You are on page 1of 9

AKSIOLOGI

1. Pengantar
Sebagai bagian dari filsafat, aksiologi secara formal baru muncul pada sekitar abad
ke-19. Aksiologi mempunyai kaitan dengan axia yang berarti nilai atau berharga.
Menurut Mautner (dalam Wiramihardja, 2006: 155), aksiologi mulai digunakan
sebagaimana adanya saat ini oleh Lotze, Brentano, Husserl Scheeler dan Nicolai
Hartmann.
Dalam filsafat Yunani kuno, tema aksiologi lebih banyak berhubungan dengan
masalah-masalah yang konkret, seperti api, udara dan air. Masalah nilai ini
meliputi dua hal penting yaitu ada (being) dan nilai (value).

2. Definisi Aksiologi
Aksiologi ilmu terdiri dari nilai-nilai yang bersifat normatif dalam pemberian
makna terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana dijumpai dalam
kehidupan, yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan
simbolik ataupun fisik material (Koento, 2003: 13).
Kattsoff (2004: 319) mendefinisikan aksiologi sebagai ilmu pengetahuan yang
menyelediki hakekat nilai yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan.
Scheleer dan Langeveld (Wiramihardja, 2006: 155-157) memberikan definisi
tentang aksiologi sebagai berikut. Scheleer mengontraskan aksiologi dengan
praxeology, yaitu suatu teori dasar tentang tindakan tetapi lebih sering
dikontraskan dengan deontology, yaitu suatu teori mengenai tindakan baik secara
moral. Adapun Langeveld memberikan pendapat bahwa aksiologi terdiri atas dua
hal utama, yaitu etika dan estetika. Etika merupakan bagian filsafat nilai dan
penilaian yang membicarakan perilaku orang, sedangkan estetika adalah bagian
filsafat tentang nilai dan penilaian yang memandang karya manusia dari sudut
indah dan jelek.

