Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam peningkatan kemampuan setiap orang atau keluarga untuk dapat menyelesaikan masalah
kesehatan sendiri dalam mewujudkan hidup sehat yang diperlukan adalah hierarki profesional
dan jaringan pelayanan masyarakat dan keluarga untuk mewujudkan maksud di atas. Dengan
menggunakan Puskesmas sebagai penggerak tumbuhnya jaringan pelayanan masyarakat maka
diadakan suatu forum yang dapat mendukung usaha pelayanan profesional dan masyarakat.
Terutama, dalam mendorong kemampuan masyarakat untuk hidup sehat, maka dihidupkan
kembali strategi oleh Departemen Kesehatan yaitu pos pelayanan terpadu (posyandu). Posyandu
merupakan usaha untuk melibatkan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan upaya peningkatan
kesehatan dan pencegahan penyakit. Berkaitan dengan posyandu, Suyono Yahya (1987)
menjelaskan bahwa dalam hierarki pelayanan kesehatan posyandu adalah jembatan upaya-upaya
pelayanan profesional dan pelayanan non-profesional yang dapat dikembangkan oleh masyarakat
dan keluarga.
Demikian juga Sonja P. Roesma (1987) menjelaskan bahwa posyandu merupakan usaha
keterpaduan karena program yang berdaya ungkit besar bagi penurunan angka kematian bayi,
balita dan ibu, sektor yang berkaitan erat dengan pembangunan kesehatan antara lain
kependudukan, pertanian, pendidikan, pelayanan kesehatan profesional dan
nonprofesional/masyarakat.
Dari uraian diatas jelaslah bahwa posyandu merupakan salah satu bentuk operasional pemberian
kesehatan pada masyarakat secara langsung. Karena itu, diperlukan suatu pendekatan yang
kekuatannya terletak pada pelayanan kesehatan dasar dan kerja sama lintas sektor. Peran serta
masyarakat ini diperoleh melalui rekayasa masyarakat, dapat dilakukan melalui komunikasi,
informasi, dan motivasi serta upaya penggerak masyarakat. Hal tersebut dilakukan berbagai cara
berdasarkan kondisi dan situasi masyarakat setempat. Dengan demikian, posyandu merupakan
forum komunikasi dan pelayanan di masyarakat antara sektor yang memadukan kegiatan
pembangunan sektoralnya dengan kegiatan masyarakat untuk meningkatkan kemampuan
masyarakat dalam memecahkan masalahnya alih melalui teknologi.
Sasaran posyandu adalah terutama masyarakat desa dengan tujuan memperkenalkan inovasi
kesehatan dan teknologi kesehatan. Oleh karena, masih banyaknya jumlah penduduk yang
tinggal dipedesaan, komunikasi dengan masyarakat desa lebih diutamakan karena komunikasi
dengan masyarakat desa merupakan bagian dari komunikasi dengan masyarakat Indonesia
seluruhnya.
Untuk melakukan komunikasi dengan masyarakat pedesaan tentang peningkatan kesehatan dan
hidup dalam lingkungan sehat ada dua unsur penting yang perlu dicatat. Kedua unsur penting itu
dijelaskan oleh Astrid Sosanto (1978) sebagai berikut isi komunikasi yang sering merupakan hal-
hal baru (inovasi) bagi penduduk desa, adanya latar belakang sosial budaya yang sering berbeda
antara pembuat konsep isi pesan ataupun pembawa pesan (komunikator) dengan penduduk
pedesaan.
Kedua faktor di atas masing-masing menunjukkan situasi komunikasi inovasi, yaitu bagaimana
suatu inovasi disebarluaskan kepada masyarakat. Dalam meneliti peran posyandu, studi ini
mencoba menggambarkan dari segi komunikasi kesehatan dan inovasi kesehatan. Posyandu
adalah medium dan organisasi sebagai sumber pesan-pesan kesehatan penting untuk diteliti,
terutama untuk melihat peranannya dalam meningkatkan partisipasi masyakarat dalam program
kesehatan. Justeru itu, posyandu perlu ditunjang oleh adanya suatu kegiatan komunikasi yang
bekerja secara aktif dalam menyebar luaskan pesan-pesan kesehatan dalam masyarakat.
