You are on page 1of 17

 

KLASIFIKASI BELANJA  
DAN  
PERHITUNGAN BIAYA AKTIVITAS 
 
 
 
 
Deddi Nordiawan* 

JAKARTA, 1 JUNI 2009 

* Penulis adalah Dosen FEUI, Trainer di LPEM UI, Konsultan Keuangan Daerah di
Medina Consulting, dan peneliti di Yayasan Prabandha
TABLE OF CONTENTS

1.  LATAR BELAKANG .................................................................................................................................................. 3 


2.  TINJAUAN TEORI DAN KONSEP ..................................................................................................................... 4 
2.1.  Anggaran Kinerja ............................................................................................................................................. 4 
2.2.  Biaya ......................................................................................................................................................................... 6 
3.  PENGATURAN DALAM PERMENDAGRI 13/2006 .................................................................................. 7 
3.1.  Pendekatan Penganggaran ........................................................................................................................ 7 
3.2.  Belanja .................................................................................................................................................................... 8 
3.2.1.  Belanja tidak langsung ....................................................................................................................... 9 
3.2.2.  Belanja langsung .................................................................................................................................. 10 
3.2.3.  Analisis Klasifikasi Belanja ................................................................................................................. 11 
4.  PERHITUNGAN BIAYA KEGIATAN ............................................................................................................... 14 
4.1.  Memisahkan belanja yang tidak terkait kinerja ........................................................................... 14 
4.2.  Menentukan rumpun belanja tidak langsung ............................................................................... 14 
4.3.  Menentukan Alokasi Biaya ....................................................................................................................... 15 
5.  KESIMPULAN ............................................................................................................................................................. 17 
 

 
1. LATAR BELAKANG

Pengelolaan keuangan daerah merupakan sebuah proses yang terdiri atas beberapa
tahapan dimulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, penatausahaan dan
pertanggungjawaban. Keseluruhan proses tersebut dilaksanakan secara simultan
melibatkan berbagai pihak dalam struktur pemerintahan daerah dan meliputi ribuan
bahkan jutaan transaksi. Tahapan-tahapan itu juga dituntut agar terlaksana secara
efisien, efektif, transparan dan akuntabel.

Reformasi keuangan daerah yang ditandai yang dilaksanakan dalam 10 tahun terakhir
mencoba menempatkan keseluruhan proses pengelolaan keuangan daerah tersebut
dalam struktur yang dianggap lebih efisien dan efektif. Salah satu konsekuensi dari
reformasi adalah modernisasi pendekatan penganggaran dari yang sebelumnya
tradisional menjadi pendekatan kinerja. Bahkan dalam ketentuan paling akhir, kita
diamanatkan untuk melakukan proses penganggaran menggunakan pendekatan
Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM/MTEF).

Pendekatan kinerja adalah sebuah teknologi, yang di dalamnya terangkai teknik-teknik


penganggaran dalam patron asumsi-asumsi, yang jika rangkaian dan/atau asumsi
tersebut tidak terpenuhi maka tujuan reformasi tidak akan tercapai. Anggaran Kinerja
adalah suatu pendekatan dimana pemerintah diharapkan lebih menitikberatkan pada
aspek kinerja dibandingkan dengan pendekatan tradisional yang lebih berkonsentrasi
pada angka-angka semata. Dengan demikian, pendekatan kinerja menuntut adanya
indikator, baik pada saat input dikelola maupun pada saat keluaran (output) dan hasil
(outcome) diperoleh.

Dengan tuntutan seperti itu, dibutuhkan kebijakan tentang klasifikasi belanja yang tepat,
yang dapat memberikan informasi kepada masyarakat belanja-belanja apa saja yang
terkait dengan kegiatan dengan output tertentu dan belanja-belanja apa saja yang tidak
terkait kinerja.

