You are on page 1of 16

Kebatilan yang Tersamarkan

PENCURIAN

‫ِين َءا َم ُنوا اَل َتأْ ُكلُوا أَ ْم َوالَ ُك ْم َب ْي َن ُك ْم ِب ْالبَاطِ ِل‬


َ ‫َياأَ ُّي َها الَّذ‬
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
batil.” (An-Nisa’: 29)

Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat


‫الَ َتأْ ُكلُوا‬

“Jangan kalian memakan.”


Yang dimaksud ‘makan’ di sini adalah segala bentuk tindakan, baik mengambil atau menguasai. (Tafsir
Al-Alusi)
Ibnul Arabi rahimahullahu menjelaskan: “Maknanya, janganlah kalian mengambil dan janganlah kalian
menempuh caranya.” (Ahkam Al-Qur’an, 1/97)

َ َ‫أ‬
‫مْوالَ ُك ْم‬
“Harta-harta kalian”, meliputi seluruh jenis harta, semuanya termasuk kecuali bila ada dalil syar’i yang
menunjukkan kebolehannya. Maka segala perkara yang tidak dibolehkan mengambilnya dalam syariat
berarti harta tersebut dimakan dengan cara yang batil. (Fathul Qadir)

‫ِب ْالبَاطِ ِل‬


“Dengan cara yang batil.”
Yaitu segala perkara yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Termasuk di dalamnya hasil riba,
pencurian, perjudian, dan lain sebagainya. Al-Jashshash rahimahullahu mengatakan: “Memiliki harta
dengan cara terlarang.” (Ahkamul Qur’an, 4/300)

Penjelasan Makna Ayat


Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang hamba-hamba-Nya kaum mukminin untuk memakan harta
sebagian mereka terhadap sebagian lainnya dengan cara yang batil. Yaitu dengan segala jenis
penghasilan yang tidak syar’i, seperti berbagai jenis transaksi riba, judi, mencuri, dan lainnya, yang
berupa berbagai jenis tindakan penipuan dan kezaliman. Bahkan termasuk pula orang yang memakan
hartanya sendiri dengan penuh kesombongan dan kecongkakan. (Tafsir Ibnu Katsir, Taisir Al-Karim Ar-
Rahman)
Ibnu Jarir rahimahullahu mengatakan: “Ayat ini mencakup seluruh umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Maknanya adalah: ‘Janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain tanpa hak.’
Termasuk dalam hal ini adalah perjudian, penipuan, menguasai (milik orang lain), mengingkari hak-hak
(orang lain), apa-apa yang pemiliknya tidak ridha, atau yang diharamkan oleh syariat meskipun
pemiliknya ridha.” (Tafsir Ath-Thabari dalam menjelaskan surah Al-Baqarah ayat 188)
Dari penjelasan para ulama tentang hal ini, kita bisa memberi kesimpulan bahwa memakan harta
dengan cara yang batil terbagi menjadi dua bagian:
Pertama: mengambilnya dengan cara zalim seperti mencuri, khianat, suap, dan yang lainnya.
Kedua: apa yang diharamkan oleh syariat meskipun pemilik harta itu ridha. (Ahkamul Qur'an, Al-
Jashshash 1/312)
Selain dalam surah An-Nisa ayat 29, ayat-ayat yang menyebutkan haramnya memakan harta manusia
dengan cara batil juga terdapat pada surah Al-Baqarah ayat 188, An-Nisa ayat 161, dan At-Taubah ayat
34.

Beberapa bentuk memakan harta dengan cara batil


Banyak cara manusia dalam memperoleh harta, namun tidak semua cara tersebut dihalalkan di dalam
Islam. “Tujuan menghalalkan segala cara” bukanlah termasuk kaidah di dalam Islam. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
َ ‫ أَ َخ َذ ْال َحاَل َل َو َت َر‬:‫ب‬
‫ك ْال َح َرا َم‬ َّ ‫َفأَجْ مِلُوا فِي‬
ِ َ‫الطل‬
“Perbaikilah dalam mencari rezeki, dengan mengambil yang halal dan meninggalkan yang haram.” (HR.
Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al-Baihaqi dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu. Lihat Silsilah Ash-Shahihah,
Al-Albani, 6/2607)
Memakan harta manusia dengan cara yang batil memiliki banyak bentuk. Namun di sini akan kami
sebutkan beberapa contoh yang mungkin sering terjadi di kalangan manusia. Di antaranya adalah:

a. Memakan hasil riba


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ِ ‫ َوأَ ْخ ِذ ِه ُم الرِّ َبا َو َق ْد ُنهُوا َع ْن ُه َوأَ ْكل ِِه ْم أَ ْم َوا َل ال َّن‬.‫هللا َكثِيرً ا‬
‫اس ِب ْالبَاطِ ِل‬ ِ ‫يل‬ ْ َّ‫ت أ ُ ِحل‬
َ ‫ت لَ ُه ْم َو ِب‬
ِ ‫ص ِّد ِه ْم َعنْ َس ِب‬ ُ ‫َف ِب‬
َ ‫ظ ْل ٍم م َِن الَّذ‬
ٍ ‫ِين َهادُوا َحرَّ مْ َنا َعلَي ِْه ْم َط ِّي َبا‬
َ َ ْ
‫ين ِمن ُه ْم َعذابًا ألِيمًا‬ ْ
َ ‫َوأعْ َت ْد َنا لِل َكاف ِِر‬َ
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan)
yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi
(manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah
dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah
menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (An-Nisa’: 160-161)
Al-’Aini rahimahullahu menjelaskan: “Bahwa pelaku riba tidak ridha dengan apa yang telah menjadi
pembagian Allah Subhanahu wa Ta’ala dari (perkara) yang halal dan tidak merasa cukup dengan apa
yang disyariatkan berupa penghasilan yang dibolehkan. Alhasil, dia menempuh cara batil memakan
harta manusia dengan berbagai usaha yang buruk. Artinya, dia mengingkari apa yang telah Allah
Subhanahu wa Ta’ala berikan kepadanya berupa kenikmatan. Dia berbuat zalim serta berdosa karena
memakan harta manusia dengan cara yang batil.” (‘Umdatul Qari, Al-Aini, 8/269)
Segala yang terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan riba tersebut, termasuk yang
menanamkan modal ke dalamnya, serta menghasilkan keuntungan, tergolong dalam memakan harta
dengan cara batil.
Al-Lajnah Ad-Da’imah ditanya: “Apakah orang-orang yang ikut serta menanamkan modal ke bank
manapun yang bermuamalah dengan cara demikian (riba), keuntungannya termasuk riba?”
Mereka menjawab: “Iya. Setiap yang ikut serta menanam modal pada bank yang bermuamalah dengan
cara riba, maka keuntungannya termasuk riba, dan (ini artinya) memakan harta manusia dengan cara
yang batil.” (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah, 2256)

