You are on page 1of 18

JAWABAN TUGAS HUKUM INTERNASIONAL

Jawaban :
Persamaan definisi Perjanjian Internasional menurut Komisi Hukum Internasional dengan
Perjanjian Internasional menurut Pasal 2 Konvensi Wina 1969.
a.Sama-sama mendefinisikan sebagai suatu bentuk Perjanjian Internasional yang menyatakan
melewati batas wilayah suatu negara.
b.Kedua definisi tersebut sama-sama menyebutkan bahwa semua perjanjian yang dibuat harus
dalam bentuk tertulis “...in written form...”.
c.Kedua definisi tersebut juga menyatakan bahwa “...whether embodied in a single instrument or
in two or more related instruments and whatever its particular designed...”, hal ini menyatakan
bahwa perjanjian internasional yang dibuat tidak memandang banyaknya instrument dan
bagaimana bentuk perjanjian itu (treaty, convention, protocol, covenants, charter, statute, act,
declaration, concordat, exchange of notes, agreed minute, memorandum of agreement, modus
vivendi or other appellation).

Perbedaan definisi Perjanjian Internasional menurut Komisi Hukum Internasional dengan


Perjanjian Internasional menurut Pasal 2 Konvensi Wina 1969.
Perbedaan yang mendasar dari kedua definisi tersebu hanya pada subyek hukum yang melakukan
perjanjian internasional. Pada Komisi Hukum Internasional menyebutkan bahwa perjanjian
internasional dilakukan oleh dua negara atau lebih dan subyek hukum internasional lainnya.
Sedangkan pada Konvensi Wina lebih dipersempit, perjanjian internasional hanya dilakukan
antara negara-negara saja, subyek hukum internasional lainnya tidak disebutkan dalam definisi
disini.

Dari pembahasan di atas dapat saya simpulkan bahwa sebenarnya kedua definisi tersebut
memiliki isi atau maksud yang sama. Hanya saja pada Konvensi Wina definisi dari Perjanjian
Internasional lebih dipersempit. Pelaku atau subyek hukum internasional yang bisa melakukan
perjanjian internasional dalam Konvensi Wina hanya negara saja, selain negara tidak disebutkan.
Sedangkan dalam Komisi Hukum Internasional subyek hukum internasional lainnya juga
disebutkan. Selain daripada itu kedua definisi tersebut memiliki arti dan bahkan format tulisan
yang sama.

Jika dikaitkan dengan Perjanjian Internasional menurut Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor
37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri Indonesia yang menyatakan bahwa :
“ Perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apapun, yang diatur oleh
Hukum Internasional dan dibuat secara tertulis oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan satu
atau lebih negara, organisasi internasional, atau subyek hukum internasional lainnya, serta
menimbulkan hak dan kewajiban pada Pemerintah RI yang bersifat hukum publik”.
Pertama terdapat pengkhususan yang dilakukan, subyek hukum yang melakukan perjanjian
internasional langsung disebutkan, yaitu Negara Republik Indonesia itu sendiri. Hal ini
dilakukan sebagai upaya penunjukan kedaulatan dari negara itu sendiri. Perjanjian Internasional
yang telah disepakati oleh Negara Indonesia, secara langsung akan menimbulkan hak serta
kewajiban yang memang telah disetujui, serta membentuk susatu hukum publik yang mengikat
secara nasional. Selain perbedaan ini isi, maksud serta format dari penulisan definisi Perjanjian
Internasional dengan dua definisi lainnya menurut Komisi Hukum Internasional dengan
Konvensi Wina sama. Mulai dari bentuk perjanjian yang disepakati bisa berbentuk apapun
(treaty, convention, protocol, covenants, charter, statute, act, declaration, concordat, exchange of
notes, agreed minute, memorandum of agreement, modus vivendi or other appellation),
perjanjian dibuat secara tertulis, perjanjian dapat dilakukan dengan Negara lain sebagai subyek
hukum internasional, maupun dengan subyek hukum internasional lainnya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa ketiga definisi ini tidak memiliki perbedaan yang signifikan, baik
isi atau makna, maupun format penulisan.

fErrY,,cAndY aDdicT,,,>[///]<

nabiLLa,,:
Nama      : Nabilla Ulfa
Kelas / NIM   : 06260010
Mata Kuliah   : Hukum Internasional

TUGAS MATA KULIAH HUKUM INTERNASIONAL

Jawab :

Perjanjian Internasional adalah Persetujuan Internasional yang ditandatangani antara negara


dengan pemerintah dalam bentuk tertulis, apakah itu diwujudkan dalam sebuah instrumen dua
atau lebih, yang berhubungan dan fakta apa saja yang ditunjuk.
Berdasarkan definisi tersebut, bahwa subyek hukum internasional yang mengadakan perjanjian
adalah anggota masyarakat, bangsa-bangsa, termasuk juga lembaga-lembaga internasional dan
negara-negara.
Dari definisi-definisi ini dapat ditarik persamaan mengenai ciri-ciri Perjanjian Internasional,
bahwa pihak-pihak yang mengadakan Perjanjian saling menyetujui antara pihak-pihak, yang
dapat menimbulkan hak dan kewajiban dalam bidang internasional.
Dalam perkembangan dewasa ini kedudukan dan Perjanjian Internasional sebagai sumber hukum
internasional adalah sangat penting, mengingat Perjanjian Internasional lebih menjamin
kepastian hukum, karena dibuat secara tertulis. Lain dari itu Perjanjian Internasional mengatur
masalah-masalah bersama yang penting dalam hubungan antara subyek hukum internasional.
Menurut Pasal 2 ayat 1 Konvensi Wina tahun 1969 tentang perjanjian internasional, yang
dimaksud dengan Perjanjian Internasional adalah suatu persetujuan yang dibuat antar negara
dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional. Definisi Perjanjian Internasional
tersebut tercantum pula dalam peraturan perundang-undangan Republik Indonesia dalam UU no.
37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.

