You are on page 1of 9

MAKALAH

KEKUASAAN DAN DISTRIBUSI KEKUASAAN

Disusun guna memenuhi tugas kelompok Mata Kuliah Ilmu Politik

Disusun Oleh :
Kelompok 2
1. Badiatul Zumalak (07210092)
2. Cucuk Oktriviyanto (07210093)
3. Diyan Oktafia Dwi Lestari (07210094)
4. Dyah Purbo Lestari (07210095)
Kelas VC

PROGDI PPKN
FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
IKIP PGRI SEMARANG
2009
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat
dan hidayah-Nya yang diberikan sehingga penulis dapat menyusun tugas makalah
yang berjudul “Kekuasaan dan distribusi kekuasaan”. Makalah ini disusun untuk
memenuhi tugas kelompok mata kuliah ilmu politik.
Penyusunan makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, melalui
kesempatan ini penulis ingin menghantarkan terima kasih kepada :
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa hasil penyusunan makalah ini jauh
dari kesempurnaan. Untuk itu penulis sangat mengharapkan masukan, baik kritik
maupun saran, demi kelengkapan dan kebaikan makalah ini.
Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis
maupun pembaca pada umumnya.

Semarang, Nopember 2009

Penulis
PEMBAHASAN
KEKUASAAN DAN DISTRIBUSI KEKUASAAN

I. MENDEFINISIKAN KEKUASAAN

A. Pengertian
Kekuasaan adalah konsep di dalam ilmu politik yang paling banyak
dibahas dan dipermasalahkan. Machiavelli, seorang peinikir filsafat politik
dari Florence, Italia, pernah mengatakan bahwa, “Politik adalah sejumlah
sarana yang dibutuhkan untuk mendapat kekuasaan mempertahankan
kekuasaan untuk mencapai kegunaan yang maksimal.” Dan bahkan kekuasaan
dipandang sebagai gejala yang selalu terdapat (atau serba hadir) dalam proses
politik. Hal ini juga yang dicetuskan oleh sejumlah peinikir realis, seperti :
Hans Morgenthau, Edward H. Carr, Arnold Wolfers, dan George Kennan.
Mereka dengan gamblang menyatakan pandangannya bahwa sebagai
perjuangan untuk mendapatkan kekuasaan (struggle for power). Atau istilah
yang lain dikatakan bahwa politik adalah seni menggapai pelbagai
kemungkinan (the art of possible). Maksudnya politik adalah manusia untuk
menggapai semua atau suatu hal yang tidak mungkin kemungkinan-
kemungkinan yang nyata dengan menggunakan kekuasaan.
Keterkaitan Ilmu Politik dengan Konsep Kekuasaan :
Dalam ilmu politik terdapat sejumlah konsep yang berkaitan erat
dengan konsep kekuasaan (power), misalnya, seperti : (1) influence
(pengaruh), kemampuan untuk mempengaruhi orang lain agar orang tersebut
mengubah sikap dan perilakunya secara sukarela; (2) force, (penggunaan
tekanan nonfisik guna bertindak sesuai dengan kehendak yang memerintah
seperti : menimbulkan rasa takut ataupun membatasi pemenuhan kebutuhan
biologis (makan dan ininum) terhadap pihak lain; (3) persuasion (persuasi),
yakni kekuasaan yang bersinggungan dengan kemampuan pemberi-perintah
dalam meyakinkan orang lain dengan argumentasi logis-rasional untuk
melakukan sesuatu; (4) manipulation (manipulasi), penggunaan pengaruh, di
mana orang yang dipengaruhi tidak menyadari bahwa tingkah laku sebenarnya
sedang mematuhi keinginan pemegang kekuasaan: (5) coercion atau coercive,
peragaan kekuasaan atau ancaman paksaan yang dilakukan oleh seseorang
atau kelompok (biasanya menyertakan tindakan fisik / kekerasan) terhadap
pihak lain agar bersikap dan berperilaku sesuai dengan kehendak pihak
peinilik kekuasaan, termasuk sikap dan perilaku yang bertentangan dengan
kehendak yang dipengaruhi; (6) authority (kewenangan), atau dalam bahasa
Max Weber sebagai otoritas legal-formal, di mana seseorang meminiliki
kekuasaan oleh karena legalitas yang melekat dalma dirinya (Surbakti, 1992 :
57)
B. Definisi Kekuasaan
Meretas pengertian atau pemahaman dasar akan kekuasaan, agar ketika
kita meletakkannya dalam kerangka kerja politik yang lebih luas akan lebih
mudah untuk dipahami. Membahas tentang kekuasaan pandangan kita tidak
mungkin lepas dari definisi yang diutarakan oleh ahli sosiologi ternama, Max
Weber (dalam Budihardjo, 1984 : 16).
1. Max Weber (dalam Budihardjo, 1984 : 16) yang menyatakan bahwa
