Professional Documents
Culture Documents
Gharib
Ditulis oleh H.R. Taufiqurrochman, MA
Rabu, 21 Juli 2010 08:31
Salah satu yang unik dan menarik dari al-Quran adalah adanya "Qira'ah Gharibah"
atau bacaan-bacaan asing dalam riwayat Hafs bin Ashim yang di dunia, terutama di
Indonesia, begitu dominan. Hanya sayangnya, tidak semua umat Islam memahami
bacaan asing itu. Paling tidak, ada 9 macam bacaan gharib atau asing dalam al-Qur'an,
yakni: 1) saktah, 2) imalah, 3) isymam, 4) shad dibaca sin, 5) ba' di-idgham ke mim,
6) sukun diganti lam, 7) tiga model bacaan washal-waqaf dalam surah al-Insaan/al-
dahr, 8) Tashiil, 9) bacaan washal-waqaf dalam surah al-Ahzaab.
1- Saktah
Yaitu, berhenti sebentar, tanpa bernafas dengan niat melanjutkan bacaan. Menurut Hafs, “Saktah” di dalam Al-
Qur'an ada 4, yaitu : (1) Surah Kahfi : 1, (2) Surah Yasin : 52, (3) Surah Al-Qiyamah : 26, dan (4) Surah Al-
Muthaffifin : 14.
َ ِين الَّذ
ِين َ م ْؤ ِمن ِ ّ ِن لَ ُد ْن ُه َو ُي َب
ُ ش َر ا ْل ْ شدِيدًا م ً ) َق ِي ّمًا لِ ُين ِذ َر بَ ْأ1( جا
َ سا ِ ل لَ ُه
َ ع َو ْ ج َع ْ َاب َول
ْ َم ي َ ل َعلَى َع ْب ِد ِه ا ْلكِ َت َ ه الَّذِي أَن َزِ َّم ُد لِل
ْ حَ ا ْل
)2(سنًا َ ح َ ج ًرا ْ َم أ
ْ حاتِ أَنَّ لَ ُهَ ِصال
َّ ملُونَ ال َ يَ ْع
rُ ن أَنَّ ُه ا ْل ِف َر
)28( اق َّ َ) َوظ27( ق
ٍ ن َرا
ْ ل َم ْ كَاَّل إِذَا َبلَغ
َ ) َوقِي26( َت ال َّت َراقِي
2- Imalah
Yaitu, bacaannya condong miring dari harakat fathah ke kasrah, dan dari huruf alif ke ya’.
Imalah hanya terdapat 1 kata dalam Al-Qur'an, Surah Huud ayat 41, Juz 12.
3- Isymam
Yaitu, menutup kedua buah lisan seperti orang yang akan mengucapkan harakat dhammah untuk menunjukkan
bahwa harakat yang dihilang dalam kata tersebut adalah harakat dhammah. Isymam di dalam Al-Qur'an hanya
ada 1, yaitu di Surah Yusuf ayat 11, Juz 12.
Yaitu, huruf Shad dalam sebuah kata dibaca Sin. Bacaan ini di dalam Al-Qur'an terdapat di Surah Al-Baqarah ayat
245, Juz 2 dan di Surah Al-A’raf ayat 69 Juz 8.
Yaitu, Huruf Ba’-Mati (disukun) ketika bertemu Mim diidghamkan ke huruf Mim tersebut.
Di dalam Al-Qur'an hanya terdapat 1 kali, yaitu di Surah Huud ayat 42 Juz 12.
َ ع ا ْلكَاف ِِر
)42( ين ْ َب َم َع َنا َوال َ تَك
َ ُن َم ْ ي ا ْرك
َّ ل يَا ُب َن ٌ م فِي َم ْوجٍ كَا ْلجِبَالِ َونَا َدى نُو
ٍ ح ا ْب َن ُه َوكَانَ فِي َم ْع ِز ْ ج ِري بِ ِه
ْ َِي ت
َ َوه
Yaitu, lafadz “Al-Ismu” diganti kasroh, sehingga Lam-nya “Al” terbaca “Li”.