Persamaan Persetujuan Internasional menurut Komisi Hukum Internasional dengan menurut


Konvensi Wina 1969 :
a.Kedua definisi tersebut sama-sama menuliskan bahwa Persetujuan Internasional yang dibuat
berbentuk tertulis.
b. “...whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and
whatever its particular designed...”, kedua definisi tersebut menyatakan bahwa Perjanjian yang
dibuat dapat berbentuk apapun, entah itu traktat, protokol, konvensi dan lain-lain.
c.Perjanjian internasional yang dibentuk merupakan hasil persetujuan dari bangsa-bangsa atau
negara sebagai subyek hukum internasional.

Perbedaan Persetujuan Internasional menurut Komisi Hukum Internasional dengan menurut


Konvensi Wina 1969 :
Kedua definisi Persetujuan Internasional tersebut tidak memiliki perbedaan yang mendasar,
perbedaannya hanya pada subyek hukum internasional yang melakukan perjanjian tersebut. Pada
Komisi Internasional, subyek hukum internasioal yang melakukan persetujuan tersebut adalah
negara serta subyek hukum internasional lainnya. Sedangkan pada Konvensi Wina 1969 subyek
hukum yang ditekankan hanyalah negara saja, tidak menjelaskan tentang subyek hukum
internasional lainnya.

Kaitan dengan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia dalam UU no. 37 tahun 1999
tentang Hubungan Luar Negeri. Dalam perundang-undangan ini definisi persetujuan
internasional langsung tertuju pada negara Indonesia sendiri, hal ini dilakukan sebagai upaya
politik indonesia yang bebas aktif. Di dalam perundang-undangan ini juga disebutkan bahwa
persetujuan yang dilakukan dan telah disetujui dapat menimbulkan hak dan kewajiban tertentu
pada masyarakat Indonesia khususnya. Selain perbedaan itu, tidak ada perbedaan lainnya, baik
isi atau maksud dari penjelasan mengenai Persetujuan Internasional sendiri. Mulai dari bentuk
perjanjian yang bisa bermacam-macam, bentuk perjanjian yang tertulis serta dilakukan oleh atau
antar negara.

Nina:
Assalamulekum.... gimana kbrnya disna bu...? baik-baik saja kan?!

???.......... :)    Dalam menganalisis persamaan dan perbedaan pengertian Perjanjian Internasional,
saya perlu memaparkan sedikit pengertiannya.
Menurut Pasal 2 Konvensi Wina 1969, Perjanjian Internasional merupakan suatu persetujuan
yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional, apakah itu
dalam instrumen tunggal, dua atau lebih instrument yang berkaitan dan apapun nama yang
diberikan kepadanya (Pakta, Konvensi, Agreement, Protocol, Charter, dll.) Kemudian dalam
Pasal 1 dari konvensi Wina lebih membatasi diri dalam ruang lingkup berlakunya, hanya berlaku
untuk perjanjian antar negara, seperti dinyatakan “The present convention applies to treaties
between states”. Namun demikian konvensi menganggap perlu untuk mengatur perjanjian-
perjanjian yang diadakan oleh subyek-subyek hukum lainnya secara tersendiri, seperti perjanjian
antar negara dengan subyek hukum lain selain daripada negara, dan subyek hukum bukan negara
satu sama lain.

 :) Kemudian dalam UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Internasional (Hubungan
Luar Negeri) dinyatakan bahwa Perjanjian Internasional merupakan Perjanjian dalam bentuk dan
sebutan apapun yang diatur oleh Hukum Internasional dan dibuat secara tertulis oleh 
Pemerintahan Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi Internasional atau
subyek Hukum Internasional lainnya, serta menimbulkan Hak dan Kewajiban pada Pemerintahan
RI yang bersifat hukum publik. Sebagai tambahan saja, pada Bab III Pasal 15 memang telah
ditetapkan sebelumnya bahwa masalah Perjanjian Internasional akan diatur secara tersendiri
dalam suatu Undang-Undang. Mengingat akan pentingnya hal ini, maka pada 22 Mei 2000,
pemerintah Republik Indonesia memberi keterangan atas RUU tentang Pembuatan dan
Pengesahan Perjanjian Internasional dihadapan Pimpinan dan Anggota DPR yang dalam ruang
lingkupnya meliputi pengertian perjanjian internasional, kewenangan membuat perjannjian
internasional, tahap-tahap pembuatan perjanjian internasional, serta pengakhiran perjanjian
internasional.

 :) Sedangkan menurut Komisi Hukum Internasional 1962 Perjanjian Internasional sama halnya
sebagaimana pengertian konvensi wina diatas, hanya saja pada konvensi wina lebih membatasi
diri dalam ruang lingkup berlakunya, hanya berlaku untuk perjanjian antar negara, sedangkan
tidak demikian dengan Komisi Hukum Internasional, karena ruang lingkup berlakunya lebih
luas. negara bukanlah satu-satunya subyek hukum. dalam hal ini negara bisa membuat perjanjian
dengan organisasi-organisasi internasional, dan subyek hukum lainnya.

 :) dari pengertian tersebut kemudian saya dapat mengambil kesimpulan, adapun persamaan dari
ketiga ketegori pengertian perjanjian internasional tersebut adalah sama-sama melibatkan
Subyek Hukum Internasional yang berupa satu atau lebih negara, organisasi-organisasi
internasional, atau lainnya yang dibuat dan disusun secara tertulis dan diatur oleh Hukum
Internasional.

