You are on page 1of 12

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keragaman atau kemajemukan merupakan kenyataan sekaligus keniscayaan
dalam kehidupan di masyarakat. Keragaman merupakan salah satu realitas utama
yang dialami masyarakat dan kebudayaan di masa silam, kini dan di waktu-waktu
mendatang . Sebagai fakta, keragaman sering disikapi secara berbeda. Di satu sisi
diterima sebagai fakta yang dapat memperkaya kehidupan bersama, tetapi di sisi lain
dianggap sebagai faktor penyulit. Kemajemukan bisa mendatangkan manfaat yang
besar, namun juga bisa menjadi pemicu konflik yang dapat merugikan masyarakat
sendiri jika tidak dikelola dengan baik.
Keragaman dan kesetaraan setiap manusia dilahirkan setara, meskipun dengan
keragaman identitas yang disandang. Kesetaraan merupakan hal yang inheren yang
dimiliki manusia sejak lahir. Setiap individu memiliki hak-hak dasar yang sama yang
melekat pada dirinya sejak dilahirkan atau yang disebut dengan hak asasi manusia.
Kesetaraan dalam derajat kemanusiaan dapat terwujud dalam praktik nyata dengan
adanya pranata-pranata sosial, terutama pranata hukum, yang merupakan mekanisme
kontrol yang secara ketat dan adil mendukung dan mendorong terwujudnya prinsip-
prinsip kesetaraan dalam kehidupan nyata. Kesetaraan derajat individu melihat
individu sebagai manusia yang berderajat sama dengan meniadakan jenjang sosial
yang menempel pada dirinya berdasarkan atas asal rasial, sukubangsa,
kebangsawanan, atau pun kekayaan dan kekuasaan.
Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk (plural society), yaitu sebuah
masyarakat negara yang terdiri atas lebih dari 500 sukubangsa yang dipersatukan oleh
sebuah system nasional sebagai bangsa dalam wadah sebuah negara kesatuan
Indonesia.2 Setelah jatuhnya pemerintahan Orde Baru dari Presiden Suharto pada
tahun 1998, Indonesia mengalami proses transisi dari coraknya yang otoriter-
militeristis menuju masyarakat sipil yang demokratis. Corakotoriter yang menonjol
adalah upaya peredaman atau pembungkaman kesukubangsaan dan keyakinan-

1
keyakinan keagamaan yang mempunyai potensi untuk menentang kekuasaan
pemerintahan Orde Baru. Sebaliknya, potensi-potensi kesukubangsaan dan
keyakinan-keyakinan keagamaan diperkuat dan diarahkan sebagai kekuatan-kekuatan
politik untuk mendukung, memperkuat, dan mensakralisasi kekuasaan pemerintahan
Orde Baru.
Kejatuhan pemerintahan Orde Baru telah membuyarkan penekanan ideologi
otoriter yang bersemboyan persatuan untuk kesatuan di bawah kekuasaan pemerintah
pusat, karena digantikan oleh pemerintahan sipil yang berazaskan pada demokrasi.
Ketidakjelasan prinsip demokrasi dan konsep masyarakat sipil yang dijadikan
ideologi dan operasionalisasinya dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, dan ke
dalam pranata-pranata politik nasional serta pranata-pranata sosial dalam kehidupan
masyarakat Indonesia, telah membuyarkan dan menyamarkan prinsip demokrasi dan
konsep masyarakat sipil itu sendiri, serta membuyarkan ideologi dan integritas
kebangsaan Indonesia. Kebuyaran dan kesamar-samaran ini disebabkan oleh adanya
anggapan bahwa prinsip demokrasi sudah digunakan sebagai landasan ideologi
bangsa, dan sudah berlaku dalam kehidupan masyarakat sipil, karena sudah ada HAM
dan pembedaan kewenangan antara badan-badan eksekutif, legislatif, dan judikatif
pada tingkat makro atau nasional.
Anggapan seperti tersebut di atas sebenarnya mengabaikan konsep demokrasi
sebagai sebuah sistem. Demokrasi bukan hanya sebuah ideologi yang menonjolkan
hak individual, dan terutama HAM, melainkan sebuah sistem yang mengatur saling
hubungan hak dan kewajiban antara individu dengan komuniti, negara atau
masyarakat luas yang diwakili oleh pemerintah. Lebih lanjut, demokrasi adalah
sebuah ideologi yang pada dasarnya rasional, yang pelaksanaannya harus berpegang
secara ketat pada aturan-aturan main yang adil dan beradab, yang terwujud sebagai
hukum formal, adat, dan berbagai konvensi sosial yang ada. Tulisan ini mencoba
menunjukkan bahwa proses demokratisasi yang sekarang sedang dijalani Indonesia
tidak akan mungkin mewujudkan adanya masyarakat sipil yang demokratis, karena
landasan sosial dan budaya masyarakat Indonesia yang bercorak masyarakat

