Professional Documents
Culture Documents
LATAR BELAKANG
Culture shock merupakan fenomena yang akan dialami oleh setiap orang yang melintasi
dari suatu budaya ke budaya lain sebagai reaksi ketika berpindah dan hidup dengan
orang-orang yang berbeda pakaian, rasa, nilai, bahkan bahasa dengan yang dipunyai oleh
orang tersebut (Littlejohn, 2004; Kingsley and Dakhari, 2006; Balmer, 2009). Littlejohn,
dalam jurnal yang ditulisnya, meyatakan bahwa culture shock adalah fenomena yang
wajar ketika orang bertamu atau mengunjungi budaya yang baru. Orang yang mengalami
culture shock berada dalam kondisi tidak nyaman baik secara fisik maupun emosional.
Sebuah jurnal menceritakan seorang siswa yang baru saja menyelesaikan sekolah
menengah dan hendak melanjutkan ke universitas, untuk pertama dia akan bangga dan
mempersiapkan dirinya untuk memnghadap lingkungan kuliah yang baru. Dia akan
mempersiakan dirinya untuk bertemu dengan orang-orang baru, antusiasme untuk belajar
agar menuai kesuksesan dalam lingkungannya yang baru. Namun, pada akhirnya siswa
tersebut, terhadap lingkungan barunya mengalamai ketidaknyamanan hingga
membuatnya tidak lagi ingin melanjutkan kuliahnya (Balmer, 2009). Dari jurnal ilmiah
ini bisa disimpulkan bahwa setiap siswa menjadi wajar jika mengalami culture shock
sebagai akibat perpindahannya dari lingkungan sekolah menengah yang lama ke
lingkungan universitas yang baru. Kebiasaan-kebiasaan di lingkungan baru, seperti yang
diungkapkan Balmer, dapat menyebabkan tekanan dan berakibat pada kompetensi
akademik siswa tersebut. Akan menjadi negative kalau culture shock tersebut tidak
teratasi, dalam hali ini orang gagal untuk meyesuaikan dirinya dengan lingkungan
barunya, dan menjadi depresi (Littlejohn, 2004; Kingsley and Dakhari, 2006; Balmer,
2009). Dalam hal ini si siswa menjadi depresi dan tidak ingin masuk kuliah lagi.
1. RUMUSAN MASALAH
1. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis fenomena culture shock
yang dialami oleh mahasiswa perantauan FISIP UAJY angkatan 2008 dan pengaruh
fenomena tersebut terhadap motivasi belajar mahasiswa.
1. MANFAAT PENELITIAN
a) Secara praksis dapat dijadikan panduan atau bahan bacaan oleh mahasiswa baru
yang akan berpindah dari lingkungan sekolah menengah yang lama ke lingkungan
universitas yang baru.
b) Secara akademis dapat menjadi penelitian awal yang dapat dikembangkan oleh
peneliti selanjutnya.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Ketika kita masuk dan mengalami kontak dengan budaya lain, dan merasakan
ketidaknyamanan psikis dan fisik karena kontak tersebut, kita telah mengalami gegar/
kejutan budaya/ culture shock (Mulyana, 2006; Littlejohn, 2004).
Banyak pengalaman dari orang-orang yang menginjakan kaki pertama kali di lingkungan
baru, walaupun sudah siap, tetap merasa terkejut begitu sadar bahwa disekelilingnya
begitu berbeda dengan lingkungan lamanya. Orang biasanya akan merasa terkejut atau
kaget begitu mengetahui bahwa lingkungan di sekitarnya telah berubah. Orang terbiasa
dengan hal-hal yang ada di sekelilingnya, dan orang cenderung suka dengan familiaritas
tersebut. Familiaritas membantu seseorang mengurangi tekanan karena dalam
familiaritas, orang tahu apa yang dapat diharapkan dari lingkungan dan orang-orang di
sekitarnya. Maka, .ketika seseorang meninggalkan lingkungannya yang nyaman dan
masuk dalam suatu lingkungan baru, masalah komunikasi akan dapat terjadi (Mulyana,
2006).
Gegar budaya (culture shock) adalah suatu penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan
atau jabatan yang diderita orang-orang yang secara tiba-tiba berpindah atau dipindahkan
ke lingkungan yang baru. Gegar budaya ditimbulkan oleh kecemasan yang disebabkan
oleh kehilangan tanda-tanda dan lambang-lambang dalam pergaulan social. Misalnya
kapan berjabat tangan dan apa yang harus kita katakan bila bertemu dengan orang, kapan
dan bagaimana kita memberikan tip, bagaimana berbelanja, kapan menolak dan
menerima undangan, dsb. Petunjuk-petunjuk ini yang mungkin berbentuk kata-kata,
isyarat-isyarat, ekspresi wajah, kebiasaan-kebiasaan, atau norma-norma, kita peroleh
sepanjang perjalanan hidup kita sejak kecil. Bila seseorang memasuki suatu budaya
asing, semua atau hampir semua petunjuk ini lenyap. Ia bagaikan ikan yang keluar dari
air. Orang akan kehilangan pegangan lalu mengalami frustasi dan kecemasan. Pertama-
tama mereka akan menolak lingkungan yang menyebabkan ketidaknyamanan dan
mengecam lingkungan itu dan menganggap kampung halamannya lebih baik dan terasa
sangat penting. Orang cenderung mencari perlindungan dengan berkumpul bersama
teman-teman setanah air, kumpulan yang sering menjadi sumber tuduhan-tuduhan
emosional yang disebut stereotip dengan cara negatif (Mulyana, 2006).
Ada perbedaan antara pengunjung sementara (sojourney) dengan orang yang mengambil
tempat tinggal tetap, misalnya di suatu Negara (settler). Seperti yang dikatakan oleh
Bochner: karena respek mereka terhadap pengalaman kontak dengan budaya lain
berbweda, maka reaksi mereka pun berbeda. Settlers berada daalm proses membuat
komitmen tetap pada masyarakat barunya, sedangkan sojourneys berada dalam landasan
sementara, meskipun kesementaraannya bervariasi, antara turis dalam sehari, sampai
mahasiswa dalam beberapa tahun (Samovar, 2000).
Istilah culture shock pertama kali diperkenalkan oleh antropologis bernama Oberg.
Menurutnya, culture shock didefinisikan sebagai kegelisahan yang mengendap yang
muncul dari kehilangan semua lambing dan symbol yang familiar dalam hubungan social,
termasuk didalamnya seribu satu cara yang mengarahkan kita dalam situasi keseharian,
misalnya: bagaiman untuk memberi perintah, bagaimana membeli sesuatu, kapan dan di
mana kita tidak perlu merespon (Mulyana, 2008).
Banyak definisi dari para ahli tentang gegar budaya, namun pada initinya, jika kami
menyimpulkan, gegar budaya adalah kondisi kecemasan yang dialami seseorang dalam
rangka penyesuaiannya dalam lingkungan yang baru di mana nilai budaya yang ada tidak
sesuai dengan nilai budaya yang dimilikinya sejak lama. Deddy Mulyana lebih
mendasarkan gegar budaya sebagai benturan persepsi yang diakibatkan penggunaan
pesepsi berdasarkan faktor-faktor internal (nilai-nilai budaya) yang telah dipelajari orang
yang bersangkutan dalam lingkungan baru yang nilai-nilai budayanya berbeda dan belum
ia pahami. Lingkungan baru dapat merujuk pada agama baru, sekolah baru, lingkungan
kerja baru, dsb.
Reaksi terhadap culture shock bervariasi antara 1 individu dengan individu lainnya, dan
dapat muncul pada waktu yang berbeda. Reasi-reaksi yang mungkin terjasi, antara lain:
1. antagonis/ memusuhi terhadap lingkungan baru.
2. rasa kehilangan arah
3. rasa penolakan
4. gangguan lambung dan sakit kepala
5. homesick/ rindu pada rumah/ lingkungan lama
6. rindu pada teman dan keluarga
7. merasa kehilangan status dan pengaruh
8. menarik diri
9. menganggap orang-orang dalam budaya tuan rumah tidak peka
Meskipun ada berbagai variasi reqaksi terhadap culture hock, dan perbedaan jangka
waktu penyesuaian diri, Samovar, (2000) menyatakan bahwa orang biasanya melewati 4
tingkatan culture shock. Keempat tingkatan ini dapat digambarkan dalam bentuk kurva u,
sehingga disebut u-curve.
Fase optimistic, fase pertama yang digambarkan berada pada bagian kiri atas dari kurva
U. fase ini berisi kegembiraan, rasa penuh harapan, dan euphoria sebagai antisipasi
individu sebelum memasuki budaya baru
Masalah cultural, fase kedua di mana maslah dengan lingkungan baru mulai
berkembang, misalnya karena kesulitan bahasa, system lalu lintas baru, sekolah baru, dll.
Fase ini biasanya ditandai dengan rasa kecewa dan ketidakpuasan. Ini adalah periode
krisis daalm culture shock. Orang menjadi bingung dan tercengan dengan sekitarnya, dan
dapat menjadi frustasi dan mudah tersinggung, bersikap permusuhan, mudah marah, tidak
sabaran, dan bahkan menjadi tidak kompeten.
Fase recovery, fase ketiga dimana orang mulai mengerti mengenai budaya barunya. Pada
tahap ini, orang secara bertahap membuat penyesuaian dan perubahan dalam caranya
menanggulangi budaya baru. Orang-orang dan peristiwa dalam lingkungan baru mulai
dapat terprediksi dan tidak terlalu menekan.
Fase penyesuaian, fase terakhir, pada puncak kanan U, orang telah mengertpi elemen
kunci dari budaya barunya (nilai-nilai, adapt khusus, pola keomunikasi, keyakinan, dll).
Kemampuan untuk hidup dalam 2 budaya yang berbeda, biasanya uga disertai dengan
rasa puas dan menikmati. Namun beberapa hali menyatakan bahwa, untuk dapat hidup
dalam 2 budaya tersebut, seseorang akan perlu beradaptasi kembali dengan budayanya
terdahulu, dan memunculkan gagasan tentang W curve, yaitu gabungan dari 2 U curve.
Deddy Mulyana menyebut gegar budaya sebagai suatu penyakit yang mempunyai gejala
dan pengobatan tersendiri. Beberapa gejala gegar budaya adalah buang air kecil, minum,
makan dan tidur yang berlebih-lebihan, takut kontak fisik dengan orang-orang lain,
tatapan mata yang kosong, perasaan tidak berdaya dan keinginan untuk terus bergantung
pada penduduk sebangsanya, marah karena hal-hal sepele, reaksi yang berlebihan
terhadap penyakit yang sepele, dan akhirnya, keinginan yang memuncak untuk pulang ke
kampung halaman.
Derajat gegar budaya yang mempengaruhi orang berbeda-beda. Ada beberapa orang yang
tidak dapat tinggal di negara asing. Namun, banyak pula yang berhasi menyesuaikan diri
dengan lingkunagan barunya. Deddy Mulyana juga memaparkan tahapan-tahapan
penyesuaian orang terhadap lingkungan barunya yang hampir mirip dengan tahapan
sebelumnya. Tahap pertama yang disebut tahap ‘bulan madu’ berlangsung dalam
beberapa minggu sampai 6 bulan dimana kebanyakan orang senang melihat hal-hal baru.
Orang masih bersemangat dan beritikad baik dalam menjalin persahabatan antarbangsa.
Tahap kedua dimulai ketika orang mulai menghadapi kondisi nyata dalam hidupnya,
ditandai dan dimulai dengan suatu sikap memusuhi dan agresif terhadap negeri pribumi
yang berasal dari kesulitan pendatang dalam menyesuaikan diri. Misalnya kesulitan
rumah tangga, kesulitan transportasi dan fakta bahwa kaum pribumi tak menghiraukan
kesulitan mereka. Pendatang menjadi agresif kemudian bergerombol dengan teman-
teman sebangsa dan mulai mengkritik negeri pribumi, adat-istidatnya, dan orang-
orangnya. Tahap ketiga pendatang mulai menuju ke kesembuhan dengan bersikap positif
terhadap penduduk pribumi. Tidak lagi menimpakan kesulitan-kesulitan yang dialami
sebagai salah penduduk pribumu atas ketidanyamanan yang dialaminya tetapi mulai
menanggulanginya, “ini masalahku dan aku harus menyelesaikannya”. Pada tahap
keempat, penyesuaian diri hampir lengkap. Pendatang sudah mulai menerima adat-
istiadat itu sebagai cara hidup yang lain. Bergaul dalam lingkungan-lingkungan baru
tanpa merasa cemas, walau kadang masih ada ketegangan sosial yang nantinya seiring
dalam pergaulan sosialnya ketegangan ini akan lenyap. Akhirnya pendatang telah
memahami negeri pribumi dan menyesuaikannya, hingga akhirnya, ketika pulang ke
kampung halaman pun kebiasaan di negeri pribumi tersebut akan dibawa-bawa dan
dirindukan.