b. Mengambil harta dengan cara menipu


Al-Lajnah Ad-Da’imah ditanya: “Acap terjadi dalam usaha bengkel mobil. Jika salah seorang dari mereka
ingin memperbaiki mobil konsumen di mana mobil ini membutuhkan pergantian suku cadang, maka
mekanik ini membeli suku cadang tersebut dan meminta penjual suku cadang menuliskan dalam nota
jumlah yang melebihi harga sebenarnya. Sehingga dia mengambil kelebihan tersebut secara menyeluruh
dari pemilik mobil. Apakah hukum syar’i terhadap perbuatan ini?”
Mereka menjawab: “Wajib atas setiap muslim untuk berbuat jujur dalam setiap muamalah. Tidak
diperbolehkan baginya berdusta dan mengambil harta manusia tanpa hak. Termasuk di antaranya
adalah siapa yang diberi kuasa/mewakili saudaranya untuk membeli sesuatu, tidak boleh baginya
mengambil tambahan harga dari apa yang telah dibelinya. Sebagaimana tidak boleh pula yang menjual
barang kepadanya menulis di nota harga yang bukan sebenarnya, untuk menipu orang yang memberi
kuasa, sehingga dia membayar melebihi harga sebenarnya dan diambil oleh yang diwakilkan. Sebab ini
termasuk tolong-menolong di atas dosa dan permusuhan, serta memakan harta manusia dengan cara
batil. Tidak halal harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan dari dirinya. Wabillahit taufiq. Shalawat
dan salam atas Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz
Wakil Ketua: Abdurrazzaq Afifi
Anggota: Abdullah bin Ghudayyan, Shalih Al-Fauzan, Abdul Aziz Alusy Syaikh
(Fatawa Al-Lajnah, 14/275-276, no. 15376)

c. Memungut pajak
Diterapkannya perpajakan di sekian banyak negara, termasuk pula negeri-negeri kaum muslimin,
merupakan bentuk mengambil harta manusia dengan cara yang batil dan zalim. Sebab tidak
diperbolehkan mewajibkan sesuatu atas manusia, baik muslim maupun kafir pada harta mereka, kecuali
apa yang telah diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Asy-Syaukani rahimahullahu mengatakan: “Kesimpulannya bahwa hukum asal harta manusia, baik
muslim maupun kafir adalah haram (untuk diambil).” –Beliau lalu menyebutkan ayat di atas– kemudian
berkata: “Maka harus ada dalil yang menunjukkan dihalalkannya sesuatu yang dituntut tersebut.”
(Dinukil oleh Shiddiq Hasan Khan dalam Ar-Raudhah An-Nadiyyah, 1/278-280)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengancam para pemungut pajak dalam beberapa
haditsnya. Di antaranya adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
‫ار‬ ِ ‫ِب ْالـ َم ْك‬
ِ ‫س فِي ال َّن‬ َ ‫صاح‬ َ َّ‫إِن‬
“Sesungguhnya pemungut pajak dalam neraka.” (HR. Ahmad, 4/109, Ath-Thabarani, 5/29, dari hadits
Ruwaifi’ bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu. Lihat Ash-Shahihah, Al-Albani, 7/3405)
Dalam riwayat lain dari hadits ‘Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu secara marfu’:
‫س‬ ٍ ‫صاحِبُ َم ْك‬َ ‫اَل َي ْد ُخ ُل ْال َج َّن َة‬
“Tidak masuk surga pemungut pajak.” (HR. Ibnu Khuzaimah no. 2333, Ad-Darimi no. 1666, dengan sanad
hasan lighairihi)
Adapun makna ‘al-maks’, dijelaskan Ibnul Atsir rahimahullahu: “Al-Maks adalah pajak yang diambil oleh
pemungutnya dari para pedagang.” (An-Nihayah, 4/349. Lihat pula yang semakna dalam Lisanul ‘Arab,
13/160)
Dalam Al-Qamus disebutkan: “ ‫س‬-‫ك‬-‫ م‬jika dia mengambil harta, dan maks; mengurangi dan menzalimi
beberapa dirham yang diambil dari penjual barang di pasar pada masa jahiliah.”
Dalam Al-Mu’jam Al-Wasith: “Al-Maks adalah pajak yang diambil oleh pemungutnya dari para pedagang
yang masuk ke dalam negeri.” (semacam pajak impor, red.)
Al-Maks ini juga kadang diistilahkan dengan ‘dharibah’ atau ‘jamrak.’
Di antara yang menunjukkan bahwa perpajakan merupakan dosa yang sangat besar adalah hadits yang
diriwayatkan Al-Imam Muslim rahimahullahu dari Buraidah bin Al-Hushaib radhiyallahu ‘anhu, tentang
kisah Ma’iz bin Malik Al-Aslami dan kisah wanita Al-Ghamidiyyah yang telah berbuat zina dan bertaubat,
lalu datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata:
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah berzina maka sucikanlah aku.” Maka beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam menolaknya. Lalu ia datang keesokan harinya dan berkata: “Wahai Rasulullah, mengapa
engkau menolakku? Jangan sampai engkau menolakku sebagaimana engkau menolak Ma’iz. Demi Allah,
sesungguhnya aku dalam keadaan hamil.” Maka beliau menjawab: “Tidak. Pergilah engkau sampai
engkau melahirkan anakmu.” Ketika telah melahirkan, wanita ini pun datang membawa bayinya pada
bungkusan kain, lalu berkata: “Ini anaknya. Aku telah melahirkannya.” Maka Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata: “Pergilah dan susuilah dia hingga dia disapih.” Tatkala dia telah menyapihnya
maka dia pun datang membawa anak tersebut dan di tangannya ada sepotong roti. Lalu berkata: “Ini
wahai Nabi Allah, aku telah menyapihnya. Dia telah memakan makanan.” Maka anak tersebut
diserahkan kepada seorang lelaki dari kaum muslimin. Lalu beliau memerintahkan (wanita tersebut)
untuk ditanam hingga ke dadanya, dan memerintahkan manusia untuk merajamnya. Maka mereka pun
merajam wanita tersebut. Datanglah Khalid bin Al-Walid radhiyallahu ‘anhu dengan membawa batu lalu
melempar kepalanya hingga darahnya memercik ke wajah Khalid, spontan dia mencacinya. Mendengar
cacian tersebut, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda:
“Perlahan wahai Khalid. Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya. Sungguh dia telah bertaubat
dengan taubat yang kalau sekiranya taubat itu ada pada pemungut pajak, maka dia pasti diampuni.” Lalu
beliau memerintahkan untuk menyalatinya dan dikuburkan. (HR. Muslim no. 1695)
An-Nawawi rahimahullahu menerangkan ketika menjelaskan hadits ini: “Hadits ini menunjukkan bahwa
memungut pajak merupakan kemaksiatan yang paling jelek dan dosa yang membinasakan. Karena hal
tersebut akan menyebabkan banyaknya tuntutan manusia kepada dirinya, perbuatan zalimnya dan
berulangnya hal tersebut, merusak kehormatan manusia, serta mengambil harta mereka dengan tanpa
hak dan mengarahkannya bukan pada tempatnya.” (Syarah Shahih Muslim, An-Nawawi, 11/203)
Al-Lajnah Ad-Da’imah ditanya tentang hukum perpajakan, maka mereka menjawab:
“Memungut biaya/pajak terhadap barang-barang ekspor maupun impor termasuk mukus, dan mukus
adalah haram. Seseorang bekerja (pada instansi yang bertugas demikian) adalah haram, meskipun pajak
yang dihimpun nantinya digunakan pemerintah untuk membiayai berbagai proyek, seperti membangun
sarana/prasarana negara. Berdasarkan larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memungut
pajak dan sikap tegas beliau terhadapnya….”
Lalu mereka menyebutkan kedua hadits di atas dan melanjutkan:
“Adz-Dzahabi rahimahullahu menegaskan dalam kitabnya Al-Kaba’ir: ‘Pemungut pajak termasuk dalam
keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
َ ‫ض ِب َغي ِْر ْال َح ِّق أُولَ ِئ‬
‫ك لَ ُه ْم َع َذابٌ أَلِي ٌم‬ ِ ْ‫ون فِي اأْل َر‬ َ ‫ِين َي ْظلِم‬
َ ‫ُون ال َّن‬
َ ‫اس َو َي ْب ُغ‬ َ ‫إِ َّن َما الس َِّبي ُل َعلَى الَّذ‬
“Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di
muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih.” (Asy-Syura: 42)
Pemungut pajak termasuk pembantu terbesar orang-orang zalim, bahkan mereka sendiri termasuk
orang-orang yang zalim. Karena dia mengambil apa yang bukan haknya dan memberi kepada yang
bukan haknya. Beliau (Adz-Dzahabi) juga berdalil dengan hadits Buraidah dan hadits ‘Uqbah radhiyallahu
‘anhuma yang telah disebutkan. Beliau lalu berkata: ‘Pemungut pajak menyerupai penyamun jalanan
dan termasuk dalam kategori pencurian. Yang mengambil pajak, penulisnya, saksinya, yang
mengambilnya dari kalangan staf maupun atasan semuanya ikut serta dalam dosa, memakan harta yang
haram.” Selesai ucapan Adz-Dzahabi rahimahullahu.
Hal itu termasuk memakan harta manusia dengan cara yang batil. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
‫َواَل َتأْ ُكلُوا أَ ْم َوالَ ُك ْم َب ْي َن ُك ْم ِب ْالبَاطِ ِل‬
“Dan jangan kalian memakan harta di antara kalian dengan cara yang batil.” (Al-Baqarah: 188)
Juga berdasarkan (hadits) yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda
dalam khutbahnya di Mina pada hari ‘ied pada hajjatul wada’: “Sesungguhnya darah-darah kalian, harta-
harta kalian, dan kehormatan kalian adalah haram atas kalian seperti haramnya negeri kalian ini, pada
bulan kalian ini.”
Maka seorang muslim hendaklah bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan meninggalkan
sumber penghasilan yang haram serta menempuh cara mendapatkan penghasilan yang halal, dan itu
banyak, walhamdulillah. Barangsiapa yang merasa cukup, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan
mencukupinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
‫هللا َفه َُو َحسْ ُب ُه‬ ُ ‫ َو َيرْ ُز ْق ُه مِنْ َحي‬.‫هللا َيجْ َع ْل لَ ُه َم ْخ َرجً ا‬
ِ ‫ْث اَل َيحْ َتسِ بُ َو َمنْ َي َت َو َّك ْل َعلَى‬ َ ‫َو َمنْ َي َّت ِق‬
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan
memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada
Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya.” (Ath-Thalaq: 2-3)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
‫َو َمنْ َي َّت ِق هللاَ َيجْ َع ْل لَ ُه مِنْ أَ ْم ِر ِه يُسْ رً ا‬
“Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam
urusannya.” (Ath-Thalaq: 4)
Wabillahit taufiq. Shalawat dan salam Allah Subhanahu wa Ta’ala semoga selalu terlimpah kepada Nabi
kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz
Wakil: Abdurrazzaq Afifi
Anggota: Abdullah bin Ghudayyan
(Fatawa Al-Lajnah, 23/489-492)
Wallahu a’lam.
Hukum Islam Kepada Pencuri (koruptor, perampok,
penjambret dkk)
Posted on Mei 11, 2009 by Kajian Islam Assunnah

Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah memotong tangan orang yang mencuri sebuah
perisai yang harganya 3 dirham. (1) Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga pernah
menetapkan bahwa tangan pencuri tidak boleh dipotong kalau hasil curiannya kurang dari ¼
dinar. (HR. Al-Bukhari (12/89), Muslim (1684), Malik (2/832), At-Tirmidzi (1445) dan Abu
Daud (4383) dari hadits Aisyah -radhiallahu anha-.) Telah shahih dari beliau bahwa beliau
bersabda, “Potonglah tangan pada pencurian senilai ¼ dinar, dan jangan kalian memotong kalau
nilainya di bawah dari itu.” Disebutkan oleh Imam Ahmad -rahimahullah-. (HR. Ahmad (6/80)
dari hadits Aisyah -radhiallahu anha- dengan sanad yang kuat) Aisyah -radhiallahu anha-
berkata, “Tidak pernah ada pemotongan tangan pencuri di zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam pada curian yang nilainya kurang dari harga perisai, tameng dan setiap dari benda ini
mempunyai nilai.” (HR. Al-Bukhari (12/89), Muslim (1684) dan Malik dalam Al-Muwaththa`
(2/832)) Telah shahih dari beliau bahwa beliau bersabda, “Allah melaknat pencuri yang mencuri
seutas tali lalu tangannya dipotong, dan yang mencuri sebutir telur lalu tangannya dipotong.”
(HR. Al-Bukhari (12/94), Muslim (1687) dan An-Nasa`i (8/65)) Ada yang mengatakan: Yang
dimaksud di sini adalah tali tambang kapal sedangkan telur maksudnya adalah besi. Ada yang
mengatakan: Bahkan yang dimaksud adalah semua tali dan telur. Ada yang mengatakan: Ini
adalah pengabaran terhadap sebuah kenyataan yang pernah terjadi, maksudnya: Dia mencuri
barang itu lalu mengakibatkan tangannya dipotong karena pencurian kecil itu mengantarkannya
untuk mencuri barang yang lebih besar nilainya daripada itu. Al-A’masy berkata, “Mereka (para
tabi’in) menganggap yang dimaksud di situ adalah besi putih sedangkan tali adalah tali yang
setara harganya dengan beberapa dirham.” Beliau menghukumi seorang perempuan yang pernah
meminjam perhiasan lalu dia tidak mengakuinya, dengan memotong tangannya. (2) Ahmad
-rahimahullah- berpendapat dengan hukum ini (3) dan tidak ada dalil yang bertentangan
dengannya. Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menghukumi menggugurkan hukum potong
tangan dari al-muntahib (mencuri dari harta ghanimah), al-mukhtalis (perampas), dan al-kha`in
(4), dan yang dimaksud dengan al-kha`in adalah yang mengkhianati barang yang dia pinjam.
Adapun orang yang tidak mengakui barang yang dia pinjam, maka dia termasuk ke dalam
golongan pencuri menurut syariat, karena tatkala para sahabat berbicara kepada Nabi r mengenai
seorang perempuan yang meminjam perhiasan lalu dia mengingkarinya maka beliau memotong
tangannya, dan beliau bersabda, “Demi Yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Fathimah
bintu Muhammad mencuri niscaya saya akan memotong tangannya.” (5) Maka beliau
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menggolongkan orang yang tidak mengakui barang pinjaman ke
dalam nama pencuri, sebagaimana beliau memasukkan semua jenis makanan yang memabukkan
ke dalam nama khamar, maka cermatilah hal ini. Ini adalah pengenalan kepada umat mengenai
apa yang Allah inginkan dari firman-Nya. Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menggugurkan
hukum potong tangan dari pencuri buah-buahan dan katsar. Beliau menetapkan bahwa siapa saja
yang memakan darinya dengan mulutnya (yakni: Memakannya di atas pohon dan tidak
memetiknya dari tangkainya, pent.) karena dia membutuhkannya maka tidak ada hukuman
atasnya, dan barangsiapa yang keluar dengan membawanya maka dia wajib mengganti nilainya
dua kali lipat dan mendapatkan hukuman. Barangsiapa yang mencuri sesuatu darinya dari dalam
jarinnya maka tangannya wajib dipotong kalau nilai curiannya setara dengan nilai perisai (6).
Inilah keputusan tetap beliau dan hukum beliau yang adil. Beliau menetapkan tentang kambing
yang dicuri dari tempat pengembalaannya, harus diganti dengan harganya dua kali lipat dan
pencurinya dipukul sebagai pelajaran. Adapun yang dicuri dari kandangnya, maka tangan
pencurinya dipotong kalau nilainya setara dengan harga perisai. (HR. Ahmad (2/180), An-Nasa`i
(8/86) dan Ibnu Majah (2596) dari hadits Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya, dan
sanadnya hasan) Beliau telah menetapkan memotong tangan pencuri selendang Shafwan bin
Umayyah ketika dia sedang tertidur di masjid, lalu Shafwan berniat memberikan selendang itu
kepadanya atau menjualnya kepadanya, maka beliau bersabda, “Kenapa kamu tidak
melakukannya sebelum kamu membawa dia kepadaku?” (HR. Abu Daud (4394) dan An-Nasa`i
(8/68, 69, 70) dengan sanad yang shahih) Beliau memotong tangan pencuri yang mencuri perisai
dari shaf perempuan di masjid. (HR. Ahmad (2/145), Abu Daud (4386) dan An-Nasa`i dari
hadits Ibnu Umar, dan sanadnya shahih) Beliau mencegah pemotongan seorang budak yang
termasuk dari budak-budak al-khumus, yang dia mencuri dari al-khumus (7),dan beliau bersabda,
“Itu adalah harta Allah yang saling mencuri antara satu sama lain.” HR. Ibnu Majah (8). Pernah
didatangkan kepada beliau seorang pencuri lalu pencuri itu mengaku akan tetapi tidak ditemukan
padanya barang curian, maka beliau bersabda, “Apa yang membuat dia mengira bahwa dirinya
mencuri?” dia menjawab, “Betul saya mencuri.” Lalu beliau mengulangi ucapannya sebanyak
dua atau tiga kali lalu beliau memerintahkan agar tangannya dipotong. (9) Ada pencuri lain yang
pernah dibawa kepada beliau lalu beliau bersabda, “Apa yang membuat dia mengira bahwa
dirinya mencuri?” dia menjawab, “Betul saya mencuri.” Maka beliau bersabda, “Bawalah dia
lalu potonglah tangannya kemudian obatilah dia sampai darahnya berhenti mengalir kemudian
bawalah dia kembali kepadaku.” Maka tangannya dipotong kemudian dia didatangkan lagi
kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam lalu beliau bersabda, “Bertaubatlah kamu kepada
Allah,” maka dia berkata, “Saya bertaubat kepada Allah,” lalu beliau bersabda, “Allah telah
menerima taubatmu.” (10) Dalam riwayat At-Tirmidzi beliau bahwa beliau pernah memotong
tangan seorang pencuri dan menggantungkan tangannya di atas tengkuknya. Dia (At-Tirmidzi)
berkata, “Ini adalah hadits yang hasan.” (11) Fasal Hukum beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
kepada orang yang menuduh orang lain mencuri Abu Daud meriwayatkan dari Azhar bin
Abdillah bahwa ada sebuah kaum yang kecurian barang lalu mereka menuduh sekelompok orang