Namun, perbedaan pengertian perjanjian Internasional disini menurut saya memiliki prosentase
yang kecil, dalam UU Nomor 37 Tahun 1999, dijelaskan bahwa perjanjian Internasional ini akan
menimbulkan Hak dan Kewajiban bagi pihak-pihak yang bersangkutan, dalam hal ini Pemerintah
Republik Indonesia yang bersifat Hukum Publik, sedangkan dalam Konvensi Wina 1969 hal
tersebut tidak dijelaskan dan lebih membatasi diri dalam ruang lingkup berlakunya, hanya
berlaku untuk perjanjian antar negara.

apabila ada kesalahan presepsi, mohon diluruskan y bu...  :)

Teng kyu feri mach.....   ;)

Nina Nurruwaida Anggita Pradani


06260028
HI IV/A

Nina:
maaf Bu, jawaban saya tadi sedikit ngawur. soalnya tadi saya belum lihat page pertanyaannya  :'(

 
 :) dari penjelasan ibu tersebut kemudian saya dapat mengambil kesimpulan, adapun persamaan
dari ketiga ketegori pengertian perjanjian internasional tersebut adalah sama-sama melibatkan
Subyek Hukum Internasional yang berupa satu atau lebih negara, organisasi-organisasi
internasional, atau lainnya yang dibuat dan disusun secara tertulis dan diatur oleh Hukum
Internasional.
:) Sedangkan menurut Komisi Hukum Internasional 1962 Perjanjian Internasional sama halnya
sebagaimana pengertian konvensi wina diatas, hanya saja pada konvensi wina lebih membatasi
diri dalam ruang lingkup berlakunya, hanya berlaku untuk perjanjian antar negara, sedangkan
tidak demikian dengan Komisi Hukum Internasional, karena ruang lingkup berlakunya lebih
luas. negara bukanlah satu-satunya subyek hukum. dalam hal ini negara bisa membuat perjanjian
dengan organisasi-organisasi internasional, dan subyek hukum lainnya.

Namun, perbedaan pengertian perjanjian Internasional disini menurut saya memiliki prosentase
yang kecil, dalam UU Nomor 37 Tahun 1999, dijelaskan bahwa perjanjian Internasional ini akan
menimbulkan Hak dan Kewajiban bagi pihak-pihak yang bersangkutan, dalam hal ini Pemerintah
Republik Indonesia yang bersifat Hukum Publik, sedangkan dalam Konvensi Wina 1969 hal
tersebut tidak dijelaskan dan lebih membatasi diri dalam ruang lingkup berlakunya, hanya
berlaku untuk perjanjian antar negara.

jadi, seperti itu analisis saya. maaf tadi saya pake jelasin pengertiannya lagi.   :) ;D
terima kasih....  ;)

Barnaba:
Analisis persamaan dan perbedaan perngertian tentang perjanjian internasional menurut konvensi
wina tahun 1969 dangan undang-undang no 37 tentang perjanjian  internasional tahun 1999
Konvensi wina ,yang disebut dengan vienna convention on the law of treaties 1969
Mengatur tentang perjanjian internasonal publick antar Negara sebagai subjek utama hukum
internasional. Sebagai induk dari perjanjian internasional, konvensi wina berisi tentang, baik
secara teknis maupun subtansi anatara lain mengatur tentang tanda sebuah Negara menyatakan
mengikatkan diri kepada suatu treaty , entry into force dari suatu treaty, hubungan undang-
undangdomestik dan treaty, aturan umum untuk memberi interpretasi dari suatu treaty dll. Atao
dengan kata lain konvensi wina ialah suatu pernyatan oleh suatu ngara untuk menanda tangani,
merativikasi, dan melaksanakan isi dari konvensi perjanjian internasional.
Menurut undang- undang no 37 tahun 1999 tentang perjanjian internasional menyatakan : suatu
persetujuan antar Negara yang menimbulkan hak dan kewajiban pemerintah antar Negara yang
mengadakan perjanjian mengenai suatu objek tertentu yang dirumuskan secara tertulis yang
bersifat hukum publik.
 Melihat dari definisi diatas diperoleh persamaan bahawa : keduanya sama-sama menjadikan
Negara sebagai subjek  hukum internasional, dan apabila sudah diratifikasi maka perjanjian
internasional tersebut bersifat mengikat dan harus dijalankan menurut isi perjanjian.
Sedangkan perbedaan dari perjanjian internasional menurut undang-undang no 37 tahun 1999
dengan konvensi wina ialah: konvensi wina merupakan perjanjian yang biasa mengatur individu
dalam suatu Negara, misalnya mengatur tentang hak-hak azasi manusia.
Perjanjian Internasional
Author: admin

20 Mar

A. Makna Perjanjian Internasional


Perjanjian internasional adalah perjanjian diadakan oleh subjek-subjek hukum internasional dan
bertujuan untuk melahirkan akibat-akibat hukum tertentu. Contoh perjanjian internasional adalah
perjanjian yang dibuat oleh negara dengan negara lain, negara dengan organisasi internasional,
organisasi internasional dengan organisasi internasional lain, serta Tahta Suci dengan negara.