Pada saat ini, Permendagri 13/2006 mengklasifikasikan belanja dalam kelompok


belanja langsung dan belanja tidak langsung. Dalam aplikasinya, klasifikasi tersebut
secara teknis dapat diterapkan oleh pemerintah daerah. Namun, klasifikasi tersebut
dalam beberapa hal menimbulkan mispersepsi di kalangan pengguna, baik pemerintah,
akademisi, LSM, maupun masyarakat secara keseluruhan.

Beberapa mispersepsi tersebut diakibatkan oleh definisi klasifikasi belanja langsung


dan belanja tidak langsung yang dikaitkan dengan jenis belanja. Dinyatakan dalam
Permendagri 13/2006, Belanja Tidak Langsung terdiri atas belanja pegawai, bunga,
hibah, bantuan sosial, bantuan keuangan, subsidi dan belanja tidak terduga, serta

 
Belanja Langsung terdiri atas belanja pegawai (non gaji), belanja barang dan jasa, dan
belanja modal.

Untuk mendapatkan informasi yang tepat sebagai dasar pengambilan keputusan,


klasifikasi hendaknya didasarkan pada sifat keterjadian belanja tersebut, apakah terkait
dengan kegiatan atau tidak, apapun jenis belanjanya. Makalah ini membahas hal
tersebut, sekaligus memberikan beberapa alternatif pemecahan untuk mengatasi
kendala yang dihadapi saat ini. Termasuk di dalamnya sebuah gambaran besar tentang
langkah-langkah melakukan perhitungan atas biaya aktivitas.

2. TINJAUAN TEORI DAN KONSEP

2.1. Anggaran Kinerja

Pendekatan ini merupakan pendekatan penyusunan anggaran belanja yang


didasarkan pada kinerja kegiatan dan program kerja yang dapat diukur. McKinney
mengatakan bahwa ”performance budgeting comprises specific techniques directing
attention to the services to be provided and the work to be performed.”1

Menurut Freeman dan Shoulders, hal-hal pokok dalam pendekatan ini dapat
diikhtisarkan sebagai berikut:

• classifying budgetary accounts by function and activity;


• investigating and measuring exising activities to obtain maximum efficiency
and to establish cost standards;
• basing the budget of the succeeding period on unit cost standards multiplied
by the expected number of units of the activity estimated to be required in that
period.”2

Dengan demikian, untuk menyusun anggaran dengan pendekatan performance


tersebut, suatu organisasi perlu menentukan biaya per unit yang paling efisien dari
masing-masing bentuk kegiatannya. Selain itu, organisasi juga harus menentukan
volume atau unit kegiatan dimaksud yang hendak dilaksanakan dalam periode
anggaran berikutnya. Dengan 2 variabel utama utama tersebut organisasi baru bisa
                                                             
1
McKinney, Jerome B. (1986). Effective Financial Management in Public and Nonprofit Agencies : A
Practical and Integrative Approach. Westport, Connecticut : Quorum Books, Greenwood Press, Inc. Halaman 207.
2
Freeman, Robert J.; & Shoulders, Craig D. (2003). Governmental and Nonprofit Accounting – Theory and
Practice. Seventh Edition. Pearson Education, Inc. Halaman 94.

 
menyusun anggaran dengan pendekatan performance atau kinerja. Bentuk
anggaran yang dihasilkan akan diuraikan dan diklasifikasikan secara bertingkat
mulai dari fungsi, unit organisasi, kegiatan, hingga jenis belanja.