dari Al-Hakah yang telah mencurinya. Mereka kemudian mendatangi An-Nu’man bin Basyir
sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam , maka dia memenjarakan mereka selama
beberapa malam lalu setelah itu melepaskan mereka. Melihat hal itu, mereka lalu mendatanginya
dan berkata, “Engkau melepaskan mereka tanpa ada pukulan dan ujian?” dia berkata, “Apa yang
kalian inginkan: Jika kalian mau saya memukulnya, maka saya akan memukulnya kalau barang
kalian ditemukan pada mereka, tapi jika tidak maka saya akan memukul pungung-punggung
kalian sebagaimana saya memukul punggung-punggung mereka.” Maka mereka berkata, “Apa
ini hukummu?” dia menjawab, “Ini adalah hukum Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Abu Daud (4382)
dalam Al-Hudud: Bab Menguji dengan pukulan dan An-Nasa`i (8/66) dalam As-Sariq: Bab
Menguji pencuri dengan pukulan, dan sanadnya kuat) Fasal Hukum-hukum ini mengandung
beberapa perkara: Pertama: Tidak boleh memotong tangan pencuri kalau nilai barang curiannya
lebih kecil dari 3 dirham atau ¼ dinar. Kedua: Bolehnya melaknat para pelaku dosa-dosa besar
secara umum, bukan per individu. Sebagaimana beliau r telah melaknat pencuri, melaknat
pemakan riba dan yang memberi makan dengannya, melaknat peminum khamar dan yang
memerasnya, serta melaknat orang yang melakukan amalan kaum Luth (12). Beliau melarang
dari melaknat Abdullah Himar yang baru saja habis meminum khamar. (Hadits shahih, dan
takhrijnya telah berlalu pada halaman 43 (kitab asli)) Tidak ada kontradiksi antara kedua perkara
ini, karena sifat yang laknat tertuju padanya mengharuskan hal tesebut. Adapun per individu
maka bisa jadi ada perkara-perkara yang menghalangi sampainya laknat ini kepadanya, misalnya
dia mempunyai kebaikan yang menghapuskan kesalahannya, atau taubat atau musibah-musibah
yang menghapuskan dosa atau ampunan dari Allah kepadanya. Karenanya boleh melaknat jenis
perbuatan tapi tidak boleh individunya. Ketiga: Adanya arahan untuk menutup pintu-pintu dosa,
karena beliau mengabarkan bahwa pencurian seutas tali dan sebutir telur tidak akan
menjadikannya jera sampai tangannya dipotong. Keempat: Memotong tangan orang yang tidak
mengakui barang pinjamannya, dan dia dinamakan sebagai pencuri menurut syariat,
sebagaimana yang telah berlalu. Kelima: Orang yang mencuri harta yang nilainya tidak sampai
menyebabkan tangannya dipotong maka ganti ruginya dilipatgandakan dua kali. Imam Ahmad
-rahimahullah- telah menegaskan hal ini dan berkata, “Setiap orang yang hukum potong tangan
gugur darinya maka ganti ruginya dilipatgandakan.” Telah berlalu hukum dari Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wasallam dengan hukum ini pada dua keadaan: Pencurian buah yang masih tergantung
di pohonnya dan kambing yang ada di pengembalaannya. Keenam: Penggabungan ta’zir dengan
ganti rugi, dan ini merupakan penggabungan antara dua hukuman: Hukuman yang bersifat materi
dan fisik. Ketujuh: Diperhitungkannya penjagaan barang. Karena beliau Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam menggugurkan hukum potong tangan dari pencuri buah-buahan yang masih ada di
pohonnya tapi beliau mewajibkan hukum ini kepada orang yang mencurinya dari al-jarin..
Menurut Abu Hanifah, hal itu karena kekurangan hartanya akibat dari mempercepat kerusakan
menimpa harta itu, dan dia menjadikan hal ini sebagai dalil dalam semua kejadian yang hartanya
berkurang dengan mempercepat kerusakan menimpa harta itu. Tapi pendapat mayoritas ulama
lebih tepat karena beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjadikan harta itu mempunyai tiga
keadaan: (1) Keadaan yang tidak ada apa-apa padanya, yaitu jika dia makan buah itu (di
pohonnya) langsung dengan mulutnya. (2) Keadaan yang dia harus diganti dua kali lipat dan
pencurinya dipukul tanpa memotong tangannya, yaitu jika dia mengambil dan memetiknya dari
pohon itu. (3) Keadaan yang tangannya dipotong karenanya, yaitu jika dia mencurinya dari
baidar (tempat penyimpanan) nya, baik dia sudah kering sempurna maupun belum, karena yang
menjadi patokan adalah tempat dan penjagaan, bukan kering atau masih basahnya dia. Ini
ditunjukkan oleh perbuatan beliau r yang menggugurkan hukum potong tangan dari orang yang
mencuri kambing dari pengembalaannya, dan beliau mewajibkan potong tangan kepada orang
yang mencurinya dari kandangnya, karena itu adalah tempat penjagaannya. Kedelapan:
Penetapan adanya hukuman secara materi, yang dalam permasalahan ini ada banyak sunnah yang
tsabit dan tidak ada yang menentangnya. Para khulafa ar-rasyidun dan selainnya dari kalangan
sahabat Radhiallahu ‘anhum telah mengamalkannya, dan yang paling sering menerapkannya
adalah Umar Radhiallahu “anhu. Kesembilan: Seorang dianggap menjaga sebagai tempat
penjagaan pakaian dan alas tidurnya yang dia tidur di atasnya dimanapun dia berada, baik dia
tidur di masjid atau selainnya. Kesepuluh: Masjid dianggap sebagai tempat penjagaan bagi
barang-barang yang biasa di simpan di situ, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
memotong tangan orang yang mencuri perisai darinya. Karenanya orang yang mencuri terpal,
pelita dan karpet dari masjid juga harus dipotong tangannya, dan ini adalah salah satu dari dua
pendapat dalam mazhab Ahmad dan selainnya. Adapun ulama yang tidak mewajibkan tangannya
dipotong maka dia mengatakan: Karena dia mempunyai hak padanya, karenanya jika dia tidak
punya hak maka tangannya dipotong, misalnya kalau dia adalah kafir dzimmi. Kesebelas:
Meminta barang yang dicuri adalah syarat bolehnya memotong tangan, karenanya jika
pemiliknya memberikannya kepada pencurinya atau menjualnya kepadanya sebelum kasusnya
diangkat kepada imam, maka hukum potong tangan pun gugur. Sebagaimana yang Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sebutkan dengan tegas, “Kenapa kamu tidak melakukannya
sebelum kamu membawa dia kepadaku?” (Hadits shahih, telah berlalu pada halaman 47 (kitab
asli)) Kedua belas: Hal itu tidak menggugurkan hukum potong tangan kalau kasusnya sudah
sampai kepada imam, dan demikian pula halnya dengan semua hukum had yang sudah sampai
kepada imam. Telah tsabit dari beliau r akan tidak bolehnya hukum had digugurkan, dalam As-
Sunan dari beliau, “Kalau hukum had sudah sampai kepada imam maka Allah melaknat yang
memberikan syafaat (bantuan) dan yang diberikan syafaat (dibantu).” (13) Ketiga belas: Orang