Yaitu, 3 (tiga) macam bacaan yang terjadi karena washal dan waqaf. Ketiga hukum bacaan tersebut dalah :
- Bila waqaf pada kalimat pertama, Ra’ dibaca panjang 1 alif / 2 harakat
- Bila Waqaf pada kalimat kedua, Ra’ kalimat pertama dibaca qasr (pendek) dan Ra’ kalimat kedua dibaca sukun
(mati).
3 (tiga) buah model bacaan asing ini hanya terdapat di Surah Al-Insaan/Ad-Dahr ayat 15-16 Juz 29.
َ ة َق َّد ُرو
)16( rها تَ ْقدِي ًرا ٍ ض
َّ ِِن ف ِ ) َق َو15( اري َرا
ْ اري َرا م ِ ت َق َو ٍ ة َوأَ ْك َوا
ْ َب كَان ٍ ض
َّ ِِن ف
ْ ةم ْ َو ُيطَافُ َعلَ ْي ِه
ٍ م بِآنِ َي
8- Tashiil
Yaitu, Hamzah pertama dibaca tahqiq (jelas) dan pendek, sedangkan hamzah kedua dibaca tashiil, yaitu
meringankan bacaan antara Hamzah dan Alif.
Di dalam Al-Qur'an hanya terdapat 1 kali, yaitu di Surah Fussilaat/Hamim Sajadah, ayat 44, Juz 24)
َ اء َوالَّذ
ْ ِين ال َ ُي ْؤم ُِنونَ فِي آذَان ِِه
م َوق ٌْر ٌ ش َف
ِ هدًى َو َ ه َو لِلَّذ
ُ ِين آ َم ُنوا ُ ُل
ْ يق
ٌّ ِي َو َع َرب
ٌّ م َ ت آيَاتُ ُه أَأَ ْع
ِ ج ِ ميً ّا لَقَالُوا لَ ْوال َ ُف
ْ َصّل ِ جَ ج َع ْل َنا ُه ق ُْرآنًا أَ ْع
َ َولَ ْو
)44(َان بَعِي ٍد ٍ ِن َمك ْ ك ُي َنا َد ْونَ م َ ِم َعمًى ُأ ْولَئ ْ ه َو َعلَ ْي ِه ُ َو
Yaitu, sebuah kata yang rasm (tulisannya) tergolong tulisan asing, demikian pula dengan bacaannya. Dalam Hal
ini terdapat 2 hukum bacaan :
Di dalam Al-Qur'an, bacaan seperti ini terdapat di Surah Al-Ahzaab, Juz 21-22, Ayat 10, 66 dan 67)
( َ السبِيال
َّ َ َ فَأrسا َدتَ َنا َو ُكبَ َرا َءنَا
ضلُّونَا َ ) َوقَالُوا َربَّ َنا إِنَّا أَطَ ْع َنا66( َ سوال َّ ار يَ ُقولُونَ يَالَ ْي َت َنا أَطَ ْع َنا اللَّ َه َوأَطَ ْع َنا
ُ الر ِ م فِي ال َّن ْ ه ُه ُ جوُ َّب ُو
ُ م تُ َقل َ يَ ْو
)68 ( م لَ ْعنًا َكبِي ًرا ْ ِن ا ْل َعذَابِ َوا ْل َع ْن ُه
ْ نم
ِ ض ْع َف ْي
ِ م ْ ) َربَّ َنا آت ِِه67
MENELUSURI RAHASIA DIBALIK BACAAN-
BACAAN GHARIB
Posted on 16 April 2009 by Ahmad Syafaat
Oleh : Syafa’at
A. Pendahuluan
Berbicara tentang al-Qur’an memang bagai lautan yang tak bertepi, semakin jauh
ia dikejar semakin luas pula jangkauannya. Dari aspek mana pun al-Qur’an dikaji
dan diteliti, ia tidak pernah habis atau basi, bahkan semakin kaya dan selalu aktual.
