You are on page 1of 24

Tesis Peran Posyandu Dalam Penyebaran Informasi Tentang Keluarga

Berencana Dan Kesehatan Reproduksi Di Kecamatan X Kota X


||
Kategori : tesis studi pembangunan
(Kode STUDPEMBX0013) : Tesis Peran Posyandu Dalam Penyebaran Informasi Tentang
Keluarga Berencana Dan Kesehatan Reproduksi Di Kecamatan X Kota X

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Berbicara mengenai peranan pembangunan dan masalah-masalah kesehatan yang mendasar pada
pola dan arah strategi pembangunan kesehatan, maka tidak terlepas dari masalah komunikasi,
penyebaran informasi dan diterima atau tidaknya suatu gagasan baru tersebut. Gagasan baru
dapat tersebar dengan melalui proses difusi inovasi.
Dalam usaha membangun kesehatan maka peranan komunikasi sangat penting. Komponennya
yaitu komunikator berperan sebagai gerakan aktivitas informasi, motivasi dan edukasi
masyarakat bisa memahami kesehatan. Bahwa kesehatan itu pada dasarnya menyangkut semua
kehidupan, baik kehidupan perseorangan, keluarga, kelompok manusia, masyarakat luas maupun
bangsa. Dengan kata lain, ruang lingkup dan jangkauannya sangat luas.
Menurut Roekmono dan Setiady (1985) masyarakat tidak hanya membatasi diri kepada individu
yang tidak sakit dan memerlukan pengobatan, melainkan ingin melihat manusia dalam interaksi
manusia dengan lingkungan dimana ia hidup. Sekaligus dalam pengertian ini termasuk interaksi
manusia dengan beberapa pranata dalam kehidupan kebudayaan. Beberapa contoh diantaranya
yang relevan disini adalah pranata sosial budaya, pranata pelayanan kesehatan modern, pranata
pengobatan tradisional dan pranata pendidikan.
Juga Hapsara (1986) menjelaskan bahwa orientasi upaya kesehatan yang semula berupa upaya
penyembuhan penderita berkembang secara berangsur-angsur ke arah kesatuan upaya
peningkatan kesehatan untuk seluruh masyarakat yang mencakup peningkatan (promotive),
pencegahan (preventive), penyembuhan (curative) dan pemeliharaan (rehabilitasi) yang
menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan.
Upaya peningkatan kesehatan itu dipengaruhi oleh faktor lingkungan sosial budaya termasuk
ekonomi, lingkungan fisik dan biologik yang semuanya bersifat dinamis dan kompleks serta
tidak lepas dari pengaruh perkembangan dunia internasional.
Jelaslah bahwa upaya peningkatan kesehatan cukup luas dan kompleks masalahnya sehingga
memerlukan usaha yang intensip dan mantap (dalam menangani masalah-masalah kesehatan dan
pembangunan kesehatan). Berbagai faktor yang perlu diperhatikan, antara lain faktor lingkungan
yang selalu berubah dan berpengaruh pada pola atau arah strategi pembangunan kesehatan
nasional.
Masalah-masalah kesehatan semakin bertambah kompleks di Indonesia, misalnya, banyak
masalah-masalah dan pembangunan kesehatan dipengaruhi oleh faktor lainnya, sehingga pola
atau arah dan pembangunan kesehatan nasional dipengaruhi pula. Dalam mengatasi masalah-
masalah kesehatan yang semakin kompleks tersebut Departemen Kesehatan telah membentuk
suatu Sistem Kesehatan Nasional (SKN)
Adapun pemikiran dasar Sistem Kesehatan Nasional pada pokoknya meliputi antara lain,
tercapainya kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk dan terwujudnya derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya, upaya peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit yang
dilakukan secara terpadu dan pemerintah mengusahakan pelayanan kesehatan yang merata dan
terjangkau oleh seluruh rakyat. Lebih terperinci lagi pembangunan kesehatan dirumuskan dalam
RPJPK dan dijabarkan dalam RP3JPK. RPJPK ini merupakan kemauan (Karsa), dan karsa ini
ditetapkan dalam Panca Karsa Husada, yang terdiri dari:
- peningkatan kemampuan masyarakat untuk menolong dirinya sendiri dalam kesehatan,
- perbaikan mutu lingkungan hidup yang dapat menjamin kesehatan,
- peningkatan status gizi masyarakat.,
- pengurangan kesakitan dan kematian,
Untuk mencapai kelima karsa tersebut diatas ditetapkan pula upaya pokok, yang disebut Panca
Karya Husada dan terdiri dari:
- peningkatan dan pemantapan upaya kesehatan,
- pengembangan tenaga kesehatan,
- pengendalian, pengadaan dan pengawasan obat, makanan dan bahan berbahaya bagi kesehatan,
- perbaikan gizi dan peningkatan kesehatan lingkungan,
- peningkatan dan pemantapan manjemen hukum.
- pengembangan keluarga sehat sejahtera, dengan makin diterimanya norma keluarga kecil
bahagia dan sejahtera.
Kelima karya ini ditegaskan dalam 15 pokok program. Dalam Sistem Kesehatan Nasional
disebutkan bahwa dalam bentuk pokok penyelenggarannya dilakukan melalui upaya kesehatan
Puskesmas, peran serta masyarakat dan rujukan upaya kesehatan. Upaya ini telah diterjemahkan
dalam bentuk operasionalnya bedasarkan jenis dan tingkat pelayanannya dan melihat wilayah
cakupannya. Atas dasar ini, maka didapatkan suatu sistem upaya pelayanan kesehatan. Upaya
pelayanan kesehatan merupakan suatu jaringan pelayanan kesehatan yang dimulai dari tingkat
yang terbawah, pada setiap rumah tangga, sampai dengan tingkat teratas yang mempunyai
kecanggihan profesional. Komponen dan tingkatan sistem pelayanan kesehatan digambarkan
oleh Soebagyo Oetomo (1987) dalam suatu hirarki sebagai berikut:

** BAGIAN INI SENGAJA TIDAK DITAMPILKAN **

Dalam peningkatan kemampuan setiap orang atau keluarga untuk dapat menyelesaikan masalah
kesehatan sendiri dalam mewujudkan hidup sehat yang diperlukan adalah hierarki profesional
dan jaringan pelayanan masyarakat dan keluarga untuk mewujudkan maksud di atas. Dengan
menggunakan Puskesmas sebagai penggerak tumbuhnya jaringan pelayanan masyarakat maka
diadakan suatu forum yang dapat mendukung usaha pelayanan profesional dan masyarakat.
Terutama, dalam mendorong kemampuan masyarakat untuk hidup sehat, maka dihidupkan
kembali strategi oleh Departemen Kesehatan yaitu pos pelayanan terpadu (posyandu). Posyandu
merupakan usaha untuk melibatkan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan upaya peningkatan
kesehatan dan pencegahan penyakit. Berkaitan dengan posyandu, Suyono Yahya (1987)
menjelaskan bahwa dalam hierarki pelayanan kesehatan posyandu adalah jembatan upaya-upaya
pelayanan profesional dan pelayanan non-profesional yang dapat dikembangkan oleh masyarakat
dan keluarga.
Demikian juga Sonja P. Roesma (1987) menjelaskan bahwa posyandu merupakan usaha
keterpaduan karena program yang berdaya ungkit besar bagi penurunan angka kematian bayi,
balita dan ibu, sektor yang berkaitan erat dengan pembangunan kesehatan antara lain
kependudukan, pertanian, pendidikan, pelayanan kesehatan profesional dan
nonprofesional/masyarakat.
Dari uraian diatas jelaslah bahwa posyandu merupakan salah satu bentuk operasional pemberian
kesehatan pada masyarakat secara langsung. Karena itu, diperlukan suatu pendekatan yang
kekuatannya terletak pada pelayanan kesehatan dasar dan kerja sama lintas sektor. Peran serta
masyarakat ini diperoleh melalui rekayasa masyarakat, dapat dilakukan melalui komunikasi,
informasi, dan motivasi serta upaya penggerak masyarakat. Hal tersebut dilakukan berbagai cara
berdasarkan kondisi dan situasi masyarakat setempat. Dengan demikian, posyandu merupakan
forum komunikasi dan pelayanan di masyarakat antara sektor yang memadukan kegiatan
pembangunan sektoralnya dengan kegiatan masyarakat untuk meningkatkan kemampuan
masyarakat dalam memecahkan masalahnya alih melalui teknologi.
Sasaran posyandu adalah terutama masyarakat desa dengan tujuan memperkenalkan inovasi
kesehatan dan teknologi kesehatan. Oleh karena, masih banyaknya jumlah penduduk yang
tinggal dipedesaan, komunikasi dengan masyarakat desa lebih diutamakan karena komunikasi
dengan masyarakat desa merupakan bagian dari komunikasi dengan masyarakat Indonesia
seluruhnya.
Untuk melakukan komunikasi dengan masyarakat pedesaan tentang peningkatan kesehatan dan
hidup dalam lingkungan sehat ada dua unsur penting yang perlu dicatat. Kedua unsur penting itu
dijelaskan oleh Astrid Sosanto (1978) sebagai berikut isi komunikasi yang sering merupakan hal-
hal baru (inovasi) bagi penduduk desa, adanya latar belakang sosial budaya yang sering berbeda
antara pembuat konsep isi pesan ataupun pembawa pesan (komunikator) dengan penduduk
pedesaan.
Kedua faktor di atas masing-masing menunjukkan situasi komunikasi inovasi, yaitu bagaimana
suatu inovasi disebarluaskan kepada masyarakat. Dalam meneliti peran posyandu, studi ini
mencoba menggambarkan dari segi komunikasi kesehatan dan inovasi kesehatan. Posyandu
adalah medium dan organisasi sebagai sumber pesan-pesan kesehatan penting untuk diteliti,
terutama untuk melihat peranannya dalam meningkatkan partisipasi masyakarat dalam program
kesehatan. Justeru itu, posyandu perlu ditunjang oleh adanya suatu kegiatan komunikasi yang
bekerja secara aktif dalam menyebar luaskan pesan-pesan kesehatan dalam masyarakat.
Kegiatan komunikasi pada pokoknya adalah menyebarluaskan dan meningkatkan pemahaman
tentang infomasi yang disampaikan itu. Informasi yang disampaikan oleh provider dan kader
perlu dipahami oleh pihak penerima atau masyarakat sehingga apa yang dimaksud oleh
posyandu, yaitu penyuluhan kesehatan, diterima dan dilaksanakan dengan baik.
Posyandu menetapkan programnya yaitu pembangunan kesehatan masyarakat desa. Dalam
melaksanakan pembangunan kesehatan, maka langkah pertama yang ditempuh adalah memberi
penjelasan masyarakat tentang berbagai kegiatan posyandu. Dengan penjelasan yang diberikan
oleh posyandu maka akan tercipta interaksi antara pemberi pelayanan kesehatan dan masyarakat
sebagai penerima pesan-pesan kesehatan. Dengan demikian, peran komunikasi sangat penting
untuk berperan dalam menciptakan partisipasi masyarakat. Partisipasi dan komunikasi hanya
dapat dicapai apabila sistem nilai, sistem sosial budaya dan struktur sosial masyarakat
dimanfaatkan. Justru itu, kegiatan komunikasi dapat dilakukan dengan mengajak para pemuka
masyarakat terlebih dahulu. Yang termasuk pemuka masyarakat adalah pemimpin formal dan
informal. Pemuka masyarakat sangat efektif, terutama pemimpin informal karena ia mengenal
masyarakat dan oleh masyarakat setempat dianggap sebagai tokoh atau pemimpin yang
mengetahui banyak masalah-masalah sosial dan kemasyaraktan.
Strategi posyandu adalah memanfaatkan pemuka masyarakat di samping organisasi sosial
sebagai saluran komunikasi. Lembaga-lembaga sosial seperti. Lembaga Musyawarah Desa
(LMD/Tuha Empat dan Tuha Delapan) Lembaga Masyarakat Desa, Badan Perwakilan Desa
(BPD), dan Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) serta saluran-saluran komunikasi
interpersonal telah digunakan sebagai saluran komunikasi dalam meningkatkan partisipasi
masyarakat, terhadan program kesehatan.
1.2. Perumusan Masalah
Seperti diketahui bahwa masalah kesehatan sangat luas ruang lingkupnya dan sangat kompleks.
Masalahnya bukan hanya menyangkutkesehatan semata-mata tetapi faktor sosial budaya,
ekonomi, pendidikan, sikap dan kepercayaan turut berpengaruh didalamnya. Jika dilihat dari
sudut ini, maka masalah kesehatan bukan hanya masalah dokter, dan ahli-ahli kesehatan saja,
tetapi masalah kesehatan juga merupakan tanggung jawab para ahli ilmu sosial.
Karena luasnya masalah kesehatan, maka penulis perlu membatasi untuk memberikan kajian
yang ini, masalah akan dibatasi tentang Keluarga Berencana dan kesehatan reproduksi. Titik
berat kesehatan dalam program kesehatan serta sejauh mana posyandu sebagai sumber atau
medium dalam menyalurkan pesan-pesan kesehatan.
Struktur sosial adalah lembaga-lembaga formal dan informal yang ada dalam masyarakat desa
seperti birokrasi pemerintahan desa. Norma sistem sosial adalah pedoman tingkah laku yang
telah dianut oleh suatu anggota sistem sosial tertentu. Struktur sosial dan norma sistem sosial
masyarakat desa pada umumnya bersifat tradisional. Masyarakat tradisional memiliki ciri-ciri
antara lain berpendidikan relatif rendah, kehidupan sosial ekonomi lemah, pola hubungan
interpersonal sangat kuat, sedikit sekali komunikasi yang dilakukan oleh anggota sistem dengan
pihak luar. Dari kondisi ini maka pengenalan terhadan pengobatan modern relatif masih rendah
dan pengenaan media massa juga rendah. Sebaliknya pola komunikasi yang banyak digunakan
adalah komunikasi interpersonal.
Dengan demikian struktur sosial dan norma sistem sosial masyarakat desa mempunyai pengaruh
terhadan tingkah laku orang-orang dewasa serta perubahannya dalam menjawab tantangan
komunikasi. Sebaliknya struktur sosial dan norma sistem sosial desa kemungkinan bisa
berpengaruh. Dapat merintangi atau sebaliknya dapat pula memudahkan proses difusi inovasi.
Demikian juga difusi inovasi bisa pula merubah struktur sosial dan norma sistem sosial suatu
masyarakat.
Dengan bertitik tolak atas permasalahan-permasalahan tersebut di atas, penulis mencoba
merumuskan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana pandangan lembaga-lembaga formal, informal dan anggota sistem sosial (ibu-ibu
balita) terhadan proses difusi inovasi kesehatan modern yang dilakukan oleh posyandu terutama
mengenai KB dan kesehatan reproduksi?
2. Bagaimana anggota sistem sosial (ibu-ibu balita) mencari informasi tentang pengobatan
modern terutama mengenai KB dan kesehatan reproduksi?
3. Bagaimana peranan kader dalam penyebaran inovasi kesehatan modern terutama mengenai
KB dan kesehatan reproduksi?

1.3. Ruang Lingkup Kajian


Ruang lingkup penulisan ini adalah komunikasi dengan pengkhususan masalah komunikasi KB
dan kesehatan reproduksi terutama peranan komunikasi dalam melaksanakan difusi inovasi
kesehatan. Studi-studi difusi inovasi terutama menelaah tentang pesan-pesan yang berupa
gagasan baru. Dalam kajian ini fokus utamanya adalah untuk melihat peranan posyandu sebagai
penyebar gagasan baru di bidang kesehatan pada masyarakat desa.

1.4. Tujuan Kajian


Tujuan dari kajian ini adalah untuk melihat peran posyandu dalam menyebarluaskan informasi
kesehatan. Untuk mengetahui saluran-saluran komunikasi ikut mendukung peran posyandu.

1.5. Manfaat Kajian


Hasil kajian ini diharapkan secara teoritis dapat mendukung pengembangan studi komunikasi,
khususnya komunikasi kesehatan. Secara praktis dapat mendukung kebijaksanaan posyandu
dalam program kesehatan masyarakat.
KB, Keluarga Berencana

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keluarga Berencana (KB) merupakan salah satu pelayanan kesehatan preventif yang paling dasar
dan utama bagi wanita, meskipun tidak selalu diakui demikian. Peningkatan dan perluasan
pelayanan keluarga berencana merupakan salah satu usaha untuk menurunkan angka kesakitan
dan kematian ibu yang sedemikian tinggi akibat kehamilan yang dialami oleh wanita. Banyak
wanita harus menentukan pilihan kontrasepsi yang sulit, tidak hanya karena terbatasnya jumlah
metode yang tersedia tetapi juga karena metode-metode tertentu mungkin tidak dapat diterima
sehubungan dengan kebijakan nasional KB, kesehatan individual dan seksualitas wanita atau
biaya untuk memperoleh kontrasepsi (Depkes RI, 1998).
Pelayanan Keluarga Berencana yang merupakan salah satu didalam paket Pelayanan Kesehatan
Reproduksi Esensial perlu mendapatkan perhatian yang serius, karena dengan mutu pelayanan
Keluarga Berencana berkualitas diharapkan akan dapat meningkatkan tingkat kesehatan dan
kesejahteraan. Dengan telah berubahnya paradigma dalam pengelolaan masalah kependudukan
dan pembangunan dari pendekatan pengendalian populasi dan penurunan fertilitas menjadi
pendekatan yang berfokus pada kesehatan reproduksi serta hak reproduksi. Maka pelayanan
Keluarga Berencana harus menjadi lebih berkualitas serta memperhatikan hak-hak dari klien/
masyarakat dalam memilih metode kontrasepsi yang diinginkan (Prof. dr. Abdul Bari Saifuddin,
2003).
Sebenarnya ada cara yang baik dalam pemilihan alat kontrasepsi bagi ibu. Sebelumnya ibu
mencari informasi terlebih dahulu tentang cara-cara KB berdasarkan informasi yang lengkap,
akurat dan benar. Untuk itu dalam memutuskan suatu cara kontrasepsi sebaiknya
mempertimbangkan penggunaan kontrasepsi yang rasional, efektif dan efisien
(http:/psikis.bkkbn.go.id/gemopria.articles.php)
KB merupakan program yang berfungsi bagi pasangan untuk menunda kelahiran anak pertama
(post poning), menjarangkan anak (spacing) atau membatasi (limiting) jumlah anak yang
diinginkan sesuai dengan keamanan medis serta kemungkinan kembalinya fase kesuburan
(ferundity). (http:/psikis.bkkbn.go.id/gemapria/articles.php).
Di Indonesia khususnya di wilayah Jawa Tengah terutama di desa Pengkol, kecamatan Tanon
dengan jumlah penduduk wanita 1802, orang yang mengalami kehamilan cukup tinggi pada
umur 20 – 30 tahun adalah 70%, 25% umur 31 – 40 tahun, 5% umur 40 tahun keatas.
Pada tahun 2006 penggunaan KB suntik menurun diperkirakan 10-30%, sehingga meningkatkan
angka kehamilan di desa Pengkol. Penggunaan KB pil menurun diperkirakan 10-20%.
Pada tahun 1960 angka kematian balita mencapai lebih dari 200 per 1000 orang, dua kali lebih
besar dari angka kematian balita di Filipina atau Thailand. Pada tahun 2005 angka tersebut turun
hingga kurang dari 50 per 1000 orang, yang merupakan salah satu penurunan tertinggi yang
terjadi di kawasan ini. Seorang anak yang lahir pada tahun 1940 hanya memiliki sekitar 60%
kesempatan untuk mengenyam pendidikan, 40% untuk menamatkan sekolah dasar dan 15%
untuk menamatkan pendidikan di sekolah menengah pertama. Sebaliknya, lebih dari 90% anak-
anak yang lahir sejak tahun 1980 berhasil menamatkan pendidikan sekolah menengah pertama.
Sebagian besar kemajuan yang diperoleh semata-mata berkaitan dengan peningkatan pendapatan.
Pendapatan perkapita berlipat ganda antara tahun 1970 sampai dengan 1980 dan berlipat ganda
lagi pada akhir tahun 1990 (sebelum terjadi krisis ekonomi tahun 1997). Salah satu analisis
tentang program Keluarga Berencana Indonesia yang sangat luas menunjukkan bahwa sebagian
besar pengurangan fertilitas berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat dan peningkatan
jenjang pendidikan (Gertler dan Molyneaux).
Ada beberapa kemungkinan kurang berhasilnya program KB diantaranya dipengaruhi oleh
tingkat pengetahuan ibu dan faktor pendukung lainnya. Untuk mempunyai sikap yang positif
tentang KB diperlukan pengetahuan yang baik, demikian sebaliknya bila pengetahuan yang baik,
demikian sebaliknya bila pengetahuan kurang maka kepatuhan menjalani program KB berkurang
(Notoatmojo, 2003).
Sehubungan dengan kondisi di atas penulis merasa perlu meneliti pengetahuan ibu terhadap KB.
Desa Pengkol dipilih sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan jumlah penduduk desa
Pengkol tergolong cukup banyak dengan tingkat pendidikan yang sangat bervariasi terutama
pada ibu, mulai dari yang tidak lulus sekolah dasar sampai pada ibu yang pernah belajar dari
perguruan tinggi.
Untuk meningkatkan efektivitas KB perlu dilakukan suatu sikap dan pengetahuan yang
menunjang dari ibu. Untuk mempelajari tentang pengetahuan ibu dan KB penting untuk
dilakukan suatu penelitian tentang “Hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan pemilihan
alat kontrasepsi di Desa Pengkol Kabupaten Sragen”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut diatas, maka dapat diasumsikan permasalahan
kurangnya pengetahuan ibu dalam KB, sehingga apalah ada hubungan antara tingkat
pengetahuan ibu dengan pemilihan alat kontrasepsi?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum pada penelitian ini adalah mempelajari hubungan antara tingkat pengetahuan ibu
dengan pemilihan alat kontrasepsi.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus pada penelitian ini adalah:
a. Mengidentifikasi tingkat pengetahuan dengan pemilihan alat kontrasepsi.
b. Mengidentifikasi pengetahuan ibu tentang alat kontrasepsi.
c. Menganalisis hubungan tingkat pengetahuan ibu dengan pemilihan alat kontrasepsi.

