You are on page 1of 16

Mohammed Arkoun:

Kejayaan Islam Melalui


Pluralisme Pemikiran
Indeks Islam | Indeks Artikel
ISNET Homepage | MEDIA Homepage | Program
Kerja | Koleksi | Anggota

Selasa, 11 April 2000


Jakarta, Kompas

Mohammed Arkoun
Arkoun menyatakan,
Islam akan meraih
kejayaannya jika
umat Islam membuka
diri terhadap
pluralisme pemikiran,
seperti pada masa awal
Islam hingga abad
pertengahan.
Pluralisme bisa dicapai
bila pemahaman
agama dilandasi
paham kemanusiaan,
sehingga umat Islam
bisa bergaul dengan
siapa pun.

"Kolonialisme secara
fisik memang telah
berakhir. Namun,
paling tidak, pemikiran
kita masih terjajah,
tidak ikut modern yang
ditandai oleh
kebebasan berpikir. Ini
yang harus dilepaskan
oleh umat Islam," ujar
guru besar Universitas
Sorbonne, Paris, itu
dalam pembukaan
seminar "Konsep
Islam dan Modern
tentang Pemerintahan
dan Demokrasi" di
Jakarta, Senin (10/4),
yang disesaki
pengunjung yang
sebagian besar
kalangan muda.

Seminar ini
diselenggarakan oleh
Yayasan 2020 bekerja
sama dengan Goethe
Institute, Friedrich
Naumann Stiftung,
British Council, dan
Departemen Agama.

Arkoun
mengungkapkan,
humanisme di Arab
muncul pada abad ke-
10 di Irak dan Iran,
pada saat munculnya
gerakan yang kuat
untuk membuka diri
terhadap seluruh
kebudayaan di
Timur Tengah yang
didasarkan pada
pendekatan humanis
terhadap manusia. Para
ahli teologi, hukum,
ilmuwan, dan ahli-ahli
filsafat berkumpul
dalam Majelis Malam.
Ketika berbicara dan
bertukar pikiran,
mereka saling
berhadapan muka,
yang dikenal dengan
istilah munadharah.

Namun, memasuki
abad ke-13, umat
Islam mulai
melupakan filsafat
maupun debat teologi.
Selama ini, umat Islam
diajar bahwa Islam
tidak memisahkan
agama dan politik,
bahwa Islam adalah
daulah (kerajaan).
"Sebagai seorang ahli
sejarah pemikiran
Islam, bukan sebagai
seorang politisi, saya
katakan bahwa itu
keliru," kata Arkoun.

Dalam Islam klasik,


kata Arkoun, ketika
debat didasarkan pada
pendekatan keragaman
budaya, keragaman
pemikiran, dan
keragaman teologi,
terjadi perdebatan
yang seru bagaimana
menginterpretasikan
Alquran dan
mengelaborasi dengan
hukum yang
didasarkan pada teks
suci.

Dengan tetap
mempertahankan
pluralisme, seseorang
akan tetap menjadi
kritis, baik dalam
filsafat maupun
teologi. Pluralisme
inilah yang hilang
dalam Islam, kata
Arkoun. Islam dalam
teologi harus
mempertahankan
kebebasan bagi setiap
muslim untuk
berpartisipasi dalam
ijtihad. Pemahaman
ini penting untuk
membangun
demokrasi di negara-
negara Islam dan
untuk memulihkan
kembali kebebasan
berpikir dalam Islam.

Menurut Arkoun, umat


Islam bisa
membandingkan
dengan agama Kristen
secara teologis dan
agama Katolik secara
politik. Sampai
revolusi Perancis,
tidak ada legitimasi
politik yang tidak
dikontrol oleh Gereja
Katolik. Teologi
Protestan merupakan
teologi modern, karena
setiap orang
mempunyai hak untuk
mempelajari kitab
suci.

Sebenarnya, umat
Islam menemukan
periode yang bisa
memberikan harapan
besar akan munculnya
kembali keragaman
dalam berpikir pada
saat munculnya
negara-negara baru
pascakolonial.
Namun, sayang,
kesempatan itu hilang.
Islam kemudian
dipergunakan lebih
sebagai alat politik,
bukan untuk berpikir
dengan pendekatan
humanis dan dalam
keragaman.