Pengertian perjanjian internasional, diantaranya adalah sebagai berikut :


1. Konvensi Wina 1969, perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan oleh dua
negara atau lebih yang bertujuan untu mengadakan akibat-akibat hukum tertentu.
2. Konvensi Wina 1986, Perjanjian internasional sebagai persetujuan internasional yang diatur
menurut hukum internasional dan ditanda tangani dalam bentuk tertulis antara satu negara atau
lebih dan antara satu atau lebih organisasi internasional, antarorganisasi internasional.
3. UU No 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, perjanjian internasional adalah
perjanjian dalam bentuk dan sebutan apapun yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat
secara tertulis oleh pemerintah RI dengan satu atau lebih negara, organisasi internasional atau
subjek hukum internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada pemerintah RI
yang bersifat hukum publik.
4. UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, perjanjian internasional adalah
perjanjian dalam bentukdan nama tertentu yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat
secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.
5. Oppenheimer-Lauterpact
Perjanjian internasional adalah suatu persetujuan antarnegara yang menimbulkan hak dan
kewajiban diantara pihak-pihak yang mengadakan.
6. Dr. B. Schwarzenberger
Perjanjian internasional adalah persetujuan antara subjek hukum internasional yang
menimbulkan kewajiban-kewajiban yang mengikat dalam hukum internasional, dapat berbentuk
bilateral maupun multilateral. Adapun subjek hukum yang dimaksud adalah lembaga-lembaga
internasional dan negara-negara.
7. Prof. Dr. Muchtar Kusumaatmaja, S.H. LLM
Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antarbangsa yang bertujuan untuk
menciptakan akibat-akibat tertentu.

Kerjasama internasional secara hukum diwujudkan dalam bentuk perjanjian internasional, yaitu
negara-negara dalam melaksanakan hubungan atau kerjasamanya membuat perjanjian
internasional. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, disimpulkan bahwa perjanjian
internasional adalah perjanjian yang dilakukan oleh subjek-subjek hukum internasional dan
mempunyai tujuan untuk melahirkan akibat-akibat hukum tertentu.

Perjanjian antarbangsa atau yang sering disebut sebagai perjanjian internasional merupakan
persetujuan internasional yang diatur oleh hubungan internasional serta ditandatangani dalam
bentuk tertulis. Contoh perjanjian internasional diantaranya adalah antarnegara atau lebih,
antarorganisasi internasional atau lebih, dan antarorganisasi internasional.

Perjanjian internasional pada hakekatnya merupakan suatu tujuan atau agreement. Bentuk
perjanjian internasional yang dilakuka antarbangsa maupun antarorganisasi internasional ini
tidak harus berbentuk tertulis. Dalam perjanjian internasional ini ada hukum yang mengatur
perjanjian tersebut. Dalam perjanjian internasional terdapat istilah subjek dan obyek. Yang
dimaksud subjek perjanjian internasional adalah semua subjek hukum internasional, terutama
negara dan organisasi internasional. Sedangkan yang dimaksud dengan obyek hukum
internasional adalah semua kepentingan yang menyangkut kehidupan masyarakat internasional,
terutama kepentingan ekonomi, sosial, politik, dan budaya.

B. Macam-Macam Perjanjian Internasional


Perjanjian internasional sebagai sumber formal hukum internasional dapat diklasifikasikan
sebagai berikut.
1. Berdasarkan Isinya
a) Segi politis, seperti pakta pertahanan dan pakta perdamaian.
b) Segi ekonomi, seperti bantuan ekonomi dan bantuan keuangan.
c) Segu hukum
d) Segi batas wilayah
e) Segi kesehatan.
Contoh :
- NATO, ANZUS, dan SEATO
- CGI, IMF, dan IBRD

2.Berdasarkan Proses/Tahapan Pembuatannya


a)Perjanjian bersifat penting yang dibuat melalui proses perundingan, penandatanganan, dan
ratifikasi.
b)Perjanjian bersifat sederhana yang dibuat melalui dua tahap, yaitu perundingan dan
penandatanganan.
Contoh :
- Status kewarganegaraan Indonesia-RRC, ekstradisi.
- Laut teritorial, batas alam daratan.
- Masalah karantina, penanggulangan wabah penyakit AIDS.

3. Berdasarkan Subjeknya
a)Perjanjian antarnegara yang dilakukan oleh banyak negara yang merupakan subjek hukum
internasional.
b)Perjanjian internasional antara negara dan subjek hukum internasional lainnya.
c)Perjanjian antarsesama subjek hukum internasional selain negara, yaitu organisasi internasional
organisasi internasional lainnya.
Contoh :
- Perjanjian antar organisasi internasional Tahta suci (Vatikan) dengan organisasi MEE.
- Kerjasama ASEAN dan MEE.

4. Berdasarkan Pihak-pihak yang Terlibat.


a). Perjanjian bilateral, adalah perjanjian yang diadakan oleh dua pihak. Bersifat khusus (treaty
contact) karena hanya mengatur hal-hal yang menyangkut kepentingan kedua negara saja.
Perjanjian ini bersifat tertutup, yaitu menutup kemungkinan bagi pihak lain untuk turut dalam
perjanjian tersebut.
b). Perjanjian Multilateral, adalah perjanjian yang diadakan oleh banyak pihak, tidak hanya
mengatur kepentingan pihak yang terlibat dalam perjanjian, tetapi juga mengatur hal-hal yang
menyangkut kepentingan umum dan bersifat terbuka yaitu memberi kesempatan bagi negara lain
untuk turut serta dalam perjanjian tersebut, sehingga perjanjian ini sering disebut law making
treaties.
Contoh :
Perjanjian antara Indonesia dengan Filipina tentang pemberantasan dan penyelundupan dan bajak
laut, perjanjian Indonesia dengan RRC pada tahun 1955 tentang dwi kewarganegaraan,
perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura yang ditandatangani pada tanggal 27 April
2007 di Tampaksiring, Bali.
Konvensi hukum laut tahun 1958 (tentang Laut teritorial, Zona Bersebelahan, Zona Ekonomi
Esklusif, dan Landas Benua), konvensi Wina tahun 1961 (tentang hubungan diplomatik) dan
konvensi Jenewa tahun 1949 (tentang perlindungan korban perang).
Konvensi hukum laut (tahun 1958), Konvensi Wina (tahun 1961) tentang hubungan diplomatik,
konvensi Jenewa (tahun 1949) tentang Perlindungan Korban Perang.