Mungkin itulah salah satu mukjizat yang terpancar dari kitabullah sebagai bukti
kebenaran risalah Allah yang dititipkan pada Rasul-Nya, yaitu al-Islam.
Aspek bacaan al-Qur’an atau qiraah –dalam pengertian yang luas, bukan hanya
sekedar melafalkan huruf Arab dengan lancar- merupakan salah satu aspek kajian
yang paling jarang diperbincangkan, baik oleh kalangan santri maupun kaum
terpelajar umumnya, padahal membaca al-Qur’an tergolong ibadah mahdlah yang
paling utama. Hal ini barang kali bisa dimengerti, mengingat kurangnya buku rujukan
yang mengupas tuntas ilmu qiraah dan minimnya guru al-Qur’an yang memiliki
kemampuan memadai. Antusiasme para “santri” dalam mempelajari dan mencari
dalil-dalil fiqh, baik dari al-Qur’an, hadis ataupun dari pendapat-pendapat ulama,
ternyata tidak diikuti oleh semangat mentashihkan bacaan atau mencari jawaban
tentang apa dan mengapa ada bacaan saktah, madd, ghunnah yang sama-sama wajib
(kifayah) dipelajari bagi kaum muslimin.
Dari fenomena di atas perlu ditumbuhkan kembali semangat untuk mengkaji aspek
bacaan al-Qur’an yang masih “misteri” bagi kebanyakan orang sebagaimana
semangatnya anak-anak kecil di tempat-tempat pendidikan al-Qur’an untuk bisa
“membaca” dengan lancar.
Sebagai akibat dari kurangnya informasi yang memadai tentang bacaan al-
Qur’an, bagi kebanyakan orang, ilmu qiraah (yang dipersempit dengan ilmu tajwid)
dianggap hanya mempelajari makhraj dan sifat huruf, hukum nun atau mim mati dan
tanwin, dan mad saja, lalu mereka membaca al-Qur’an apa adanya sebagaimana yang
terdapat dalam tulisan mushaf atau rasm, padahal banyak kalimat yang cara bacanya
tidak sama persis dengan tulisannya, seperti bacaan imalah, tash-hil, isymam dan lain
sebagainya.
Dalam kesempatan ini penulis berusaha memberikan sedikit pemahaman
tentang bacaan gharib dari bacaan Imam Ashim dari riwayat Hafs yang banyak
dianut oleh hampir seluruh kaum muslimin, sekaligus alasan-alasan secara bahasa
tentang bacaan gharib tersebut.
Alasan-alasan (ihtijaj) kebahasaan mengenai bacaan gharib al-Qur’an yang
akan penulis paparkan di sini, hanyalah sebutir debu dibanding besar dan luasnya
hikmah atau rahasia sesungguhnya yang dikehendaki Allah. Dengan kata lain, alasan-
alasan tersebut bukanlah faktor utama yang mendorong shahibul Qaul (Allah)
memilih kata atau lahjah tertentu, akan tetapi hanya sebuah usaha dari para ulama
terdahulu untuk memahami rahasia-rahasia Allah melalui tanda-tanda dan ilmu-ilmu
yang dia titipkan pada hambanya. Imam Nashiruddin Ahmad mengatakan bahwa
ihtijajul qira’ah tidak dimaksudkan mengkoreksi bacaan atau bahasa al-Qur’an
dengan kaidah-kaidah bahasa Arab, melakukan sebuah proses argumentasi induktif,
yakni usaha mengkoreksi kaidah-kaidah bahasa Arab dengan bahasa al-Qur’an (Abi
Thahir, 290).
Seringkali argumen-argumen yang dikemukakan mengenai qiraah tertentu
kurang relevan bila dianalogikan dengan bacaan imam lain pada kata yang sama atau
hampir sama. Namun, hal itu justru menjadikan kita semakin meyakini bahwa
perbedaan bentuk bacaan tersebut bukan hasil kreativitas imam-imam qiraah atau
para pakar bahasa Arab di masa itu, akan tetapi mereka mewarisinya dari para
sahabat, dari Nabi, dari Malaikat Jibril, dan dari Allah azza wa jalla.