D. Manfaat Penelitian
Hasil yang diharapkan dalam penelitian ini adalah:
1. Dengan adanya keikutsertaan dalam KB maka dapat mengurangi dampak kehamilan yang
ditimbulkan.
2. Dengan adanya tingkat pengetahuan ibu yang meningkat maka ibu akan mempunyai
pengetahuan tentang KB.
3. Sebagai bahan masukan yang digunakan untuk penerapan KB dapat meningkatkan mutu
pelayanan kesehatan.

Keluarga Berencana

Senin, 3 Desember, 2001 oleh: Gsianturi


Keluarga Berencana
Gizi.net - Partisipasi KB Pria Masih Rendah

Peran pria dalam keluarga berencana (KB) dan kesehatan reproduksi masih rendah, hanya
berkisar 1,1 persen, jauh dari target tahun 2001 sebesar 2,41 persen. Karena itu, perlu
upaya sangat keras dari pelaksana program untuk mencapai target partisipasi pria menjadi
delapan persen di akhir tahun 2004, dalam rangka mewujudkan Keluarga Berkualitas tahun
2015. Hal itu mengemuka dalam acara evaluasi pelaksanaan peningkatan partisipasi pria
dalam program KB dan kesehatan reproduksi pekan ini.

Kondisi lingkungan sosial, budaya, masyarakat, dan keluarga yang masih menganggap
partisipasi pria belum penting dilakukan, menjadi penyebab rendahnya partisipasi pria.
Demikian Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Khofifah Indar
Parawansa. Masalah KB dan kesehatan reproduksi masih dipandang sebagai tanggung
jawab perempuan. Pengetahuan dan kesadaran pria dan keluarga mengenai KB masih
relatif rendah. Selain itu, ada keterbatasan penerimaan dan aksesabilitas pelayanan
kontrasepsi pria.

Pengetahuan rendah itu misalnya vasektomi, ditakutkan akan menyebabkan impoten.


Sedangkan kondom dianggap mengurangi kenikmatan dalam hubungan seksual,
merepotkan, dan dipersepsikan hanya untuk penderita atau mencegah penyakit kelamin
dan HIV/AIDS saja.

Pendekatan yang diterapkan dalam meningkatkan peran pria dalam KB dan kesehatan
reproduksi adalah menempatkan pria untuk memperoleh informasi yang benar.

Peran pria dalam KB antara lain sebagai peserta KB dan mendukung pasangan
menggunakan alat kontrasepsi. Sedang dalam kesehatan reproduksi, antara lain membantu
mempertahankan dan meningkatkan kesehatan ibu hamil, merencanakan persalinan aman
oleh tenaga medis, menghindari keterlambatan dalam mencari pertolongan medis,
membantu perawatan ibu dan bayi setelah persalinan, menjadi ayah yang bertanggung
jawab, mencegah penularan penyakit menular seksual, menghindari kekerasan terhadap
perempuan, serta tidak bias jender dalam menafsirkan kaidah agama.

Peningkatan partisipasi pria diharapkan dapat meningkatkan derajat kesehatan ibu, bayi
dan anak, menurunkan angka kematian ibu dan bayi, mencegah dan menanggulangi infeksi
saluran reproduksi serta penyakit menular seksual, termasuk HIV/AIDS. (atk)
Sumber : KoSenin, 14 Maret 2005 WACANA

Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja


Oleh: Farid Husni
DALAM harian lokal di Jawa Tengah, sekitar bulan Oktober 2004,
diberitakan kasus pembunuhan yang menimpa seorang anak perempuan kelas 6
SD, di
pinggiran kota Semarang. Pembunuhan tersebut dilakukan oleh seorang anak
laki-laki pelajar SMP kelas 3.

Dalam pengakuannya kepada pihak kepolisian, pelaku pembunuhan mengaku


bahwa tindakannya tersebut terpaksa ia lakukan karena korban menolak untuk
diajak hubungan intim. Penolakan korban memicu pelaku marah dan kemudian
dengan
tega melakukan pembunuhan kepada korban yang ternyata juga kawan bermain.

Pengakuan lain dari pelaku adalah pemaksaan kepada korban untuk melakukan
hubungan intim dipicu setelah pelaku menyaksikan VCD porno dengan
teman-temannya, dan pelaku tidak mampu menahan diri, sehingga terjadilah
peristiwa yang memilukan tersebut.

Dalam kasus lainnya, yang baru saja terjadi belum lama ini, dalam angkot,
di Semarang, beberapa pelajar SMP perempuan baru saja pulang seusai mengikuti
ulangan umum di sekolahnya. Yang menarik untuk disimak, di dalam angkot
tersebut ternyata mereka tidak membicarakan ulangan tersebut, namun mereka
membicarakan komik kartun, yang menurut pendapat mereka cukup saru/porno.
"Wah
aku sampe mrinding moco komik kuwi, gambare apik tapi kok saru ya, sampe
kegawa
mimpi" (Wah saya sampai merinding membaca komik tersebut, gambarnya bagus
tapi
kok porno ya, sampai hal itu terbawa mimpi).

Dua contoh peristiwa tersebut di atas, tampaknya sudah cukup


menggambarkan kepada kita, bahwa ada persoalan-persoalan yang melanda pada
remaja kita. Persoalan bagaimana mengelola informasi yang diterima menjadi
sangat berguna bukan menjadikan pemicu tindak kriminal.

Kesehatan Reproduksi

Menurut data statistik, jumlah penduduk di Jawa Tengah pada tahun 2002
mencapai 31.691.866 jiwa, terdiri atas 15.787.143 (49,81%)
laki-laki, dan 15.904.723 (50,19 %) perempuan. Dari jumlah tersebut,
sekitar 9.019.505. (28,46%) adalah mereka yang berusia anak/remaja. Jumlah ini
relatif cukup besar, karena mereka akan menjadi generasi penerus yang akan
menggantikan kita di masa yang akan datang. Status/keadaan kesehatan mereka
saat ini akan sangat menentukan kesehatan mereka di saat dewasa, khususnya
bagi
perempuan, terutama mereka yang menjadi ibu dan melahirkan.

Dari berbagai sumber yang dikumpulkan, ada beberapa permasalahan yang


dihadapi oleh remaja pada area kesehatan reproduksi. Permasalahan tersebut
adalah, pertama, rendahnya pengetahuan.

Dari survei yang dilakukan Youth Center Pilar PKBI Jawa Tengah 2004 di
Semarang mengungkapkan bahwa dengan pertayaan-pertanyaan tentang proses
terjadinya bayi, Keluarga Berencana, cara-cara pencegahan HIV/AIDS, anemia,
cara-cara merawat organ reproduksi, dan pengetahuan fungsi organ reproduksi,
diperoleh informasi bahwa 43,22 % pengetahuannya rendah, 37,28 % pengetahuan
cukup sedangkan 19,50 % pengetahuan memadai.

Di sisi lain, prilaku remaja yang berpacaran -juga tergambar dari survei
yang juga dilakukan oleh Youth Center Pilar PKBI Jawa Tengah- saling ngobrol
100 %, berpegangan tangan 93,3 %, mencium pipi /kening 84,6 %, berciuman bibir
60,9 %, mencium leher 36,1 % saling meraba (payudara dan kelamin) 25 %, dan
melakukan hubungan seks 7,6 %.

Khusus untuk yang melakukan hubungan seks, pasangannya adalah pacar 78,4
%, teman 10,3 % dan pekerja seks 9,3 %.

Alasan mereka melakukan hubungan seks adalah coba-coba 15,5 %, sebagai


ungkapan rasa cinta 43,3 %, kebutuhan biologis 29,9 %.

Sedangkan tempat untuk melakukan hubungan seks adalah rumah sendiri/pacar


30 %, tempat kos /kontrak 32 %, hotel 28 %, dan lainnya 9 %.

Data yang dikemukakan di atas adalah data-data tentang remaja perkotaan,


khususnya di kota Semarang. Bagaimana dengan anak/ remaja yang ada di
pedesaan?
Dengan segala keterbatasan yang ada di desa, angka-angka di atas diyakini tidak
berbeda jauh, bahkan dalam beberapa aspek (pengetahuan HIV/ AIDS), mungkin
anak/ remaja di desa lebih rendah pengetahuannya dibandingkan dengan
anak/remaja perkotaan.

