Professional Documents
Culture Documents
Jawaban :
Persamaan definisi Perjanjian Internasional menurut Komisi Hukum Internasional dengan
Perjanjian Internasional menurut Pasal 2 Konvensi Wina 1969.
a.Sama-sama mendefinisikan sebagai suatu bentuk Perjanjian Internasional yang menyatakan
melewati batas wilayah suatu negara.
b.Kedua definisi tersebut sama-sama menyebutkan bahwa semua perjanjian yang dibuat harus
dalam bentuk tertulis “...in written form...”.
c.Kedua definisi tersebut juga menyatakan bahwa “...whether embodied in a single instrument or
in two or more related instruments and whatever its particular designed...”, hal ini menyatakan
bahwa perjanjian internasional yang dibuat tidak memandang banyaknya instrument dan
bagaimana bentuk perjanjian itu (treaty, convention, protocol, covenants, charter, statute, act,
declaration, concordat, exchange of notes, agreed minute, memorandum of agreement, modus
vivendi or other appellation).
Dari pembahasan di atas dapat saya simpulkan bahwa sebenarnya kedua definisi tersebut
memiliki isi atau maksud yang sama. Hanya saja pada Konvensi Wina definisi dari Perjanjian
Internasional lebih dipersempit. Pelaku atau subyek hukum internasional yang bisa melakukan
perjanjian internasional dalam Konvensi Wina hanya negara saja, selain negara tidak disebutkan.
Sedangkan dalam Komisi Hukum Internasional subyek hukum internasional lainnya juga
disebutkan. Selain daripada itu kedua definisi tersebut memiliki arti dan bahkan format tulisan
yang sama.
Jika dikaitkan dengan Perjanjian Internasional menurut Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor
37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri Indonesia yang menyatakan bahwa :
“ Perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apapun, yang diatur oleh
Hukum Internasional dan dibuat secara tertulis oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan satu
atau lebih negara, organisasi internasional, atau subyek hukum internasional lainnya, serta
menimbulkan hak dan kewajiban pada Pemerintah RI yang bersifat hukum publik”.
Pertama terdapat pengkhususan yang dilakukan, subyek hukum yang melakukan perjanjian
internasional langsung disebutkan, yaitu Negara Republik Indonesia itu sendiri. Hal ini
dilakukan sebagai upaya penunjukan kedaulatan dari negara itu sendiri. Perjanjian Internasional
yang telah disepakati oleh Negara Indonesia, secara langsung akan menimbulkan hak serta
kewajiban yang memang telah disetujui, serta membentuk susatu hukum publik yang mengikat
secara nasional. Selain perbedaan ini isi, maksud serta format dari penulisan definisi Perjanjian
Internasional dengan dua definisi lainnya menurut Komisi Hukum Internasional dengan
Konvensi Wina sama. Mulai dari bentuk perjanjian yang disepakati bisa berbentuk apapun
(treaty, convention, protocol, covenants, charter, statute, act, declaration, concordat, exchange of
notes, agreed minute, memorandum of agreement, modus vivendi or other appellation),
perjanjian dibuat secara tertulis, perjanjian dapat dilakukan dengan Negara lain sebagai subyek
hukum internasional, maupun dengan subyek hukum internasional lainnya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa ketiga definisi ini tidak memiliki perbedaan yang signifikan, baik
isi atau makna, maupun format penulisan.
fErrY,,cAndY aDdicT,,,>[///]<
nabiLLa,,:
Nama : Nabilla Ulfa
Kelas / NIM : 06260010
Mata Kuliah : Hukum Internasional
Jawab :
Kaitan dengan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia dalam UU no. 37 tahun 1999
tentang Hubungan Luar Negeri. Dalam perundang-undangan ini definisi persetujuan
internasional langsung tertuju pada negara Indonesia sendiri, hal ini dilakukan sebagai upaya
politik indonesia yang bebas aktif. Di dalam perundang-undangan ini juga disebutkan bahwa
persetujuan yang dilakukan dan telah disetujui dapat menimbulkan hak dan kewajiban tertentu
pada masyarakat Indonesia khususnya. Selain perbedaan itu, tidak ada perbedaan lainnya, baik
isi atau maksud dari penjelasan mengenai Persetujuan Internasional sendiri. Mulai dari bentuk
perjanjian yang bisa bermacam-macam, bentuk perjanjian yang tertulis serta dilakukan oleh atau
antar negara.