Arkoun berpendapat,
pemulihan
pengajaran sejarah
akan memungkinkan
Eropa dan Islam
membangun dan
bekerja sama atas
dasar filsafat dan nilai-
nilai yang sama, di
mana membangun
demokrasi tidak hanya
berlandaskan pada
negara-bangsa, tetapi
pada manusia.
Menurut dia,
munculnya Uni Eropa
merupakan sebuah
lompatan sejarah. Ada
sebuah ruang baru
kewarganegaraan
dengan membuka
kesempatan manusia
dari seluruh belahan
bumi untuk
mendapatkan
kewarganegaraan. Ada
sebuah gaya baru
pemerintahan yang
berdiri di atas bangsa.

"Ini revolusi dalam


level politik," kata
Arkoun seraya
menambahkan bahwa
model ini bisa
diadopsi oleh negara-
negara muslim dan
bertemu dengan
pengalaman Eropa
dalam perspektif
humanisme.

Arkoun juga
menekankan
pentingnya pendidikan
yang didasarkan pada
humanisme. Dalam
kaitan itu, di sekolah-
sekolah menengah
perlu diajarkan
multibahasa asing,
sejarah ,dan
antropologi, serta
perbandingan sejarah
dan antropologi
agama-agama.
"Marilah kita terbuka
pada semua
kebudayaan dan
terbuka pada semua
pemikiran," ujarnya.

Menjawab pertanyaan
tentang keinginan
Presiden Abdurrahman
Wahid menghapuskan
Ketetapan (Tap) No
25/MPRS/ 1966
tentang pembubaran
PKI dan larangan
menyebarkan ajaran
marxisme/komunisme,
Arkoun mengatakan,
komunis merupakan
model politik yang
digunakan Uni Soviet
untuk mengalahkan
demokrasi modern
yang berkembang di
Eropa. "Jika Anda
membaca filsafat Karl
Marx dan Hegel, Anda
akan berhenti
mengutuk filsafat yang
dijadikan dasar paham
komunis. Ini yang
mungkin
diperkenalkan
Presiden Indonesia
sebagai langkah awal
menuju demokrasi
yang modern,"
ujarnya.

Arkoun mencontohkan
keinginan pemerintah
Maroko meningkatkan
status perempuan.
Partai Islam menolak
rencana pemerintah,
tetapi sebagian yang
lain menerimanya.
"Hukum modern
didasarkan pada
kedaulatan individu.
Apakah kita mau
meninggalkan Sariat
Islam dengan
menghargai kedaulatan
individu itu?" ujarnya.

Dalam Islam, tegas


Arkoun, ada yang
disebut munadharah
(tukar pikiran).
"Munadharah adalah
jantung demokrasi.
Tidak ada demokrasi
tanpa munadharah,
karena dalam
munadharah setiap
orang bebas
mengeluarkan
pendapatnya,"
tegasnya. (wis/mba)
Diarsipkan di bawah: Esai | Tag: Edward Said, fazlur rahman, filsafat islam, filsfat,Islam, Islamic
studies, mohamed arkoun, Muhammad, Muslim, orientalism, Prophet Muhammad, Religion and
Spirituality, Western world
Komentar (2)
The relation between Islam and the west has passed away a long historical plot. The most popular issue
has been discussed is the Crusade which effects remain felt up till now. The both sides of the war were
keeping the psychological biases in viewing each other. On one side, they tended to forget the big
tragedy to get a better relationship between one to another, but on the other side, a certain suspicions
obsessed them.

One of the psychological impacts appeared at the Islamic studies that were performed by the west-
Christians to the east-Islam. On the time, Islam was viewed as a heretical form of Christianity. This
point of view was perpetually constructed and inherited from generation to generation that the gap
between Islam and Christians gets wider and, in the aftermath, appears so many biased writings about
Islam. At this phase, the image of Islam pictured upon religious biases.
Furthermore, some westerners began to study Islam, although the image of Islam didn’t yet take a
favorable turn. At this phase, Islam was understood as a part of its adherers, that is, a still primitive
and uncivilized community. So, this image of Islam was contaminated by ethnical and cultural biases.
This phase was marked by the spreading colonialization and imperialism performed by the European to
its colonies (Muslih, 2003). Baca selebihnya »
HERMENEUTIKA MUHAMED ARKOUN
Telah Dituliskan Februari 20, 2009
Diarsipkan di bawah: Esai, Tokoh | Tag: hermeneutika, mohamed arkoun, teori
Komentar (2)

(Sekedar Pengantar)