“kekuasaan adalah kemampuan untuk dalam suatu hubungan sosial,
melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalaini perlawanan, dan
apapun dasar kemampuan ini”.
2. Sedangkan Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan (1950 : 75)
mendefinisikan kekuasaan dengan, “ ... suatu hubungan di mana
seseorang atau kelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang
atau kelompok lain agar sesuai dengan tujuan dari pihak pertama”.
Definisi Laswell dan Kaplan sejalan dengan definisi yang ditawarkan
oleh Charles Andrain (1992 : 130) di mana ia mengatakan bahwa,
“Kekuasaan sebagai penggunaan sejumlah sumber daya (aset,
kemampuan) untuk memperoleh kepatuhan (tingkah laku
menyesuaikan) dari orang lain.”
C. Sumber Kekuasaan
Sumber kekuasaan dapat berupa kedudukan, kekayaan atau
kepercayaan. Misalnya seorang komandan terhadap anak buahnya atau
seorang majikannya terhadap pegawainya. Dalam kasus ini bawahan dapat
ditindak jika melanggar disiplin kerja atau melakukan korupsi.
 Sumber kekuasaan dapat juga berupa kekayaan. Misalnya seorang
pengusaha kaya mempunyai kekuasaan atas seorang politikus atau
seorang bawahan yang mempunyai utang yang belum dibayar
kembali.
 Kekuasaan dapat pula bersumber pada kepercayaan atau agama.
Dibanyak tempat alim ulama mempunyai kekuasaan terhadap
umatnya, sehingga mereka dianggap sebagai pemimpin informal
yang perlu diperhitungkan dalam proses pembuatan keputusan di
tempat itu.
D. Tipe – Tipe Kekuasaan
Menurut MacIver ada tiga pola umum sistem lapisan kekuasaan / piramida
kekuasaan, yaitu sebagai berikut :
1. Tipe pertama (tipe kasta) adalah sistem lapisan kekuasaan dengan garis
pemisah yang tegas dan kaku. Tipe semacam ini biasanya dijumpai pada
masyarakat berkasta, dimana hampir – hampir tak terjadi gerak sosial
vertikal.
2. Tipe yang kedua (tipe oligarkis), masih mempunyai garis pemisah yang
tegas. Akan tetapi, dasar pembedaan kelas – kelas sosial ditentukan oleh
kebudayaan masyarakat, terutama pada kesempatan yang diberikan kepada
para warga untuk memperoleh kekuasaan – kekuasaan tertentu. Bedanya
dengan tipe pertama adalah walaupun kedudukan para warga pada tipe
kedua masih didasarkan pada kelahiran ascribed status, individu masih
diberi kesempatan untuk naik lapisan.
3. Tipe yang ketiga (tipe demokratis) menunjukkan kenyataan akan adanya
garis pemisah antara lapisan yang sifatnya mobil sekali. Kelahiran
seseorang tidak menentukan seseorang, yang terpenting adalah
kemampuan dan kadang – kadang juga faktor keberuntungan.
E. Wewenang Kekuasaan
Menurut Max Weber :
Wewenang adalah suatu hak yang telah ditetapkan dalam suatu tata-tertib
sosial untuk menetapkan kebijaksanaan – kebijaksanaan, menentukan
keputusan – keputusan megenai persoaln – persoalan yang penting, dan untuk
menyelesaikan pertentangan – pertentangan.
Wewenang ada tiga macam, yaitu :
1. Wewenang Kharismatis (charismatic authority)
Wewenang kharismatis merupakan wewenang yang didasarkan pada
kharisma, yaitu suatu emampuan khusus (wahyu, pulung) ayang ada
pada diri seseorang. Wewenang kharismatis berwujud suatu wewenang
untuk diri orang itu sendiri dan dapat dilaksanakan terhadap segolongan
orang atau bahkan terhadap bagian terbesar masyarakat.
2. Wewenang Tradisional (traditional authority)
Ciri – ciri wewenang tradisional adalah:
1. Adanya ketentuan – ketentuan tradisional yang mengikat
penguasa yang mempunyai wewenang, serta orang – orang
lainnya dalam masyarakat
2. Adanya wewenang yang lebih tinggi ketimbang kedudukan
seseorang yang hadir secara pribadi
3. Selama tak ada pertentangan dengan ketentuan – ketentuan
tradisional, orang – orang dapat bertindak secara bebas.
3. Wewenang Rasional / Legal (rational / legal authority)
Wewenang rasional / legal adalah wewenang yang disandarkan pada
sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat. Sistem hukum disini
dipahamkan sebagai kaidah – kaidah yang telah diakui serta ditaati
masyarakat dan bahkan yang telah diperkuat oleh negara.
II. DISTRIBUSI KEKUASAAN

