You are on page 1of 100

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM

IMUNOLOGI II

DISUSUN OLEH :
1. Aji Iin Safitrie (PO 7234008001)
2. Ami Yudhita (PO 7234008002)
3. Andi Budiman (PO 7234008003)
4. Aniek Rosalita (PO 7234008004)
5. Anisa Ulfah (PO 7234008005)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR
JURUSAN ANALIS KESEHATAN
TINGKAT III
TAHUN 2010/2011
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Puja dan puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang dengan
taufiq dan hidayah-Nyalah laporan resmi ini dapat terselesaikan. Dan tak lupa
pula shalawat serta salam kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW,
karena beliaulah yang menuntun kita dari zaman kebodohan menuju zaman yang
terang benderang dengan limpahan ilmu dan pendidikan seperti saat ini.
Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak, terutama kepada
Pembimbing Praktikum mata kuliah Imunologi. Dan tak lupa pula kami
sampaikan rasa terima kasih kami kepada teman-teman yang telah mendukung,
memotivasi, serta membantu kami dalam menyelesaikan laporan resmi ini.
Kami menyadari bahwa laporan yang kami buat ini masih terdapat banyak
kekurangan. Oleh karena itu, kami dengan lapang dada dan senang hati menerima
saran maupun kritikkan dari semua kalangan demi kesempurnaan laporan yang
kami susun ini.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Samarinda, November 2010

Tim Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................. i


DAFTAR ISI.............................................................................................. ii
PRAKTIKUM 1 : PEMERIKSAAN SEROLOGIS SIFILIS METODE
VDRL........................................................................ 3
PRAKTIKUM 2 : PEMERIKSAAN SEROLOGIS SIFILIS METODE
TPHA ……………………………………………… 17
PRAKTIKUM 3 : PEMERIKSAAN HBsAg METODE RAPID......... 33
PRAKTIKUM 4 : PEMERIKSAAN ANTI HBs METODE ELISA … 44
PRAKTIKUM 5 : PEMERIKSAAN HIV METODE RAPID ……….. 59
PRAKTIKUM 6 : PEMERIKSAAN ANTI HIV METODE RAPID... …77
DAFTAR PUSTAKA................................................................................

ii
PEMERIKSAAN SEROLOGIS SIFILIS
METODE VDRL

3
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


PMS (Penyakit Menular Seksual) dimaksudkan sebagai yang ditularkan
secara langsung dari seseorang ke orang lain melalui kontak seks
(http://www.explaju.com)
PMS menyebar cukup mengkhawatirkan di Indonesia baik jenis
gonorrhoeae maupun sifilis. Sifilis merupakan penyakit kelamin menular yang
disebabkan oleh bakteri spiroceta Treponema pallidum. Penularan biasanya
melalui kontak seksual, tetapi ada beberapa contoh lain seperti kontak langsung
dan congenital sifilis (penularan melalui ibu ke anak dalam uterus)
(http://www.cyberman.cbn.id)
Gejala dan tanda dari sifilis dan berlainan, sebelum perkembangan tes
serological, diagnose sulit dilakukan dan penyakit ini disebut “peniru besar”
karena sering dikira penyakit lainnya. Data yang dilansir Departemen Kesehatan
menunjukkan penderita sifilis mencapai 5000-10.000 kasus pertahun. Sementara
di China, laporan menunjukan jumlah kasus yang dilaporkan naik dari 0,2 per
100.000 jiwa pada tahun 1993 menjadi 5,7 kasus per 100.000 jiwa pada tahun
2005. Di Amerika Serikat dilaporkan sekitar 36.000 kasus sifilis tiap tahunnya,
dan angka yang sebenarnya diperkirakan sekitar tiga per lima kasus ini dialami
oleh laki-laki. (http://www.cyberman.cbn.id)
Bila tidak terawat, sifilis dapat menyebabkan efek serius seperti kerusakan
system syaraf, jantung dan otot. Sifilis yang tidak terawatt dapat berakibat fatal.
Orang yang memiliki kemungkinan terkena sifilis atau menemukan pasangan
seksnya mungkin terkena sifilis dianjurkan untuk segera menemui dokter dokter
secepat mungkin. (http://www.cyberman.cbn.id)

4
I.2 Tujuan
Untuk mendeteksi adanya antibody yang terdapat didalam serum terhadap
kuman Treponema pallidum yang menyebabkan penyakit sifilis, serta mengetahui
titer tertinggi antibody terhadap antigen.

I.3 Manfaat
Manfaat dari praktikum pemeriksaan serologis yaitu agra mahasiswa/I
dapat mengetahui dan memahami cara melakukan pemeriksaan serologis sifilis
secara VDRL / RPR.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi
Sifilis atau yangdisebut dengan raja singa disebabkan oleh sejenis bakteri
yang berbentuk spiral atau spirochete yang disebut Treponema pallidum. Bakteri
yang berasal dari family spirochaetaceae ini memiliki ukuran sangat kecil dan
dapat hidup hampir di seluruh bagian tubuh. Spirocaeta penyebab sifilis ini dapat
ditularkan dari satu orang ke orang lain melalui hubungan genito-genital
(kelamin-kelamin) maupun oro genital (seks oral). Infeksi ini juga dapat
ditularkan oleh seorang ibu ke arah bayi selama masa kehamilan
(http://www.banjarmasinpost.co.id).
Spirocaeta memperoleh akses melalui kontak antara lesi bawah terinfeksi
setiap kerusakan maupun mikroskopik dikulit, atau mukosa pejamu, sifilis dapat
disembuhkan pada tahap-tahap infeksi, tetapi bila dibiarkan, penyakit ini dapat
menjadi sistemik dan kronik (Price, 2003).

II. 2 Treponema pallidum


Treponema pallidum ialah kuman yang masuk ke dalam ordo
spirochaetales, family spirichataceae dan genus treponema. Pada tahun 1905,
Schaudinn dan Hoffman menemukan bahwa Treponem pallidum adalah kuman
penyebab sifilis. Sifilis adalah penyakit infeksi yang sangat kronik dan sejak
semula bersifat sistemik. Pada perjalanannya, infeksi ini dapat menyerang hampir
semua alat tubuh dan dapat menyerupai banyak penyakit, mempunyai masa laten
dan dapat ditularkan dari ibu ke janin (Harahap, 1990).
Genus treponema mencakup Treponema pallidum yang menyebabkan
sifilis; Treponema pallidum subspesies endomicum menyebabkan sifilis endemic
(bejel); dan Treponema corrateum menyebabkan penyakit pinta (Jawet, 1996).

6
Treponema berbentuk spiral teratur, langsing berukuran lebar kira-kira 0,2
µm dan panjangnya antara 5-15 µm, terdiri atas 8-24 lekukan. Spiral melilit
teratur berjarak 1 µm satu sama lain. Organisme ini bergerak secara aktif terus
menerus berputar mengelilingi sumbu panjangnya. Sumbu panjan spiral biasanya
lurus, tetapi kadang-kadang dapat bengkok sehingga pada suatu saat organisme ini
dapat membentuk lingkaran utuh, kemudian kembali ke posisi lurus karena
demikian tipis, mikroorganisme ini tidak terlihat kecuali dengan penerangan
lapangan gelap atau dengan pewarnaan imunofluoresensi. Mikroorganisme ini
tidak terwarnai dengan baik oleh zat warna anilin, tetapi dapat terlihat dalam
jaringan bila diwarnai dengan metode impregnasi perak (Jawetz, 1996).
Bentuk protein Treponema pallidum (semua spesies) tidak dapat
dibedakan telah tercatat lebih dari 100 protein flagelin bakteri lain, ditambah
protein selubung lain yang tidak berhubungan. Teradapat banyak kelompok
lipoprotein yang telah diketahui fungsinya, diduga semua ini tampak penting
dalam respon imun. Kardiolipin adalah komponen penting dari antigen treponema
(Jawetz, 1996).
Pada manusia dengan sifilis timbul antibodi yang dipakai untuk mewarnai
Treponema pallidum dengan imunofluoresensi tidak langsung menyebabkan
terjadinya imobilisasi dan kematian Treponema pallidum atau spiroceta yang
sejenis. Spiroceta juga menyebabkan pembentukan zat tertentu yang menyerupai
antibodi, reagen yang memberikan ikatan komplemen dan flokulasi yang
ditambah dengan suspensi lipid dalam air yang diekstrak dari jaringan mamalia
normal. Regin maupun antibodi antitreponema dapat digunakan untuk diagnosis
serologis sifilis (Jawetz, 1996).

II.3 Etiologi
Pada tahun 1905 penyebab sifilis ditemukan oleh Schaudinn dan Hoffman,
yaitu Treponema pallidum yang termasuk ordo spirochaetales, family
spirochaetaceae dan genus treponema. Bakteri ini merupakan basil gram negatif
yang panjang, tipis, bergulung secara helix, berbentuk spiral atau seperti pembuka
tutup botol, panjangnya antara 6-15 µm, lebar 0,15 µm, terdiri atas 8-24 lekukan.

7
Membiak secara pembelahan melintang pada stadium aktif terdiri setiap 30 jam
(Marwali, 1990).
Pembentukan pada umumnya tidak dapat dilakukan di luar badan. Di luar
badan kuman tersebut cepat mati, sedangkan dalam darah untuk transfusi dapat
hidup 72 jam (Marwali, 1990).

II.4 Patogenesis, Patologik dan Gambaran Klinik


Penularan terjadi memlalui kontak langsung dengan lesi yang mengandung
organisme treponema. Treponema dapat masuk melalui selaput lendir yang utuh
atau kulit dengan lesi. Kemudian masuk ke peredaran darah dan semua organ
tubuh. Infeksi bersifat sistemik dan manifestasinya akan tampak kemudian
(Mansjoer, 2000).
Secara klinis, sifilis dibagi dua golongan yaitu sifilis yang didapat
(akuista) dan sifilis kongenital. Sifilis yang didapat (akuista) dibagi menjadi tiga
stadium, yaitu : (Mansjoer, 2000)
II.4.1 Sifilis Stadium I
Tiga minggu (9-10 hari) setelah infeksi, timbul lesi pada tempat
Treponema pallidum masuk. Lesi umumnya hanya satu. Terjadi efek
primer berapa yang erosif, berukuran beberapa millimeter sampai 1-2 cm,
bentuk bulat atau lonjong, dasarnya bersih, merah, kulit disekitarnya
terdapat tanda radang dan bila diraba ada pengerasan (indurasi) yang
merupakan satu lapisan seperti buah kancing di bawah kain. Kelainan ini
(indolen), lesi umumnya terdapat pada alat kelamin dapat juga ekstra
genital seperti bibir, lidah, tonsil, puting susu, jari dan anus, misalnya pada
penularan ekstrakeitel. Tanpa pengobatan, lesi dapat hilang spontan dalam
4-6 minggu cepat atau lambat bergantung besarnya lesi.
II.4.2 Sifilis Stadium II
Waktu antara stadium I dan stadium II umumnya berkisar antara 6-
8 minggu. Kadang-kadang terjadi masa transisi yakni sifiilis stadium I
masih ada, saat timbul gejala sifilis II. Gejala seperti nyeri kepala, demam
sub-febril, anoreksia, nyeri pada tulang dan nyeri pada leher biasanya

8
mendahului, kadang-kadang bersamaan dengan kelainan pada kulit. Lesi
primer dan sekunder mengandung banyak treponema dan sangat menular.
II.4.3 Sifilis Stadium III
Lesi yang khas adalah guma yang terjadi 3-7 tahun sistem infeksi.
Guma dapat timbul pada semua jaringan dan organ membentuk nekrosis
sentral di kelilingi jarinan granulasi dan pada bagian luarnya terdapat
jaringan fibrosa, sifatnya destruktif. Pada semua lesi tersier, treponema
sangat jarang ditemukan, respon jaringan yang berlebihan diakibatkan oleh
beberapa bentuk hipersensitivitas terhadap organ.

Sifilis congenital dapat terjadi apabila Treponema pallidum masuk ke


plasenta dan peredaran darah janin. Oleh karena itu, kumaln langusung masuk ke
peredaran darah. Pada sifilis congenital tidak terdapat sifilis stadium I. sifilis
kongenital dibagi menjadi : (Mansjoer, 2000)
II.4.4 Sifilis Kongenital Dini
Sifilis kongenital dini dapat muncul beberapa minggu (3 minggu)
setelah bayi dilahirkan. Kelainan berupa vesikel dan gula yang setelah
memecah membentuk erosi kuta.
II.4.5 Sifilis Kongenital Lanjut
Sifilis kongenita lanjut terdapat pada usia lebih dari 2 tahun.
Manifestasi klinis baru ditemukan pada usia 7-9 tahun dengan adanya tria
Hutchinson, yakni kelainan pada mata (keratitis inferstitial yang dapat
menyebabkan kebutaan, ketulian atau gangguan pendengaran) dan gigi
Hatchinson.
II.4.6 Stigmata
Stigmata terlihat pada sudut mulut berupa garis-garis yang jalannya
radier, gigi Hutchinson, gigi molar pertoma berbentuk seperti murbal dan
penonjolan tulang kepala (frontal bossing).

II.5 Tes Diagnostik Laboratorium


II.5.1 Bahan

9
Bahan cairan jaringan yang dikeluarkan dari permukaan
lesi
dini untuk memperlihatkan spiroketa : serum dan darah digunakan
untuk tes serologik
II.5.2 Pemeriksaan Lapangan Gelap
Setetes cairan jaringan atau eksudat diletakkan pada objek
glass dan penutup ditekan diatasnya untuk membuat lapisan tipis.
Preparat kemudian diperiksa menggunakan mikroskop dengan
penerangan lapangan gelap. Untuk melihat ciri khas pergerakan
spiroketa
II.5.3 Imunofluoresensi
Cairan jaringan atau eksudat dioleskan pada objek glass,
dikeringkan diudara kemudian diperiksa, sediaan direkat, diwarnai
engan serum anti treponema bertanda fluoresena dan diperiksa
dengan menggunakan mikroskop imunofluoresensi untuk melihat
spiroketa yang berfluoresensi khas
II.5.4 Tes Serologis
Tes serologis untuk sifilis (STS = Serologik Tes for
Syphilis). Tes ini menggunakan antigen treponema atau antigen
non-treponema.
(Jawetz, 1996)

II.6 Tes Antigen Non-Treponema dan Antibodi Treponema


II.6.1 Test Antigen Non-Treponema
Antigen yang digunakan adalah lipid diekstraksi dari jaringan
mamalia normal. Kardiolipin murni dari jantung sapi merupakan
disosfatidil gliserol. Zat ini memerlukan tambahan lesitin dan kolesterol
atau “sensitizer” lainnya untuk bereaksi dengan regain sifilis. Reagin
adalah campuran IgM dan IgA terhadap beberapa antigen yang banyak
terdapat pada jaringan normal. Reagin ditemukan di dalam serum

10
penderita setelah 2-3 minggu infeksi sifilis tidak diobati dan dalam cairan
spiral setelah 4-8 minggu setelah infeksi (Brooks, 1996).

Dua jenis tes untuk menentukan adanya reagin adalah :


a. Tes flokulasi (VDRL = Veneral Desease Research Laboratories; RPR =
Rapid Plasma Reagin)
Tes ini didasarkan pada kenyataan bahwa partikel anti lipid
(kardiolipid jantung sapi) tetap tersebat dalam serum normal tetapi terlihat
menggumpal bila bergabung dengan reagin. Gumpalan timbul dalam
beberapa menit, terutama bila suspense digerakkan. Tes dapat digunakan
pada cairan spiral. Antibody tidak dapat mencapai cairan serebrospinal
dari aliran darah tetapi mungkin dibentuk dalam susunan saraf pusat
sebagai respon dari infeksi sifilis.
b. Tes Ikatan Komplemen (CF = Complement Fixation)
Tes ini didasarkan pada kenyataan bahwa serum yang mengandung
reagin mengikat komplemen bila ada antigen kardiolipin. Tes ini jarang
dilakukan dibandingkan flokulasi.

II.6.2 Test Antibodi Treponema


Uji antibodi treponema yang digunakan secara luas saat ini adalah
Fluorescent Treponemal Antibody-Absorbed Double Strain Test (FTA-
Abs. 05), uji mikrohemaglutinasi. Treponema pallidum (MHA-TP) dan uji
treponema hemaglutinasi untuk sifilis (HATTS). Pemakaian uji-uji ini
biasanya terbatas untuk konfirmasi hasil positif uji non treponema (VDRL
atau RPR) (Sacher, 2004).

11
BAB III
METODE KERJA

III.1 Waktu dan Tempat Praktikum


Pemeriksaan serologi sifilis metode VDRL ini dilaksanakan pada hari:
jum’at, 24 September 2010 dan bertempat di Laboratorium Kesehatan Samarinda.

III.2 Prinsip
Bersatunya antibodi dengan antigen Treponemal membentuk
hemaglutinasi.