Dengan makin banyaknya persoalan kesehatan reproduksi remaja, maka


pemberian informasi, layanan dan pendidikan kesehatan reproduksi remaja menjadi
sangat penting. Permasalahan remaja yang disebutkan di atas berkaitan erat
dengan kesehatan reproduksi, dan seringkali berakar dari kurangnya informasi
dan pemahaman serta kesadaran untuk mencapai sehat secara reproduksi. Di sisi
lain, remaja sendiri mengalami perubahan fisik yang cepat.

Akses untuk mendapatkan informasi bagi remaja banyak yang tertutup.


Dengan memperluas akses informasi tentang kesehatan reproduksi remaja yang
benar dan jujur bagi remaja akan membuat remaja makin sadar terhadap tanggung
jawab perilaku reproduksinya.

Kedua, akses layanan yang terbatas. Meski Puskesmas sebagai tempat Klinik
Reproduksi Remaja (Klinik Peduli Remaja) sudah dicanangkan pemerintah, namun
akses remaja terhadap tempat layanan tersebut sangatlah rendah. Beberapa data
mengungkapkan bahwa setting ruangan, pola pelayanan, pola pakaian yang serba
putih, terbatasnya jam buka, dan nilai-nilai normatif tenaga provider yang
tidak gaul menjadi penyebab utama enggannya remaja datang ke tempat
pelayanan
tersebut. Akibatnya, layanan yang disediakan tidak mampu diakses oleh remaja
dengan baik.

Sebab lainnya adalah terbatasnya jenis layanan. Puskesmas sebagai


institusi yang menyediakan pelayanan dasar kesehatan di tingkat grass root,
belum mampu memenuhi pelayanan kesehatan reproduksi yang dibutuhkan oleh
remaja. Kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi, khususnya kepada anak
perempuan, baik karena kasus perkosaan, maupun kehamilan yang tidak
dikehendaki
(hamil di luar nikah), menjadi hambatan tersendiri untuk dilakukan pelayanan.

Alasannya, UU Kesehatan dan KUHP kita belum dapat mengakomodir usulan


pelayanan ini. Tindakan ini masih dianggap sebagai tindakan kejahatan yang
ancaman hukumannya denda 500 juta rupiah dan penjara 15 tahun (UU
Kesehatan).

Di masyarakat, kasus-kasus kehamilan yang tidak dikehendaki selalu


dipandang dengan muatan-muatan yang sarat dengan moral. Masyarakat
cenderung
menyalahkan korban, bukannya empati. Akibatnya, terjadi stigmatisasi dan
diskriminasi dan menjadikan kasus ini tabu untuk dibicarakan secara terbuka.

Data menunjukkan, akibat kehamilan yang tidak dikehendaki ini, hampir


bisa dipastikan siswi yang mengalami kasus ini harus berhenti dari sekolah atau
dikeluarkan. Pihak sekolah selalu beralasan, dengan memberikan izin sekolah
bagi siswi hamil, nama baik sekolah akan tercermar dan perbuatan tersebut akan
ditiru oleh murid-murid lainnya. Pendapat ini baru asumsi/ pandangan dan belum
tentu kebenarannya.

Dengan demikian, pihak perempuanlah yang paling dirugikan bila kasus ini
benar-benar terjadi.

Kasus kehamilan yang tidak dikehendaki ini merupakan kasus yang berakibat
terjadinya diskriminasi dan merupakan pelanggaran atas hak-hak anak, paling
tidak hak untuk mendapatkan pendidikan sesuai dengan Konvensi Hak Anak,
sehingga harus ada perubahan cara pandang atas kasus ini dari muatan moral
menjadi muatan empati, di mana hak-hak korban harus dilindungi dan
diperjuangkan secara bersama-sama, bukan lagi menyalahkan korban dengan
alasan-alasan yang tidak rasional, seperti menuduh korban sebagai pihak yang
memicu terjadinya perbuatan tersebut dengan memakai pakaian-pakaian seksi dan
sejenisnya.

Mengacu pada isu-isu global, seperti yang dibahas di International


Conference of Population and Development (ICPD) di Kairo tahun 1994, maka
setiap orang (laki-laki dan perempuan, tanpa diskriminasi, termasuk anak dan
remaja) harus mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi yang memadai. Maka
bila ada golongan tertentu (anak/remaja) yang karena sebab-sebab tertentu tidak
dapat mengakses pelayanan, maka hal tersebut termasuk pelanggaran hak.

Perlu Pendidikan

Melihat besarnya permasalahan dan dampaknya di masa depan untuk generasi


mendatang, maka dalam rangka menjamin pemenuhan hak seksual dan kesehatan
reproduksi untuk remaja, maka ada beberapa upaya yang harus dilakukan secara
terpadu dan lintas sektor.

Untuk itu, perlu dibangun komitmen bersama antarelemen, baik pemerintah


maupun masyarakat, yang menetapkan kesehatan reproduksi remaja sebagai
agenda/isu bersama dan penting.

Harus ada keyakinan bersama bahwa membangun generasi penerus yang


berkualitas perlu dimulai sejak anak, bahkan sejak dalam kandungan. Untuk itu,
harus ada kesadaran bersama bahwa upaya yang dilakukan saat ini tidak serta
merta tampak hasilnya, namun perlu waktu panjang untuk memetik hasilnya.

Upaya-upaya yang perlu dilakukan adalah pemberian informasi kesehatan


reproduksi dalam berbagai bentuk sedini mungkin kepada seluruh segmen remaja,
baik di perkotaan maupun di pedesaan. Pemberian informasi ini dengan tujuan
meningkatkan pengetahuan yang pada gilirannya mampu memberikan pilihan
kepada
remaja untuk bertindak secara bertanggung jawab, baik kepada dirinya maupun
keluarga dan masyarakat.

Untuk itu, di era otonomi daerah seperti sekarang ini, adalah momentum
yang menguntungkan dan tepat untuk melahirkan kebijakan ini. Pemerintah
bersama
LSM dan masyarakat dapat menjadi inisiator lahirnya kebijakan ini menjadi perda
atau sejenisnya. Kebijakan itu misalnya dengan memberikan keputusan bahwa
seluruh sekolah, baik negeri maupun swasta mempunyai kewajiban memberikan
informasi kesehatan reproduksi remaja mulai SD hingga SMU.

Dengan lahirnya kebijakan ini, maka sudah tidak ada alasan lagi bagi
berbagai pihak yang menentang pemberian informasi kesehatan reproduksi dengan

alasan-alasan yang tidak rasional.

Beberapa hari yang lalu di harian Suara Merdeka memberitakan bahwa pihak
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah menyetujui pendidikan bahasa Jawa sebagai
muatan lokal untuk seluruh jenjang pendidikan dari SD sampai dengan SMU. Alasan
yang dikemukakan berbagai pihak adalah perlunya menjaga budaya dan jati diri
bangsa agar tidak hilang dalam situasi global saat ini.

Informasi ini memberikan makna kepada kita bahwa bila para stakeholder
pendidikan, terutama Dinas Pendidikan dan Pemerintah Provinsi mempunyai
komitmen yang kuat, maka dapat saja hal itu dilakukan. Hal ini dapat dibuktikan
dengan keberhasilan pendidikan bahasa Jawa tersebut. Oleh karena itu,
diharapkan ada perlakukan yang sama untuk memberlakukan pendidikan
kesehatan
reproduksi remaja sebagai muatan lokal di seluruh jenjang pendidikan dari SD
hingga SMU.

Sama halnya dengan pendidikan bahasa Jawa, tentunya di tiap jenjang


pendidikan, kurikulum pendidikan kesehatan reproduksi remaja juga berbeda
antara yang diberikan kepada SD ataupun SMU. Pendidikan kesehatan reproduksi
yang dimaksud di sini tidak ada hubungannya dengan teknik-teknik hubungan seks,

namun merupakan sekumpulan pengetahuan yang berisi tentang pengenalan dan


fungsi-fungsi organ reproduksi (termasuk di dalamnya proses terjadinya
menstruasi dan mimpi basah), proses terjadinya pembuahan, pengetahuan infeksi,

HIV/AIDS, pengetahuan tentang gender dan risiko-risiko hubungan seks yang


tidak bertanggung jawab.

Dengan memberikan waktu khusus pendidikan kesehatan reproduksi remaja


dalam sekolah, maka akan ada upaya-upaya sistematis dan terencana dalam
pemberian informasi kepada anak didik, sehingga pada gilirannya mereka dapat
mengetahui dan bertanggung jawab atas perilaku seksualnya di masa depan.

Sisi lainnya adalah memberikan benteng/pertahanan kepada remaja itu


sendiri untuk secara tegas dapat bersikap atas maraknya informasi pornografi
yang beredar di masyarakat, baik dalam bentuk tulisan, maupun elektronik. Upaya
ini memerlukan dukungan dari berbagai pihak, terutama para stakeholder dalam
pendidikan yang berani berpikir secara kreatif dan inovatif dalam melahirkan
kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada remaja di Jawa Tengah.

Sudah saatnya diakhiri hal-hal yang kontraproduktif dan polemik yang


mempertentangkan antara pendidikan kesehatan reproduksi dengan pornografi.
Area
pembatas kedua hal ini sudah sangat jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.
Kekhawatiran bahwa dengan informasi pendidikan kesehatan reproduksi para murid

(anak didik) akan meniru juga berlebihan, karena di dalam informasi pendidikan
kesehatan reproduksi remaja memang tidak ada sesuatu yang patut ditiru. Jadi
sebenarnya tidak ada sesuatu yang patut dicurigai atau bahkan dikhawatirkan.

Kita sepakat, tidak rela melihat anak-anak kita menjadi generasi penerus
yang lemah dan menderita hanya gara-gara mereka melakukan praktik-praktik
seksual yang tidak bertanggungjawab di masa mendatang disebabkan pengetahuan

mereka yang rendah.

