You are on page 1of 4

Siap Menghadapi Pencobaan

Yakobus 1:2-8

Allah menginginkan orang-orang Kristen memiliki sikap yang benar di dalam


menghadapi pencobaan. Sikap seperti apakah itu
1. Bersukacita dalam menghadapi pencobaan
2. Meminta hikmat saat menghadapi pencobaan

Ss, selama 1 minggu ini anak-anak kita kelas 3 SMA sedang menjalani ujian
akhir, yang kita sebut dengan UN. Tentu saja kita akan melihat mereka belajar dengan
sungguh-sungguh agar bisa lulus. Di dalam berita kita melihat bahwa ada anak-anak dari
sekolah tertentu yang sungguh-sungguh berdoa agar mereka bisa lulus karena ratusan kk
tingkat mereka ada yang tidak lulus. Mungkin bagi beberapa kita, yang memiliki anak
sekolah di tempat yang baik akan semakin percaya diri bahwa mereka akan lulus. Apalagi
kita telah mengeluarkan uang untuk les mereka.
Ss, mereka yang masih bersekolah akan terus mengalami apa yang disebut ujian
kelulusan. Dan kita? Kita mengalaminya ss, hanya saja ujian ini berbentuk dalam hal
yang berbeda, bahkan di dalam hal yang sulit, di dalam hal yang paling tidak kita
inginkan, di dalam hal yang paling tidak kita sukai. Ujian kehidupan. Di dalam Alkitab
kita bisa tujuan dari ujian ini untuk menunjukkan bahwa kita adalah anak Allah and untuk
membentuk keserupaan dengan Kristus.
Seperti kita berharap bahwa anak-anak kita bisa lulus dan suatu ketika nanti
mereka bisa memperoleh masa depan yang lebih baik, tentu saja Allah mengininkan
anak-anak-Nya untuk lulus. Kelulusan yang daripada Allah ini dilihat dari apakah kita
semakin serupa dengan Kristus atau tidak.
Di dalam Yakobus 1:2-8, di dalam bahasa aslinya, kita melihat bahwa frasa
“apabila kamu jatuh di dalam berbagai-bagai pencobaan” lebih tepat diterjemahkan
kepada “sewaktu kamu menghadapi berbagai-bagai ujian.” Tentu saja kedua frasa ini
memiliki arti yang berbeda ss.
Yakobus mengatakan bahwa mereka pasti akan menghadapi ujian, kata “sewaktu”
bukan “apabila.” Ujian seperti apa ss? Di dalam konteksnya Yakobus menuliskan kepada
ke-12 suku Israel, orang-orang Yahudi yang percaya kepada Yesus sebagai Tuhan dan
Kristus. Orang Yahudi Kristen ini mengalami ujian dari tiga pihak:
1. Luar komunitas (5:7-11) Penganiyayaan, pembedaan karena kita adalah orang Kristen
2. Dalam komunitas (2:1-13) pembedaan kaya dan miskin (3:1-12) lidah dan (4:1-10)
dunia.
3. Diri sendiri (1:12-16)