III.3 Metode
Praktikum VDRL ini menggunakan metode hemaglutinasi.
III.4 Alat
Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah :
a. Slide test dasar putih
b. Batang pengaduk
c. Yellow tape
d. Mikropipet
e. Rotator
f. Rak dan tabung reaksi
g. Pipet tetes
h. sentrifuge

III.5 Reagensia
a. Reagen RPR
b. NaCl 0,9 %

12
III.6 Sampel
Sampel yang digunakan dalam praktikum ini adalah :
Nama : Anisa Ulfah
Umur : 20 tahun

III.7 Cara Kerja


1. Pemeriksaan RPR
a. Dibiarkan sampel dan reagen dalam suhu kamar selama 10-30 menit
b. Diambil 50 l sampel di taruh ditengah lingkaran slide test
c. Ditambah 1 tetes/20 µl reagen RPR dan diaduk dengan batang
pengaduk
d. Dirotator pada kecepatan 100 rpm, selama 8 menit
e. Diamati dan dibaca hasilnya, bila hasil reaktif dilanjutkan pengenceran

2. Pengenceran
a. Dipipet 50 µl NaCl 0,9 %, masing-masing ke-6 lingkaran larutan test
b. Dipipet 50 µl serum, dicampur dengan NaCl 0,9% (fisiologis) pada
lingkaran 1, dihisap dan dikeluarkan 5-10 kali dengan pipet
c. Dipipet 50 µl campuran lingkaran 1, dicampur dengan NaCl 0,9% pada
lingkaran ke-2, dihisap lalu dikeluarkan 5-10 kali
d. Dilakukan seterusnya sampai dengan lingkaran ke-6 dan dibuang 50 µl
campuran pada lingkaran ke-6
e. Diratakan dengan batang pengaduk, dimulai pengenceran tertinggi
f. Ditambahkan 1 tetes reagen RPR pada setiap lingkaran slide test,
dirotator 8 menit dengan kecepatan 100 rpm
g. Dibaca hasil pengenceran tertinggi yang masih menunjukkan flokulasi

13
III.8 Interpretasi Hasil

Reaktif Non Reaktif

14
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Hasil
Dari hasil pemeriksaan serologi sifilis secara VDRL / RPR,di dapatkan
hasil yaitu:
Nama : Anisa Ulfah
Umur : 20 tahun
Hasil : Non reaktif ( - )

IV.2 Pembahasan
Pemeriksaan serologis sifilis menggunakn metode diagnosa tidak langsung
nontreponema antigen RPR (rapid plasma reagin) secara kuantitatif. Pada suatu
analisa kuantitatif, maka jumlah atau kuantitet dari suatu bahan yang dicari harus
dapat diukur dan dinyatakan dalam satu satuan atau unit yang berarti. Dalam tes
serologi,kadar dari antibodi di dalam tes serum biasanya di tentukan dengan
pengenceran serum secara progresif dengan suatu larutan pengenceran (diluent )
tertentu sedangkan,satuan kuantitatifnya dinyatakan dalam bentuk titer dari
antibodi didalam serum. Titer adalah harga kebalikan dari pengenceran serum
yang terbesar yang masih memberi reaksi positif ( Handojo,1982 ).
Dasar – dasar pemilihan uji serologis untuk sifilis perlu ditinjau dari
beberapa sudut,yaitu ( Handojo,1982 ) :
a. Sensitifitas
b. Presisi
c. Akurasi,yang amat di pengaruhi oleh spesifitas dari tes tersebut
d. Nilai fisiopatologik dari tes, artinya bila tidak ada penyakit tes
negatif atau titer rendah, bila ada penyakit tes positif dengan titer yang
sesuai dengan derajat penyakitnya dan bila telah sembuh tes menjadi
negatif lagi / titer turun ke taraf sebelum menderita penyakit.
e. Kepraktisan

15
BAB V
PENUTUP

V.1 Kesimpulan
Dari praktikum pemeriksaan serologis sifilis terhadap sampel didapatkan
hasil non-reaktif (negatif sifilis)

V.2 Saran
a. Sebaiknya orang yang terinfeksi sifilis, secepat mungkin diobati dan
tidak menularkan kepada orang lain.
b. Selama pengobatan sifilis, sebaiknya tetap rutin untuk melakukan
pemeriksaan RPR dengan pengenceran serum, yang berguna untuk
memantau hasil pengobatan sifilis.

16
PEMERIKSAAN SEROLOGIS SIFILIS
METODE TPHA

17
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Penyakit Menular (PMS) dimaksudkan sebagai penyakit yang ditularkan
secara langsung dari seseoran ke orang lain melalui kontak seks
(www.explaju.com).
PMS menyebabkan infeksi alat reproduksi yang harus dianggap serius.
Bila tidak diobati secara tepat, infeksi dapat menjalar dan menyebabkan
penderitaan, kemandulan, dan kematian. Perempuan mempunyai resiko lebih
besar terkena PMS dibandingkan dengan pria, sebab alat reproduksi perempuan
lebih rentan. Dan seringkali berakibat lebih parah karena gejala awal tidak segera
dikenali, sedangkan penyakit melanjut ke tahap lebih parah
(www.nurularifin.com).
PMS menyebar cukup mengkhawatirkan di Indonesia. Baik jenis
gonorchea maupun jenis sifilis. Sifilis merupakan penyakit menular yang
disebabkan oleh bakteri spiriseta, Treponema pallidum. Penularan biasanya
melalui kontak seksual, tetapi ada beberapa contoh lain seperti kontak langsung
dan kongenital sifilis (penularan dari ibu ke anak dalam uterus)
(www.cyberman.cbn.net.id).
Gejala dan tanda dari sifilis banyak dan berlainan, sebelum perkembangan
tes serologikal, diagnosa sulit dilakukan dan penyakit ini sering disebut ”Peniru
Besar” karena sering dikira penyakit lainnya. Data yang dilansir Departemen
Kesehatan menunjukkan penderita sifilis mencapai 5.000 – 10.000 jiwa pada
tahun 2005. Di Amerika Serikat dilaporkan sekitar 36.000 kasus sifilis setiap
tahunnya, dan angka sebenarnya diperkirakan lebih tinggi. Sekitar tiga per lima
kasus ini dialami oleh laki – laki (www.cybermann.cbn.net.id).
Bila tidak terawat, sifilis dapat menyebabkan efek serius seperti kerusakan
sistem saraf, jantung, dan otak. Sifilis yang tidak terawat dapat berakibat fatal.

18
Orang yang terkena siflis atau menemukan pasangan yang terkena siflis
dianjurkan untuk segera menemui dokter secepat mungkin
(www.cyberman.cbn.net.id).

I.2 Tujuan
Tujuan dari praktikum serologi sifilis yaitu untuk mendeteksi adanya
antibodi yang terdapat dalam serum terhadap kuman Treponema pallidum yang
menyebabkan penyakit sifilis, serta mengetahui titer tertinggi antibodi terhadap
antigen.

I.3 Manfaat
Manfaat dari praktikum pemeriksaan serologis sifilis secara RPR (Rapid
Plasma Reagin) dan TPHA (Treponema pallidum Hemagglutination Assay) yaitu
agar mahasiswa mampu mengetahui, memahami, dan menerapkan prosedur
pemeriksaan ini secara tepat dan benar atau sesuai dengan prosedur yang telah
ditentukan.

19
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi
Sifilis atau yang disebut dengan ”Raja Singa”, disebabkan oleh sejenis
bakteri yang berbentuk spiral atau spirochete yang dikenal dengan Treponema
pallidum. Bakteri yang berasal dari famili Spirochaetaceae ini, memiliki ukuran
sangat kecil dan dapat hidup hampir di seluruh bagian tubuh. Spirochaeta
penyebab sifilis ini dapat ditularkan dari satu orang ke orang lain melalui
hubungan genito – genital (kelamin – kelamin) maupun oro – genital (seks oral).
Infeksi ini juga dapat ditularkan oleh seorang ibu kepada bayinya selama masa
kehamilan (www.banjarmasinpost.co.id).
Spirochaeta memperoleh akses melalui kontak langsung dari lesi bawah
terinfeksi dengan setiap kerusakan walaupun mikroskopik, di kulit, atau mukosa
pejamu. Sifilis dapat disembuhkan pada tahap – tahap infeksi, tetapi bila
dibiarkan, penyakit ini dapat menjadi sistemik dan kronik.

II.2 Etiologi
Pada tahun 1905, penyebab sifilis ditemukan oleh Schauddin dan Hoffman
yaitu Treponema pallidum, yang berordo Spirochaetales, familia
Sprirochaetaceae, dan genus Treponema. Bakteri ini merupakan basil gram
negatif yang panjang, tipis, bergulung secara heliks, berbentuk spiral, atau seperti
pembuka tutup botol, panjangnya antara 6 – 15 µm, lebar 0,15 µm, terdiri atas
delapan sampai dua puluh empat lekukan. Membiak secara pembelahan
melintang, pada stadium aktif terjadi selama tiga puluh jam (Marwali, 1990).
Pembentukkan pada umumnya tidak dapat dilakukan di luar tubuh. Di luar
tubuh, kuman tersebut cepat mati, sedangkan dalam darah untuk tranfusi dapat
hidup selama tujuh puluh dua jam (Marwali, 1990).

20
II.3 Struktur Antigenik
Treponema pallidum tidak dapat dibiakkan secara in vitro, yang jelas
memiliki ciri khas, terbatas dari antigennya. Terdapat asam sialat pada permukaan
organisme, yang berfungsi untuk menghambat aktivasi jalur komplemen
alternatif. Treponema pallidum memiliki hialurodinase yang menguraikan asam
hialurinat dalam substansi dasar jaringan dan diduga meningkatkan kemampuan
invasif organisme. Bentuk protein Treponema pallidum (semua subspesies) tidak
dapat dibedakan; telah tercatat lebih dari 100 protein antigen. Endoflagel terdiri
dari 3 protein inti yang homolog terhadap protein flagelin bakteri lain, ditambah
protein selubung yang tidak berhubungan. Terdapat banyak kelompok lipoprotein
yang telah diketahui fungsinya, diduga semua ini tampak penting dalam respon
imun. Kardiolipin adalah komponen penting dari antigen Treponema (Jawetz,
1996).
Pada manusia dengan sifilis, timbul antibodi yang dapat dipakai untuk
mewarnai Treponema pallidum dengan immunofluoresensi tidak langsung,
menyebabkan terjadinya imobilisasi dan kematian Treponema pallidum,
pengikatan komplemen pada suspensi Treponema pallidum atau Spirochaeta yang
lain. Spirochaeta juga menyebabkan pembentukan zat tertentu yang menyerupai
antibodi, reagen, yang memberikan test ikatan komplemen dan flokulasi yang
positif dengan suspensi lipid dalam air yang diekstrak dari jaringan mamalia
normal. Reagen maupun antibodi anti treponema dapat digunakan untuk diagnosa
serologi sifilis (Jawetz, 1996).

II.4 Patogenesis dan Patologi


a. Sifilis yang didapat, infeksi alamiah oleh Treponema pallidum terbatas
pada manusia. Infeksi pada manusia biasanya disebarkan melalui kontak seksual,
lesi penyebab infeksi terdapat pada 10 – 20 % kasus, lesi primernya terdapat di
dalam rektum., perional, atau mulut, atau dimana saja di dalam tubuh. Treponema
pallidum mungkin dapat menembus selaput mukosa utuh, atau dapat masuk
melalui epidermis yang rusak ( Jawetz, 1996 ).

21
Spiroketa berkembang biak pada tempat masuk, sebagian menyebar ke
kelenjar getah bening yang terdekat dan kemudian mencapai aliran darah.
Peradangan ditandai terutama oleh limfosit dan sel – sel plasma. Lesi primer
selalu tumbuh spontan, tetapi 2 – 10 minggu kemudian timbul lesi – lesi sekunder.
Lesi sekunder juga mereda secara spontan. Lesi primer dan sekunder mengandung
banyak spiroketa dan sangat menular. Lesi yang menular dapat timbul lagi dalam
3 – 5 tahun setalah infeksi, tetapi sesudah ittu orang tersebut dapat menularkan
penyakit lagi ( Jawetz, 1996 ).
Pada kira – kira 30% kasus, infeksi karena sifilis berkembang secara
spontan sampai sembuh sempurna tanpa pengobatan.. pada 30% lainnya, infeksi
yang tidak diobati akan tetap laten. Pada sisanya, akan berkembang menjadi
”stadium tersier”. Pada semua lesi tersier, Treponema sangat jarang ditemukan,
respon jaringan yang berlebihan diakibatkan oleh beberapa bentik
hipersensitivitas terhadap organisme. Namun, Treponema kadang – kadang dapat
ditemukan dalam mata atau susunan saraf pusat pada sifilis yang lanjut (Jawetz,
1996).

b. Sifilis kongenital, wanita hamil penderita sifilis dapat menularkan


Treponema pallidum pada janin melalui plasenta mulai kira – kira minggu ke 10 –
15 kehamilan. Beberapa janin yang terinfeksi akan mati dan mengakibatkan
keguguran, lainnya lahir mati meskipun aterm. Lainnya dapat hidup tetapi
menunjukkan tanda – tanda sifilis kongenital pada anak : keratitis intestinal, gigi
Hutchinson, saddle nose, periostitis, dan berbagai kelainan susunan saraf pusat.
Pengobatan yang adekuat pada ibu selama kehamilan dapat mencegah sifilis
kongenital. Titer reagin dalam darah anak meningkat bila infeksi aktif, tetapi
makin menurun bila antibodi secara pasif dipindahkan dari ibu. Infeksi kongenital
pada anak menimbulkan antibodi antitreponema (Jawetz, 1996).

c. Penyakit percobaan, kulit, testis, dan mata kelonci percobaan diinfeksi


dengan Treponema pallidum manusia. Hewan tersebut membentuk chancre yang
banyak mengandung spiroketa, dan organismenya menetap dalam kelenjar getah

22
bening, limpa, dan sumsum tulang selama hewan tersebut hidup, walaupun
penyakit tidak berlangsung progresif (Jawetz, 1996).

II.5 Manifestasi Klinik


Pembagian menurut WHO ialah sifilis dini dan lanjut dengan waktu
diantaranya 2 tahun, ada yang mengatakan 4 tahun. Sifilis dini dapat menyebarkan
penyakit karena terdapat Treponema pallidum pada lesi kulitnya, sedangkan sifilis
lanjut tidak menular karena Treponema pallidum tidak ada. Pembagian sifilis
secara klinis ialah sifilis kongenital dan sifilis didapat (Mansjoer, 2000).
Sifilis terdiri dari beberapa tahapan yaitu (Entjang, 2003):
a. Stadium Primer
Terjadi setelah ± 3 minggu setelah penularan. Stadium ini ditandai dengan
munculnya luka yang kemerahan dan basah di daerah vagina, poros usus
atau mulut. Luka ini disebut chancre, dan muncul di tempat Spirochaeta
masuk untuk pertama kalinya. Pembengkakan kelenjar getah bening juga
ditemukan pada stadium ini. Setelah beberapa minggu chancre tersebut
akan menghilang, stadium yang sangat menular.
b. Stadium sekunder
Sifilis sekunder biasanya terjadi 6 – 8 minggu setelah penularan, biasanya
para penderita akan mengalami ruam, khususnya di telapak kaki dan
tangan. Mereka juga dapat menemukan adanya luka – luka di bibir mulut,
tenggorokan, vagina, dan dubur. Padsa stadium ini, timbul gejala demam,
malaise, kelenjar limfe regional membengkak dan keras, tetapi tidak sakit,
timbul ruam kemerahan pada kulit yang biasanya simestris bilateral.

c. Stadium laten (lanjut)


Jika sifilis stadium sekunder masih belum dapat diobati juga, maka para
penderita akan mengalami apa yang disebut dengan sifilis laten. Hal ini
maksudnya yaitu semua gejala penyakit akan menghilang, namun penyakit
tersebut sesungguhnya masih bersarang dalam tubuh, dan bakteri
penyebabnya pun masih bergerak di seluruh tubuh. Stadium laten ini

23
sangat destruktif dan terjadi gumma (jaringan radang) pada kulit, selaput
lendir, tulang, jantung, ginjal, dan paru – paru.
d. Stadium lanjut (setelah bertahun – tahun)
Penyakit ini akhirnya dikenal sebagai sifilis tersier. Pada stadium ini,
Treponema pallidum telah menyerang seluruh tubuh, dan dapat merusak
otak, jantung, batang otak, sumsum tulang belakang
.
Sifilis kongenital dapat terjadi bila Treponema palidum masuk ke plasenta
dan peredaran darah janin. Oleh karena, langsung masuk ke peredaran darah, pada
sifilis stadium I. Sifilis kongenital dibagi menjadi (Mansjoer, 2000):
a. Sifilis kongenital dini
Sifilis kongenital dini dapat muncul beberapa minggu (3 minggu) setelah
bayi dilahirkan. Kelainan berupa vesikel dan bula yang setelah memecah
membentuk erosi yang krusta.
b. Sifilis kongenital lanjut
Sifilis kongenital lanjut terdapat pada usia lebih dari 2 tahun. Manifestasi
klinis baru ditemukan pada usia 7 – 9 tahun dengan adanya trias
Hutchinson, yakni kelainan pada mata (keratitis interstisial yang dapat
menyebabkan kebutaaa), ketulian, dan gigi Hutchinson.
c. Stigmata
Stigmata terlihat pada sudut mulut berupa garis – garis yang jalannya
radier, gigi Hutchinson, gigi molar pertama berbentuk seperti murbai dan
penonjolan tulang kepala (frontal bossing).