Beberapa cara yang ditawarkan untuk menanggulangi culture shock, antara lain:
1. berteman dengan orang-orang dari budaya baru, dan dengan sesame pendatang.
2. belajar mengenai budaya baru, hal ini bias dilakukan sebagai antisipasi
cultureshock, misalnya dengan mempelajari komunikasi lintas budaya, dan
mempelajari bahasa-bahasa asing.
3. lebih sabar, dengan mengingat bahwa akan ada tahappenyesuaian, dan saat-saat
krisis akan segera berlalu.
4. ambil bagian dalam kegiatan kultural, pengalaman adalah guru yang paling
berharga. Deengan berpartisipasi, kita dapat belajar banyak tentang kebudayaan
tersebut.
Gegar budaya adalah fenomena yang alamiah. Intesitasnya dipengaruhi oleh faktor-
faktor, baik internal (ciri-ciri kepribadian orang yang bersangkutan) maupun eksternal
(kerumitas budaya baru atau lingkungan baru yang dimasuki). Gegar budaya sebenarnya
merupakan titik pangkal untuk mengembangkan keprbadian dan wawasan budaya kita,
sehingga kita dapat menjadi orang-orang yang luwes dan terampil dalam bergaul dengan
orang-orang dari berbagai budaya, tanpa harus mengorbankan nilai-nilai budaya kita
sendiri.
BAB III
METODE PENELITIAN
1. Tipe Penelitian
Penelitian ini menggunakan tipe penelian kuantitatif yaitu penelitian yang berusaha
mencari hubungan antara dua variable dan menggunakan data statistic dalam menjawab
pertanyaan penelitian (Dorsten and Hotchkiss, 2004). Hubungan variable yang ingin
diketahui adalah pengaruh culture shock terhadap motivasi belajar mahasiswa. Sementara
data yang ada akan diekspresikan secara stastistic untuk mengetahui tingkat presentase
culture shock yang dialami oleh mahasiswa. Peneliti bertindak sebagai pengamat yang
hanya membuat kategori perilaku, mengamati gejala dan mencatatnya dalam buku
observasi. Data atau informasi yang didapat akan diolah dan ditranskip untuk menjawab
pertanyaan penelitian. Dikarenakan sebagian kebenaran yang akan diteliti mungkin hanya
bisa diperoleh secara probabilistic, realitas yang ada adalah realitas objektif, sebagai
realitas yang berada di luar diri peneliti. Dengan demikian, untuk sebagian observasi dan
pengumpulan data, peneliti akan mengambil jarak dengan objek yang ditelitinya.
1. Sumber Data
Responden yang dipilih adalah mahasiswa perantauan FISIP UAJY angkatan 2008.
Sample data diambil secara acak atau random. Selain itu peneliti dalam mengumpulkan
data juga melakukan studi pustaka baik dari media cetak maupun dari internet.
b) Studi pustaka dilakukan untuk menunjang pengumpulan informasi atau data untuk
menjawab masalah-masalah yang sudah dirumuskan. Di samping itu studi pustaka juga
dilakukan untuk mendapatkan kerangka dasar teoritis dalam penelitian.
1. Teknik analisis
Teknik analisi data melalui pengkategorisasian data yang telah ditranskip untuk
kemudian dilakukan juga reduksi data. Data diperoleh adalah data kuantitatif. Data-data
tersebut dianalisis berdasarkan kerangka teori yang ada untuk memperoleh kesimpulan.
BAB IV
Dari 30 sampling mahasiswa perantauan FISIP UAJY angkatan 2008 yang dipilih secara
random atau acak diperoleh data :
Variable Jumlah
Mengalami culture shock 25
Tidak mengalami culture shock 5
Total 30
Presentase pengalaman culture shock : 83,33%
Bisa disimpulkan sebagian besar mahasiwa perantauan FISIP UAJY angkatan 2008
(lebih dari 80%) mengalami culture shock pindah ke Jogja. Sementara, setelah peneliti
menganalisis data lebih jauh, ternyata 16,67% mahasiswa yang menyatakan tidak
mengalami culture shock dalam bentuk apapun, semuanya berasal dari daerah Jawa
Tengah, daerah yang terletak di dekat Jogja dan budayanya tidak berbeda jauh dengan
budaya di Jogja. Hal ini menunjukan bahwa semakin mirip dan dekat budaya antara
budaya asal dengan budaya baru maka kemungkinan terjadinya culture shock pun
semakin kecil.
Bentuk culture shock yang dialami oleh 83, 33% (24 mahasiswa) mahasiswa perantauan
FISIP UAJY angkatan 2008 :
Berkaitan dengan 4 tahapan culture shock yang telah diuraikan dalam kajian pustaka,
masalah-masalah tersebut di atas adalah masalah-masalah yang dialami mahasiswa ketika
dalam fase masalah kultural.
Variable Jumlah
Terganggu motivasi belajarnya 13
Tidak terganggu sama sekali 12
Total 25
Presentase yang terganggu motivasi 52%
belajar :
Melalui data ini peneliti menyimpulkan bahwa culture shock relative berpengaruh
terhadap motivasi belajar mahasiswa. 52% mahasiswa terganggu motivasi belajarnya
akibat culture shock sementara yang lain tidak berpengaruh. Culture shock bisa dikatakan
berpengaruh terhadap terganggunya motivasi belajar mahasiwa namun effektifitasnya
tidak besar. Hasil penelitian menunjukan persentase yang hampir fifti-fifti. Setengah
sample dari populasi yang diamati mengaku terganggu motivasi belajarnya karena
mengalami culture shock sementara setengahnya tidak. Namun, untuk dijadikan catatan,
12 orang yang mengaku tidak terganggu motivasi kuliahnya mengaku telah beradaptasi
dengan budaya di Jogja. Jadi, ketika mahasiswa mulai meyesuaikan dirinya dengan udaya
baru di Jogja, maka motivasi kuliah pun tidak menjadi persoalan.
Gangguan terhadap motivasi belajar atau kuliah yang dialami mahasiswa (sekitar
53%)diantaranya adalah :
Variable Jumlah
Mampu beradaptasi 23
Belum mampu beradaptasi 2
Total 25
Presentase yang mampu beradaptasi: 92%
Dari 92% (23 orang) yang mengaku telah beradaptasi dengan budaya baru di Jogja
mengaku tidak lagi mengalami gangguan motivasi belajar/kuliah. Di sinilah mereka
mengalami fase penyesuaian setelah sebelumya mengalami fase recovery. 92%
mahasiswa dari mahasiswa yang mengalami culture shock sadar bahwa mereka harus
menerima budaya baru di Jogja jika ingin meyelesaikan konflik masalah cultural yang
terjadi, apalagi masalah cultural tersebut telah mengganggu motivasi kuliah mereka. Di
tahap ini mereka masih berupa kesadaran dan keinginan untuk beradaptasi dan disebut
fase recovery. Setelah mereka berhasil beradabtasi, artinya mereka tindak lagi merasa
tidak nyaman dan tidak lagi mengalami masalah kultural, di sinilah fase adabtasi telah
berhasil mereka lakukan. Sementara 8% (2 orang) dari mahasiswa yang mengalami
culture shock yang mengaku belum mampu beradaptasi dengan budaya baru di Jogja
mengaku masih mengalami gangguan kuliah dan merasa tidak nyaman hidup di Jogja.
Mereka mengaku memilih menghindar dari masalah-masalah kultural yang dialaminya.
Hal ini berarti, jika orang ingin hidup nyaman dan berhasil di lingkungan yang baru maka
mau tidak mau ia harus menyesuaikan dirinya dengan lingkungan baru tersebut. Ada
pepatah mengatakan di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Untuk komunikasi
yang lancar dan effektif perlu adanya usaha untuk menghargai dan memahami serta
menerima budaya orang lain. Terlebih, kita akan tinggal di budaya itu.
Namun, yang jelas, dari data di atas dapat disimpulkan bahwa ada 2 jenis manajemen
konflik yang dilakukan mahasiswa yaitu beradaptasi dengan menerima dan memahami
budaya di Jogja sedangkan yang satunya lagi menghindar. Dengan beradabtasi dan
meyesuaikan diri dengan budaya di Jogja mahasiswa merasa lebih nyaman tinggal di
Jogja dan permasalahan motivasi kuliah yang terjadi terselesaikan, sementara usaha
menghindar justru tidak membuat persoalan lebih baik bahkan tampak buruk. Sekali lagi,
untuk terjalinnya komunikasi yang effektif dan lancar kita harus menerima dan
meyesuaikan diri dengan budaya tempat kita berada. Menghargai dan menerima segala
keanekaan/ keheterogenan budaya yang ada mempermusdah kita beradabtasi dengan
budaya yang baru yang akan memperlancar komunikasi yang terjadi, dan komunikasi itu
berlangsung secara nyaman.
BAB V
Untuk memperinci dan memperjelas hasil yang didapat dari penelitian ini, kesimpulan
akan dibuat dalam bentuk pointer.
1. Sebagian besar mahasiswa perantauan FISIP UAJY angkatan 2008 megalami fase
optimistic di mana mereka merasa senang dan tertantang ketika awal berpindah ke
Jogja.
2. Sebagian besar mahasiswa, sekitar 83,33%, mengalami culture shock. Mereka
mengalami beberapa masalah kultural baik secara fisik maupun emosional. Dari
perasaan tidak nyaman ringan hingga depresi. Dari pola makan yang tidak teratur
hingga mengalami sakit.
3. 16, 67 mahasiswa yang tidak mengalami masalah kultural (culture shock) yang
berarti berasal dari daerah sekitar Jogja yang tidak terlalu berbeda budayanya
dengan budaya di Jogja. Sehingga, dapat disimpulkan semakin mirip dan dekat
budaya antara budaya asal dengan budaya baru maka kemungkinan terjadinya
culture shock pun semakin kecil.
4. Setengah sample dari populasi (52%) yang diamati mengaku terganggu motivasi
belajarnya karena mengalami culture shock sementara setengahnya tidak. Data
yang fifti-fifti menunjukan bahwa pengaruh terhadap motivasi belajar relatif tidak
terlalu besar tetapi juga tidak kecil. Namun, untuk dijadikan catatan, 12 orang
yang mengaku tidak terganggu motivasi kuliahnya mengaku telah beradaptasi
dengan budaya di Jogja. Jadi, ketika mahasiswa mulai meyesuaikan dirinya
dengan udaya baru di Jogja, maka motivasi kuliah pun tidak menjadi persoalan.
5. ganggua motivasi belajar/kuliah mahasiswa ada beberapa macam. Dari malas dan
bolos kuliah hingga tidak ingin ikut kuliah lagi. Dari tidak bisa konsentrasi belajar
hingga nilai atau IP jeblok.
6. Dari 92% (23 orang) yang mengaku telah beradaptasi dengan budaya baru di
Jogja mengaku tidak lagi mengalami gangguan motivasi belajar/kuliah.
Sementara 8% (2 orang) yang mengaku belum mampu beradaptasi dengan budaya
baru di Jogja mengaku masih mengalami gangguan kuliah dan merasa tidak
nyaman hidup di Jogja.
7. Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa ada 2 jenis manajemen konflik yang
dilakukan mahasiswa yaitu beradaptasi dengan menerima dan memahami budaya
di Jogja sedangkan yang satunya lagi menghindar. Dengan beradabtasi dan
meyesuaikan diri dengan budaya di Jogja mahasiswa merasa lebih nyaman tinggal
di Jogja dan permasalahan motivasi kuliah yang terjadi terselesaikan, sementara
usaha menghindar justru tidak membuat persoalan lebih baik bahkan tampak
buruk.
8. Ada pepatah mengatakan di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Untuk
komunikasi yang lancar dan effektif perlu adanya usaha untuk menghargai dan
memahami serta menerima budaya orang lain. Terlebih, kita akan tinggal di
budaya itu. Jika orang ingin hidup nyaman dan berhasil di lingkungan yang baru
maka mau tidak mau ia harus menyesuaikan dirinya dengan lingkungan baru
tersebut.
SARAN
Dikarenakan waktu penelitian yang terlalu singkat, jumlah data yang berhasil diperoleh
masih sedikit. Terlebih lagi, banyak data dari responden yang menjawab kuesioner
terkesan main-main atau kurang serius dalam menjawabnya menjadikan penelitian ini
jauh dari sempurna. Untuk itu perlu dilakukan penelitian ulang atau penelitian lanjutan
untuk memperbaiki dan melengkapi penelitian ini. Variable dalam penelitian ini dapat
diganti maupun ditambah. Atas kekurangan dan kelemahan penelitian ini, peneliti mohon
maaf.