Para scholars ilmu politik telah menciptakan beberapa model yang


berbeda untuk menganalisis soal distribusi kekuasaan. Setidaknya ada tiga
model yang ditawarkan para sarjana ilmu politik dalam memahaini distribusi
kekuasaan (Andrain, 1992 : 154), pertama, model elite berkuasa. Menurut
model ini sumber kekuasaan terpusat pada sekelompok kecil orang saja.
Kedua, model pularis, di mana kekuasan mulai tersebar diantara beberapa
kelompok sosial masyarakat. Dan, ketiga, model kekuasaan popular atau
populis, yang mengemukakan bahwa sumber kekuasaan telah menyebar luas
di seluruh kalangan warga negara.

A. Model – Model Distribusi Kekuasaan


1. Model Elite berkuasa atau model Elite yang memeirntah. Kosnep
mengenai adanya elite yang memeintah atau berkuasa telah tedapat
dalma tulisan Vilfredo Pareto dalam bukunya The Inind and Society;
Gaetano Mosca dalam karyanya The Ruling Class, juga dalam tulisan
Wright Inills, The Power Elite. Mereka akan mengemukakan bahwa
dalam semua masyarakat (di manapun dan kapanpun) akan selalu
terdapat suatu kelompok kecil yang berkuasa atas mayoritas warga.
Gaetano Mosca bahkan hanya membagi kategori warga (dalam
konteks kekuasaan) ke dala dua kelompok besar. Pertama, kelompokn
atau klas yang mmrintah (pemerintah), yang teridir dari sedikit orang,
melaksanakan fungsi politik, memonopoli kekuasaan, dan
menikmatinya. Dan kedua, klas yang diperintah, yang berjumlah
banyak, dan berkecenderungan dimobilisasi oleh penguasa dengan
cara-cara yang kurang lebih berdasar hukum dan juga paksaan.
2. Model Pluralis. Asumsi yang terbangun dalam masyarakat yang relatif
demokratis adalah setiap individu menjadi satu anggota suatu
kelompok atau lebih berdasar pada preferensinya atas kepentingan-
kepentingan yang melatar belakanginya.
Dalam konteks sini kelompok berfungsi sebagai wadah perjuangan
kepentingan par anggota dan menjadi perantara antara para
anggotanya, sehingga yang dimaksud dengan model elite yang
berkuasa di sini ialah para kelompok yang saling bersaing dan
berdialektika sesama kelompok lain dalam mempengaruhi keputusan-
keputusan yang akan dibuat pemerintah deini terlaksananya keinginan
dan kebutuhan kelompok.
3. Model kekuasaan popular. Asumsi yang mendasari model populis atau
kerakyatan adalah demokrasi. Di mana pada sistem politik demokrasi
(liberal) yang dibangun adalah sikap individualisme. Individualisme
sendiri diasumsikan sebagai: (1) setiap warga negara yang telah
dewasa mempunyai hak meinilih dalam peinilihan umum; (2) setiap
warga negara yang sudah dewasa yang mempunyai ininat yang besar
untuk aktif dalam proses politik; serta (3 ) setiap warga negara yang
dewasa mempunyai kemampuan unutk mengadakan penilaian tehadap
