You are on page 1of 5

"tidak usah memberitahu tubuh kita untuk melakukan ini dan/atau itu,

sebaliknya malah, berikan saja ruang bagi tubuh kita agar dapat
berfungsi sebagaimana mestinya"

Terinspirasi dari buku yang berjudul “The Miracle of Enzyme”, oleh Hiromi Shinya, M.D.

"tidak usah memberitahu tubuh kita untuk melakukan ini dan/atau itu"

Tidak usah sok tahu mengupayakan sebuah tindakan intervensi bagi tubuh kita, mengapa?
Karena kita tidak tahu secara pasti akan kondisi didalam tubuh kita pada tingkat sel. Namun
demikian, kita bisa merasakan bagaimana kondisi tubuh kita sebenarnya apabila kita cukup
peka.

Maksud kata peka disini adalah, apakah kita dapat merasakan kondisi yang sedang terjadi
pada tingkat sel didalam tubuh kita, ketika tubuh kita sudah pada level 50% akan jatuh sakit?
Atau 25%? Atau malahan pada saat ada masalah pada level 15%, bahkan pada saat 10%
pun kita sudah bisa merasakannya? Yang manakah level kepekaan kita sejauh ini?
Gunanya jelas, agar kita memiliki cukup waktu untuk mengambil tindakan yang diperlukan.
Tindakan yang diperlukan???
Apakah yang dimaksudkan disini adalah intervensi??? Sama sekali BUKAN intervensi !
* hal ini akan diuraikan lebih lanjut setelah ini

Makanya tidak usah heran apabila kita pun sering mendengar, dari kerabat, tetangga, bahwa
si anu didiagnosa mengidap suatu penyakit tertentu, namun sudah pada stadium lanjut.
Ketahuilah bahwa tubuh kita ini senantiasa memberikan sinyal. Kuku yang getas, rambut
rontok, gatal pada kulit, batuk, bersin, dan masih segudang lagi bentuknya. Itulah sinyalnya,
yang artinya didalam tubuh kita sedang terjadi sesuatu, dari yang levelnya ringan hingga
level “kelas berat”. Namun demikian, kita juga harus paham akan arti dari sinyal tersebut.
Ada beberapa kemungkinan, mengapa terdiagnosanya suatu penyakit pada diri seseorang,
seringnya sudah pada kondisi memasuki stadium lanjut (jarang yang pada stadium awal,
sehingga masih terbuka lebar kesempatan bagi sebuah kesembuhan):

Faktor eksternal:
■ Hal yang paling serius yang merupakan sumber “malapetaka”-nya (biang keroknya, hehe..)
adalah lantaran terkait dengan faktor kejiwaan dari masyarakatnya sendiri (tingkat kesadaran).
Yaitu, umumnya, kebanyakan orang lebih mementingkan materi, karier, jabatan atau
kedudukan, dan yang sejenisnya. Padahal apalah arti dari semuanya itu, apabila tanpa disertai
dengan jiwa dan tubuh yang sehat?!
■ Kebanyakan orang berpendapat, “kan sudah ada dokter, jadi kalau sakit ya dibawa ke dokter
aja”. Padahal, pada sisi lainnya, kalangan dokter sendiri mengakui bahwa pada hakekatnya
bukan mereka (dokter) yang menyembuhkan penyakit dari pasien-pasiennya (tentang poin ini,
kita akan membahasnya pada kesempatan lain). Dan sebagai catatan saja, idealnya seorang
dokter adalah mengupayakan sebuah ruang bagi tubuh pasiennya guna melakukan self healing,
bukan malah melakukan intervensi.
■ Pembohongan publik oleh iklan-iklan yang tidak bertanggung jawab, meliputi produk makanan
dan minuman, hingga produk kesehatan itu sendiri. Semua ini, apalagi kalau bukan lantaran
tujuan dari semua bisnis pada umumnya dengan orientasi profitnya itu.
■ Dan masih banyak lagi.

Faktor internal:
■ Karena saking sibuknya akan keseharian (seperti yang diuraikan diatas), maka tidak cukup
kesadaran pada diri kita untuk “handle with care” akan tubuh kita, yang terkait dengan
pengembangan wawasan kita terhadap ranah kesehatan fisik, maupun mental (lagian kan
sudah ada dokter, hehe..).
■ Sehingga tidak paham akan sinyal-sinyal yang diberikan oleh tubuh kita.
■ Atau menganggap sepele akan keluhan-keluhan atau sinyal-sinyal ini, yang kemungkinannya
adalah lantaran ketidak pahaman itu sendiri. Padahal bisa jadi, ini merupakan tanda-tanda dari
stadium awal atau malah pra-stadium awal (kita akan membahas tentang sinyal tubuh ini pada
kesempatan lainnya).
■ Dan seterusnya, dan sebagainya.