5. Berdasarkan Fungsinya
a). Law Making Treaties / perjanjian yang membentuk hukum, adalah suatu perjanjian yang
meletakkan ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah hukum bagi masyarakat internasional secara
keseluruhan (bersifat multilateral).
b). Treaty contract / perjanjian yang bersifat khusus, adalah perjanjian yang menimbulkan hak
dan kewajiban, yang hanya mengikat bagi negara-negara yang mengadakan perjanjian saja
(perjanjian bilateral).
Contoh :
Perjanjian Indonesia dan RRC tentang dwikewarganegaraan, akibat-akibat yang timbul dalam
perjanjian tersebut hanya mengikat dua negara saja yaitu Indonesia dan RRC.

Perjanjian internasional menjadi hukum terpenting bagi hukum internasional positif, karena lebih
menjamin kepastian hukum. Di dalam perjanjian internasional diatur juga hal-hal yang
menyangkut hak dan kewajiban antara subjek-subjek hukum internasional (antarnegara).
Kedudukan perjanjian internasional dianggap sangat penting karena ada beberapa alasan,
diantaranya sebagai berikut :
1. Perjanjian internasional lebih menjamin kepastian hukum, sebab perjanjian internasional
diadakan secara tertulis.
2. Perjanjian internasional mengatur masalah-masalah kepentingan bersama diantara para subjek
hukum internasional.

C. Istilah Istilah Perjanjian Internasional


Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, perjanjian internasional merupakan hukum
terpenting bagi hukum internasional positif. Hal ini disebabkan karena lebih menjamin kepastian
hukum. Kedudukan perjanjian internasional juga dianggap sangat penting karena selain
perjanjian internasional lebih menjamin kepastian hukum, perjanjian internasional diadakan
secara tertulis, dan juga karena perjanjian internasional mengatur masalah-masalah kepentingan
bersama diantara para subjek hukum internasional dalam perjanjian internasional dikenal
beberapa istilah. Istilah-istilah tersebut diantaranya adalah sebagai berikut.
1. Traktat (treaty), adalah perjanjian yang paling formal yang merupakan persetujuan dari dua
negara atau lebih. Perjanjian ini menitikberatkan pada bidang politik dan bidang ekonomi.
2. Konvensi (convention), adalah persetujuan formal yang bersifat multilateral, dan tidak
berkaitan dengan kebijaksanaan tingkat tinggi (high policy).
3. Deklarasi (declaration),adalah perjanjian internasional yang berbentuk traktat, dan dokumen
tidak resmi.
4. Convenant, adalah anggaran dasar Liga Bangsa-Bangsa (LBB).
5. Charter, adalah suatu istilah yang dipakai dalam perjanjian internasional untuk pendirian
badan yang melakukan fungsi administratif.
6. Pakta (pact), adalah suatu istilah yang menunjukkan suatu persetujuan yang lebih khusus
(Pakta Warsawa).
7. Protokol (protocol), adalah suatu dokumen pelengkap instrumen perjanjian internasional, yang
mengatur masalah-masalah tambahan seperti penafsiran klausul-klausul tertentu.
8. Persetujuan (Agreement), adalah perjanjian yang bersifat teknis dan administratif. Sifat
agreement tidak seresmi traktat atau konvensi, sehingga diratifikasi.
9. Perikatan (arrangement) adalah suatu istilah yang dipakai untuk masalah transaksi-transaksi
yang bersifat sementara. Sifat perikatan tidak seresmi traktat dan konvensi.
10. Modus vivendi, adalah sebuah dokumen yang digunakan untuk mencatat persetujuan
internasional yang bersifat sementara, sampai berhasil diwujudkan perjumpaan yang lebih
permanen, terinci, dan sistematis serta tidak memerlukan ratifikasi.
11. Proses verbal, adalah suatu catatan-catatan atau ringkasan-ringkasan atau kesimpulan-
kesimpulan konferensi diplomatik atau catatan-catatan pemufakatan yang tidak diratifikasi.
12. Ketentuan penutup (final Act), adalah suatu ringkasan hasil konvensi yang menyebutkan
negara peserta, nama utusan yang turut diundang, serta masalah yang disetujui konvensi.
13. Ketentuan umum (general act), adalah traktat yang bisa bersifat resmi maupun tidak resmi.