Selanjutnya, menurut McKinney, beberapa keunggulan dari pendekatan ini adalah


sebagai berikut :

• Meringankan pengendalian terhadap input atau masukan sumber daya;


• Melonggarkan pengendalian eksternal dan lebih menekankan pada
pengendalian internal organisasi;
• Mengalihkan perhatian dari pengendalian anggaran ke pengendalian
administratif;
• Mengatur pelaksanaan audit dan pengendalian atas kegiatan yang telah
dilaksanakan secara lebih mantap;
• Mendorong perencanaan dan penjadwalan kerja yang lebih baik;
• Mendorong pertanggungjawaban manajemen;
• Menjadi alat pengendalian manajemen yang penting untuk menganalisis
penyimpangan dan kinerja dari anggaran yang telah ditetapkan sebelumnya.3

Namun demikian, di samping keunggulan di atas, McKinney juga mencatat


beberapa keterbatasan dan kelemahan dari pendekatan penganggaran ini yaitu
sebagai berikut :

• Hasil perhitungan biaya per unit input dan output acapkali tidak akurat karena
beberapa faktor eksternal organisasi seringkali berubah dan sulit
diprediksikan secara tepat.
• Pengumpulan data yang berguna untuk menentukan biaya per unit sulit
tercapai karena laporan anggaran yang dihasilkan pada umumnya tersusun
dari suatu sistem pencatatan yang berdasarkan pendekatan belanja, bukan
berdasarkan full cost;
• Pertanggungjawaban masing-masing unit organisasi sering bias. Hal ini
terjadi karena suatu kegiatan seringkali melibatkan lebih dari satu unit
organisasi sehingga kontribusi masing-masing unit organisasi yang terlibat
terhadap keberhasilan atau kegagalan kegiatan tersebut tidak bisa
diidentifikasikan secara jelas;
• Lebih menonjolkan pada proses yang dapat dikuantifikasikan dan kurang
memperlihatkan tujuan atau hasil akhir yang sifatnya kualitatif.4

                                                             
3
Disadur dan disarikan dari McKinney, Jerome B. (1986). Effective Financial Management in Public and
Nonprofit Agencies : A Practical and Integrative Approach. Westport, Connecticut : Quorum Books, Greenwood
Press, Inc. Halaman 207.

 
2.2. Biaya

Biaya dapat digolongkan berdasarkan keterkaitan pada obyeknya. Dalam sebuah


organisasi, mungkin ada biaya-biaya yang terkait dengan obyek tersebut dan
mungkin ada biaya yang tidak terkait dengan obyeknya tersebut. Biaya-biaya yang
terkait dengan obyek itu sendiri digolongkan menjadi dua (2) yaitu terkaitnya secara
langsung dengan obyek dan tidak terkait langsung. Obyek-obyek itu sendiri dapat
bermacam-macam bentuknya, bisa berupa aktivitas, bisa berupa produk, bisa
berupa unit organisasi dan lain-lain.

Dari penjelasan tersebut, biaya dapat dibagi menjadi tiga golongan besar yaitu:

1. Biaya yang tidak terkait dengan aktivitas

2. Biaya yang terkait dengan aktivitas secara langsung, yaitu biaya-biaya ini
secara kasat mata sudah jelas untuk aktivitas tertentu.

3. Biaya yang terkait dengan aktivitas tetapi secara tidak langsung, yaitu
adanya suatu kondisi dimana secara kasat mata kita tidak bisa menjelaskan
biaya tersebut untuk aktivitas yang mana.

Sekarang yang menjadi pertanyaaan adalah bagaimana kita mendapatkan biaya


atas suatu aktivitas tertentu. Berdasarkan penggolongan di atas, maka kita harus
menjumlahkan biaya yang terkait secara langsung ditambah dengan porsi tertentu
dari biaya yang terkait secara tidak langsung dengan aktivitas tersebut. Formula itu
dasar fikirnya adalah, kita melihat kegiatan A misalnya, kegiatan A mengambil
biaya-biaya yang terkait langsung dengannya, dan tidak menutup kemungkinan
kegiatan A akan mengambil biaya-biaya lain yang terkait secara tidak langsung
dengan kegiatan A tetapi manfaatnya dirasakan oleh kegiatan A.