Kegiatan komunikasi pada pokoknya adalah menyebarluaskan dan meningkatkan pemahaman
tentang infomasi yang disampaikan itu. Informasi yang disampaikan oleh provider dan kader
perlu dipahami oleh pihak penerima atau masyarakat sehingga apa yang dimaksud oleh
posyandu, yaitu penyuluhan kesehatan, diterima dan dilaksanakan dengan baik.
Posyandu menetapkan programnya yaitu pembangunan kesehatan masyarakat desa. Dalam
melaksanakan pembangunan kesehatan, maka langkah pertama yang ditempuh adalah memberi
penjelasan masyarakat tentang berbagai kegiatan posyandu. Dengan penjelasan yang diberikan
oleh posyandu maka akan tercipta interaksi antara pemberi pelayanan kesehatan dan masyarakat
sebagai penerima pesan-pesan kesehatan. Dengan demikian, peran komunikasi sangat penting
untuk berperan dalam menciptakan partisipasi masyarakat. Partisipasi dan komunikasi hanya
dapat dicapai apabila sistem nilai, sistem sosial budaya dan struktur sosial masyarakat
dimanfaatkan. Justru itu, kegiatan komunikasi dapat dilakukan dengan mengajak para pemuka
masyarakat terlebih dahulu. Yang termasuk pemuka masyarakat adalah pemimpin formal dan
informal. Pemuka masyarakat sangat efektif, terutama pemimpin informal karena ia mengenal
masyarakat dan oleh masyarakat setempat dianggap sebagai tokoh atau pemimpin yang
mengetahui banyak masalah-masalah sosial dan kemasyaraktan.
Strategi posyandu adalah memanfaatkan pemuka masyarakat di samping organisasi sosial
sebagai saluran komunikasi. Lembaga-lembaga sosial seperti. Lembaga Musyawarah Desa
(LMD/Tuha Empat dan Tuha Delapan) Lembaga Masyarakat Desa, Badan Perwakilan Desa
(BPD), dan Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) serta saluran-saluran komunikasi
interpersonal telah digunakan sebagai saluran komunikasi dalam meningkatkan partisipasi
masyarakat, terhadan program kesehatan.
1.2. Perumusan Masalah
Seperti diketahui bahwa masalah kesehatan sangat luas ruang lingkupnya dan sangat kompleks.
Masalahnya bukan hanya menyangkutkesehatan semata-mata tetapi faktor sosial budaya,
ekonomi, pendidikan, sikap dan kepercayaan turut berpengaruh didalamnya. Jika dilihat dari
sudut ini, maka masalah kesehatan bukan hanya masalah dokter, dan ahli-ahli kesehatan saja,
tetapi masalah kesehatan juga merupakan tanggung jawab para ahli ilmu sosial.
Karena luasnya masalah kesehatan, maka penulis perlu membatasi untuk memberikan kajian
yang ini, masalah akan dibatasi tentang Keluarga Berencana dan kesehatan reproduksi. Titik
berat kesehatan dalam program kesehatan serta sejauh mana posyandu sebagai sumber atau
medium dalam menyalurkan pesan-pesan kesehatan.
Struktur sosial adalah lembaga-lembaga formal dan informal yang ada dalam masyarakat desa
seperti birokrasi pemerintahan desa. Norma sistem sosial adalah pedoman tingkah laku yang
telah dianut oleh suatu anggota sistem sosial tertentu. Struktur sosial dan norma sistem sosial
masyarakat desa pada umumnya bersifat tradisional. Masyarakat tradisional memiliki ciri-ciri
antara lain berpendidikan relatif rendah, kehidupan sosial ekonomi lemah, pola hubungan
interpersonal sangat kuat, sedikit sekali komunikasi yang dilakukan oleh anggota sistem dengan
pihak luar. Dari kondisi ini maka pengenalan terhadan pengobatan modern relatif masih rendah
dan pengenaan media massa juga rendah. Sebaliknya pola komunikasi yang banyak digunakan
adalah komunikasi interpersonal.
Dengan demikian struktur sosial dan norma sistem sosial masyarakat desa mempunyai pengaruh
terhadan tingkah laku orang-orang dewasa serta perubahannya dalam menjawab tantangan
komunikasi. Sebaliknya struktur sosial dan norma sistem sosial desa kemungkinan bisa
berpengaruh. Dapat merintangi atau sebaliknya dapat pula memudahkan proses difusi inovasi.