3. Kegunaan Pengetahuan Filsafat


Menurut Tafsir (2006: 89) untuk mengetahui kegunaan filsafat, dapat dimulai
dengan melihat filsafat sebagai tiga hal, yaitu pertama, filsafat sebagai kumpulan
teori filsafat. Kedua, filsafat sebagai metode pemecahan masalah dan ketiga,
filsafat sebagai pandangan hidup.
Penjelasan dari kegunaaan pertama yaitu bahwa mengetahui teori-teori filsafat
sangat perlu karena dunia dibentuk oleh teori-teori itu. Adapun filsafat sebagai
metodologi bermakna cara memecahkan masalah yang dihadapi. Filsafat digunakan
sebagai cara pemecahan masalah secara secara mendalam dan universal. Kegunaan
filsafat sebagai pandangan hidup dimaknai sama dengan agama yaitu dalam hal
mempengaruhi sikap dan tindakan penganutnya.
Perbedaannya adalah agama berasal dari Tuhan sedangkan filsafat berasal dari
pemikiran manusia. Filsafat sebagai pandangan hidup terdapat dalam beberapa
segi kehidupan seperti akidah, hukum dan bahasa.
3.1. Kegunaan Filsafat bagi Akidah
Akidah merupakan bagian dari ajaran Islam yang mengatur cara berkeyakinan,
dengan pusat keyakinan kepada Tuhan. Tafsir (2006: 91-95) mengungkapkan bahwa
Thomas Aquinas (1225-1274) berusaha menyusun argumen logis untuk
membuktikan adanya Tuhan melalui bukunya Summa Theologia.
Argumen pertama adalah argumen gerak. Penggerak alam adalah Tuhan. Kedua,
argumen kausalitas yaitu Tuhan sebagai penyebab pertama, yang tidak
memerlukan penyebab yang lain. Ketiga, argumen kemungkinan yang
dilatarbelakangi pemikiran bahwa adanya alam itu bersifat mungkin ada dan
mungkin tidak ada. Alam ini mula-mula tidak ada, lalu menjadi ada sehingga
memerlukan Yang Ada untuk menjadikan alam menjadi ada. Keempat, argumen
tingkatan yaitu Tuhan adalah yang tertinggi sehingga Dia adalah penyebab di
bawah-Nya. Argumen kelima adalah argumen teologis atau disebut argumen
tujuan. Ada sesuatu yang mengatur alam menuju tujuan alam yaitu Tuhan.
Kant menyatakan bahwa Tuhan tidak dapat dipahami melalui akal dan hanya dapat
dipahami melalui suara hati yang disebut moral. Menurut Kant akal teoritis atau
akal rasional tidak melarang untuk mempercayai Tuhan, kesadaran moral atau
suara hati memerintahkan mempercayai-Nya. Suara hati itu memerintah, bahkan
rasio tidak mampu untuk melawannya. Filsafat dapat berguna untuk memperkuat
keimanan.
3.2. Kegunaan Filsafat bagi Hukum
Hukum yang akan dibahas adalah hukum Islami atau fikih. Fikih secara bahasa
berarti mengetahui, sedangkan oleh para ushul al fiqh didefinisikan sebagai hukum
praktis hasil ijtihad (Tafsir, 2006: 96). Ketentuan hukum dalam fikih terdiri dari
tiga hal. Pertama, perintah seperti sholat, zakat, puasa dan sebagainya. Kedua,
larangan seperti larangan zina, musyrik dan sebagainya. Ketiga, petunjuk seperti
cara sholat, puasa dan sebagainya.