2
majemuk (plural society) berisikan potensi-potensi kekuatan primordial yang
despotik dan otoriter.
Untuk itu, ideologi masyarakat majemuk yang menekankan pada
keanekaragaman sukubangsa harus digeser menjadi ideologi keanekaragaman
kebudayaan atau ideologi multikulturalisme. Dalam ideologi ini, kelompok-kelompok
budaya tersebut berada dalam kesetaraan derajat, seperti yang diberlakukan dalam
masyarakat-masyarakat Amerika dan Eropa Barat. Ideologi yang harus ditekankan
adalah keanekaragaman kebudayaan. Kekuatan sosial dan politik dari
keanekaragaman tersebut bukan berlandaskan pada kekuatan primordial
kesukubangsaan yang lokal. Secara hipotetis, dalam wadah masyarakat ‘bhinneka
tunggal ika’ Indonesia yang seperti inilah maka proses-proses demokrasi akan dapat
diwujudkan, dikembangkan, dan dimantapkan. Permasalahan ini menjadi kritikal
karena UU No.22 tentang Otonomi Daerah sama sekali tidak memperhitungkan
berbagai dampak yang diakibatkan oleh diberlakukannya UU ini.

1.2 Rumusan Masalah


Kesetaraan dan keseragaman yang ada di indonesia saat ini masih menyisakan
persoalan. Persoalan tersebut sering muncul akibat adanya dominasi sosial oleh suatu
kelompok. Sedangkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang terbentuk
dengan karakter utama mengakui pluralitas dan kesetaraan warga bangsa. NKRI yang
mengakui keragaman dan menghormati kesetaraan.

3
BAB II PEMBAHASAN

2.1. Kesetaraan
Di Indonesia, berbagai konflik antar suku bangsa, antar penganut keyakinan
keagamaan, ataupun antar kelompok telah memakan korban jiwa dan raga serta harta
benda, seperti kasus Sambas, Ambon, Poso dan Kalimantan Tengah. Masyarakat
majemuk Indonesia belum menghasilkan tatanan kehidupan yang egalitarian dan
demokratis. Persoalan-persoalan tersebut sering muncul akibat adanya dominasi
sosial oleh suatu kelompok. Adanya dominasi sosial didasarkan pada pengamatan
bahwa semua kelompok manusia ditujukan kepada struktur dalam sistem hirarki
sosial suatu kelompok. Di dalamnya ditetapkan satu atau sejumlah kecil dominasi dan
hegemoni kelompok pada posisi teratas dan satu atau sejumlah kelompok subordinat
pada posisi paling bawah. Di antara kelompok-kelompok yang ada, kelompok
dominan dicirikan dengan kepemilikan yang lebih besar dalam pembagian nilai-nilai
sosial yang berlaku. Adanya dominasi sosial ini dapat mengakibatkan konflik sosial
yang lebih tajam.
Negara-bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya,
agama, dapat disebut sebagai masyarakat multikultural. Berbagai keragaman
masyarakat Indonesia terwadahi dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) yang terbentuk dengan karakter utama mengakui pluralitas dan kesetaraan
warga bangsa. NKRI yang mengakui keragaman dan menghormati kesetaraan adalah
pilihan terbaik untuk mengantarkan masyarakat Indonesia pada pencapaian kemajuan
peradabannya.
Cita-cita yang mendasari berdirinya NKRI yang dirumuskan para pendiri
bangsa telah membekali bangsa Indonesia dengan konsepsi normatif negara bangsa
Bhinneka Tunggal Ika, membekali hidup bangsa dalam keberagaman, kesetaraan, dan
harmoni. Hal tersebut merupakan kesepakatan bangsa yang bersifat mendasar.
Konstitusi secara tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang
berkesetaraan. Pasal 27 menyatakan: “Setiap warga negara bersamaan kedudukannya