Demikian juga difusi inovasi bisa pula merubah struktur sosial dan norma sistem sosial suatu
masyarakat.
Dengan bertitik tolak atas permasalahan-permasalahan tersebut di atas, penulis mencoba
merumuskan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana pandangan lembaga-lembaga formal, informal dan anggota sistem sosial (ibu-ibu
balita) terhadan proses difusi inovasi kesehatan modern yang dilakukan oleh posyandu terutama
mengenai KB dan kesehatan reproduksi?
2. Bagaimana anggota sistem sosial (ibu-ibu balita) mencari informasi tentang pengobatan
modern terutama mengenai KB dan kesehatan reproduksi?
3. Bagaimana peranan kader dalam penyebaran inovasi kesehatan modern terutama mengenai
KB dan kesehatan reproduksi?
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keluarga Berencana (KB) merupakan salah satu pelayanan kesehatan preventif yang paling dasar
dan utama bagi wanita, meskipun tidak selalu diakui demikian. Peningkatan dan perluasan
pelayanan keluarga berencana merupakan salah satu usaha untuk menurunkan angka kesakitan
dan kematian ibu yang sedemikian tinggi akibat kehamilan yang dialami oleh wanita. Banyak
wanita harus menentukan pilihan kontrasepsi yang sulit, tidak hanya karena terbatasnya jumlah
metode yang tersedia tetapi juga karena metode-metode tertentu mungkin tidak dapat diterima
sehubungan dengan kebijakan nasional KB, kesehatan individual dan seksualitas wanita atau
biaya untuk memperoleh kontrasepsi (Depkes RI, 1998).
Pelayanan Keluarga Berencana yang merupakan salah satu didalam paket Pelayanan Kesehatan
Reproduksi Esensial perlu mendapatkan perhatian yang serius, karena dengan mutu pelayanan
Keluarga Berencana berkualitas diharapkan akan dapat meningkatkan tingkat kesehatan dan
kesejahteraan. Dengan telah berubahnya paradigma dalam pengelolaan masalah kependudukan
dan pembangunan dari pendekatan pengendalian populasi dan penurunan fertilitas menjadi
pendekatan yang berfokus pada kesehatan reproduksi serta hak reproduksi. Maka pelayanan
Keluarga Berencana harus menjadi lebih berkualitas serta memperhatikan hak-hak dari klien/
masyarakat dalam memilih metode kontrasepsi yang diinginkan (Prof. dr. Abdul Bari Saifuddin,
2003).
Sebenarnya ada cara yang baik dalam pemilihan alat kontrasepsi bagi ibu. Sebelumnya ibu
mencari informasi terlebih dahulu tentang cara-cara KB berdasarkan informasi yang lengkap,
akurat dan benar. Untuk itu dalam memutuskan suatu cara kontrasepsi sebaiknya
mempertimbangkan penggunaan kontrasepsi yang rasional, efektif dan efisien
(http:/psikis.bkkbn.go.id/gemopria.articles.php)
KB merupakan program yang berfungsi bagi pasangan untuk menunda kelahiran anak pertama
(post poning), menjarangkan anak (spacing) atau membatasi (limiting) jumlah anak yang
diinginkan sesuai dengan keamanan medis serta kemungkinan kembalinya fase kesuburan
(ferundity). (http:/psikis.bkkbn.go.id/gemapria/articles.php).
Di Indonesia khususnya di wilayah Jawa Tengah terutama di desa Pengkol, kecamatan Tanon
dengan jumlah penduduk wanita 1802, orang yang mengalami kehamilan cukup tinggi pada
umur 20 – 30 tahun adalah 70%, 25% umur 31 – 40 tahun, 5% umur 40 tahun keatas.
Pada tahun 2006 penggunaan KB suntik menurun diperkirakan 10-30%, sehingga meningkatkan
angka kehamilan di desa Pengkol. Penggunaan KB pil menurun diperkirakan 10-20%.