yang mencuri dari sesuatu yang dia mempunyai hak padanya, tangannya tidak dipotong.
Keempat belas: Tangan pencuri tidak dipotong kecuali setelah dia mengakuinya sebanyak dua
kali atau dengan dua orang saksi, karena pencuri tadi mengaku di sisi beliau lalu beliau bersabda,
“Darimana kamu tahu kalau kamu mencuri?” dia menjawab, “Betul saya mencuri,” maka barulah
ketika itu beliau memotong tangannya, dan beliau tidak memotongnya sampai beliau
mengatakan kepadanya ucapan itu sebanyak dua kali. Kelima belas: Menganjurkan kepada
pencuri agar dia tidak mengaku dan agar dia menarik kembali pengakuannya. Tapi ini bukanlah
hukum untuk semua pencuri, bahkan di antara pencuri ada yang nanti mengaku setelah dihukum
dan diancam, sebagaimana yang akan datang insya Allah Ta’ala. Keenam belas: wajib atas imam
untuk menyembuhkannya setelah tangannya dipotong agar dia tidak mati. Dalam sabda beliau,
“Sembuhkanlah dia,” ada dalil bahwa biaya perawatan bukan ditanggung oleh pencuri. Ketujuh
belas: Menggantung tangan pencuri di tengkuknya sebagai pelajaran baginya dan bagi orang lain
yang melihatnya. Kedelapan belas: Memukul orang yang menuduh jika nampak darinya tanda-
tanda kedustaan. Nabi r telah memberikan hukuman kepada orang yang menuduh dan
memenjarakan orang yang menuduh. Kesembilan belas: Wajib melepaskan tertuduh jika tidak
nampak darinya sesuatu pun dari yang dituduhkan kepadanya. Dan bahwa jika penuduh ridha
kalau tertuduh dipukul: Jika hartanya ditemukan padanya (tertuduh) maka tidak masalah, tapi
jika tidak maka dia (penuduh) harus dipukul seperti pukulan yang diberikan kepada orang yang
dia tuduh kalau dia menerimanya. Ini semua bersamaan dengan adanya tanda-tanda yang
kedustaan, sebagaimana yang An-Nu’man bin Basyir putuskan dan beliau mengabarkan bahwa
itu adalah hukum Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam . Kedua puluh: Adanya kisas dalam
hal pemukulan dengan cambuk, tongkat dan semacamnya. Fasal Abu Daud meriwayatkan dari
beliau bahwa beliau pernah memerintahkan untuk membunuh seorang pencuri, lalu mereka (para
sahabat) berkata, “Dia hanya mencuri,” maka beliau bersabda, “Potonglah tangannya.”
Kemudian orang itu didatangkan lagi untuk kedua kalinya lalu beliau memerintahkan untuk
membunuhnya lalu mereka (para sahabat) berkata, “Dia hanya mencuri,” maka beliau bersabda,
“Potonglah tangannya.” Kemudian orang itu didatangkan lagi untuk ketiga kalinya lalu beliau
memerintahkan untuk membunuhnya lalu mereka (para sahabat) berkata, “Dia hanya mencuri,”
maka beliau bersabda, “Potonglah tangannya.” Kemudian orang itu didatangkan lagi untuk
keempat kalinya lalu beliau memerintahkan untuk membunuhnya lalu mereka (para sahabat)
berkata, “Dia hanya mencuri,” maka beliau bersabda, “Potonglah tangannya.” Kemudian orang
itu didatangkan lagi untuk kedua kalinya lalu beliau memerintahkan untuk membunuhnya lalu
mereka pun akhirnya membunuhnya.” (14) Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum ini:
An-Nasa`i dan selainnya tidak menshahihkan hadits ini. An-Nasa`i berkata, “Ini adalah hadits
yang mungkar, Mush’ab bin Tsabit bukanlah rawi yang cukup kuat (laisa bil qawi).” Yang
lainnya menshahihkan hadits uni dan mengatakan kalau ini adalah hukum yang khusus berlaku
kepada laki-laki itu saja, tatkala Rasulullah r mengetahui adanya maslahat dengan
membunuhnya. Kelompok ketiga menerima hadits ini dan berpendapat dengannya, yaitu bahwa
jika seorang pencuri sudah mencuri sampai lima kali maka dia dibunuh pada pencurian yang
kelima. Di antara yang berpendapat dengan mazhab ini adalah Abu Mush’ab dari kalangan Al-
Malikiah. Dalam hukum ini ada keterangan bolehnya memotong keempat anggota tubuh pencuri.
Abdurazzaq meriwayatkan dalam Al-Mushannaf: Bahwa didatangkan kepada Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wasallam seorang budak yang mencuri da dia telah didatangkan kepada beliau sebanyak
empat kali tapi beliau membiarkannya. Kemudian dia didatangkan pada kali kelima maka beliau
memotong satu tangannya, kemudian pada kali keenam beliau memotong satu kakinya,
kemudian pada kali ketujuh beliau memotong tangannya yang lain, kemudian pada kali
kedelapan beliau memotong kakinya yang lain. (15) Para sahabat dan para ulama setelah mereka
berbeda pendapat dalam hal: Apakah semua anggota tubuhnya boleh dipotong atau tidak? Ada
dua pendapat: Asy-Syafi’i, Malik dan Ahmad -dalam salah satu riwayat- berkata: Boleh dipotong
semuanya. Sedangakan Abu Hanifah dan Ahmad -dalam riwayat kedua- berkata: Tidak boleh
dipotong melebihi dari satu tangan dan satu kaki. Dibangun di atas pendapat ini, apakah yang
terlarang adalah (1) menghilangkan fungsi anggota tubuh yang sejenis atau (2) menghilangkan
dua anggota tubuh pada sisi tubuh yang sama? Dalam masalah ini ada dua sisi, yang akan
nampak pengaruhnya dalam masalah: Jika yang tangan yang terpotong hanyalah yang kanan
saja, atau kaki yang terpotong hanyalah yang kiri saja. Kalau kita mengatakan: Boleh memotong
semua anggota tubuhnya maka hal ini tidak berpengaruh. Tapi jika kita mengatakan: Tidak boleh
memotong semuanya, maka pada bentuk pertama yang dipotong adalah kaki kirinya dan pada
bentuk kedua yang dipotong adalah tangan kanannya berdasarkan kedua sebab di atas. Jika yang
terpotong adalah tangan kiri bersama kaki kanan maka dia tidak dipotong berdasarkan kedua
sebab di atas, dan jika yang dipotong adalah tangan kiri saja, maka tangan kanannya tidak potong
berdasarkan kedua sebab di atas. Dan ini kurang tepat maka cermatilah. Apakah pemotongan
kaki kiri dibangun di atas kedua sebab di atas? Jika kita menjadikan hilangnya manfaat anggota
tubuh sejenis sebagai sebab maka kakinya boleh dipotong, tapi jika kita menjadikan hilangnya
dua anggota tubuh pada sisi tubuh yang sama sebagai sebab maka kakinya tidak boleh dipotong.
Jika yang terpotong hanyalah kedua tangan dan kita menjadikan hilangnya manfaat anggota
tubuh sejenis sebagai sebab maka kakinya kirinya dipotong, tapi jika yang kita jadikan sebab
adalah hilangnya dua anggota tubuh pada sisi tubuh yang sama maka tidak boleh dipotong. Ini
adalah penerapan kaidah ini. Pengarang Al-Hurrar berkata dalam masalah ini, “Tangan kanannya
dipotong berdasarkan kedua riwayat. Dan harus dibedakan antara dia dengan masalah orang
yang terpotong kedua tangannya. Yang disebutkan dalam perbedaannya: Kalau yang terpotong
adalah kedua kakinya maka dia seperti orang yang duduk, dan jika yang dipotong adalah salah