Hermeneutika adalah ilmu penafsiran yang berasal


dari warisan mitologi Yunani. Secara lafdziah, hermeneutika berasal dari bahasa
Yunani,Hermeneutikos, yang berarti penafsiran. Ia kemudian diadopsi oleh orang-orang Kristen untuk
mengatasi persoalan yang dihadapi teks Bible. Dalam tradisi intelektual Barat ilmu ini berkembang
menjadi aliran filsafat. Sebagai sebuah ilmu ia berkembang menurut latar belakang budaya, pandangan
hidup, politik, ekonomi dan lain-lain. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa hermeneutika adalah ilmu
yang lahir dengan latar belakang pandangan hidup Yunani, Kristen dan Barat.
Pada saat yang sama, kaum Muslim sejak awal kelahirannya sudah sibuk dan memperhatikan bagaimana
penafsiran dan aturan-aturan, metodologi dan hal-hal yang berhubungan dengan penafsiran diterapkan
terhadap kitab suci. Hal ini bisa dilihat dalam berbagai literature yang masih ada hingga sekarang. Di
samping berbagai disiplin keilmuan yang berkembang dalam sejarah Islam dan kaum Muslim, disiplin
Studi Al-Qur’an (Ulûm al-Qur’ân) merupakan salah satu disiplin yang marak dipelajari.
Penting dibedakan antara hermeneutika dengan tidakan penafsiran (exegese). Tindakan penafsiran
berkaitan dengan komentar-komentar aktual atas teks, sedangkan heremeneutika berkaitan dengan
metodologi yang dipakai dalam tindakan penafsiran.[1] Dalam terminologi pesantren, tindakan
penafsiran adalah sebagaimana bisa ditemukan dalam kitab-kitab tafsir (yang paling umum ditemui
adalah kitab Tafsîr al-Jalâlain), sedangkan hermeneutika adalah Ulûm al-tafsîrnya.

Dalam pengertian yang demikian, Farid Esack menyatakan bahwa hermeneutika sebenarnya sudah
diterapkan dalam tradisi studi Al-Qur’an (Ulûm al-Qur’ân)klasik dalam Islam. Hal ini terbukti dengan
adanya beberapa metodologi penafsiran yang melibatkan konteks pewahyuan Al-Qur’an seperti Nasikh-
Mansukh dan Asbab al-Nuzul. Di samping itu, sudah ada kesadaran kategorisasi penafsiran-penafsiran
sesuai dengan latar ideologis, bidang pengetahuan dan spesifikasi.[2] Terlihat misalnya Tafsir Kalâmî
(Mu’tazilah, Syî’ah, Asy’ariyah, dll.), Tafsir Fiqhî (Syafî’iyah, Hambaliyah, Hanâfiyah, dll.), Tafsir Ilmî
(Biologi, Fisika, Kimia, Astronomi, Embriologi, dll.), Tafsir Falsafî, Tafsir Adabî-Ijtima’î dan lain
sebagainya. Sehingga, tindakan menolak hermeneutika pada dasarnya adalah tindakan yang ahistoris.
Tindakan penafsiran Al-Qur’an yang bersifat hermeneutis sudah dilakukan oleh beberapa reformis
Muslim. Nama-nama seperti Muhammad Abduh, Sayyid Ahmad Khan dan kawan-kawan pada hakekatnya
sudah melakukan kerja-kerja hermeneutis, walaupun secara terminologis mereka sendiri tidak
menyebutnya demikian dan persentuhan ilmiah dengan Barat masih belum segencar sekarang. Namun
bisa dikatakan bahwa mereka adalah tokoh-tokoh hermeneutika Al-Qur’an Modern fase awal.[3]
Setelah memasuki perkembangan terkini, Studi Al-Qur’an mengalami persentuhan dengan beberapa
pemikiran yang berkembang di Barat. Beberapa pemikir yangconcern terhadap studi Al-Qur’an mulai
memasukkan beberapa metodologi Barat, termasuk heremeneutika dalam pemaknaannya yang spesifik.
Upaya ini dilakukan dengan tujuan agar Al-Qur’an mampu dan bisa menjawab isu-isu kontemporer yang
sedang dihadapi oleh umat Islam. Beberapa nama bisa disebutkan di sini, seperti Fazlurrahman,
Muhamed Arkoun, Farid Esack, Nasr Hamid Abu Zayd, Muhammad Syahrur, dan lain-lain.
Tulisan ini sengaja hanya fokus pada satu orang tokoh saja karena banyaknya pemikir dan tokoh muslim
yang memberikan tawaran dalam metodologi penafsiran Al-Qur’an. Teori-teori yang muncul dalam hal
penafsiran Al-Qur’an pun juga sangat kaya. Sehingga, bukan tempatnya untuk memaparkan dan
menyajikan semua pemikiran tokoh-tokoh itu.