Dengan demikian, kita membutuhkan adanya metode-metode untuk


mengalokasikan biaya-biaya yang terkait secara tidak langsung dengan aktivitas.
Contohnya biaya listrik, biaya listrik digunakan dan dirasakan manfaatnya oleh
kegiatan A, Kegiatan B dan kegiatan C. Misalkan biaya listrik besarnya adalah Rp.
1.500.000, berarti berapa yang harus kita bebankan ke kegiatan A, kegiatan B, dan
ke kegiatan C tentu kita harus memiliki metode untuk mempertanggungjawabkan
biaya listrik tersebut.

Untuk melakukan alokasikan biaya-biaya tersebut ada dua metode yaitu:


                                                                                                                                                                                                    
4
Ibid., Halaman 217 – 219.

 
1. Simplify Method. Kita gunakan satu rate untuk semua biaya tidak langsung
yang ada, kemudian berdasarkan rate itu kita tetapkan proprosinya untuk
setiap kegiatan.

2. Multiple Allocation Method. Kita mengelompokkan terlebih dahulu biaya tidak


langsung berdasarkan sifatnya. Misalnya kita memiliki biaya tidak langsung
yang terdiri atas Listrik dan penggunaan ATK. Dua jenis biaya ini memiliki
perilaku yang berbeda. Contohnya listrik, biaya ini naik dipicu oleh
penggunaan peralatan yang ada di kantor tersebut, misalkan penggunaan
computer. Sedangkan biaya ATK kita tentukan berdasarkan jumlah orang.
Dengan demikian, maka kita menentukan proporsi untuk biaya listrik per
kegiatan bersadarkan jumlah komputer yang digunakan, dan proporsi untuk
biaya ATK berdasarkan jumlah orang.

3. PENGATURAN DALAM PERMENDAGRI 13/2006

3.1. Pendekatan Penganggaran

Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) SKPD disusun menggunakan pendekatan


kerangka pengeluaran jangka menengah daerah, penganggaran terpadu dan
penganggaran berdasarkan prestasi kerja.

Pendekatan kerangka pengeluaran jangka menengah daerah (KPJM)


dilaksanakan dengan menyusun prakiraan maju. Prakiraan maju berisi perkiraan
kebutuhan anggaran untuk program dan kegiatan yang direncanakan dalam tahun
anggaran berikutnya dari tahun anggaran yang direncanakan.

Pendekatan penganggaran terpadu dilakukan dengan memadukan seluruh proses


perencanaan dan penganggaran pendapatan, belanja, dan pembiayaan di
lingkungan SKPD untuk menghasilkan dokumen rencana kerja dan anggaran.

Pendekatan penganggaran berdasarkan prestasi kerja dilakukan dengan


memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dengan keluaran yang diharapkan
dari kegiatan dan hasil serta manfaat yang diharapkan termasuk efisiensi dalam
pencapaian hasil dan keluaran tersebut. Penyusunan RKA-SKPD berdasarkan
prestasi kerja berdasarkan pada:

indikator kinerja, adalah ukuran keberhasilan yang akan dicapai dari program
dan kegiatan yang direncanakan

 
capaian (target) kinerja , merupakan ukuran prestasi kerja yang akan dicapai
yang berwujud kualitas, kuantitas, efisiensi dan efektifitas pelaksanaan dari
setiap program dan kegiatan

analisis standar belanja, merupakan penilaian kewajaran atas beban kerja dan
biaya yang digunakan untuk melaksanakan suatu kegiatan

standar satuan harga, adalah harga satuan setiap unit barang/jasa yang berlaku
disuatu daerah yang ditetapkan dengan keputusan kepala daerah

standar pelayanan minimal, adalah tolok ukur kinerja dalam menentukan capaian
jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah

Agar penyusunan RKA-SKPD berdasarkan ketiga pendekatan tersebut tercapai dan


supaya tercipta kesinambungan RKA-SKPD, kepala SKPD mengevaluasi hasil
pelaksanaan program dan kegiatan 2 (dua) tahun anggaran sebelumnya sampai
dengan semester pertama tahun anggaran berjalan. Evaluasi tersebut bertujuan
menilai program dan kegiatan yang belum dapat dilaksanakan dan/atau belum
diselesaikan tahun-tahun sebelumnya untuk dilaksanakan dan/atau diselesaikan
pada tahun yang direncanakan atau 1 (satu) tahun berikutnya dari tahun yang
direncanakan.

