You are on page 1of 20

PENGEMBANGAN MASYARAKAT MULTIKULTURAL MELALUI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Oleh Di

kdik Baehaqi Arif


Abstrak
Tulisan ini mengkaji tentang pengembangan masyarakat multikultural yang dewasa i
ni menjadi kebutuhan bagi bangsa Indonesia yang majemuk (pluralitas) dan beranek
aragam (heterogenitas), sebab multikultural pada dasarnya menekankan pada kesede
rajatan kebudayaan yang ada dalam sebuah masyarakat, dan mengusung semangat untu
k hidup berdampingan secara damai (peaceful coexistence) dalam perbedaan kultur
yang ada baik secara individual maupun secara kelompok dan masyarakat. Pembentuk
an masyarakat multikultural Indonesia yang sehat tidak bisa secara taken for gra
nted atau trial and error, sebaliknya harus diupayakan secara sistematis, progra
matis, integrated dan berkesinambungan melalui pendidikan multikultural, yaitu p
endidikan untuk atau tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demo
grafis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara kese
luruhan. Dalam hal ini, pendidikan kewarganegaraan memiliki peranan penting seba
gai pendidikan multikultural sebab pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk
membentuk peserta didik menjadi manusia yang dapat hidup berdampingan secara dam
ai dalam keanekaragaman budaya.
A. Pendahuluan Negara bangsa Indonesia terdiri atas sejumlah besar kelompok-kelo
mpok etnis, budaya, agama dan lain-lain. Hefner (2007:16) mengilustrasikan Indon
esia sebagaimana juga Malaysia dan Singapura memiliki warisan dan tantangan plur
alisme budaya (cultural pluralism) secara lebih mencolok, sehingga dipandang seb
agai lokus klasik bagi bentukan baru masyarakat majemuk (plural society). Kemaje
mukan masyarakat Indonesia paling tidak dapat dilihat dari dua cirinya yang unik
, pertama secara horizontal, ia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan
sosial berdasarkan perbedaan suku bangsa, agama, adat, serta perbedaan kedaerah
an, dan kedua secara vertikal ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan vertikal
antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam (Nasikun, 2007:33). Kondi
si di atas tergambar dalam prinsip bhinneka
1
2
tunggal ika, yang berarti meskipun Indonesia adalah berbhinneka, tetapi terinteg
rasi dalam kesatuan. Namun demikian, pengalaman Indonesia sejak masa awal kemerd
ekaan, khususnya pada masa demokrasi terpimpin Presiden Soekarno dan masa Orde B
aru Presiden Soeharto memperlihatkan kecenderungan kuat pada politik monokultura
lisme (Azra, 2006:152). Lebih lanjut Azra (2006:152)
mengemukakan bahwa dalam politik ini, yang diberlakukan bukannya penghormatan te
rhadap keragaman (kebhinnekaan, atau multikulturalisme), tetapi sebaliknya adala
h keseragaman (monokulturalisme) atas nama stabilitas untuk pembangunan. Berakhi
rnya sentralisasi Orde Baru yang memaksakan monokulturalisme, pada gilirannya te
lah memunculkan kesadaran akan pentingnya memahami kembali kebhinnekaan, multiku
lturalisme Indonesia. Di samping itu, wacana multikulturalisme Indonesia yang se
makin mendapat tempat dalam masyarakat Indonesia disebabkan oleh beberapa kondis
i (Saifuddin, 2006:137), pertama, desentralisasi mendorong ditingkatkannya batas
-batas identitas kebudayaan di Indonesia, baik identitas etnik, agama maupun gol
ongan. Integrasi sosial dan nasional mendapat tantangan besar dari perubahan yan
g terjadi. Kedua, desentralisasi politik masa kini sangat kurang memperhatikan d
imensi kebudayaan. Keputusan untuk melaksanakan desentralisasi lebih pada keputu
san politik oleh para elit politik partai ketimbang mempertimbangkan dimensi keb
udayaan yang sesungguhnya sangat mendasar dan penting. Ketiga, ketika batas-bata
s kebudayaan itu semakin nyata dan tajam, dan orientasi primordialisme mulai mem
icu konflik yang tajam antar etnik, agama, dan golongan, dan gejala ini dikuatir
kan mengancam integrasi bangsa, para elit politik tergesa-gesa mencari obat pena
warnya, mencari strategi untuk membangun kembali integrasi bangsa dan kebudayaan
mulai diperhatikan. Sekaitan dengan beberapa kondisi di atas, bangunan Indonesi
a Baru dari hasil reformasi adalah sebuah masyarakat multikultural Indonesia . B
erbeda
dengan masyarakat majemuk yang menunjukkan keanekaragaman suku bangsa
3
dan kebudayaan suku bangsa, multikulturalisme dikembangkan dari konsep pluralism
e budaya dengan menekankan pada kesederajatan kebudayaan yang ada dalam sebuah m
asyarakat (Suparlan, 2005:98). Multikulturalisme ini mengusung semangat untuk hi
dup berdampingan secara damai (peaceful coexistence) dalam perbedaan kultur yang