Nina:
Assalamulekum.... gimana kbrnya disna bu...? baik-baik saja kan?!
???.......... :) Dalam menganalisis persamaan dan perbedaan pengertian Perjanjian Internasional,
saya perlu memaparkan sedikit pengertiannya.
Menurut Pasal 2 Konvensi Wina 1969, Perjanjian Internasional merupakan suatu persetujuan
yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional, apakah itu
dalam instrumen tunggal, dua atau lebih instrument yang berkaitan dan apapun nama yang
diberikan kepadanya (Pakta, Konvensi, Agreement, Protocol, Charter, dll.) Kemudian dalam
Pasal 1 dari konvensi Wina lebih membatasi diri dalam ruang lingkup berlakunya, hanya berlaku
untuk perjanjian antar negara, seperti dinyatakan “The present convention applies to treaties
between states”. Namun demikian konvensi menganggap perlu untuk mengatur perjanjian-
perjanjian yang diadakan oleh subyek-subyek hukum lainnya secara tersendiri, seperti perjanjian
antar negara dengan subyek hukum lain selain daripada negara, dan subyek hukum bukan negara
satu sama lain.
:) Kemudian dalam UU Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Internasional (Hubungan
Luar Negeri) dinyatakan bahwa Perjanjian Internasional merupakan Perjanjian dalam bentuk dan
sebutan apapun yang diatur oleh Hukum Internasional dan dibuat secara tertulis oleh
Pemerintahan Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi Internasional atau
subyek Hukum Internasional lainnya, serta menimbulkan Hak dan Kewajiban pada Pemerintahan
RI yang bersifat hukum publik. Sebagai tambahan saja, pada Bab III Pasal 15 memang telah
ditetapkan sebelumnya bahwa masalah Perjanjian Internasional akan diatur secara tersendiri
dalam suatu Undang-Undang. Mengingat akan pentingnya hal ini, maka pada 22 Mei 2000,
pemerintah Republik Indonesia memberi keterangan atas RUU tentang Pembuatan dan
Pengesahan Perjanjian Internasional dihadapan Pimpinan dan Anggota DPR yang dalam ruang
lingkupnya meliputi pengertian perjanjian internasional, kewenangan membuat perjannjian
internasional, tahap-tahap pembuatan perjanjian internasional, serta pengakhiran perjanjian
internasional.
:) Sedangkan menurut Komisi Hukum Internasional 1962 Perjanjian Internasional sama halnya
sebagaimana pengertian konvensi wina diatas, hanya saja pada konvensi wina lebih membatasi
diri dalam ruang lingkup berlakunya, hanya berlaku untuk perjanjian antar negara, sedangkan
tidak demikian dengan Komisi Hukum Internasional, karena ruang lingkup berlakunya lebih
luas. negara bukanlah satu-satunya subyek hukum. dalam hal ini negara bisa membuat perjanjian
dengan organisasi-organisasi internasional, dan subyek hukum lainnya.
:) dari pengertian tersebut kemudian saya dapat mengambil kesimpulan, adapun persamaan dari
ketiga ketegori pengertian perjanjian internasional tersebut adalah sama-sama melibatkan
Subyek Hukum Internasional yang berupa satu atau lebih negara, organisasi-organisasi
internasional, atau lainnya yang dibuat dan disusun secara tertulis dan diatur oleh Hukum
Internasional.
Namun, perbedaan pengertian perjanjian Internasional disini menurut saya memiliki prosentase
yang kecil, dalam UU Nomor 37 Tahun 1999, dijelaskan bahwa perjanjian Internasional ini akan
menimbulkan Hak dan Kewajiban bagi pihak-pihak yang bersangkutan, dalam hal ini Pemerintah
Republik Indonesia yang bersifat Hukum Publik, sedangkan dalam Konvensi Wina 1969 hal
tersebut tidak dijelaskan dan lebih membatasi diri dalam ruang lingkup berlakunya, hanya
berlaku untuk perjanjian antar negara.
