan
tersebut dengan merumuskan soal.

Pembelajaran Cooperative Learning


A. Pendahuluan

Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 menyatakan bahwa


pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar
pada suatu lingkungan belajar. Dalam pembelajaran, guru harus memahami hakikat
materi pelajaran yang diajarkannya dan memahami berbagai model pembelajaran yang
dapat merangsang kemampuan siswa untuk belajar dengan perencanaan pengajaran yang
matang oleh guru.

Paradigma lama tentang proses pembelajaran yang bersumber pada teori tabula rasa John
Lock dimana pikiran seorang anak seperti kertas kosong dan siap menunggu coretan-
coretan dari gurunya sepertinya kurang tepat lagi digunakan oleh para pendidik saat
ini.Tuntutan pendidikan sudah banyak berubah. Pendidik perlu menyusun dan
melaksanakan kegiatan belajar mengajar dimana anak dapat aktif membangun
pengetahuannya sendiri. Hal ini sesuai dengan pandangan kontruktivisme yaitu
keberhasilan belajar tidak hanya bergantung pada lingkungan atau kondisi belajar, tetapi
juga pada pengetahuan awal siswa.Belajar melibatkan pembentukan “makna” oleh siswa
dari apa yang mereka lakukan, lihat,dan dengar.

Model pembelajaran Cooperative Learning merupakan salah satu model pembelajaran


yang mendukung pembelajaran kontekstual. Sistem pengajaran Cooperative Learning
dapat didefinisikan sebagai sistem kerja/ belajar kelompok yang terstruktur. Yang
termasuk di dalam struktur ini adalah lima unsur pokok (Johnson & Johnson, 1993), yaitu
saling ketergantungan positif, tanggung jawab individual, interaksi personal, keahlian
bekerja sama, dan proses kelompok.

Falsafah yang mendasari pembelajaran Cooperative Learning (pembelajaran gotong


royong) dalam pendidikan adalah “homo homini socius” yang menekankan bahwa
manusia adalah makhluk sosial.

Sistem pembelajaran gotong royong atau cooperative learning merupakan sistem

pengajaran yang memberi kesempatan kepada anak didik untuk bekerja sama dengan
sesama siswa dalam tugas-tugas yang terstruktur. Pembelajaran kooperatif dikenal
dengan pembelajaran secara berkelompok. Tetapi belajar kooperatif lebih dari sekedar
belajar kelompok atau kerja kelompok karena dalam belajar kooperatif ada struktur
dorongan atau tugas yang bersifat kooperatif sehingga memungkinkan terjadinya
interaksi secara terbuka dan hubungan yang bersifat interdepedensi efektif diantara
anggota kelompok (Sugandi, 2002: 14). Hubungan kerja seperti itu memungkinkan
timbulnya persepsi yang positif tentang apa yang dapat dilakukan siswa untuk mencapai
keberhasilan belajar berdasarkan kemampuan dirinya secara individu dan andil dari
anggota kelompok lain selama belajar bersama dalam kelompok. Untuk mencapai hasil
yang maksimal, maka harus diterapkan lima unsur model pembelajaran gotong royong,
yaitu:

a. Saling ketergantungan positif.

b. Tanggung jawab perseorangan.

c. Tatap muka.

d. Komunikasi antar anggota.

e. Evaluasi proses kelompok.

1. Pengertian Pembelajaran Kooperatif

Cooperative Learning adalah suatu strategi belajar mengajar yang menekankan pada
sikap atau perilaku bersama dalam bekerja atau membantu di antara sesama dalam
struktur kerjasama yang teratur dalam kelompok, yang terdiri dari dua orang atau lebih.

Pembelajaran kooperatif adalah salah satu bentuk pembelajaran yang berdasarkan faham
konstruktivis. Pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa
sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam
menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap siswa anggota kelompok harus saling bekerja
sama dan saling membantu untuk memahami materi pelajaran. Dalam pembelajaran
kooperatif, belajar dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum
menguasai bahan pelajaran.
Menurut Anita Lie dalam bukunya “Cooperative Learning”, bahwa model pembelajaran
Cooperative Learning tidak sama dengan sekadar belajar kelompok, tetapi ada unsur-
unsur dasar yang membedakannya dengan pembagian kelompok yang dilakukan asal-
asalan.

Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu pembelajaran yang dikembangkan dari


teori kontruktivisme karena mengembangkan struktur kognitif untuk membangun
pengetahuan sendiri melalui berpikir rasional (Rustaman et al., 2003: 206).