proses politik karena mereka memiliki informasi yang memadai.
Oleh karena kewenangan tidak terbagi aecara merata, maka
kewenangan dan atau kekuasaan (agar tidak berperilaku otoirter atau totaliter)
harus dialihkan. Alasan lain mengapa kewenangan dan/atau kekuasaan perlu
dilaihkan adalah, bahwa semakin lama seseorang memegang suatu jabatan.
Semakin orang tersebut menganggap dan memperlakukan jabatan yang
dipegangnya sebagai milik pribadi. Akibatnya. tidak hanya semakin tidak
kreatif dia dalam melaksanakan fmtgsi dan perannya dalam bertugas tetapi
jugs semakin cenderung mungkin dalam menyalahgunakanjabatan untuk
kepentingan pribadi atau kelompoknya. Karena itu, peralthan kewenangan da
seseorang atau kelompok orang kepada orang atau kelompok lain merupakan
suatu keharusan. Menurut Paul Coun (dalam Surbakti, 1992: 89) secara umum
terdapat light cars peralihan kewenangan. yakni: pertama, turun menurun,
yang dimaksud derngan peralihan kewenangan secara turun menurun ialah
jabatan atau kewenangan yang dialihkan kepada ketuninan atau keluarga
pemegang jabatan terdahulu. Hal ini dapat dilihat dalam sistem politik yang
utonarid dan / atau otokrasi tradisional, kedua peralihan kewenangan dengan
caraptharcyalaiiperalihankewenangan melalui kontrak sosial yang berbentuk
pemulihan umum baik yang dilakukan secara langeung ataupun melalui badan
perwakilan rakyat. Hal ml dlpraktikan dalam sistem politik yang demokratis.
Dan ketiga, peralihan kewenangan melalui paksaan peralihan kewenangan
secara paksaan ialah jabatan atau kewenangan terpalcsa dialihkan kepada
orang atau kelompok lain dengan tidak menurut prosedur yang sudab
disepakati tetapi melalui tindak inkonstitusional-kekerasan, seperti paksaan
tak berdarah revolusi, dan/ atau kudeta.
B. Sirkulasi Elit Kekuasaan
Cara pandang lain untuk melihat sirkulasi elite adalah atau yang dapat
terjadi, sebagai berikut :
a) Individu – individu dari strata bawah berhasil memasuki ruang elite yang
sudah ada;
b) Aktor individu atau kelompok yang berasal dari strata bawah membuat
suatu kelompok elite baru yang diperhitungkan dan terlibat dalam
perbutan kekuasaan dengan elit yang sudah ada.
Terdapat tiga bentuk pertukaran atau sirkulasi elite ang berlangsung dalam
mekanisme exchange :
1. Pertukaran atau sirkulasi elite antara pihak pemerintah dengan
kelompok oposisi yang berasal dari dalam kelas – kelas politik
(political class).
2. Pertukaran atau sirkulasi elite antara yang tergabung dalam kelompok
political class dengan kelompok yang pernah berkuasa atau tengah
tengah berkuasa.
3. Pertukaran atau sirkulasi elite antara mereka yang berkuasa (the
rulling class) dengan mereka yang dikuasai (the ruled class).

You might also like