II.6 Diagnosa Laboratorium


a. Pemeriksaan Lapangan Gelap
Setetes cairan jaringan atau eksudat diletakkan pada gelas alas, dan
penutup ditekankan diatasnya untuk membuat lapisan yang tipis. Preparat
kemudian diperiksa di bawah mikrskop dengan penerangan lapangan
gelap, untuk melihat ciri khas pergerakan spirochaeta. Treponema

24
menghilang dari lesi dalam beberapa jam setelah permulaan pengobatan
antibiotika (Jawetz, 1996).
b. Tes – tes yang menggunakan reagin sebagai abtibodi dan lipoid sebagai
antigen, yaitu
- VDRL (Venereal Disease Research Laboratories) merupakan uji
presipitasi.
- RPR (Rapid Plasma Reagin) merupakan tes flokulasi terjadi reaksi
negatif semu karena terlalu banyak reagin sehingga flokulasi tidak
terjadi. Reaksi demikian disebut reaksi prozon. Jika serum
diencerkan dan di tes lagi, hasilnya menjadi positif (Marwali, 1990).
- Cardiolopin Wassermann (CWR), merupakan uji fiksasi komplemen.
c. Uji serologis yang menggunakan strain – starain saprofitik dari Treponema
Reiter Protein Complement Fixation (RPCF) merupakan uji fiksasi
komplemen.
d. Test Antibodi Treponema
Uji antibodi Treponema yang digunakan secara luas saat ini adalah
Flourescent Treponemal Antibody – Absorbed Double Strain Test (FTA –
ABS DS), uji mikrohemaglutinasi – Treponema pallidum (MHA – TP),
dan uji Treponema hemaglutinasi untuk sifilis (HATTS). Pemakaian uji –
uji ini biasanya terbatas pada konfirmasi hasil positif uji antibodi non
Treponema (VDRL atau RPR) (Sacher, 2004).

Uji FTA – ABS DS adalah suatu pemeriksaan IFA. Sebelum pemeriksaan,


serum pasien diinaktifkan dengan puas dan diserap dengan sorbent, yang
membersihkan antibodi terhadap treponema komensal yang dapat
menyebabkan hasil positif palsu (Sacher, 2004).

Test FTA – ABS adalah test yang pertama kali positif pada sifilis dini, dan
biasanya tetap positif bertahun – tahun setelah pengobatan infeksi dini
(Jawetz, 1996).

25
BAB III
METODE KERJA

III.1 Waktu dan Tempat


Praktikum pemeriksaan sifilis metode TPHA dilaksanakan pada hari
Jum’at, 15 Oktober 2010. Bertempat di Laboraturium Kesehatan Daerah
Samarinda.

III.2 Metode
Metode yang digunakan pada praktikum ini adalah metode
Haemaglutination atau Flokulasi.

III.3 Prinsip
”Bersatunya antibodi atau reagen dan antigen treponema sehingga
membentuk reaksi Haemaglutination.”

III.4 Alat
1. Mikropipet dan yellow tape
2. Stik DETERMINE TPHA

III.5 Sample
Yang digunakan pada pemeriksaan kali ini adalah Serum ,milik dari :
Nama : Ami Yudhita
Umur : 20 tahun

III.6 Cara Kerja


1. Siapkan alat dan bahan yang akan digunakan.
2. 50µl serum diambil dengan mikropipet dan diteteskan pada stik test.
3. Diamkan selama 30 menit.

26
4. Amati timbulnya garis merah pada control dan hasil.

III.7 Interpretasi Hasil

Control C

Test

Reaktif Non reaktif

27
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Hasil
Dari pemeriksaan serologi sifilis dengan metode RPR, didapatkan hasil :
 Sampel Ami Yudhita : Non reaktif

IV.2 Pembahasan
Pemeriksaan serologis sifilis menggunakan metode diagnosa tdak
langsung nontreponema antigen RPR secara kuantitatif. Pada suatu analisa
kuantitatif, maka jumlah dari suatu bahan yang dicari harus dapat diukur dan
dinyatakan dalam satu satuan/ unit yang berarti. Dalam tes serologi, kadar dari
antibodi di dalam tes serum biasanya ditentukan dengan pengenceran serum
secara progresif dengan suatu diluent tertentu, sedangkan satuan kuantitatifnya
dinyatakan dalam bentuk titer dari antibodi di dalam serum (Handojo, 1982).
Uji antibodi nontreponema digunakan terutama untuk menapis pasien
untuk sifilis dan untuk memantau respon terhadap pengobatan sifilis. Uji RPR
yang positif pada seorang pasien yang sedang tidak dalam masa terapi harus
dikonfirmasi dengan uji untuk antibodi treponema, karena banyak keadaan yang
dapat menyebabkan hasi positif palsu. Antibodi nontreponema muncul 1 – 4
minggu setelah infeksi dan tetap meninggi sampai terapi antimikroba dimulai,
atau pada sebagian kasus, saat pasien masuk ke fase laten infeksi. Setelah terapi
antimikroba yang efektif dimulai, titer antibodi nontreponema mulai turun, sering
mencapai kadar yang tidak terdeteksi sebelum pengobatan selesai (Sacher, 2004).
Antibodi treponema merupakan yang pertama muncul pertama setelah
infeksi dan tetap meninggi seumur hidup pada sebagian besar pasien. Antibodi
FTA –ABS DS muncul sedikit lebih belakangan dibandingkan antibodi MHA –
TP dan HATTS. Pemakaian utama uji antibodi nontreponema yang positif.

28
Karena hasil uji antibodi treponema hanya dilaporkan secara kualitatif, dan karena
titer, walaupun jika diperiksa, sangat kurang dipengaruhi oleh terapi anti mikroba
(Sacher, 2004).
Perbedaan titer antibodi pada stadium akut dan stadium penyembuhan
dipakai untuk menentukan apakah timbulnya antibodi ini disebabkan infeksi saat
ini atau infeksi di masa lalu. Jika terjadi peningkatan titer antibodi dari stadium
akut sebanding dengan stadium penyembuhan, berarti timbulnya antibodi
disebabkan infeksi saat ini. Bila tidak terjadi peningkatan titer, berarti antibodi itu
berasal dari infeksi di masa lalu (Marwali, 1990).
Pada uji serologis non treponemal metode RPR, sensitivitasnya cukup baik
walaupun tidak sebaik FTA-abs atau ELISA, presisinya juga cukup baik. Tetapi
spesifitasnya kurang memuaskan, sebab antibodi yang dideteksi oleh tes ini bukan
suatu treponemal antibodi sehingga pada keadaan tertentu dapat memberikan false
positif. Nilai fisiopatologinya juga cukup baik. Tes ini umumnya negatif dengan
titer < ¼, pada orang – orang yang menderita sifilisvdan titernya menurun/ negatif
setelah pengobatan berhasil. Sangat baik untuk mengikuti hasil pengobatan.
Cukup praktis karena pelaksaannya cukup mudah (Handojo, 1982).
Test RPR kuantitatif mempunyai arti klinis yang klinis yang penting,
sebab :
a. Merupakan garis dasar untuk mengevaluasi hasil – hasil pemeriksaan
selanjutnya, bila pada pemeriksaan selanjutnya didapatkan :
1. Titer yang meningkat menunjukkan adanya:
- Infeksi dengan Treponema pallidum
- Reinfeksi
- Relaps pada penderita yang ”serofast”
2. Titer yang menurun menunjukkan adanya pengobatan yang adekuat
pada penderita sifilis stadium dini.
3. Titer yang tetap/ tidak berubah, menunjukkan bahwa reagin masih
tetap berada dalam darah setelah pengobatan yang adekuat seperti
yang terdapat pada penderita – penderita sifilis ”serofast”

29
b. Dapat dipakai untuk membedakan sifilis laten yang dini dan yang lanjut,
sifilis laten yang dini, setelah pengobatan yang adekuat akan menunjukkan
penurunan titer yang secepat L II sedangkan pada sifilis laten yang lanjut,
penurunan titer terjadi amat lambat/ titer tidak berubah setelah pengobatan
yang adekuat.
c. Dapat membantu menegakkan diagnosis beberapa stadium dan sifilis seperti
dikemukakan sebelumnya.
d. Dapat dipakai untuk mengikuti hasil pengobatan, pengoobatan dapat
mengubah gambaran serologis atau tidak memberikan perubahan sama
sekali pada stadium yang lain. Penurunan kira – kira 3 tahap pengenceran 2
– 3 bulan setelah pengobatan dapat dipakai sebagai tanda dari keberhasilan
pengobatan.

Tes serologis RPR mempunyai :


a. Sangat sensitif tetapi tidak spesifik
b. Hasil positif palsu pada Lepra, TBC, Leptospirosis, campak, cacar air,
hepatitis, mononukleosis infeksiosa, infeksi Rickettsia, Tripanosomiasis,
SLE.
c. Sebagai penyaring dan pemantau hasil pengobatan
d. Untuk mendiagnosis perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan serologi untuk
deteksi antibodi treponemal.
Tes Treponema pallidum sel darah merah dibuat sedemikian rupa sehingga
dapat menyerap Treponema dari permukaannya. Jika dicampur dengan serum
yang mengandung treponema, sel berubah menjadi gumpalan. Tes ini sama
dengan test FTA – ABS dalam hal spesifitas dan sensitifitasnya, tetapi menjadi
positif pada suatu waktu selama masa infeksi (Sacher, 2004)
Jika didapatkan hasil RPR reaktif dan TPHA pula reaktif maka dapat
disimpulkan bahwa orang tersebut positif menderita sifilis.
Jika didapatkan hasi RPR rektif, sedangkan TPHA non reaktif, maka dapat
disimpulkan bahwa orang tersebut mengalami penyakit infeksi lain tetapi bukan
sifilis.

30
Jika didapatkan hasil pada RPR non reaktif, sedangkan TPHA reaktif,
maka dapat disimpulka bahwa orang tersebut pernah mengalami sifilis dan telah
mengalami pengobatan atau penyembuhan.
Pada praktikum pemeriksaan serologi sifilis secara TPHA didapatkan hasi
± (retest/ indeterminated) atau hasil tidak dapat terbaca, hal ini dikarenakan
sampel tersebut belum dikocok selama 10 menit setelah serum dan reagen
dicampurkan, atau karena inkubasi belum dilakukan selama 1 jam, atau dapat pula
disebabkan karena pada saat masa inkubasi, sumur tersebut sudah digoyang –
goyang, dan pemeriksaan TPHA ini berkaitan dengan gaya gravitasi sehingga bila
sumur tersebut digoyang – goyang sebelum pembacaan hasil maka hasil pada
sumur tersebut tidak dapat terbaca.

31
BAB V
PENUTUP

V.1 Kesimpulan
Dari praktikum pemeriksaan serologis dengan metode TPHA terhadap
sampel serum dari Sdri. Ami Yudhita, berumur 20 tahun adalah non reaktif.

V.2 Saran
 Sebaiknya dilakukan pemeriksaan serologi untuk mendeteksi antibodi
treponemal (Pemeriksaan TPHA) yang berguna untuk membantu
menegakkan diagnosa.
 Selama pengobatan sifilis, sebaiknya tetap rutin untuk melakukan
pemeriksaan RPR, dengan pengenceran serum, yang berguna untuk
memantau hasil pengobatan sifilis.
 Sebaiknya orang yang terinfeksi sifilis, sesegera mungkin diobati dan tidak
menularkan kepada orang lain.

32
PEMERIKSAAN HBsAg
METODE RAPID

33
BAB I
PENDAHULUAN

I. 1 Latar Belakang
Hati adalah organ sentral dalam metabolisme tubuh. Walaupun hanya
membentuk 2% dari berat tubuh total, hati menerima 1500 ml. Darah permenit,
atau sekitar 28% dari curah jantung, agar dapat melaksanakan fungsinya.
Hati melakukan berbagai proses metabolik terhadap konstituen-konstituen
darah yang mengalir kepadanya sebagai produk sisa atau zat gizi dan sebaliknya
banyak aktifitas hati secara langsung tercermin dalam beberapa zat yang beredar
dalam darah dan juga terdapat dicairan tubuh.
Hati terdiri dari dua jenis sel utama, hepatosit yang aktif secara metabolis
dan berasal dari epitel dan sel kuefer yang bersifat fagositik dan merupakan
bagian dari sistem retikuloendotel. Secara mikroskopis, sel-sel ini tersusun
membentuk suatu anatomink hati yang disebut lobolus, yang terdiri dari genjel-
genjel (cords) hepatosit yang ditunjang oleh kerangka retikulin disekitar
pembuluh vaskular yang disebut sinusad.
Bila hati sakit, maka satu atau lebih fungsi hepar, tetapi tidak perlu
seluruhnya akan melemah, walaupun tidak selalu dalam tingkatan yang sama.
Berbagai tes fungsi hepar merupakan tes bagi kekacauan fungsi hepar itu didalam
tubuh dan dapat tak ada tes untuk fungsi hepar sebagai suatu kesatuan.
Salah satu penyakit hepar yaitu hepatitis disebabkan oleh HAV, HBV,
HCV, HDV, HEV. Dan yang akan dibahas pada praktikum kali ini adalah HBV
yang dapat dideteksi dari adanya antigen HBS Ag dan dapat diuji salah satunya
dengan latex atau rapid.

I.2 Tujuan
Untuk mengetahui adanya antigen virus Hepatitis B Surface (HBs Ag) pada
serum penderita.

34
I.3 Manfaat
Untuk mengetahui cara melakukan uji adanya virus Hepatitis B Surface (HBs
Ag) secara rapid.

35
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Struktur dan Fungsi Hati


Hati berada di kuadran kanan atas rongga abdomen dan merupakan organ
terbesar didalam tubuh. Hati melakukan banyak fungsi penting yang berbeda-beda
dan tergantung pada system aliran darahnya dan sel-sel yang khusus. Hati
terbungkus oleh sebuah kapsul fibrioelastik yang disebut kapsul glison dan secara
kasar dipisahkan menjadi lobus kanan dan kiri. Kapsul Glisson mengandung
pembuluh darah, pembuluh limfe dan saraf. Kedua lobus hati tersusun oleh unit-
unit yang lebih kecil yang disebut lobules. Lobules terdiri dari sel sel hati yang
disebut hepatosit, yang menyatu dalam suatu lempeng-lempeng. Hepatosit dan
jaringan hati mudah mengalami regenerasi. (Corwin, 2000)
Hati memegang peranan penting dalam proses metabolik. Terdapat 3
kategori utama aktivitas hati yaitu sintesis, proses ekskretorik dan fungsi
penyimpanan energy dan zat makanan harus diolah dan kemudian disimpan,
didistribusikan atau diubah oleh hati. Hati menguraikan, mendetoksifikasi atau
mengubah dengan cara lain banyak metabolit primer dan intermediet. Menyiapkan
zat-zat tersebut untuk ekskresi, penyimpanan atau daur ulang. Hati juga
melakukan sintesis asam amino dan tempat penyimpanan primer untuk glikogen.
Serta vitamin larut lemak (A, D, E, K) disimpan di hati. Hati mempertahankan
dan mengolah asam lemak dan trigliserida, sel-sel retikuendotel hati menyimpan
besi, tembaga dan mineral lainyang telah ddibersihkan dari darah.(Sacher, 2004)

II.2 Penyakit yang disebabkan Gangguan Hati


Penyakit yang mempengaruhi hati meliputi kelainan sekunder pada
berbagai penyakit sistemik dan kelainan primer yang lebih spesifik bagi hati itu
sendiri. Ada beberapa penyakit yang ditemukan akibat gangguan hati antara lain
hipertensi porta, pirav vena-porta, sistemik splenomegali,

36
ikterus/jaundice/penyakit kuning, sirosis, dan hepatitis. Dari beberapa contoh ini
yang paling sering dijumpai dalam beberapa kasus adalah hepatitis. (Corwin,
2000)
Hepatitis adalah peradangan pada hati. Penyakit ini dapat disebabkan oleh
infeksi atau toksin termasuk alcohol, dan dijumpai pada kanker hati. Hepatitis
disebabkan oleh virus. Telah ditemukan 6 atau 7 kategori virus yang
menyebabkan hepatitis. (Corwin, 2000)

II.3 Hepatitis Virus


Banyak agen infeksiosa merusak hati. Terdapat beberapa virus yang
sasaran utama atau satu-satunya adalah hati. Virus-virus tersebut adalah hepatitis
A (HAV), hepatitis B (HBV), ada pula EBV, CMV, atau virus hepatitis non-A,
non-B (NANB). (Sacher, 2004)

a. Virus Hepatitis A
Penyakit yang dahulu disebut hepatitis infeksiosa atau hepatitis inkubasi singkat,
hampir selalu disebabkan oleh ingesti virus hepatitis A (HAV). Penyakit ini
ditularkan terutama melalui kontaminsi oral. Fecal akibat hygiene buruk atau
makanan yang tercemar. Waktu antara pajanan dan awitan gejala untuk HAV
adalah 4-6 minggu. Pengidap penyakit ini dapat menular sampai 2 minggu
sebelum gejala muncul. Antibody terhadap HAV akan muncul saat gejala timbul.
(Corwin, 2000)
b. Virus Hepatitis B
Hepatitis B kadang disebut juga hepatitis serum. Penyakit ini sering ditemukan,
serius dan mudah menular melalui kontak dengan darah yang mengandung virus.
Penyakit ini dapat ditemukan di semen dan cairan tubuh lainnya dan juga dapat
menular melalui hubungan kelamin. Orang yang beresiko terjangkit HBV adalah
pemakai obat-obat terlarang intravena, para pekerja kesehatan dan heteroseks
atau homoseks yang aktif secara seksual. (Corwin, 2000)
c. Hepatitis C
Dahulu disebut hepatitis non-A non-B. virus RNA ini saat ini merupakan
penyebab tersering infeksi hepatitis yang ditularkan melalui suplai darah

37
komersial. HCV ditularkan terutama melalui transfuse darah. Individu
yang terinfeksi HCV beresiko mengalami kanker hati.
d. Hepatitis D
Hepatitis D disebut hepatitis delta yang sebenarnya adalah suatu virus
detektif yang ia sendiri tidak dapat menginfeksi hepatosit untuk
menimbulkan hepatitis. Virus ini koinfeksi dengan HBV sehingga infeksi
HBV semakin parah. Virus Hepatitis D ini meningkatkan resiko timbulnya
hepatitis Fulminan.
e. Hepatitis E
Virus RNA yang terutama ditularkan melalui ingesti akhir yang tercemar.
Virus ini tidak menimbulkan keadaan pembawa (carrier) atau
menyebabkan hepatitis kronik. Namun, dapat terjadi hepatitis fulminan
yang akhirnya menyebabkan kegagalan hati dan kematian.