DAFTAR PUSTAKA
Dorsten, Linda E. and Lawrence Hotchkiss. 2004. Research Methods and Society.
Bandung : Rosda.
Balmer, Starr. 2009. Experiencing Culture Shock in College. Participation Helps Students
Adapt to an Unfamiliar Lifestyle.
(http://campuslife.suite101.com/article.cfm/understanding_and_coping_with_culture_sho
ck )
Littlejohn, Simone. 2004. Culture shock management: when you move to a new place,
you are likely to experience a certain degree of culture shock. Though it can be very
difficult for some, it is a worthwhile experience.
(http://www.thefreelibrary.com/Culture+shock+management
%3a+when+you+move+to+a+new+place%2c+you+are…-a0119267612)
Yang berisikan tujuan Negara untuk menyejahterakan dan menjaga keadilan sosial.
Pasal itu mengatur mengenai hak setiap orang untuk memiliki tempat tinggal yang layak
4) Pasal 34 UUD’45
1. Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan
2. Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan
keadilan.
3. Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan
dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
4. Setiap orang berhak memiliki hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh
diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.
Pancasila dan UUD’45 menyatakan Indonesia sebagai negara kesejahteraan. Dalam hal
ini kesejahteraan dan kemakmuran rakyat sebagai tujuan negara. Kesejahteraan adalah
hak rakyat. Kenyataannya, tidak semua rakyat Indonesia sejahtera. Lalu, apakah
kemiskinan yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia dapat menjadikan Indonesia
sebagai negara gagal??(Tim Peneliti PSIK, 2008).
Manusia dan masyarakat tidak hidup hanya dengan perdamaian, melainkan juga dengan
terpenuhinya kebutuhan hidup sehari-hari, termasuk kebutuhan akan sandang, pangan,
dan papan. Papan, sebagai tempat berlindung menjadi kebutuhan hakiki manusia.
Manusia menjadi makmur sekurang-kurangnya apabila ketiga kebutuhan tersebut
terpenuhi. Pertanyaannya : Apakah kenyataannya semua warga Indonesia telah
memperoleh kemakmuran??Masihkan terdapat kemelaratan di dalam negeri kita??Hal ini
terkait dengan kehidupan ekonomi di mana pemerintah mengaturnya dengan menerapkan
sisitem ekonomi yang ada. Pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk
menyejahterakan rakyatnya. Sistem ekonomi yang ada disusun dengan tujuan tersebut.
Bukan hanya teorinya saja tetapi pelaksanaannya pun harus diawasi dan diatur
sedemikian rupa agar tidak melenceng dari tujuan tadi. Harus ada keadilan sosial dalam
kesejahteraan sosial. Keadilan sosial menjadi maslah di banyak tempat. Ada kesenjangan
yang besar antara penduduk yang menikmati kekayaan dan kekuasaan, sementara
penduduk lainnya menderita serba kekurangan. Biasanya ketidakadilan sosial itu bersifat
struktual, artinya: merupakan kenyataan yang diakibatkan oleh struktur sosial-politik-
ekonomi yang berlaku Namun, sebagai warga masyarakat, kita perlu sadar bahwa
ekonomi akhirnya menjadi tanggung jawab kita bersama, sebab hal itu menyangkut
kebutuhan kita sendiri. Karena itu, apapun sistem ekonomi yang dipilih oleh pemerintah,
kita terpanggil untuk ikut mengusahakan kemakmuran, baik bagi keluarga kita sendiri,
maupun bagi sesama warga masyarakat lain. Kemakmuran tidak dapat diharapkan dari
pemerintah semata-mata. Pemerintah lebih layak dilihat sebagai pelengkap usaha warga
masayarakat sendiri. Pemerintah mengatur hal-hal yang belum dapat ditangani oleh
warga masyarakat sendiri. Sebagai individu kita mau berusaha mencukupi kebutuhan
dengan kemampuan dan jerih payah sendiri, sebagai makhluk sosial kita ikut
memperhatikan pula kebutuhan sesama, terutama yang menderita kekurangan dalam hal-
hal yang paling mendasar (Hadiwardoyo, 1990: 74-89).
Kita coba mengkaitakannya dengan sisi kemanusiaan. Di mana ada belas kasihan untuk
menolong orang-orang yang bermasalah dan berkekurangan. Untuk mewujudkan negara
yang adil dan sejahtera akan sangat penting jika pemikiran-pemikiran tentang
kemanusiaan ditumbuhkembangkan. Humanitarianisme lahir karena kemiskinan dan
konflik yang melanda masyarakat, sedang tujuannya adalah pembangunan dan
perdamaian dengan prinsip-prinsip kemanuasiaan. Kita tentu berharap pembangunan
yang dideklarasikan menampilkan wajah kemakmuran. Karena berbagai ketimpangan
yang terjadi di negeri ini cukup menunjukkan degradasi komitmen keadilan sosial dalam
proses pembangunan. (Masruri, 2005:183).
Berbicara soal kasus penggusuran paksa yang terjadi, tentu saja, dalam pelaksanaannya
sudah ada prosedure yang jelas dan sah dari pemerintah atau pejabat yang berwenang.
Namun, pertanyaannya adalah : Sudah sejahterakah semua pihak?Sudah adilkah bagi
semua pihak?Karena terus terang, definisi ’adil’ itu sangat relatif. Benarkah keadilan
yang diterapkan pemerintah itu menyejahterakan? Benarkah pembangunan selalu
ditujukan bagi kesejahteraan rakyat? Sering kali, berdasarkan studi kasus yang telah kami
lakukan, kami menemukan kasus pengusuran paksa yang terjadi lebih banyak melanda
kaum miskin. Untuk penataan kota yang diharapkan lebih tertata rapi dan tertib, area
pemungkiman kumuh dan liar digusur aparat. Contohnya kasus-kasus penggusuran
daerah kumuh di sekitar TPS yang terjadi di Jakarta. Namun, yang jadi masalah di sini
adalah, biasanya, tidak ada kompensasi yang cukup atau memadai yang diberikan pada
korban atau warga yang rumahnya terkena penggusuran. Tidak disediakannya tempat
tinggal baru yang lebih layak huni sebagai upaya pemerintah untuk meyejahterakan
rakyatnya. Nah, yang dipertanyakan di sini : Adakah sisi kemanusiaan dari kebijakan
pemerintah ini? Apakah kebijakan pemerintah yang menggusur lahan atau tanah tersebut
mempertimbangkan kesejahteraan masayarakat yang menjadi korban penggusuran?
Lebih miris lagi kalau ternyata tanah atau arena hasil penggusuran itu oleh pemerintah
malah dibuat proyek-proyek yang memihak pada kepentingan pribadi atau kelompok
tertentu.
Pemindahan individu, keluarga dan/atau komunitas secara paksa (di luar kehendak) dari
rumah dan/atau tanah yang telah mereka tempati, untuk selamanya atau sementara, tanpa
penyediaan atau akses pada prosedur hukum yang benar maupun perlindungan yang
diperlukan.
Penggusuran paksa secara langsung melanggar hak tiap orang atas perumahan yang
layak. Namun mengingat hak asasi manusia saling terkait, maka penggusuran paksa juga
melanggar hak-hak lain, yang meliputi pula hak-hak sipil dan politik. Hak-hak tersebut
antara lain hak untuk hidup, hak atas keamanan pribadi, hak untuk tidak dicampuri
urusan pribadi, keluarga dan rumahnya, serta hak untuk dapat menikmati harta
bendanya. Secara tegas Komisi HAM PBB menyatakan bahwa praktek penggusuran
paksa merupakan pelanggaran HAM.
Masyarakat yang tergsusur merupakan Korban Kapitalisme. Alasan utama Pemda DKI
Jakarta melakukan penggusuran adalah untuk menegakkan hukum dan ketertiban.
Menurut Pemda, hukum harus ditegakkan karena mereka yang digusur tersebut
membangun rumahnya secara ilegal dengan menempati tanah negara atau tanah milik
orang lain. Untuk merealisasikan penegakkan hukum tersebut, tidak tangung-tanggung
Pemda mengerahkan ribuan aparat tramtib, polisi dan tentara. Kebijakan Pemda tersebut
sangat ironi. Banyak sekali pelanggaran hukum di wilayah DKI Jakarta yang dibiarkan
begitu saja, misalnya perjudian, miras dan prostitusi. Malah warga yang memberantas
sarang maksiat tersebut ditangkap dan dijatuhi hukuman. Hal tersebut menunjukkan
bahwa jika pelanggaran hukum dilakukan oleh orang-orang yang berpunya, maka hukum
melempeng, tetapi jika menyangkut orang kecil hukum dibuat tegak, meskipun belum
tentu mereka bersalah. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Adalah tidak dapat dipungkiri
bahwa hukum di Indonesia dibuat oleh DPR bersama dengan pemerintah. Kemudian
anggota parlemen yang pemikirannya berbeda-beda, memiliki kecerdasan yang berbeda,
dan membawa kepentingan yang berbeda pula hanya akan menghasilkan hukum yang
lemah dan tidak konsisten. Kelemahan hukum itu bisa dilihat dari substansi hukum yang
tidak dapat memecahkan problematika kehidupan masyarakat. Misalnya hukum tentang
pertanahan yang memberikan kesempatan luas kepada para pemilik modal atau orang-
orang kaya untuk memiliki tanah seluas-luasnya meskipun tanah tersebut dibiarkan
begitu saja terbengkalai, sehingga terjadi pemusatan pemilikan tanah pada segilintir
orang saja. Akibatnya kesempatan sebagian masyarakat memiliki dan memanfaatkan
tanah untuk tempat tinggal, tempat usaha dan pertanian menjadi sangat terbatas.
Ketidakkonsistenan hukum terjadi karena adanya pertentangan substansi antara satu
produk hukum dengan produk hukum lainnya. Misalnya dalam UUD 1945 disebutkan
bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Akan tetapi pada
tingkatan hukum yang lebih rendah tidak ada pengaturan bagaimana fakir miskin dan
anak-anak terlantar tersebut dipelihara oleh negara. Justru sebaliknya undang-undang dan
peraturan pemerintah yang lahir meminggirkan masyarakat lemah. Banyak sekali
undang-undang dan peraturan pemerintah di bidang ekonomi yang menguntungkan para
pemilik modal dan orang-orang kaya. Sehingga yang terjadi bukannya negara mengurusi
fakir miskin tetapi mengurusi kepentingan para pemilik modal.
Yang fatal lagi adalah setiap anggota parlemen dan pejabat pemerintah, setiap parta
politik memiliki agenda masing-masing yang sangat rawan disusupi oleh kepentingan
para pemilik modal. Di era reformasi sekarang, dengan campur tangan IMF dan Bank
Dunia, beberapa undang-undang yang berkaitan dengan ekonomi drafnya dibuat oleh
para konsultan asing. Maka tidak heran undang-undang dan peraturan yang lahir
cenderung merugikan negara dan rakyat banyak. Bahkan dalam tataran aplikasinya,
hukum bisa dipermainkan seusai kepentingan. Inilah kondisi sistem hukum di Indonesia
yang mudah disetir untuk kepentingan sekelompok orang. Dalam aspek ekonomi,
penggusuran terjadi karena adanya kepentingan ekonomi orang-orang kuat terhadap
tanah yang digusur. Perekonomian Indonesia secara konsep dan praktis berkiblat ke
Barat. Sehingga kebijakan ekonomi Indonesia tidak bisa dilepaskan dengan sistem
ekonomi Kapitalis. Dalam prinsip ekonomi ini, siapa yang kuat dialah yang menang.
Artinya di sini berlaku hukum rimba. Para pemilik modal yang memiliki kekuatan
ekonomi dapat mempengaruhi kebijakan politik dan ekonomi pemerintah untuk
kepentingan mereka. Mereka juga bisa menyusupkan kepentingannya dalam undang-
undang dan peraturan, termasuk mempengaruhi keputusan pengadilan. Melalui proses
inilah kemudian kepentingan-kepentingan mereka direalisasikan. Adapun mengenai
bagaimana kondisi para korban kepentingan mereka, bukanlah persoalan mereka, tetapi
menjadi urusan pemerintah. Masalahnya lagi para pejabat yang berwenang membiarkan
keadaan para korban tanpa pertolongan, bahkan mereka dianggap sampah. Seperti yang
dialami oleh ribuan korban penggusuran. Mereka digusur dengan cara yang bengis, harta
mereka banyak hilang atau hancur bersama hancurnya rumah mereka. Sesudah itu
pemerintah membiarkan mereka begitu saja keadaan mereka. Ke mana mereka tinggal
setelah rumahnya digusur, bagaimana mengembalikan harta mereka yang hilang,
pekerjaan apa yang dapat mereka lakukan untuk menghidupi keluarganya, bagaimana
anak-anak mereka bisa sekolah, dan apakah mereka mendapatkan makanan atau tidak,
bukanlah urusan pemerintah. Mereka dianggap sampah kepentingan ekonomi. Mereka
akan diperhatikan penguasa atau elit politik, jika datang masa para penguasa memerlukan
dukungan mereka untuk mempertahankan kekuasaannya. Fakta tersebut membuktikan
bahwa tidak ada jaminan pemenuhan kebutuhan hidup mereka bagi setiap warga negara
indonesia di manapun mereka berada. Mereka yang mendapatkan hidup layak adalah
mereka yang dapat membayar. Apakah kenyataannya fakir miskin dilindungi negara??