D. Tahap-Tahap Perjanjian Internasional


Perjanjian internasional biasanya dituangkan dalam bentuk struktur perjanjian internasional yang
lengkap dan dibuat melalui tiga tahap, yaitu tahap perundingan, tahap penandatanganan, dan
tahap ratifikasi.
1. Perundingan (Negotiation)
Tahapan ini merupakan suatu penjajakan atau pembicaraan pendahuluan oleh masing-masing
pihak yang berkepentingan. Dalam perundingan internasional ini negara dapat diwakili oleh
pejabat negara dengan membawa surat kuasa penuh (full powers/credentials), kecuali apabila
dari semula peserta perundingan sudah menentukan bahwa full power tidak diperlukan. Pejabat
negara yang dapat mewakili negaranya dalam suatu perundingan tanpa membawa full power
adalah kepala negara, kepala pemerintahan (perdana menteri), menteri luar negeri, dan duta
besar. Keempat pejabat tersebut dianggap sudah sah mewakili negaranya karena jabatan yang
disandangnya.
Perundingan dalam rangka perjanjian internasional yang hanya melibatkan dua pihak (bilateral)
disebut pembicaraan (talk), perundingan yang dilakukan dalam rangka perjanjian multilateral
disebut konferensi diplomati (diplomatik conference). Selain secara resmi terdapat juga
perundingan yang tidak resmi, perundingan ini disebut corridor talk.
Hukum internasional dalam tahap perundingan atau negosiasi, memberi peluang kepada
seseorang tanpa full powers untuk dapat mewakili negaranya dalam suatu perundingan
internasional. Seseorang tanpa full powers yang ikut dalam perundingan internasional ini akan
dianggap sah, apabila tindakan orang tersebut disahkan oleh pihak yang berwenang pada negara
yang bersangkutan. Pihak yang berwenang tersebut adalah kepala negara dan/atau kepala
pemerintahan (presiden, raja/perdana menteri). Apabila tidak ada pengesahan, maka tindakan
orang tersebut tidak sah dan dianggap tidak pernah ada.

2. Tahap Penandatanganan (Signature)


Tahap penandatanganan merupakan proses lebih lanjut dari tahap perundingan. Tahap ini
diakhiri dengan penerimaan naskah (adoption of the text) dan pengesahan bunyi naskah
(authentication of the text). Penerimaan naskah (adoption of the text) yaitu tindakan perwakilan
negara dalam perundingan internasional untuk menerima isi dari perjanjian nasional. Dalam
perjanjian bilateral, kedua perwakilan negara harus menyetujui penerimaan naskah perjanjian.
Sedangkan dalam perjanjian multilateral, bila diatur secara khusus dalam isi perjanjian, maka
berlaku ketentuan menurut konferensi Vienna tahun 1968 mengenai hukum internasional.
Penerimaan naskah ini dapat dilakukan apabila disetujui sekurang-kurangnya dua pertiga peserta
konferensi.
Pengesahan bunyi naskah (authentication of the text) dilakukan oleh para perwakilan negara
yang turut serta dalam perjanjian tersebut. Dalam perjanjian bilateral maupun multilateral
pengesahan naskah dapat dilakukan para perwakilan negara dengan cara melakukan
penandatanganan ad referendum (sementara) atau dengan pembubuhan paraf (initial).
Pengesahan bunyi naskah adalah tindakan formal untuk menerima bunyi naskah perjanjian.
Penandatanganan dilakukan oleh menteri luar negeri (menlu) atau kepala pemerintahan. Dengan
menandatangani suatu naskah perjanjian, suatu negara berarti sudah menyetujui untuk
mengikatkan diri pada suatu perjanjian. Selain melalui penandatanganan, persetujuan untuk
mengikat diri pada suatu perjanjian dapat dilakukan melalui ratifikasi, pernyataan turut serta
(acesion) atau menerima (acceptance) suatu perjanjian.

3. Tahap Ratifikasi (Ratification)


Pengesahan atau ratifikasi adalah persetujuan terhadap rencana perjanjian internasional agar
menjadi suatu perjanjian yang berlaku bagi masing-masing negara tersebut. Pengesahan
perjanjian internasional oleh pemerintah dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian
internasional tersebut. Pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan
ketetapan yang telah disepakati oleh para pihak.
Setelah penandatanganan naskah perjanjian internasional dilakukan oleh para wakil negara
peserta perundingan, maka selanjutnya naskah perjanjian tersebut dibawa pulang ke negaranya
masing-masing untuk dipelajari dengan seksama untuk menjawab pertanyaan, yaitu apakah isi
perjanjian internasional tersebut sudah sesuai dengan kepentingan nasional atau belum dan
apakah utusan yang telah diberi kuasa penuh melampaui batas wewenangnya atau tidak. Apabila
memang ternyata isi dalam perjanjian tersebut sudah sesuai, maka negara yang bersangkutan
tersebut akan meratifikasi untuk menguatkan atau mengesahkan perjanjian yang ditandatangani
oleh wakil-wakil yang berkuasa tersebut.
Ratifikasi bertujuan memberi kesempatan kepada negara peserta perjanjian internasional untuk
mengadakan peninjauan dan pengkajian secara seksama apakah negaranya dapat diikat suatu
perjanjian internasional atau tidak. Ratifikasi perjanjian internasional dibedakan menjadi tiga.
Hal ini untuk mengetahui siapakah yang berwenang meratifikasi suatu naskah perjanjian
internasional di negara tersebut. Ketiga sistem ratifikasi tersebut adalah sebagai berikut :
a). Sistem ratifikasi oleh badan eksekutif, yaitu bahwa suatu perjanjian internasional baru
mengikat apabila telah diratifikasi oleh kepala negara atau kepala pemerintahan. Misalnya saja
pada pemerintahan otoriter seperti NAZI.
b). Sistem ratifikasi oleh badan legislatif, yaitu bahwa suatu perjanjian baru mengikat apabila
telah diratifikasi oleh badan legislatif. Misalnya adalah Honduras, Turki, dan Elsalvador.
c). Sistem ratifikasi campuran (badan eksekutif dan legislatif), yaitu bahwa suatu perjanjian
internasional baru mengikat apabila badan eksekutif dan legislatif sama-sama menentukan proses
ratifikasi. Misalnya Amerika Serikat, Perancis, dan Indonesia.