II.4 Diagnosa Laboratorium untuk Hepatitis B


Diagnosa Hepatitis B seperti juga pada penyakit lainnya memegang
peranan penting dalam pengobatannya. Berbagai macam cara untuk menegakkan
diagnose Hepatitis B seperti pemeriksaan imunologis, klinis dan biopsy hati.
(Gips, 1989)
Pertanda serologi diagnosa hepatitis B salah satunya dengan pemeriksaan
HBsAg yang bertujuan untuk mengetahui apakah seseorang mengidap virus
hepatitis akut atau kronik. Pemeriksaan ini juga bermanfaat untuk menetapkan
bahwa hepatitis akut disebabkan oleh virus hepatitis atau superinfeksi dengan
virus lain. (Komala, 2003)

38
BAB II
METODE KERJA

III.1 Waktu dan Tempat Praktikum


Praktikum Pemeriksaan HBsAg dilaksanakan pada hari Sabtu, 23 Oktober
2010, bertempat di Laboratorium Kesehatan Daerah Samarinda.

III.2 Prinsip
Anti HBS dalam strip akan bereaksi dengan antigen yang terdapat dalam
serum membentuk ikatan antigen-antibodi berupa garis berwarna merah.

III.3 Alat
Alat yang digunakan pada praktikum ini antara lain :
1. Strip test
2. Tabung reaksi

III.4 Bahan
Bahan yang digunakan adalah serum dari :
1. Nama : Ami Yudhita
Umur : 20 tahun

2. Nama : Aniek Rosalita


Umur : 19 tahun

3. Nama : Anisa Ulfah


Umur : 20 tahun

III.5 Cara Kerja


1. Buka strip dari plastik.
2. Dengan mengikuti gambar, dicelupkan strip dengan sisi panah mengarah
ke bawah ke dalam bejana serum selama ± 10 detik.

39
3. Jangan menenggelamkannya melampaui garis tanda (marker line).
4. Tunggu selama 10 menit, lalu dibaca hasil test.

III.6 Interpretasi Hasil

Control Line

Test Line

max max max max


Marker Line

Positif (+) Invalid (?) Negatif (-)

Positif (+) : Jika ada 2 garis berwarna/dadu yang terlihat di areal


control dan test.
Negatif (-) : Jika hanya 1 garis yang terlihat di areal control dan tidak
tampak garis pada bagian test.
Invalid (?) : jika tidak tampak atau tidak ada warna (dadu) pada dua
bagian yang dimaksud. Maka menunjukkan adanya
kekeliruan prosedur dan atau bahan reaksi (reagen test
telah rusak).

40
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

V.1 Hasil
Dari praktikum pemeriksaan HBsAg yang dilakukan didapatkan hasil :
No. Nama Umur Hasil
1. Ami Yudhita 20 tahun Negative
2. Aniek Rosalita 19 tahun Negative
3. Anisa Ulfah 20 tahun Negative

V.2 Pembahasan
Dalam preparasi sampel untuk pemeriksaan sampel sangat perlu dilakukan karena
dapat mempengaruhi hasil yang diperoleh. Setelah dilakukan pengambilan darah, darah
sebaiknya dibekukan dahulu sebelum disentrifuge. Hal ini untuk mencegah terjadinya
lisis dan pada saat disentrifuge hasilnya adalah lemak.
Hasil yang diperoleh dari pemeriksaan ini dapat juga positif palsu dan negative
palsu. Ada beberapa faktor yang menimbukan hasil ini, antara lain : sampel lisis, adanya
protein atau lemak pengganggu, reagen yang digunakan telah rusak, strip yang digunakan
sudah kadaluarsa, dengan cara latex sampel yang diteteskan terlalu banyak atau terlalu
sedikit.
Pemeriksaan HBsAg secara latex lebih akurat dibandingkan dengan HBsAg
secara rapid, hal ini karena dengan pemeriksaan secara latex akan langsung terjadi reaksi
dari antigen HBsAg pada serum dan antibodi pada reagen, sedangkan cara rapid strip
yang digunakan mengandung kromogen yang dapat berubah karena oksidasi dari udara,
sehingga bila strip sudah dibuka maka harus langsung dicelupkan pada serum karena jika
tidak maka kromogen yang terdapat pada strip test akan rusak dan dapat menimbulkan
hasil yang negtif atau positif palsu.
Test darah awal untuk diagnosis infeksi HBV adalah :
a. Untuk mencari antigen HBsAg
b. Untuk mencari antibodi HBs dan Anti-HBe

41
Test darah yang digunakan untuk diagnosis infeksi HBV dapat membingungkan,
karena ada berbagai kombinasi mempunyai arti sendiri.
Pemeriksaaan HBsAg secara latex menggunakan suatu alat dengan lingkaran
yang besar dikarenakan agar pada saat merotator alat/slide tersebut maka antigen dan
antibodi yang dicampurkan akan benar-benar homogen dan alat tersebut berwarna hitam
agar mudah melihat aglutinasinya.
Bila hasil pemeriksaan fungsi hati normal, pasien tidak perlu khawatir (meskipun
hasil HBsAg atau anti-HBv positif). Biasanya dokter menganjurkan pasien tersebut
untuk melakukan pemeriksaan (fungsi hati) secara berkala setiap 6 bulan untuk
mendeteksi kemungkinan perubahan fungsi hati atau terjadinya serokonversi. Selain itu,
perlu diperhatikan risiko penularan terhadap orang disekitarnya, terutama anggota
keluarga. Bila perlu dilakukan skrining pada anggota keluarga yang lain atau upaya
pencegahan misalnya dengan vaksinasi.
Bila hasil pemeriksaan fungsi hati menunjukkan hasil abnormal maka perlu
diperiksa lebih lanjut penanda virus lainnya yaitu HBeAg dan HBV-DNA (untuk kasus
hepatitis B atau bila HBsAg positif) serta HBV-RNA (untuk kasus hepatitis C atau anti-
HCV positif).
Fungsi pemeriksaan HBsAg adalah mengetahui apakah pasien merupakan
penderita hepatitis B yang ditandai dengan HBsAg positif. Jika pada pemeriksaan selama
> 6 bulan berturut-turut pasien memiliki HBsAg positif, maka pasien dikatagorikan
penderita hepatitis B kronik. Dan jika pada pemeriksaan muncul antibodi HBs atau anti-
HBs, maka artinya pasien sedang dalam masa penyembuhan.

42
BAB V
PENUTUP

V.1 Kesimpulan
Dari hasil praktikum dapat disimpulkan bahwa sampel serum yang
diperiksa dengan metode rapid test adalah Negatif (-).

V.2 Saran

a. Pada saat pemeriksaan, praktikan sebaiknya menggunakan APD


(handscoon / sarung tangan) agar tidak terkontaminasi dengan sampel.

b Praktikan hendaknya menjaga hygiene pribadi, salah satu caranya dengan


selalu mencuci tangan setelah melakukan pemeriksaan atau kontak dengan
serum.

c Melakukan imunisasi Hepatitis B dianjurkan untuk mencegah


terserangnya HBV/ tertular hepatitis B.

43
PEMERIKSAAN ANTI- HBs
METODE ELISA

44
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Terdapat lima virus hepatotrik yang menyebabkan hepatitis virus akut,
menurut perbedaan serologinya kelima virus ini di bedakan menjadi : hepatitis
virus A (VHA), hepatitis virus B (VHB), hepatitis virus C (VHC), hepatitis virus
delta (VHD) dan hepatitis virus E (VHE). Karena cara transmisi pada beberapa
virus ini sama dengan HIV tipe 1, maka seseorang dapat saja terinfeksi oleh virus
HIV dan 1 atau lebih virus hepatitis. (Muma,1997)
Dari kelima jenis virus hepatitis, hanya tiga jenis (VHB, VHC, dan VHD)
yang dapat menyebabkan infeksi kronik, yang pada beberapa kasus dapat
menyebabkan terjadinya inflamasi dan nekrosis pada hati, sirosis dan gagal hati
baik patologi yang disebabkan oleh virus-virus ini maupun respon terapeutiknya
terhadap interferon, obat yang paling sering di pakai untuk mengobati hepatitis
virus kronik, merupakan peristiwa-peristiwa imunologi sehingga adanya infeksi
HIV yang terjadi bersama infeksi virus hepatitis ini bukan saja akan mengubah
perjalanan penyakit hepatitis virus kronik tetapi juga responnya terhadap terapi.
(Muma,1997)
Saat ini dunia di laporkan bahwa terjadinya kasus hepatitis A setiap tahun
mencapai 1,4 juta. Untuk prevalensi hepatitis B ada350 juta dan untuk prevalensi
hepatitis C ada 170 juta. Indonesia termasuk daerah dengan tingkat endemisitas
yang sedang sampai tinggi. Gambaran hepatitis di Indonesia sebagaimana di
laporkan para peneliti, sebagai berikut:
1. Hepatitis akut yang di rawat sekitar 39,8 – 68,3%
2. Hepatitis non A dan non B sekitar 15,5 – 46,4%
3. Hepatitis B sekitrar 6,4 -25,4%
(Afifah,2005)

45
I.2 Tujuan
Pemeriksaan Anti HBs metode ELISA bertujuan untuk mengetahui adanya
antibody terhadap virus Hepatitis B.

I.3 Manfaat
Manfaat pemeriksaan Anti HBs metode ELISA adalah agar mahasiswa
dapat mengetahui dan melakukan prosedurpemeriksaan dengan baik dan benar.

46
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi
Hepatitis virus adalah penyakit sistemik terutam menyerang hati.
Umumnya kasus hepatitis akut pada anak-anak dan orang dewasa disebabkan oleh
satu dari penyebab berikut : virus hepatitis A, virus hepatitis B, virus hepatitis C
atau virus hepatitis E. (Jawetz, 1996)
Penyakit hepatitis tipe B disebabkan oleh virus hepatitis B (HBV). Virus
hepatitis B adalah virus DNA, suatu virus yang termasuk family Hepadnaviridae.
Virus ini memiliki DNA yang sebagian berupa untaian tunggal (single standed
DNA) dan DNA polymerase endogen yang berfungsi menghasilkan DNA untaian
ganda (double stranded DNA). Virion lengkap HBV terdiri atas suatu struktur
berlapis ganda dengan diameter keseluruhan 42 nm. Bagian inti sebelah dalam
(inner core) yang berdiameter 28 nm dan dilapisi selaput (envelop) yang tebalnya
7 nm mengandung dsDNA dengan BM 1,6 x 106 . Bagian envelop yang
mengelilingi core terdiri atas kompleks dengan sifat biokimia heterogen. Bagian
ini mempunyai sifat antigen berbeda dengan antigen core (HBcAg) dan disebut
antigen permukaan hepatitis B surface antigen (HBsAg). (Kresno, 2001)
HBsAg adalah pembungkus bagian dalam (inti) virus dan merupakan
bagian virus yang tidak menularkan penyakit. Sedangkan bagian inti adalah
bagian yang dapat menularkan penyakit karena mengandung DNA .

II. 2 Hepatitis Tipe B


Penyakit yang dahulu disebut “hepatitis serum” atau “hepatitis inkubasi
lama”, sekarang disebut hepatitis B. virion HB infektif beredar dalam darah untuk
jangka lama dan kadang-kadang ditemukan dalam urin, feses, semen, air liur, dan
hampir seluruh cairan tubuh lain. (Sacher, 2004)

47
HBsAg diproduksi dalam jumlah banyak oleh hepatitis yang terinfeksi dan
dilepaskan kedalam darah sebagai partikel bulat berukuran 17-25 nm dan sebagai
partikel tubuler yang berdiameter sama yang panjangnya berkisar antara 100-200
nm. Antibody terhadap HBsAg dan HBcAg masing-masing disebut anti HBs dan
anti HBc. Kekebalan anti HBs dalam sirkulasi melindungi seseorang terhadap
infeksi HBV. (Kresno, 2001)
Stabilitas HBcAg tidak selalu sama dengan stabilitas penyebaran infeksi.
Namun, keduanya stabil pada suhu -20oC selama lebih dari 20 tahun dan tahan
terhadap pembekuan serta pencairan berulang-ulang. Virus juga tahan pada
pemanasan 37oC selama 60 menit dan tetap hidup setelah dikeringkan dan
disimpan pada suhu 25oC selama paling sedikit 1 minggu. HBV (tetapi bukan
HBsAg) peka terhadap suhu tinggi (100oC selama 1 menit) atau terhadap masa
inkubasi yang lebih lama (60oC 10 jam) bergantung pada jumlah virus yang
terdapat dalam contoh. HBsAg stabil pada PH 2,4 selama 6 jam. Tetapi
infektifitas HBV akan menghilang Natrium hipoklorit 0,5% (misalnya klor
pemutih 1:10) dapat merusak antigenitas dalam waktu 3 menit pada konsentrasi
protein yang rendah, tetapi bahan serum yang tidak di encerkan membutuhkan
konsentrasi yang lebih tinggi (5%). HBsAg didalam plasma atau produk darah
lainnya tidak dapat dirusak oleh penyinaran ultra violet dan infektifitas virus juga
tahan terhadap penyinaran tersebut. HBV menyebar secara tidak merata selama
fraksionasi etanol chon dari plasma. Sebagian besar virus tertahan dalam fraksi I
(fibrinogen, factor VIII) atau fraksi III (kompleks protrombin), sedangkan
HBsAG dipindahkan ke fraksi III (globulin gamma) dan IV (protein plasma).
(Jawetz, 1996)

II.3 Cara Penularan


VHB mudah ditularkan kepada semua orang. Sumber penularannya bisa
berasal dari darah, cairan semen (sperma), lender kemaluan wanita (secret
vagina), dan darah menstruasi.
Cara penularan hepatitis B sebagai berikut : (Afifah, 2005)

48
1) Paranteral, terjadi penembusan kulit atau mukosa melalui suntikan, transfuse
darah, tindakan operatif, perawatan gigi, tusuk jarum, pemakaian jarum suntik
bersama, dan pembuatan tato.
2) Non parenteral, terjadi melalui hubungan antar individu yang erat dan
hubungan seksual.
3) Vertical, berasal dari ibu yang HBsAg (+) atau pengidap, ditularkan kepada
bayi yang di lahirkan.