4
di dalam hukum dan pemerintahan” adalah rujukan yang melandasi seluruh produk
hokum dan ketentuan moral yang mengikat warga negara.
Keberagaman bangsa yang berkesetaraan akan merupakan kekuatan besar
bagi kemajuan dan kesejahteraan negara bangsa Indonesia. Negara bangsa yang
beragam yang tidak berkesetaraan, lebih-lebih yang diskriminatif, akan menghadirkan
kehancuran.

2.2 Penyebab Adanya Kesetaraan Pada Berbagai Kultur


1. Secara prinsip peradaban manusia telah mengalami perubahan, yang berarti pada
hakekatnya manusia (disadari atau tidak) tidak anti perubahan yang bisa diartikan
bahwa prospek kerarah perubahan dari kultur yang menjadi kelemahan bangsa
Indonesia saat ini menuju kultur yang lebih kondusif (dalam hal ini kultur
kesetaraan) untuk mencapai cita-cita bangsa adalah 'dimungkinkan'. Faktornya
dalam hal ini, seberapa sulit untuk dirubah, seberapa besar daya yang diperlukan
untuk merubahnya, dan seberapa jauh perubahan mendapat dukungan dari
anggota masyarakat secara luas.
2. Perubahan peradaban manusia mengalami percepatan yang tidak pernah terjadi
sebelumnya sejak terjadinya revolusi industri di Eropa pada abad ke 14/15. Lebih-
lebih lagi pada abad ke 20 yang disebutkan oleh Alvin Toffler sebagai awal dari
Gelombang Ke Tiga - Abad Informasi - dimana kemajuan tehnologi informasi
dan telekomunikasi menjadi pendukung utama perubahan yang sangat cepat dan
perubahan yang terjadi disuatu negara bisa mengakibatkan pengaruh berantai
secara Global terhadap negara2 yang lain. Jadi konsep evolusi tidak berlaku lagi
pada saat ini, yang ada adalah perubahan dengan cepat yang berarti 'revolusi'.
3. Walaupun secara prinsip perubahan itu dimungkinkan tetap ada faktor 'resistance
to change' atau 'hambatan untuk berubah' dari kelemahan kultur saat ini (kultur
feodal, kultur budak, dan kultur hidup santai) yang dalam hal bangsa Indonesia
adalah : - Yang sifatnya 'kedalam' yaitu berupa akar budaya yang terlalu kuat
mengakar yang untuk merubahnya diperliukan suatu daya dobrak yang luar biasa.