Nina:
maaf Bu, jawaban saya tadi sedikit ngawur. soalnya tadi saya belum lihat page pertanyaannya :'(
:) dari penjelasan ibu tersebut kemudian saya dapat mengambil kesimpulan, adapun persamaan
dari ketiga ketegori pengertian perjanjian internasional tersebut adalah sama-sama melibatkan
Subyek Hukum Internasional yang berupa satu atau lebih negara, organisasi-organisasi
internasional, atau lainnya yang dibuat dan disusun secara tertulis dan diatur oleh Hukum
Internasional.
:) Sedangkan menurut Komisi Hukum Internasional 1962 Perjanjian Internasional sama halnya
sebagaimana pengertian konvensi wina diatas, hanya saja pada konvensi wina lebih membatasi
diri dalam ruang lingkup berlakunya, hanya berlaku untuk perjanjian antar negara, sedangkan
tidak demikian dengan Komisi Hukum Internasional, karena ruang lingkup berlakunya lebih
luas. negara bukanlah satu-satunya subyek hukum. dalam hal ini negara bisa membuat perjanjian
dengan organisasi-organisasi internasional, dan subyek hukum lainnya.
Namun, perbedaan pengertian perjanjian Internasional disini menurut saya memiliki prosentase
yang kecil, dalam UU Nomor 37 Tahun 1999, dijelaskan bahwa perjanjian Internasional ini akan
menimbulkan Hak dan Kewajiban bagi pihak-pihak yang bersangkutan, dalam hal ini Pemerintah
Republik Indonesia yang bersifat Hukum Publik, sedangkan dalam Konvensi Wina 1969 hal
tersebut tidak dijelaskan dan lebih membatasi diri dalam ruang lingkup berlakunya, hanya
berlaku untuk perjanjian antar negara.
jadi, seperti itu analisis saya. maaf tadi saya pake jelasin pengertiannya lagi. :) ;D
terima kasih.... ;)
Barnaba:
Analisis persamaan dan perbedaan perngertian tentang perjanjian internasional menurut konvensi
wina tahun 1969 dangan undang-undang no 37 tentang perjanjian internasional tahun 1999
Konvensi wina ,yang disebut dengan vienna convention on the law of treaties 1969
Mengatur tentang perjanjian internasonal publick antar Negara sebagai subjek utama hukum
internasional. Sebagai induk dari perjanjian internasional, konvensi wina berisi tentang, baik
secara teknis maupun subtansi anatara lain mengatur tentang tanda sebuah Negara menyatakan
mengikatkan diri kepada suatu treaty , entry into force dari suatu treaty, hubungan undang-
undangdomestik dan treaty, aturan umum untuk memberi interpretasi dari suatu treaty dll. Atao
dengan kata lain konvensi wina ialah suatu pernyatan oleh suatu ngara untuk menanda tangani,
merativikasi, dan melaksanakan isi dari konvensi perjanjian internasional.
Menurut undang- undang no 37 tahun 1999 tentang perjanjian internasional menyatakan : suatu
persetujuan antar Negara yang menimbulkan hak dan kewajiban pemerintah antar Negara yang
mengadakan perjanjian mengenai suatu objek tertentu yang dirumuskan secara tertulis yang
bersifat hukum publik.
Melihat dari definisi diatas diperoleh persamaan bahawa : keduanya sama-sama menjadikan
Negara sebagai subjek hukum internasional, dan apabila sudah diratifikasi maka perjanjian
internasional tersebut bersifat mengikat dan harus dijalankan menurut isi perjanjian.
Sedangkan perbedaan dari perjanjian internasional menurut undang-undang no 37 tahun 1999
dengan konvensi wina ialah: konvensi wina merupakan perjanjian yang biasa mengatur individu
dalam suatu Negara, misalnya mengatur tentang hak-hak azasi manusia.