ada baik secara individual maupun secara kelompok dan masyarakat (Azra, 2006:15
4, Suparlan 2005). Individu dalam hal ini dilihat sebagai refleksi dari kesatuan
sosial dan budaya di mana mereka menjadi bagian darinya. Dengan demikian, corak
masyarakat Indonesia yang bhinneka tunggal ika bukan lagi keanekaragaman suku b
angsa dan kebudayaannya tetapi keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarak
at Indonesia. Istilah multikulturalisme menurut Parekh (1997:2001) sebagaimana d
ikemukakan oleh Saifuddin (2006:139) mencakup sedikitnya tiga unsur, yaitu (1) t
erkait dengan kebudayaan, (2) merujuk kepada pluralitas kebudayaan, dan (3) cara
tertentu untuk merespon pluralitas tersebut. Dengan demikian, maka multikultura
lisme adalah cara pandang kebudayaan yang diwujudkan secara konkret dalam kehidu
pa yang nyata. Sekaitan dengan pendapat di atas, Lawrence A Blum, seorang profes
or filsafat di University of Massachusetts di Amherst menawarkan definisi multik
ulturalisme sebagai berikut:
Multikulturalisme meliputi sebuah pemahaman, penghargaan dan penilaian atas buda
ya seseorang, serta sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis o
rang lain. Ia meliputi sebuah penilaian terhadap budaya-budaya orang lain, bukan
dalam arti menyetujui seluruh aspek dari budaya-budaya tersebut, melainkan menc
oba melihat bagaimana sebuah budaya yang asli dapat mengekspresikan nilai bagi a
nggota-anggotanya sendiri. (Blum, 2001:16)
Tuntutan pengembangan masyarakat multikultural tidak dapat dilepaskan dari kebut
uhan warganegara. Memasuki abad ke-21, warganegara suatu bangsa dihadapkan pada
berbagai perubahan dan ketidakpastian seiring dengan perkembangan konstelasi keh
idupan dalam berbagai aspek, baik aspek politik, sosial, ekonomi, pendidikan, ke
budayaan, dan sebagainya. Dalam kehidupan ini, perubahan merupakan suatu kanisca
yaan karena tidak ada yang tetap keculai perubahan itu sendiri. Perubahan merupa
kan bagian yang melekat dalam
4
kehidupan manusia dan terjadi secara terus menerus. Dalam dimensi manusia, perub
ahan yang terjadi menyangkut perubahan yang berkaitan erat langsung atau tak lan
gsung dengan pemikiran, sikap, dan tindakan manusia dalam lingkup global, member
i konteks terhadap pemikiran, sikap dan tindakan manusia. Dalam konteks Indonesi
a, bangsa Indonesia sedang mengalami proses perubahan yang sangat mendasar dan b
erarti dalam setiap pranata kehidupan berbangsa dan bernegara. Terjadinya peruba
han ini karena secara politik, bangsa Indonesia berada pada pasca politik Orde B
aru dan tengah memasuki era baru yang dikenal dengan era reformasi. Indikator me
ndasar pada era ini menunjukkan adanya kesepakatan tentang perlunya perubahan (a
mandemen) terhadap UUD 1945 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik I
ndonesia pada tahun 1999. Perubahan dalam sistem kenegaraan ini telah dan tentu
akan membawa perubahan dalam berbagai tatanan kehidupan politik di Indonesia. Se
cara teoritis, dampak perubahan mendasar dalam kehidupan bernegara mengakibatkan
terjadinya perubahan dalam berbagai aspek kehidupan. Cita-cita reformasi pada d
asarnya adalah untuk membangun Indonesia baru, sebuah masyarakat demokratis, ada
nya dan ditegakannya hukum untuk supremasi hukum, pemerintahan yang bersih dari
KKN, terwujudnya keteraturan sosial dan rasa aman dalam masyarakat yang menjamin
kelancaran produktivitas warga masyarkat dan kehidupan ekonomi yang mensejahter
akan rakyat Indonesia. Multikulturalisme adalah landasan budaya yang terkait den
gan pencapaian civility (keadaban), yang amat esensial bagi terwujudnya demokras
i yang berkeadaban, dan keadaban yang demokratis (Azra, 2004). Laporan UNDP 2004
menyatakan, berbagai studi kasus dan analisis menunjukkan, demokrasi yang berta
han dan berkelanjutan umumnya terdapat di negara-negara yang memiliki pandangan
multikultural dan kemudian menerapkan multikulturalisme dalam berbagai kebijakan
. Kebijakan-kebijakan responsif dan afirmatif sebagai bentuk ''politics of recog
nition'' yang menjadi dasar multikulturalisme memberikan insentif dalam penumbuh
an dan penguatan perasaan ''kesatuan dalam keragaman'' (Hefner, 2007;
5
Azra, 2006). Lebih jauh, dalam kerangka itu, seluruh warganegara dapat menemukan
ruang politik dan institusional untuk mengidentifikasi diri mereka dengan negar
a-bangsa mereka sekaligus dengan identitas-identitas kultural lainnya. Semua ini
mendorong tumbuhnya ''trust'' secara bersama-sama dalam diri warganegara, sehin
gga memperkuat partisipasi mereka dalam proses-proses politik demokratis. Semua