Model pembelajaran cooperative learning adalah salah satu model pembelajaran yang
menempatkan siswa sebagai subjek pembelajaran (student oriented). Dengan suasana
kelas yang demokratis, yang saling membelajarkan memberi kesempatan peluang lebih
besar dalam memberdayakan potensi siswa secara maksimal.

Model pembelajaran cooperative learning akan dapat memberikan nunasa baru di dalam
pelaksanaan pembelajaran oleh semua bidang studi atau mata pelajaran yang diampu
guru. Karena pembelajaran cooperative learning dan beberapa hasil penelitian baik pakar
pendidikan dalam maupun luar negeri telah memberikan dampak luas terhadap
keberhasilan dalam proses pembelajaran. Dampak tersebut tidak saja kepada guru akan
tetapi juga pada siswa, dan interaksi edukatif muncul dan terlihat peran dan fungsi dari
guru maupun siswa.

Peran guru dalam pembelajaran cooperative learning sebagai fasilitator, moderator,


organisator dan mediator terlihat jelas. Kondisi ini peran dan fungsi siswa terlihat,
keterlibatan semua siswa akan dapat memberikan suasana aktif dan pembelajaran
terkesan de-mokratis, dan masing-masing siswa punya peran dan akan memberikan
pengalaman belajarnya kepada siswa lain.

Berikut ini akan dikemukakan beberapa keuntungan yang diperoleh baik oleh guru
maupun siswa di dalam pelaksanaan pembelajaran menggunakan model cooperative
learning.

Pertama, melalui cooperative learning menimbulkan suasana yang baru dalam


pembelajaran. Hal ini dikarenakan sebelumnya hanya dilaksanakan model pembelajaran
secara konvensional yaitu camah dan tanya jawab. Metode tersebut ternyata kurang
memberi motivasi dan semangat kepada siswa untuk belajar. Dengan digunakannva
model cooperative learning, maka tampak suasana kelas menjadi lebih hidup dan lebih
bermakna.

Kedua, membantu guna dalam mengidentifikasikan kesulitan-kesulitan yang dihadapi


dan mencarikan alternatif pemecahannya. Dari hasil penelitian tindakan pelaksanaan
cooperative learning dengan diskusi kelompok ternyata mampu membuat siswa terlibat
aktif dalam kegiatan belajar.

Ketiga, penggunaanya cooperative learning merupakan suatu model yang efektif untuk
menge-mbangkan program pembelajaran terpadu. Dengan cooperative learning siswa
tidak hanya dapat mengembangkan kemampuan aspek kognitif saja melainkan mampu
mengembangkan aspek afektif dan psikomotor.

Keempat, dengan melalui cooperative learning, dapat me-ngembangkan kemampuan


berpikir kritis, kreatif, dan reflektif. Hal ini dikarenakan kegiatan pembelajaran ini lebih
banyak berpusat pada siswa, sehingga siswa diberi kesempatan untuk turut serta dalam
diskusi kelompok. Pemberian motivasi dari teman sebaya ternyata mampu mendorong
semangat siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikirnya. Terlebih lagi bila
pembahasan materi yang sifatnya problematik atau yang bersifat kontroversial, mampu
merangsang siswa me-ngembangkan kemampuan berpikirnya

Kelima, dengan cooperative learning mampu mengembangkan kesadaran pada diri siswa
terhadap permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi di lingkungan sekitarya. Dengan
bekerja kelompok maka timbul adanya perasaan ingin membantu siswa lain yang
mengalami kesulitan sehingga mampu me-ngembangkan sosial skill siswa. Disamping itu
pula dapat me-latih siswa dalam me-ngembangkan perasaan empati maupun simpati pada
diri siswa.

Keenam, dengan cooperative learning mampu melatih siswa dalam berkomunikasi seperti
berani mengemukakan pendapat, berani dikriik, maupun menghargai pendapat orang lain.
Komunikasi interaksi yang terjadi antara guru dengan siswa maupun siswa dengan siswa
menimbulkan dialog yang akrab dan kreatif.

Dari beberapa keuntungan dari model pembelajaran cooperative learning di atas, maka
jelaslah bagi kita bahwa keberhasilan suatu proses pendidikan dan pengajaran salah
satunya ditentukan oleh kemampuan dan ketera-mpilan guru dalam menggunakan strategi
dan model pembelajaran yang digunakannya. Salah satu model yang dapat memberikan
dampak terhadap keberhasilan siswa adalah melalui model pembelajaran koperatif atau
cooperative learning.