B. Pembahasan
1. Saktah
Secara bahasa saktah berasal dari kata سكت – يسكت – سكوتاberarti diam; tidak
bergerak. Secara istilah saktah adalah memutus kata sambil menahan nafas dengan
niat meneruskan bacaan (Makky Nasr, 153). Dalam qira’ah sab’ah bacaan saktah
banyak dijumpai pada bacaan Imam Hamzah (baik dari riwayat khalad maupun
khalaf), yaitu setiap ada hamzah qatha’ yang didahului tanwin atau al ta’rif, seperti
عذاب أليم،( باآلخرةArwani Amin, 3-6).
Sedangkan dalam bacaan Imam Ashim riwayat Hafs; bacaan saktah hanya ada
di empat tempat, yaitu:
1. Surat al-Kahfi ayat 1 : قيما- ولم يجعل له عوجا
2. Surat Yasin ayat 52 : هذا ما وعدنا الرحمن- من مرقدنا
3. Surat al-Qiyamah 27 : راق- وقيل من
4. Surat al-Muthaffifin 14 : ران- كال بل
Alasan saktah ini adalah untuk memberikan tanda pada qari’ bahwa waqaf pada
عوجاtermasuk waqaf tamm (sempurna), dan kata قيّماbukan sifat/naat dari عوجا, ia
dinashabkan karena menyimpan fi’il أنزل. Demikian juga halnya waqaf pada مرقدنا,
kata هذاbukan sifat dari مرقد, melainkan mubtada’ dan kata هذاdan sesudahnya adalah
perkataan malaikat bukan perkataan orang kafir. Sedangkan pada منpada من – راق
dan بلpada ل رانoo بyaitu sebagai kata tanya pada yang pertama dan sebagai kata
penegas pada yang kedua, juga untuk memperjelas idharnya lam dan nun karena
biasanya dua huruf tersebut bila bertemu ra’ diidghamkan sehingga bunyi keduanya
hilang (al-Qaisy, 1987:II/55).
2. Imalah
Secara bahasa imalah berasal dari kata )رمحooة (الooل – إمالooال – يميoo أمyang berarti
memiringkan atau membengkokkan (tombak), sedangkan secara istilah imalah berarti
memiringkan fathah ke arah kasrah atau memiringkan alif ke arah ya’ (Abi Thahir,
311). Bacaan ini banyak ditemui pada bacaan Imam Hamzah dan al-Kisa’i, di
antaranya pada kata yang diakhiri alif layyinah, seperti هدى، سجى، قلى،الضحى. Khusus
riwayat Imam Hafs hanya terdapat pada kata ( مجراهاQS.Hud:41). Dalam qira’ah
sab’ah ada bacaan yang menyerupai imalah, yakni taqlil atau baina baina dari Imam
Warsy pada lafadz yang berwazan فُعلى، فِعلى،( فَعلىArwani Amin, 18), hanya saja
taqlil lebih mendekati fathah seperti bunyi re pada kata mereka.
Bacaan imalah merupakan salah satu dialek bahasa Arab standar (fasih) untuk
penduduk Najed dari suku Tamim, Qais dan Asad. Bacaan imalah ini bermanfaat
untuk memudahkan pengucapan huruf, karena lidah itu akan terangkat bila membaca
fathah dan turun bila membaca imalah dan tentunya turunnya lidah itu lebih ringan
dari terangkatnya lidah. (Abi Thahir, 312)
Alif layyinah itu menyerupai huruf ya’, dengan membaca imalah diharapkan
pendengar tahu asal kata tersebut, sebaliknya dengan membaca fathah dianggap tidak
berakhiran alif layyinah.
3. Naql
Secara bahasa naql berasal dari kata نقل – ينقل – نقالberarti memindah; menggeser.
Adapun secara istilah naql berarti memindahkan harakat suatu huruf ke huruf
sebelumnya, sebagaimana yang banyak ditemui pada riwayat Imam Hamzah dan
Warsy, yakni setiap ada al ta’rif atau tanwin bertemu hamzah, contoh باآلخرةterbaca
بالخرةdan عذاب أليمterbaca عذابنليم.