Nama Muhammed Arkoun yang terpilih dalam tulisan ini disebabkan karena pemikiran Arkoun
menawarkan suatu kecenderungan baru dalam pemikiran Islam. Menempatkan pemikirannya, khususnya
dalam bidang membaca Al-Qur’an, dalam jajaran pemikiran kontemporer menjadi tepat karena
persinggungannya dengan pemikiran-pemikiran kontemporer sangat kentara sekali.
1. Latar Belakang sosial dan Intelektual Muhammed Arkoun
Mohammded Arkoun lahir pada 1 Februari 1928 di Tourirt-Mimoun, kabilia, Aljazair. Kabilia merupakan
daerah pegunungan berpenduduk Berber, terletak di sebelah timur Aljir. Berber adalah penduduk yang
tersebar di Afrika bagian utara. Bahasa yang dipakai adalah bahasa non-Arab (‘ajamiyah).
Setelah Aljazair ditaklukan bangsa Arab pada tahun 682, pada masa kekhalifahan Yazid bin Muawiyah,
dinasti Umayah, banyak penduduknya yang memeluk Islam. Bahkan di antara mereka banyak yang ikut
dalam berbagai pembebasan Islam, seperti pembebasan Spanyol bersama Toriq Bin Ziyad.

Gerakan islamisasi di daerah bekas jajahan Perancis ini juga diwarnai oleh nuansa sufisme. Mahdi Bin
Tumart dari dinasti Almohad pada abad 12 menggabungkan ortodoksi Asy’arisme dengan sufisme. Ibn
Arabi, tokoh sufisme yang terkenal itu, sempat berguru kepada seorang sufi terkemuka di daerah ini,
Abu Madyan. Di antara aliran tarekat yang berkembang adalah Syaziliyah, Aljazuliyah, Darqowiyah,
Tijaniyyah dan lain-lain.
Melalui berbagai kegiatan dan ritualisme sufisme populer, berbagai unsur kepercayaan animistik Afrika
Utara merasuk ke dalam Islam di Afrika. Misalnya, konsep “manusia-suci atau pemimpin keagamaan
(alfa) merupakan serapan budaya pemujaan orang-suci sebelum Islam datang. Menurut Suadi Putro,
dalam lingkungan hidup yang sarat dengan sufisme dan nuansa spiritual inilah Arkoun dibesarkan.[4]
Kehidupan Arkoun yang mengenal berbagai tradisi dan kebudayaan merupakan faktor penting bagi
perkembangan pemikirannya. Sejak mudanya Arkoun secara intens akrab dengan tiga bahasa: Kabilia,
Perancis dan Arab. Bahasa kabilia biasa dipakai dalam bahasa keseharian, bahasa Perancis digunakan
dalam bahasa sekolah dan urusan administratif, sementara bahasa Arab digunakan dalam kegiatan-
kegiatan komunikasi di mesjid. Sampai tingkat tertentu, ketiga bahasa tersebut mewakili tiga tradisi
dan orientasi budaya yang berbeda. Bahkan ketiga bahasa tersebut juga mewakili cara berpikir dan
memahami. Bahasa Kabilia, yang tidak mengenal bahasa tulisan, merupakan wadah penyampaian
sehimpunan tradisi dan nilai pengarah mengenai kehidupan sosial dan ekonomi yang sudah berusia
beribu-ribu tahun. Bahasa Arab merupakan alat pengungkapan tertulis mengenai ajaran keagamaan
yang mengaitkan negeri Aljazair ini dengan Timur Tengah. Bahasa Perancis merupakan bahasa
pemerintahan dan menjadi sarana akses terhadap nilai dan tradisi ilmiah barat. Karena itu, tidak
mengherankan kemudian kalau masalah bahasa mendapatkan perhatian besar dalam bangunan
pemikiran Arkoun.[5]
2. Pendidikan dan Pengalaman Muhammed Arkoun
Setelah tamat sekolah dasar, Arkoun melanjutkan ke sekolah menengah di kota pelabuhan Oran, kota
utama Aljazair bagian barat. Sejak 1950 sampai 1954 ia belajar bahasa dan sastra Arab di universitas
Aljir, sambil mengajar di sebuah sekolah menengah atas di al-Harrach, di daerah pinggiran ibu kota
Aljazair. Tahun 1954 sampai 1962 ia menjadi mahasiswa di Paris. Tahun 1961 Arkoun diangkat menjadi
dosen di Universitas Sorbonne Paris.Ia menggondol gelar doktor Sastra pada 1969. Sejak 1970 sampai
1972 Arkoun mengajar di Universitas Lyon. Kemudian ia kembali sebagai guru besar dalam bidang