2. Karakteristik Pembelajaran Kooperatif

Karakteristik pembelajaran kooperatif diantaranya:

a. Siswa bekerja dalam kelompok kooperatif untuk menguasai materi akademis.

b. Anggota-anggota dalam kelompok diatur terdiri dari siswa yang berkemampuan


rendah, sedang, dan tinggi.

c. Jika memungkinkan, masing-masing anggota kelompok kooperatif berbeda suku,


budaya, dan jenis kelamin.

d. Sistem penghargaan yang berorientasi kepada kelompok daripada individu.


Selain itu, terdapat empat tahapan keterampilan kooperatif yang harus ada dalam

model pembelajaran kooperatif yaitu:

a. Forming (pembentukan) yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk membentuk


kelompok dan membentuk sikap yang sesuai dengan norma.

b. Functioniong (pengaturan) yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk mengatur


aktivitas kelompok dalam menyelesaikan tugas dan membina hubungan kerja sama
diantara anggota kelompok.

c. Formating (perumusan) yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk pembentukan


pemahaman yang lebih dalam terhadap bahan-bahan yang dipelajari, merangsang
penggunaan tingkat berpikir yang lebih tinggi, dan menekankan penguasaan serta
pemahaman dari materi yang diberikan.

d. Fermenting (penyerapan) yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk merangsang


pemahaman konsep sebelum pembelajaran, konflik kognitif, mencari lebih banyak
informasi, dan mengkomunikasikan pemikiran untuk memperoleh kesimpulan.

3. Unsur-unsur Pembelajaran Kooperatif

Sebagaimana yang telah diuraikan di atas bahwa pembelajaran Kooperatif adalah


pembelajaran yang dilakukan dalam kelompok kecil, di mana Muslim Ibrahim (2006 : 6,
dalam Depdiknas 2005 : 45) menguraikan unsur-unsur pembelajaran Kooperatif sebagai
berikut:

a. Siswa dalam kelompoknya harus beranggapan bahwa mereka “sehidup


sepenanggungan bersama”.

b. Siswa bertanggung jawab atas segala sesuatu di dalam kelompoknya seperti milik
mereka sendiri.

c. Siswa harus melihat bahwa semua anggota di dalam kelompoknya memiliki tujuan
yang sama.

d. Siswa harus membagi tugas dan tanggung jawab yang sama di antara anggota
kelompoknya.

e. Siswa akan dikena evaluasi atau hadiah/penghargaan yang juga akan dikenakan untuk
semua kelompok.

f. Siswa berbagi kepemimpinan dan mereka membutuhkan keterampilan untuk belajar


bersama selama proses belajarnya.
g. Siswa akan diminta mempertanggung jawabkan secara individual materi yang
ditangani dalam kelompok kooperatif.

Dengan memperhatikan unsur-unsur pembelajaran kooperatif tersebut, peneliti


berpendapat bahwa dalam pembelajaran kooperatif setiap siswa yang tergabung dalam
kelompok harus betul-betul dapat menjalin kekompakan. Selain itu, tanggung jawab
bukan saja terdapat dalam kelompok, tetapi juga dituntut tanggung jawab individu.

4. Ciri-ciri Pembelajaran Kooperatif:

Sebagai seorang guru dalam memberikan pelajaran kepada siswa tentu ia akan memilih
manakah model pembelajaran yang tepat diberikan untuk materi pelajaran tertentu.
Apabila seorang guru ingin menggunakan pembelajaran kooperatif, maka haruslah
terlebih dahulu mengerti tentang pembelajaran kooperatif tersebut. Dalam hal ini Muslim
Ibrahim (dalam Depdiknas, 2005 : 46) mengemukakan ciri-ciri pembelajaran kooperatif
sebagai berikut:

a. Siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan materi


belajarnya.

b. Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah.

c. Bila mungkin anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku, jenis kelamin yang
berbeda.

d. Penghargaan lebih berorientasi pada individu.

Dengan memperhatikan ciri-ciri tersebut, seorang guru hendaklah dapat membentuk


kelompok sesuai dengan ketentuan, sehingga setiap kelompok dapat bekerja dengan
optimal.

5. Teknik Pembelajaran Kooperatif

Teknik pembelajaran kooperatif diantaranya:

a. Mencari Pasangan

- Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep.