Dalam riwayat Hafs bacaan naql hanya ada di satu tempat yaitu pada kata بئس االسم
(QS. al-Hujurat:11). Alasan bacaan naql pada kata االسمyaitu terdapatnya dua
hamzah washal (hamzah yang tidak terbaca di tengah kalimat), yakni hamzah pada
al ta’rif dan ismu (salah satu dari sepuluh kata benda yang berhamzah washal),
yang mengapit lam sehingga menjadi tidak terbaca di kala sambung dengan kata
sebelumnya. Di antara manfaat bacaan naql ini adalah untuk memudahkan umat
Islam membacanya.
4. Ibdal (Penggantian)
A. Penggantian Hamzah dengan Ya’
Ibdal yang dimaksud di sini adalah اءoاكنة باليo( إبدال الهمزة السmengganti hamzah
sukun dengan ya’. Semua imam qira’at sepakat mengganti hamzah qatha’ –bila tidak
disambung dengan kata sebelumnya- yang jatuh setelah hamzah washal dengan ya’
sukun, seperti ا ائتoo( لقاءنQS. Yunus:15), ونيooموات ائتoo( في السQS .al-Ahqaf:4). Adapun
bacaan Imam Warsy, al-Susy dan Abu Ja’far, hamzah qatha’ dalam kalimat tersebut
diganti ya’ ketika diwashalkan. (Abdul Fattah, 1981:143)
B. Penggantian Shad dengan Siin
Yakni mengganti shad dengan siin pada kata ( يبصطQS. al-Baqarah:245) dan
( بصطةQS. al-A’raf:69) untuk selain bacaan Nafi’, al-Bazzi, Ibnu Dzakwan, Syu’bah,
Ali Kisa’i, Abu Ja’far dan Khalad. (Ibid, 119) sedangkan pada يطرoo( بمصQS. al-
Ghasyiyah:22) Imam Ashim membaca sebagaimana tulisan mushaf, lain halnya
dengan يطرونoo( المصQS. al-Thur:37) kata ini bisa dibaca dengan mengganti shad
dengan siin atau dibaca tetap sebagaimana tulisannya. (Ibid, 306)
Alasan digantinya shad dengan siin pada semua kalimat di atas yaitu
mengembalikan pada asal katanya, sedangkan alasan ditetapkannya shad yaitu
mengikuti rasm/khat utsmani al-Qur’an dan juga untuk menyesuaikan sifat ithbaq
dengan huruf sesudahnya (tha’) yang mempunyai sifat isti’la’. (al-Qaisy, 1987:I/34)
5. Isymam
Yaitu membaca harakat kata yang diwaqaf tanpa ada suara dengan mengangkat
dua bibir setelah mensukunkan huruf yang dirafa’, seperti تعينoo نس. Dalam bacaan
Imam Hisyam, diisymamkannya kata قيلdengan mencampur dlammah dan kasrah
dalam satu huruf, demikian juga Imam Hamzah membaca isymam kata الصراط،صراط
dengan memadukan bunyi صdan ( زAbdul Fattah, 1981:15). Namun dalam bacaan
Hafs isymam hanya ada kata ( ال تأمناQS. Yusuf:11), yakni lidah melafadzkan ال تأمننا
tanpa ada perubahan suara alias tetap sama dengan tulisannya ال تأمنّا.
Secara bahasa bisa difahami bahwa memang asal dari kalimat itu terdapat dua
nun yang diidharkan, yang awal didlammah dan kedua difathahkan (Ibid, 161).
Sementara itu rasm al-Qur’an hanya menulis satu nun sehingga untuk
mempertemukan keduanya dipilih jalan tengah yaitu secara bunyi mengikuti rasm
dan gerakan bibir mengikuti kata asal.
6. Tash-hil
Arti tash-hil secara bahasa “memberi kemudahan atau keringanan”, sedangkan
dalam istilah qiraat, tash-hil diartikan membaca hamzah kedua (dari dua hamzah
yang beriringan) dengan bunyi leburan hamzah dengan alif, seperti أأنتم، أأنذرتهمdan
lain-lain.