ini merupakan faktor-faktor kunci dalam konsolidasi dan pendalaman demokrasi seh
ingga negara-bangsa mampu bertahan dan
berkelanjutan. Yang tidak kurang pentingnya dalam membangun demokrasi multikultu
ral adalah pengakuan atas kekurangan dan kelemahan yang pernah terjadi dalam upa
ya-upaya penguatan nation-building, seperti misalnya
monokulturalisme. Kesalahan dan kelemahan itu pada gilirannya justru menjadi das
ar dan justifikasi untuk membangun demokrasi multikultural yang dapat merupakan
solusi efektif bagi penciptaan stabilitas politik dan harmoni sosial. Terkait de
ngan pengembangan masyarakat dan demokrasi multikultural di atas, peran penting
pendidikan menjadi tak terelakan. Dalam pandangan Azra (2006:153) pembentukan ma
syarakat multikultural Indonesia yang sehat tidak bisa secara taken for granted
atau trial and error. Sebaliknya harus diupayakan secara sistematis, programatis
, integrated dan berkesinambungan. Salah satu strategi penting itu adalah pendid
ikan multikultural yang diselenggarakan melalui seluruh lembaga pendidikan, baik
formal maupun nonformal, dan bahkan informal di masyarakat. Secara sederhana, p
endidikan multikultural didefinisikan Azra (2006:157) sebagai pendidikan untuk/a
tau tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultur
al lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan. Makalah
ini membahas dua hal pokok sekaitan dengan pengembangan masyarakat multikultural
, yaitu konsep pendidikan multikultural, yang meliputi latar belakang kemunculan
pendidikan multikultural, definisi pendidikan multikultural, dan tujuan pendidi
kan multikultural; dan kedua, peran pendidikan kewarganegaraan sebagai pendidika
n multikultural, yang meliputi pengertian dan
6
tujuan pendidikan kewarganegaraan, dan pendidikan kewarganegaraan sebagai basis
pendidikan multikultural.
B. Pendidikan Multikultural Sebagai sebuah ide, pendidikan multikultural dibahas
dan diwacanakan pertama kali di Amerika dan negara-negara Eropa Barat pada tahu
n 1960-an oleh gerakan yang menuntut diperhatikannya hak-hak sipil (civil right
movement). Tujuan utama dari gerakan ini adalah untuk mengurangi praktik driskri
minasi di tempat-tempat publik, di rumah, di tempat-tempat kerja, dan di lembaga
-lembaga pendidikan, yang dilakukan oleh kelompok mayoritas terhadap kelompok mi
noritas. Selama itu, di Amerika dan negara-negara Eropa Barat hanya dikenal adan
ya satu kebudayaan, yaitu kebudayaan kulit putih yang Kristen. Golongangolongan
lainnya yang ada dalam masyarakat-masyarakat tersebut dikelompokkan sebagai mino
ritas dengan pembatasan hak-hak mereka (Pardi Suparlan, 2002:2-3). Gerakan hak-h
ak sipil ini, menurut James A. Bank (1989: 4-5), berimplikasi pada dunia pendidi
kan, dengan munculnya beberapa tuntutan untuk melakukan reformasi kurikulum pend
idikan yang sarat dengan diskriminasi. Pada awal tahun 1970-an muncullah sejumla
h kursus dan program pendidikan yang menekankan pada aspek-aspek yang berhubunga
n dengan etnik dan keragaman budaya (cultural diversity). Alasan lain yang melat
arbelakangi adanya pendidikan multikultural adalah keberadaan masyarakat dengan
individu-individu yang beragam latar belakang bahasa dan kebangsaan (nationality
), suku (race or etnicity), agama (religion), gender, dan kelas sosial (social c
lass). Keragaman latar belakang individu dalam masyarakat tersebut berimplikasi
pada keragaman latar belakang peserta didik dalam suatu lembaga pendidikan (Bank
, 1989: 14). Dalam konteks Indonesia, peserta didik di berbagai lembaga pendidik
an diasumsikan juga terdiri dari peserta didik yang memiliki beragam latar belak
ang agama, etnik, bahasa, dan budaya. Asumsi ini dibangun berdasarkan pada data
bahwa di Indonesia terdapat 250 kelompok suku, 250 lebih bahasa lokal (lingua fr
ancka), 13.000 pulau, dan 5
7
agama resmi (Leo Suryadinata, dkk., 2003: 30, 71, 104, dan 179). Paling tidak ke
ragaman latar belakang siswa di lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia terdapat
pada paham keagamaan, afiliasi politik, tingkat sosial ekonomi, adat istiadat,
jenis kelamin, dan asal daerahnya (perkotaan atau pedesaan). Hal lain yang melat
arbelakangi adanya pendidikan multikultural adalah adanya tiga teori sosial yang
dapat menjelaskan hubungan antar individu dalam masyarakat dengan beragam latar
belakang agama, etnik, bahasa, dan budaya. Menurut Ricardo L. Garcia (1982: 37-
42) ketiga teori sosial tersebut adalah: (1) Melting Pot I: Anglo Conformity, (2
) Melting Pot II: Ethnic Synthesis, dan (3) Cultural Pluralism: Mosaic Analogy.