Perjanjian Internasional
Author: admin
20 Mar
Kerjasama internasional secara hukum diwujudkan dalam bentuk perjanjian internasional, yaitu
negara-negara dalam melaksanakan hubungan atau kerjasamanya membuat perjanjian
internasional. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, disimpulkan bahwa perjanjian
internasional adalah perjanjian yang dilakukan oleh subjek-subjek hukum internasional dan
mempunyai tujuan untuk melahirkan akibat-akibat hukum tertentu.
Perjanjian antarbangsa atau yang sering disebut sebagai perjanjian internasional merupakan
persetujuan internasional yang diatur oleh hubungan internasional serta ditandatangani dalam
bentuk tertulis. Contoh perjanjian internasional diantaranya adalah antarnegara atau lebih,
antarorganisasi internasional atau lebih, dan antarorganisasi internasional.
Perjanjian internasional pada hakekatnya merupakan suatu tujuan atau agreement. Bentuk
perjanjian internasional yang dilakuka antarbangsa maupun antarorganisasi internasional ini
tidak harus berbentuk tertulis. Dalam perjanjian internasional ini ada hukum yang mengatur
perjanjian tersebut. Dalam perjanjian internasional terdapat istilah subjek dan obyek. Yang
dimaksud subjek perjanjian internasional adalah semua subjek hukum internasional, terutama
negara dan organisasi internasional. Sedangkan yang dimaksud dengan obyek hukum
internasional adalah semua kepentingan yang menyangkut kehidupan masyarakat internasional,
terutama kepentingan ekonomi, sosial, politik, dan budaya.
3. Berdasarkan Subjeknya
a)Perjanjian antarnegara yang dilakukan oleh banyak negara yang merupakan subjek hukum
internasional.
b)Perjanjian internasional antara negara dan subjek hukum internasional lainnya.
c)Perjanjian antarsesama subjek hukum internasional selain negara, yaitu organisasi internasional
organisasi internasional lainnya.
Contoh :
- Perjanjian antar organisasi internasional Tahta suci (Vatikan) dengan organisasi MEE.
- Kerjasama ASEAN dan MEE.
5. Berdasarkan Fungsinya
a). Law Making Treaties / perjanjian yang membentuk hukum, adalah suatu perjanjian yang
meletakkan ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah hukum bagi masyarakat internasional secara
keseluruhan (bersifat multilateral).
b). Treaty contract / perjanjian yang bersifat khusus, adalah perjanjian yang menimbulkan hak
dan kewajiban, yang hanya mengikat bagi negara-negara yang mengadakan perjanjian saja
(perjanjian bilateral).
Contoh :
Perjanjian Indonesia dan RRC tentang dwikewarganegaraan, akibat-akibat yang timbul dalam
perjanjian tersebut hanya mengikat dua negara saja yaitu Indonesia dan RRC.
Perjanjian internasional menjadi hukum terpenting bagi hukum internasional positif, karena lebih
menjamin kepastian hukum. Di dalam perjanjian internasional diatur juga hal-hal yang
menyangkut hak dan kewajiban antara subjek-subjek hukum internasional (antarnegara).
Kedudukan perjanjian internasional dianggap sangat penting karena ada beberapa alasan,
diantaranya sebagai berikut :
1. Perjanjian internasional lebih menjamin kepastian hukum, sebab perjanjian internasional
diadakan secara tertulis.
2. Perjanjian internasional mengatur masalah-masalah kepentingan bersama diantara para subjek
hukum internasional.
Indonesia menganut sistem ratifikasi campuran, yaitu ada peran lembaga eksekutif dan legislatif
dalam meratifikasi perjanjian internasional. Dalam UU RI No. 24 Tahun 2000 tentang perjanjian
internasional, ratifikasi atau pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-
undang atau keputusan Presiden. Di Indonesia ratifikasi dengan undang-undang harus terdapat
persetujuan Presiden dan DPR secara bersama-sama terhadap perjanjian internasional. Ratifikasi
dengan keputusan Presiden hanya mengisyaratkan adanya persetujuan Presiden terhadap
perjanjian tersebut. Dasar hukum sistem ratifikasi di Indonesia, terdapat dalam undang-undang
Dasar 1945 yaitu pasal 11 ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945.