"sebaliknya malah, berikan saja ruang bagi tubuh kita"

Jika seseorang terdiagnosa akan adanya kanker pada tubuhnya, maka tindakan medis yang
sudah dikenal secara umum adalah terapi kemo atau kemoterapi. Sebenarnya ini adalah
bentuk intervensi, walaupun tindakan ini dikategorikan sebagai tindakan medis. Alasannya
adalah 8 dari 10 orang yang menjalani kemo, pada akhirnya meninggal dunia (sayangnya,
saya tidak memiliki link-nya untuk dihadirkan sebagai rujukan, karena hal ini saya dengar di
radio setahun yang lalu). Pada sisi lainnya, yang menolak untuk dikemo, dan menggantinya
dengan merubah gaya hidupnya secara total, yaitu dengan back to nature, malahan sembuh
dari kankernya (Anda bisa mencari tahu lebih jauh lagi sendiri tentang back to nature ini di
internet).
Istilah back to nature inilah yang dimaksudkan dengan memberikan ruang bagi tubuh kita,
yang mengandung makna memberikan dukungan dengan mengikuti ketentuan dari tubuh
kita.
Jadi:
“kita yang menuruti apa maunya dari tubuh kita, bukan malah
sebaliknya”

Alasannya adalah:
■ Kita ini bagian dari alam, malahan berasal dari alam! Jadi "memberikan ruang" disini
mengandung makna "alamiah".
■ Tubuh kita ini sangat smart, fully automatic mode (auto detect, auto adjust, auto correct, self
healing, dan segala bentuk auto lainnya, hehe..; lah iyalah.., siapa dulu Penciptanya, iya kan?!).
■ Untuk alasan yang lainnya, saya yakin Kawan Pembaca sekalian pasti sudah dapat
membayangkannya, hehe..

Dan, intervensi yang dimaksudkan disini bukan hanya meliputi tindakan medis saja (cerita
diatas hanya mewakili belaka). Lebih jauhnya adalah tentang bagaimana kebiasaan atau life
syle kita terkait dengan apa yang diasup dalam keseharian kita. Hal inilah yang justru harus
mendapatkan perhatian kita. Mengapa? Ya lantaran dari sifat akumulasinya. Karena penyakit
itu tidak terjadi dalam semalam, melainkan hasil dari sebuah akumulasi, hari demi hari,
minggu demi minggu, bulan demi bulan, akhirnya tahun demi tahun. Inilah yang tidak
disadari, karena kita beranggapan bahwa semuanya ini sudah merupakan suatu kebiasaan
(bisa juga dikatakan sudah merupakan sebuah paradigma di alam bawah sadar kita).
Pertanyaannya sekarang adalah, merupakan sebuah kebiasaan yang bisa dikategorikan relatif
benar, atau malah kebalikannya? Pernahkah kita mencari konfirmasinya?
Eh, sekali lagi, ini untuk kebaikan tubuh kita, Kawan!
Tidak usah 99% benar, lah (terlalu sesumbar, agak mustahil terdengarnya apabila dikaitkan
dengan situasi saat ini), katakanlah 85%, atau 75% benar saja, sepertinya sudah relatif cukup
baik.
Banyak sekali hal yang berkembang di masyarakat kita saat ini yang bisa dikategorikan
kedalam istilah intervensi (terkait dengan kebiasaan makan & minum kita). Ini bisa meliputi:
■ Aneka program diet yang berkaitan dengan pelangsingan tubuh, dimana harga pelayanan atau
paketnya pun tidak bisa dikatakan murah, & no guarantee.
■ Aneka produk untuk melancarkan buang air besar (BAB) yang dijual bebas di pasaran, dari yang
harganya relatif tidak mahal hingga yang kelas menengah-atas.
■ Aneka produk untuk nge-boost stamina atau konsentrasi.
■ Obat-obatan untuk flu, batuk dan pilek.
■ Orang-orang yang dengan latahnya menjalani program diet atau kebiasaan seputar Vegetarian.
■ Dan banyak lagi.

“Lah, kan semua produk itu sudah ada ijinnya?!”


Hehe.., yang bilang produk-produk tersebut tidak ada ijinnya, siapa?!
Ya, memang akan lebih parah lagi kalau ternyata tidak memiliki ijin edar (alias gelap)!
Lantas, apa hal utama keberatan disini?
Karena ada pokok-pokok yang dilanggar dari poin-poin yang telah diuraikan diatas, misalnya:
■ Menyalahi prinsip auto adjust. Ambil contoh saja mengenai produk untuk pelangsingan tubuh.
Padahal tubuh kita itu auto adjust. Bukannya mendukungnya, malahan merecokinya dengan
intervensi. Apa arti auto adjust disini? Artinya, tubuh kita ini akan meng-adjust atau mengatur
sendiri berapa berat badan ideal terkait dengan tinggi badan, usia, jenis kelamin kita, dan
sebagainya. Asalkan saja kita paham apa yang tubuh kita butuhkan. Koq bisa? Lah, kan
semuanya sudah tercetak dari “sono”nya (ada di DNA kita masing-masing). Jadinya, apabila kita
mengambil program tersebut diatas (lantaran tidak paham) malah buang-buang duit, kan?!
■ Contoh lagi, misalnya mengenai produk untuk memperlancar BAB. Apabila produk ini
dikonsumsi secara jangka panjang, maka tanpa disadari kita telah “menyunat” daya auto
regulate dari tubuh kita, sehingga yang selanjutnya terjadi malahan lahirlah ketergantungan
dari tubuh kita terhadap produk tersebut. Akhirnya, sebuah pemborosan juga, kan?!
■ Program Vegetarian itu baik, namun, apakah kita yang menjalaninya ini sudah memiliki dasar
pengetahuan yang cukup tentang keseimbangan gizi? Yang dikuatirkan adalah, ujung-ujungnya
bukannya sehat, malah terjadi mal-nutrisi.
■ Dan sebagainya.