Ketiga teori tersebut populer dengan sebutan teori masyarakat majmuk (communal t
heory). Teori pertama, Melting Pot I: Anglo Conformity, berpandangan bahwa masya
rakat yang terdiri dari individu-individu yang beragam latar belakang seperti ag
ama, etnik, bahasa, dan budaya harus disatukan ke dalam satu wadah yang paling d
ominan. Teori ini melihat individu dalam masyarakat secara hirarkis, yaitu kelom
pok mayoritas dan minoritas. Bila mayoritas individu dalam suatu masyarakat adal
ah pemeluk agama Islam, maka individu lain yang memeluk agama non-Islam harus me
lebur ke dalam Islam. Bila yang mendominasi suatu masyarakat adalah individu yan
g beretnik Jawa, maka individu lain yang beretnik non-Jawa harus mencair ke dala
m etnik Jawa, dan demikian seterusnya. Teori ini hanya memberikan peluang kepada
kelompok mayoritas untuk menunjukkan identitasnya. Sebaliknya, kelompok minorit
as sama sekali tidak memperoleh hak untuk mengekspresikan identitasnya. Identita
s di sini bisa berupa agama, etnik, bahasa, dan budaya. Teori ini tampak sangat
tidak demokratis. Karena teori pertama tidak demokratis, maka muncullah teori ke
dua, yaitu Melting Pot II: Ethnic Synthesis. Teori yang dipopulerkan oleh Israel
Zangwill ini memandang bahwa individu-individu dalam suatu masyarakat yang bera
gam latar belakangnya, disatukan ke dalam satu wadah, dan selanjutnya membentuk
wadah baru, dengan memasukkan sebagian unsur budaya yang dimiliki oleh masingmas
ing individu dalam masyarakat tersebut. Identitas agama, etnik, bahasa, dan
8
budaya asli para anggotanya melebur menjadi identitas yang baru, sehingga identi
tas lamanya menjadi hilang. Bila dalam suatu masyarakat terdapat individuindivid
u yang beretnik Jawa, Sunda, dan Batak, misalnya, maka identitas asli dari ketig
a etnik tersebut menjadi hilang, selanjutnya membentuk identitas baru. Islam Jaw
a di kraton dan masyarakat sekitarnya yang merupakan perpaduan antara nilainilai
Islam dan nilai-nilai kejawen adalah salah satu contohnya. Teori ini belum sepe
nuhnya demokratis, karena hanya mengambil sebagian unsur budaya asli individu da
lam masyarakat, dan membuang sebagian unsur budaya yang lain. Mengingat teori ke
dua belum sepenuhnya demokratis, maka muncullah teori ketiga, yaitu Cultural Plu
ralism: Mosaic Analogy. Teori yang dikembangkan oleh Berkson ini berpandangan ba
hwa masyarakat yang terdiri dari individuindividu yang beragam latar belakang ag
ama, etnik, bahasa, dan budaya, memiliki hak untuk mengekspresikan identitas bud
ayanya secara demokratis. Teori ini sama sekali tidak meminggirkan identitas bud
aya tertentu, termasuk identitas budaya kelompok minoritas sekalipun. Bila dalam
suatu masyarakat terdapat individu pemeluk agama Islam, Katholik, Protestan, Hi
ndu, Budha, dan Konghucu, maka semua pemeluk agama diberi peluang untuk mengeksp
resikan identitas keagamaannya masing-masing. Bila individu dalam suatu masyarak
at berlatar belakang budaya Jawa, Madura, Betawi, dan Ambon, misalnya, maka masi
ng-masing individu berhak menunjukkan identitas budayanya, bahkan diizinkan untu
k mengembangkannya. Masyarakat yang menganut teori ini, terdiri dari individu ya
ng sangat pluralistik, sehingga masingmasing identitas individu dan kelompok dap
at hidup dan membentuk mosaik yang indah. Dari ketiga teori komunal di atas, teo
ri ketigalah yang dijadikan dasar oleh pendidikan multikultural, yaitu teori Cul
tural Pluralism: Mosaic Analogy. Untuk konteks Indoneisa, teori ini sejalan deng
an semboyan negara Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika. Secara normatif, semboyan te
rsebut memberi peluang kepada semua bangsa Indonesia untuk mengekspresikan ident
itas bahasa, etnik, budaya, dan agama masing-masing, dan bahkan diizinkan untuk
mengembangkannya.
9
Tentang definisi pendidikan multikultural ada baiknya dikutip Lawrence J. Saha.