- Setiap siswa mendapat satu buah kartu.

- Setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan kartunya.

b. Bertukar Pasangan

- Setiap siswa mendapatkan satu pasangan.


- Guru memberikan tugas dan siswa mengerjakan tugas dengan pasangannya

- Setelah selesai, setiap pasangan bergabung dengan pasangan lain.

- Kedua pasangan tersebut bertukar pasangan kemudian saling menanyakan dan


mengukuhkan jawaban.

- Temuan baru yang diperoleh dari pertukaran pasangan kemudian dibagikan kepada
pasangan semula.

c. Kepala Bernomor

- Siswa dibagi dalam kelompok dan setiap siswa dalam setiap kelompok mendapat
nomor.

- Guru memberikan tugas dan masing-masing kelompok mengerjakannya.

- Kelompok memutuskan jawaban yang dianggap paling benar dan memastikan setiap
anggota kelompok mengetahui jawaban ini.

- Guru memanggil salah satu nomor. Siswa dengan nomor yang dipanggil melaporkan
hasil kerja sama mereka.

d. Keliling Kelompok

- Salah satu siswa dalam masing-masing kelompok memulai dengan memberikan


pandangan dan pemikirannya mengenai tugas yang sedang dikerjakan.

- Siswa berikutnya juga ikut memberikan kontribusinya.

- Demikian seterusnya. Giliran bicara bisa dilaksanakan menurut arah perputaran jarum
jam atau dari kiri ke kanan.

e. Kancing Gemerincing

- Guru menyipkan satu kotak kecil berisi kancing-kancing.

- Setiap siswa dalam kelompok mendapatkan dua atau tiga buah kancing.

- Setiap kali seorang siswa berbicara, dia harus menyerahkan salah satu kancingnya.

- Jika kancingnya sudah habis, dia tidak boleh berbicara lagi sampai kancing semua
rekannya habis.

f. Dua Tinggal Dua Tamu


- Siswa bekerja sama dalam kelompok berempat.

- Setelah selesai, dua orang dari setiap kelompok meninggalkan kelompoknya dan
bertamu ke kelompok yang lain.

- Dua orang yang tinggal dalam kelompok bertugas membagikan hasil kerja dan
informasi ke tamu mereka.

- Tamu mohon diri dan kembali ke kelompoknya kemudian melaporkan hasil temuannya.

- Kelompok mencocokkan dan membahas hasil-hasil kerja mereka.

6. Tipe-tipe Pembelajaran Kooperatif:

Pada pembelajaran kooperatif dikenal ada 4 tipe, yaitu: 1) tipe STAD, 2) tipe Jigsaw, 3)
Investigasi Kelompok dan 4) tipe Struktural. Tentang hal itu dapat diuraikan sebagai
berikut:

a. Tipe STAD

Pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student Team Achievement Division) adalah


pembelajaran kooperatif di mana siswa belajar dengan menggunakan kelompok kecil
yang anggotanya heterogen dan menggunakan lembar kegiatan atau perangkat
pembelajaran untuk menuntaskan materi pembelajaran, kemudian saling membantu satu
sama lain untuk memahami bahan pembelajaran melalui tutorial, kuis satu sama lain dan
atau melakukan diskusi.

b. Tipe Jigsaw

Tipe Jigsaw adalah salah satu model pembelajaran kooperatif di mana pembelajaran
melalui penggunaan kelompok kecil siswa yang bekerja sama dalam memaksimalkan
kondisi belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran dan mendapatkan pengalaman
belajar yang maksimal, baik pengalaman individu maupun pengalaman kelompok. Pada
pembelajaran tipe Jigsaw ini setiap siswa menjadi anggota dari 2 kelompok, yaitu
anggota kelompok asal dan anggota kelompok ahli. Anggota kelompok asal terdiri dari 3-
5 siswa yang setiap anggotanya diberi nomor kepala 1-5. Nomor kepala yang sama pada
kelompok asal berkumpul pada suatu kelompok yang disebut kelompok ahli.

c. Investigasi Kelompok

Investigasi kelompok merupakan pembelajaran kooperatif yang paling komplek dan


paling sulit untuk diterapkan, di mana siswa terlibat dalam perencanaan pemilihan topik
yang dipelajari dan melakukan pentelidikan yang mendalam atas topik yang dipilihnya,
selanjutnya menyiapkan dan mempresentasikan laporannya kepada seluruh kelas.