Namun dalam realitasnya, cita-cita luhur tersebut masih berupa cita-cita dan impian,
belum tercipta secara real dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Keadilan sosial
berorientasi pada tujuan negara yang menyejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
Kesejahteraan yang adil adalah hak setiap warga negara. Orang dikatakan sejahtera
apabila telah terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Namun,
ketidaksejahteraan sebagian besar masyarakat Indonesia di berbagai tempat kiranya
cukup menjadi bukti bahwa negara kerap gagal menyelamatkan sendi-sendi sosial
kehidupan rakyatnya. Kasus yang kita bahas adalah yang berkaitan dengan ’papan’
sebagai kebutuhan hakiki manusia untuk hidup. Sudah merupakan hak asasi manusia
untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak. Keberadaan ’papan’ dijamin oleh negara
melalui UUD’45 dan Pancasila. Penggusuran paksa yang merampas ’papan’ masyarakat
Indonesia tanpa kompensasi yang adil tentu tidak sesuai dengan ideologi bangsa dan jauh
dari konsep kesejahteraan yang dijanjikan negara.
Beberapa kasus penggusuran paksa hanyalah contoh kecil poros kesejahteraan sosial dan
komitmen keadilan yang sering diabaikan negara dalam setiap pengambilan kebijakan. Ia
juga menjadi bukti struktur relasi yang tidak seimbang antara negara, institusi modal, dan
komunitas rakyat. Dari situlah, komitmen keadilan dan detak kesejahteraan sosial sebagai
filsafat politik yang mendasari berdirinya negara ini perlu terus-menerus diawasi dan
diprioritaskan. Negara harus meneguhkan dan mengayunkan kembali cita-cita keadilan
sosial terhadap rakyat yang selama ini menjadi bagian dari eksistensinya. Aspek keadilan
sosial sebagai ujung proses pembangunan dengan demikian harus menjadi pijakan utama
dalam sebuah kebijakan publik dan bukan semata-mata hanya soal kemakmuran
ekonomi. Hal ini penting untuk melindungi keberadaan rakyat kecil yang teramat sering
tersisih dari proses pembangunan. Mereka kerap dipaksa bertarung dengan sebuah sistem
yang tidak adil sejak awalnya. Dalam kasus penggusuran paksa, warga dipaksa keluar
namun sering kali kesejahteraan terhadapnya diabaikan. Misalnya, tidak ada kompensasi
yang cukup, tidak disediakannya tempat tinggal baru yang lebih layak huni. Dalam alur
semacam itu, barangkali kita bisa sedikit mencontoh beberapa negara Eropa, misalnya,
Jerman dan Prancis. Di negara-negara tersebut, yang ekonominya dipandu garis ekonomi
pasar sosial, Di mana konsep negara kesejahteraan tidak hanya sebagai ’pajangan tertulis’
namun betul-betul direalisasikan, ketimpangan tidak akan begitu tampak mencolok. Di
Jerman berlaku kebijakan pajak progresif yang sangat merisaukan individu dengan
potensi meraup keuntungan ekonomi amat banyak. Pajak yang dikumpulkan akan
disebarkan kembali ke rakyat dalam bentuk berbagai kebijakan publik seperti tunjangan
pengangguran, pendidikan gratis, ibu melahirkan, dan lain-lain. Kita tentu berharap
pembangunan yang digelontorkan menampilkan wajah kemakmuran. Karena berbagai
ketimpangan yang terjadi di negeri ini cukup menunjukkan tergerusnya komitmen
keadilan sosial dalam proses pembangunan. Harapan rakyat adalah agar pembangunan
harus selalu ditujukan untuk kepentingan kesejahteraan seluruh rakyat bukan untuk
kepentingan kesejahteraan suatu kelompok tertentu dengan alasan kesejahteraan seluruh
rakyat Indonesia. Dalam penggusuran tetap saja melekat makna kekerasan. Lebih dari itu,
ia juga merupakan cermin kegagalan institusi pengambil kebijakan untuk menjalin dialog
yang lebih arif. Politik pembangunan yang mestinya manusiawi pun dalam kasus
penggusuran akhirnya dijalankan dengan terlepas dari etika sosial.
Solusi
Literature Review
(http://www.gp-ansor.org/opini/meneguhkan-komitmen-keadilan.html )
(http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0312/04/opini/716690.htm)
(http://korantempo.com/korantempo/2008/02/21/Opini/krn,20080221,70.id.html)
Tebingtinggi (SIB)
Penggusuran pedagang kaki lima dari sekitar Pajak Hangkang, Pasar Gambir dan Pajak
Bunga Jalan Iskandar Muda Tebingtinggi, Rabu (20/6) nyaris bentrok
Dari pantuan SIB, saat puluhan petugas Satpol PP turun bersama anggota Brimob
sebagian para pedagang yang berjualan di kaki lima langsung hengkang mengangkat
barang dagangannya. Petugas Satpol PP melalui pengeras suara meminta para pedagang
jangan berjualan di tempat yang dilarang dan sekitar kaki lima.
Akan tetapi beberapa dari pedagang tersebut khususnya yang mendirikan tempat
dagangan menempel dengan dinding ruko dengan tegas menolak dipindah sesuai perintah
petugas Satpol PP. Akibat pedagang tidak bersedia digusur, nyaris terjadi bentrok.
Pedagang menilai ada beberapa oknum petugas melakukan pengutipan liar namun
mengapa mereka tetap digusur.
Pedagang sayur mayur M Siringoringo dan S br Simbolon tidak bersedia membongkar
kiosnya dengan alasan petugas Satpol PP pilih kasih dalam menertibkan pedagang.
Mereka menuding ada oknum petugas Satpol PP melakukan kutipan melalui pedagang
liar agar tetap aman berjualan di kaki lima.
Mendengar ucapan tersebut, petugas Satpol PP meminta agar Simbolon secara pasti
menunjuk siapa oknum petugas Satpol PP yang melakukan pengutipan. â€Kami tidak
perlu beritahu orangnya namun ia menyuruh pedagang yang tidak jelas untuk mengutip
uang keamanan berjualan di kaki lima,†tegas Siringoringo menantang petugas.
Melihat sikap pedagang S br Simbolon dan M Siringoringo yang bersikeras
mempertahankan tempatnya berjualan dan tidak bersedia membongkar kiosnya sebelum
yang lain ditertibkan, akhirnya petugas Satpol PP dan Brimob meninggalkannya.
Ketika diwawancarai SIB, baik M Siringoringo maupun br Simbolon mengatakan
sebenarnya mereka mendukung dilakukan penertiban akan tetapi jangan pilih kasih.
Sebagian ada yang digusur dan sebagian lain karena memberikan uang keamanan tidak
digusur. â€Setiap hari kami selalu diuber-uber petugas padahal retribusi tetap
dibayar,†ungkapnya.
Menurut Siringoringo, sebenarnya ia memiliki kios di gedung Pasar Gambir akan tetapi
jualannya tidak pernah laku. â€Sejak pembangunan Pasar Gambir kami hidup melarat
dan berjualan di dalam gedung tidak laku. Jika semua ditertibkan pasti gedung Pasar
Gambir ramai namun saat ini hanya berkisar 3 persen yang berjualan di dalam,†jelas
Siringoringo. (S10/t)
(http://hariansib.com/)
Jakarta – Deretan panjang WC umum di tepi Kali Item, Jakarta Barat, kini telah rata
dengan tanah. Warga sekitar pun bingung ketika ingin melakukan aktivitas mandi,
mencuci dan buang hajat.
“Warga di sini memanfaatkan WC umum ini untuk semua hal. Dari mandi, masak,
mencuci hingga buang air besar,” kata Laman (51), Ketua RW 9, Angke, Tambora,
Jakarta Barat, Rabu, (11/2/2009).
Warga mengeluhkan penggusuran WC umum itu. “Bisa-bisa besok pagi buang air besar
di kali,” kata Warjan (32).
Protes yang sama dilontarkan Saodah (29). “Kita nanti nyuci dan mandi di mana?,” ujar
Saodah dengan mimik wajah sedih.
Sekretaris Camat Tambora, Imran, mengatakan di lokasi itu rencananya akan dibangun
taman kota.
“Buat ruang terbuka hijau. Sekarang, satu rumah harus punya MCK masing-masing,”
kata Imran.
(asp/aan)
(http://www.detiknews.com/read/2009/02/11/164151/1083343/10/derita-rakyat-miskin-
wc-umum-pun-digusur)
Makassar – Penggusuran rumah nelayan di atas pantai Laguna, Kel. Panambungan, Kec.
Mariso, Makassar bukan hanya menyebabkan sekitar 18 kepala rumah tangga harus
kehilangan tempat tinggal. Para anak juga harus menanggung derita. Mereka tidak lagi
bisa melanjutkan sekolahnya. Selain karena kekurangan biaya, juga karena perlengkapan
sekolah mereka hanyut di laut saat penggusuran terjadi. Dari pengamatan detikcom,
sebagian besar korban penggusuran kini mendirikan tenda-tenda di pinggir pantai.
Triplek dan papan sisa-sisa bongkaran rumah mereka dijadikan dinding tenda. “Ya, kami
terpaksa begini. Karena kami tidak tahu mau ke mana lagi,” ujar ibu Hajjiah, salah
seorang warga ketika ditemui di lokasi penggusuran, Jum’at pagi (23/7/2004). “Baju dan
buku saya ikut hanyut di laut, saat rumah saya dibongkar,” ujar Nanna (10), yang telah
duduk di bangku SD kelas tiga. Karena perlengkapan sekolah tidak ada lagi, Nanna tidak
lagi pergi ke sekolah sejak rumahnya digusur. Hal yang sama juga menimpa Ilham
Baddora. Saat penggusuran terjadi, Ilham lupa mengambil ijazah SMP-nya. Sehingga
buldoser yang menghancurkan rumahnya ikut pula menghilangkan tanda lulus sekolah
itu. “Sebenarnya saya mau melanjutkan ke SMU, tapi ijazah saya hilang,” keluh Ilham.