3.2. Belanja

Belanja daerah merupakan kewajiban Pemerintah Daerah yang diakui sebagai


pengurang nilai kekayaan bersih. Kewajiban tersebut dipergunakan dalam rangka
mendanai pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi
atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib, urusan pilihan dan urusan yang
penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu yang dapat dilaksanakan
bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah
yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan.

Belanja penyelenggaraan urusan wajib diprioritaskan untuk melindungi dan


meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban
daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan,
kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan
sistem jaminan sosial.

Belanja daerah tersebut dapat dirinci menurut urusan pemerintahan daerah,


organisasi, program, kegiatan, kelompok, jenis, obyek dan rincian obyek belanja.
Klasifikasi tersebut meliputi :

 
1. Belanja menurut urusan pemerintahan yang terdiri dari belanja urusan wajib
dan belanja urusan pilihan

2. Belanja menurut organisasi yaitu disesuaikan dengan susunan organisasi


pada masing-masing pemerintah daerah.

3. Belanja menurut program dan kegiatan yaitu disesuaikan dengan urusan


pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.

4. Belanja menurut kelompok belanja yaitu terdiri dari belanja tidak langsung
dan belanja langsung.

3.2.1. Belanja tidak langsung

Kelompok belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak


terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan.

Kelompok belanja tidak langsung dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari:

1. belanja pegawai, merupakan belanja kompensasi, dalam bentuk gaji dan


tunjangan, serta penghasilan lainnya yang diberikan kepada pegawai
negeri sipil yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan;

2. bunga, yaitu digunakan untuk menganggarkan pembayaran bunga utang


yang dihitung atas kewajiban pokok utang (principal outstanding)
berdasarkan perjanjian pinjaman jangka pendek, jangka menengah, dan
jangka panjang;

3. subsidi, yaitu digunakan untuk menganggarkan bantuan biaya produksi


kepada perusahaan/lembaga tertentu agar harga jual produksi/jasa yang
dihasilkan dapat terjangkau oleh masyarakat banyak;

4. hibah, yaitu digunakan untuk menganggarkan pemberian hibah dalam


bentuk uang, barang dan/atau jasa kepada pemerintah atau pemerintah
daerah lainnya, dan kelompok masyarakat/ perorangan yang secara
spesifik telah ditetapkan peruntukannya;

5. bantuan sosial, yaitu digunakan untuk menganggarkan pemberian


bantuan dalam bentuk uang dan/atau barang kepada masyarakat yang
bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat;

 
6. belanja bagi hasil, yaitu digunakan untuk menganggarkan dana bagi hasil
yang bersumber dari pendapatan provinsi kepada kabupaten/kota atau
pendapatan kabupaten/kota kepada pemerintah desa atau pendapatan
pemerintah daerah tertentu kepada pemerintah daerah Iainnya sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan;

7. bantuan keuangan, yaitu digunakan untuk menganggarkan bantuan


keuangan yang bersifat umum atau khusus dari provinsi kepada
kabupaten/kota, pemerintah desa, dan kepada pemerintah daerah Iainnya
atau dari pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah desa dan
pemerintah daerah Iainnya dalam rangka pemerataan dan/atau
peningkatan kemampuan keuangan; dan

8. belanja tidak terduga, merupakan belanja untuk kegiatan yang sifatnya


tidak biasa atau tidak diharapkan berulang seperti penanggulangan
bencana alam dan bencana sosial yang tidak diperkirakan sebelumnya,
termasuk pengembalian atas kelebihan penerimaan daerah tahuntahun
sebelumnya yang telah ditutup.