5
- Yang sifatnya 'fisik keluar' yaitu struktur 'vested interest' yang sengaja
menghambat perubahan karena merasa diuntungkan dengan kondisi bangsa
dengan kultur yang ada sekarang yang dengan sengaja dan segala daya upaya
mempertahankan 'status quo'. - Faktor pendidikan yang kurang merata sehingga
terjadi intelektual gap yang terlalu jauh antara pemimpin dan yang dipimpin.
Ada beberapa hal kenapa sudah sepatutnya kita perjuangkan suatu transformasi
kultural menuju kultur kesetaraan :
1. Nilai-nilai keagamaan telah menempatkan manusia setara dihadapan Allah.
Manusia bukanlah budak atau apapun juga yang ada dibumi, atau budak apapun
yang ada dilangit, sebab manusia adalah makhluk ciptaan Allah.
2. Hak manusia yang azasi adalah kesetaraan yang ter-refleksi dengan adanya
deklarasi 'Human Right' yang dicetuskan lima puluh tahun yang lalu oleh PBB
seperti yang tercantum dalam 'Preamble' maupun 'Article 1' : - Whereas
recognition of inherent dignity and the of equal and inalienable rights of all
members of human family is the foundation of freedom, justice, and peace of the
world. - All human beings are born free and equal in dignity and rights. They are
endowed with reason and conscience and should act towards another in a spirit of
brotherhood.
3. Manifestasi nyata dari makna kemerdekaan. Bahwa bangsa Indonesia
memerdekakan dirinya pada tanggal 17 Agustus 1945, berarti memproklamirkan
dirinya sebagai bangsa yang setara dengan bangsa lain didunia yang berarti juga
bahwa negara menghormati hak kesetaraan dari rakyatnya dalam rangka
menghayati alam kemerdekaan.

6
2.3 Keragaman

Semangat multikulturalisme dengan dasar kebersamaan, toleransi, dan saling


pengertian merupakan proses terus-menerus, bukan proses sekali jadi dan sesudah itu
berhenti. Di sinilah setiap komunitas masyarakat dan kebudayaan dituntut untuk
belajar terus-menerus atau belajar berkelanjutan. Proses pembelajaran semangat
multikulturalisme terus-menerus dan berkesinambungan dilakukan. Untuk itu,
penting kita miliki dan kembangkan kemampuan belajar hidup bersama dalam
multikulturalisme masyarakat dan kebudayaan Indonesia. Kemampuan belajar hidup
bersama di dalam perbedaan inilah yang mempertahankan, bahkan menyelamatkan
semangat multikulturalisme. Tanpa kemampuan belajar hidup bersama yang memadai
dan tinggi, niscaya semangat multikulturalisme akan meredup. Sebaliknya,
kemampuan belajar hidup bersama yang memadai dan tinggi akan menghidupkan dan
memfungsionalkan semangat multikulturalisme.
Proses pembelajaran semangat multikulturalisme atau kemampuan belajar
hidup bersama di tengah perbedaan dapat dibentuk, dipupuk, dan atau dikembangkan
dengan kegiatan, keberanian melakukan perantauan budaya (cultural passing over),
pemahaman lintas budaya (cross cultural understanding), dan pembelajaran lintas
budaya (learning a cros Multikulturalis berada pada kelompok kedua. Mereka
bersikeras bahwa mengakomodasikan perbedaan budaya berbeda secara fundamental
dari kebijakan segegrasi yang berupaya memisahkan minoritas. Contohnya, Kymlicka
(1995) berpendapat bahwa orang-orang aborigin berhak menerima tambahan sumber
daya dan perlindungan politik guna memungkinkan mereka mempertahankan konteks
budaya mereka. Karena konteks itulah yang memberikan dasar bagi mereka untuk
mampu mandiri. Negara sebab itu mempunyai tanggung jawab khusus untuk
memastikan kebudayaan tersebut.
Bagi multikulturalis, hak budaya kerap dipahami sebagai hak yang dimiliki
individu pada kondisi-kondisi budaya tertentu. Hak tersebut bukan hak yang budaya
miliki atas individu. Mereka yang berkeinginan untuk menolak budaya yang