Penggusuran di Pantai Laguna ini terjadi Kamis lalu, 15 Juli 2004. Sekitar 8 dari 16
rumah yang berdiri di atas laut itu dihancurkan oleh petugas tramtib. Hal ini berkaitan
dengan instruksi Walikota Makassar, Ilham Arif Sirajuddin, yang melarang bangunan di
atas laut. (nrl/)
(http://www.detiknews.com/read/2004/07/23/093432/180576/10/siswa-korban-
penggusuran-pantai-laguna-putus-sekolah)
Dalam dua bulan terakhir kita dicekoki media cetak dan elektronik dgn istilah release
and discharge . Memang istilah ini sangat asing termasuk bagi penulis sendiri. Bahkan
Kwik Kian Gie menyebutnya sangat ruwet dan runyam . Namun setelah mengikuti dgn
seksama pemberitaan media tentang dikeluarkannya R & D ini oleh pemerintah dan
BPPN penulis merasa sangat geram dan sedih. Karena utk ke sekiankalinya pemerintah
melakukan tindakan yg sangat tidak adil. Untuk itu melalui tulisan ini penulis berusaha
menjelaskan fakta serta sebab mendasar terjadinya kebijakan tersebut sebagai bagian dari
amar ma’ruf nahi mungkar. Release and discharge berarti “pembebasan dari proses dan
tuntutan hukum”. Dikeluarkannya surat jaminan R & D kepada beberapa konglomerat yg
mengikat perjanjian dgn pemerintah dalam MSAA berakibat pada dibebaskannya mereka
dari tuntutan pidana atas pelanggaran pidana terhadap undang-undang perbankan. Mereka
diberikan surat jaminan R & D krn sikap kooperatif mereka dalam menyelesaikan
kewajibannya sebagaimana yg tertuang dalam MSAA. Perjanjian MSAA sendiri
merupakan permasalahan perdata sedangkan pelanggaran pidana yg dilakukan para
konglomerat adl permasalahan yg lain. Artinya dalam perjanjian MSAA konglomerat
berkewajiban menyerahkan aset-aset perusahaan mereka kepada pemerintah senilai dgn
utang mereka kepada pemerintah. Para konglomerat tersebut berutang kepada pemerintah
krn pemerintah mengambilalih seluruh kewajiban konglomerat pada bank-bank mereka
sendiri dgn menyuntikkan ratusan trilyun dana BLBI. Jika mereka memang benar
memenuhi perjanjian MSAA maka itu sudah menjadi suatu keharusan utk melunasi utang
mereka sendiri. Sangat aneh bila satu kewajiban yg sifatnya perdata terpenuhi dapat
menghapus pelanggaran lain yg mereka lakukan. Perumpamaannya seseorang yg
merampok orang lain kemudian membunuh korbannya. Setelah pelaku perampokan
ditangkap di pengadilan perampok mengikat perjajian dgn jaksa dan hakim bahwa ia
akan mengganti seluruh harta yg telah dirampok. Lantas apakah anda menerima jika
perampok mengganti harta korban tuntutan hukum pelanggaran pidana berupa
pembunuhan dibebaskan oleh jaksa dan hakim dgn mengeluarkan surat jaminan semacam
release and discharge? Logika mana yg menerima permainan hukum seperti ini kecuali
sistem hukum yg korup? Fakta perjanjian MSAA menunjukkan para konglomerat tidak
menunjukkan itikad baiknya. Kwik Kian Gie menilai adanya penggelembungan nilai
aset-aset perusahaan para konglomerat sehingga nilainya setara dgn nilai utang
konglomerat kepada pemerintah . Akibatnya nilai aset yg dijaminkan para konglomerat
tersebut sekarang nilainya turun drastis jauh dari nilai yg mereka ajukan saat
menandatangani perjanjian MSAA. Misalnya saat Salim Group menyerahkan aset mereka
kepada pemerintah senilai Rp 51 trilyun namun aset Salim Group yg dikelola PT Holdiko
Perkasa ternyata hanya Rp 20 trilyun . Dengan demikian negara mengalami kerugian
dalam perjanjian MSAA dgn Salim Group sebesar Rp 31 trilyun. Hal ini terjadi krn jika
nilai aset konglomerat tersebut dijual dgn harga di bawah kewajiban utang mereka maka
kerugian tersebut ditanggung BPPN dan negara. Perlu diketahui para konglomerat
tersebut melakukan pelanggaran pidana terhadap undang-undang perbankan yakni
mereka mendirikan bank kemudian dana masyarakat yg dihimpun bank sebagian besar
disalurkan kepada kelompok usaha mereka sendiri sehingga pemilik dan pengelola bank
telah melanggar batas maksimal penyaluran kredit . Dengan dana masyarakat inilah
mereka membangun perusahaan dari industri hulu sampai hilir tentu disertai dgn
legitimasi pemerintah dgn mengatasnamakan pembangunan plus katabelece sehingga
mereka diperbolehkan melakukan monopoli yg membuat usaha mereka berkembang
menjadi konglomerasi. Kemudian kredit yg mereka salurkan ke kelompok mereka sendiri
banyak yg macet. Keadaan ini sangat berpengaruh terhadap kesehatan bank yg salah satu
dampak negatifnya adl ketika masyarakat menarik dana mereka dari bank tersebut
pemilik dan pengelola bank tidak dapat memenuhi kewajibannya terhadap masyarakat yg
menjadi nasabahnya. Nah pelanggaran inilah yg tidak akan dituntut lagi terhadap para
konglomerat dgn dikeluarkannya surat jaminan R & D. Berdasarkan hal tersebut adl
tindakan yg sangat tidak adil yg dilakukan oleh pemerintah dan BPPN dgn memberikan
surat jaminan R & D krn kerugian besar yg harus ditanggung negara dan rakyat serta
terjadinya pilih kasih dalam penegakan hukum. Terhadap pengusaha besar hukum
diabaikan maka terhadap orang-orang kecil hukum dgn tegas ditegakkan. Misalnya sering
terjadi penggusuran pedagang kaki lima yg sering dilakukan dgn cara tidak
berprikemanusiaan dgn alasan mereka melanggar peraturan pemerintah daerah. Kejadian
di Jakarta satu hari setelah Idul Fitri menggambarkan perilaku ini. Para pedagang kaki
lima yg sedang mudik sehingga lapak-lapak dan barang dagangan yg mereka tinggalkan
yg memang tidak tertib dihancurkan aparat dgn mudahnya. Padahal ulah pedagang kaki
lima yg tidak tertib bahkan menjual barang-barang haram pada dasarnya disebabkan oleh
kelalain negara yg tidak mampu menjamin kehidupan dan memberikan pekerjaan
terhadap rakyatnya sendiri. Sangat bertolak belakang dgn kebijakan ekonomi pemerintah
yg selalu berpihak terhadap para konglomerat yg dekat dgn kekuasaan. Pelanggaran berat
yg dilakukan oleh para penjahat ekonomi cenderung dibiarkan bahkan dibebaskan.
Kebijakan pemerintah yg pilih kasih dalam penegakkan hukum dan cenderung merugikan
negara dan rakyat tidak mungkin terjadi kecuali pejabat serta aparatnya tidak bermoral yg
diwadahi oleh sistem yg korup. Hal demikian bisa terjadi krn nilai-nilai hidup yg dianut
adl semata-mata krn mengejar materi perilaku hidup individualistik hedonistik konsumtif
dan jauh dari nilai-nilai ruhiyah. Jauhnya perilaku pejabat dan aparat dari nilai-nilai
ruhiyah yaitu nilai-nilai yg menjadikan hubungan dgn Allah sebagai landasan tiap
perbuatannya disebabkan sistem yg berlaku adl sistem sekuler . Sistem negara yg sekuler
saat ini menjadi sistem yg dominan di dunia. Sekularisme merupakan dasar pemikiran
dalam ideologi kapitalisme yg kemudian dalam bidang ekonomi mewujud dalam sistem
ekonomi kapitalis di bidang politik jadilah sistem demokrasi di bidang hukum
meletakkan manusia sebagai pembuat hukum. Meskipun di dalam Pancasila dicantumkan
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa berarti sistem di Indonesia hanya mengakui
sebatas keberadaan agama saja dan tidak mengakui peranan pandangan dan kewajiban
agama dalam mengatur kehidupan dan negara sehingga sistem dan perilaku yg
dicerminkan aparat negara Indonesia adl sekularisme. Seandainya Indonesia bukanlah
negara sekuler maka tidak mungkin penegakkan hukum dilakukan dgn jalan pilih kasih.
Tentu aparat negara akan mengingat hadis Nabi Muhammad saw hancurnya umat-umat
terdahulu adl tatkala kalangan rakyat jelata melakukan pelanggaran mereka menerapkan
hukum dgn tegas tetapi manakala pelanggar itu dari kalangan bangsawan mereka tidak
melaksanakan hukum sepenuhnya. Oleh krn itu sekiranya Fathimah putri Rasulullah
mencuri pasti dipotong tangannya. Bahkan kebijakan aparat yg mengeluarkan surat
jaminan R & D dilegitimasi oleh Tap MPR No. X/ dan Undang-Undang No. 25 tentang
Propenas. Menurut ketua TPBH Hierawati Diah dikeluarkannya R & D merupakan suatu
keharusan utk menjamin adanya kepastian hukum sehingga jika tidak dilaksanakan maka
tidak ada kepastian hukum dan pemerintah dapat dianggap melanggar Tap MPR dan
Propenas . Ini berarti para penjahat ekonomi yg telah merugikan negara ratusan trilyun
rupiah dilindungi undang-undang dalam negara sekuler. Berdasarkan undang-undang
perbankan telah terjadi pelanggaran pidana oleh para konglomerat sementara berdasarkan
Tap MPR dan undang-undang Propenas para penjahat ekonomi yg telah mematuhi
perjanjian MSAA harus dibebaskan dari tuntutan pidana berarti telah terjadi hukum yg
saling bertolak belakang dari ketiga perangkat hukum tersebut. Kwik Kian Gie
berpendapat bahwa adanya pasal-pasal yg disusupkan ke dalam Tap MPR dan undang-
undang Propenas bersifat kolutif dan koruptif . Apa artinya jika undang-undang negara
dgn begitu mudahnya dikeluarkan pemerintah dan DPR utk melindungi kejahatan
ekonomi yg oleh Kwik pasal-pasal yg dijadikan landasan dikeluarkannya R & D bersifat
kolutif dan koruptif? Berarti dalam pembahasan hingga disahkan menjadi undang-undang
terjadi kolusi korupsi dan suap sehingga anggota DPR dan MPR memilih kepentingan
penjahat ekonomi daripada kepentingan rakyatnya sendiri. Isu suap dan kolusi di dalam
parlemen bukanlah barang baru dan sudah menjadi rahasia umum. Misalnya dalam tiap
kali rapat RUU Migas dan Kelistrikan antara anggota DPR dgn pemerintah anggota DPR
selalu dihadiahi uang berkisar 1 juta - 5 juta rupiah sedangkan rapatnya berlangsung
selama 60 kali dalam tiga bulan . Benarlah pendapat Huey Newton bahwa kekuasaan
diperuntukkan bagi siapa saja yg mampu membayar utk itu . Seandainya Indonesia bukan
negara sekuler tentu tidak akan terjadi suap yg mempengaruhi udang-undang kebijakan
negara serta keputusan pengadilan. Tentu aparat negara dan masyarakat akan benar-benar
mencamkan peringatan Rasulullah saw. “Laknat Allah atas pemberi dan penerima suap
di dalam kekuasaan.” “Hai kaum muslimin barangsiapa di antara kalian melakukan
pekerjaan utk kami kemudian ia menyembunyikan sesuatu terhadap kami walau sekecil
jarum berarti ia telah berbuat curang dan kecurangan itu akan dibawanya sampai hari
kiamat.” Kemudian dalam Quran surat Al-Baqarah ayat 188 Allah berfirman yg artinya
“Dan janganlah ada sebagian kalian makan harta benda sebagian yg lain dgn jalan yg
bathil dan janganlah menggunakannya sebagai umpan para hakim dgn maksud agar
kalian dapat makan harta orang lain dgn jalan dosa padahal kalian mengetahui .”
Seandainya Indonesia bukan negara sekuler maka pemerintah dan wakil rakyat tidak
perlu cape-cape membuat undang-undang ataupun sistem hukum yg pada akhirnya saling
bertentangan dan banyak mengandung kelemahan serta merugikan orang banyak. Karena
Allah SWT sudah menurunkan kitab Alquran dan Sunnah Rasullah sebagai sumber
hukum dan menjadikan syariat Islam sebagai satu-satunya sistem hukum yg harus
diterapkan manusia. Ingatlah firman Allah “Dan Kami turunkan kepadamu al-kitab utk
menjelaskan segala sesuatu.” . “Apa saja yg diberikan Rasul kepada kalian terimalah.
Apa saja yg dilarangnya atas kalian tinggalkanlah. Bertakwalah kalian kepada Allah.
Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” . “Tidaklah patut bagi pria Mukmin
dan tidak pula bagi wanita Mukmin jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu
ketetapan ada pilihan yg lain tentang urusan mereka. Barang siapa yg mendurhakai
Allah dan Rasul-Nya sesungguhnya dia telah benar-benar tersesat.” . Demikianlah
bagaimana wajah buruk negara sekuler yg secara sistematis akan selalu melindungi
orang-orang besar seperti para penjahat ekonomi dan menzhalimi orang-orang lemah yg
notabene rakyatnya sendiri. Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia.
Pedagang kaki lima sering ditengarai sebagai penyebab kemacetan lalu lintas atau
merusak keindahan kota. Upaya penertiban oleh pemerintah kota sering kali
melalui bentrokan dan perlawanan fisik dari PKL. Harian ini memuat deretan
peristiwa bentrokan antara anggota satuan polisi pamong praja dan PKL di
berbagai kota sepanjang tahun 2008 dan 2009, termasuk yang memakan
korban jiwa seorang anak penjaja bakso di Kota Surabaya (1 Juni 2009).
Apakah pedagang kaki lima memiliki hak terhadap ruang kota? Untuk
menjawab pertanyaan ini, saya kemukakan konsep informalitas perkotaan
(urban informality) sebagai kerangka pikir untuk memahami fenomena PKL
yang terjadi di kawasan perkotaan.
Konsep informalitas perkotaan ini tak terlepas dari dikotomi sektor formal dan
sektor informal yang mulai dibicarakan pada awal tahun 1970. Fenomena
sektor informal merupakan fenomena yang sangat umum terjadi di negara-
negara berkembang. Di Indonesia, menurut data dari Badan Pusat Statistik
pada Februari 2008, 73,53 juta orang dari 102,05 pekerja Indonesia (72 persen)
bekerja di sektor informal.