Hanya saja dalam riwayat Hafs bacaan tash-hil hanya satu yaitu ( أأعجمي وعربيQS.
al-Fushshilat:44). Ketika bertemu dua hamzah qatha’ yang berurutan pada satu
kata maka melafadzkan kata semacam ini bagi orang Arab terasa berat, sehingga
bacaan seperti ini bisa meringankan.
Juga ada tash-hil yang berasal dari mad lazim, sebagaimana yang dikemukakan
Imam Nasr Makky ada enam tempat, yaitu
1. Surat al-An’am ayat 143 : ْنoِ قُلْ َءال َّذ َك َر ْي ِن َح َّر َم أَ ِم اأْل ُ ْنثَيَي
2. Surat al-An’am ayat 144 : ْنoِ قُلْ َءال َّذ َك َر ْي ِن َح َّر َم أَ ِم اأْل ُ ْنثَيَي
3. Surat Yunus 51 : َْجلُون ِ آآْل نَ َوقَ ْد ُك ْنتُ ْم بِ ِه تَ ْستَع
4. Surat Yunus 91 : َصيْتَ قَ ْب ُل َو ُك ْنتَ ِمنَ ْال ُم ْف ِس ِدين َ آآْل نَ َوقَ ْد َع
5. Surat Yunus 59 : قُلْ آهَّلل ُ أَ ِذنَ لَ ُك ْم أَ ْم َعلَى هَّللا ِ تَ ْفتَرُون
6. Surat al-Naml 59 : َ( آهَّلل ُ َخ ْي ٌر أَ َّما يُ ْش ِر ُكونNashr Makky, 137)
7. Madd & Qasr
Dalam qiraat sab’ah khususnya bacaan Hafs, banyak ditemukan kata yang tertulis
dalam rasm utsmani pendek tapi dibaca panjang dan tertulis panjang dibaca
pendek, di antaranya:
a- ملكterbaca مالك
Imam Ashim dan Ali Kisa’i membaca mim dengan alif, sedang yang lain
membaca pendek. Mereka yang membaca dengan alif beralasan sesuai dengan ayat
al-Qur’an : قل اللهم مالك الملكdan bukan ملك الملكjuga karena maalik berarti dzat yang
memiliki, sedangkan malik berarti tuan atau penguasa sehingga dalam al-Quran Allah
berfirman: ملك الناسyang berarti tuhan manusia dan tidak cocok makna yang seperti
itu untuk kata hari pembalasan ( يوم الدينal-Qaisy, I/26).
b- أناterbaca أنketika washal
Alasan dipendekkannya nun ketika washal pada semua kata ( أناdlamir yang
berarti saya), adalah karena alif tersebut hanya berfungsi menjelaskan harakat
sebagaimana menambahkan ha’ ketika berhenti () هاء السكت. Ketika ada kata benda
yang hurufnya sedikit lalu diwaqafkan dengan sukun maka bunyinya akan janggal
dan diberi tambahan alif itu agar bunyi nun tetap sebagaimana asalnya. Sedangkan
tidak ditambahkannya alif ketika washal karena nun sudah berharakat. (al-Qaisy,
1987:II/61)
Ada juga lafadz yang mirip dengan أناyaitu ( لكناQS. Al-Kahfi:38), yakni dibaca
pendek ketika washal dan dibaca panjang ketika waqaf. Hal itu dikarenakan asal dari
لكناadalah أنا+ لكنdan bukan نحن+ لكن.
c- قواريرا، الظنونا،الرسوال
Imam Nafi’, Abu Bakar, Hisyam, al-Kisa’i membaca kata di atas dengan
tanwin, sementara yang lain termasuk Imam Ashim riwayat Hafs membacanya
dengan tanpa tanwin. Semua ulama mewaqafkannya dengan alif kecuali Hamzah dan
Qonbul, keduanya mewaqafkan tanpa alif (al-Qaisy, 1987:II/352).