Demikian pula dengan kita, bahwa kita akan diuji. Allah mengijinkan ketiga aspek
yang sama hadir di dalam kehidupan kita. Dan ia menginginkan kita agar
“menganggapnya sebagai suatu kebahagian”, dengan kata lain sebagai suatu sukacita.
Mengapa sukacita? Mengapa ia mengijinkan ujian-ujian ini datang? Karena (ayat 3-4).
Apakah kita dapat bersukacita saat kesedihan dan kekecewaan merongrong kita?
Bersukacita karena kita tahu bahwa ujian terhadap iman – ketekunan – buah yang
matang, supaya engkat menjadi utuh, sempurna dan tidak kekurangan apapun. Hal yang
sama dilihat oleh Roma 8:28-30 (menjadi serupa dengan anak-Nya).
Ketekunan menunjukkan adanya tindakan aktif untuk tetap berdiri dengan teguh
menghadapi ujian-ujian, kemampuan untuk mengubah semua ujian (semua tekanan)
menjadi sebuah hal yang positif, untuk mengatasinya. Bukan pasrah. Seperti anak
sekolah, jika ia tidak tahu dan tidak belajar dia akan mengtakan “Sudah ah, pasrah aja.”
Apapun yang terjadi di dalam kehidupan kita sama sekali tidak terlepas dari ijin
daripada Tuhan. Bahkan jika iblis mau mencobai kita, itu harus seijin Tuhan (anda masih
ingat Ayub). Jika Tuhan menguji itu jelas demi kebaikan kita, menyempurnakan diri kita
dan memuliakan nama-Nya. Bukankah sangat menyenangkan saat Allah berkata Ayub
1:8.
Dengan alasan yang demikian, bahwa ujian untuk membentuk diri kita menjadi
“sempurna, utuh dan tidak kekurangan apapun” sekali lagi kita seharusnya bersukacita.
Bersukacita adalah sebuah pilihan, karena bersukacita adalah hal yang sulit untuk
dilakuka. Apakah mungkin untuk bersukacita saat kita menghadapi masalah keluarga,
masalah dalam gereja, masalah dalam pekerjaan, masalah dalam kesehatan? Itu adalah
sebuah pilihan. Bersukacita tidak berarti selalu dapat tertawa atau tersenyum dalam
segala hal namun sukacita juga tidak berarti selalu bersedih dan cemberut sepanjang
waktu. Saat menghadapi ujian yang daripada Tuhan kita memang akan bersedih, kecewa,
marah, tetapi jangan sampai itu merampok sukacita kita dan kita berada tetap di dalam
kesedihan, kekecewaan dan kemarahan itu. Kita berdiri, bangkit, belajar untuk menikmati
ujian-ujian demikan dan bahagia atasnya.
Ss, tentu saja di dalam menghadapi ujian, kita sangat memerlukan hikmat ss. Hikmat
yang berasal dari pemaham dan pengenalan kita akan Allah dan firman-Nya. Bukan dari
dunia. Hal ini sangat penting ss karena sering sekali kita menggunakan hikmat dunia di
dalam menghadapi ujian kita. Hikmat seperti apa?
Kita pasti tidak lepas dari apa yang disebut permusuhan. Di dalam gereja, pekerjaan,
pelayanan, sekolah, lingkungan. Tenut saja permusuhan ini disebabkan bisa karena
banyak hal. Bisa dari hal yang paling kecil (hal ini paling tampak di dalam keluarga)
sampai kepada hal besar (mencoreng nama baik, fitnah, dll). Tentu saja kita pasti
mengalami permusuhan di akan semakin besar, makin dalam dan semakin pahit. Kenapa
ss? “Klu bener jangan ngalah.” Persis seperti naik mobil, kalau ini jalur kita ngapain kita
kalah. Kita selalu berpikir dia yang salah, pemikiran bisa jadi benar, tetapi kita
mempertahankan harga diri kita untuk tidak mengampuni dia dan memaafkan dia. Jelas
saja permusuhan akan semakin dalam. Apa yang Alkitab ajarkan? Merendahkan diri,
memberkati yang mengutuk, mengasihi, mengampuni. Jika kita memakai hikmat dunia
dalam mengatasi permasalahan di dalam gereja, berabe ss, tidak selesai. Semakin anda
mengeraskan hati dan posisi anda, karena anda benar, masalah akan semakin ruwet. Nah
untuk menyelesaikan masalah tersebutpun kita harus berhikmat dalam memilih metode
dan cara penyelesaian masalah, sesuai dengan kebenaran Alkitab
Misalnya. Kita berjuang di dalam menghadapi kelemahan dan dosa-dosa pribadi
tertentu di dalam kehidupan kita. Apa kata dunia “Makin cepat makin baik.” Kita
menggunakan segala cara agar kita bisa kembali menjadi kuat, agar kembali menjadi
seorang pribadi yang lebih baik, memiliki karakter yang lebih baik. Apa yang biasanya
kita minta kepada konselor, hamba Tuhan? Bagaimana caranya. Apa yang kita minta
sama Tuhan? Cepet Tuhan, berikan kepadaku. Tetapi apakah demikian? Di dalam
menghadapi dosa dan kelemahan kita, Allah bisa menyelesaikannya tetapi Ia tidak
melakukannya
Kita melihat bahwa hikmat ini didapatkan dari pemahaman dan pengenalan (takut
akan Allah) akan Allah dan firman-Nya. Bagaimana kita memperoleh hikmat itu jika kita
sama sekali tidak bersaat teduh, membaca Alkitab, studi Alkitab? Jelas saja, sukacita kita
hilang dan masalah semakin besar. Maukah kita belajar bersama untuk tetap bersukacita
dan berhikmat dalam menghadapi pencobaan?

You might also like