satu tangannya maka dia bida memanfaatkan tangan yang satunya untuk makan, minum,
berwudhu, istijmar dan selainya. Kalau yang terpotong adalah kedua tangannya maka dia tidak
bisa menggunakan anggota tubuhnya kecuali kedua kakinya, karenanya jika salah satu kakinya
tidak ada maka tidak mungkin baginya untuk menggunakan satu kaki tanpa tangan. Di antara
perbedaannya: Satu tangan bisa dimanfaatkan bersamaan dengan tidak adanya manfaat berjalan,
sedangkan satu kaki tidak bisa bermanfaat tanpa adanya manfaat menyentuh.” [ Diterjemahkan
dari kitab Zaad Al-Ma'ad karya Ibnu Al-Qayyim hal. 689-692 cet. Darul Kutub Al-Ilmiah (1
jilid)] ____________ 1. HR. Al-Bukhari (12/93, 94) dalam Al-Hudud: Bab firman Allah Ta’ala,
“Pencuri laki-laki dan perempuan maka potonglah tangan-tangan keduanya,” Muslim (1686)
dalam Al-Hudud: Bab Hukum had pencurian dan nishabnya, Malik (2/831), At-Tirmidzi (1446),
Abu Daud (4385) dan An-Nasa`i (8/76) dari hadits Ibnu Umar -radhiallahu anhuma- 2. HR. Abu
Daud (4395) dalam Al-Hudud: Bab Pemotongan tangan karena barang pinjaman yang tidak
diakui, An-Nasa`i (8/70) dalam As-Sariq: Bab Apa yang merupakan penjagaan dan apa yang
bukan dan Ahmad (2/151) dari hadits Ibnu Umar -radhiallahu anhuma-. Diriwayatkan juga oleh
Muslim dalam Ash-Shahih (1688) (10) dari hadits Aisyah -radhiallahu anha- dia berkata, “Ada
seorang perempuan Makhzumiah yang meminjam sebuah perhiasan lalu dia tidak mau
mengakuinya, maka Nabi r memerintahkan untuk memaotong tangannya.” 3. Dan ini juga
merupakan pendapat Ishak bin Rahawaih sebagaimana dalam Syarh As-Sunnah (10/322) 4. HR.
Abu Daud (4391), At-Tirmidzi (1448), An-Nasa`i (8/89) dan Ibnu Majah (2591) dari hadits Jabir
bin abdillah -radhiallahu anhuma-. At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahih,” dan telah
dishahihkan oleh Ibnu hibban (1502, 1503) dan Abdul Haq mendiamkannya dalam Al-Ahkam
karyanya dan diikuti oleh Ibnu Al-Qaththan setelahnya, yang mana ini berrati hadits ini shahih
menurut keduanya. 5. HR. Al-Bukhari (12/76) dalam Al-Hudud: Bab Penegakan hukum had
kepada orang yang terpandang dan rakyat rendahan dan Muslim (1688) dari hadits Aisyah
-radhiallahu anha-. 6. HR. Abu Daud (1710, 1711, 1712, 1713, 4390), An-Nasa`i (8/65, 86) dan
Ahmad (6683, 6746) dari hadits Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya dengan sanad yang
shahih. Dalam permasalahan ini ada juga hadits dari Rafi’ bin Khadij dalam Al-Muwaththa`
(2/839), At-Tirmidzi (1449), Abu Daud (4388) dan Ibnu Majah (2593) dengan lafazh, “Tidak ada
pemotongan tangan pada buah-buahan dan katsar,” dan haditsnya shahih. Al-katsar adalah
mayang pohon korma, sedangkan al-jarin adalah tempat buah-buahan yang dia dikeringkan di
dalamnya, seperti al-baidar untuk gandum. 7. Dia adalah seperlima dari keseluruhan harta
ghanimah, yang diserahkan kepada Allah dan Rasul-Nya, pent. 8. HR. Ibnu Majah (2590) dari
hadits Ibnu Abbas, dan dalam sanadnya ada Jubarah bin Al-Mughallis dan Hajjaj bin Tamim,
dan keduanya adalah rawi yang lemah. 9. HR. Abu Daud (4380), An-Nasa`i (8/67) dan Ibnu
Majah (2597) dari hadits Abu Umayyah Al-Makhzumi, dan dalam sanadnya ada Abu al-Mundzir
maula Abu Dzar, seorang rawi yang majhul, dan rawi lainnya tsiqah. 10. HR. Al-Hakim dalam
Al-Mustadrak (4/381) dari hadits Ad-Darawardi dari Yaziz bin Khushaifah dari Muhammad bin
Abdirrahman bin Tsauban dari Abu Hurairah …, lalu dia (Al-Hakim) menshahihkannya dan
Adz-Dzahabi menyetujuinya. Akan tetapi Ad-Daraquthni berkata (2/331) -setelah dia
meriwayatkan hadits ini-, “Ats-Tsauri telah meriwayatkannya dari Yazid bin Khushaifah dari
Muhammad bin Abdirrahman bin Tsauban dari Nabi r secara mursal.” Demikian pula Abu Daud
meriwayatkannya dalam Al-Marasil dari Ats-Tsauri secara mursal. Abdurrazzaq
meriwayatkannya (18923) dia berkata, “Ibnu Juraij mengabarkan kepada kami dari Ats-Tsauri
secara mursal,” dan Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam meriwayatkannya dalam Gharib Al-Hadits
dia berkata, “Ismail bin Ja’far menceritakan kepada kami dari Yazid bin Khushaifah dengannya
secara mursal.” 11. HR. Abu Daud (4411), At-Tirmidzi (1447), An-Nasa`i (892, 93) dan Ibnu
Majah (2587) dari hadits Fudhalah bin Ubaid, dan dalam sanadnya ada Al-Hajjaj bin Artha`ah,
seorang rawi yang sangat banyak kesalahan dan tadlisnya, serta Abdurrahman bin Muhairiz,
tidak ada yang mentautsiqnya kecuali Ibnu Hibban. 12. Hadits tentang laknat kepada pencuri
diriwayatkan oleh Al-Bukhari (12/71, 72) dan Muslim (1687). Hadits tentang laknat kepada
pemakan riba diriwayatkan oleh Al-Bukhari (10/330) dan Muslim (1597). Hadits tentang laknat
kepada peminun khamar dan yang memerasnya, diriwayatkan oleh Ahmad (5716), Abu Daud
(3674) dan Ibnu Majah (3380) dari hadits Ibnu Umar dengan sanad yang shahih. Hadits tentang
laknat kepada orang yang melakukan amalan kaum Luth , diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al-
Musnad (1/217, 309, 317) dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban. 13. Hadits ini tidak diriwayatkan
oleh seorang pun dari pengarang As-Sunan, dia hanya diriwayatkan dalam Al-Muwaththa`
(2/835) dari Rabiah bin Abi Abdirrahman bahwa Az-Zubair bin Al-Awwam … 14. HR. Abu
Daud (4410) dalam Al-Hudud: Pencuri yang telah mencuri berulang kali dan An-Nasa`i (8/90,
91) dalam As-Sariq: Bab Memotong kedua tangan dan kedua kaki pencuri dari hadits Jabir bin
Abdillah. Dalam sanadnya ada Mush’ab bin Tsabit, seorang rawi yang lemah sebagaimana yang
dikatakan oleh An-Nasa`i dan selainnya. Al-Hafizh berkata dalam At-Talkhish, “Saya tidak
mengetahui ada satu pun hadits yang shahih dalam masalah ini.” 15. HR. Abdurrazzaq dalam Al-
Mushannaf (18773) dan Al-Baihaqi (8/273) dari hadits Ibnu Juraij dia berkata: Abdu Rabbih bin
Abi Umayyah mengabarkan kepadaku bahwa Al-Harits bin Abdillah bin Abi Rabiah
menceritakan kepadanya bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam Abdu Rabbih adalah seorang
rawi yang majhul, sedangkan riwayat Al-Harits bin Abdillah dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam adalah mursal. http://darussalaf.or.id/stories.php?id=1453 http://al-atsariyyah.com/?
p=758
Hukum Islam Atas Bersekutu dan Berserikat dalam
Pembunuhan
Pada dasarnya, Islam telah melarang kaum Muslim melakukan pembunuhan tanpa ada alasan yang
dibenarkan oleh syariat. Keharaman pembunuhan telah ditetapkan berdasarkan al-Quran dan sunnah.
Allah swt berfirman;