Pada tahun 1960 angka kematian balita mencapai lebih dari 200 per 1000 orang, dua kali lebih
besar dari angka kematian balita di Filipina atau Thailand. Pada tahun 2005 angka tersebut turun
hingga kurang dari 50 per 1000 orang, yang merupakan salah satu penurunan tertinggi yang
terjadi di kawasan ini. Seorang anak yang lahir pada tahun 1940 hanya memiliki sekitar 60%
kesempatan untuk mengenyam pendidikan, 40% untuk menamatkan sekolah dasar dan 15%
untuk menamatkan pendidikan di sekolah menengah pertama. Sebaliknya, lebih dari 90% anak-
anak yang lahir sejak tahun 1980 berhasil menamatkan pendidikan sekolah menengah pertama.
Sebagian besar kemajuan yang diperoleh semata-mata berkaitan dengan peningkatan pendapatan.
Pendapatan perkapita berlipat ganda antara tahun 1970 sampai dengan 1980 dan berlipat ganda
lagi pada akhir tahun 1990 (sebelum terjadi krisis ekonomi tahun 1997). Salah satu analisis
tentang program Keluarga Berencana Indonesia yang sangat luas menunjukkan bahwa sebagian
besar pengurangan fertilitas berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat dan peningkatan
jenjang pendidikan (Gertler dan Molyneaux).
Ada beberapa kemungkinan kurang berhasilnya program KB diantaranya dipengaruhi oleh
tingkat pengetahuan ibu dan faktor pendukung lainnya. Untuk mempunyai sikap yang positif
tentang KB diperlukan pengetahuan yang baik, demikian sebaliknya bila pengetahuan yang baik,
demikian sebaliknya bila pengetahuan kurang maka kepatuhan menjalani program KB berkurang
(Notoatmojo, 2003).
Sehubungan dengan kondisi di atas penulis merasa perlu meneliti pengetahuan ibu terhadap KB.
Desa Pengkol dipilih sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan jumlah penduduk desa
Pengkol tergolong cukup banyak dengan tingkat pendidikan yang sangat bervariasi terutama
pada ibu, mulai dari yang tidak lulus sekolah dasar sampai pada ibu yang pernah belajar dari
perguruan tinggi.
Untuk meningkatkan efektivitas KB perlu dilakukan suatu sikap dan pengetahuan yang
menunjang dari ibu. Untuk mempelajari tentang pengetahuan ibu dan KB penting untuk
dilakukan suatu penelitian tentang “Hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan pemilihan
alat kontrasepsi di Desa Pengkol Kabupaten Sragen”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut diatas, maka dapat diasumsikan permasalahan
kurangnya pengetahuan ibu dalam KB, sehingga apalah ada hubungan antara tingkat
pengetahuan ibu dengan pemilihan alat kontrasepsi?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum pada penelitian ini adalah mempelajari hubungan antara tingkat pengetahuan ibu
dengan pemilihan alat kontrasepsi.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus pada penelitian ini adalah:
a. Mengidentifikasi tingkat pengetahuan dengan pemilihan alat kontrasepsi.
b. Mengidentifikasi pengetahuan ibu tentang alat kontrasepsi.
c. Menganalisis hubungan tingkat pengetahuan ibu dengan pemilihan alat kontrasepsi.
D. Manfaat Penelitian
Hasil yang diharapkan dalam penelitian ini adalah:
1. Dengan adanya keikutsertaan dalam KB maka dapat mengurangi dampak kehamilan yang
ditimbulkan.
2. Dengan adanya tingkat pengetahuan ibu yang meningkat maka ibu akan mempunyai
pengetahuan tentang KB.
3. Sebagai bahan masukan yang digunakan untuk penerapan KB dapat meningkatkan mutu
pelayanan kesehatan.
Keluarga Berencana
Peran pria dalam keluarga berencana (KB) dan kesehatan reproduksi masih rendah, hanya
berkisar 1,1 persen, jauh dari target tahun 2001 sebesar 2,41 persen. Karena itu, perlu
upaya sangat keras dari pelaksana program untuk mencapai target partisipasi pria menjadi
delapan persen di akhir tahun 2004, dalam rangka mewujudkan Keluarga Berkualitas tahun
2015. Hal itu mengemuka dalam acara evaluasi pelaksanaan peningkatan partisipasi pria
dalam program KB dan kesehatan reproduksi pekan ini.
Kondisi lingkungan sosial, budaya, masyarakat, dan keluarga yang masih menganggap
partisipasi pria belum penting dilakukan, menjadi penyebab rendahnya partisipasi pria.