3.2.2. Belanja langsung

Kelompok belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara


langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan.

Kelompok belanja langsung dari suatu kegiatan dibagi menurut jenis belanja
terdiri dari:

1. Belanja pegawai, yaitu belanja yang digunakan untuk pengeluaran


honorarium/upah dalam melaksanakan program dan kegiatan
pemerintahan daerah;

2. Belanja barang dan jasa, yaitu belanja yang digunakan untuk pengeluaran
pembelian/pengadaan barang yang nilai manfaatnya kurang dari 12
(duabelas) bulan dan/atau pemakaian jasa dalam melaksanakan program
dan kegiatan pemerintahan daerah; dan

3. Belanja modal, yaitu belanja yang digunakan untuk pengeluaran yang


dilakukan dalam rangka pembelian/pengadaan atau pembangunan aset
tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (duabelas)
bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan, seperti dalam

10 

 
bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi
dan jaringan, dan aset tetap lainnya.

3.2.3. Analisis Klasifikasi Belanja

Dalam pendekatan kinerja, pemerintah dituntut melakukan klasifikasi dalam


belanja-belanja yang digunakannya. Untuk mendapatkan tujuan yang
diharapkan, klasifikasi tersebut tentu saja harus didefinisikan dengan tepat,
sehingga tidak menimbulkan adanya informasi yang salah dalam proses
pengambilan keputusan.

Klasifikasi yang saat ini dilakukan Pemerintah Daerah adalah:


1. Berdasarkan Urusan
• Urusan Wajib (26)
• Urusan Pilihan (8)
2. Berdasarkan Fungsi (10)
3. Berdasarkan Program dan Kegiatan
4. Berdasarkan Kelompok (Belanja Langsung dan Tidak Langsung)
5. Berdasarkan Jenis Belanja

Klasifikasi pada nomor 1-3 tidak menimbulkan masalah karena lebih merupakan
atribut. Sedangkan pendekatan 4 dan 5 harus kita pilih mana yang menjadi
kelompok belanja utama. Dengan pemahaman tersebut, kita mempunyai dua
alternative sebagai berikut:

11 

 
Atau ….

Bagan di atas menunjukkan kepada kita bahwa pembatasan Belanja Langsung


dan Belanja Tidak Langsung seyogyanya tidak didasarkan kepada jenis
belanjanya, tetapi kepada keterkaitannya atas pencapaian kinerja tertentu.
Meskipun ketika kita mengacu pada praktek saat ini, pilihan pertama lebih disukai
karena mirip dengan konstruksi yang diacu dalam Permendagri 13/2006.

Adanya pembatasan BL/BTL pada jenis-jenis belanja tertentu, seperti diatur dalam
Permendagri 13/2006, akan menimbulkan informasi yang salah, karena akan terjadi
hal-hal berikut ini:

• Terdapat jenis belanja yang sebenarnya bukan belanja langsung tetapi


masuk dalam kegiatan (seperti belanja modal – capital expenditure)

• Terdapat beberapa jenis belanja yang sebenarnya terkait kinerja kegiatan


tertentu tapi tidak dimasukkan kinerja karena masuk kelompok belanja tidak
langsung (seperti belanja gaji guru, bantuan sosial untuk sekolah, dan
lainnya)

Sehingga, pembaca seringkali mendapatkan kesimpulan yang salah ketika


mendapatkan informasi tentang proporsi belanja langsung dan belanja tidak
langsung dalam suatu dokumen APBD.