Virus ini menyebar melalui darah manusia dan melalui hubungan seksual ,
juga dapat melalui air liur. Penularan juga dapat terjadi dari ibu kepada anaknya
yang baru lahir, terutama di Negara Cina. Karena darah dapat menyebabkan
penyakit ini, maka sebelum transfuse darah selalu dilakukan pemeriksaan
terhadap virus hepatitis. (Bateson, 1991)

II.4 Patogenesitas
Virus hepatitis B dapat mengakibatkan hepatitis akut, kronik dan
karsinoma hepatoselular. Mekanisme terjadinya kerusakan hepatoselular yang
mengawali proses perkembangan karsinoma hepatoselular belum diketahui pasti,
tetapi berbagai penelitian terakhir mengungkapkan bahwa respon imun selular
terhadap antigen HBV terlibat dalam klirens virus dan diduga bertanggung jawab
atas terjadinya karsinoma tersebut. (Kresno, 2001)
Pada hepatitis B akut, pertanda serologik yang pertama muncul dalam
darah adalah HBsAg yaitu 1-2 minggu setelah infeksi. Jumlah HBsAg semakin
meningkat dan mencapai puncaknya tidak lama setelah meningkatnya enzim
ALT. sejalan dengan berkurangannya gejala klinik, jumlah HBsAg menurun
kemudian menghilang. (Kresno, 2001)
HBeAg terdapat dalam darah segera setelah timbulnya HBe-antigenik,
akan tetapi cepat menghilang untuk kemudian diikuti munculnya anti-HBe.
Adanya HBeAg dalam serum menunjukkan berlangsungnya replikasi virus dan
menandakan derajat infektifitas yang tinggi. Serokonvensi HBeAg ke anti HBe
terjadi sekitar puncak gejala klinik. Hal ini menandakan proses penyembuhan,

49
HBeAg yang menetap dihubungkan dengan kecendrungan penyakit menjadi
kronis.
HBcAg tidak dijumpai bebas dalam darah, tetapi anti HBc dapat dijumpai
setelah HBsAg tidak terdeteksi lagi. Mula-mula anti HBc terdiri atas IgM,
kemudian anti HBc IgG. Anti HBc IgM merupakan petunjuk infeksi akut. Adanya
anti HBc IgG disertai anti HBs menunjukkan penderita telah sembuh, tetapi anti
HBc dengan titer tinggi tanpa anti HBs menunjukkan infeksi menetap. (Kresno,
2001)
Anti HBs baru terbentuk setelah HBsAg menghilang dan penderita
sembuh, sehingga anti HBs pertanda sembuh dan adanya respon imun. Waktu
antara hilangnya HBsAg dan munculnya anti HBs dikenal dengan istilah window
periode yang dapat berlangsung selama beberapa minggu. Infeksi HBV dapat
berakhir dengan kesembuhan tetapi dapat pula berlanjut menjadi hepatitis kronik
atau menjadi carrier. (Kresno, 2001)

II.5 Gejala Klinis


Gejala klinik dan perubahan serologik yang terjadi setelah terpapar HBV
merupakan hasil interaksi antara pejamu, virus dan antigen serta antibody spesifik
yang sangat kompleks. HBsAg muncul 2-4 minggu sebelum tampak kelainan hati
atau 3-5 minggu sebelum tampak gejala klinis. Kadar tertinggi HBsAg sering kali
terdapat pada awal penyakit. Kadar HBsAg menurun perlahan-lahan dalam waktu
4-6 bulan hingga mencapai kadar yang tidak terdeteksi dengan metode ELISA
seperti yang digunakan saat ini. (Kresno, 2001)
Pada hepatitis virus (terutama tipe B) manifestasi diluar hati meliputi :
(Jawetz, 1996)
a. Suatu prodroma mirip penyakit serum yang bersifat sementara terdiri atas
urtikaria, ruam dan poliartalgia atau arthritis yang tidak berpindah dan terjadi
1-6 minggu sebelum timbulnya hepatitis pada 15-20% penderita.
b. Poliartritis nodosum
c. Glomerulonefritis

50
Kompleks imun yang beredar diduga merupakan penyebab syndrome
tersebut. Krioglobulinemia campuran adalah suatu syndrome yang bercirikan
purpura artralgia, dan kelemahan, sering disertai dengan gangguan ginjal.
Vaskulitis dan endapan kompleks imun biasa ditemukan. Dalam banyak kasus,
kriopresipitat mengandung HBsAg atau anti HBs. (Jawetz, 1996)
Pada umumnya gejala hepatitis B ringan, gejala tersebut antara lain:
a. Selera makan hilang
b. Rasa tidak enak diperut
c. Mual sampai muntah
d. Demam ringan
e. Kadang-kadang disertai nyeri sendi
f. Nyeri bengkak pada perut kanan atas
(www.ms.wikipedia.org)
Setelah beberapa minggu akan timbul gejala utama seperti :
a. Bagian putih pada mata, tampak kuning.
b. Kulit seluruh tubuh tampak kuning.
c. Air seni berwarna gelap atau seperti the.
d. Tinja berwarna pucat.
(www.ms.wikipedia.org)
Tetapi, ada pula penderita yang tidak menunjukkan gejala-gejala sama
sekali karena hanya pembawa virus saja (carrier), sehingga penderita tidak
mengetahui bahwa dirinya mengidap virus hepatitis B dan tanpa disadari
menularkan kepada orang lain. (Silalahi, 2004)
Hepatitis B akut umumnya sembuh. Hanya 10 % menjadi hepatitis B
kronis (menahun) dan dapat berlanjut menjadi sirosis hati atau kanker hati.
(www.dinkes.dki.go.id)

II.6 Diagnosa Laboratorium


II.6.1 Pemeriksaan Imunologis
a. HBsAg

51
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui seseorang mengidap
virus hepatitis akut kronik. Pemeriksaan ini juga bermanfaat untuk
menetapkan bahwa hepatitis akut yang diderita disebabkan oleh virus
hepatitis B atau superinfeksi dengan virus lain.
b. Anti-HBs
Anti-HBs diinterpretasikan sebagai kebal atau dalam masa
penyembuhan. Dahulu, diperkirakan HBsAg dan Anti-HBs tidak
mungkin dijumpai bersama-sama, namun ternyata 1/3 carrier HBsAg
juga memiliki HBs antibody. Hal ini disebabkan oleh infeksi dengan
subtype yang berbeda-beda. (Kresno, 2001)
II.6.2 Pemeriksaan klinik
Pada pemeriksaan klinis terjadi peningkatan transminase (SGPT biasanya
lebih tinggi dibandingkan SGOT) ialah 10-200 kali batas normal. (Kresno, 2001)
II.6.3 Biopsi Hati
Cara pemeriksaan yang mampu menegakkan diagnostic histologik yang
menyajikan kegamblangan etiologik, terapeutik, dan prognostik pada berbagai
bentuk hepatitis. (http://www.wikipedia.org)

52
53
BAB III
METODE KERJA

III.1 Waktu dan Tempat Praktikum


Praktikum pemeriksaan Anti-HBs metode ELISA dilaksanakan pada hari
Jum’at, 29 Oktober 2010 di Balai Laboratorium Kesehatan Provinsi Kalimantan
Timur.

III.2 Prinsip
Reaksi dilakukan otomatis oleh alat. Reaksi dilakukan oleh SPR dalam
beberapa tahap. Pencucian untuk menghilangkan pembungkus antigen terbentuk
kompleksbiotin dan streptolisin menghubungkan alkalin fosfat mengkatalisis
hidrolis dan substrat menghasilkan fluoresensi, diukur pada panjang gelombang
450 nm. Intensitas dari fluoresensi sebanding dengan kualitas Anti-HBs pada
serum.

III. 3 Alat
Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah :
1. Mikropipet
2. Yellow tape dan blue tape
3. Mini vidas
4. Tabung reaksi
5. Tissue

III. 4 Reagensia
Reagensia yang digunakan pada praktikum ini adalah :
1. Reagen standart (S1)
2. Reagen Kontrol 1 dan 2 (C1 dan C2)

III.5 Bahan Pemeriksaan

54
Bahan pemeriksaan yang digunakan adalah sampel dari :
1. Nama : Ami Yudhita
Umur : 20 tahun
2. Nama : Anisa Ulfah
Umur : 20 tahun
3. Nama : Aniek Rosalita
Umur : 19 tahun

III.6 Cara Kerja


a. Persiapan alat dan bahan.
b. Pembacaan MLE Card.
1. MLE Card diletakkan pada section A atau B (misal pada section A)
2. Pada layar, tampilan menu utama ditekan Master Lot Menu.
3. Kemudian tekan Read Master Lot.
4. Dipilih section A (sesuai dengan penempatan MLE Card)
5. MLE Card akan dibaca secara otomatis oleh mini vidas, untuk proses
ini alat dibiarkan selama beberapa menit.
c. Running start.
1. Kaset (strip dari SPR) diletakkan pada alat sesuai sectin yang dipilih
(misal section A)
2. Pada layar menu utama, tekan status screen.
3. Pada bagian A dipilih 1 dan S (posisi A1) untuk standar 1.
4. Kemudian ditekan 2 dan S (posisi A 2) untuk standar 2 (standar dibuat
duplo).
5. Kemudian ditekan 3 dan C (posisi A3) untuk control 1.
6. Kemudian tekan 4 dan C (posisi A4 untuk control 2.
7. Kemudian ditekan 5 dan sampel ID (posisi A 5) untuk sampel 1 dan
seterusnya sama untuk sampel berikutnya.
8. Standar dipipet 150 µl dan dimasukkan pada sumur dikaset atau strip
reagen pada posisi A1 dan A2.

55
9. Kontrol 1 dan control 2 dipipet 150 µl dan dimasukkan pada sumur
dikaset atau strip reagen pada posisi A3 dan A4.
10. Sampel serum dipipet 150 µl dan dimasukkan pada sumur dikaset atau
strip reagen pada posisi A5 dan A6.
11. Kuvet pada SPR dimasukkan sesuai dengan jumlah sampel.
12. Jendela section A dan SPR ditutup.
13. Pada menu dilayar ditekan start section, pilih section A.

III.7 Interpretasi Hasil


Positif (+) : > 5 mIU/ml
Negatif (-) : < 5 mIU/ml

56
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Hasil
Dari pemeriksaan Anti-HBs didapatkan hasil pada sampel :
a. Ami Yudhita : 186 mIU/ml
b. Aniek Rosalita: < 5 mIU/ml
c. Anisa Ulfah : 24 mIU/ml

IV.2 Pembahasan
 Pemakaian Enzyme Immunoassay (EIA) untuk mendeteksi antibodi
terhadap agen penginfeksi telah berkembang pesat selama beberapa tahun
terakhir. Alasan utama adalah bahwa EIA mudah di otomatisasi dan di
instrumentasi dan bersama dengan Radio Immunassay merupakan
pemeriksaan deteksi antibody yang paling sensitive. Pada keadaan tertentu,
EIA kompetitif lebih cocok untuk mendeteksi antibodi. Dalam hal ini,
spesimen pasien yang sudah diencerkan dicampur dengan konjugat enzim
antibodi (dalam jumlah tertentu) yang ditujukan kepada antigen yang sama
dengan antibodi pasien. Konjugat antibodi pasien akan bersaing
memperebutkan tempat pengikatan antibodi (yang jumlahnya terbatas)
pada antigen yang melekat ke fase padat. Fase padat secara berhati-hati
dibilas dan direndam dalam substrat enzim. Jumlah warna yang terbentuk
berbanding terbalik dengan jumah antibodi yang ada dalam spesimen.
(Sacher, 2004)
 Pada pemeriksaan anti HBs menggunakan alat mini vidas sampel/serum
akan menunjukkan hasil positif pada kadar > 5 mIU/ml karena mempunyai
sensitivitas yang cukup tinggi sehingga mampu memberikan kadar anti
HBs pada kadar > 5 mIU/ml.

57
Pembacaan pemeriksaan MLE Card pada pemeriksaan anti HBs
menggunakan mini vidas hanya dilakukan 1 x, yaitu pada saat pertama kali
reagen kit digunakan karena MLE Card digunakan untuk mengenalkan
reagen yang akan digunakan untuk mengenalkan reagen yang akan
digunakan pada alat mini vidas. Pada pemeriksaan selanjutnya jika
menggunakan kit reagen yang baru maka MLE Card dibaca lagi, tetapi jika
pada MLE Card sama dengan MLE Card terahulu (reagen kit) sebelumnya
nomor berkode maka pembacaan MLE Card tidak perlu dilakukan.
Pembacaan standard dan kontrol dilakukan setiap 12 hari, karena jika lebih
dari 12 hari, alat mini vidas tidak bisa membaca hasil, sehingga
pemeriksaan akan terganggu. (Widmann, 1995)

58
BAB V
PENUTUP

V.1 Kesimpulan
Dari hasil pemeriksaan Anti HBs dengan metode ELISA, dapat di
simpulkan bahwa sampel dari:
a. Ami Yudhita
b. Aniek Rosalita
c. Anisa Ulfah
mengandung Anti HBs dalam kadar yang bervariasi.

V.2 Saran
a. Alat minividas selain untuk pemeriksaan anti HBs juga bias untuk
pemeriksaan yang lain seperti HBs Ag,T3, T4, AFP, dll, karena itu gunakan
kaset / reagen dan SPR yang sesuai / sama.
b. Setiap pemeriksaan satu kaset / strip reagen di gunakan hanya untuk satu
kali pemeriksaan, begitu juga SPR.
c. Lakukan maintenance pada jalur tray section A dan section B
menggunakan dadu busa.
d. Lakukan kalibrasi dan running control setiap 14 hari sekali.

59
PEMERIKSAAN HIV
METODE RAPID

60
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Kasus AIDS pertama ditemukan di AS pada 1981, tetapi kasus tersebut
hanya sedikit memberi informasi tentang penyakit ini. Sekarang ada bukti jelas
bahwa AIDS disebabkan oleh virus yang dikenal dengan HIV. (Kanabus, 1999)
Kita mungkin tidak akan pernah tahu secara pasti kapan dan dimana virus
ini muncul pertama kali, tetapi yang jelas pada waktu di pertengahan abad 20-an
ini, infeksi HIV pada manusia berkembang menjadi epidemi penyakit di seluruh
dunia yang saat ini lebih dikenal sebagai AIDS. (Kanabus, 1999)
Seperti diketahui bersama, permasalahan HIV dan AIDS bukan saja
menjadi masalah nasional akan tetapi sudah menjadi masalah global karena lebih
dari 40 juta jiwa manusia hidup dengan HIV.
Hampir 12 juta laki-laki dan perempuan di bawah usia 24 tahun positif
HIV di seluruh dunia. Dengan peningkatan jumlah setiap harinya.
Di seluruh dunia terdapat 40 juta pengidap infeksi HIV atau AIDS, hamper
setengahnya dalah wanita, 30 % adalah usia muda 15-24 tahun (data sampai
2001). Di Indonesia prevalensi HIV/ AIDS sebanyak 212.092 jiwa, usia 15 tahun
sebanyak 13 %, 15-49 tahun 0,11 % (data sampai 2001). (Hardjoeno, 2003)
Di Indonesia, penggunaan jarum suntik untuk obat bius merupakan
epidemi terbesar dari wabah tersebut. Lebih dari 90 persen dari penggunaan jarum
suntik diketahui tidak bersih, terutama di tiga kota besar. Di salah satu kota besar
tersebut, sebanyak 70 persen pekerja seks dilaporkan tidak menggunakan alat
pelindung seks, hanya sepuluh persen yang menggunakan kondom secara tetap.
(Kompas, 2003)
Berdasarkan data resmi dari Departemen RI pada akhir Juni 2007, secara
komulatif jumlah orang dengan HIV dan AIDS tercatat sebanyak 14.628 kasus

61
yang terdiri dari 5.813 kasus HIV dan 9.689 kasus AIDS. Dilihat dari kelompok
umur 20-29 tahun, yaitu sebanyak 53,9 %. Kemudian disusul dengan kelompok
umur 30-39 tahun sebanyak 27,7 %. Sedangkan faktor penyebabnya telah
bergeser dimana kelompok pengguna jarum suntik menjadi penyebab utama (49,1
%), disusul oleh kelompok heteroseksual (42,1 %) dan homoseksual (4,1 %).
Ada beberapa cara/ pemeriksaan untuk mendeteksi adanya virus HIV,
salah satunya yaitu pemeriksaan secara rapid yang relatif mudah, singkat/ cepat,
serta didapatkan hasil yang akurat.

I.2 Tujuan
Praktikum Pemeriksaan HIV ini bertujuan untuk dapat mendeteksi adanya
virus HIV penyebab AIDS di dalam serum yang diperiksa.

I.3 Manfaat
Praktikum Pemeriksaan HIV/ AIDS ini bermanfaat agar praktikan dapat
mengetahui dan melaksanakan pemeriksaan HIV/ AIDS dengan cara rapid test
yang baik dan benar di laboratorium.

62
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 HIV
Tipe Human Immunodeficiency Virus (HIV), berasal dari Lentivirus
primata, merupakan agen penyebab AIDS. Penyakit ini pertama kali ditemukan
pada tahun 1981 dan HIV-1 diisolasi pada akhir tahun 1983. Sejak itu, AIDS telah
menjadi epidemi di seluruh dunia, meluas jangkauannya, dan penting karena
infeksi HIV telah menyerang berbagai populasi serta daerah geografis yang
berbeda. Jutaan orang di seluruh dunia telah terinfeksi; sekali terinfeksi, individu
tersebut tetap terinfeksi sepanjang hidupnya. Dalam satu dekade, apabila tidak
diobati, sebagian besar orang yang terinfeksi HIV mengalami infeksi oportunistis
yang fatal akibat defisiensi sistem imun yang diinduksi oleh HIV. AIDS
merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang paling penting di dunia
pada awal abad ke-21. (Brooks, 2007)
Human Imunnodeficiency Virus (HIV) adalah salah satu retrovirus yang
dapat menyebabkan AIDS (Aquired Immunodeficiency Syndrom). HIV pertama
kali ditemukan pada 1983. Dikenal dua macam suptipe HIV yaitu HIV-1 yang
menyebar ke seluruh dunia dan HIV-2 yang terutama terdapat di Afrika Barat dan
Portugal. (Hardjoeno, 2003)
Diseluruh dunia, terdapat 40 juta pengidap infeksi HIV atau AIDS, hamper
setengahnya adalah wanita, 30% adalah usia muda 15-24 tahun (data, sampai
2001). Di Indonesia pravalensi HIV ? AIDS sebanyak 212.092 jiwa. Usia 15
tahun sebanyak 13%, 15-49 tahun 0,11 % (data sampai 2001). (Hardjoeno, 2003)

II.2 SIFAT LENTIVIRUS


HIV adalah Retrovirus, anggota genus Lentivirus, dan menunjukkan
banyak gambaran fisikokimia yang merupakan ciri khas family. Karakteristik