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang
dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita.
Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema`afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema`afkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma`af) membayar (diat) kepada yang
memberi ma`af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan
kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang
sangat pedih”. [TQS Al Baqarah (2):178]

Di ayat lain, al-Quran juga menyatakan dengan sangat jelas;

“Dan tidak layak bagi seorang mu’min membunuh seorang mu’min (yang lain), kecuali karena tersalah
(tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mu’min karena tersalah (hendaklah) ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada
keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh)
dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mu’min, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan
hamba-sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai)
antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada
keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barangsiapa yang tidak
memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara
taubat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.[TQS An Nisaa' (6):92]

Ayat-ayat di atas dilalahnya qath’iy menunjukkan bahwa pembunuhan adalah perbuatan haram, kecuali
pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan karena alasan-alasan yang dibenarkan oleh syariat.

Adapun sunnah, dituturkan bahwasanya Nabi saw ditanya tentang dosa besar, kemudian beliau
menjawab :

َّ ‫ور َتا َب َع ُه ُغ ْندَ ٌر َوأَبُو َعام ٍِر َو َب ْه ٌز َو َع ْب ُد ال‬


ْ‫ص َم ِد َعن‬ ِ ‫الز‬ ِ ‫ْن َو َق ْت ُل ال َّن ْف‬
ُّ ُ‫س َو َش َها َدة‬ ُ ُ‫ك ِباهَّلل ِ َو ُعق‬
ِ ‫وق ْال َوالِ َدي‬ ُ ‫اإْل ِ ْش َرا‬
‫شعْ َب َة‬ُ

“Menyekutukan Allah, durhaka kepada dua orang tua, membunuh jiwa, serta kesaksian palsu..”[HR.
Imam Bukhari]

َّ ُ‫الثيِّب‬
‫الزانِي‬ َّ ‫س َو‬ ٍ ‫ئ مُسْ ل ٍِم َي ْش َه ُد أَنْ اَل إِلَ َه إِاَّل هَّللا ُ َوأَ ِّني َرسُو ُل هَّللا ِ إِاَّل ِبإِحْ دَى َثاَل‬
ِ ‫ث ال َّن ْفسُ ِبال َّن ْف‬ ٍ ‫اَل َي ِح ُّل َد ُم ام ِْر‬
َ ‫ك ل ِْل َج َم‬
‫اع ِة‬ ُ ‫ار‬ِ ‫ين ال َّت‬
ِ ‫ار ُق مِنْ ال ِّد‬ ِ ‫َو ْال َم‬
“Telah bersabda Rasulullah saw, “Tidaklah halal darah seorang muslim yang telah bersaksi tidak ada
Tuhan selain Allah dan Aku [Mohammad] adalah utusan Allah, kecuali karena salah satu dari tiga hal ini,
“Lelaki yang telah beristeri yang berzina, jiwa dengan jiwa (qishash atas pembunuhan), murtad dari
agamanya sehingga memisahkan diri dari jama’ah.” [HR. Imam Bukhari dan Muslim].

Dari nash-nash di atas dapatlah disimpulkan bahwasanya al-Quran dan Sunnah telah mengharamkan
tindakan pembunuhan. Keharamannya merupakan perkara yang telah ma’lum min al-diin bi al-dlarurah.
Adapun sanksi bagi orang yang melakukan pembunuhan adalah qishash, atau membayar diyat. Sanksi
qishash dijatuhkan pada kasus pembunuhan sengaja, dan pelaku pembunuhan tidak mendapatkan
pemaafan dari pihak keluarga yang dibunuh. Jika pelaku pembunuhan mendapatkan pemaafan dari
keluarga korban, maka pelaku pembunuhan tersebut harus menyerahkan diyat syar’iy kepada keluarga
korban. Sedangkan untuk kasus-kasus pembunuhan selain pembunuhan sengaja, maka pelaku hanya
diwajibkan membayar diyat.

Berserikat Dalam Pembunuhan

Jika pembunuhan dilakukan secara berkelompok, maka orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan
tersebut wajib dikenai sanksi qishash (bunuh balik). Alasannya, hadits-hadits yang berbicara tentang
sanksi pembunuhan, mencakup pelaku pembunuhan tunggal maupun berkelompok. Misalnya, di dalam
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Turmudziy disebutkan;

‫ْن إِمَّا أَنْ َيعْ فُ َو َوإِمَّا أَنْ َي ْق ُت َل‬


ِ ‫َو َمنْ قُ ِت َل لَ ُه َقتِي ٌل َفه َُو ِب َخي ِْر ال َّن َظ َري‬
“Barangsiapa terbunuh, maka walinya memiliki dua hak; memberikan pengampunan, atau membunuh
pelakunya.” Hadits ini mencakup kasus pembunuhan yang dilakukan secara tunggal atau berkelompok.