Menurutnya, pendidikan multikultural dapat dipahami sebagai proses atau strategi
pendidikan yang melibatkan lebih dari satu budaya, yang ditunjukkan melalui keb
angsaan, bahasa, etnik, atau kriteria rasial. Pendidikan multikultural dapat ber
langsung dalam setting pendidikan formal atau informal, langsung atau tidak lang
sung. Pendidikan multikultural diarahkan untuk mewujudkan kesadaran, toleransi,
pemahaman, dan pengetahuan yang mempertimbangkan perbedaan kultural, dan juga pe
rbedaan dan persamaan antar budaya dan kaitannya dengan pandangan dunia, konsep,
nilai, keyakinan, dan sikap (Lawrence J. Saha, 1997: 348). Definisi lain yang r
elevan untuk dikutip di sini adalah pendapat James A. Bank. Menurutnya, pendidik
an multikultural adalah konsep atau ide sebagai suatu rangkaian kepercayaan (set
of believe) dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman buday
a dan etnis dalam membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi dan
kesempatan-kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun negara (James A
. Bank, 2001: 28). Pendidikan itu sangat diperlukan terutama oleh negara demokra
si baru seperti Indonesia, untuk melakukan rekontruksi sosial dengan mengembangk
an civic skill, yakni keterampilan menjadi warga dari masyarakat demokratis yang
di antaranya mampu bersikap toleran dan mengakomodasi berbagai jenis perbedaan
untuk kesejahteraan bersama. Pendidikan multikultural dapat dilihat dari 3 (tiga
) aspek: konsep, gerakan, dan proses (James A. Bank, 1989: 2-3). Dari aspek kons
epnya, pendidikan multikultural dipahami sebagai ide yang memandang semua siswa
tanpa memperhatikan gender dan kelas sosial mereka, etnik mereka, ras mereka, da
n atau karakteristik-karakteristik kultural lainnya memiliki kesempatan yang sam
a
untuk belajar di kelas. Dari aspek gerakannya, pendidikan multikultural didefini
sikan sebagai usaha untuk mengubah sekolah-sekolah dan institusiinstitusi pendid
ikan sehingga siswa dari semua kelas sosial, gender, ras, dan kelompok-kelompok
kultural memiliki kesempatan yang sama untuk belajar.
10
Perubahan yang dilakukan tidak hanya terbatas pada kurikulum, tetapi juga aspek
lain seperti metode, strategi, manajemen pembelajaran, dan lingkungan sekolah. D
ari aspek prosesnya, pendidikan multikultural dapat dipahami sebagai proses untu
k mencapai tujuan agar kesetaraan pendidikan dapat dicapai oleh semua siswa. Kes
etaraan pendidikan, seperti kemerdekaan dan keadilan tidak mudah dicapai, karena
itu proses ini harus berlangsung terus-menerus. Sementara itu, tujuan pendidika
n multikultural dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam tujuan, yaitu: tujuan yan
g berkaitan dengan sikap, pengetahuan, dan pembelajaran (Lawrence J. Saha, 1997:
349). Tujuan pendidikan multikultural yang berkaitan dengan aspek sikap (attitu
dinal goals) adalah untuk
mengembangkan kesadaran dan kepekaan kultural, toleransi kultural, penghargaan t
erhadap identitas kultural, sikap responsive terhadap budaya, keterampilan untuk
menghindari dan meresolusi konflik. Tujuan pendidikan multikultural yang berkai
tan dengan aspek pengetahuan (cognitive goals) adalah untuk memperoleh pengetahu
an tentang bahasa dan budaya orang lain, dan kemampuan untuk menganalisis dan me
nerjemahkan perilaku kultural, dan pengetahuan tentang kesadaran perspektif kult
ural. Sedangkan tujuan pendidikan multikultural yang berkaitan dengan pembelajar
an (instructional goals) adalah untuk memperbaiki distorsi, stereotip, dan kesal
ahpahaman tentang kelompok etnik dalam buku teks dan media pembelajaran; memberi
kan berbagai strategi untuk mengarahkan perbedaan di depan orang, memberikan ala
talat konseptual untuk komunikasi antar budaya; mengembangkan keterampilan inter
personal; memberikan teknikteknik evaluasi; membantu klarifikasi nilai; dan menj
elaskan dinamika kultural.
C. Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Pendidikan Multikultural Dalam Undang-Unda
ng Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), pendidika
n kewarganegaraan merupakan nama mata pelajaran wajib untuk kurikulum pendidikan
dasar dan menengah dan mata kuliah wajib untuk kurikulum pendidikan tinggi (Pas
al 37). Ketentuan ini lebih jelas dan diperkuat lagi pada Pasal 37 bagian Penjel
asan dari Undang-Undang tersebut
11
bahwa Pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menja
di manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air . Dengan adanya ket
entuan UU tersebut maka kedudukan pendidikan
kewarganegaraan sebagai basis pengembangan masyarakat multikultural dalam sistem
pendidikan di Indonesia semakin jelas dan mantap. Secara epistimologis, pendidi
kan kewarganegaraan dikembangkan dalam tradisi citizenship education yang tujuan
nya sesuai dengan tujuan nasional masing-masing negara. Namun secara umum, tujua
n negara mengembangkan pendidikan kewarganegaraan adalah agar setiap warganegara
menjadi
warganegara yang baik (to be good citizenship), yakni warganegara yang memiliki
kecerdasan, baik intelektual, emosional, sosial, maupun spiritual; memiliki rasa
bangga dan tanggung jawab; dan mampu berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarak
at dan bernegara agar tumbuh rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Di Indonesia,
pendidikan kewarganegaraan telah beberapa kali perubahan nama sejalan dengan per
kembangan dan pasang surutnya perjalanan politik bangsa Indonesia. Istilah civic
dan civic education telah muncul masing-masing dengan nama: Kewarganegaraan (19
57) yang membahas tentang cara memperoleh dan kehilangan kewargaan negara; Civic
s (1962) yang lebih banyak membahas tentang sejarah kebangkitan nasional, UUD 19
45, pidato-pidato politik kenegaraan, terutama diarahkan untuk nation and charac
ter building bangsa Indonesia; dan Pendidikan Kewargaan Negara (1968). Tahun 197
5, nama pendidikan kewarganegaraan berubah menjadi Pendidikan Moral Pancasila (P
MP) mulai tingkat sekolah dasar sampai sekolah lanjutan tingkat atas, dan Pendid
ikan Pancasila untuk perguruan tinggi. Pada tahun 1994, berubaha menjadi Pendidi
kan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), dan terakhir berdasarkan UU No. 20 tah
un 2003 berubah lagi menjadi Pendidikan Kewarganegaraan. Terkait dengan pendidik
an multikultural, Pendidikan Kewarganegaraan memiliki peranan penting dalam rang
ka mempersiapkan peserta didik menjadi warganegara yang memiliki komitmen kuat d
an konsisten untuk mempertahankan negara kesatuan Republik Indonesia. Hal terseb
ut sejalan dengan tujuan
12
pendidikan multikultural di Indonesia sebagaimana dikemukakan oleh Tilaar (2004:
192), yaitu membina pribadi-pribadi bangsa Indonesia yang mempunyai kebudayaan s
ukunya masing-masing, memelihara dan mengembangkannya, serta sekaligus membangun
bangsa indonesia dengan kebudayaan Indonesia
sebagaimana yang diamanatkan di dalam UUD 1945. Di samping itu, arti penting pen
didikan kewarganegaraan bagi pendidikan multikultural di Indonesia didasarkan at
as lima dimensi pendidikan multikultural sebagaimana dikemukakan oleh Bank (Tila
ar, 2004:138), yaitu:
1. content integration, mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk meng
ilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/disipl
in ilmu. 2. the knowledge construction process, membawa siswa untuk memahami imp
likasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin) 3. an equity paedagogy,
menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilit
asi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun sosi
al. 4. prejudice reduction, mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentu
kan metode pengajaran mereka. 5. empowering school culture, melatih kelompok unt
uk berpartisipasi, berinteraksi dengan seluruh staf dan siswa yang berbeda etnis
dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik.
Kelima dimensi tersebut, memerlukan dukungan kompetensi/karakteristik yang harus
nampak pada diri warganegara. Cogan (1998:115) mengkonstruksi karakteritik yang
harus dimiliki warganegara sebagai berikut:
1. the ability to look at and approach problems as a member of a global society
(kemampuan mengenal dan mendekati masalah sebagai warga masyarakat global) 2. th
e ability to work with others in a cooperative way and to take responsibility fo
r one s roles/duties within society (kemampuan bekerjasama dengan orang lain dan
memikul tanggung jawab atas peran atau kewajibannya dalam masyarakat) 3. the ab
ility to understand, accept, appreciate and tolerate cultural differences (kemam
puan untuk memahami, menerima, dan menghormati perbedaan-perbedaan budaya) 4. th
e capacity to think in a critical and systemic way (kemampuan berpikir kritis da
n sistematis) 5. the willingness to resolve conflict and in a non-violent manner
(kemampuan menyelesaikan konflik dengan cara damai tanpa kekerasan)
13
6. the willingness to change one s lifestyle and consumption habits to protect t
he environment (kemampuan mengubah gaya hidup dan pola makanan pokok yang sudah
biasa guna melindungi lingkungan) 7. the ability to be sensitive towards and to
defend human rights (eg, rights of women, ethnic minorities, etc), and (memiliki
kepekaan terhadap dan mempertahankan hak asasi manusia (seperti hak kaum wanita
, minoritas etnis, dsb) 8. the willingness and ability to participate in politic
s at local, national and international levels (kemauan dan kemampuan berpartisip
asi dalam kehidupan politik pada tingkatan pemerintahan lokal, nasional, dan int
ernasional).