Ketiga unsur tersebut apabila dilihat dari sudut sifatnya dapat dibagi menjadi dua
yaitu pertama, bersifat tetap yang berarti bahwa tidak terpengeruh oleh kondisi
tertentu. Kedua, yang bersifat dapat berubah sesuai dengan kondisi tertentu.
Tujuan diturunkannya hukum Islami atau fikih adalah untuk menciptakan
kemaslahatan hidup manusia. Mashudi (dalam Tafsir, 2006: 97-98) mengemukakan
bahwa untuk menjamin kemaslahatan tersebut ditetapkan beberapa azaz Islami
sebagai berikut:

• tidak sulit dalam melakukannya


• ringan serta mampu dilaksanakan
• mudah sesuai kemampuan
• menghilangkan bahaya
• boleh melakukan sesuatu asal tidak membahayakan yang lain

Kaidah-kaidah pembuatan hukum ini ternyata didasarkan pada teori-teori filsafat.


Selain dalam hukum fikih, filsafat juga berguna dalam memberikan kritik ideologi.
Dalam memberikan kritik ideologi, yaitu dengan menggunakan fungsi kritis filsafat.
Dalam hal ini filsafat dapat melakukan dua hal. Pertama, kritik terhadap ideologi
saingan yang akan merusak Islam. Kedua, kritik terhadap hukum Islami, misalnya
mempertanyakan apakah itu sesuai dengan esensi yang dikandung oleh teks yang
dijadikan dasar hukum tersebut.
Filsafat, khususnya filsafat sebagai metodologi berguna bagi pengembangan hukum
dalam hal ini hukum Islami.
3.3. Kegunaan Filsafat bagi Bahasa
Bahasa berfungsi sebagai alat untuk mengekspresikan perasaan dan pikiran. Ketika
bahasa berfungsi sebagai alat berpikir ilmiah, muncul permasalahan dan dapat
diselesaikan dengan bantuan filsafat. Peran logika (filsafat) dalam bahasa menurut
Qasim (dalam Tafsir, 2006: 101) adalah memperbaiki bahasa. Logika dapat
mengetahui kesalahan bahasa. Kekeliruan dalam bahasa menyebabkan kekeliruan
dalam berpikir, seperti pertama, kekeliruan karena komposisi. Kedua, kekeliruan
dalam pembagian yaitu kekeliruan karena menetapkan sifat keseluruhan maka
keliru pula dalam menetapkan sifat bagian. Ketiga, kekeliruan tekanan yaitu
kekeliruan yang terjadi dalam pembicaraan ketika salah dalam memberikan
tekanan dalam pengucapan. Keempat, kekeliruan karena amfiboli. Amfiboli terjadi
karena apabila kalimat mempunyai arti ganda.
Filsafat sangat berperan dalam menentukan kualitas bahasa. Tanpa peran serta
filsafat kekeliruan dalam bahasa tidak mungkin dapat diperbaiki. Perkembangan
berpikir (filsafat) akan diikuti oleh perkembangan bahasa.
4. Cara Filsafat Menyelesaikan Masalah
Kegunaan filsafat yang lain adalah sebagai metodologi, yang bermakna sebagai
metode dalam menghadapi dan menyelesaiakan masalah bahkan sebagai metode
memandang dunia.
Filsafat menyelesaikan masalah secara mendalam dan universal. Mendalam
bermakna bahwa filsafat mencari asal masalah, sedangkan universal bermakna
filsafat ingin agar masalah dilihat dalam hubungan yang seluas-luasnya sehingga
nantinya penyelesaian dapat cepat dan berakibat seluas mungkin.