d. Tipe Struktural
Ada 2 macam pembelajaran koooperatif tipe struktural ini yang terkenal, yaitu:

- Think-pair-share, yaitu pembelajaran kooperatif dengan menggunakan tahap-tahap


pembelajaran sebagai berikut:

o Tahap Pertama: Thinking (berfikir), dengan mengajukan pertanyaan, kemudian siswa


diminta untuk memikirkan jawaban secara mandiri beberapa saat.

o Tahap Kedua: Siswa diminta secara berpasangan untuk mendiskusikan apa yang
dipikirkannya pada tahap pertama.

o Tahap Ketiga: Meminta kepada pasangan untuk berbagi kepada seluruh kelas secara
bergiliran.

- Numbered head together yaitu pembelajaran kooperatif dengan langkah-langkah


sebagai berikut:

o Langkah 1: siswa dibagi per kelompok dengan anggota 3-5 orang, dan setiap anggota
diberi nomor 1-5.

o Langkah 2: guru mengajukan pertanyaan.

o Langkah 3: berfikir bersama menyatukan pendapat.

o Langkah 4: nomor tertentu disuruh menjawab pertanyaan untuk seluruh kelas.

HASIL KALI KELARUTAN

Masih bingung dengan definisi kelarutan dan hasil kali kelarutan? Agar lebih jelas maka
perhatikan perbedaan di antara keduanya di bawah ini.

Kelarutan

• Menunjukan posisi kesetimbangan suatu zat dalam larutan


• Pada suhu tertentu nilainya bervariasi tergantung dari jumlah pelarut, dan ada
tidaknya ion sejenis di dalam larutan.

Hasil kali kelarutan

• Hasil kali kelarutan adalah suatu konstanta kesetimbangan


• Nilainya tetap pada suhu tertentu, atau dapat dikatakan memiliki satu nilai pada
satu temperature.
• Tidak dipengaruhi oleh jumlah pelarut dan jumlah ion senama yang terdapat di
dalam larutan.

Mengerti konsep kelarutan dan hasil kali kelarutan sangat menbantu kita untuk
memahami dan menyelesaikan soal-soal yang berhubungan dengan kelarutan

Latihan Soal Persiapan SPMB / SNMPTN 2008

Garam yang paling sukar larut adalah..

a. perak klorida (Ksp = 1.7×10-10)


b. perak bromide (Ksp = 5.0×10-13)
c. perak iodide (Ksp = 8.5×10-17)
d. seng sulfide (Ksp = 1.2×10-23)
e. tembaga(II)sulfide (Ksp = 8.5×10-36)

Jawaban:

Ksp atau konstanta hasil kali perkalian dapat dipergunakan untuk mencari kelarutan (s)
suatu garam yang tidak mudah larut. Kelarutan (s) disini mempunyai konsentrasi molar,
dan kelarutan yang diperoleh dari data Ksp adalah kelarutan garam pada kondisi tepat
jenuh.

Rumus Ksp tergantung dari jenis garam atau bisa juga dikatakan tergantung dari
perbandingan mol spesies anion dan kation penyusun garam tersebut. Misalnya PbSO4
adalah garam dengan perbandinga mol kation dan anion 1:1, sedangakn PbCl2 adalah
garam dengan perbandingan mol kation dan anion 1:2. Rumus Ksp PbSO4 tidak sama
dengan PbCl2 akan tetapi rumus Ksp PbSO4 akan sama dengan rumus Ksp BaSO4 yang
juga mempunyai perbandingan mol kation dan anion 1:1.

Untuk soal diatas

Perak Klorida = AgCl


Perak bromide = AgBr
Perak iodide = AgI
Seng sulfide = ZnS
Tembaga(II)sulfide = CuS

Semua garam di atas adalah garam dengan perbandingan mol 1:1 , sehingga rumus Ksp
ke-4 garam tersebut adalah sama yaitu

AB -> A+) + B-
s—–s—-s
Ksp = [A][B]
Ksp = s.s
Ksp = s2
S= Ksp1/2

a. perak klorida s = (1.7×10-10)1/2


b. perak bromide s= (5.0×10-13)1/2
c. perak iodide s = ( 8.5×10-17)1/2
d. seng sulfide s = (1.2×10-23)1/2
e. tembaga(II)sulfide s = (8.5×10-36)1/2

Jadi yag paling sukar larut adalah garam dengan kelarutan terkecil yaitu
tembaga(II)sulfide (E)

You might also like