Demikian Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Khofifah Indar
Parawansa. Masalah KB dan kesehatan reproduksi masih dipandang sebagai tanggung
jawab perempuan. Pengetahuan dan kesadaran pria dan keluarga mengenai KB masih
relatif rendah. Selain itu, ada keterbatasan penerimaan dan aksesabilitas pelayanan
kontrasepsi pria.
Pendekatan yang diterapkan dalam meningkatkan peran pria dalam KB dan kesehatan
reproduksi adalah menempatkan pria untuk memperoleh informasi yang benar.
Peran pria dalam KB antara lain sebagai peserta KB dan mendukung pasangan
menggunakan alat kontrasepsi. Sedang dalam kesehatan reproduksi, antara lain membantu
mempertahankan dan meningkatkan kesehatan ibu hamil, merencanakan persalinan aman
oleh tenaga medis, menghindari keterlambatan dalam mencari pertolongan medis,
membantu perawatan ibu dan bayi setelah persalinan, menjadi ayah yang bertanggung
jawab, mencegah penularan penyakit menular seksual, menghindari kekerasan terhadap
perempuan, serta tidak bias jender dalam menafsirkan kaidah agama.
Peningkatan partisipasi pria diharapkan dapat meningkatkan derajat kesehatan ibu, bayi
dan anak, menurunkan angka kematian ibu dan bayi, mencegah dan menanggulangi infeksi
saluran reproduksi serta penyakit menular seksual, termasuk HIV/AIDS. (atk)
Sumber : KoSenin, 14 Maret 2005 WACANA
Pengakuan lain dari pelaku adalah pemaksaan kepada korban untuk melakukan
hubungan intim dipicu setelah pelaku menyaksikan VCD porno dengan
teman-temannya, dan pelaku tidak mampu menahan diri, sehingga terjadilah
peristiwa yang memilukan tersebut.
Dalam kasus lainnya, yang baru saja terjadi belum lama ini, dalam angkot,
di Semarang, beberapa pelajar SMP perempuan baru saja pulang seusai mengikuti
ulangan umum di sekolahnya. Yang menarik untuk disimak, di dalam angkot
tersebut ternyata mereka tidak membicarakan ulangan tersebut, namun mereka
membicarakan komik kartun, yang menurut pendapat mereka cukup saru/porno.
"Wah
aku sampe mrinding moco komik kuwi, gambare apik tapi kok saru ya, sampe
kegawa
mimpi" (Wah saya sampai merinding membaca komik tersebut, gambarnya bagus
tapi
kok porno ya, sampai hal itu terbawa mimpi).
Kesehatan Reproduksi
Menurut data statistik, jumlah penduduk di Jawa Tengah pada tahun 2002
mencapai 31.691.866 jiwa, terdiri atas 15.787.143 (49,81%)
laki-laki, dan 15.904.723 (50,19 %) perempuan. Dari jumlah tersebut,
sekitar 9.019.505. (28,46%) adalah mereka yang berusia anak/remaja. Jumlah ini
relatif cukup besar, karena mereka akan menjadi generasi penerus yang akan
menggantikan kita di masa yang akan datang. Status/keadaan kesehatan mereka
saat ini akan sangat menentukan kesehatan mereka di saat dewasa, khususnya
bagi
perempuan, terutama mereka yang menjadi ibu dan melahirkan.
Dari survei yang dilakukan Youth Center Pilar PKBI Jawa Tengah 2004 di
Semarang mengungkapkan bahwa dengan pertayaan-pertanyaan tentang proses
terjadinya bayi, Keluarga Berencana, cara-cara pencegahan HIV/AIDS, anemia,
cara-cara merawat organ reproduksi, dan pengetahuan fungsi organ reproduksi,
diperoleh informasi bahwa 43,22 % pengetahuannya rendah, 37,28 % pengetahuan
cukup sedangkan 19,50 % pengetahuan memadai.
Di sisi lain, prilaku remaja yang berpacaran -juga tergambar dari survei
yang juga dilakukan oleh Youth Center Pilar PKBI Jawa Tengah- saling ngobrol
100 %, berpegangan tangan 93,3 %, mencium pipi /kening 84,6 %, berciuman bibir
60,9 %, mencium leher 36,1 % saling meraba (payudara dan kelamin) 25 %, dan
melakukan hubungan seks 7,6 %.