5. Pendekatan-pendekatan dalam Aksiologi


Kattsoff (2004: 323) menyatakan bahwa pertanyaan mengenai hakekat nilai dapat
dijawab dengan tiga macam cara yaitu:

• Subyektivitas yatu nilai sepenuhnya berhakekat subyektif. Ditinjau dari


sudut pandang ini, nilai merupakan reaksi yang diberikan manusia sebagai
pelaku dan keberadaannya tergantung dari pengalaman.
• Obyektivisme logis yaitu nilai merupakan kenyataan ditinjau dari segi
ontologi, namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu.Nilai-nilai tersebut
merupakan esensi logis dan dapat diketahui melalui akal.
• Obyektivisme metafisik yaitu nilai merupakan unsur obyektif yang menyusun
kenyataan.

Situasi nilai meliputi empat hal yaitu pertama, segi pragmatis yang merupakan
suatu subyek yang memberi nilai. Kedua, segi semantis yang merupakan suatu
obyek yang diberi nilai. Ketiga, suatu perbuatan penilaian. Keempat, nilai
ditambah perbuatan penilaian.
Nilai mempunyai bermacam makna seperti:
mengandung nilai, yang artinya berguna
merupakan nilai, yang artinya baik, benar atau indah
mempunyai nilai yang artinya merupakan obyek keinginan, mempunyai kualitas
yang dapat menyebabkan orang mengambil sikap menyetujui atau mempunyai sifat
nilai tertentu
memberi nilai, yang artinya menanggapi sesuatu sebagai hal yang diinginkan atau
sebagai hal yang menggambarkan nilai tertentu
Makna yang dikandung nilai tersebut menimbulkan tiga masalah yang bersifat
umum, seperti:
apakah yang dinamakan nilai itu?
apakah yang menyebabkan bahwa suatu obyek atau perbuatan bernilai, dan
bagaimanakah cara mengetahui nilai dapat diterapkan?
proses kejiwaan apakah yang tersangkut dalam tanggapan-tanggapan penilaian dan
bagaimanakah cara menentukan makna-makna yang dikandungnya serta verifikasi
yang dapat dilakukan terhadapnya?
5.1. Nilai merupakan Kualitas Empiris yang Tidak Dapat Didefinisikan
Kualitas merupakan sesuatu yang dapat disebutkan dari suatu obyek atau suatu
segi dari barang sesuatu yang merupakan bagian dari barang tersebut dan dapat
membantu melukiskannya. Adapun kualitas empiris didefinisikan sebagai kualitas
yang diketahui atau dapat diketahui melalui pengalaman. Sebagai contoh
pengertian baik, artinya pengertian nilai. Moore (dalam Kattsoff, 2004: 325)
mengatakan bahwa baik merupakan pengertian yang bersahaja, namun tidak dapat
diterangkan apakah baik itu.
Pendefinisisan nilai juga didasarkan pada hal-hal lain, seperti rasa nikmat atau
kepentingan. Moore menyebutnya sesat-pikir naturalistis. Nilai tidak dapat
didefinisikan maksudnya nilai-nilai tidak dapat dipersamakan dengan pengertian-
pengertian yang setara. Nilai dapat didefinisikan dengan cara-cara lain, seperti
dengan menunjukkan contohnya sehingga dapat diketahui secara langsung.
Jika nilai merupakan suatu kualitas obyek atau perbuatan tertentu, maka obyek
dan perbuatan tersebut dapat didefinisikan berdasarkan atas nilai-nilai, tetapi
tidak dapat sebaliknya. Kenyataan bahwa nilai tidak dapat didefinisikan tidak
berarti nilai tidak bisa dipahami.
5.2. Nilai sebagai Obyek Suatu Kepentingan
Seringkali orang tidak sepakat mengenai suatu nilai walapun nilai tersebut sudah
jelas. Apabila seseorang mempertimbangkan tanggapan-tanggapan penilaian yang
lain yang dibuatnya mengenai barang sesuatu atau tindakan maka pasti akan
dijumpai semacam keadaan, perangkat, sikap atau kecenderungan untuk setuju
atau menentang. Dalam hal ini tersedia tiga kemungkinan pilihan yaitu:
sikap setuju atau menentang tersebut sama sekali bersangkut paut dengan masalah
nilai
sikap tersebut bersangkutan dengan sesuatu yang tidak hakiki
sikap tersebut merupakan sumber pertama serta ciri yang tetap dari segenap nilai
Kemungkinan pertama sudah jelas. Kemungkinan kedua berarti bahwa, misalkan
sikap tersebut ditimbulkan oleh suatu kualitas nilai tetapi bukan merupakan bagian
dari hakekatnya. Kemungkinan ketiga berarti bahwa apabila seseorang mengatakan