Upaya lainnya adalah memberikan porsi dan kesempatan yang seluas-luasnya


pendidikan moral/agama kepada seluruh anak/ remaja, dengan memberikan
informasi
yang komprehensif bahaya dan akibat-akibat yang ditanggung remaja bila
melakukan perilaku seksual yang tidak bertanggung jawab. Informasi kerugian
fisik, mental dan spiritual harus dijelaskan secara seimbang dengan hal-hal
yang terkait dengan moral /agama bila sampai terjadi perilaku seks yang tidak
bertanggung jawab. Bagaimanapun juga, mencegah terjadinya perilaku seksual
yang
tidak bertanggung jawab jauh lebih baik dari pada harus menyelesaikannya bila
hal tersebut sungguh-sungguh terjadi. (29)

-Farid Husni, Direktur Pelaksana Daerah PKBI Jawa Tengah, LSM yang aktif
di bidang kesehatan reproduksi. mpas, Jum’at, 30 November 2001
2008-01-29
ANALISIS SITUASI KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA DI INDONESIA
Masalah remaja (usia >10-1,9 tahun) merupakan masalah yang perlu diperhatikan
dalam pembangunan nasional di Indonesia. Studi analisis mengenal kecenderungan
kesehatan, mengestimasikan bahwa pada tahun 2005 Indonesia akan menjadi
negara dengan proporsi populasi usia kurang 15 tahun terbesar, dan diduga
mencapal 30.02% pada tahun 2000. Masalah remaja terjadi, karena mereka tidak
dipersiapkan mengenai pengetahuan tentang aspek yang berhubungan dengan
masalah peralihan dari masa anak ke dewasa.. Masalah kesehatan remaja
mencakup aspek fisik biologis dan mental, sosial. Perubahan fisik yang pesat dan
perubahan endokrin/ hormonal yang sangat dramatik merupakan pemicu masalah
kesehatan remaja serius karena timbuhnya dorongan motivasi seksual yang
menjadikan remaja rawan terhadap penyakit dan masalah kesehatan reproduksi,
kehamilan remaja dengan segala konsekuensinya yaitu: hubungan seks pranikah,
aborsi, PMS & RIV-AIDS serta narkotika, dll.

Hasil dari beberapa Studi:

Sebagai gambaran tentang masalah remaj'a kaitannya dengan perkembangan


kesehatan reproduksi, tulisan ini mengungkap secara ringkas yang bersumber dari
beberapa studi yang dilakukan tentang hal tersebut.
Banyak studi yang mengungkap bahwa perkawinan yang terlalu dini serta
kehamilan dan persalinan pada usia remaja menyebabkan lbu maupun bayinya
berisiko tinggi.
'Studi analisis situasi di kecamatan Tebet Jakarta (tahun 1997) yang bertujuan
untuk meningkatkan kualitas dan jangkauan pelayanan Kesehatan Reproduksi
Remaja (KRR) di puskesmas Tebet, dilakukan pengembangan model Pelayanan KRR
pada tahun 1997/1998. Kegiatan awal yang dilakukan adalah Analisis Situasi
terhadap siswa SMP, SMU, Karang Taruna dan provider dari berbagai unit kerja
seperti puskesmas, seksi UKS, Kelurahan, KUA, Kader PKK dan NGO (Yayasan
Kusuma Buana), untuk mengidentifikasi masalah remaja, kebutuhan remaja
terhadap informasi dan pelayanan serta fasilitas pelayanan yang tersedia.
Melalui Focus Group Diskusi (FGD) terungkap berbagai masalah remaja, yaitu
hubungan seksual sebelum nikah, hamil diluar nikah, masalah aborsi, dan putus
sekolah karena menikah, pemakaian alat kontrasepsi pada remaja. Melalui
interview terhadap 41 orang remaja (13-18 tahun) diketahui hanya 19.5% remaja
pernah memanfaatkan fasilitas pelayanan khusus macam pelayanan yang diperoleh
belum mencerminkan pelayanan KRR.
Sebagian besar remaja menyatakan belum cukup informasi dan membutuhkan
informasi tentang PMS/AIDS, perilaku seksual, organ seksual, persiapan perkawinan,
KB, kehamilan/ aborsi, dan obat terlarang. Sumber informasi sebaiknya dan guru
sekolah, orang tua, petugas kesehatan dan tokoh agama, dan disampaikan oleh
orang ahli atau media masa. Mereka menyatakan waktu pelayanan KRR sebaiknya
jam 14.00-16.00.
Sebagian besar remaja menyatakan sering mengalami sakit kepala dan sulit
belajar. Timbuinya jerawat dialami oleh cukup banyak diantara mereka (36.6%),
juga sakit mag, masalah haid/ mimpi basah, dll.
Sebagian besar provider menyatakan belum dapat menangani permasalahan KRR
karena belum adanya petugas untuk pelayanan tersebut. Mereka setuju diadakan
pelayanan KRR karena belum adanya petugas khusus untuk pelayanan tersebut.
Dapat disimpulkan bahwa situasi remaja di kecamatan Tebet saat ini memerlukan
penanganan segera, dilain pihak pelayanan KRR belum tcrsedia. Perlu segera
disusun model pelayanan yang menjawab kebutulian remaja.
Status gizi ibu yang buruk berkontribusi terhadap 4 dari 5 penyebab utama
kematian ibu yaitu perdarahan, abortus, hipertensi, infeksi dan partus macet. Dari
studi yang pemah dilakukan terhadap remaja di Madura, Jawa Timur, hasilnya
memperlihatkan bahwa remaja wanita memiliki status gizi buruk, meskipun bila
dilihat dari pengetahuan remaja tentang gizi dan anemia cukup baik.
Sementara itu studi Needs Assesssment,for adolescents Reproductive Health (1999)
yang sasarannya kepada, pendidik, orang tua, pemimpin organisasi, provider dan
anak-anak remqja sendiri telah dilakukan di propinsi Jawa Tengah, dan propinsi jawa
Timur, baik di urban maupun rural dengan metoda indepth interview & FGD. Dari
semua kelompok ini ternyata membutuhkan informasi mengenai kesehatan
reproduksi sehat remaja. Kelompok remaja mengetahui penyebab anemi karena
kekurangan zat besi, pemenuhan gizi dalam makanan tidak tercukupi, serta gejala-
gejalanya. Hubungan antara anemi dengan kesehatan reproduksi sudah diketahui
oleh orang tua, provider dan pendidik, sementara kelompok remaja belum
mengetahui sepenuhnya. Mereka hanya mengetahui bahwa penyakit anemia
mengganggu proses kehamilan.
Dari studi ini diperoleh informasi bahwa para orang tua di daerah penelitian belum
mempersiapkan anak-anak mereka dalam menghadapi masa baligh. Hal ini
disebabkan pada umumnya mereka nienganggap bahwa masalah seks adalah
sesuuatu yang tabu atau saru. Orang tua merasa anak telah mendapatkannya dari
sekolah, bacaan atau dari teman. Disamping itu, untuk orang tua yang pendidikan
lebih rendah , merasa rendah diri dan menganggap anak-anak mereka sudah jauh
lebih tahu dari mereka. Tentang kontrasepsi studi darl PT Surindo temyata sudah
mengetahui tentang jenis-jenis kontrasepsi, yaitu hanya sebatas pil, suntik dan
kondom. Mereka juga mengetahui bahwa fungsi alat kontrasepsi adalah untuk
mencegah kehamilan serta mengatur jarak kehamilan.
Studi ini juga mengungkap tentang kejadian aborsi. Dalam waktu 4 bulan sebelum
survei menurut provider, ada 4 pasien remaja yang berniat untuk mcnggugurkan
kandungan kepada bidan, namun ditolak. Dari hasil FGD mereka menjelaskan
tentang cara-cara, menggugurkan kandungan yaitu antara lain dengan minum
jamu, urut ke dukun, minum minuman keras atau carnpuran pil KB dengan sprite.
Sebab-sebab teradinya kehamilan illegal adalah akibat kurangnya perhatian dan
bimbingan orang tua, akibat salah pergaulan dan ada pula yang ingin menguji alat
kontrasepsi.
Mengenai penyakit menular seksual (PMS) yang umum diketahui remaja adalah
HIV/AIDS, dikarenakan selama ini yang sering dipopulerkan secara gencar adalah
HIV AIDS.
Tabel berikut ini memberikan gambaran tentang Tingkah Laku Seksual Remaja
Perkotaan di Indonesia.

Penelitian Lokasi/ Tahun Temuan


1.Istiati
2.Affandi
3.UII
4.Dasakung
5.Sarlito Surakarta, 1991
Jakarta, 1985
Yogyakarta, 1984
Yogyakarta, 1984
Jakarta, 1982 • 73 kehamilan remaja pranikah
• 80% remaja yg hamil melakukan sanggama dirumah sendiri
• 13% dari 846 pernikahan didahului kehamilan
• 62% dari 29 mahasiswa kumpul kebo
• 75% remaja wanita menjaga kegadisan

Kesimpulan:

• Remaja wanita merupakan satu kesempatan untuk memperbaiki keadaan dan


kelangsungan matemal dan perineonatal bila mereka masuk dalam proses dengan
status gizi yang baik.
• Pengetahuan remaja, orang tua, pcndidik dan pimpinan oraganisasi terkait
tentang kesehatan reproduksi remaja perlu ditingkatkan dan perlu informasi serta
sosialisasinya.

Kesehatan Reproduksi Remaja


Studi Kesenjangan Pengetahuan dan Perilaku Remaja yang Berkaitan Dengan Kesehatan
Reproduksi

TUJUAN
- Mengevaluasi dan mengidentifikasi kesenjangan pengetahuan, sikap dan perilaku
remaja dalam hal kesehatan reproduksi
- Mengevaluasi tingkat pengetahuan remaja menurut perbedaan tingkat pengetahuan,
karakteristik, dan mengidentifikasi penyempurnaan program/kegiatan kesehatan
reproduksi remaja.

