Professional Documents
Culture Documents
School of Defense Research and Strategy
Disaster Management for National Defense Study Program
Policy Paper
Analisis Kebijakan Penanggulangan Bencana
dalam UU No. 24/2007
Oleh : Ardian Perdana Putra
NIM : 1 2010 02 03 002
Prodi : Disaster Management for National Defense
Pendahuluan
Sebagaimana kita ketahui bersama Indonesia merupakan wilayah yang rawan bencana. Selain
akibat faktor geologis – dimana terdapat dua garis pertemuan lempeng tektonik di barat dan di
timur indonesia – , faktor hidroklimatologi dan kerusakan ekosistem menjadi beberapa penyebab
umum terjadinya bencana. Dalam definisi yang mengacu pada UN-ISDR (International Strategy
for Disaster Reduction), bencana didefinisikan sebagai “gangguan serius terhadap suatu sistem,
komunitas atau masyarakat yang menyebabkan kerugian manusia, material, ekonomi atau
lingkungan yang meluas melampaui kemampuan mereka (komunitas atau masyarakat yang
terkena dampak) untuk mengatasinya dengan sumber daya mereka sendiri”.
Meski telah banyak pihak yang terlibat dalam usaha-usaha tersebut, namun peran vital
pemerintah dalam penanganan bencana tidak dapat dinafikan. Selain karena bencana
berpengaruh besar terhadap kesejahteraan warga negara, dampak dari bencana juga bersifat
kompleks sehingga dapat mempengaruhi stabilitas ekonomi, politik, sosial di negara yang
mengalaminya. Maka dari itulah Pemerintah RI merancang landasan hukum yang mengatur
mengenai penanggulangan bencana, yang telah disahkan pada 26 April 2007 menjadi Undang-
Undang No. 24/2007 tentang penyelenggaraan penanggulangan bencana. UU ini diharapkan
dapat mendorong sinergi berbagai pihak dalam usaha penanggulangan bencana di Indonesia.
Segmen ini membahas mengenai pembagian kewenangan pemerintah pusat dan daerah,
serta tanggung jawab yang meliputi kewenangan tersebut.
Bahasan
Meski UU 24/2007 ini merupakan suatu terobosan dalam penanggulangan bencana, namun
masih banyak yang menjadi persoalan dan butuh untuk dibenahi. Dalam opini penulis, ada
beberapa bagian yang butuh untuk dikaji kembali:
1. Dalam Undang-Undang tersebut, didefinisikan 13 jenis bencana yang dapat terjadi di
wilayah Indonesia, yaitu gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin
topan, tanah longsor, gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
Namun mengenai definisi/batasan arti dari beberapa klasifikasi bencana tidak dijelaskan
sama sekali, baik di badan UU maupun di bagian penjelasan. Diantara istilah yang sama
sekali tidak dijelaskan batasannya adalah ‘gagal modernisasi’.
2. BNPB dibentuk sebagai pusat koordinasi antara berbagai institusi dan lembaga yang
berkaitan dengan penanganan bencana. Koordinasi antar lembaga sering kali terbentur oleh
masalah birokrasi serta aturan, maka hingga saat ini sulit untuk berharap BNPB dapat
menjadi solusi menyeluruh dari semua permasalahan bencana di Indonesia. Maka dari itu,
fungsi BNPB untuk mengkoordinasikan instansi pemerintah lainnya butuh secara tegas
dicantumkan dalam UU ini.
INDONESIA DEFENSE UNIVERSITY
School of Defense Research and Strategy
Disaster Management for National Defense Study Program
3. Perlu ada penegasan mengenai struktur komando dalam penanganan situasi darurat. Jika
memang BNPB menjadi pusat koordinasi, maka hal ini secara khusus butuh untuk
ditegaskan.
4. UU ini sama sekali tidak menyebutkan peran penting TNI sebagai bagian vital dalam
penanggulangan bencana dan hubungannya dengan BNPB.
5. Dalam UU tersebut hanya dibahas mengenai peran lembaga internasional, NGO
internasional dan Perusahaan. Yang luput dari pembahasan dalam UU tersebut adalah
NGO/LSM lokal dan lembaga-lembaga kerelawanan.
6. Kasus-kasus dilapangan menunjukkan seringkali NGO atau Lembaga non-pemerintah
kurang sinergis dan tidak berkoordinasi dalam penanganan bencana. Menurut opini penulis
hal ini perlu dipertegas, program dari NGO atau Lembaga non-pemerintah wajib
terkoordinasi dan sinergis dengan langkah yang diambil pemerintah. Hal ini harus diatur
sedemikian rupa dapat berjalan efektif tanpa menghambat aksi NGO atau Lembaga non-
pemerintah tersebut.
7. Pelaporan penerimaan dan pendayagunaan sumbangan/bantuan yang dikoordinir oleh pihak
non pemerintah butuh untuk diatur agar menjamin transparansi dan ketersampaian bantuan
tersebut. Harus ada kewajiban bagi pihak-pihak yang melakukan penggalangan bantuan
untuk melaporkan penerimaan dan pendayagunaan bantuan bencana kepada publik.
8. ada baiknya BNPB diberikan peran sebagai pemegang otorisasi/pengesahan laporan
pendayagunaan dana/logistik bantuan dari pihak-pihak tersebut, sebelum dilaporkan ke
publik. Laporan yang tidak diotorisasi oleh BNPB sebaiknya dianggap ilegal dan tidak
layak dilaporkan ke publik.
9. Bencana merupakan masalah serius untuk pertahanan nasional, maka dari itu butuh adanya
aturan mengenai pengerahan komponen cadangan dan komponen pendukung sistem
pertahanan RI.
Penutup
Potensi bencana yang dapat datang kapan saja membuat penanganannya membutuhkan
keterlibatan semua pihak. Atas dasar kondisi tersebut, BNPB dibentuk sebagai pusat koordinasi
antara berbagai institusi dan lembaga yang berkaitan dengan penanganan bencana. Namun
demikian, karena luasnya cakupan tugas yang diemban BNPB dan koordinasi antar lembaga
sering kali terbentur oleh masalah birokrasi serta aturan, maka hingga saat ini sulit untuk
berharap BNPB dapat menjadi solusi dari semua permasalahan bencana di Indonesia. Karena
itulah langkah proaktif dari elemen masyarakat dan organisasi kemasyarakatan dalam
mengurangi dampak merugikan dari bencana diharapkan dapat membantu BNPB dalam
memenuhi tugasnya.