x bernilai maka dalam arti yang sama dapat dikatakan bahwa seseorang tersebut
mempunyai kepentingan terhadap x. Sikap setuju atau menentang oleh Perry
(dalam Kattsoff, 2004: 329) disebut kepentingan.
Perry juga berpendapat bahwa setiap obyek yang ada dalam kenyataan maupun
pikiran, setiap perbuatan yang dilakukan maupun yang dipikirkan, dapat
memperoleh nilai jika berhubungan dengan subyek-subyek yang mempunyai
kepentingan.
5.3. Teori Pragmatis Mengenai Nilai
Dewey (dalam Kattsoff, 2004: 332) menyatakan bahwa nilai bukanlah sesuatu yang
dicari untuk ditemukan. Nilai bukanlah suatu kata benda atau kata sifat. Masalah
nilai berpusat pada perbuatan memberi nilai. Dalam Theory of Valuation, Dewey
mengatakan bahwa pemberian nilai menyangkut perasaan dan keinginan.
Pemberian nilai juga menyangkut tindakan akal untuk menghubungkan sarana dan
tujuan.
Dengan kata lain, pemberian nilai berkaitan dengan bahan-bahan faktual yang
tersedia dan berdasarkan bahan-bahan tersebut, perbuatan-perbuatan dan obyek-
obyek dapat dihubungkan dengan tujuan-tujuan yang terbayang. Dapat
disimpulkan bahwa pemberian nilai adalah ketentuan-ketentuan penggunaan
berkaitan dengan kegiatan manusia melalui generalisasi-generalisasi ilmiah sebagai
sarana mencapai tujuan-tujuan yang diharapkan.
5.4. Nilai sebagai Esensi
Apabila nilai sudah sejak semula terdapat di segenap kenyataan, dapat dikatakan
bahwa tidaklah terdapat perbedaan antara apa yang ada (eksistensi) dengan apa
yang seharusnya ada. Yang sungguh-sungguh ada yaitu apa yang ada kini dengan
yang mungkin ada (apa yang akan ada).
Jika nilai bersifat intrinsik, maka nilai apa yang akan ada merupakan kelanjutan
belaka dari apa yang seharusnya ada. Apabila nilai merupakan ciri intrnsik semua
hal yang bereksistensi maka dunia ini merupakan dunia yang baik, kerena di
dalamnya tidak mungkin terdapat keadaan tanpa nilai. Dengan demikian maka
masalah adanya keburukan di dunia terhapus karena memperoleh pengingkaran.
Sesungguhnya nilai-nilai ada dalam kenyataan, namun tidak bereksistensi.
Berhubung dengan itu, nilai-nilai tersebut haruslah merupakan esensi-esensi yang
terkandung dalam barang sesuatu serta perbuatan-perbuatan. Pandangan ini erat
hubungannya dengan pandangan Plato dan Aristoteles (Kattsoff, 2004: 337)
mengenai forma-forma. Sebagai esensi, nilai tidak bereksistensi, namun ada dalam
kenyataan. Nilai-nilai mendasari sesuatu dan bersifat tetap.
6. Etika
Etika oleh Driyarkara (dalam Wiramihardja, 2006: 158) disebut juga sebagai filsafat
kesusilaan atau moral. Namun, terdapat perbedaan diantara keduanya, yaitu
pertama, moralitas bersangkutan dengan apa yang seyogyanya dilakukan dan apa
yang seyogyanya tidak dilakukan karena berkaitan dengan prinsip moralitas yang
ditegakkan. Adapun etika merupakan wacana yang memperbincangkan landasan-
landasan moralitas. Kedua, bahwa etika berkaitan dengan landasan filsafati norma
dan nilai dalam kehidupan kemasyarakatan, sedangkan moral berkaitan dengan
nilai perbuatan yang berhubungan dengan kebaikan atau keburukan perilaku yang
bersangkutan dengan agama. Kesusilaan sering dikaitkan juga dengan norma agama
yang berhubungan dengan masalah pahala dan dosa. Kattsoff (2004, 341)
mendefinisikan etika sebagai cabang aksiologi yang pada pokoknya membicarakan
masalah predikat-predikat nilai betul dan salah dalam arti susila dan tidak susila.
Filsafat etis merupakan usaha untuk memberi landasan terhadap usaha
menyelesaikan konflik-konflik secara rasional apabila respon otomatis dan aturan
implisit tindakan berbelit dengan respon dan aturan yang bertentangan. Craig
dalam bukunya The Shorter Routledge Encyclopedia of Phylosophy mengemukakan
tiga masalah utama dalam etika, yaitu masalah etika dan meta etika, masalah
konsep etis dan teori etis serta masalah etika terapan.
6.1. Masalah Etika dan Meta Etika
Etika mempunyai empat pengertian yaitu pertama, sistem-sistem nilai kebiasaan
yang penting dalam kehidupan kehidupan kelompok khusus manusia yang