Meskipun pembahasannya telah dilakukan lebih dari tiga puluh tahun, tidak
ada konsensus mengenai definisi pasti dari sektor informal. Pembahasan
dikotomi tersebut acapkali mengabaikan keterkaitan sektor informal dengan
aspek ruang dalam proses urbanisasi. Padahal, seperti dapat kita amati di
Indonesia, perkembangan sektor informal seiring dengan urbanisasi dan
perubahan ruang perkotaan.
Terdapat dua teori perkotaan yang dikenal saat ini: Sekolah Chicago Sosiologi
Perkotaan (The Chicago School of Urban Sociology) dan Sekolah Los Angeles
Geografi Perkotaan (The Los Angeles School of Urban Geography) yang telah
mendominasi wacana dalam perkotaan dan urbanisasi di negara-negara
berkembang, termasuk Indonesia.
Wacana perkembangan
Masalah yang muncul berkenaan dengan PKL ini adalah banyak disebabkan
oleh kurangnya ruang untuk mewadahi kegiatan PKL di perkotaan. Konsep
perencanaan ruang perkotaan yang tidak didasari oleh pemahaman
informalitas perkotaan sebagai bagian yang menyatu dengan sistem perkotaan
akan cenderung mengabaikan tuntutan ruang untuk sektor informal, termasuk
PKL.
Dominasi Sekolah Chicago dan Los Angeles dalam praktik perencanaan kota
di Indonesia menyebabkan banyaknya produk tata ruang perkotaan yang
tidak mewadahi sektor informal. Kegiatan-kegiatan perkotaan didominasi
sektor-sektor formal yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi.
Dedi E Kusmayadi
Pemerintah daerah wajib mengatur dan menangani pedagang kaki lima (PKL),
dengan melaksanakan kewenangan untuk mengatur dan mengelola keamanan
dan ketertiban, serta keindahan kota. Maka pemerintah daerah harus
memikirkan dampak baik dan buruknya kebijaksanaan/kebijakan yang akan
ditempuhnya dan dilakukan. Proses penggusuran atau pengusiran terhadap
keberadaan dari pedagang kaki lima dan memindahkan pedagang kaki lima ke
lokasi lain yang lebih strategis merupakan kebijakan yang baik. Karena
didasarkan atas pemenuhan kebutuhan hidup yang saling menguntungkan
antara pedagang kaki lima dan Pemerintah Daerah, maka upaya untuk
menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran tentulah akan semakin
mudah.Sehingga dengan adanya latar belakang diatas, dan pentingnya
penelitian ini yaitu “Pengaruh pelaksanaan Perda no. 1 tahun 2000 tentang
pengaturan dan pembinaan PKL terhadap tingkat kesejahteraan PKL di kota
Malang” maka dapat dirumuskan suatu masalah sebagai berikut :
1.Bagaimanakah pelaksanaan Perda No. 1 tahun 2000 tentang Pengaturan dan
Pembinaan pedagang kaki lima ?
Tujuan dari skripsi ini adalah selain untuk mengetahui pelaksanaan Perda No.
1 tentang Pengaturan dan pembinaan pedagang kaki lima terhadap tingkat
kesejahteraan PKL di kota Malang, untuk mengetahui jenis kebijakan yang
mendukung pelaksanaan Perda No. 1 tahun 2000 tentang Pengaturan dan
Pembinaan PKL di wilayah kota Malang dan untuk mengetahui dan
menganalisa pengaruh kebijakan Pemda Kota Malang tentang Penertiban
Pedagang Kaki Lima terhadap tingkat kesejahteraan PKL. Teknik Analisa
Data yang digunakan adalah Analisa Diskriptif Kualitatif, yaitu tehnik analisa
data yang dilakukan dengan cara sistematis, faktual dan akurat mengenai
situasi atau daerah tertentu sehingga data-data yang ada dapat disimpulkan
setelah dianalisa. Untuk lebih memudahkan dalam pelukisan atau penuturan
dalam melakukan penelitian ini, maka penulis menggambarkan hasil
penelitiannya berupa deskripsi atau gambaran mengenai variabel-variabel
tertentu, dengan menyajikan frekwensi, angka rata-rata, atau kualifikasi
lainnya untuk masing-masing kategori di suatu variabel.
Jenis penelitian yang peneliti gunakan adalah Diskriptif yakni suatu analisis
yang bertujuan untuk mendeskripsikan/menggambarkan apa yang saat ini
berlaku dan kondisi yang sekarang ini sedang terjadi. Penelitian ini tidak
menguji hipotesa, melainkan hanya mendeskripsikan informasi apa adanya
sesuai dengan variabel-variabel yang diteliti.Dari hasil penelitian diketahui
bahwa tanggapan mereka, baik pihak PKL maupun masyarakat atas
diberlakukannya perda no. 1 tahun 2000 sangat baik. Karena sebagian besar
menyetujui bahkan mendukung pelaksanaan perda tersebut. Tujuan
pemerintah dengan mengalokasian PKL di wilayah lokasi PKL tidak hanya
semata-mata untuk membersihkan kota dari masyarakat yang tidak tertib,
melainkan mereka mengarahkan PKL untuk memiliki lokasi sendiri yang
mudah dijangkau masyarakat dalam memperjual belikan barang
dagangannya. Dari kesimpulan penelitian pelaksanaan dari kebijakan
pemerintah daerah kota Malang tentang pengaturan dan pembinaan pedagang
kaki lima yang diatur di Perda no. 1 tahun 2000, sudah cukup baik dengan
upaya : Mengatur lokasi pedagang kaki lima di tempat-tempat yang telah
ditentukan; Mengarahkan PKL untuk mengetahui dan memperhatikan
kawasan bebas PKL; Mengadakan pembinaan yang berkesinambungan.
Penertiban juga dilaksanakan dengan cara menindak tegas PKL yang
melanggar ketertiban umum. Dengan adanya kebijakan pemda ini, lokasi yang
digunakan untuk alternatif berjualan PKL dianggap tepat dan strategis
sehingga pengunjungpun banyak yang berdatangan kesana. Sehingga hal itu
juga membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama
kesejahteraan pedagang kaki lima di wilayah pemerintah daerah kota Malang.
Saran yang dapat peneliti berikan untuk para peneliti lain yang mengambil
bahan tentang PKL dan yang berhubungan dengan kebijakan pemerintah,
hendaknya mereka mempelajari dahulu latar belakang dari kedua belah pihak,
baik dari pihak PKL maupun dari pemerintah daerah yang bertanggung
jawab dalam pembuatan kebijakan. Selain itu para peneliti hendaknya
mengetahui dahulu misi atau sasaran dari pemerintah dalam mengambil suatu
kebijakan tertentu dalam suatu kota, sehingga masyarakat awam dapat
menerima bahkan mendukung program pemerintah daerah yang diberlakukan
di masing-masing daerah mereka. Khususnya peneliti lain dapat
mendiskripsikan dari hasil pendapatan para PKL setelah adanya
pengalokasian oleh pemerintah daerah di tempat atau lokasi PKL yang telah
ditentukan
Oleh :
Arimbi Heroepoetri
Pengantar
Selama dua dekade lebih , lewat UU no. 5 thn 1974 tentang Pemerintahan Daerah dan UU no. 5
thn 1979 tentang Pemerintahan Desa, kekuatan organisasi rakyat secara sistematis dan represif
dihancurkan oleh negara dengan perangkatnya. Sistem pemerintahan desa yang seragam,
dengan hanya mengakui satu sistem perangkat desa seperti Kepala Desa , Lurah dan Camat.
Sangat menihilkan kenyataan keragaman organisasi rakyat Indonesia. Semisal Nagari di
Sumatera Barat, Huria di Batak- Sumatera Utara, dan Marga di Sumatera Selatan, adalah sistem
pemerintahan lokal yang turut dihancurkan. Penyeragaman di atas membuat rakyat mengalami
kebingungan dan konflik sosial berkepanjangan, selain kehilangan akses serta kontrol ke sumber
daya alamnya. Satu daerah kekerabatan, lewat UU Pemda, bisa saja dipecah menjadi beberapa
Desa, sehingga menimbulkan konflik antara warga satu desa dengan warga desa lainnya,
padahal mereka merupakan satu garis keturunan. Rakyat terus diadu domba…
Pengelolaan Hutan Marga, pemanfaatan sumber daya kelautan, dan pengelolaan pertambangan
oleh rakyat diharamkan. Sering kali tuntutan rakyat dan daerah untuk mendapatkan pembagian
yang lebih adil, malah mendapat represi lebih keras lewat tangan-tangan -apa yang dinamakan -
oknum ABRI (sekarang TNI dan Kepolisian). Sehingga rakyat menjadi dilemahkan dan sangat
tergantung pada 'kebaikan' pemerintah pusat.
Ketidak-adilan berkepanjangan ini menggemakan tuntutan untuk pembagian yang lebih adil atas
sumber-sumber daya alam antara daerah dan pusat, yang di beberapa bagian (seperti Papua)
malah ada seruan pemisahan diri dari negara kesatuan RI. Atau gerakan anarkis rakyat, seperti
pembakaran base camp perusahaan HPH, dan perkebunan besar lainnya. Sudah menjadi praktik
keseharian bahwa keuntungan dari segala eksploitasi sumber daya alam di daerah mengalir ke
pemerintah pusat, sementara daerah disisakan pencemaran dan kerusakan sumber daya alam,
termasuk konflik di tingkat rakyat yang tidak pernah terselesaikan.
Karena itu, kami memandang penting diterbitkannya buku tentang UU ini agar rakyat mampu
mengkritisi upaya pemerintah untuk mengganti UU no. 5 thn 1974 dan UU no. 5 thn. 1979 di atas
dengan paket Undang-undang Pemerintahan Daerah dan UU Perimbangan Keuangan antara
Pusat dan Daerah (PKPD). Kedua UU tersebut dibuat ditengah kesibukan masyarakat luas
terlibat dalam peyelenggaraan Pemilu 1999 dan kepanikan rakyat akibat lilitan masalah ekonomi.
Parahnya lagi, kedua UU di atas bukanlah satu-satunya UU yang diajukan oleh Pemerintah ke
DPR. Diluar itu masih ada sekitar 23 RUU yang dipaksakan pemerintah untuk mendapatkan
pengesahan DPR yang masa jabatannya akan habis dalam kurun waktu empat bulan ini.
Fenomena di atas membuktikan bahwa pemerintah Habibie masih mengabaikan eksistensi dan
peran serta politik rakyat dalam pembuatan kebijakan di negeri ini. Semangat pemaksaan
kehendak dan penyederhanaan persoalan masih mengental meniru rezim -yang konon-
digantikannya. Sementara memasuki era 100 hari pemerintahan Gus Dur, masih terlalu dini
untuk memberi penilaian kinerja pemerintahan Gus Dur. Sembari berharap pemerintahan
sekarang akan jauh lebih bersih dan pro-rakyat, bukan berarti rakyat harus diam berpangku
tangan. Justru, semangat dan daya kritis rakyat harus ditingkatkan.
UU Pemda dan UU PKPD yang disetujui DPR akhir April 1999, telah diundangkan lewat UU No.
22 dan No. 25 thn. 1999 dan akan diberlakukan paling lambat tahun anggaran 2000/2001. Kedua
UU ini merupakan amanat Ketetapan MPR XV hasil Sidang Istimewa MPR 1998. Kelak, lewat
kedua UU ini Bupati dan Wali Kota akan mempunyai kewenangan mengendalikan kekuasaan
dan kekayaan hasil daerahnya sendiri.
Namun, jangan berbesar hati dulu. Keberadaan dua UU ini tidaklah serta-merta menyembuhkan
kesengsaraan yang dialami rakyat selama ini, Jika kontrol rakyat tidak dipasang sejak sekarang,
bukan mustahil represi yang semula berasal dari Pemerintah Pusat akan bergeser ke Pemerintah
Daerah. Masih segar dalam ingatan kita -bahkan sampai sekarang-kesewenang-wenangan dan
penindasan juga dilakukan di tingkat daerah oleh para pejabatnya.
Karena permintaan akan buku ini masih tinggi, maka buku ini diterbitkan kembali dengan
perbaikan di sana-sini. Sebagai salah satu sumbangan E-law Indonesia akan pemenuhan
kebutuhan informasi bagi rakyat, maka kembali E-law Indonesia mendukung penerbitan cetakan
ke-tiga buku ini. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih. Semoga bermanfaat…
Demi keadilan…
Arimbi Heroepoetri,S.H.,LL.M
• Pemerintahan Pusat
perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari Presiden beserta para
Menteri
• Pemerintah Daerah
Kepala Daerah beserta perangkat Daerah Otonom yang lain sebagai Badan Eksekutif
Daerah.