Perjanjian internasional yang dapat diratifikasi dengan keputusan Presiden, diantaranya yaitu
perjanjian induk yang berkaitan dengan kerjasama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi,
ekonomi dan teknik perdagangan, kebudayaan, pelayaran niaga, serta penghindaran pajak
berganda dan kerjasama perlindungan penanaman modal.
fenomena yang penting dan menarik untuk dikaji. Hukum perlindungan konsumen yang berakar dari
gerakan konsumen Amerika Serikat kemudian merambah hampir ke seluruh dunia tak terkecuali
Indonesia. Regulasi bidang perlindungan konsumen di negeri ini dapat dikatakan masih relatif muda.
awal dari kebangkitan “consumer power”di Indonesia. Dengan kata lain kehadiran UU.No.8 Tahun 1999
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan konsumen yang lebih dikenal
sebagian kalangan. UUPK memberikan pengaturan cukup baik mulai dari pengertian
konsumen,pelaku usaha,hak dan kewajiban hingga sanksi terhadap berbagai bentuk pelanggaran.
Namun demikian, bukan berarti ketentuan UUPK telah sempurna. UUPK memang cukup
pelaku usaha namun terkait dengan beberapa hal yang menimbulkan kerugian bagi konsumen
UUPK belum memberikan pengaturan yang jelas. Salah satunya adalah mengenai pelanggaran
terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual. Tindakan pelanggran HAKI yang menimbulkan
kerugian bagi konsumen seharusnya menjadi salah satu materi muatan dalam UUPK karena
pada kenyataannya jumlah tindak pelanggaran HAKI yang merugikan konsumen sangat banyak
terjadi.
Salah satu contoh kasus menarik dan patut untuk dikaji adalah pemalsuan kosmetik merek
‘Ponds’. Kerugian yang diderita oleh konsumen terhadap tindakan pemalsuan kosmetik ini pada
level tertentu sangat membahayakan kesehatan bahkan mengancam kehidupan. Berdasarkan data
dari BPOM didapatkan sebanyak 70 merek kosmetik mengandung bahan berbahaya seperti
merkuri setelah diadakan uji laboratorium sejak September 2008 hingga Mei 2009. Ketujuh
puluh produk di atas ditengarai bisa memicu penyakit gangguan syaraf, gangguan perkembangan
janin, serta penyakit kanker[2]. Berdasarkan fakta tersebut di atas maka sudah selayaknya jika
1. Hal-hal apa sajakah yang menjadi karakteristik dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999?
2. Bagaimanakah UUPK memberikan perlindungan bagi konsumen yang menderita kerugian
BAB II
PEMBAHASAN
Pada intinya terdapat beberapa hal penting dan patut digarisbawahi di dalam ketentuan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999. Adapun beberapa hal yang kemudian menjadi karakteristik
1. Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak mengatur dengan jelas mengenai macam dan
jenis barang yang dilindungi[3]. Ketentuan semacam ini dapat dipahami sebagai suatu bentuk
perwujudan dari semangat memberikan perlindungan bagi konsumen karena dengan tidak
dirincinya macam dan jenis barang yang dilindungi maka hal ini akan menguntungkan bagi
barang jenis apapun tanpa terkecuali akan mendapatkan perlindungan yang sama dari Undang-
Undang ini.
‘konsumen’[4]. Penekanan terhadap arti konsumen dalam Undang-Undang ini sejalan dengan
nyata. Semangat ini Nampak dalam penjelasan UUPK yang juga secara lebih jelas meberikan
perlindungan bagi konsumen merupakan hal utama yang menjadi karakteristik dari perumusan
Sesuai dengan semangat perlindungan konsumen yang hendak diberikan oleh UUPK maka
permasalahan menyangkut kerugian yang diderita oleh konsumen menjadi hal yang paling
penting untuk dikaji. UUPK telah jelas memberikan perlindungan hukum bagi konsumen
tarhadap berbagai tindakan pelanggaran yang merugikan konsumen namun terhadap tindakan
pelanggran HAKI yang merugikan konsumen tidak dicover oleh UUPK melainkan dikembalikan
Sebagai contoh adalah kasus pemalsuan merek kosmetik ‘Ponds’. Dalam TRIPs artikel 16
ditentukan bahwa.