sejarah pemikiran Islam.[6]
Ia menjabat direktur ilmiah jurnal studi Islam terkenal, Arabica. Ia juga memangku jabatan resmi
sebagai anggota panitia nasional (Perancis) untuk Etika dan Ilmu Pengetahuan Kehidupan dan
Kedokteran. Ia juga anggota majelis nasional untuk AIDS, dan anggota Legium Kehormatan Perancis.
Belakangan, ia menjabat sebagai direktur Lembaga Kajian Islam dan Timur Tengah pada Universitas
Sorbonne Nouvelle (Paris III).[7]
Arkoun sering diundang dan menjadi dosen tamu di sejumlah universitas di luar Perancis, seperti
Iniversity of California di Los Angeles, Princeton University, Temple University di Philadelphia,
Lembagai Kepausan untuk studi Arab dan Islam di Roma, dan Universitas Katolik Louvain-La-Neuve di
Belgia. Ia juga sempat menjadi Guru Besar tamu di Universitas Amsterdam.[8]
Pemikiran Arkoun sangat kentara dipengaruhi oleh gerakan (post) strukturalis Perancis. Metode
historisisme yang dipakai Arkoun adalah formulasi ilmu-ilmu sosial Barat modern hasil ciptaan para
pemikir (post) strukturalis Perancis.[9]Referensi utamanya adalah De Sausure (linguistic), Levi straus
(antropologi), Lacan (psikologi), Barthes (semiologi), Foucault (epistemologi), Derrida (grammatologi),
filosof Perancis Paul Ricour, antropolog seperti Jack Goody dan sosiolog seperti Pierre Bourdieu.
[10] Arkoun banyak meminjam konsep-konsep kaum (post) strukturalisme itu untuk kemudian
diterapkannya ke dalam wilayah kajian Islam. Konsep-konsep seperti korpus, epistema, wacana,
dekontruksi, mitos, logosentrisme, yang ter-, tak- dan di-pikirkan, parole, aktant dan lain-lain, adalah
bukti bahwa Arkoun memang dimatangkan dalam kancah pergulatannya dengan (post) strukturalisme.
Arkoun memperlihatkan kepiawaiannya ketika secara eklektik bisa “menari-nari” di atas panggung post
strukturalisme itu, dan bila perlu sekali-kali bisa mengenyahkan panggungnya. Ia, misalnya, bisa
menerapkan analisis semiotika ke dalam teks-teks suci dengan cara melampaui batas kemampuan
semiotika itu sendiri. Menurutnya, ini dilakukan karena selama ini semiotika belum mengembangkan
peralatan analitis khusus untuk teks-teks suci. Padahal, teks-teks keagamaan berbeda dengan teks
lainnya karena berpretensi mengacu pada petanda terakhir, petanda transendental (signifie dernier).
Arkoun juga bisa mencomot konsep-konsep dari Derrida tanpa harus terjebak pada titik paling ekstrim
dari implikasi pemikiran Derrida: tidak ada petanda terakhir. Bahkan dalam bangunan pemikirannya,
Derrida yang berpendapat bahwa bahasa tulisan lebih awal ketimbang lisan (dalam bidang filsafat
bahasa) bisa disajikan, tanpa berbenturan dengan Frye yang memandang bahwa bahasa lisan tentunya
lebih awal ketimbang bahasa tulisan (dalam bidang antropologi, perkembangan kebudayaan atau
peradaban).
Secara cemerlang, Arkoun mengaku dirinya sebagai sejarawan-pemikir dan bukan sebagai sejarawan-
pemikiran. Sejarawan pemikiran bertugas hanya untuk menggali asal-usul dan perkembangan pemikiran
(sejarawan murni), sementara sejarawan-pemikir dimaksudkan sebagai sejarawan yang setelah
mendapatkan data-data obyektif, ia bisa juga mengolah data tersebut dengan memakai analisis
filosofis. Dengan kata lain, seorang sejarawan-pemikir bukan hanya bertuturtentang sejarah pemikiran
belaka secara pasif, melainkan juga secara aktif bisa bertutur dalam sejarah.[11]
D. Cara Membaca Al-Qur’an Mohammed Arkoun
Aturan-aturan metode Arkoun yang hendak diterapkannya kepada Al-Quran (termasuk kitab suci yang
lainnya) terdiri dari dua kerangka raksasa:

1) mengangkat makna dari apa yang dapat disebut dengan sacra doctrinadalam Islam dengan
menundukkan teks al-Qur’an dan semua teks yang sepanjang sejarah pemikiran Islam telah berusaha
menjelaskannya (tafsir dan semua literatur yang ada kaitannya dengan Al-Qur’an baik langsung maupun
tidak), kepada suatu ujian kritis yang tepat untuk menghilangkan kerancuan-kerancuan, untuk
memperlihatkan dengan jelas kesalahan-kesalahan, penyimpangan-penyimpangan dan ketakcukupan-
ketakcukupan, dan untuk mengarah kepada pelajaran-pelajaran yang selalu berlaku;
2) Menetapkan suatu kriteriologi[12] yang didalamnya akan dianalisis motif-motif yang dapat
dikemukakan oleh kecerdasan masa kini, baik untuk menolak maupun untuk mempertahankan konsepsi-
konsepsi yang dipelajari.[13]
Dalam mengangkat makna dari Al-Qur’an, hal yang paling pertama dijauhi oleh Arkoun adalah pretensi
untuk menetapkan “makna sebenarnya dari Al-Qur’an. Sebab, Arkoun tidak ingin membakukan makna
Al-Qur’an dengan cara tertentu, kecuali menghadirkan-sebisa mungkin-aneka ragam maknanya. Untuk
itu, pembacaan mencakup tiga saat (moment):
1. suatu saat linguistis yang memungkinkan kita untuk menemukan keteraturan dasar di bawah
keteraturan yang tampak.
2. Suatu saat antropologi, mengenali dalam Al-Qur’an bahasanya yang bersusunan mitis.
3. Suatu saat historis yang di dalamnya akan ditetapkan jangkauan dan batas-batas tafsir logiko-
leksikografis dan tafsir-tafsir imajinatif yang sampai hari ini dicoba oleh kaum muslim.[14]
1. Moment Linguistis Kritis
Pembacaan linguistik dimulai dengan pengumpulan data-data linguistis dari Al-Qur’an sebagaimana
tertulis. Dalam tahap ini, misalnya, Arkoun memeriksa tanda-tanda bahasa (modalisateur du dicours).
Karena “kanon resmi tertutup” ditulis dalam bahasa arab, maka tanda-tanda bahasa yang harus
diperhatikan adalah tanda-tanda (bahasa) bahasa arab. Menurut Arkoun, semakin kita
menegaskan modalisateur du discours, kita semakin memahami maksud (intention)
dari locuteur (qo’il atau penutur).
Untuk memasuki proses pengujaran, di antara unsur-unsur linguistik yang diperiksa biasanya adalah
determinan (ism ma’rifah), kata ganti orang (pronomina, dlomir), kata kerja (fi’il), sistem kata benda
(ism dan musamma), struktur sintaksis dan lain-lain. Pemeriksaan terhadap unsur-unsur linguistis ini
dimaksudkan untuk menganalisis aktan-aktan (actants),[15] yaitu pelaku yang melakukan tindakan yang
berada dalam teks atau narasi. Dengan kategori aktan, ujaran (Perancis enonce/Inggris utterance)
dipandang sebagai suatu hubungan antara berbagai aktan yang membentuknya. Atau,dalam kaca mata
linguistik, ujaran mau tidak mau harus dilihat dari kategori hubungan antar aktan. Dilihat dari kategori
ini, ada tiga poros hubungan antar-aktan. Poros Pertama dan yang terpenting adalah poros subyek-
obyek di mana orang dapat memeriksa “siapa” melakukan “apa”. Poros kedua adalah poros pengirim-
penerima yang menjawab persoalan siapa melakukan dan untuk siapa dilakukan. Sedengkan poros
ketiga dimaksudkan untuk mecari aktan yang mendukung dan menentang subyek, yang berada dalam
poros “pendukung-penerima”. Ketiga pasangan aktan ini dapat membantu pembaca untuk
mengidentifikasi aktan dan kedudukannya. Aktan tidak selalu harus berupa orang atau pribadi, tapi
juga bisa berupa nilai.[16]
Dengan kategori poros aktan pengirim-penerima, misalnya, Arkoun mengatakan bahwa Allah adalah
aktan pengirim-penerima; manusia sebagai pengujar adalah aktan penerima-pengirim. Dalam
kebanyakan surat Al-Qur’an, Allah adalah aktan pengirim (destinateur) pesan, sementara manusia
adalah aktan penerima (destinaire) pesan. Akan tetapi hal sebaliknya juga bisa berlaku: manusia juga
menjadi “pengirim” dan Allah menjadi “penerima”. Analisis aktansial ini tidak saja diterapkan pada
tingkat sintaksis tapi juga terhadap seluruh teks sebagai suatu kesatuan atau seluruh narasi.