Khusus untuk yang melakukan hubungan seks, pasangannya adalah pacar 78,4
%, teman 10,3 % dan pekerja seks 9,3 %.
Kedua, akses layanan yang terbatas. Meski Puskesmas sebagai tempat Klinik
Reproduksi Remaja (Klinik Peduli Remaja) sudah dicanangkan pemerintah, namun
akses remaja terhadap tempat layanan tersebut sangatlah rendah. Beberapa data
mengungkapkan bahwa setting ruangan, pola pelayanan, pola pakaian yang serba
putih, terbatasnya jam buka, dan nilai-nilai normatif tenaga provider yang
tidak gaul menjadi penyebab utama enggannya remaja datang ke tempat
pelayanan
tersebut. Akibatnya, layanan yang disediakan tidak mampu diakses oleh remaja
dengan baik.
Dengan demikian, pihak perempuanlah yang paling dirugikan bila kasus ini
benar-benar terjadi.
Kasus kehamilan yang tidak dikehendaki ini merupakan kasus yang berakibat
terjadinya diskriminasi dan merupakan pelanggaran atas hak-hak anak, paling
tidak hak untuk mendapatkan pendidikan sesuai dengan Konvensi Hak Anak,
sehingga harus ada perubahan cara pandang atas kasus ini dari muatan moral
menjadi muatan empati, di mana hak-hak korban harus dilindungi dan
diperjuangkan secara bersama-sama, bukan lagi menyalahkan korban dengan
alasan-alasan yang tidak rasional, seperti menuduh korban sebagai pihak yang
memicu terjadinya perbuatan tersebut dengan memakai pakaian-pakaian seksi dan
sejenisnya.
Perlu Pendidikan
Untuk itu, di era otonomi daerah seperti sekarang ini, adalah momentum
yang menguntungkan dan tepat untuk melahirkan kebijakan ini. Pemerintah
bersama
LSM dan masyarakat dapat menjadi inisiator lahirnya kebijakan ini menjadi perda
atau sejenisnya. Kebijakan itu misalnya dengan memberikan keputusan bahwa
seluruh sekolah, baik negeri maupun swasta mempunyai kewajiban memberikan
informasi kesehatan reproduksi remaja mulai SD hingga SMU.
Dengan lahirnya kebijakan ini, maka sudah tidak ada alasan lagi bagi
berbagai pihak yang menentang pemberian informasi kesehatan reproduksi dengan
Beberapa hari yang lalu di harian Suara Merdeka memberitakan bahwa pihak
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah menyetujui pendidikan bahasa Jawa sebagai
muatan lokal untuk seluruh jenjang pendidikan dari SD sampai dengan SMU. Alasan
yang dikemukakan berbagai pihak adalah perlunya menjaga budaya dan jati diri
bangsa agar tidak hilang dalam situasi global saat ini.
Informasi ini memberikan makna kepada kita bahwa bila para stakeholder
pendidikan, terutama Dinas Pendidikan dan Pemerintah Provinsi mempunyai
komitmen yang kuat, maka dapat saja hal itu dilakukan. Hal ini dapat dibuktikan
dengan keberhasilan pendidikan bahasa Jawa tersebut. Oleh karena itu,
diharapkan ada perlakukan yang sama untuk memberlakukan pendidikan
kesehatan
reproduksi remaja sebagai muatan lokal di seluruh jenjang pendidikan dari SD
hingga SMU.
(anak didik) akan meniru juga berlebihan, karena di dalam informasi pendidikan
kesehatan reproduksi remaja memang tidak ada sesuatu yang patut ditiru. Jadi
sebenarnya tidak ada sesuatu yang patut dicurigai atau bahkan dikhawatirkan.