The owner of a registered trademark shall have the exclusive right to prevent all third parties not having
the owner’s consent from using in the course of trade identical or similar signs for goods or services
which are identical or similar to those in respect of which the trademark is registered where such use
would result in a likelihood of confusion. In case of the use of an identical sign for identical goods or
services, a likelihood of confusion shall be presumed. The rights described above shall not prejudice any
existing prior rights, nor shall they affect the possibility of Members making rights available on the basis
of use.[5] Dengan demikian, tindakan pemalsuan merek Pons jelas melanggra ketentuan HAKI dan lebih
lanjut tindakan ini pun menimbulkan kerugian bagi konsumen yang mengkonsumsi produk ponds palsu
ini.
Dalam kasus pemalsuan tersebut, apabila terbukti si pemalsu merugikan atau
bersangkutan tidak akan mendapatkan perlindungan hukum dari UUPK namun ia akan mendapat
perlindungan hukum secara tidak langsung dari Undang-Undang Merek yang melindungi si
pemegang merek. Dengan kata lain, UUPK mendelegasikan perlindungan konsumen terhadap
tindakan pelanggran HAKI yang merugikan konsumen kepada Undang-Undang HAKI yang
bersangkutan sehingga perlindungan yang didapatkan oleh konsumen yang dirugikan oleh
tindakan pemalsuan merek kosmetik ponds berasal dari perlindungan yang diberikan oleh
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 kepada PT. Unilever selaku pemegang merek ‘Ponds’
terdaftar.
Pada kasus pemalsuan merek ponds sebagaimana tersebut di atas, konsumen yang
dirugikan tidak dapat mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pelaku usaha (dalam hal ini
PT.Unilever) karena ternyata produk yang merimbulkan kerugian tersebut bukanlah produk yang
diproduksi oleh PT. Unilever melainkan produk yang diproduksi oleh pelaku usaha lain yang
dengan sengaja memalsukan merek ponds. Dengan demikian,akan menjadisangat sulit apabila
penyelesaian kasus ini dilakukan dengan menggunakan UUPK. Oleh karena itu,pada masa
mendatang diharapkan revisi terhadap UUPK khususnya agar UUPK memberikan pengaturan
terhadap tindakan pelanggran HAKI yang merugikan konsumen karena seluruh Undang-Undang
tentang HAKIhanya memberikan perlindunan hukum bagi pemegang HAKI yang sebenarnya
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pada pembahasan sebagaimana tersebut diatas maka dapat ditari kesimpulan
sebagai berikut:
a. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen memiliki dua karakteristik
utama yaitu: tidak memberikan pengaturan yang jelas mengenai jenis dan macam barang yang
b. Undang_Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen hendak memberikan
perlindungan kepada konsumen dengan lebih baik. Indikasi dari hal tersebut terlihat dalam penjelasan
menyangkut pelanggaran HAKI yang menimbulkan kerugian bagi konsumen kepada UU HAKI ybs. Dalam
kasus pemalsuan merek Pons ini, konsumen yang dirigikan akan mendapatkan perlindungan hukum
secara tidak langsung dari Undanng-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek.
B. Saran
Berdasarkan pada pembahasan dan analisis singkat mengenai permasalahan-permaslahan
tersebut di atas maka penyusun dapat memerikan saran sebagai berikut;
a. Agar dikemudian hari UUPK dapat direvisi sehingga ketentuna mengenai pelanggaran HAKI
yang menimbulkan kerugian bagi konsumen dapat dicover dalam UUPK sehingga hak-hak
konsumen untuk memperoleh keamanan dalam mengkonsumsi barang dan jasa benar-benar
terllindungi
b. Agar aparat penegak hukum dapat lebih meningkatkan law enforcement terhadap ketentaun UUPK
agarkerugian yang diderita oleh konsumen dapat dikurangi.