Karakteristik warganegara di atas dibutuhkan sebagai dasar bagi pengembangan mas
yarakat multikutural, yang dalam pandangan Cogan (1998:23) diidentifikasi ke dal
am lima atribut kewarganegaraan yang mungkin akan berbeda di tiap negara sesuai
dengan sistem politik negara masing-masing, yakni: (1) a sense of identity; (2)
the enjoyment of certain rights; (3) the fulfilment of corresponding obligations
; (4) a degree of interest and involvement in public affairs; and (5) an accepta
nce of basic societal values. Bagi Indonesia, karakter kewarganegaraan akan memi
liki kekhususan sesuai dengan ideologi yang dianut, yakni Pancasila, dan Konstit
usi yang berlaku di Indonesia, ialah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indones
ia Tahun 1945 (UUD 1945). Pengembangan warganegara multikultural mensyaratkan te
rpenuhinya kompetensi kewarganegaraan yang bercirikan multikultural. Kompetensi
kewarganegaraan menurut Branson (1998:16), terdiri atas tiga komponen penting, y
aitu: 1) Civic knowledge (pengetahuan kewarganegaraan), berkaitan dengan kandung
an atau apa yang seharusnya diketahui oleh warganegara; 2) Civic skill (keteramp
ilan kewarganegaraan), adalah kecakapan intelektual dan partisipatoris warganega
ra yang relevan; dan 3) Civic disposition (watak kewarganegaraan) yang mengisyar
atkan pada karakter publik maupun privat yang penting bagi pemeliharaan dan peng
embangan demokrasi konstitusional. Bagaimana strategi pendidikan kewarganegaraan
sebagai pendidikan multikultural yang dibutuhkan bagi pengembangan masyarakat m
ultikultural? Terkait dengan hal tersebut, Ricardo L. Garcia (Abdullah Aly, 2005
)
14
menyebutkan tiga faktor dalam manajemen pembelajaran, yaitu: (a) lingkungan fisi
k (physical environment), (b) lingkungan sosial (human environment), dan (c) gay
a pengajaran guru (teaching style). Dalam pembelajaran siswa memerlukan lingkung
an fisik dan sosial yang aman dan nyaman. Untuk menciptakan lingkungan fisik yan
g aman dan nyaman, guru dapat mempertimbangkan aspek pencahayaan, warna, pengatu
ran meja dan kursi, tanaman, dan musik. Guru yang memiliki pemahaman terhadap la
tar belakang budaya siswanya, akan menciptakan lingkungan fisik yang kondusif un
tuk belajar. Sementara itu, lingkungan sosial yang aman dan nyaman dapat dicipta
kan oleh guru melalui bahasa yang dipilih, hubungan simpatik antar siswa, dan pe
rlakuan adil terhadap siswa yang beragam budayanya. Selain lingkungan fisik dan
sosial, siswa juga memerlukan gaya pengajaran guru yang menggembirakan. Dalam pr
oses pembelajaran, gaya kepemimpinan guru sangat berpengaruh bagi ada-tidaknya p
eluang siswa untuk berbagi pendapat dan membuat keputusan. Gaya kepemimpinan gur
u berkisar pada otoriter, demokratis, dan bebas (laizzes faire). Gaya kepemimpin
an otoriter tidak memberikan peluang kepada siswa untuk saling berbagi pendapat.
Apa yang diajarkan guru kepada siswa ditentukan sendiri oleh sang guru. Sebalik
nya, gaya kepemimpinan guru yang demokratis memberikan peluang kepada siswa untu
k menentukan materi yang perlu dipelajari siswa. Selanjutnya, guru yang mengguna
kan gaya kepemimpinan bebas (laizzes faire) menyerahkan sepenuhnya kepada siswa
untuk menentukan materi pembelajaran di kelas. Melalui pendekatan demokratis ini
, para guru dapat menggunakan beragam strategi pembelajaran, seperti dialog, sim
ulasi, bermain peran, observasi, dan penanganan kasus (Abdullah Aly, 2003: 70-71
). Melalui dialog para guru, misalnya, mendiskusikan sumbangan aneka budaya dan
orang dari suku lain dalam hidup bersama sebagai bangsa. Selain itu, melalui dia
log para guru juga dapat mendiskusikan bahwa semua orang dari budaya apa pun ter
nyata juga menggunakan hasil kerja orang lain dari budaya lain. Sementara itu, m
elalui simulasi dan bermain peran, para siswa difasilitasi untuk memerankan diri
sebagai
15
orang-orang yang memiliki agama, budaya, dan etnik tertentu dalam pergaulan seha
ri-hari. Dalam momen-momen tertentu, diadakan proyek dan kepanitiaan bersama, de
ngan melibatkan aneka macam siswa dari berbagai agama, etnik, budaya, dan bahasa
yang beragam. Sedangkan melalui observasi dan penanganan kasus, siswa dan guru
difasilitasi untuk tinggal beberapa hari di masyarakat multikultural. Mereka dim
inta untuk mengamati proses sosial yang terjadi di antara individu dan kelompok
yang ada, sekaligus untuk melakukan mediasi bila ada konflik di antara mereka. D
engan strategi pembelajaran tersebut para siswa diasumsikan akan memiliki wawasa
n dan pemahaman yang mendalam tentang adanya keragaman dalam kehidupan sosial. B
ahkan, mereka akan memiliki pengalaman nyata untuk melibatkan diri dalam memprak
tikkan nilai-nilai dari pendidikan multikultural dalam kehidupan sehari-hari. Si
kap dan perilaku yang toleran, simpatik, dan empatik pun pada gilirannya akan tu
mbuh pada diri masing-masing siswa. Dengan demikian, proses pembelajaran yang di
fasilitasi guru tidak sekadar berorientasi pada ranah kognitif, melainkan pada r