Kita sepakat, tidak rela melihat anak-anak kita menjadi generasi penerus
yang lemah dan menderita hanya gara-gara mereka melakukan praktik-praktik
seksual yang tidak bertanggungjawab di masa mendatang disebabkan pengetahuan
-Farid Husni, Direktur Pelaksana Daerah PKBI Jawa Tengah, LSM yang aktif
di bidang kesehatan reproduksi. mpas, Jum’at, 30 November 2001
2008-01-29
ANALISIS SITUASI KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA DI INDONESIA
Masalah remaja (usia >10-1,9 tahun) merupakan masalah yang perlu diperhatikan
dalam pembangunan nasional di Indonesia. Studi analisis mengenal kecenderungan
kesehatan, mengestimasikan bahwa pada tahun 2005 Indonesia akan menjadi
negara dengan proporsi populasi usia kurang 15 tahun terbesar, dan diduga
mencapal 30.02% pada tahun 2000. Masalah remaja terjadi, karena mereka tidak
dipersiapkan mengenai pengetahuan tentang aspek yang berhubungan dengan
masalah peralihan dari masa anak ke dewasa.. Masalah kesehatan remaja
mencakup aspek fisik biologis dan mental, sosial. Perubahan fisik yang pesat dan
perubahan endokrin/ hormonal yang sangat dramatik merupakan pemicu masalah
kesehatan remaja serius karena timbuhnya dorongan motivasi seksual yang
menjadikan remaja rawan terhadap penyakit dan masalah kesehatan reproduksi,
kehamilan remaja dengan segala konsekuensinya yaitu: hubungan seks pranikah,
aborsi, PMS & RIV-AIDS serta narkotika, dll.
Kesimpulan:
TUJUAN
- Mengevaluasi dan mengidentifikasi kesenjangan pengetahuan, sikap dan perilaku
remaja dalam hal kesehatan reproduksi
- Mengevaluasi tingkat pengetahuan remaja menurut perbedaan tingkat pengetahuan,
karakteristik, dan mengidentifikasi penyempurnaan program/kegiatan kesehatan
reproduksi remaja.
METODOLOGI
Lokasi Penelitian dilakukan di 3 (tiga) propinsi yaitu : Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, dan
Jambi,masing-masing propinsi diambil secara sengaja 1 (satu) kabupaten dan 1 (satu) kota,
kecamatan dan desa/kelurahan yang diambil secara purposive sample dengan criteria wilayah
yang propursi remaja berumur 15-21 tahun yang meliputi 6 kabupaten/kota, 6 kecamatan, dan 6
desa/kelurahan.
Sample utama penelitian adalah remaja yang berumur 14-21 tahun berstatus single (belum
kawin). Sample pendukung adalah informan yang snowballing yaitu secara langsung ikut terlibat
dalam program kegiatan kesehatan reproduksi remaja dengan skematis informan mengumpulkan
data bahwa :
- propursi remaja umur 14-21 relatif lebih banyak
- informasi data bersumber dari BKKBN atau dari Kantor Statistik setempat
- data kuantitatif dilakukan dengan wawancara kepada responden utama remaja
- data kualitatif dilakukan kepada pendukung informan pengumpulan data secara indepth
interview atau wawancara mendalam interview guide.
- wawancara dilakukan secara sederhana yang memenuhi syarat analisisa, akan dilakukan
analisis hubungan/relationship secara diskriptif dengan proses synthesa dari hasil kegiatan narasi
dari transkrip.
HASIL
Dengan teridentifikasi kesenjangan pengetahuan dan perilaku remaja dalam kesehatan
reproduksinya diharapkan dapat dirumuskan upaya strategis untuk menyusun program/kegiatan
remaja yang mendukung misi program KB Nasional untuk mewujudkan sumber daya manusia
(SDM) yang berkualitas sejak pra-nikah.
Analisa data kuantitatif
Wawancara kepada responden utama remaja yang diwawancara sebanyak 180 responden. Untuk
memudakan pembahasan dibagi menjadi tiga kelompok umur, pertama : 12-14 tahun, remaja
berada pada tingkat SLTP, kedua : 15-17 tahun, remaja berada tingkat SLTA, ketiga : 18-22
tahun, remaja telah tamat SLTA dan mereka yang sudah kuliah.
Analisa data kualitatif
Wawancara mendalam dilakukan kepada informan pendukung dan dilakukan pengumpulan data
secara idepth interview atau wawancara mendalam interview guide.
Dalam hal ini diberikan aktivitas kepada remaja dengan pengetahuan melalui penyuluhan dan
konsultasi serta perlu diransang dengan kegiatan-kegiatan positif serta gotong royong yang
sifatnya masih kuat diantara para remaja.