63
morfologi HIV yang unik adalah nukleoid berbentuk silinder di dalam virion yang
matur. Nukleoid berbentuk batang yang merupakan tanda diagnostik terlihat
dengan menggunakan mikroskop electron di dalam partikel ekstraselular yang
dipotong pada sudut yang sesuai. (Brooks, 2007)
HIV terdiri dari tiga bagian utama yaitu envelope yang merupakan lapisan
terluar, capsid yang meliputi isi virus dan core merupakan isi virus. Lapisan
envelope terdiri dari lemak ganda yang terbentuk dari membrane sel pejamu serta
protein dari sel penjamu. Pada lapisan ini, tertanam glikoprotein gp41. Pada
bagiam luar glikoprotein,ini terikat molekul gp120. Pada elektrroforesis kompleks
antara gp120 dan gp41 membentuk pita gp160. Capsid merupakan lapisan protein
yang dikenal sebagai P17. Pada bagian core terdapat sepasang RNA rantai
tunggal, enzim-enzim yang berperan dalam replikasi seperti reserve transcriptase
(P61), endonuklease (P31) serta protein lainnya terutama P24. (Hardjoeno, 2003)
Lentivirus telah diisolasi dari berbagai spesies, termasuk setidaknya 26
primata selain manusia Afrika yang berbeda. Ada dua tipe virus AIDS manusia
yang berbeda: HIV-1 dan HIV-2. Kedua tipe ini dibedakan berdasarkan organisasi
genom dan hubungan filogenetik (evolisuonar) dengan Lentivirus primata lain.
(Brooks, 2007)
Susunan genom Lentivirus primata (manusia dan simian) sangat mirip.
Satu perbedaan adalah bahwa HIV-1 dan virus simpanse memiliki gen vpu,
sedangkan HIV-2 dan hampir semua SIV mempunyai gen vpx. (Brooks, 2007)
Lentivirus selain primata menimbulkan infeksi persisten yang mengenai
berbagai spesies hewan. Virus ini menyebabkan penyakit kronk yang melemahkan
dan kadang-kadang imunodefisiensi. Agen prototipe, virus visna (disebut juga
virus maedi), menimbulkan gejala neurologis atau pneumonia pada domba di
Iceland. Virus lain menyebabkan anemia infeksius pada kuda dan arthritis serta
ensefalitis pada kambing. Lentivirus kucing dan sapi dapat menyebabkan
imunodefisiensi. Lentivirus selain primata tidak diketahui menimbulkan infeksi
pada primata, termasuk manusia. (Brooks, 2007)

64
II.3 CARA PENULARAN
Secara umum ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatu
penyakit yaitu sumber infeksi, verikulum yang membawa agent, host yang rentan,
tempat keluar kuman dan tempat masuk kuman (portaentre).
Banyak cara yang diduga menjadi ccara peenularan virus HIV, namun
hingga kini cara penularan HIV yang diketahui adalah melalui:
a. Transmisi seksual
Penularan melalui hubungan seksual, baik homoseksual maupun
heteroseksual merupakan penularan infeksi yang paling sering terjadi.
Penularan ini berhubungan dengan semen dan cairan vagina atau serviks.
b. Transmisi transplasental
1) Transmisi parental
a) Akibat penggunaan jarum suntik atau alat tusuk lainnya (alat
tindik) yang telah terkontaminasi, misalnya pada penyalahgunaan
narkotik, suntik yang memakai jarum suntik yan tercemar secara
bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi melalui jarum suntik
yang dipakai oleeh petugas tanpa disterilkan terlebih dahulu.
Resiko tertular cara transmisi ini kurang dari 1 %.
b) Darah, produk darah, transmisi melalui transfusi atau produk darah
memiliki resiko tertular infeksi HIV lebih dari 90%.
2) Transmisi transplasental
Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai
resiko sebesar 50 %. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil,
melahirkan dan sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui.
Penularan melaului air susu ibu termasuk penularan dengan resiko
rendah. (www.library.usu.ac.id)

II.4 MASA INKUBASI HIV

65
Masa inkubasi adalah waktu yang diperlukan sejak seseorang terpapar
virus HIV sampai dengan menunjukkan gejala-gejala AIDS. Waktu yang
dibutuhkan rata-rata cukup lama dan dapat mencapai ± 12 tahun dan selama
inkubasi penderita tidak menunjukkan gejala-gejala sakit.
(www.library.usu.ac.id)
Selama masa inkubasi ini, penderita disebut penderita HIV. Pada fase ini
terdapat masa dimana virus HIV tidak dapat terdeteksi dengan pemeriksaan
laboratorium ± 3 bulan sejak tertular virus HIV yang dikenal dengan masa
window periode.
Selama masa inkubasi penderita HIV sudah berpotensi unutk menularkan
virus HIV kepada orang lain dengan berbagai cara sesuai dengan pola transmisi
virus HIV tidak menunjukka gejala sakit, maka sangat besar kemungkinan
penularan terjadi pada fase inkubasi ini. (www.library.usu.ac.id)

II.5 DIAGNOSTIK LABORATORIUM


Pada awal infeksi, umumnya belum memberikan gejala yang nyata,
sehingga diagnostis infeksi oleh HIV. Pada stadium awal, umumnya berdasarkan
hasil test laboratorium. (Hardjoeno, 2003)
a. Pemeriksaan penunjang hematologi yang hasilnya secara umum meliputi :
1. Jumlah limfosit lebih kecil dari 1.000/mm3
2. Trombosit lebih kecil dari 100.000/mm3
3. Hemoglobin lebih kecil dari 12 % (Anonim, 2006)
b. Pemeriksaan kultur virus dengan menggunakan bahan dari biopsy jaringan
yang menggunakan mikroskop electron.
c. Pemeriksaan serologi dengan memeriksa darah (serum) dari penderita baik
antigen (protein virus) maupun antibody yang meliputi pemeriksaan-
pemeriksaan. (Depkes RI, 1993).
1. Western Blot. Pemeriksaannya cukup sulit, mahal, interpretasinya
membutuhkan pengalaman dan lama pemeriksaan sekitar 24 jam.
2. Radio Immuno Presipitasion Assay (RIPA). Test konfirmasi yang
jarang dipakai.

66
3. Radio Immuno Assay (RIA). Teknik RIA dipakai untuk mendeteksi
antigen maupun antibody yang kadarnya rendah.
4. Immunoflouresensi (IF) sulit dikerjakan, mahal, lama dan masih
ddapat memberikan hasil yang tidak benar, false positif, false negatif,
intermediet.
5. Passive Hemaglutination (PHA)
6. Rapid test
7. Enzyme Linked ImmunoSorbent Assay (ELISA)
Pemeriksaan antibody HIV paling banyak menggunakan metode ini.
ELISA pada mulanya digunakan untuk screening darah donor dan pemeriksaan
darah kelompok resiko tinggi/ tersangka AIDS. Pemeriksaan ELISA harus
menunjukkan hasil positif 2 kali (reaktif) dari 3 test yang dilakukan, kemudian
dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi yang biasanya dengan metode
Western Blot.
Dasar dalam menegakkan diagnose AIDS adalah :
1. Adanya HIV sebagai etiologi (melalui pemeriksaan laboratorium)
2. Adanya tanda-tanda immunodeficiency
3. Adanya gejala infeksi opportunistic. (www.library.usu.ac.id)
ELISA dari berbagai macam kit yang ada dipasarkan mempunyai cara
kerja hampir sama. Pada dasarnya, diambil virus HIV yang ditumbuhkan pada
biakan sel, kemudian dirusak dan dilekatkan pada biji-biji polisterin atau sumur
microplate, serum atau plasma yang akan diperiksa diinkubasikan dengan antigen
tersebut selama 30 menit atau 2 jam, kemudian di cuci.
(www.cerminduniakedokteran.com)
ELISA terdapat IgG (Immunoglobulin G) yang menempel pada biji-biji
atau sumur microplate tadi maka akan terjadi reaksi pengikatan antigen dan
antibody. Antibody anti-IgG tersebu terlebih dahulu sudah diberi label dengan
enzim (alkali fosfatase, horseradish peroksidase) sehingga setelah kelebihan
enzim dicuci habis, maka enzim yang tinggal akan bereaksi dengan kadar IgG
yang ada, kemudian akan berwarna bila ditambah dengan suatu substrat.
(www.cerminduniakedokteran.com)

67
Sekarang ada test EIA yang menggunakan ikatan dari heavy dan light
chain dari Human Immunoglobulin sehingga reaksi dengan antibody dapat lebih
spesifik, yaitu mampu mendeteksi IgM maupun IgG. Pada setiap test selalu
diikutkan control positif dan negative untuk dipakai sebagai pedoman, sehingga
kadar ditas cut off value atau diatas absorbance level specimen akan dinyatakan
positif. Biasanya lama pemeriksaan adalah 4 jam. Pemeriksaan ELISA hanya
menunjukkan suatu infeksi HIV dimasa lampau.
(www.cerminduniakedokteran.com)
Test ELISA mulai menunjukkan hasil positif pada bulan ke 2-3 masa sakit
selama fase permulaan penyakit (fase akut) dalam darah penderita dapat
ditemukan virus HIV/partikel HIV dalam penurunan jumlan sel T4 (gratik).
Setelah beberapa hari terkena infeksi AIDS, IgM dapat dideteksi setelah 3 bulan
IgG mulai ditemukan. Pada fase berikutnya yaitu pada waktu gejala major AIDS
menghilang (karena sebagian besar HIV telah masuk kedalam sel tubuh). HIV
sudah tidak dapat ditemukan lagi dari peredaran darah dan jumlah sel T4 akan
kembali normal. (www.cerminduniakedokteran.com)
Hasil pemeriksaan ELISA, harus diinterpretasi dengan hati-hati karena
tergantung dari fase penyakit. Pada umunya, hasil akan positif pada fase timbul
gejala pertama AIDS (AIDS phase) dan sebagian kecil akan negatif pada fase dini
AIDS (pre AIDS phase). (www.cerminduniakedokteran.com)
Beberapa hal tentang kebaikan test ELISA adalah nilai sensitifitas
tertinggi 98-100 % western blot, memberi nilai spesifik 99,6 %-100%. Walaupun
begitu,.prediktive value hasil test positif tergantung dari prepalensi HIV
dimasyarakat. Pada kelompok penderita AIDS, predictive positif value adalah
100% sedangkan pada donor darah dapat antara 5 %-100% predictive value dari
hasil negatif ELISA dari masyarakat sekitar 99,9 %-76,9% pada kelompok resiko
tinggi. (www.cerminduniakedokteran.com)
Disamping keunggulan, beberapa kendala path test ELISA yang perlu
diperhatikan adalah: (www.cerminduniakedokteran.com)
1. Pemeriksaan ELISA hanya mendeteksi antibody, bukan antigen (akhir-
akhir ini sudah ditemukan test ELISA unutk antigen). Oleh karena itu, test

68
uji baru akan positif bila penderita akan mengalami serokonversi yang
lamanya 2-3 bulan sejak terinfeksi HIV, bahkan ada yang 5 bulan atau
lebih (pada keadaan immunocompromissed). Kasus dengan infeksi HIV
lateks selama 3-4 bulan.
2. Pemeriksaan ELISA hanya terdapat antigen IgG. Penderita AIDS pada
taraf permulaan hanya mengandung IgM sehingga tidak akan terdeteksi.
Perubahan dari IgM ke IgG membutuhkan waktu sampai 41 minggu.
3. Pada umumnya pemeriksaan ELISA ditujukan untuk HIV-1. Bila test ini
digunakan pada penderita HIV-2, nilai positifnya hanya 24% tetapi HIV-2
paling banyak ditemukan di Afrika.
4. Masalah false positif pada test ELISA. Hasil ini sering ditemukan pada
keadaan positif lemah, jarang ditemukan pada positif kuat. Hal ini
disebabkan karena morfologi HIV hasil biakan jaringan yang digunakan
dalam test kemurniannya berbeda dengan HIV dialam. Oleh karena itu,
test ELISA harus dikonfirmasi dengan test lain.
Test ELISA mempunyai spesifitas dan sensitifitas cukup tinggi, walaupun
hasil negative, test ini tidak dapat menjamin bahwa seseorang bebas 100% dari
HIV terutama pada kelompok resiko tinggi. Akhir-akhir ini test ELISA telah
memakai recombinant antigen yang sangat spesifik terhadap enveloped dan core.
(www.cerminduniakedokteran.com)

69
BAB III
METODE KERJA

III.1 WAKTU
Praktikum Pemeriksaan HIV ini dilaksanakan pada hari Jum’at, tanggal
29, bulan Oktober dan tahun 2010.

III.2 TEMPAT
Praktikum Pemeriksaan HIV ini pelaksanaannya bertempat di Balai
Laboratorium Kesehatan Daerah Samarinda, Kalimantan Timur.

III.3 METODE
Rapid Test.

III.4 PRINSIP
Dengan adanya HIV 1, 2, O yang merupakan 3 garis HIV dengan rapid
test device adalah suatu rapid kromatografi immunoassay untuk mendeteksi
kualitatif dan antibody terhadap HIV 1, 2, O di dalam serum, plasma atau darah
lengkap.

III.5 ALAT
a. Tabung reaksi. d. Mikropipet 50 µL.
b. Rak tabung. e. Tip kuning.
c. Sentrifuge. f. Timer.

III.6 BAHAN
Sampel serum dari ± 5 mL darah vena yang telah disentrifuge pada
kecepatan 3000 RPM selama ± 15 menit;

70
a. Sampel 1 b. Sampel 2
Nama : Anita Mandasari Nama : Cahyani Rahayu
Umur : 19 tahun Umur : 20 tahun
Jenis kelamin : Perempuan Jenis kelamin : Perempuan

III.7 REAGENSIA
a. Strip HIV merk “ONCOPROBE”.
b. Buffer HIV merk “ONCOPROBE”.

III.8 CARA KERJA


a. Keluarkan kaset dari referigator.
b. Biarkan kaset dan sampel yang akan digunakan pada suhu ruangan.
c. Keluarkan kaset dari kemasannya.
d. Letakkan pada permukaan datar.
e. Teteskan 1 tetes atau 50 µL serum/plasma ke lubang sampel pada kaset.
f. Teteskan 1 tetes (±40 µL) buffer ke lubang yang sama untuk sampel.
g. Biarkan 10-30 menit baru kemudian baca hasil.

III.9 INTERPRETASI HASIL


a. Positif
Terbentuk 2/3 garis berwarna, satu pada zona garis test 1 atau 2 (atau 1
dan 2) dan satu pada zona garis control. Hal ini berarti pada serum, plasma
dan darah terdapat antibody HIV -1/. Garis warna pada zona 1 medapatkan
infeksi HIV-1 dan garis pada zona 2 menandakan infeksi HIV-2.

71
Oncoprobe Oncoprobe Oncoprobe
HIV HIV HIV
T1 : HIV 1/O T1 : HIV 1/O T1 : HIV 1/O
T2 : HIV 2 T2 : HIV 2 T2 : HIV 2

C C C
T1 T1 T1
T2 T2 T2

S S S

b. Negatif c. Invalid
Terbentuk satu garis warna hanya Jika tidak timbul garis warna pada
pada zona garis control. Ini berarti zona control, maka test dinyatakan
pada serum, plasma dan darah tidak gagal. Ulangi test dengan alat baru.
terdapat HIV.

Oncoprobe Oncoprobe
HIV HIV
T1 : HIV 1/O T1 : HIV 1/O
T2 : HIV 2 T2 : HIV 2

C C
T1 T1
T2 T2

S S

72
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 HASIL
Dari Praktikum Pemeriksaan HIV yang telah dilaksanakan dengan metode
Rapid Test, diperoleh hasil sebagai berikut:
a. Sampel 1 : Non-reaktif (-)
b. Sampel 2 : Non-reaktif (-)

IV.2 PEMBAHASAN
Sebagai penyaring biasanya digunakan teknik ELISA, aglutinasi atau
dotblot immunobinding assay. WHO menganjurkan pemakaian salah satu dari
pemeriksaan antibody terhadap HIV, tergantung pada tujuan penyaringan keadaan
populasi dan keadaan penderita. Strategi tersebut adalah: (Anonim, 2006)
a. Strategi pertama
Dilakukan satu kali pemeriksaan antibody, bila pemeriksaan reaktif, maka
dianggap sebagai kasus infeksi HIV dan bila hasil pemeriksaan non-reaktif
dianggap tidak terinfeksi HIV. Reagensia yang dipakai untuk pemeriksaan
pada strategi ini harus memiliki sensitivitas yang tinggi (> 99%).
b. Strategi kedua
Menggunakan 2 kali pemeriksaan terhadap serum yang pada pemeriksaan
pertama memberikan hasil reaktif. Perlu diperhatikan bahwa pada
pemeriksaan pertama digunakan reagensia dengan sensitivitas dan pada
pemeriksaan kedua dipakai reagensia yang lebih spesifik serta berbeda
jenis antigen atau tekhniknya dari yang dipakai pada pemeriksaan pertama.
Bila hasil pemeriksaan yang kedua juga reaktif, maka disimpulkan sebagai
terinfeksi HIV, namun jika hasil pemeriksaan yang kedua adalah non-

73
reaktif, maka pemeriksaan harus diulang dengan kedua metode. Bila hasil
tidak sama, maka dilaporkan sebagai intermediate.

c. Strategi ketiga
Menggunakan tiga kali pemeriksaan terhadap serum yang pada dua
pemeriksaan pertama memberikan hasil reaktif. Bila hasil pemeriksaan
antara ketiga pemeriksaan tidak sama, misalnya hasil pertama reaktif,
maka keadaan ini disebut sebagai equivocal atau indeterminate bila
penderita yang diperiksa memiliki riwayat pemaparan terhadap HIV atau
tidak beresilo tertular HIV, maka hasil pemeriksaan ketiga dipakai
reagensia yang berbeda asal antigen atau tekhniknya, serta memiliki
spesifisitas yang lebih tinggi.
Pemeriksaan ELISA harus menunjukkan hasil positif (reaktif) dari tiga tes
yang dilakukan, kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi yang
biasanya dengan memakai metode Western Blot. (Lubis, 1992)
Pada setiap tes dilakukan control positif dan negatif untuk dipakai sebagai
pedoman, sehingga kadar di atas cut off value atau di atas absorban level
spesimen akan dinyatakan positif. Biasanya lama pemeriksaan adalah 4 jam.
Pemeriksaan ELISA hanya menunjukkan suatu infeksi HIV dimasa lampau.
Beberapa kendala pada tes ELISA yang harus diperhatikan adalah: (Lubis,
1992)
a. Pemeriksaan ELISA hanya mendeteksi antibody bukan antigen.
b. Pemeriksaan ELISA hanya terdapat antigen jenis IgG.
c. Pada umumnya pemeriksaan ELISA ditujukan untuk HIV-1.
d. Masalah false positif pada tes ELISA, hasil ini sering ditemukan pada
keadaan positif lemah, jarang ditemukan pada positif kuat. Hal ini
disebabkan karena morfologi HIV hasil biakkan jaringan yang digunakan
dalam tes kemurniannya berbeda dengan HIV di alam.
Sampel dengan antibody di bawah gray zone (nilai cut off 15%) dianggap
negatif tidak dapat ditentukan hasilnya dan harus dites ulang duplo menggunakan
sampel yang sama. Apabila tes ulangan positif, sampel dites konfirmasi dengan

74
metode pelengkap, misalnya: western blot, tes immunofluoresensi dan lain-lain,
terutama untuk menentukan tipe infeksi. (Hardjoeno, 2003)
Beberapa hal tentang kebaikan tes ELISA adalah nilai sensitivitas yang
tinggi : 98-100%. Walaupun begitu, predictive value hasil tes positif tergantung
dari prevalensi HIV di masyarakat. Pada kelompok penderita AIDS, predictive
antara 5-100%. Predictive value dari hasil negative ELISA pada masyarakat
sekitar 59,99%- 76,9% pada kelompok resiko tinggi.
Hasil pemeriksaan ELISA harus diinterpretasi dengan hati-hati dari fase
penyakit. Pada umumnya hasil akan positif pada fase timbul gejala pertama AIDS
(AIDS Phase) dan sebagian kecil akan negative pada fase dini AIDS.
(www.cerminduniakedokteran.com)

75
BAB V
PENUTUP

V.1 KESIMPULAN
Dari hasil Praktikum Pemeriksaan HIV yang telah diperoleh, dapat dibuat
kesimpulan:
a. Sampel 1
Nama : Anita Mandasari
Umur : 19 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Hasil pemeriksaan : Non-reaktif (-)
b. Sampel 2
Nama : Cahyani Rahayu
Umur : 20 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Hasil pemeriksaan : Non-reaktif (-)
bahwa dari kedua hasil di atas tidak terdapat antibody terhadap HIV di dalam
sampel serum yang diperiksa.