• Pemerintahan Daerah
penyelenggaraan Pemerintah Daerah Otonom oleh Pemerintahan Daerah dan DPRD
menurut asas Desentralisasi
• Desentralisasi
Penyerahan wewenang Pemerintahan oleh Pemerintah (pusat) kepada Daerah Otonom
dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia
• Dekonsentrasi
Proses pembentukan Daerah administrasi dan/atau pelimpahan wewenang dari
Pemerintah (pusat) kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dan/atau
perangkat pusat di Daerah
• Tugas Pembantuan
Penugasan dari Pemerintah pusat kepada Daerah dan Desa dan dari Daerah ke Desa
untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana
serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan
mempertanggung-jawabkannya kepada yang menugaskan
• Otonomi Daerah
Kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan
• Daerah Otonom
Kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas Daerah tertentu berwenang
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan negara kesatuan Republik Indonesia
• Wilayah Administrasi
Wilayah kerja Gubernur selaku wakil Pemerintah Pusat
• Desa
Kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat
yang diakui dalam sistem Pemerintahan nasional dan berada di Daerah Kabupaten.
• Perimbangan Keuangan (antara Pemerintah Pusat dan Daerah)
Adalah suatu sistem pembiayaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan, yang
mencakup pembagian keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta pemerataan
antar-Daerah secara proporsional, demokratis, adil dan transparan dengan
memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan Daerah, sejalan dengan kewajiban dan
pembagian kewenangan serta tata cara penyelenggaraan kewenangan tersebut,
termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangannya
• Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
Suatu rancangan keuangan Pusat tahunan berdasarkan UU tentang APBN
• Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah
tentang APBD
• Dana Perimbangan
Dana yang bersumber dari penerimaan APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk
membiayai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi
• Anggaran Dekonsentrasi
Pelaksanaan APBN di Daerah Propinsi, yang mencakup semua penerimaan dan
pengeluaran untuk membiayai pelaksanaan dekonsentrasi
KEWENANGAN
• DAERAH
Mencakup kewenangan dalam seluruh bidang Pemerintahan, kecuali di bidang politik
luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter/fiskal, dan agama. Serta
kewenangan bidang lain. Ini meliputi :
o Kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan
nasional secara makro;
o Dana perimbangan keuangan;
o Sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara;
o Pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia;
o Pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis,
konservasi, dan standarisasi nasional (Pasal 7)
Hati-hati...
Daerah berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya dan
bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan
Kewenangan daerah di wilayah laut (sejauh 12 mil laut dari garis pantai ke arah laut
lepas atau ke arah perairan kepulauan) meliputi :
1. Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah
laut tersebut;
2. Pengaturan kepentingan administratif;
3. Pengaturan tata ruang;
4. Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh Daerah atau yang
dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah pusat;
5. Bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara.
Kewenangan bidang Pemerintah pusat yang bersifat lintas kabupaten dan kota seperti
kewenangan di bidang pekerjaan umum, perhubungan, kehutanan dan perkebunan.
Sementara kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya adalah :
a. Perencanaan pembangunan regional secara makro
b. Pelatihan kejuruan dan alokasi sumber daya manusia potensial, dan penelitian yang
mencakup wilayah Propinsi
c. Pengelolaan pelabuhan regional
d. Pengendalian lingkungan hidup
e. Promosi dagang dan budaya/pariwisata
f. Penanganan penyakit menular dan hama tanaman, dan
g. Perencanaan tata ruang propinsi. (Penjelasan Pasal 9).
Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota,
meliputi :
- pekerjaan umum;
- kesehatan;
- pendidikan dan kebudayaan;
- pertanian;
- perhubungan ;
- industri dan perdagangan;
- penanaman modal;
- lingkungan hidup;
- pertanahan;
- koperasi; dan
- tenaga kerja.
DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah, dan Pemerintah Daerah sebagai sebagai Badan
Eksekutif Daerah. Pemerintah Daerah terdiri atas Kepala Daerah dan Perangkat Daerah
lainnya.
• Kepala Daerah Propinsi adalah Gubernur, yang karena jabatannya adalah juga sebagai
wakil Pemerintah pusat.
• Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya sebagai Kepala Daerah, Gubernur
bertanggung jawab kepada DPRD Propinsi
• Dalam kedudukannya sebagai Wakil Pemerintah Pusat, Gubernur berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Presiden.
• Bupati adalah Kepala Daerah Kabupaten
• Walikota adalah Kepala Daerah Kota 4Waspadai..
Waspadai
Jabatan rangkap Gubernur sebagai Kepala Eksekutif Daerah, dan Gubernur sebagai Wakil
Pemerintah Pusat akan membuat konflik kepentingan
• DPRD dipimpin oleh seorang Ketua dan sebanyak-banyaknya 3 (tiga) orang Wakil Ketua
yang bersifat kolektif, dipilih dari dan oleh anggota DPRD
Hak DPRD :
Kewajiban DPRD :
Aktiflah !!
Anda sebagai warga negara di daerah yang bersangkutan dapat --bahkan harus--
terlibat dalam proses pengambilan keputusan di daerah Anda. Apalagi jika
keputusan tersebut menyangkut kehidupan anda.
Aktiflah, dengan selalu membuka komunikasi dengan DPRD. Kemukakan pendapat
dan masalah anda. Anda dapat mendesak DPRD untuk menjalankan fungsinya,
seperti:
• meminta keterangan dari Pemerintah Daerah, jika kebijakan mereka anda rasakan
tidak sejalan dengan perasaan keadilan anda
• meminta atau meninjau kembali suatu Peraturan Daerah
• Ditangan anda sebenarnya akan tumbuh DPRD yang berwibawa.
Rapat-Rapat DPRD
Rapat-rapat DPRD bersifat terbuka untuk umum, kecuali yang dinyatakan tertutup
berdasarkan Peraturan Tata Tertib DPRD atau atas kesepakatan di antara pimpinan
DPRD.
Anggota DPRD dapat dituntut di Pengadilan karena membocorkan apa yang disepakati
untuk dirahasiakan dalam rapat tertutup atau melanggar ketentuan-ketentuan mengenai
pengumuman rahasia Negara dalam peraturan perundang-undangan.
KEPALA DAERAH
Setiap Daerah dipimpin oleh seorang Kepala Daerah sebagai Kepala Eksekutif yang
dibantu oleh seorang Wakil Kepala Daerah.
• Warganegara Indonesia
• Setia dan taat kepada Negara dan Pemerintah yang sah
• Tidak pernah terlibat dalam kegiatan yang mengkhianati Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, yang ditetapkan dengan
Keputusan Pengadilan
• Tidak dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan pasti
• Nyata-nyata tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya
• Berumur sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun
• Berpendidikan sekurang-kurangnya SLTA dan/atau sederajat
• Bersedia dicalonkan sebagai Kepala Daerah
• Berdomisili dalam wilayah Republik Indonesia sekurang-kurangnya selama 1 (satu)
tahun terakhir sebelum diajukan sebagai bakal calon Gubernur
• Berdomisili di Daerah Propinsi yang bersangkutan sekurang-kurangnya selama 1 (satu)
tahun terakhir sebelum diajukan sebagai bakal calon Bupati atau Walikota.
• Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah ditetapkan oleh DPRD melalui tahap
pencalonan dan pemilihan
• Untuk pencalonan dan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dibentuk
Panitia Pemilihan
Proses Pencalonan :
Kepala Daerah mempunyai masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya
untuk sekali masa jabatan.
Kepala Daerah dilantik oleh Presiden atau pejabat lain yang ditunjuk untuk bertindak atas
nama Presiden
• Sebelum memangku jabatannya, Kepala Daerah mengucapkan sumpah/janji sbb :
• Turut serta dalam suatu perusahaan baik milik swasta ataupun milik negara, atau dalam
yayasan yang berbentuk apapun juga
• Membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi dirinya, anggota
keluarganya, kroninya, golongan tertentu, atau kelompok politiknya yang secara nyata
merugikan kepentingan umum atau mendiskriminasikan warga negara dan golongan
masyarakat lain
• Melakukan pekerjaan lain yang memberikan keuntungan bagi dirinya, baik langsung
maupun tidak langsung yang berhubungan dengan Daerah yang bersangkutan
• Menerima uang dan atau barang dan atau jasa dari pihak lain yang dapat diduga akan
mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya; dan
• Menjadi advokat atau kuasa hukum dalam suatu perkara di muka pengadilan.
Berperanlah !!
• Meninggal dunia
• Mengajukan permintaan sendiri
• Berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat yang baru
• Tidak lagi memenuhi sesuatu syarat-syarat di atas
• Melanggar ketentuan di atas
• Mengalami krisis kepercayan publik yang luas akibat dari suatu kasus yang melibatkan
tanggungjawabnya, dan keterangannya atas kasus itu ditolak anggota DPRD.
• Terbukti melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan hukuman setinggi-
tingginya lima tahun.
• Diduga melakukan makar dan perbuatan yang dapat memecah belah Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang dinyatakan dengan keputusan pengadilan
Perangkat Daerah
• Perangkat Daerah terdiri dari Sekretaris Daerah, Dinas Daerah dan Lembaga Teknis
Daerah lainnya sesuai dengan kebutuhan Daerah
Sekretariat Daerah
Dinas
• Dinas adalah unsur pelaksana Pemerintah Daerah
• Dinas dipimpin oleh seorang Kepala Dinas yang diangkat oleh Sekretaris Daerah dari
Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi syarat
• Kepala Dinas bertanggung jawab kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah
sesuai dengan bidang tugasnya
• Penyelenggaraan wewenang yang dilimpahkan Pemerintah pusat kepada Gubernur
sebagai Wakil Pemerintah pusat dalam rangka dekonsentrasi dilaksanakan oleh Dinas
Propinsi.
Kecamatan
Kelurahan
• Merupakan perangkat Kecamatan yang dipimpin oleh Kepala Kelurahan, yaitu Lurah.
• Lurah diangkat oleh Sekretaris Daerah Kota dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi
syarat
• Lurah menerima pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari Camat
• Lurah bertanggung jawab kepada Camat
• Pembentukan Kelurahan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
• DPRD bersama dengan Kepala Daerah menetapkan Peraturan Daerah dalam rangka
penyelenggaaraan Otonomi Daerah.
• Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, Peraturan
Daerah lain dan perundangan yang lebih tinggi
• Peraturan Daerah dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan
penegakan hukum, seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar.
• Peraturan Daerah dapat memuat ancaman pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam)
bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 5.000.000,- (Lima Juta Rupiah) dengan atau
tidak merampas barang tertentu untuk Negara
• Untuk melaksanakan Peraturan Daerah, Kepala Daerah menetapkan Keputusan Kepala
Daerah
• Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah yang bersifat pengaturan umum
diundangkan dengan menempatkannya dalam Lembaran Daerah.
KEUANGAN DAERAH
• Penyelenggaraan tugas Pemerintah Daerah dan DPRD dibiayai dari dan atas beban
anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD)
• Penyelenggaraan tugas Pemerintah di Daerah dibiayai dari dan atas beban Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
MINYAK 85 15
Propinsi 3
Kab/Kota Penghasil 6
Kab/Kota Lain 6
GAS ALAM 70 30
Propinsi 6
Kab/Kota Penghasil 12
Kab/Kota Lain 12
PERTAMBANGAN 20 80
Propinsi 16
Kab/Kota Penghasil 64
eksploitasi (royalti)
Propinsi 63
Kab/Kota Penghasil 32
Kab/Kota Lain 32
HUTAN 20 80
IHPH
Propinsi 16
Kab/Kota Penghasil 64
Provinsi SDH
Propinsi 16
Kab/Kota Penghasil 32
Kab/Kota Lain 32
ALOKASI 75 25
REBOISASI 60 40
PERIKANAN 20 80
PBB 10 90
BPHTB 20 80
• Pinjaman
• Pemerintah Daerah dapat melakukan pinjaman dari sumber dalam negeri dan/atau dari
sumber luar negeri untuk membiayai kegiatan Pemerintahan dengan persetujuan DPRD
• Sumber dana pinjaman yang berasal dari luar negeri harus mendapatkan persetujuan
pemerintah pusat
• Barang milik Daerah yang digunakan untuk melayani kepentingan umum tidak dapat
digadaikan dan dipindahtangankan.