Alasan mereka yang mewaqafkan dengan alif adalah karena mengikuti rasm
atau khat mushaf yang mencantumkan alif dan ketika washal alifnya tidak terbaca,
khusus kata قواريراtidak ditanwin karena sighat muntahal jumu’ yang termasuk isim
ghairu munsharif. Sedangkan السبيال، الرسوال، الظنوناmeskipun bukan termasuk jama’
akan tetapi ia disamakan dengan syair yang akhir baitnya (qafiyah) terdapat fathah
yang dipanjangkan dengan alif (Ibid, II/353).
d- المالء، أولوا،أولئك
Dalam rasm utsmani ada beberapa huruf yang tertulis tapi tidak terbaca seperti أ
المالء،ولئك أولو, ada pula yang tak tertulis tapi terbaca seperti ذلك، هذه، هذا. Inilah yang
merupakan keunikan dari rasm al-Qur’an yang penuh rahasia dan mukjizat.
8. Shilah
Kaidah umum yang berkaitan dengan ha’ dlamir berbunyi bahwa apabila ada
ha’ dlamir yang tidak didahului huruf mati maka harus dipaanjangkan seperti به،له
dan juga untuk menguatkan huruf ha’ perlu ditambahkan huruf mad setelahnya, inilah
ijma para ulama qira’ah (al-Qaisy, 1987:I/44), sebaliknya apabila ha didahului huruf
yang disukun maka dibaca pendek, seperti إليه،منه. Para ulama qurra’ kecuali Ibnu
Katsir, kurang senang menggabungkan dua huruf sukun yang dipisah oleh huruf
lemah yaitu ha, sehingga mereka membuang huruf mad setelah ha’ dan inilah
madzhab Imam Sibawaih. (Ibid, I/42)
Dalam riwayat Hafs ditemukan ha’ dlamir yang dipanjangkan walau didahului
huruf mati seperti ( ويخلد فيه مهاناQS. al-Furqan:69). Dalam hal ini Imam Hafs sama
bacaannya dengan Ibnu Katsir, yaitu membaca shilah ha’ (panjang). Alasannya
diketahui bahwa ha’ adalah huruf lemah sebagaimana juga hamzah, sehingga ketika
ha’ dikasrahkan, maka sebagai ganti dari wawu sukun adalah ya’ untuk menguatkan
ha’. Dalam perkataan Arab sendiri jarang dijumpai wawu sukun yang didahului
kasrah, sehingga menjadi فيهيatau ( عليهيal-Qaisy, I/42). Dan ada pula ha’ yang
dipendekkan (kendatipun tidak didahului huruf mati) dengan mendlammahkan ha’
tanpa shilah, yaitu ه لكمoo( يرضQS. Al-Zumar:7), bacaan seperti juga dijumpai pada
bacaan Imam Hamzah, Nafi’, Ya’qub (Abdul Fattah, 1981:274).
Alasan dipanjangkannya kata فيهyaitu mengembalikannya pada asalnya, yang
mana ـهberasal dari kata هو. Ketika digabung dengan فيmenjadi فيهو, akan tetapi ha’
didahului ya’ sukun yang identik dengan kasrah sehingga harakat ha’ harus
disesuaikan dengan harakat sebelumnya dan mengganti huruf mad wawu menjadi ya’
untuk menyesuaikannya dengan kasrah sehingga menjadi فيهيdan huruf mad diganti
dengan harakat kasrah berdiri: فيه.
Mengenai alasan dipendekkannnya ha’ pada kata يرضهdan semacamnya yaitu
mengembalikannya pada tulisan mushaf yang tidak terdapat wawu mad setelah ha’.
9. Memfathah atau mendlammah dlad
Dalam al-Qur’an ada lafadz serupa yang diulang tiga kali dalam satu ayat yaitu
( ضعْفQS. al-Ruum:54). Kata tersebut adalah masdar dari ضعُف – يض َعف. Para ulama
qira’ah berbeda dalam membaca harakat dlad, Imam Hamzah dan syu’bah memfathah
dlad dan ulama lainnya -kecuali Imam Hafs- membacanya dengan dlammah. Sedang
Imam Hafs sendiri membaca fathah dan dlammah.