Jadi, kalau terkait dengan apa yang kita makan & minum, sebenarnya perbanyak saja asupan
terhadap makanan & minuman yang sifatnya alamiah atau yang langsung berasal dari alam
(bukan yang sudah melalui proses pengolahan lebih lanjut melalui tangan
manusia). Mengapa? Ya, yang namanya bisnis, ya profit-lah orientasinya, bukan kesehatan
konsumennya (pada umumnya begitu), iya kan?!

"agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya"

Artinya adalah sebagaimana "yang dari sono-nya", yang erat kaitannya dengan istilah segala
jenis “auto” dan "alamiah" tersebut diatas.

Mungkin Kawan Pembaca sekalian agak sedikit bingung, mengapa kesannya kita lebih banyak
mengulas dengan menggunakan metode pendekatan big picture? Justru ini maksudnya,
seperti terbaca diatas, dibawah judulnya, sebuah pengantar, memang dimaksudkan hanya
sebagai sebuah pemicu saja, agar setelah ini kita semua diharapkan bergerak untuk
mencarinya sendiri-sendiri (sumbernya sendiri banyak terdapat di internet saat ini, namun
kita harus cukup kritis dan bijak didalam menyingkapi informasi yang disajikan), lantaran
kebutuhan kita masing-masing pun tidak sama.

penutup

Saya sendiri (penulis) dulunya juga merupakan “korban” dari berbagai iklan yang ada. Tubuh
saya ini dulunya adalah “gudang”nya obat. Ditambah lagi “langganan” sakit tenggorokan
sekitar 2-3 bulan sekali.
Merupakan sebuah prestasi bagi saya dikala itu, apabila dalam kurun waktu 6 bulan saya
tidak jatuh sakit (terkena flu atau sakit tenggorokan), hehe..
Kemudian, dengan bermodalkan kesadaran dan tekad, saya berusaha merubah total
kebiasaan yang sudah “berkarat” selama sekian puluh tahun itu, yang terkait dengan
makanan dan minuman didalam keseharian saya (sebaiknya jangan instan, karena bisa jadi
malah akan membebani tubuh kita). Setahap demi setahap, dan hasilnya baru dapat saya
rasakan secara nyata setelah melewati tahun ke-3 (memasuki awal tahun ke-4).
Koq, lama? Iyalah, kan “berkarat”-nya sudah sekian puluh tahun, hehe..
Memang disaat awal perjalanannya hampir putus asa juga, akibat sudah ter-”brain washed”
oleh iklan-iklan yang ada, yang memberitahu kita hanya butuh waktu 6 bulan saja, bahkan
katanya cukup hanya dengan 3 bulan. Padahal, kalau dari pengalaman saya, setelah
melampaui waktu 1 tahun pun belum terlihat sebuah perubahan. Begitupun setelah
melampaui tahun ke-2. Perubahan awal baru terasa setelah melewati 2,5 tahun (artinya ini
sudah didalam tahun ke-3). Dan perubahan yang nyata baru terasa setelah memasuki awal
tahun ke-4.

Apa hal konkrit yang dirasakan? Karena tubuh kita ini sifatnya adalah sistemik, maka otomatis
akan mengalami improvement secara keseluruhan, seperti:
■ Tubuh terasa lebih bugar dan bertahan cukup lama dalam aktivitas keseharian (tidak cepat
“low-bat”, hehe..).
■ Membaiknya daya kerja otak (lebih konsenterasi, presisi dan kritis).
■ Mood pun menjadi lebih stabil, sehingga membuahkan sebuah kejiwaan yang cukup jernih
didalam menyingkapi sebuah kejadian/ peristiwa/ tantangan, dan sebagainya (mungkin inilah
hal yang harus diberi garis bawah; ya, sudah diberi garis bawah, hehe..).

Sekarang ini, puji syukur kepada Yang Maha Pengasih dan Yang Maha Penyayang, tubuh saya
ini sudah berganti menjadi “gudang” jus (antioksidan), dan tidak “langganan” sakit
tenggorokan lagi, hehe..

Demikian Kawan Pembaca sekalian, semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua, dan
berharap kiranya kita akan bertemu lagi pada pembahasan yang lainnya, terima kasih.

You might also like