APBD
2. Dana perimbangan
3. Pinjaman Daerah, dan
4. Lain-lain pendapatan yang sah
Hutang luar negeri Indonesia sampai tahun 1999 mencapai US$ 150 Milyar. Ini membuat
setiap warga negara Indonesia --tidak peduli orang tua maupun anak kecil-- menanggung
beban hutang sampai Rp. 7 juta. Lebih dari setengah APBN terpakai untuk membayar
cicilan hutang luar negeri. Belum lagi hutang dalam negeri lewat obligasi. Jika ditotal
maka hutang negara (dalam dan luar negeri) mencapai US$ 220 Milyar. Kesemua itu
menjadi faktor kunci krisis moneter di Indonesia.
UU no. 22 dan 25 thn. 1999 ini memberi peluang bagi Daerah untuk melakukan pinjaman ke
luar negeri. Jika perilaku berhutang yang dilakukan pejabat negara tidak mendapat
pengawasan ketat. Maka tidak akan mustahil krisis moneter yang dilakukan pemerintah
pusat akan bergeser ke tingkat daerah.
KAWASAN PERKOTAAN
Desa
• Desa dapat dibentuk, dihapus, dan digabung dengan memperhatikan asal-usulnya atas
prakarsa masyarakat dengan persetujuan Pemerintah Daerah Kabupaten
• Pembentukan, penghapusan dan penggabungan Desa sebagaimana yang dimaksud di
atas ditetapkan dalam Perda
Pemerintahan Desa
Penyelenggaraan tugas Pemerintah Daerah dibiayai dari dan atas beban anggaran
pendapatan dan belanja daerah (APBD).
Ingatlah !
Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, Kepala Desa bertanggung jawab kepada
rakyat melalui Badan Perwakilan Desa. Dan menyampaikan laporan mengenai
pelaksanaan tugasnya kepada Bupati.
• Meninggal dunia
• Megnajukan permintaan berhenti sendiri
• Tidak lagi memenuhi syarat dan/atau melanggar sumpah/janji
• Berakhir masa jabatan dan telah dilantik Kepala Desa yang baru
• Melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan/atau norma yang hidup dan berkemang dalam masyarakat
desa
Pemberhentian Kepala Desa dilakukan oleh Bupati atas usul Badan Perwakilan Desa.
• Retribusi Desa
• Hasil Usaha Desa
• Hasil Kekayaan Desa
• Hasil Swadaya dan Partisipasi
• Hasil Gotong Royong, dan
• Pungutan Desa
• Pemerintah pusat dapat menangguhkan dan atau membatalkan Peraturan Daerah dan
Keputusan Kepala Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi
• Keputusan pembatalan atau penangguhan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala
Daerah ini diberitahukan kepada Daerah yang bersangkutan dengan menyebutkan
alasan-alasannya.
• Selambat-lambatnya 1 (satu) minggu setelah keputusan pembatalan atau penangguhan
Peraturan Daerah atau Keputusan Kepala Daeah, peraturan tersebut ditangguhkan
pelaksanaannya.
• Daerah yang tidak dapat menerima keputusan pembatalan atau penangguhan Peraturan
Daerah atau Keputusan Kepala Daerah ini, dapat mengajukan keberatannya kepada
Pengadilan Tata Usaha Negara setelah terlebih dahulu mengajukan keberatan kepada
Pejabat yang berwenang.
KETENTUAN LAIN-LAIN
UU No. 5/1974
1. Kepala Daerah menurut hierarki bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri
Dalam Negeri
2. Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah dan DPRD
3. Pembentukan, susunan organisasi dan formasi Dinas Daerah ditetapkan dengan Perda
sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri
4. - Desa adalah suatu wilayah dengan sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat
- Organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat
- Kepala Desa menjalankan hak, wewenang dan kewajiban pimpinan pemerintahan
Desa, dan merupakan penyelenggara dan penanggung jawab utama di bidang
pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.
5. - Kepala Daerah menurut hierarki bertanggung jawab kepada Presiden melalui Mendagri
- Kepala Daerah wajib memberikan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD
6. Mendagri (untuk TK. I) dan Gubernur (untuk TK.II) berwenang untuk mensahkan,
membatalkan dan menangguhkan Peraturan Daerah atau Keputusan Kepala Daerah
UU No. 22/1999
1. Daerah Otonom masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki
satu sama lain.
2. Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat Daerah Lainnya, sebagai
Badan Eksekutif Daerah. Sedangkan DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah.
3. Perangkat Daerah dibentuk sesuai dengan kebutuhan Daerah, berdasarkan pedoman
dari Pusat untuk susunan organisasi, formasi dan persyaratan jabatan.
4. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-
istiadat setempat.
5. - Kepala daerah bertanggung jawab kepada DPRD.
- Pelaksanaan pembiayaan
Dekonsentrasi
- Pelaksanaan ketentuan
tentang informasi yg berkaitan
dng keuangan Daerah
Ketentuan mengenai
Penetapan Dewan Pertimbangan Sekretariat Bidang
KEPPRES
Otonomi Daerah Perimbangan Keuangan Pusat
dan Daerah
- Pembentukan Kecamatan dan
Kelurahan
1. Kewenangan Lembaga
Kehadiran UU ini pada pelaksanaannya akan membawa perubahan wewenang
kelembagaan/ instansi di daerah. Instansi vertikal di Propinsi dan Kabupaten/
Kotamadya, selain menangani kewenangan bidang-bidang pemerintahan, akan menjadi
perangkat daerah di bawah Gubernur. Ini artinya dinas-dinas terkait --yang mengurus
konservasi, perikanan, pariwisata, pertambangan, kehutanan, dan beberapa bidang
lainnya menjadi Perangkat Daerah, yang kekayaannya menjadi milik Daerah. Kanwil-
kanwil akan dihilangkan dan melebur menjadi Dinas-dinas. Perubahan mendasar dalam
hal pengalihan wewenang kelembagaan, pada awalnya akan menimbulkan kegamangan
aparat pemerintah, swasta dan masyarakat dalam menyikapi diterapkannya UU ini.
Kegamangan ini akan menjadi serius, terutama dikaitkan pada saat merumuskan
kebijakan daerah sebagai konsekuensi otonomi daerah.
Pasal 10 ayat 2 UU No. 22 ini mengatur tentang bidang-bidang yang selama ini secara
tumpang tindih ditangani oleh beberapa instansi/ departemen, menjadi wewenang
Kepala Daerah. Kewenangan daerah di wilayah laut meliputi eksplorasi, eksploitasi,
konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut; pengaturan
kepentingan administratif; pengaturan tata ruang; penegakan hukum terhadap peraturan
yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah
pusat; dan bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara. Namun, kesemua itu
memerlukan peraturan lebih lanjut lewat Peraturan Pemerintah, yang --tentu saja--
sampai sekarang belum ada kabar beritanya.
Sementara bidang - bidang fungsional seperti perikanan, perhubungan, lingkungan
hidup, penanaman modal, perdagangan dan industri serta pertanahan kini
diselenggarakan oleh Daerah Kabupaten.
2. Perencanaan Tata Ruang
Potensial konflik antara Pemerintahan Pusat dan Daerah dapat terjadi, karena
kewenangan perencanaan tata ruang adalah kewenangan Pemerintah Pusat, sedangkan
pengaturan tata ruang menjadi wewenang Daerah Propinsi. Bidang ini dapat dikatakan
induk dari kewenangan pengelolaan di wilayah laut, karena selalu bersinggungan dengan
bidang-bidang lain seperti bidang pariwisata, konservasi, penanaman modal dan
perikanan.
Pemberian wewenang di wilayah laut akan berdampak pada wilayah pesisir (pantai) dan
perairan didepannya, pulau-pulau kecil serta kawasan konservasi pesisir dan laut.
Perencanaan tata ruang yang menjadi wewenang pemerintah pusat dapat merupakan
indikasi tidak adanya perubahan mendasar terhadap wewenang daerah dalam prinsip
desentralisasi
3. Tentang Batas 12 Mil
Undang-undang No. 22 Thn. 1999 telah menetapkan batasan pemberian wewenang di
wilayah laut sejauh 12 Mil dari garis pantai terluar kepada Daerah Propinsi. Pemberian
batasan wewenang wilayah ini merupakan kebijakan positif, karena menjamin kepastian
berusaha. Namun, penyeragaman batas wewenang perlu diwaspadai mengingat
kenyataan sumber daya di daerah dan pluralisme sistem pengelolaan laut yang dikelola
rakyat (masyarakat adat).
Seperti dijelaskan dalam UU ini, wewenang Daerah Kabupaten di wilayah laut ditetapkan
sejauh sepertiga wewenang Daerah Propinsi, yakni sejauh 4 Mil. Wilayah sepanjang 4
Mil merupakan cakupan yang sangat kecil, terutama dengan padatnya praktek
penangkapan ikan di perairan dekat pantai. Di beberapa daerah tingkat persaingan antar
nelayan sangat tinggi, yang seringkali ditimpali oleh masuknya kapal besar milik
pengusaha perikanan di wilayah tangkap tradisional.
Seharusnya masyarakat pesisir (nelayan tradisional) dilindungi aksesnya terhadap
sumber daya perikanan dengan penetapan batas wewenang laut yang lebih luas lagi.
Dengan batasan hanya sejauh 4 Mil, maka sumber daya perikanan Indonesia hanya
menjadi lahan pengusaha perikanan besar di luar wilayah 12 Mil hingga Zona Ekonomi
Eksklusif sejauh 200 Mil. Sementara nelayan tradisional yang bersarana tangkap
seadanya bersaing ketat di wilayah tangkap yang padat.
Sementara masyarakat adat yang telah turun temurun mengembangkan sistem
pengelolaan kelautannya sendiri di beberapa wilayah pesisir Indonesia, juga tidak
terakomodir dengan adanya batasan 12 Mil ini. Padahal pengelolaan laut di Indonesia
sejak dahulu dilakukan oleh komunitas masyarakat, yang umumnya berdomisili di daerah
Kabupaten, maka seharusnya wewenang tersebut lebih didasarkan pada kenyataan
asal-usul.
Mengenai penangkapan ikan secara tradisional, Penjelasan Pasal 10 ayat 2 UU No. 22
Thn. 1999 ini tidak mendefinisikan secara jelas SIAPA dan APA yang dimaksud dengan
"penangkapan ikan tradisional" ini. Karena itu Penjelasan yang berbunyi :"Khusus untuk
penangkapan ikan secara tradisional tidak dibatasi wilayah laut" selain akan memberi
peluang bagi penanggulangan masalah di atas, tetapi juga dapat menimbulkan
kontroversi.
Substansi terpenting, yakni mengenai tenurial (hak kepemilikan) yang kemudian akan
berhubungan dengan kebijakan tata ruang, tidak tersentuh secara transparan dalam UU
ini. Tenurial merupakan masalah penting, karena sering tidak diakuinya hak kepemilikan
masyarakat pesisir yang telah turun temurun mereka jaga. Kepemilikan tersebut dengan
gampang digusur oleh kepentingan investor wisata, budidaya dan kepentingan bisnis
lainnya. Bahkan kepentingan konservasi tak jarang juga menggusur masyarakat pesisir
dari sumber dayanya. Substansi mengenai tenurial ini akan tetap menjadi ruang gelap
pengelolaan sumber daya alam yang berkesinambungan.
Ketika Pasal 10 ayat 4 UU ini menyatakan bahwa pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan
wewenang laut ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah, maka intervensi pemerintah pusat
akan semakin nyata. Karena produk hukum Peraturan Pemerintah adalah wewenang penuh
pemerintah pusat. Proses produksi kebijakan yang terlalu memusatkan perumusan kebijakan
oleh pusat, sama sekali tidak mencerminkan semangat otonomi dan menghargai kemampuan
lokal.
Intervensi pusat ke daerah dapat pula dilakukan melalui pelimpahan wewenang dan asas
dekonsentrasi. Sebagai wakil pemerintah pusat di daerah menurut asas ini, pemerintah pusat
--melalui menteri-menteri terkait-- berpeluang untuk melakukan intervensi dalam pengelolaan
sumber daya alam yang telah menjadi wewenang daerah.
Pengaruh kewenangan pemerintah pusat dalam bidang tertentu yang berhubungan dengan
wilayah laut akan dilakukan melalui perencanaan pembangunan regional secara makro,
lingkungan hidup, dan perencanaan tata ruang propinsi. Untuk bidang ini terbuka kemungkinan
friksi dalam mengidentifikasikan batas wewenang, karena pengaturan tata ruang selalu
berimplikasi pada bidang-bidang lain, khususnya dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber
daya alam. Ada gambaran bahwa pemberian wewenang kepada Pemerintah Daerah
kemungkinan menjadi sebuah kebijakan tarik ulur apabila Daerah dan Pusat mempunyai
persepsi yang berbeda mengenai bidang-bidang tertentu yang menjadi wewenang Daerah. [P.
Raja Siregar].
E-LAW INDONESIA