V.2 SARAN
a. Sebaiknya pada saat melakukan pemeriksaan HIV/ AIDS mengunakan
sarung tangan.
b. Untuk mendiagnosa pasien HIV/ AIDS harus mengunakan strategi III
dengan tingkat spesifik dan sensitifitas yang baik.
c. Pemeriksaan antibodi terhadap HIV, hendaknya dilakukan dengan
menggunakan 3 merk yang berbeda. Tujuannya adalah agar mendapatkan

76
hasil yang menyakinkan dan dapat di pertanggung jawabkan
kebenarannya.
d. Pemeriksaan HIV dianjurkan kepada setiap orang yang merasa dirinya
memiliki resiko terinfeksi HIV/ AIDS.

77
PEMERIKSAAN ANTI HIV
METODE RAPID

78
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG


Kasus AIDS pertama ditemukan di AS pada 1981, tetapi kasus tersebut
hanya sedikit memberi informasi tentang penyakit ini. Sekarang ada bukti jelas
bahwa AIDS disebabkan oleh virus yang dikenal dengan HIV. (Kanabus, 1999)
Kita mungkin tidak akan pernah tahu secara pasti kapan dan dimana virus
ini muncul pertama kali, tetapi yang jelas pada waktu di pertengahan abad 20-an
ini, infeksi HIV pada manusia berkembang menjadi epidemi penyakit di seluruh
dunia yang saat ini lebih dikenal sebagai AIDS. (Kanabus, 1999)
Seperti diketahui bersama, permasalahan HIV dan AIDS bukan saja
menjadi masalah nasional akan tetapi sudah menjadi masalah global karena lebih
dari 40 juta jiwa manusia hidup dengan HIV.
Hampir 12 juta laki-laki dan perempuan di bawah usia 24 tahun positif
HIV di seluruh dunia. Dengan peningkatan jumlah setiap harinya.
Di seluruh dunia terdapat 40 juta pengidap infeksi HIV atau AIDS, hamper
setengahnya dalah wanita, 30 % adalah usia muda 15-24 tahun (data sampai
2001). Di Indonesia prevalensi HIV/ AIDS sebanyak 212.092 jiwa, usia 15 tahun
sebanyak 13 %, 15-49 tahun 0,11 % (data sampai 2001). (Hardjoeno, 2003)
Di Indonesia, penggunaan jarum suntik untuk obat bius merupakan
epidemi terbesar dari wabah tersebut. Lebih dari 90 persen dari penggunaan jarum
suntik diketahui tidak bersih, terutama di tiga kota besar. Di salah satu kota besar
tersebut, sebanyak 70 persen pekerja seks dilaporkan tidak menggunakan alat
pelindung seks, hanya sepuluh persen yang menggunakan kondom secara tetap.
(Kompas, 2003)
Berdasarkan data resmi dari Departemen RI pada akhir Juni 2007, secara
komulatif jumlah orang dengan HIV dan AIDS tercatat sebanyak 14.628 kasus

79
yang terdiri dari 5.813 kasus HIV dan 9.689 kasus AIDS. Dilihat dari kelompok
umur 20-29 tahun, yaitu sebanyak 53,9 %. Kemudian disusul dengan kelompok
umur 30-39 tahun sebanyak 27,7 %. Sedangkan faktor penyebabnya telah
bergeser dimana kelompok pengguna jarum suntik menjadi penyebab utama (49,1
%), disusul oleh kelompok heteroseksual (42,1 %) dan homoseksual (4,1 %).
Ada beberapa cara/ pemeriksaan untuk mendeteksi adanya virus HIV,
salah satunya yaitu pemeriksaan secara rapid yang relatif mudah, singkat/ cepat,
serta didapatkan hasil yang akurat.

I.2 TUJUAN
Praktikum Pemeriksaan Anti-HIV ini bertujuan untuk dapat mendeteksi
adanya antibody virus HIV penyebab AIDS di dalam serum yang diperiksa.

I.3 MANFAAT
Praktikum Pemeriksaan Anti-HIV ini bermanfaat agar praktikan dapat
mengetahui dan melaksanakan pemeriksaan anti-HIV dengan cara rapid test yang
baik dan benar di laboratorium.

80
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 HIV
Tipe Human Immunodeficiency Virus (HIV), berasal dari Lentivirus
primata, merupakan agen penyebab AIDS. Penyakit ini pertama kali ditemukan
pada tahun 1981 dan HIV-1 diisolasi pada akhir tahun 1983. Sejak itu, AIDS telah
menjadi epidemi di seluruh dunia, meluas jangkauannya, dan penting karena
infeksi HIV telah menyerang berbagai populasi serta daerah geografis yang
berbeda. Jutaan orang di seluruh dunia telah terinfeksi; sekali terinfeksi, individu
tersebut tetap terinfeksi sepanjang hidupnya. Dalam satu dekade, apabila tidak
diobati, sebagian besar orang yang terinfeksi HIV mengalami infeksi oportunistis
yang fatal akibat defisiensi sistem imun yang diinduksi oleh HIV. AIDS
merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang paling penting di dunia
pada awal abad ke-21. (Brooks, 2007)
Human Imunnodeficiency Virus (HIV) adalah salah satu retrovirus yang
dapat menyebabkan AIDS (Aquired Immunodeficiency Syndrom). HIV pertama
kali ditemukan pada 1983. Dikenal dua macam suptipe HIV yaitu HIV-1 yang
menyebar ke seluruh dunia dan HIV-2 yang terutama terdapat di Afrika Barat dan
Portugal. (Hardjoeno, 2003)
Diseluruh dunia, terdapat 40 juta pengidap infeksi HIV atau AIDS, hamper
setengahnya adalah wanita, 30% adalah usia muda 15-24 tahun (data, sampai
2001). Di Indonesia pravalensi HIV ? AIDS sebanyak 212.092 jiwa. Usia 15
tahun sebanyak 13%, 15-49 tahun 0,11 % (data sampai 2001). (Hardjoeno, 2003)

II.2 SIFAT LENTIVIRUS


HIV adalah Retrovirus, anggota genus Lentivirus, dan menunjukkan
banyak gambaran fisikokimia yang merupakan ciri khas family. Karakteristik

81
morfologi HIV yang unik adalah nukleoid berbentuk silinder di dalam virion yang
matur. Nukleoid berbentuk batang yang merupakan tanda diagnostik terlihat
dengan menggunakan mikroskop electron di dalam partikel ekstraselular yang
dipotong pada sudut yang sesuai. (Brooks, 2007)
HIV terdiri dari tiga bagian utama yaitu envelope yang merupakan lapisan
terluar, capsid yang meliputi isi virus dan core merupakan isi virus. Lapisan
envelope terdiri dari lemak ganda yang terbentuk dari membrane sel pejamu serta
protein dari sel penjamu. Pada lapisan ini, tertanam glikoprotein gp41. Pada
bagiam luar glikoprotein,ini terikat molekul gp120. Pada elektrroforesis kompleks
antara gp120 dan gp41 membentuk pita gp160. Capsid merupakan lapisan protein
yang dikenal sebagai P17. Pada bagian core terdapat sepasang RNA rantai
tunggal, enzim-enzim yang berperan dalam replikasi seperti reserve transcriptase
(P61), endonuklease (P31) serta protein lainnya terutama P24. (Hardjoeno, 2003)
Lentivirus telah diisolasi dari berbagai spesies, termasuk setidaknya 26
primata selain manusia Afrika yang berbeda. Ada dua tipe virus AIDS manusia
yang berbeda: HIV-1 dan HIV-2. Kedua tipe ini dibedakan berdasarkan organisasi
genom dan hubungan filogenetik (evolisuonar) dengan Lentivirus primata lain.
(Brooks, 2007)
Susunan genom Lentivirus primata (manusia dan simian) sangat mirip.
Satu perbedaan adalah bahwa HIV-1 dan virus simpanse memiliki gen vpu,
sedangkan HIV-2 dan hampir semua SIV mempunyai gen vpx. (Brooks, 2007)
Lentivirus selain primata menimbulkan infeksi persisten yang mengenai
berbagai spesies hewan. Virus ini menyebabkan penyakit kronk yang melemahkan
dan kadang-kadang imunodefisiensi. Agen prototipe, virus visna (disebut juga
virus maedi), menimbulkan gejala neurologis atau pneumonia pada domba di
Iceland. Virus lain menyebabkan anemia infeksius pada kuda dan arthritis serta
ensefalitis pada kambing. Lentivirus kucing dan sapi dapat menyebabkan
imunodefisiensi. Lentivirus selain primata tidak diketahui menimbulkan infeksi
pada primata, termasuk manusia. (Brooks, 2007)

II.3 CARA PENULARAN

82
Secara umum ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatu
penyakit yaitu sumber infeksi, verikulum yang membawa agent, host yang rentan,
tempat keluar kuman dan tempat masuk kuman (portaentre).
Banyak cara yang diduga menjadi ccara peenularan virus HIV, namun
hingga kini cara penularan HIV yang diketahui adalah melalui:
c. Transmisi seksual
Penularan melalui hubungan seksual, baik homoseksual maupun
heteroseksual merupakan penularan infeksi yang paling sering terjadi.
Penularan ini berhubungan dengan semen dan cairan vagina atau serviks.
d. Transmisi transplasental
3) Transmisi parental
c) Akibat penggunaan jarum suntik atau alat tusuk lainnya (alat
tindik) yang telah terkontaminasi, misalnya pada penyalahgunaan
narkotik, suntik yang memakai jarum suntik yan tercemar secara
bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi melalui jarum suntik
yang dipakai oleeh petugas tanpa disterilkan terlebih dahulu.
Resiko tertular cara transmisi ini kurang dari 1 %.
d) Darah, produk darah, transmisi melalui transfusi atau produk darah
memiliki resiko tertular infeksi HIV lebih dari 90%.
4) Transmisi transplasental
Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai
resiko sebesar 50 %. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil,
melahirkan dan sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui.
Penularan melaului air susu ibu termasuk penularan dengan resiko
rendah. (www.library.usu.ac.id)

II.4 MASA INKUBASI HIV


Masa inkubasi adalah waktu yang diperlukan sejak seseorang terpapar
virus HIV sampai dengan menunjukkan gejala-gejala AIDS. Waktu yang
dibutuhkan rata-rata cukup lama dan dapat mencapai ± 12 tahun dan selama

83
inkubasi penderita tidak menunjukkan gejala-gejala sakit.
(www.library.usu.ac.id)
Selama masa inkubasi ini, penderita disebut penderita HIV. Pada fase ini
terdapat masa dimana virus HIV tidak dapat terdeteksi dengan pemeriksaan
laboratorium ± 3 bulan sejak tertular virus HIV yang dikenal dengan masa
window periode.
Selama masa inkubasi penderita HIV sudah berpotensi unutk menularkan
virus HIV kepada orang lain dengan berbagai cara sesuai dengan pola transmisi
virus HIV tidak menunjukka gejala sakit, maka sangat besar kemungkinan
penularan terjadi pada fase inkubasi ini. (www.library.usu.ac.id)

II.5 DIAGNOSTIK LABORATORIUM


Pada awal infeksi, umumnya belum memberikan gejala yang nyata,
sehingga diagnostis infeksi oleh HIV. Pada stadium awal, umumnya berdasarkan
hasil test laboratorium. (Hardjoeno, 2003)
d. Pemeriksaan penunjang hematologi yang hasilnya secara umum meliputi :
4. Jumlah limfosit lebih kecil dari 1.000/mm3
5. Trombosit lebih kecil dari 100.000/mm3
6. Hemoglobin lebih kecil dari 12 % (Anonim, 2006)
e. Pemeriksaan kultur virus dengan menggunakan bahan dari biopsy jaringan
yang menggunakan mikroskop electron.
f. Pemeriksaan serologi dengan memeriksa darah (serum) dari penderita baik
antigen (protein virus) maupun antibody yang meliputi pemeriksaan-
pemeriksaan. (Depkes RI, 1993).
8. Western Blot. Pemeriksaannya cukup sulit, mahal, interpretasinya
membutuhkan pengalaman dan lama pemeriksaan sekitar 24 jam.
9. Radio Immuno Presipitasion Assay (RIPA). Test konfirmasi yang
jarang dipakai.
10. Radio Immuno Assay (RIA). Teknik RIA dipakai untuk mendeteksi
antigen maupun antibody yang kadarnya rendah.