12 

 
Berdasarkan pembahasan di atas, maka seyogyanya klasifikasi belanja dibagi
berbasis biaya menjadi 4 (empat), sebagai berikut:

• Biaya Langsung, yaitu biaya yang terkait secara langsung atas pencapaian
suatu kinerja tertentu
• Biaya Tidak Langsung, yaitu biaya yang terkait secara tidak langsung atas
pencapaian suatu kinerja tertentu
• Biaya Tidak Terkait Capaian Kinerja
• Biaya Terkait Aset Tetap

Dengan demikian, antara belanja langsung dan belanja tidak langsung tidak memiliki
perbedaan dalam jenis-jenis belanja yang dicakupnya. Belanja barang dan jasa
misalnya, selama tidak memiliki keterkaitan secara langsung dapat dikategorikan
sebagai belanja tidak langsung. Begitu pula belanja gaji misalnya, jika dapat
diidentifikasi kterkaitannya secara langsung pada satu kegiatan saja, dapat
dikelompokkan sebagai belanja langsung.

Namun, kita menyadari bahwa perubahan menuju struktur tersebut tidaklah mudah,
karena komposisi tersebut menimbulkan kebutuhan teknis yang lebih complicated.
Sehingga, kita membutuhkan sebuah jalan tengah untuk mendapatkan perhitungan
dengan klasifikasi tersebut berdasar klasifikasi yang sekarang diatur dalam
peraturan yang ada.

Bagaimana kita mendapatkan perhitungan yang tepat berdasarkan apa yang sudah
diatur dlam Permendagri 13/2006? Pada dasarnya, secara ideal, kita dpat
melakukan perubahan struktur belanja sehingga menjadi lebih sesuai dengan
konsep belanja yang seharusnya. Namun, pilihan tersebut sepertinya menjadi terlalu
“mahal”. Oleh karena itu kita memerlukan panduan (shortcut) untuk mendapatkan
perhitungan biaya langsung dan tidak langsung berdasakan pengelompokan yang
ada.

Hal yang penting adalah bagaimana kita dapat memanfaatkan klasifikasi yang
sudah ada untuk mendapatkan informasi yang lebih bermanfaat. Klasifikasi belanja
langsung dan belanja tidak langsung harus diikuti dengan panduan melakukan
perhitungan biaya aktivitas sehingga tujuan penerapan anggaran kinerja dapat
tercapai.

13 

 
4. PERHITUNGAN BIAYA KEGIATAN

4.1. Memisahkan belanja yang tidak terkait kinerja

Belanja tidak langsung terbagi-bagi dalam beberapa jenis belanja, antara lain
belanja pegawai, belanja bunga, belanja hibah, bantuan social, bantuan keuangan
dan seterusnya. Di antara belanja-belanja tersebut, terdapat unsur belanja yang
sifatnya kebijakan (discretionary) dan tidak terkait dengan kinerja. Oleh karena itu,
kita perlu memisahkan terlebih dahulu belanja-belanja yang bersifat kebijakan
tersebut untuk mendapatkan jumlah belanja tidak langsung yang siap untuk
dialokasikan.

Belanja 
Kebijakan

BELANJA TIDAK 
LANGSUNG 

Belanja Tidak Langsung 
untuk Dialokasikan

4.2. Menentukan rumpun belanja tidak langsung

Total belanja tidak langsung yang telah diidentifikasi dalam perhitungan di atas
kemudian dialokasikan dalam kegiatan-kegiatan yang ada.

Belanja Tidak Langsung 
untuk Dialokasikan

Keg 1  Keg 2  Keg 3  Keg 4  Keg 5  Keg ..  Keg n 

14 

 
Proses pengalokasian pada bagan tersebut mempunyai kelemahan dalam hal
relevansi, karena terjadi semua kegiatan disamaratakan. Sebagai alternatifnya,
belanja tidak langsung dikelompokkan terlebih dahulu dalam rumpun urusan
mengacu pada pengaturan yang ada. Pada tahap berikutnya di kegiatan yang
jumlahnya banyak dikelompokkan berdasarkan relevansinya pada tiap-tiap rumpun.