METODOLOGI
Lokasi Penelitian dilakukan di 3 (tiga) propinsi yaitu : Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, dan
Jambi,masing-masing propinsi diambil secara sengaja 1 (satu) kabupaten dan 1 (satu) kota,
kecamatan dan desa/kelurahan yang diambil secara purposive sample dengan criteria wilayah
yang propursi remaja berumur 15-21 tahun yang meliputi 6 kabupaten/kota, 6 kecamatan, dan 6
desa/kelurahan.
Sample utama penelitian adalah remaja yang berumur 14-21 tahun berstatus single (belum
kawin). Sample pendukung adalah informan yang snowballing yaitu secara langsung ikut terlibat
dalam program kegiatan kesehatan reproduksi remaja dengan skematis informan mengumpulkan
data bahwa :
- propursi remaja umur 14-21 relatif lebih banyak
- informasi data bersumber dari BKKBN atau dari Kantor Statistik setempat
- data kuantitatif dilakukan dengan wawancara kepada responden utama remaja
- data kualitatif dilakukan kepada pendukung informan pengumpulan data secara indepth
interview atau wawancara mendalam interview guide.
- wawancara dilakukan secara sederhana yang memenuhi syarat analisisa, akan dilakukan
analisis hubungan/relationship secara diskriptif dengan proses synthesa dari hasil kegiatan narasi
dari transkrip.
HASIL
Dengan teridentifikasi kesenjangan pengetahuan dan perilaku remaja dalam kesehatan
reproduksinya diharapkan dapat dirumuskan upaya strategis untuk menyusun program/kegiatan
remaja yang mendukung misi program KB Nasional untuk mewujudkan sumber daya manusia
(SDM) yang berkualitas sejak pra-nikah.
Analisa data kuantitatif
Wawancara kepada responden utama remaja yang diwawancara sebanyak 180 responden. Untuk
memudakan pembahasan dibagi menjadi tiga kelompok umur, pertama : 12-14 tahun, remaja
berada pada tingkat SLTP, kedua : 15-17 tahun, remaja berada tingkat SLTA, ketiga : 18-22
tahun, remaja telah tamat SLTA dan mereka yang sudah kuliah.
Analisa data kualitatif
Wawancara mendalam dilakukan kepada informan pendukung dan dilakukan pengumpulan data
secara idepth interview atau wawancara mendalam interview guide.
Dalam hal ini diberikan aktivitas kepada remaja dengan pengetahuan melalui penyuluhan dan
konsultasi serta perlu diransang dengan kegiatan-kegiatan positif serta gotong royong yang
sifatnya masih kuat diantara para remaja.
REKOMENDASI
1.Karakterisrik remaja, disimpulkan kondisinya sebagai berikut :
- Kurang mendapat pengetahuan kesehatan reproduksi remaja adalah remaja pada kelompok
umur 12-14 tahun, remaja laki-laki remaja luar sekolah dan remaja yang tinggal di
desa/kabupaten
- Remaja yang sifatnya dinamis, kreatif dan senantiasa ingin tahu dimana memberikan aktivitas
yang perlu diransang dengan kegiatan-keiatan positif
- Bersifat gotong-royong sangat kuat diantara para remaja dan pengaruh hukum-hukum agama
dan adat, maka kondisi yang sudah baik tetap dijaga konsistensinya untuk menpis terpaan masa
depan.
- Budaya kawin muda merupakan adat yang berlaku bagi masyarakat di Propinsi NTB,
sedangkan di Propinsi Jambi, kondisi remaj sendiri terbatas pengetahuan kesehatan reproduksi.
Dengan demikian perlu pendekatan kepada pihak yang berkompeten dalam pembinaan remaja
melalui pembekalan.
2.Substansi atau materi pengetahuan kesehatan reproduksi remaja (KRR) belum banyak
diketahui
3.Ketertutupan pihak tokoh agama, masyarakat, orang tua, dan kurangnya kerjasama dengan
pihak Tripika yang berperan dalam membina perilaku remaja berdampak merugikan bagi
kesehatan remaja dimasa yang akan datang.
4.Kurangnyaperhatian pengelola program untuk menumbuh kembangkan kelembagaan Pusat
Informasi dan Konsultasi (PIK)-KRR, terutama keterbatasan kemampuan pemerintah dalam
memberikan dukungan dana yang berkaitan dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang
membidangi kegiatan remaja.
5.Dalam kegiatan KRR pihak Puskesmas sangat terbatas dalam hal materi dan
kesempatan/frekuensi kegiatan penyuluhan. Namun ada kendala yang dihadapi BKKBN antara
lain : Petugas lapangan KB belum mendalami permasalahan KRR dan belum mendapat pelatihan
konseling KRR.
6.Kurangnya tenaga ahli (medis/paramedis,Psikolog), sarana penunjangKIE◊(alat, peraga, leafflet,
brosur) meruapakan hambatan operasionaldan pelayanan/konseling KRR.
7.Kondisi, sikap, perilaku KRR bervariasi antara daerah yang tidak dapat diberikan perlakuan
antau rekomendasi, karena itu diberikan upaya perbaikan program KRR dan perlu dilakukan
identifikasi kebutuhan (need assessment) di masing-masing daerah.
kegiatan remaja adalah tidak rutin (bukan◊8.Dari Dinkes (Puskesmas)prioritas), yang merupakan sub-kegiatan
usaha sekolah. Bagi pihak yang berkompete (termasuk BKKBN) menghendaki menangani permasalahan secara serius agar
diupayakan perencanaan program KRR secara tuntas dalam artian diusulkan pendanaannya.

PENDIDIKAN KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA: BAGAIMANA


MENYIKAPINYA? *

Dipublikasikan oleh syarif


Monday, 19 May 2008
Oleh : dr. Siti Nurul Muzayyanah **

halalsehat.com Remaja didefinisikan sebagai masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa
dewasa. Batasan usia remaja menurut WHO (World Health Organization, badan PBB untuk kesehatan
dunia) adalah 12 sampai 24 tahun. Hampir semua remaja dibelahan bumi manapun, sekarang berada
dalam situasi yang penuh godaan dan ujian. Perkembangan teknologi komunikasi telah menyebarkan
berbagai informasi, hiburan, dan budaya. Keadaan ini tidak mungkin dibendung hanya dengan
mengurung anak dirumah atau menyediakan berbagai fasilitas canggih di rumah. Karena kehidupan
menuntut mereka untuk tampil luwes dan lebih bergaul dengan dunia luar. Itulah yang mendorong
mereka lebih menyukai berbagai kegiatan di luar rumah seperti ke diskotik, kegiatan ekstra sekolah,
berwisata, berkemah atau sekedar jalan-jalan ke maal.

Remaja Dipersimpangan jalan


Remaja merupakan bagian fase kehidupan manusia dengan karakter khasnya yang penuh gejolak.
Perkembangan emosi yang belum stabil dan bekal hidup yang masih perlu dipupuk menjadikan remaja
lebih rentan mengalami gejolak sosial. Diakui atau tidak, fakta telah menjelaskan keteledoran orang tua
dan pendidik dalam mengarahkan dan membimbing anaknya berkontribusi meningkatkan problem-
problem sosial dan kriminal.
Dampak pergaulan bebas remaja mengantarkan pada kegiatan tuna sosial di masyarakat. Beberapa
penelitian menunjukkan, remaja putra maupun putri pernah berhubungan seksual. Di antara mereka
yang kemudian hamil pranikah mengaku taat beribadah. Penelitian di Jakarta tahun 1984 menunjukkan
57,3 persen remaja putri yang hamil pranikah mengaku taat beribadah. Penelitian di Bali tahun 1989
menyebutkan, 50 persen wanita yang datang di suatu klinik untuk mendapatkan induksi haid berusia 15-
20 tahun. Menurut Prof. Wimpie, induksi haid adalah nama lain untuk aborsi. Sebagai catatan, kejadian
aborsi di Indonesia per tahun cukup tinggi yaitu 2,3 juta per tahun. “ Dan 20 persen di antaranya remaja,”
kata Guru Besar FK Universitas Udayana, Bali ini.
Penelitian di Bandung tahun 1991 menunjukkan dari pelajar SMP, 10,53 persen pernah melakukan
ciuman bibir, 5,6 persen melakukan ciuman dalam, dan 3,86 persen pernah berhubungan seksual. Dari
aspek medis, menurut Dr. Budi Martino L., SPOG, seks bebas memiliki banyak konsekwensi misalnya,
penyakit menular seksual,(PMS), selain juga infeksi, infertilitas dan kanker. Tidak heranlah makin banyak
kasus kehamilan pranikah, pengguguran kandungan, dan penyakit kelamin maupun penyakit menular
seksual di kalangan remaja (termasuk HIV/AIDS).
Di Denpasar sendiri, menurut guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, per November
2007, 441 wanita dari 4.041 orang dengan HIV/AIDS. Dari 441 wanita penderita HIV/AIDS ini terdiri dari
pemakai narkoba suntik 33 orang, 120 pekerja seksual, 228 orang an baik. Karena keadaan wanita
penderita HIV/AIDS mengalami penurunan sistem kekebelan tubuh menyebabkan 20 kasus HIV/AIDS
menyerang anak dan bayi yang dilahirkannya.
Tindakan remaja yang seringkali tanpa kendali menyebabkan bertambah panjangnya problem sosial
yang dialaminya. Menurut WHO, di seluruh dunia, setiap tahun diperkirakan sekitar 40-60 juta ibu yang
tidak menginginkan kehamilan melakukan aborsi. Setiap tahun diperkirakan 500.000 ibu mengalami
kematian oleh kehamilan dan persalinan. Sekitar 30-50 % diantaranya meninggal akibat komplikasi
abortus yang tidak aman dan 90 % terjadi di negara berkembang termasuk Indonesia.