84
11. Immunoflouresensi (IF) sulit dikerjakan, mahal, lama dan masih
ddapat memberikan hasil yang tidak benar, false positif, false negatif,
intermediet.
12. Passive Hemaglutination (PHA)
13. Rapid test
14. Enzyme Linked ImmunoSorbent Assay (ELISA)
Pemeriksaan antibody HIV paling banyak menggunakan metode ini.
ELISA pada mulanya digunakan untuk screening darah donor dan pemeriksaan
darah kelompok resiko tinggi/ tersangka AIDS. Pemeriksaan ELISA harus
menunjukkan hasil positif 2 kali (reaktif) dari 3 test yang dilakukan, kemudian
dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi yang biasanya dengan metode
Western Blot.
Dasar dalam menegakkan diagnose AIDS adalah :
4. Adanya HIV sebagai etiologi (melalui pemeriksaan laboratorium)
5. Adanya tanda-tanda immunodeficiency
6. Adanya gejala infeksi opportunistic. (www.library.usu.ac.id)
ELISA dari berbagai macam kit yang ada dipasarkan mempunyai cara
kerja hampir sama. Pada dasarnya, diambil virus HIV yang ditumbuhkan pada
biakan sel, kemudian dirusak dan dilekatkan pada biji-biji polisterin atau sumur
microplate, serum atau plasma yang akan diperiksa diinkubasikan dengan antigen
tersebut selama 30 menit atau 2 jam, kemudian di cuci.
(www.cerminduniakedokteran.com)
ELISA terdapat IgG (Immunoglobulin G) yang menempel pada biji-biji
atau sumur microplate tadi maka akan terjadi reaksi pengikatan antigen dan
antibody. Antibody anti-IgG tersebu terlebih dahulu sudah diberi label dengan
enzim (alkali fosfatase, horseradish peroksidase) sehingga setelah kelebihan
enzim dicuci habis, maka enzim yang tinggal akan bereaksi dengan kadar IgG
yang ada, kemudian akan berwarna bila ditambah dengan suatu substrat.
(www.cerminduniakedokteran.com)
Sekarang ada test EIA yang menggunakan ikatan dari heavy dan light
chain dari Human Immunoglobulin sehingga reaksi dengan antibody dapat lebih

85
spesifik, yaitu mampu mendeteksi IgM maupun IgG. Pada setiap test selalu
diikutkan control positif dan negative untuk dipakai sebagai pedoman, sehingga
kadar ditas cut off value atau diatas absorbance level specimen akan dinyatakan
positif. Biasanya lama pemeriksaan adalah 4 jam. Pemeriksaan ELISA hanya
menunjukkan suatu infeksi HIV dimasa lampau.
(www.cerminduniakedokteran.com)
Test ELISA mulai menunjukkan hasil positif pada bulan ke 2-3 masa sakit
selama fase permulaan penyakit (fase akut) dalam darah penderita dapat
ditemukan virus HIV/partikel HIV dalam penurunan jumlan sel T4 (gratik).
Setelah beberapa hari terkena infeksi AIDS, IgM dapat dideteksi setelah 3 bulan
IgG mulai ditemukan. Pada fase berikutnya yaitu pada waktu gejala major AIDS
menghilang (karena sebagian besar HIV telah masuk kedalam sel tubuh). HIV
sudah tidak dapat ditemukan lagi dari peredaran darah dan jumlah sel T4 akan
kembali normal. (www.cerminduniakedokteran.com)
Hasil pemeriksaan ELISA, harus diinterpretasi dengan hati-hati karena
tergantung dari fase penyakit. Pada umunya, hasil akan positif pada fase timbul
gejala pertama AIDS (AIDS phase) dan sebagian kecil akan negatif pada fase dini
AIDS (pre AIDS phase). (www.cerminduniakedokteran.com)
Beberapa hal tentang kebaikan test ELISA adalah nilai sensitifitas
tertinggi 98-100 % western blot, memberi nilai spesifik 99,6 %-100%. Walaupun
begitu,.prediktive value hasil test positif tergantung dari prepalensi HIV
dimasyarakat. Pada kelompok penderita AIDS, predictive positif value adalah
100% sedangkan pada donor darah dapat antara 5 %-100% predictive value dari
hasil negatif ELISA dari masyarakat sekitar 99,9 %-76,9% pada kelompok resiko
tinggi. (www.cerminduniakedokteran.com)
Disamping keunggulan, beberapa kendala path test ELISA yang perlu
diperhatikan adalah: (www.cerminduniakedokteran.com)
5. Pemeriksaan ELISA hanya mendeteksi antibody, bukan antigen (akhir-
akhir ini sudah ditemukan test ELISA unutk antigen). Oleh karena itu, test
uji baru akan positif bila penderita akan mengalami serokonversi yang
lamanya 2-3 bulan sejak terinfeksi HIV, bahkan ada yang 5 bulan atau

86
lebih (pada keadaan immunocompromissed). Kasus dengan infeksi HIV
lateks selama 3-4 bulan.
6. Pemeriksaan ELISA hanya terdapat antigen IgG. Penderita AIDS pada
taraf permulaan hanya mengandung IgM sehingga tidak akan terdeteksi.
Perubahan dari IgM ke IgG membutuhkan waktu sampai 41 minggu.
7. Pada umumnya pemeriksaan ELISA ditujukan untuk HIV-1. Bila test ini
digunakan pada penderita HIV-2, nilai positifnya hanya 24% tetapi HIV-2
paling banyak ditemukan di Afrika.
8. Masalah false positif pada test ELISA. Hasil ini sering ditemukan pada
keadaan positif lemah, jarang ditemukan pada positif kuat. Hal ini
disebabkan karena morfologi HIV hasil biakan jaringan yang digunakan
dalam test kemurniannya berbeda dengan HIV dialam. Oleh karena itu,
test ELISA harus dikonfirmasi dengan test lain.
Test ELISA mempunyai spesifitas dan sensitifitas cukup tinggi, walaupun
hasil negative, test ini tidak dapat menjamin bahwa seseorang bebas 100% dari
HIV terutama pada kelompok resiko tinggi. Akhir-akhir ini test ELISA telah
memakai recombinant antigen yang sangat spesifik terhadap enveloped dan core.
(www.cerminduniakedokteran.com)

87
BAB III
METODE KERJA

III.1 WAKTU
Praktikum Pemeriksaan Anti-HIV ini dilaksanakan pada hari Jum’at,
tanggal 29, bulan Oktober dan tahun 2010.

III.2 TEMPAT
Praktikum Pemeriksaan Anti-HIV ini pelaksanaannya bertempat di Balai
Laboratorium Kesehatan Daerah Samarinda, Kalimantan Timur.

III.3 METODE
Rapid Test (Paralel).

III.4 PRINSIP
III.4.1 SD HIV 1/2
SD biolin 1 dan 2 menggunkan test imunokromatografi untuk mendeteksi
antibody dari semua type sama (IgG, IgM, IgA) yang spesifik untuk HIV-1 dan 2
secara stimulant didalam serum, plasma atau darah lengkap.
III.4.2 ONCOPROBE
Dengan adanya HIV 1, 2, O yang merupakan 3 garis HIV dengan rapid
test device adalah suatu rapid kromatografi immunoassay untuk mendeteksi
kualitatif dan antibody terhadap HIV 1, 2, O di dalam serum, plasma atau darah
lengkap.
III.4.3 DETERMINE
Determine HIV-1 dan 2 menggunakan test imunokromatografi untuk
mendeteksi antibody HIV-1 dan 2 secara kualitatif.

88
III.5 ALAT
a. Tabung reaksi. d. Mikropipet 50 µL.
b. Rak tabung. e. Tip kuning.
c. Sentrifuge. f. Timer.

III.6 BAHAN
Sampel serum dari ± 5 mL darah vena yang telah disentrifuge hingga
terpisah;
a. Sampel 1 b. Sampel 2
Nama : Anita Mandasari Nama : Cahyani Rahayu
Umur : 19 tahun Umur : 20 tahun
Jenis kelamin : Perempuan Jenis kelamin : Perempuan

III.7 REAGENSIA
a. Strip HIV merk “SD HIV 1/2”.
b. Strip HIV merk “ONCOPROBE”.
c. Strip HIV merk “DETERMINE”.

III.8. CARA KERJA


III.8.1 SD HIV 1/2
a. Keluarkan kaset dari referigator.
b. Biarkan kaset dan sampel yang akan digunakan pada suhu ruangan.
c. Keluarkan kaset dari kemasannya.
d. Letakkan pada permukaan datar.
e. Masukkan 10 µL serum ke lubang sampel pada kaset.
f. Tambahkan 4 tetes buffer ke lubang yang sama untuk sampel.
g. Biarkan 5-20 menit baru kemudian baca hasil.
III.8.2 ONCOPROBE
a. Keluarkan kaset dari referigator.

89
b. Biarkan kaset dan sampel yang akan digunakan pada suhu ruangan.
c. Keluarkan kaset dari kemasannya.
d. Letakkan pada permukaan datar.
e. Teteskan 1 tetes atau 50 µL serum/plasma ke lubang sampel pada kaset.
f. Teteskan 1 tetes (±40 µL) buffer ke lubang yang sama untuk sampel.
g. Biarkan 10-30 menit baru kemudian baca hasil.
III.8.3 DETERMINE
a. Keluarkan strip dari referigator
b. Biarkan strip dan sampel yang akan digunakan pada suhu ruangan.
c. Keluarkan strip dari kemasannya
d. Letakkan pada permukaan datar
e. Diteteskan 1 tetes atau 50 µL serum/plasma pada strip test.
f. Biarkan 15 menit baru kemudian baca hasil

III.9 INTERPRETASI HASIL


III.9.1 SD HIV 1/2 dan ONCOPROBE
a. Positif
Terbentuk 2/3 garis berwarna, satu pada zona garis test 1 atau 2 (atau 1
dan 2) dan satu pada zona garis control. Hal ini berarti pada serum, plasma
dan darah terdapat antibody HIV -1/. Garis warna pada zona 1 medapatkan
infeksi HIV-1 dan garis pada zona 2 menandakan infeksi HIV-2.

90
Oncobrope Oncobrope Oncobrope
HIV HIV HIV
T1 : HIV 1/O T1 : HIV 1/O T1 : HIV 1/O
T2 : HIV 2 T2 : HIV 2 T2 : HIV 2

C C C
T1 T1 T1
T2 T2 T2

S S S

a. Negatif b. Invalid
Terbentuk satu garis warna hanya Jika tidak timbul garis warna pada
pada zona garis control. Ini berarti zona control, maka test dinyatakan
pada serum, plasma dan darah tidak gagal. Ulangi test dengan alat baru.
terdapat HIV.

Oncoprobe Oncoprobe
HIV HIV
T1 : HIV 1/O T1 : HIV 1/O
T2 : HIV 2 T2 : HIV 2

C C
T1 T1
T2 T2

S S

III.9.2 DETERMINE
a. Positif b. Negatif c. Invalid

91
92
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 HASIL
Dari Praktikum Pemeriksaan Anti-HIV yang telah dilaksanakan dengan
metode Rapid Test, diperoleh hasil sebagai berikut:
a. Sampel 1
SD HIV 1/2 : Non-reaktif (-)
ONCOPROBE : Non-reaktif (-)
DETERMNE : Non-reaktif (-)
b. Sampel 2
SD HIV 1/2 : Non-reaktif (-)
ONCOPROBE : Non-reaktif (-)
DETERMNE : Non-reaktif (-)

IV.2 PEMBAHASAN
Sebagai penyaring biasanya digunakan teknik ELISA, aglutinasi atau
dotblot immunobinding assay. WHO menganjurkan pemakaian salah satu dari
pemeriksaan antibody terhadap HIV, tergantung pada tujuan penyaringan keadaan
populasi dan keadaan penderita. Strategi tersebut adalah: (Anonim, 2006)
a. Strategi pertama
Dilakukan satu kali pemeriksaan antibody, bila pemeriksaan reaktif, maka
dianggap sebagai kasus infeksi HIV dan bila hasil pemeriksaan non-reaktif
dianggap tidak terinfeksi HIV. Reagensia yang dipakai untuk pemeriksaan
pada strategi ini harus memiliki sensitivitas yang tinggi (> 99%).
b. Strategi kedua
Menggunakan 2 kali pemeriksaan terhadap serum yang pada pemeriksaan
pertama memberikan hasil reaktif. Perlu diperhatikan bahwa pada

93
pemeriksaan pertama digunakan reagensia dengan sensitivitas dan pada
pemeriksaan kedua dipakai reagensia yang lebih spesifik serta berbeda
jenis antigen atau tekhniknya dari yang dipakai pada pemeriksaan pertama.
Bila hasil pemeriksaan yang kedua juga reaktif, maka disimpulkan sebagai
terinfeksi HIV, namun jika hasil pemeriksaan yang kedua adalah non-
reaktif, maka pemeriksaan harus diulang dengan kedua metode. Bila hasil
tidak sama, maka dilaporkan sebagai intermediate.
c. Strategi ketiga
Menggunakan tiga kali pemeriksaan terhadap serum yang pada dua
pemeriksaan pertama memberikan hasil reaktif. Bila hasil pemeriksaan
antara ketiga pemeriksaan tidak sama, misalnya hasil pertama reaktif,
maka keadaan ini disebut sebagai equivocal atau indeterminate bila
penderita yang diperiksa memiliki riwayat pemaparan terhadap HIV atau
tidak beresilo tertular HIV, maka hasil pemeriksaan ketiga dipakai
reagensia yang berbeda asal antigen atau tekhniknya, serta memiliki
spesifisitas yang lebih tinggi.

Pemeriksaan ELISA harus menunjukkan hasil positif (reaktif) dari tiga tes
yang dilakukan, kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi yang
biasanya dengan memakai metode Western Blot. (Lubis, 1992)
Pada setiap tes dilakukan control positif dan negatif untuk dipakai sebagai
pedoman, sehingga kadar di atas cut off value atau di atas absorban level
spesimen akan dinyatakan positif. Biasanya lama pemeriksaan adalah 4 jam.
Pemeriksaan ELISA hanya menunjukkan suatu infeksi HIV dimasa lampau.
Beberapa kendala pada tes ELISA yang harus diperhatikan adalah: (Lubis,
1992)
a. Pemeriksaan ELISA hanya mendeteksi antibody bukan antigen.
b. Pemeriksaan ELISA hanya terdapat antigen jenis IgG.
c. Pada umumnya pemeriksaan ELISA ditujukan untuk HIV-1.
d. Masalah false positif pada tes ELISA, hasil ini sering ditemukan pada
keadaan positif lemah, jarang ditemukan pada positif kuat. Hal ini

94
disebabkan karena morfologi HIV hasil biakkan jaringan yang digunakan
dalam tes kemurniannya berbeda dengan HIV di alam.
Sampel dengan antibody di bawah gray zone (nilai cut off 15%) dianggap
negatif tidak dapat ditentukan hasilnya dan harus dites ulang duplo menggunakan
sampel yang sama. Apabila tes ulangan positif, sampel dites konfirmasi dengan
metode pelengkap, misalnya: western blot, tes immunofluoresensi dan lain-lain,
terutama untuk menentukan tipe infeksi. (Hardjoeno, 2003)
Beberapa hal tentang kebaikan tes ELISA adalah nilai sensitivitas yang
tinggi : 98-100%. Walaupun begitu, predictive value hasil tes positif tergantung
dari prevalensi HIV di masyarakat. Pada kelompok penderita AIDS, predictive
antara 5-100%. Predictive value dari hasil negative ELISA pada masyarakat
sekitar 59,99%- 76,9% pada kelompok resiko tinggi.
Hasil pemeriksaan ELISA harus diinterpretasi dengan hati-hati dari fase
penyakit. Pada umumnya hasil akan positif pada fase timbul gejala pertama AIDS
(AIDS Phase) dan sebagian kecil akan negative pada fase dini AIDS.
(www.cerminduniakedokteran.com)

95
BAB V
PENUTUP

V.1 KESIMPULAN
Dari hasil Praktikum Pemeriksaan Anti-HIV yang telah diperoleh, dapat
dibuat kesimpulan:
a. Sampel 1
Nama : Anita Mandasari
Umur : 19 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Hasil pemeriksaan : Non-reaktif (-) pada ketiga merk pemeriksaan
b. Sampel 2
Nama : Cahyani Rahayu
Umur : 20 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Hasil pemeriksaan : Non-reaktif (-) pada ketiga merk pemeriksaan
bahwa dari kedua hasil di atas tidak terdapat antibody terhadap HIV di dalam
sampel serum yang diperiksa.

V.2 SARAN
a. Sebaiknya pada saat melakukan pemeriksaan Anti-HIV mengunakan
sarung tangan.
b. Untuk mendiagnosa pasien HIV/ AIDS harus mengunakan strategi III
dengan tingkat spesifik dan sensitifitas yang baik.
c. Pemeriksaan antibodi terhadap HIV, hendaknya dilakukan dengan
menggunakan 3 merk yang berbeda. Tujuannya adalah agar mendapatkan

96
hasil yang menyakinkan dan dapat di pertanggung jawabkan
kebenarannya.
d. Pemeriksaan HIV dianjurkan kepada setiap orang yang merasa dirinya
memiliki resiko terinfeksi HIV/ AIDS.

97
DAFTAR PUSTAKA

Afifah, Efi. 2005. Tanaman Obat untuk Mengatasi Hepatitis. Jakarta: Agro Media
Pustaka.
Anonim. 1991. Hepatitis. Cermin Dunia Kedokteran
Anonim. 1997. AIDS dan Penanganannya. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia PUSDIKNAKES kerja sama dengan The Ford Foundation dan
Studio Driya Media
Anonim. 2003. WHO: Indonesia Masuk Tiga besar Rawan AIDS. Paris. diakses
dari http://www.kompas.com pada tanggal 03 Desember 2007
Bateson, Malcolm. 1991. Batu Empedu dan Penyakit Hati. Jakarta: Arcan.
Brooks, Geo F., Janet S. Butel dan Stephen A. Morse. 2007. Jawetz, Melnick, &
Adelberg: Mikrobiologi Kedokteran, Edisi 23. Jakarta: EGC
Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC
Entjang, Indah. 2003. Mikrobiologi dan Patofisiologi untuk Akademik Perawat.
Bandung: Citra Aditya Bakti.
Gips, dkk. 1989. Diagnosis dan Terapi Penyakit Hati dan Empedu. Jakarta : EGC
Hadi, Sujono. 2000. Epidemiologi Hepatitis Virus Indonesia, Hepatologi.
Bandung. Mandar Maju
Handojo, Indro. 1982. Serologi Klinik. Surabaya: Fakultas Kedokteran.
Harahap, Marwali. 1990. Penyakit Menular Seksual. Jakarta: Gramedia.
Jawetz, Melnick, dkk. 1996. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Jawetz, Melnick. 2005. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta : EGC
Kanabus dan Sarah Allen. 1999. Asal-usul HIV/ AIDS. Diakses dari
http://www.avert.org pada tanggal 04 Desember 2007
Kresno, Siti Boedina. 2001. Diagnosis dan Prosedur Labaratorium. Jakarta :
FKUI.
Mansjoer, Arief. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta: EGC.
Muma, Richard. D. 1997. Hiv Manual untuk Kesehatan. Jakarta: EGC.

98
Price, A. Sylvia, dkk. 2003. Patofisiologi. Jakarta : EGC
Sacher, Ronald. A., dkk. 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium.
Jakarta: EGC.
Widmann, Frances .K. 1995. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium.
Jakarta: EGC.
Widmann, Francess K. 1989. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Edisi 9. Jakarta: EGC.

http://dinkes.dki.go.id
http://www.banjarmasinpost.co.id
http://www.banjarmasinpost.co.id
http://www.cyberman.cbn.net.id
http://www.cybermann.cbn.net.id
http://www.explaju.com
http://www.explaju.com
http://www.mediastore.com
http://www.nurularifin.com
http://www.nurularifin.com
http://www.wikipedia.org

99

You might also like