Alasan terjadinya perbedaan itu karena dalam ilmu sharaf, kata ضعُف – يض َعفitu
mempunyai dua masdar yaitu ضعْف
َ dan ضعْف
ُ , sebagaimana yang terjadi pada kata فقر
juga mempunyai dua masdar yakni فَ ْقرdan ( فُ ْقرal-Qaisy, II/213).
10. Basmalah dalam Surat Taubat
Dalam Mushaf Utsmani semua surat al-Qur’an diawali dengan basmalah kecuali
surat al-Bara’ah atau surat al-taubat. Terkait dengan hal itu Ubay bin Ka’ab
berkata bahwa Rasulullah pernah menyuruh kami menulis basmalah di setiap awal
surat, dan tidak memerintahkan kami menulisnya di awal surat al-Bara’ah, oleh
karenanya surat tersebut digabungkan dengan surat al-Anfal dan itu lebih utama
karena adanya keserupaan keduanya. Imam Ashim berkata: Basmalah tidak ditulis
di awal surat al-Bara’ah, karena basmalah itu berarti rahmat atau kasih sayang,
sedangkan al-Bara’ah merupakan surat adzab atau siksaan. (al-Qaisy, 1987:I/20)
Para ulama fiqh berbeda pendapat mengenai hukum membaca basmalah di awal
surat al-Bara’ah ini, Imam Ibnu Hajar dan al-Khatib mengharamkan membaca
basmalah di awal surat ini dan memakruhkan membacanya di tengah surat.
Sedangkan Imam Ramli dan para pengikutnya memakruhkan membaca basmalah di
awal surat dan mensunnahkan membacanya di tengah surat sebagaimana surat-surat
yang lain. (Abdul Fattah, 1981:13)
قائمة المراجع
-عبد القيوم بن عبد الغفور السندي (أبو طاهر) ،صفحات في علوم القراءات،
المدينة المنورة :مطابع الرشيد
-عبد الفتاح القاضي ،البدور الزاهرة ،الطبعة األولى ،1981بيروت :دار الكتاب
العربي
-محمد مكي نصر ،نهاية القول المفيد في علم التجويد ،كتاب منسوخ بدون طبع
-أبو محمد مكي بن أبي طالب المكي القيسي ،الكشف عن وجوه القراءات السبع
وعللها وحججها ،الطبعة الرابعة ،1987بيروت :مؤسسة الرسالة
-السيد رزقي الطويل ،دراسات في علوم القراءات ،الطبعة الثانية ،1994مـكة
-عبد الهادي الفضلي ،القراءات القرآنية ،1979 ،جدة :دار المجمع العلمي
Nama-Nama Imam Qira’ah Asyrah dan Para Perawinya
No Nama Imam Tempat Tahun Nama Perawi Tahun Nama Perawi Tahun
Asal Wafat Wafat Wafat
1 ’Nafi Madinah 169 Qalun 220 Warsy 197
2 Ibnu Katsir Mekkah 120 Al-Bazzi 250 Qanbul 291
3 Abu Amr Bashrah 154 Al-Dury 246 Al-Susy 261
4 Ibnu Amir Syam 118 Hisyam 245 Ibnu Dzakwan 242
5 Ashim Kufah 128 Syu’bah 193 Hafs 180
6 Hamzah Kufah 156 Khalaf 229 Khalad 220
7 Al-Kisa’i Kufah 189 Abul Haris 240 Al-Dury 246
8 Abu Ja’far Madinah 128 Ibnu Wardan 160 Ibnu Jamaz 170
9 Ya’qub Bashrah 205 Ruwais 238 Ruh 235
10 Khalaf Bagdad 229 Ishaq 286 Idris
55 Kendal Ahmad KH. 0294-385190 Tashih 56 Kendal Ibnu Mas'ud Ust 081-
326670329 Metodologi