digambarkan sebagai etika kelompok ini. Kedua, etika digunakan pada satu di
antara sistem-sistem khusus tersebut yaitu moralitas yang melibatkan makna dari
kebenaran dan kesalahan. Ketiga, etika dalam sistem moralitas mengacu pada
prinsip-prinsip moral aktual. Keempat, etika merupakan suatu daerah dalam
filsafat yang memperbincangkan telaahan etika dalam pengertian-pengertian lain.
6.2. Konsep dan Teori Etika
Crisp (dalam Wiramihardja, 2006: 160) menyatakan terdapat beberapa etika yang
bersifat luas dan umum serta berupaya untuk mendapatkan prinsip-prinsip umum
atau keterangan-keterangan dasar mengenai moralitas, cenderung lebih berfokus
pada masalah etika.
Filsafat moral atau etika membicarakan advokasi cara-cara khusus hidup dan
bertindak. Beberapa tradisi lama sekarang telah hilang, namun masih banyak
perbedaan cara pandang mengenai bagaimana seharusnya cara orang hidup.
6.3. Masalah Etika Terapan
Etika filsafati selalu dikaitkan dengan taraf penerapan pada kehidupan nyata
sehari-hari. Aristoteles meyakini bahwa dalam mempelajari etika tidak terdapat
nilai, jika hal itu tidak akan memberikan keuntungan kepada orang dalam
menjalani kehidupannya.
7. Estetika
Estetika menurut The Liang Gie (dalam Wiramihardja, 2006: 162) merupakan
permasalahan, pertanyaan (issues) tentang keindahan, menyangkup ruang lingkup,
nilai, pengalaman, perilaku dan pemikiran seniman, seni serta persoalan estetika
dan seni dalam kehidupan manusia.
Marcia Eaton menyatakan bahwa konsep-konsep estetika merupakan konsep-
konsep yang berkaitan dengan deskripsi dan evaluasi obyek serta kejadian artistik
dan estetika. Immanuel Kant menyatakan bahwa konsep estetika bersifat
subyektif, tetapi pada taraf dasar manusia secara universal mempunyai perasaan
yang sama terhadap apa yang membuat nyaman, senang, menyakitkan ataupun
tidak nyaman.
Kattsoff (2004: 366) mengungkapkan bahwa estetika merupakan suatu teori yang
meliputi:
penyelidikan mengenai yang indah
penyelidikan mengenai prinsip-prinsip yang mendasari seni
pengalaman yang berkaitan dengan seni seperti masalah penciptaan seni, penilaian
terhadap seni atau perenungan atas seni
7.1. Estetika Filsafati
Teori keindahan lebih tepat dianggap sebagai kajian ilmiah dalam membahas
fenomena atau wujud kesenian daripada dasar-dasar wacana seni. Teori lima seni
merupakan teori seni yang menyangkut permasalahan seni lukis, seni pahat,
arsitektur, sajak dan musik yang dianggap pilar dari kesenian pada umumnya.
Baumgarten (dalam Wiramihardja, 2006, 163) mengatakan bahwa estetika
merupakan pengetahuan tentang sensuous. Dalam bahasa Yunani, aiesthetika
berarti hal-hal yang dapat diserap oleh panca indera, sedangkan aisthesis berarti
persepsi inderawi. Bosanquet menyatakan bahwa toeri aestetika merupakan
cabang filsafat dan lahir untuk keperluan pengetahuan, bukan sebagai bimbingan
praktis untuk menilai dan membentuk sesuatu yang bernilai estetis.
7.2. Prinsip Estetika
Keindahan mengandung ekspresi imajinatif dan sensuous mengenai kesatuan dalam
kemajemukan. Pemikiran Hellenik berpendapat bahwa seni pertama kali muncul
sebagai reproduksi dari realitas yang merupakan alasan yang ditentang analisis
estetik karena berpegang teguh pada signifikan konkret mengenai keindahan dalam
diri manusia dan alam.
Teori keindahan mempunyai tiga prinsip yang membangun kerangka kerja
Hellenistik mengenai alam dan nilai keindahan. Namun, hanya satu yang dianggap
sebagai judul yang lebih tepat bagi teori estetika. Adapun dua prinsip lainnya lebih
dekat pada masalah-masalah moral dan metafisik, meskipun akar keduanya adalah
asumsi metafisika yang juga memadai untuk batasan analisis estetik. Prinsip ketiga
dianggap sebagai kondisi ekspresi yang abstrak.
7.3. Konsep Estetika
Konsep estetika merupakan konsep-konsep yang berasosiasi dengan istilah-istilah
yang mengangkat kelengkapan estetik yang mengacu pada deskripsi dan evaluasi