7
diwariskan pada mereka, tidak dipermasalahkan. Multikulturalisme bisa dipahami
sebagai politik memberikan pengakuan legal dan politik pada identitas minoritas
kolektif yang relevan dan khas.
Pada awal 1970an multikulturalisme lebih menekankan diri pada merayakan
perbedaan sehingga multikulturalisme ini berbasiskan etnisitas. Dan masalah yang
dihadapi terbatas pada prasangka dan penyelesaiannya ditempuh melalui pengenalan
sensitivitas budaya. Pada 1990an civic multiculturalism mengambil tempat dengan
mengutamankan pendekatan kewarganegaraan (citizenship) untuk mengatasi masalah
pengecualian (exclusion) melalui pelingkupan (inclusion). Warga diangkat menyatu
melalui perasaan memiliki bersama (belonging). Tujuan utama pendekatan di masa
ini adalah society-building.
Namun ada perubahan besar yang pantas dicatat. Kymlicka benar untuk
menyatakan bahwa “multikulturalis berhasil meredefinisikan terma-terma debat
publik dalam dua hal penting”. Pertama, sekarang ini, hanya sedikit pemikir yang
terus memahami bahwa keadilan bisa didasarkan pada aturan-aturan buta-perbedaan.
Kini hampir diterima di semua tempat bahwa aturan dan institusi yang buta-
perbedaan bisa merugikan kelompok-kelompok tertentu. “Apakah keadilan itu
membutuhkan aturan bersama untuk semua, atau aturan berbeda untuk tiap-tiap
kelompok, merupakan hal yang dinilai kasus per kasus dalam konteks tertentu, tidak
ditentukan sebelumnya”.
Kedua, kini bukan kaum multikulturalis yang mesti mengajukan bukti tetapi
pada pendukung institusi dan aturan buta-perbedaan yang harus memperlihatkan
bukti bahwa “status quo tidak menghadirkan ketidakadilan pada kelompok minoritas”
(Kymlicka, 1999: 113).

8
2.3.1 Faktor- Faktor Multikulturalisme
Multikultrualisme adalah bertujuan untuk kerjasama, kesederajatan dan
mengapresiasi dalam dunia yang kian kompleks dan tidak monokultur lagi.
Pengertian ini memang sangat relevan dengan keadaan yang multikultur ini.
Pengertian ini mengajak kita untuk lebih arif melihat perbedaan dan usaha untuk
bekerjasama secara positif dengan yang berbeda. Disamping untuk terus mewaspadai
segala bentuk-bentuk sikap yang bisa mereduksi multikulturalisme itu sendiri.
Setidaknya ada dua faktor ke depan, meminjam pemikiran Kymlicka, yang
membuat Indonesia perlu memperhatikan multikulturalisme dihubungkan dengan
pembahasan terkait dengan demokrasi.
1 Pertama, kesadaran hak. Kita kini hidup di dunia ketika ide tentang persamaan
manusia diterima secara niscaya. Suatu lompatan besar mengingat 60 tahun
lalu dunia masih mempercayai adanya ras yang lebih unggul dan berhak
menguasai dunia berdasarkan hirarki etnisitas. Begitu pula kolonialisme yang
membawa prasangka-prasangka hirarki kekuasaan berdasarkan warna kulit
yang dimanifestasikan pada kebijakan ke daerah jajahan dan konsekuensinya
pada dunia. Kini kesadaran hak sudah menjadi fitur modernitas yang bakal
susah kita pinggirkan. Kaum minoritas kini memiliki untuk meminta keadilan.
2 Kedua, konsolidasi demokrasi. Konsolidasi demokrasi membatasi
kemampuan elite untuk menggerus gerakan perlawanan. Di negeri dimana
demokrasi sudah terkonsolidasikan, demokrasi menjadi satu-satunya aturan
main, tak ada pilihan selain memperbolehkan kaum minoritas guna
memobilisasi secara politik dan mengutarakan aspirasinya di publik. Apalagi,
demokrasi melibatkan beragam pintu bagi pengambilan keputusan. Maka bila
satu grup minoritas terhambat di satu jalur, mereka bisa menggunakan jalur
lain dengan cepat. Bila tingkat nasional buntu, masih ada jalur internasional.
Demokrasi memberikan titik beragam dan berganti dalam mengakses
kekuasaan.