anah afektif dan psikomotorik sekaligus. Selanjutnya, pendekatan demokratis dala
m proses pembelajaran dengan beragam strategi pembelajaran tersebut menempatkan
guru dan siswa memiliki status yang setara (equal status), karena masing-masing
dari mereka merupakan anggota komunitas kelas yang setara juga. Setiap anggota m
emiliki hak dan kewajiban yang absolut. Perilaku guru dan siswa harus diarahkan
oleh kepentingan individu dan kelompok secara seimbang. Lebih jauh, pendekatan d
emokratis dalam pembelajaran ini menuntut guru memiliki kompetensi multikultural
. Farid Elashmawi dan Philip P. Harris (Abdullah Aly, 2005) menawarkan enam komp
etensi multikultural guru, yaitu: (a) memiliki nilai dan hubungan sosial yang lu
as, (b) terbuka dan fleksibel dalam mengelola keragaman siswa, (c) siap menerima
perbedaan disiplin ilmu, latar belakang, ras, dan gender; (d) memfasilitasi pen
datang baru dan siswa yang minoritas, (e) mau berkolaborasi dan koalisi dengan p
ihak mana pun, dan (f) berorientasi pada program dan masa depan. Selain itu, Jam
es A. Bank (Abdullah
16
Aly, 2005) menambahkan kompetensi multikultural lain yang harus dimiliki oleh gu
ru, yaitu: (a) sensitif terhadap perilaku etnik para siswa, (b) sensitif terhada
p kemungkinan adanya kontroversi tentang materi ajar, dan (c) menggunakan teknik
pembelajaran pembelajaran. kelompok untuk mempromosikan integrasi etnik dalam
D. Penutup Berdasarkan uraian di atas diketahui pendidikan multikultural melalui
pendidikan kewarganegaraan menemukan relevansinya untuk konteks Indonesia. Seba
gai sebuah konsep, pendidikan multikultural sejalan dengan semangat semboyan ban
gsa Indonesia Bhinneka Tunggal Ika . Semboyan yang sangat adil dan demokratis in
i memiliki pengertian bahwa Indonesia merupakan salah satu bangsa di dunia yang
terdiri dari beragam suku dan ras, yang mempunyai budaya, bahasa, dan agama yang
berbeda-beda tetapi dalam kesatuan Indonesia. Semboyan ini mengandung seni mana
jemen untuk mengatur keragaman Indonesia (the art of managing diversity).
Daftar Pustaka Aly, Abdullah. (2005). Pendidikan Multikultural dalam Tinjauan Pe
dagogik . Makalah dipresentasikan pada Seminar Pendidikan Multikultural sebagai
Seni Mengelola Keragaman , yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Budaya dan Peru
bahan Sosial (PSB-PS) Universitas Muhammadiyah Surakarta, pada Sabtu, 8 Januari
2005. Azra, Azyumardi. (2004). Agustus 2004. Demokrasi Multikultural . Harian Re
publika, 12
-----------------------. (2006). Pancasila dan Identitas Nasional Indonesia: Per
spektif Multikulturalisme . Dalam Restorasi Pancasila: Mendamaikan Politik Ident
itas dan Modernitas. Bogor: Brighten Press. Blum, Lawrence A. (2001). Antirasism
e, Multikulturalisme, dan Komunitas Antar-Ras: Tiga Nilai yang Bersifat Mendidik
bagi Sebuah Masyarakat Multikultural . Dalam May, Larry, Shari Collins-Chobania
n, and Kai Wong (Eds). Etika Terapan I: Sebuah Pendekatan Multikultural. Terjema
han oleh Sinta Carolina dan Dadang Rusbiantoro. Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
17
Branson, Margaret S. (1998). The Role of Civic Education. Calabasas: CCE. Hefner
, Robert W. (2007). Politik Multikulturalisme: Menggugat Realitas Kebangsaan. Te
rjemahan oleh Bernardus Hidayat dari judul asli The Politics of Multiculturalism
, Pluralism and Citizenship in Malaysia, Singapore, and Indonesia . Yogyakarta:
Kanisius. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahu
n 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Saifuddin
, Achmad Fedyani. (2006). Reposisi Pandangan mengenai Pancasila: Dari Pluralisme
ke Multikulturalisme . Dalam Restorasi Pancasila: Mendamaikan Politik Identitas
dan Modernitas. Bogor: Brighten Press. Suparlan, Parsudi. (2005). Sukubangsa da
n Hubungan Antar Sukubangsa. Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisia
n. Suryadinata, Leo. dkk. (2003). Indonesia s Population: Etnicity and Religion
in a Changing Political Landscape. Singapore: Institute of Southeast Asian Studi
es. Tilaar, H.A.R. (2004). Multikulturalisme: Tantangan-tantangan Global Masa De
pan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo. Undang-Undang Das
ar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2
0 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Winataputra, Udin S. dan Dasim
Budimansyah. (2007). Civic Education: Konteks, Landasan, Bahan Ajar dan Kultur K
elas. Bandung: Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan SPs UPI.
1
PENGEMBANGAN MASYARAKAT MULTIKULTURAL MELALUI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
MAKALAH Disampaikan dalam Mata Kuliah Seminar Pendidikan Kewarganegaraan Dosen P
engampu: Dr. H. Endang Danial AR, M.Pd.
Oleh DIKDIK BAEHAQI ARIF 0603849
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2008
This document was created with Win2PDF available at http://www.win2pdf.com. The
unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only.

You might also like