mengenai pengalaman-pengalaman yang melibatkan obyek, serta kejadian artistik
dan estetik. Kant menyatakan bahwa konsep estetik secara esensial bersifat
subyektif, berakar pada perasaan pribadi mengenai rasa senang dan sakit.
Mautner menyatakan bahwa aestetisme mempunyai pengertian aliran filsafat dan
orang-orang yang menghadapi permasalahan, senantiasa mengutamakan nilai-nilai
estetis. Goethe menyatakan bahwa dalam kehidupan umumnya yang harus
diutamakan dan didahulukan adalah nilai estetis, seperti keseimbangan dalam
bertingkah laku dan menilai situasi apa pun yang termasuk airan ini tidak harus
para seniman. Budd mendefinisikan sifat aestetisme sebagai cara kita menganggap
sesuatu dan jika kita hanya menangkap inti estetis di dalamnya. Tanner
menekankan hubungan antara etika dan estetika, yaitu bahwa antara penilaian
estetika dan etika telah melahirkan subyek materi estetika (Wiramihardja, 2006:
166-168).
8. Ilmu dan Moral
Peradaban manusia bergerak seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi.
Berkat kedua hal tersebut, pemenuhan kebutuhan manusia menjadi lebih mudah
dan cepat. Namun, terdapat sisi buruk dari imu yaitu sejak dalam tahap pertama
pertumbuhannnya ilmu sudah dikaitkan dengan tujuan perang. Ilmu bukan saja
digunakan untuk menguasai alam melainkan juga untuk memerangi sesama
manusia dan menguasai mereka.
Mendapatkan otonomi yang terbebas dari segenap nilai yang bersifat dogmatik
maka dengan leluasa ilmu dapat mengembangkan dirinya. Konsep ilmiah yang
bersifat abstrak menjelma dalam bentuk konkret yang berupa teknologi. Ilmu tidak
saja bertujuan untuk menjelaskan gejala-gejala alam untuk tujuan pengertian dan
pemahaman tetapi bertujuan untuk memanipulasi faktor-faktor yang terkait dalam
gejala tersebut untuk mengontrol dan mengarahkan proses yang terjadi.
Dihadapkan pada masalah moral maka ilmuwan dapat dibagi menjadi dua golongan
yaitu golongan pertama dan golongan kedua. Golongan pertama yaitu golongan
yang menginginkan agar ilmu harus netral terhadap nilai-nilai baik secara ontologis
maupun aksiologis. Dalam hal ini tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan
dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya. Adapun golongan kedua
merupakan golongan yang berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai
hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan penggunaannya, bahkan
pemilihan obyek penelitian, maka kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas
moral.
Golongan pertama ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu seperti pada saat era
Galileo, sedangkan golongan kedua berusaha menyesuaikan kenetralan ilmu
berdasarkan perkembangan ilmu dan masyarakat. Golongan kedua mendasarkan
pendapatnya pada beberapa hal:
ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang
dibuktikan dengan adanya dua Perang Dunia yang mempergunakan teknologi-
teknologi keilmuan
ilmu telah berkembang dengan pesat sehingga ilmuwan lebih mengetahui tentang
ekses-ekses yang mungkin terjadi penyalahgunaan
ilmu telah berkembang sedemikian rupa, dimana terdapat kemungkinan bahwa
ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki, seperti kasus
revolusi genetika

Referensi:

• Kattsoff, L.O. (2004), Pengantar Filsafat, Tiara Wacana, Yogyakarta.


• Siswomihardjo, Koento Wibisono (2003), “Ilmu Pengetahuan Sebuah Sketsa
Umum mengenai Kelahiran dan Perkembangannya sebagai Pengantar untuk
Memahami Filsafat Ilmu”, Filsafat Ilmu sebagai Dasar Pengembangan Ilmu
Pengetahuan, hal. 1-16, Liberty, Yogyakarta.
• Suriasumantri, Jujun S. (2005), Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
• Tafsir, Ahmad (2006), Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi dan
Aksiologi Pengetahuan, PT Remaja Rosdakarya, Bandung.
• Wiramihardja, S.A. (2006), Pengantar Filsafat: Sistematika Filsafat, Sejarah
Filsafat, Logika dan Filsafat Ilmu, Metafisika dan Filsafat Manusia, Aksiologi,
PT Refika Aditama, Bandung.

You might also like