Dalil lain yang menunjukkan bahwasanya sekelompok orang harus dikenai sanksi yang sama jika
berserikat dalam sebuah pembunuhan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Turmudziy dari Abu
Sa’id al-Khudriy dan Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda;

‫ْن َواقِ ٍد َعنْ َي ِزيدَ الرَّ َقاشِ يِّ َح َّد َث َنا أَبُو ْال َح َك ِم‬
ِ ‫ْن ب‬ ِ ‫ُوسى َعنْ ْال ُح َسي‬ َ ‫ث َح َّد َث َنا ْال َفضْ ُل بْنُ م‬ ٍ ‫َح َّد َث َنا ْال ُح َسيْنُ بْنُ ح َُر ْي‬
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َقا َل لَ ْو أَنَّ أَهْ َل‬
َ ِ ‫ُول هَّللا‬
ِ ‫ان َعنْ َرس‬ ِ ‫ت أَ َبا َسعِي ٍد ْال ُخ ْد ِريَّ َوأَ َبا ه َُري َْر َة َي ْذ ُك َر‬ ُ ْ‫ْال َب َجلِيُّ َقال َسمِع‬
‫ِيث َغ ِريبٌ َوأَبُو ْال َح َك ِم‬ ٌ ‫يسى َه َذا َحد‬ َ ِ‫ار َقا َل أَبُو ع‬ َ ٍ ‫ض ا ْش َت َر ُكوا فِي دَم م ُْؤم‬ ِ ْ‫ال َّس َما ِء َوأَهْ َل اأْل َر‬
ِ ‫ِن أَل َك َّب ُه ْم هَّللا ُ فِي ال َّن‬ ِ
ُّ‫ْال َب َجلِيُّ ه َُو َع ْب ُد الرَّ حْ َم ِن بْنُ أَ ِبي ُنعْ ٍم ْال ُكوفِي‬
“Seandainya penduduk langit dan penduduki bumi berserikat dalam (menumpahkan) darah seorang
Mukmin, sungguh Allah swt akan membanting wajah mereka semua ke dalam neraka”.[HR. Imam
Turmudziy]

Topik yang dibahas di dalam hadits ini adalah pembunuhan yang dilakukan secara berkelompok atau
perserikatan dalam sebuah pembunuhan. Semua pelakunya mendapatkan ganjaran yang sama.

Imam Malik menuturkan sebuah riwayat dari Sa’id bin Musayyab ra sebagai berikut:

‫ب َق َت َل َن َفرً ا َخمْ َس ًة أَ ْو‬


ِ ‫ب أَنَّ ُع َم َر ب َْن ْال َخ َّطا‬ ِ ‫ْن ْال ُم َس َّي‬
ِ ‫ْن َسعِي ٍد َعنْ َسعِي ِد ب‬ِ ‫و َح َّد َثنِي َيحْ َيى َعنْ َمالِك َعنْ َيحْ َيى ب‬
ْ
‫ص ْن َعا َء لَ َق َتل ُت ُه ْم َجمِيعًا‬ َ َ
َ ‫َس ْب َع ًة ِب َرج ٍُل َوا ِح ٍد َق َتلُوهُ َق ْت َل غِ يلَ ٍة َو َقا َل ُع َم ُر لَ ْو َت َماأَل َعلَ ْي ِه أهْ ُل‬
“Sesungguhnya Umar ra menjatuhkan sanksi bunuh kepada lima atau tujuh orang yang berserikat dalam
membunuh seseorang; yang mana mereka semua membunuh seorang laki-laki dengan tipu daya”.[HR.
Imam Malik]

Di dalam riwayat lain dituturkan bahwasanya ‘Umar pernah bertanya kepada ‘Ali ra tentang pembunuhan
yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap seseorang. ‘Ali bertanya kepada ‘Umar, apa
pendapatmu seandainya ada sekelompok orang mencuri barang, apakah engkau akan memotong tangan
mereka? ‘Umar menjawab, “Ya.” Ali menukas, “Demikian pula pembunuhan.”
Riwayat-riwayat di atas menunjukkan; jika sekelompok orang bersekutu, dua orang, atau lebih untuk
membunuh seseorang, semuanya dikenai sanksi. Semuanya harus dikenai sanksi pembunuhan
meskipun pihak yang terbunuh hanya satu orang.

Adapun delik dan sanksi yang dijatuhkan kepada orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan
berkelompok itu tergantung dari keterlibatannya dalam pembunuhan tersebut. Jika seseorang terlibat
dalam pemukulan terhadap pihak yang terbunuh, maka ia terkategori sebagai orang yang terlibat dalam
pembunuhan secara pasti.

Adapun, jika seseorang tidak berlibat dalam pemukulan secara langsung, maka, hal ini perlu dilihat. Jika
ia berposisi sebagai orang yang memudahkan terjadinya pembunuhan, seperti menghentikan pihak yang
hendak dibunuh, lalu orang tersebut dibunuh oleh pelaku pembunuhan, atau menyerahkan korban
kepada pelaku pembunuhan, ataupun yang lain-lain, maka orang tersebut tidak dianggap sebagai pihak
yang turut bersekutu dalam pembunuhan, akan tetapi hanya disebut sebagai pihak yang turut membantu
pembunuhan. Oleh karena itu, orang semacam ini tidak dibunuh, akan tetapi hanya dipenjara saja. Imam
Daruquthniy mengeluarkan hadits dari Ibnu ‘Umar dari Nabi saw, beliau bersabda, “Jika seorang laki-laki
menghentikan seorang pria, kemudian pria tersebut dibunuh oleh laki-laki yang lain, maka orang yang
membunuh tadi harus dibunuh, sedangkan laki-laki yang menghentikannya tadi dipenjara.” Hadits ini
merupakan penjelasan, bahwa orang yang membantu dan menolong [pembunuh] tidak dibunuh, akan
tetapi hanya dipenjara. Namun demikian, ia bisa dipenjara dalam tempo yang sangat lama, bisa sampai
30 tahun. ‘Ali bin Thalib berpendapat, agar orang tersebut dipenjara sampai mati. Diriwayatkan oleh
Imam Syafi’I dari ‘Ali bin Thalib, bahwa beliau ra telah menetapkan hukuman bagi seorang laki-laki yang
melakukan pembunuhan dengan sengaja, dan orang yang menghentikan (mencegat korban). Ali berkata,
“Pembunuhnya dibunuh, sedangkan yang lain dijebloskan di penjara sampai mati.”

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, semua orang yang tidak bersekutu dalam
pembunuhan hukumnya dipenjara, bukan dibunuh. Sedangkan orang yang bersekutu dalam
pembunuhan maka ia harus dibunuh, apapun keterlibatannya. Oleh karena itu, orang yang bersekutu
secara langsung, bersekutu sebagai pihak otak pembunuhan, dan eksekutor lapangan, pengatur taktik
pembunuhan, dan lain sebagainya; maka, semuanya dianggap sebagai pihak yang bersekutu atau
terlibat dalam pembunuhan. Alasannya, mereka semua terlibat dalam pembunuhan secara langsung.
Dan semua orang yang perbuatannya dianggap bersekutu dalam pembunuhan, hukumnya dibunuh,
layaknya pembunuh langsung.

Sedangkan orang yang mempermudah pembunuhan, tidak dianggap sebagai pihak yang bersekutu
dalam pembunuhan, baik dalam secara langsung maupun tidak langsung. [Syamsuddin Ramadhan An
Nawiy]

You might also like