REKOMENDASI
1.Karakterisrik remaja, disimpulkan kondisinya sebagai berikut :
- Kurang mendapat pengetahuan kesehatan reproduksi remaja adalah remaja pada kelompok
umur 12-14 tahun, remaja laki-laki remaja luar sekolah dan remaja yang tinggal di
desa/kabupaten
- Remaja yang sifatnya dinamis, kreatif dan senantiasa ingin tahu dimana memberikan aktivitas
yang perlu diransang dengan kegiatan-keiatan positif
- Bersifat gotong-royong sangat kuat diantara para remaja dan pengaruh hukum-hukum agama
dan adat, maka kondisi yang sudah baik tetap dijaga konsistensinya untuk menpis terpaan masa
depan.
- Budaya kawin muda merupakan adat yang berlaku bagi masyarakat di Propinsi NTB,
sedangkan di Propinsi Jambi, kondisi remaj sendiri terbatas pengetahuan kesehatan reproduksi.
Dengan demikian perlu pendekatan kepada pihak yang berkompeten dalam pembinaan remaja
melalui pembekalan.
2.Substansi atau materi pengetahuan kesehatan reproduksi remaja (KRR) belum banyak
diketahui
3.Ketertutupan pihak tokoh agama, masyarakat, orang tua, dan kurangnya kerjasama dengan
pihak Tripika yang berperan dalam membina perilaku remaja berdampak merugikan bagi
kesehatan remaja dimasa yang akan datang.
4.Kurangnyaperhatian pengelola program untuk menumbuh kembangkan kelembagaan Pusat
Informasi dan Konsultasi (PIK)-KRR, terutama keterbatasan kemampuan pemerintah dalam
memberikan dukungan dana yang berkaitan dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang
membidangi kegiatan remaja.
5.Dalam kegiatan KRR pihak Puskesmas sangat terbatas dalam hal materi dan
kesempatan/frekuensi kegiatan penyuluhan. Namun ada kendala yang dihadapi BKKBN antara
lain : Petugas lapangan KB belum mendalami permasalahan KRR dan belum mendapat pelatihan
konseling KRR.
6.Kurangnya tenaga ahli (medis/paramedis,Psikolog), sarana penunjangKIE◊(alat, peraga, leafflet,
brosur) meruapakan hambatan operasionaldan pelayanan/konseling KRR.
7.Kondisi, sikap, perilaku KRR bervariasi antara daerah yang tidak dapat diberikan perlakuan
antau rekomendasi, karena itu diberikan upaya perbaikan program KRR dan perlu dilakukan
identifikasi kebutuhan (need assessment) di masing-masing daerah.
kegiatan remaja adalah tidak rutin (bukan◊8.Dari Dinkes (Puskesmas)prioritas), yang merupakan sub-kegiatan
usaha sekolah. Bagi pihak yang berkompete (termasuk BKKBN) menghendaki menangani permasalahan secara serius agar
diupayakan perencanaan program KRR secara tuntas dalam artian diusulkan pendanaannya.
halalsehat.com Remaja didefinisikan sebagai masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa
dewasa. Batasan usia remaja menurut WHO (World Health Organization, badan PBB untuk kesehatan
dunia) adalah 12 sampai 24 tahun. Hampir semua remaja dibelahan bumi manapun, sekarang berada
dalam situasi yang penuh godaan dan ujian. Perkembangan teknologi komunikasi telah menyebarkan
berbagai informasi, hiburan, dan budaya. Keadaan ini tidak mungkin dibendung hanya dengan
mengurung anak dirumah atau menyediakan berbagai fasilitas canggih di rumah. Karena kehidupan
menuntut mereka untuk tampil luwes dan lebih bergaul dengan dunia luar. Itulah yang mendorong
mereka lebih menyukai berbagai kegiatan di luar rumah seperti ke diskotik, kegiatan ekstra sekolah,
berwisata, berkemah atau sekedar jalan-jalan ke maal.
* Disampaikan pada Seminar Regional ”Peran Pendidik Dalam Memahamkan Remaja tentang
Kesehatan Reproduksi” oleh Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia DPD II Malang, di Aula Dinas
Kesehatan Kabupaten Malang. (Makalah tersedia di www.halalsehat.com )
** Pemateri adalah pengelola www.halalsehat.com situs Kehalalan Produk dan Kesehatan, serta
pengasuh Bunga (Bincang untuk Keluarga, Kesehatan Ibu dan Anak) Mitra 97 FM Batu, setiap hari
Kamis jam 09.00 WIB.