9
Pendekatan multikulturalisme penting bagi Indonesia dalam merampungkan
national-building yang terust tertunda. Melalui budaya bersama, masyarakat akan
mampu hidup dalam perdamaian dan keharmonisan. Hanya dengan budaya bersama
dalam satu tubuh kebangsaan dan penghargaan terhadap keberagaman dan perbedaan,
tumbuh solidaritas sosial yang siap berkorban dalam mempertahankan ikatan sosial
yang ada. Keadilan membutuhkan satu bentuk kewarganegaraan dan budaya madani
(civic culture). Budaya sipil demikianlah yang mungkin memberikan harapan besar
bagi Indonesia yang terdiri atas beragam masyarakat multikultural ini.
Demokrasi sebagai cara mengatasi masalah diversitas etnis menjadi penting
karena banyak negara, termasuk Indonesia, hidup dalam multikulturalisme.
Pluralisme politik dan pluralisme intelektual terkandung di dalam demokrasi seperti
berseberangan dengan konsepsi negara-bangsa yang lebih menekankan pada kohesi.
Tetapi penerapannya melahirkan beragam perkembangan. Multikulturalisme sendiri
sebagai suatu gagasan mengalami proses evolusi dalam penerapannya.

10
BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dengan adanya kultur kesetaraan dan keragaman dalam masyarakat Indonesia


kita akan lebih cepat mencapai masyarakat adil makmur dikarenakan, dengan adanya
kultur keragaman dan kesetaraan :
a. Kita akan bisa secara optimal memanfaatkan sumber daya manusia yang dalam hal
jumlah sangatlah potensial yang secara setara bisa ikut berpartispasi untuk
mencapai tujuan bangsa : setara dalam kesempatan memperoleh pendidikan yang
memadai, setara dalam memperoleh pendapatan sesuai dengan kemampuan
masing-masing, dan setara dalam berpartisipasi dalam menentukan masa depan
bangsa dalam tata sistim demokrasi yang membagi kekuasan menjadi tiga
kekuasaan yang setara satu sama yang lain - konsep trias politika - yaitu kekuasan
legislatif, eksekutif dan judikatif yang mempunyai kekuatan yang setara untuk
menjalankan fungsi saling mengingatkan (check and balance).
b. Kita akan bisa memanfaatkan sumber daya alam yang berlimpah dengan secara
optimal, dengan adanya sumber daya manusia yang setara, untuk kepentingan
pembangunan Indonesia. Konsep 'trias politika' juga akan mengikutsertakan
rakyat dalam kebijaksanan negara dalam memanfaatkan sumber daya alam secara
optimal untuk kesejahteraan rakyat besama.
c. Penghargaan terhadap kesetaraan manusia juga berarti suatu penghargaan tergadap
HAM maupun nilai nilai 'humanisme universal', yang akan menempatkan
Indonesia dalam deretan bangsa - bangsa yang lebih terhormat dalam masyarakat
antar bangsa.
d. Secara nyata suatu realisasi dari filsafat dasar Pancasila secara keseluruhan dan
penghargaan nilai keagamaan yang pada hakekatnya sangat menghargai
kesetaraan manusia.

11
DAFTAR PUSTAKA

http://yudihartono.wordpress.com/ Nopember 10, 2008 by yudihartono


mailto:owner-indonesia-l@indopubs.com?Subject=Re:[INDONESIA-L]Lebih Lanjut
dgn Revo (r)&In-Reply-To=<957824367.0000@hypermail.dummy> Sat Jan
9 14:22:06 1999
mailto:199901091922.MAA24983@indopubs.com?Subject=Re:[INDONESIA-L]
Lebih Lanjut dgn Revo (r)&In-Reply- To=<957824367.0000
@hypermail.dummy>>
mailto:apakabar@Radix.Net
http://www.progind.net/
http://geocities.com/lembaga_sastrapembebasan/

12

You might also like