Analisa Penggagas Kespro, solutifkah


Menurut penggagas kespro, masa depan dunia sangat tergantung pada kondisi sehat tidaknya
organ reproduksi remaja. Kehamilan yang tidak diinginkan akan mendorong ibu untuk melakukan
tindakan pengguguran (aborsi). Data WHO, setiap tahun 15 juta remaja mengalamii kehamilan dimana
60 %-nya berupaya mengakhirinya. Tetapi ketika mengambil keputusan untuk mengakhiri kehamilan di
dalam lingkungan dimana pengguguran masih dilarang atau sukar didapat, akan mendorong mereka
melakukan unsafe abortion. Hal ini menyebabkan komplikasi akibat aborsi tidak aman berupa
perdarahan, infeksi pasca aborsi bahkan sepsis yang dapat menyebabkan kematian. Disisi lain,
pengetahuan remaja tentang resiko melakukan hubungan seksual masih sangat rendah karena
kurangnya informasi mengenahi seksualitas dan reproduksi. Keadaan ini menjadi alasan pentingnya
membentuk wadah konsultasi remaja yang akan mengarahkan remaja untuk tidak melakukan hubungan
seks atau berkata tidak kepada pasangannya, dan memberi layanan untuk pencegahan kehamilan serta
kehamilan tidak diinginkan.
Gagasan kespro ini, menurut Tini Hadad (ketua Yayasan Kesehatan Perempuan)
dilatarbelakangi oleh banyaknya angka kematian ibu dan bayi, juga banyaknya kasus-kasus pelanggaran
hak reproduksi perempuan seperti kasus perkosaan dalam perkawinan, perjodohan, larangan aborsi,
pelecehan seksual, penyiksaan, paksaan terhadap penggunaan alat-alat kontrasepsi, tidak adanya akses
mudah terhadap masalah kesehatan reproduksi, dan berbagai bentuk diskriminasi yang menomorduakan
kedudukan perempuan.
Gagasan kespro ini pertama kali dipopulerkan oleh International Conference On Population and
Development (ICPD)/ Konferensi International Kependudukan dan Pembangunan yang berlangsung 5-13
September 1994 di Kairo. Hal ini dapat dilihat dari 4 kerangka tujuan ICPD:
1. Tujuan agar setiap kegiatan seks harus bebas dari paksaan serta berdasarkan pilihan yang
dipahami dan bertanggung jawab.
2. Setiap tindakan seks harus bebas dari infeksi. Diantaranya dengan kondomisasi bagi yang aktif
secara seksual dengan lebih dari satu pasangan.
3. Setiap kehamilan dan persalinan harus diinginkan.
4. Setiap kehamilan dan persalinan harus aman.
Elemen-elemen kespro di Indonesia, menurut Departemen Kesehatan tahun 1995, adalah keluarga
berencana, kesehatan ibu dan anak, penanggulangan infeksi saluran reproduksi dan HIV/AIDS. Hanya
saja, penerapan elemen kespro ini membawa semangat ICPD yang penuh dengan nuansa kebebasan
dalam mengagungkan hak reproduksi perempuan. Misalnya, dalam elemen KB, seorang istri berhak
memutuskan kapan memakai alat kontrasepsi dan menghindari kehamilan tanpa persetujuan suami.
Seorang perempuan berhak untuk menggugurkan kehamilan hasil perselingkuhannya jika dia merasa
tidak nyaman dengan kehamilannya. Perempuan bebas melakukan kegiatan seks berdasarkan
pasangan pilihannya, baik pasangan sah atau bukan, asalkan bertanggung jawab dan paham atas
resikonya.
Definisi reproduksi menurut mereka adalah keadaan yang menunjukkan kondisi kesehatan fisik,
mental dan sosial yang dihubungkan dengan fungsi dan proses reproduksi. Sasaran program ini tentunya
bukan hanya perempuan yang menikah tetapi remaja putri juga harus memahami konsep kespro ini.
Oleh karena itu, Pendidikan seks bagi remaja menjadi program yang harus direalisasikan. Tak hanya dari
orang tua, tetapi juga pendidikan di sekolah. Pengetahuan remaja tentang seks masih sangat kurang.
Faktor ini ditambah dengan informasi keliru yang diperoleh dari sumber yang salah, seperti mitos seputar
seks, VCD porno, situs porno di internet, dan lainnya akan membuat pemahaman dan persepsi anak
tentang seks menjadi salah. Tujuan dari pendidikan seks ini adalah agar remaja menyadari bahwa
pemegang kendali utama tubuh kita adalah diri kita sendiri bukan orang tua, pacar, atau teman dari
berbagai paksaan yang menyangkut tubuh dan jiwa kita.
Pada faktanya, pelaksanaan pendidikan seks pada remaja justru memarakkan seks bebas itu
sendiri. Bagaimana tidak, program pendidikan seksual yang komprehensif tidak hanya mencakup fakta-
fakta biologis, tapi juga menyuguhkan informasi dan ketrampilan praktis kepada para pemuda mengenahi
soal berkencan, hubungan seks, dan penggunaan kontrasepsi. Di Indonesia sendiri, pemerintah
mengeluarkan kebijakan pendidikan kespro melalui penyuluhan dan seminar oleh BKKBN, buku saku
dan dirumuskan dalam kurikulum formal maupun non formal. Dari segi muatan (materi) yang
memberikan gambar dan penjelasan vulgar, provokatif (keinginan untuk mencoba), serta tidak tepat
sasaran (lebih tepat untuk pasutri). Tidak aneh, jika di Amerika sendiri, remaja belum menikah yang aktif
melakukan kegiatan seks dan menggunakan alat kontrasepsi lebih besar dari pada yang menikah.
Begitu juga dengan program kondomisasi, didasarkan pada 'niat suci' untuk memberantas
HIV/AIDS. Di Bogor Jawa Barat, misalnya, bertepatan dengan hari AIDS se-dunia pemerintah membagi-
bagikan kondom gratis. Sebanyak 282 boks kondom dibagi-bagikan secara gratis oleh Dinas Kesehatan
bekerja sama dengan Global Pants serta Dinas Kesehatan dan Kebudayaan kota Bogor kepada hotel-
hotel losmen serta wisma. Pemerintah juga mendirikan sejumlah ATM kondom yang disebar di beberapa
daerah di kota-kota besar. Namun solusi ini justru memicu permasalahan lain yang lebih besar berupa
maraknya perzinahan di kalangan remaja, prostitusi remaja, serta menjamurnya tempat hiburan dan
diskotik.

Konsep Kespro Dalam Islam


Islam adalah agama yang sempurna. Islam datang sebagai pedoman yang menyelesaikan segala
persoalan kehidupan manusia termasuk di dalamnya dengan masalah kesehatan. Terciptanya kondisi
sehat secara fisik dan jiwa sangat terkait dengan faktor lain yaitu pandangan hidupnya. Jauh sebelum
kita membicarakan apa dampak seks bebas dan bagaiaman solusinya, Islam mengajarkan konsep
filosofi hidup yang benar yaitu keyakinan kuat menempatkan Alloh sebagai pencipta dan pengatur hidup
manusia. Dia melengkapi hidup kita dengan seperangkat aturan yang terbaik yaitu islam. Inilah konsep
hidup yang benar & harus ditanamkan pada remaja.
Pergaulan bebas adalah merupakan bentuk pelanggaran terhadap aturan Alloh yang sangat memuliakan
pola hubungan dan interaksi antara laki-laki dan perempuan. Alloh menjunjung tinggi kehormatan
perempuan dengan menghalalkan organ reproduksinya hanya melalui satu pintu yaitu pernikahan.
Pernikahan bertujuan untuk melahirkan keturunan dan melestarikan jenis manusia (QS. Annisa [4]:1; QS
an-Nahl [16]: 72 dan Islam melarang perbuatan zina. Pernikahan merupakan bentuk kontrol reproduksi
perempuan bukan sebagai bentuk penjajahan atas kebebasan perempuan. Dengan menikah perempuan
akan lebih dimuliakan karena kemampuannya untuk hamil, melahirkan dan memenuhi hak pengasuhan
terhadap anak-anaknya. Inilah fitrah perempuan dan ketika menjalani sesuai fitrah ini akan
mendatangkan ketenangan hidup dan terjaga kemuliaannya. Sebaliknya, ketika manusia melakukan
pelanggaran, akan mendatangkan kemadharatan yang menghancurkan kehidupannya sendiri.
Hubungan seks di luar pernikahan menunjukkan tidak adanya rasa tanggung jawab dan
memunculkan rentetan persoalan baru yang menyebabkan gangguan fisik dan psikososial manusia.
Bahaya tindakan aborsi, menyebarnya penyakit menular seksual, rusaknya institusi pernikahan, serta
ketidakjelasan garis keturunan. Kehidupan keluarga yang diwarnai nilai sekuleristik dan kebebasan
hanya akan merusak tatanan keluarga dan melahirkan generasi yang terjauh dari sendi-sendi agama.
Islam tidak menganggap seks sebagai satu-satunya tujuan pernikahan. Namun terciptanya
keturunan merupakan aspek terpenting dalam pernikahan. Kehidupan keluarga mengajarkan seseorang
agar bertanggung jawab, mengasihi dan mencintai anggota keluarga, berbagi, dan saling
memperhatikan. Keluarga ini yang mampu melahirkan generasi bertaqwa. Cinta yang ditimbulkan antara
suami-istri akan berkembang menjadi cinta bagi keturunan yang menyebarkan rahmat bagi semesta
alam.
”Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan. Barang
siapa yang mengikuti langkah syetan, maka sesungguhnya dia (syetan) menyuruh perbuatan yang keji
dan mungkar. Kalau bukan karena karunia Alloh dan Rahmat-Nya kepadamu, niscaya tidak seorang pun
diantara kamu bersih dari perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Alloh membersihkan
siapa yang dikehendaki... (An-Nuur (24):21)
Dari paparan di atas betapa bahanyanya budaya seks bebas di kalangan remaja, tidak hanya
pada remaja itu sendiri tetapi juga pada lingkungan sosial masyarakat. Islam sebagai agama yang
paripurna telah mengatur dengan begitu mulianya pemenuhan kebutuhan seksual manusia. Oleh karena
itu sebagai orang tua atau tenaga pendidik perlu untuk mengkaji lebih lanjut cara yang benar dalam Islam
dalam memberikan pendidikan seks kepada remaja, termasuk juga mengenalkan kesehatan reproduksi
yang bijak dan benar sehingga siap menjadi orangtua yang mendidik generasi unggulan. Bukankah
demikian.........

* Disampaikan pada Seminar Regional ”Peran Pendidik Dalam Memahamkan Remaja tentang
Kesehatan Reproduksi” oleh Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia DPD II Malang, di Aula Dinas
Kesehatan Kabupaten Malang. (Makalah tersedia di www.halalsehat.com )
** Pemateri adalah pengelola www.halalsehat.com situs Kehalalan Produk dan Kesehatan, serta
pengasuh Bunga (Bincang untuk Keluarga, Kesehatan Ibu dan Anak) Mitra 97 FM Batu, setiap hari
Kamis jam 09.00 WIB.