Indonesia menganut sistem ratifikasi campuran, yaitu ada peran lembaga eksekutif dan legislatif
dalam meratifikasi perjanjian internasional. Dalam UU RI No. 24 Tahun 2000 tentang perjanjian
internasional, ratifikasi atau pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-
undang atau keputusan Presiden. Di Indonesia ratifikasi dengan undang-undang harus terdapat
persetujuan Presiden dan DPR secara bersama-sama terhadap perjanjian internasional. Ratifikasi
dengan keputusan Presiden hanya mengisyaratkan adanya persetujuan Presiden terhadap
perjanjian tersebut. Dasar hukum sistem ratifikasi di Indonesia, terdapat dalam undang-undang
Dasar 1945 yaitu pasal 11 ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945.
Perjanjian internasional yang dapat diratifikasi dengan keputusan Presiden, diantaranya yaitu
perjanjian induk yang berkaitan dengan kerjasama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi,
ekonomi dan teknik perdagangan, kebudayaan, pelayaran niaga, serta penghindaran pajak
berganda dan kerjasama perlindungan penanaman modal.

Ratifikasi melalui undang-undang dapat dilakukan terhadap perjanjian internasional yang


menyangkut materi-materi di bawah ini,
a)Politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara.
b)Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara RI.
c)Kedaulatan atau hak berdaulat negara.
d)Hak asasi manusia dan lingkungan hidup.
e)Pembentukan kaidah hukum baru.
f)Pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN BERKAITAN DENGAN TINDAKAN PEMALSUAN
MEREK
*) NB : Seluruh tulisan yang ada di blog ini dapat dikutip
untuk keperluan akademis dengan mencantumkan
sumbernya. STOP PLAGIARISME
  
Oleh: Inda Rahadiyan, Fadhilatul Hikmah, Debby Ferina Tampubolon dan Hilda Aini
                                                                        
                               
                                                                               BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Perkembangan hukum di bidang perlindungan konsumen yang semakin maju dewasa ini menjadi

fenomena yang penting dan menarik untuk dikaji. Hukum perlindungan konsumen yang berakar dari

gerakan konsumen Amerika Serikat  kemudian merambah hampir ke  seluruh dunia tak terkecuali

Indonesia. Regulasi bidang perlindungan konsumen di negeri ini dapat dikatakan  masih relatif muda.

Diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan konsumen menrupakan

awal dari kebangkitan “consumer power”di Indonesia. Dengan kata lain kehadiran UU.No.8 Tahun 1999

menjadi tonggak sejarah perkembangan hukum perlindungan konsumen di Indonesia. [1]

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan konsumen yang lebih dikenal

dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen(UUPK) dipandang telah cukup baik oleh

sebagian kalangan. UUPK memberikan pengaturan cukup baik mulai dari pengertian

konsumen,pelaku usaha,hak dan kewajiban hingga sanksi terhadap berbagai bentuk pelanggaran.

Namun demikian, bukan berarti ketentuan UUPK telah sempurna. UUPK memang cukup

responsif terhadap kedudukan konsumen yang seringkali dirugikan oleh tindakan-tindakan

pelaku usaha namun terkait dengan beberapa hal yang menimbulkan kerugian bagi konsumen

UUPK belum memberikan pengaturan yang jelas. Salah satunya  adalah mengenai pelanggaran
terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual. Tindakan pelanggran HAKI yang menimbulkan

kerugian bagi konsumen seharusnya menjadi salah satu materi muatan  dalam UUPK  karena

pada kenyataannya jumlah tindak pelanggaran HAKI yang merugikan konsumen sangat banyak

terjadi.

Salah satu contoh kasus menarik dan patut untuk dikaji adalah pemalsuan kosmetik merek

‘Ponds’. Kerugian yang diderita oleh konsumen terhadap tindakan pemalsuan kosmetik ini pada

level tertentu sangat membahayakan kesehatan bahkan mengancam kehidupan. Berdasarkan data

dari BPOM didapatkan sebanyak 70 merek kosmetik  mengandung bahan berbahaya seperti

merkuri setelah diadakan uji laboratorium sejak September 2008 hingga Mei 2009. Ketujuh

puluh produk di atas ditengarai bisa memicu penyakit gangguan syaraf, gangguan perkembangan

janin, serta penyakit kanker[2]. Berdasarkan  fakta  tersebut di atas maka sudah selayaknya jika

konsumen mendapatkan perlindungan keamanan atas setiap produk yang dikonsumsinya.

Dengan demikian,pembahasan mengenai perlindungan konsumen terhadap tindakan pemalsuan

kosmetik  ini menjadi sangat penting untuk dikaji.

 B. Rumusan masalah


Berdasarkan pada latar belakang masalah tersebut diatas,maka dapat ditarik beberapa rumusan

masalah sebgai berikut:

1.      Hal-hal apa sajakah yang menjadi karakteristik  dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999?

2.      Bagaimanakah UUPK memberikan perlindungan bagi konsumen yang menderita kerugian

sebagai akibat dari tindakan pemalsuan merek kosmetik       ( Ponds)?

BAB II
PEMBAHASAN
Pada intinya terdapat beberapa hal penting dan patut digarisbawahi di dalam ketentuan Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999. Adapun  beberapa hal yang kemudian  menjadi karakteristik

Undang-Udang ini adalah sebagai berikut:

1.      Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak mengatur dengan jelas mengenai macam dan

jenis barang yang dilindungi[3]. Ketentuan semacam ini dapat dipahami sebagai suatu bentuk

perwujudan dari semangat memberikan perlindungan bagi konsumen karena dengan tidak

dirincinya macam dan jenis barang yang dilindungi maka hal ini akan menguntungkan bagi

konsumen. Dikatakan menguntungkan bagi konsumen karena konsumen yang mengkonsumsi

barang jenis apapun tanpa terkecuali akan mendapatkan perlindungan yang sama dari Undang-

Undang ini.