Proses tersebut dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut:

BTL Rumpun A   BTL Rumpun B 

Keg 1  Keg 2  Keg 3  Keg 4  Keg 5  Keg ..  Keg n 

4.3. Menentukan Alokasi Biaya

Berdasarkan perumpunan dan identifikasi kegiatan tersebut, dilakukan perhitungan


biaya aktivitas dengan terlebih dahulu melakukan alokasi biaya tidak langsung.
Proses tersebut dilustrasikan dalam contoh sebagai berikut:

Biaya Langsung PAUD 
PAUD 
Rp. 5.142.350.000 
Biaya Tidak 
Langsung 

Biaya Langsung  Rp. 9.710.162.400
Pendidikan Dasar  Pendidikan 
Dasar 
Rp. 6.269.800.000 

15 

 
Alokasi biaya tidak langsung untuk dua kegiatan di atas dihitung berdasarkan
proporsi Belanja Tidak Langsung (Gaji). Total biaya tidak langsung untuk dua
kegiatan ini adalah sebesar Rp. 9.710.162.400.

Alokasi Biaya tidak langsung untuk PAUD:

2.000.000.000
  . 9.710.162.400 . 2.589.376.640
2.000.000.000 5.500.000.000

Alokasi biaya tidak lagsung untuk Pendidikan Dasar:

5.500.000.000
  . 9.710.162.400 . 7.120.785.760
2000.000.000 5.500.000.000

Dengan demikian kita akan mendapatkan biaya kegiatan masing-masing sebagai


berikut :

No  Kegiatan   Biaya Langsung    Alokasi BTL    Biaya Aktivitas  

1  Penyelenggaraan Pendidikan PAUD  5.142.350.000  2.589.376.640  7.731.726.640 

2  Penyelenggaraan Pendidikan Dasar  6.269.800.000  7.120.785.760  13.390.585.760 

16 

 
5. KESIMPULAN

1. Struktur belanja dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006 yang terbagi menjadi
belanja tidak langsung dan belanja langsung. Namun definisi yang diberikan
menjadi bias karena adanya penentuan jenis-jenis belanja yang harus masuk di
setiap pengelompokan tersebut. Merekomendasikan definisi belanja dan
batasannya sebagai berikut:

a. Belanja Langsung adalah belanja SKPD terkait pencapaian kinerja yang


dapat diatribusikan secara spesifik pada kegiatan tertentu.

b. Belanja Tidak Langsung adalah Belanja SKPD terkait pencapaian kinerja


yang tidak dapat diatribusikan secara spesifik pada kegiatan tertentu.

c. Baik Belanja Langsung maupun Belanja Tidak Langsung, tidak dibatasi


ruang lingkupnya pada jenis belanja tertentu.

Dengan demikian, antara belanja langsung dan belanja tidak langsung tidak
memiliki perbedaan dalam jenis-jenis belanja yang dicakupnya. Belanja barang
dan jasa misalnya, selama tidak memiliki keterkaitan secara langsung dapat
dikategorikan sebagai belanja tidak langsung. Begitu pula belanja gaji misalnya,
jika dapat diidentifikasi kterkaitannya secara langsung pada satu kegiatan saja,
dapat dikelompokkan sebagai belanja langsung.

3. Idealnya, dilakukan penyesuaian atas klasifikasi belanja beserta batasan dan


definisinya, sehingga didapat kemampuan analisa yang lebih memadai.
Meskipun demikian, atas pertimbangan cost/benefit, pengaturan klasifikasi
belanja di Permendagri 13/2006 seperti di atas tidak disarankan dalam waktu
dekat ini.

4. Untuk mendapatkan tujuan manajerial, Klasifikasi Biaya Langsung dan Tidak


Langsung harus ditindaklanjuti dengan pedoman melakukan perhitungan biaya
aktivitas, sehingga tujuan penerapan anggaran kinerja dapat dicapai
sepenuhnya. Dokumen tersebut dapat ditempatkan sebagai lampiran dari
dokumen-dokumen utama yang selama ini telah ada dalam proses
penganggaran, penatausahaan dan pertanggungjawaban.

17 

You might also like