Kesehatan Reproduksi Remaja


01.15.2008 by Public Relation in Remaja Dan Kesehatan
Manakala tubuh juga mengalami transisi, maka pada masa seperti ini, remaja sangat perlu untuk
benar-benar memperhatikan kondisi tubuh terutama organ reproduksi yang banyak berkembang
dalam fase ini.
Anak-anak perempuan yang dulu hanya peduli untuk membersihkan organ kewanitaannya begitu
saja tanpa ada permasalahan yang lain, pada masa remaja dan pubertas, organ kewanitaan anak
gadis mulai mengalami perubahan.
Tumbuhnya rambut-rambut halus disekitar organ intim juga perlu diperhatikan sehingga
kebersihanpun tetap terjaga, terutama setelah buang air kecil maupun buang air besar. Cara
mencuci pun harus perlu diperhatikan dimana arah yang sesuai (menjauhi arah kemaluan) lebih
disarankan agar bakteri dan kotoran tidak kembali bersarang.
Organ kewanitaan memang patut benar-benar dijaga kebersihannya terutama bagi yang tinggal di
negara tropis semcam Indonesia. Produksi keringat membuat daerah tersebut lembab dan
merupakan kondisi yang tepat untuk tumbuhnya jamur. Selain itu darah haid dan perubahan
hormon juga dapat merubah ekosistem organ kewanitaan.
Bekal pengetahuan seperti ini sangat mendasar dan penting yang nantinya akan sangat
berpengaruh pada perkembangan organ kewanitaan pada remaja putri.
Kebersihan organ reproduksi juga harus diperhatikan oleh remaja pria. Beberapa remaja pria
tidak harus mengalami pemotongan kulit pembungkus penis pada masa kanak-kanak yang sering
dikenal dengan sunatan, nah remaja pria yang memiliki organ intim seperti ini harus tetap rajin
membersihan organ intimnya dengan membersihkan daerah di dalam lipatan kulit tersebut,
karena apabila bagian di dalam lipatan kulit tidak dibersihkan, potensi untuk tumbuhnya jamur
dan hidupnya bakteri-bakteri lain akan sangat besar.
Seringkali karena terburu-buru, para remaja pria juga tidak memperhatikan keadaan sekitar saat
mereka beraktivitas. Padahal apabila salah sedikit saja dan organ intim mereka terantuk, terjepit
resleting ataupun terkena benda lain dengan cukup keras, organ intim tersebut dapat mengalami
cedera, pembengkakan yang akan dapat berakibat fatal dikemudian hari bahkan sampai disfungsi
ereksi.
Ada banyak hal yang harus diperhatikan oleh para remaja pria dan wanita akan kesehatan
reproduksi mereka. Ketidak tahuan dan kesembronoan dapat berakibat buruk bagi mereka di
kemudian hari. Penyakit reproduksi tentu dapat terjangkit secara tidak sengaja hanya karena
keteledoran untuk menjaga kesehatan dan kebersihannya.
Hal-hal kecil nampaknya, namun besar akibatnya. Bukan hal yang mendesak tapi ini hal yang
penting, mari kita cari tahu lebuh lanjut!
Pengertian kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan kesehatan yang sempurna baik secara
fisik, mental, dan sosial dan bukan semata-mata terbebas dari penyakit atau kecacatan dalam
segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya.
Pengertian kesehatan reproduksi ini mencakup tentang hal-hal sebagai berikut: 1) Hak
seseorang untuk dapat memperoleh kehidupan seksual yang aman dan memuaskan serta
mempunyai kapasitas untuk bereproduksi; 2) Kebebasan untuk memutuskan bilamana atau
seberapa banyak melakukannya; 3) Hak dari laki-laki dan perempuan untuk memperoleh
informasi serta memperoleh aksebilitas yang aman, efektif, terjangkau baik secara ekonomi
maupun kultural; 4) Hak untuk mendapatkan tingkat pelayanan kesehatan yang memadai
sehingga perempuan mempunyai kesempatan untuk menjalani proses kehamilan secara aman.
Secara garis besar dapat dikelompokkan empat golongan faktor yang dapat berdampak buruk
bagi kesehatan reproduksi yaitu :
1. Faktor sosial-ekonomi dan demografi (terutama kemiskinan, tingkat pendidikan yang
rendah, dan ketidaktahuan tentang perkembangan seksual dan proses reproduksi, serta
lokasi tempat tinggal yang terpencil).
2. Faktor budaya dan lingkungan (misalnya, praktek tradisional yang berdampak buruk pada
kesehatan reproduksi, kepercayaan banyak anak banyak rejeki, informasi tentang fungsi
reproduksi yang membingungkan anak dan remaja karena saling berlawanan satu dengan
yang lain, dsb).
3. Faktor psikologis (dampak pada keretakan orang tua pada remaja, depresi karena
ketidakseimbangan hormonal, rasa tidak berharga wanita pada pria yang membeli
kebebasannya secara materi, dsb).
4. Faktor biologis (cacat sejak lahir, cacat pada saluran reproduksi pasca penyakit menular
seksual, dsb).
5. TAHUN 2010, VISI MISI PROGRAM KB
DI REVITALISASI
6. Posted: Maret 7, 2010 by mardiya in Berita
7. 2
8. Di tahun 2010 yang merupakan tahun pertama dalam Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, BKKBN sebagai institusi yang
memiliki tugas dan tanggung jawab menyukseskan program KB di Indonesia, telah
merevitalisasi visi dan misinya dalam rangka lebih mendukung pencapaian hasil yang
optimal pasca terbitnya UU No 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Visi dan misi BKKBN sekarang ini
adalah “Penduduk Seimbang 2015” dan “Mewujudkan Pembangunan yang
Berwawasan Kependudukan dan Mewujudkan Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera”
yang merupakan hasil revitalisasi visi misi sebelumnya yakni “Seluruh Keluarga Ikut
KB” dengan “Mewujudkan Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera”. Adapun tujuan yang
ingin dicapai dengan visi misi baru tersebut: Pertama, mewujudkan keserasian,
keselarasan dan keseimbangan kebijakan kependudukan guna mendorong
terlaksananya pembangunan nasional dan daerah yang berwawasan kependudukan.
Kedua, mewujudkan penduduk tumbuh seimbang melalui pelembagaan keluarga
kecil bahagia sejahtera.
Demikian dikatakan oleh Kasubid Advokasi Konseling dan Pembinaan Kelembagaan
Keluarga Berecana dan Kesehatan Reproduksi, Drs. Mardiya, pada pertemuan Pembinaan
Lengkap (Binkap) Penyuluh KB yang dihadiri Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat
Pemerintahan Desa Perempuan dan Keluarga Berencana Kabupaten Kulonprogo
Drs.Krissutanto, Kabid KB Drs. HM Dawam, Kabid KS Drs. harminto, MM dan para
Kasubid di Ruang Rapat BPMPDP dan KB Watulunyu – Wates, Sabtu (6/3). Dalam
penjelasan selanjutnya, Mardiya mengatakan bahwa dengan adanya visi misi yang telah
direvitalisasi maka sasaran strategisnya menjadi berubah yang tentunya ke arah yang
lebih intensif dan berkualitas. Bila dalam RPJMN 2005-2009 Total Fertility Rate (TFR)
dipatok 2,2 dengan Laju Pertumbuhan Penduduk 1,14 persen maka dalam RPJMN 2010-
2014 TFR diarahkan pada terkendalinya jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP)
yang ditandai dengan TFR 2,1 dan Net Reproduction Rate (NRR) = 1. Kondisi tersebut
merupakan pencerminan dari pertumbuhan penduduk seimbang di mana LPP ada
keseimbangan dan keserasian dengan pertumbuhan ekonomi, pembangunan sosial dan
sebagainya.
Menurut Mardiya, sasaran strategis lain dilevel nasional adalah meningkatnya
Contraseptive Prevalence Rate (CPR) cara modern dari 57,4 persen menjadi 65,0 persen
dan menurunnya kebutuhan ber KB tidak terlayani/unmet need dari Pasangan Usia Subur
(PUS) dari 9,1 persen menjadi 5,0 persen. Selain itu, menurunnya Age Spesific Fertility
Rate (ASFR) 15-19 tahun dari 35 menjadi 30 per 1000 perempuan, meningkatnya median
usia kawin pertama perempuan dari 19,8 menjadi 21 tahun, menurunnya kehamilan tidak
diinginkan dari 19,7 persen menjadi 15 persen, meningkatnya Peserta KB Baru (PB) pria
dari 3,6 persen menjadi 5 persen, juga meningkatnya kesertaan ber-KB PUS Keluarga Pra
Sejahtera dan KS I anggota kelompok usaha ekonomi produktif dari 85,7 persen menjadi
87 persen dan Bina Keluarga menjadi 70 persen. Sasaran strategis lainnya adalah
meningkatnya partisipasi keluarga mempunyai anak dan remaja dalam Bina Keluarga
Balita (BKB) dan Bina Keluarga Keluarga Remaja (BKR), menurunnya disparitas TFR,
CPR dan unmet need antar wilayah dan antar sosial ekonomi (tingkat pendidikan dan
ekonomi), meningkatnya keserasian kebijakan pengendalian penduduk dengan
pembangunan lainnya, terbentuknya Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
Daerah (BKKBD) di 435 Kabupaten/Kota serta meningkatnya jumlah Klinik KB yang
memberikan pelayanan KB sesuai SOP (informed consent) dari 20 persen menjadi
sebesar 85 persen.
“Dengan adanya visi misi baru BKKBN Pusat tersebut sudah barang tentu Satua Kerja
Perangkat Daerah (SKPD) yang mengampu program KB di Kabupaten/Kota harus ikut
menyesuaikan, terutama yang berkaitan dengan tiga fokus prioritas pembangunan
kependudukan dan KB yakni revitalisasi program KB, penyerasian kebijkan
kependudukan dan peningkatan penyediaan dan kualitas data dan informasi
kependudukan,” kataya.
9. Sumber berita: Drs. Mardiya
Kasubid Advokasi Konseling dan Pembinaan Kelembagaan Keluarga Berencana dan
Kesehatan Reproduksi, Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemerintahan Desa Perempuan
dan Keluarga Berencana Kabupaten Kulonprogo. HP. 081328819945

You might also like