2.      Undang-Undang Perlindungan Konsumen sangat menekankan pentingnya arti dari

‘konsumen’[4]. Penekanan terhadap arti konsumen dalam Undang-Undang ini sejalan dengan

semangat pembentukannya yang memang ditujukan untuk membentuk sebuah peraturan

perundang-undangan yang hendak memberikan perlindungan  kepada konsumen secara lebih

nyata. Semangat ini Nampak dalam penjelasan UUPK yang juga secara lebih jelas meberikan

penjelasan terhadap pengertian konsumen. Dengan demikian,semangat untuk memberikan

perlindungan bagi konsumen merupakan hal utama yang menjadi karakteristik dari perumusan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.

Sesuai dengan semangat perlindungan konsumen yang hendak diberikan oleh UUPK maka

permasalahan menyangkut kerugian yang diderita oleh konsumen menjadi hal yang paling

penting untuk dikaji. UUPK telah jelas memberikan perlindungan hukum bagi konsumen

tarhadap berbagai tindakan pelanggaran yang merugikan konsumen namun terhadap tindakan
pelanggran HAKI yang merugikan konsumen tidak dicover oleh UUPK melainkan dikembalikan

lagi pada Undang-Undang yang bersangkutan.

Sebagai contoh adalah kasus pemalsuan merek kosmetik ‘Ponds’.  Dalam TRIPs artikel 16

ditentukan bahwa.

The owner of a registered trademark shall have the exclusive right to prevent all third parties not having
the owner’s consent from using in the course of trade identical or similar signs for goods or services
which are identical or similar to those in respect of which the trademark is registered where such use
would result in a likelihood of confusion. In case of the use of an identical sign for identical goods or
services, a likelihood of confusion shall be presumed. The rights described above shall not prejudice any
existing prior rights, nor shall they affect the possibility of Members making rights available on the basis
of use.[5] Dengan  demikian, tindakan pemalsuan merek Pons jelas melanggra ketentuan HAKI dan lebih
lanjut tindakan ini pun menimbulkan kerugian bagi konsumen yang mengkonsumsi produk ponds palsu
ini.
Dalam kasus pemalsuan tersebut, apabila terbukti si pemalsu merugikan atau

membahayakan konsumen yang mengkonsumsi produk palsunya maka konsumen yang

bersangkutan tidak akan mendapatkan perlindungan hukum dari UUPK namun ia akan mendapat

perlindungan hukum secara tidak langsung dari Undang-Undang Merek yang melindungi si

pemegang merek. Dengan kata lain, UUPK mendelegasikan perlindungan konsumen terhadap

tindakan pelanggran HAKI yang merugikan konsumen kepada Undang-Undang HAKI yang

bersangkutan sehingga perlindungan yang didapatkan oleh konsumen yang dirugikan oleh

tindakan pemalsuan merek kosmetik ponds  berasal dari perlindungan yang diberikan oleh

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 kepada PT. Unilever selaku pemegang merek ‘Ponds’

terdaftar.

Pada kasus pemalsuan merek ponds sebagaimana tersebut di atas, konsumen yang

dirugikan tidak dapat mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pelaku usaha (dalam hal ini

PT.Unilever) karena ternyata produk yang merimbulkan kerugian tersebut bukanlah produk yang

diproduksi oleh PT. Unilever melainkan produk yang diproduksi oleh pelaku usaha lain yang

dengan sengaja memalsukan merek ponds. Dengan demikian,akan menjadisangat sulit apabila
penyelesaian kasus ini dilakukan dengan menggunakan UUPK. Oleh karena itu,pada masa

mendatang diharapkan revisi terhadap UUPK khususnya agar UUPK memberikan pengaturan

terhadap tindakan pelanggran HAKI yang merugikan konsumen karena seluruh Undang-Undang

tentang HAKIhanya memberikan perlindunan hukum bagi pemegang HAKI yang sebenarnya

namun tidak memberikan perlindngan hukum bagi konsumen.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Berdasarkan pada pembahasan sebagaimana tersebut diatas maka dapat ditari kesimpulan

sebagai berikut:

a.       Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen memiliki dua karakteristik

utama yaitu: tidak memberikan pengaturan yang jelas mengenai jenis dan macam barang yang

dilindungi sehingga ketentaun ini akan lebih menguntungkan pihak konsumen

b.      Undang_Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen hendak memberikan

perlindungan kepada konsumen dengan lebih baik. Indikasi dari hal tersebut terlihat dalam penjelasan

Undang-Undang ini yang memberikan pengertian’konsumen’ secara rinci.

c.       Undang-Undang Perlindungan konsumen mendelegasikan penyelesaian megenai hal-hal yang

menyangkut pelanggaran HAKI  yang menimbulkan kerugian bagi konsumen kepada UU HAKI ybs. Dalam

kasus pemalsuan merek Pons ini, konsumen yang dirigikan akan mendapatkan perlindungan hukum

secara tidak langsung dari Undanng-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek.

B.       Saran
Berdasarkan pada pembahasan dan analisis singkat mengenai permasalahan-permaslahan
tersebut di atas maka penyusun dapat memerikan saran sebagai berikut;
a.       Agar dikemudian hari UUPK dapat direvisi sehingga ketentuna mengenai pelanggaran HAKI
yang menimbulkan kerugian bagi konsumen dapat dicover  dalam UUPK sehingga hak-hak
konsumen untuk memperoleh keamanan dalam mengkonsumsi barang dan jasa benar-benar
terllindungi
b.       Agar aparat penegak hukum dapat lebih meningkatkan law enforcement terhadap ketentaun UUPK
agarkerugian yang diderita oleh konsumen dapat dikurangi.

You might also like