Hasil dari kritik linguistik di atas sebenarnya sudah banyak dipikirkan oleh para mufassir klasik. Mereka
mementingkan-dan sudah terbiasa dengan analisis sintaksis. Tetapi bagi Arkoun lebih dari itu:
pentingnya analisis linguistis kritis ini terletak pada kemungkinan “mengungkapkan tatanan yang
mendalam” yang berada di balik penampakan teks yang seolah-olah tidak teratur.

2. Moment Antropologis: Analisis Mitis


Professor linguistik dari Swis, J. Starobinski, mengartikan hubungan kritis sebagai “a transcoding, a
free transcription of various data presented in the ‘interior’ of the ‘text’”. Keberhasilan suatu kritik
teks bukan terletak pada kemampuannya untuk mengupas. Keberhasilannya harus diarahkan kepada
hubungan-hubungan yang ada pada teks yang tidak lain adalah “the driving force behind the text”
Asumsi Starobinski ini terutama berlaku bagi penafsiran teks-teks keagamaan. Karena analisis linguistis
memberikan kesan yang determisnistis dan tidak mempunyai piranti khusus bagi teks keagamaan.
Arkoun telah berusaha melampaui keterbatasan linguistik tersebut. Dalam hal ini, Starobinski telah
memberikan andil besar dalam usaha Arkoun untuk memberikan pertanggungjawaban metodologis.
Arkoun meninggalkan aras kritis dan analitis menuju aras relasional. Pada aras
ini, qira’at diarahbidikkan kepada signifie dernier, petanda terakhir. Dalam rangka mencari petanda
terakhir inilah Arkoun beranjak pada tahap (moment) antropologis di mana ia memakai analisis mitis.
Bila pada tahap linguistis-kritis data linguistis pertama-tama dianggap sebagai “kata sebagai tanda”
(mot-signe), maka pada tahap antropologis data linguistik kemudian dianggap sebagai “kata sebagai
simbol” (mot-symbole).[17]
Menurut Arkoun, semua ciri yang telah dikenal sebagai gaya bahasa mitis dalam Alkitab dan Perjanjian
Baru terdapat juga dalam Al-Qur’an. Gaya bahasa Al-Qur’an itu adalah:

1. benar, karena gaya bahasa itu efektif mengenai kesadaran manusia yang belum digalakkan oleh gaya
bahasa mitis lain yang membuka berbagai perspektif yang sebanding;
2. efektif, karena gaya bahasa itu menghubungkan dengan waktu purba penciptaan dan karena gaya itu
sendiri memulai suatu waktu yang istimewa: waktu pewahyuan, kenabian Muhammad dan para sahabat
yang solih (as-salaf as-solih);
3. sepontan, karena gaya bahasa itu merupakan pancaran terus menerus dari kepastian-kepastian yang
tidak bersandarkan pada pembuktian, melainkan pada kesesuaian yang mendasar dengan semangat-
semangat yang permanen dalam kepekaan manusia;
4. simbolis, bisa dilihat dari simbol surga sebagai “surga tuhan yang penuh dengan bidadari-bidadari
yang merangsang birahi dan di situ mengalir sungai-sungai anggur dan madu.
Dengan suatu bangunan simbolis luas di atas, Al-Qur’an membanjiri hati nurani manusia. Hingga hari ini
bangunan simbolis luas itu tak henti-hentinya memberikan ilham kepada orang-orang beriman untuk
berpikir dan bertindak. Dalam Al-Qur’an unsur-unsur bangunan simbolis itu adalah:

a) “simbolisme kesadaran akan kesalahan” yang oleh refleksi teologi, yuridis dan moral akan
disederhanakan dalam peraturan formal dan kaku;
b) “simbolisme cakrawala eskatologis” yang menugasi sejarah dengan satu makna, yakni pengarahan
dan pemaknaan. Orang-orang masuk Islam, dengan demikian, mendapatkan dirinya termasuk
dalam Sejarah Sakral dari umat Tuhan; sebagai agen-agen ungkapan terakhir Kehendak Sakral-
Muhammad telah menutup dengan pasti rangkaian para Rasul-mereka menjadi umat terpilih yang mesti
menunjukkan cakrawala keselamatan kepada orang-orang lain;
c) “simbolisme umat” yang menerjemahkan apa yang telah lalu dan menerima proyeksi sejarah konkret
di Madinah pada tahun 1H/622 M.;
d) “simbolisme hidup dan mati“.
Simbolisme-simbolisme yang berbeda-beda di atas ini saling mengisi, saling memperkuat untuk
membangun suatu visi dari dunia yang benar, yakni suatu visi fungsional yang disesuaikan secara
sempurna dengan pencarian keselamatan kita. Untuk sekadar mengambil contoh, simbolisme
menyangkut kesadaran akan kejahatan tampak misalnya pada surat Al-Fatihah dalam ungkapan iyyaka
na’budu…, sirat mustaqim, magdlubi alaihim, dlaallin dan lain-lain. Maka, dalam Islam khususnya, visi
imajinatif transhistoris akan mengalahkan visi metafisis yang merasionalkan.[18]
Analisis simbolis ini memungkinkan bahasa keagamaan dapat menjadi bahasa performatif atau bahasa
yang mempunyai kekuatan kreatif (force effectuante). Ciri performatif ini, yang memang merupakan
ciri yang paling mencolok dalam bahasa keagamaan, juga berlaku pada Al-Qur’an. Baginya, “wacana
performatif” adalah “parole yang ‘mengatakan’ apa yang saya buat dan pada waktu yang bersamaan
merupakan parole yang membuat saya menyempurnakan atau menyelesaikan tindakan saya”. Dengan
demikian, wacana performatif bukanlah wacana tentang “tindakan”, melainkan wacana yang diucapkan
bersamaan dengan dilakukannya “tindakan”. Segi performatif inilah yang memungkin Al-
Qur’an menjadi parole bagi siapa saja yang mengujarkannya sebagaimana ia dulu menjadi parole nabi
Muhammad SAW. Ketika kita membaca “ar rahman ar rahim, misalnya, kita tidak hanya mengatakan–
atau membuat konstatasi tentang–suatu tindakan, melainkan juga sedang menciptakan tindakan, entah
itu pengharapan (mohon pengampunan dari ar rahman ar rahim), pengakuan, penyerahan diri,
permintaan kepada-Nya dan seterusnya.[19]
Daftar Pustaka

Arkoun, Mohammed. Metode Kritik Akal Islam. dalam Jurnal Ulumul Qur’an.nomor 6 vol. V. 1994.
______________. Berbagai Pembacaan Qur’an. Jakarta: INIS. 1997.
Asysyaukani, Luthfi. Tipologi Pemikiran dan Wacana Arab Kontemporer. dalam jurnal Pemikiran Islam
vol. I nomor 1. Juli-Desember 1998.
Atho’, Nafisul dan Arif Fahrudin (ed.). Hermeneutika Transendental; dari Konfigurasi Filosofis menuju
Praksis Islamic Studies. Yogyakarta: IRCiSoD. 2003. hlm.
Esack, Farid. Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity
against Oppression. England: Oneworld Publication. 1997.
Fais, Fkharuddin. Hermeneutika Al-Qur’an;Tema-tema Kontroversial.Yogyakarta: eLSAQ Press. 2005.
Meuleman, Haji Johan H. Nalar Islami dan Nalar Modern: Memperkenalkan Pemikiran Mohammed
Arkoun. dalam jurnal Ulumul Qur’an. nomor 4 vol. 1v 1993.
Putro, Suadi. Mohammad Arkoun tentang Islam dan Modernitas. Jakarta: Paramadina. 1996.
Sunardi, St. Membaca Qur’an bersama Arkoun dalam Meuleman, Johan Hendrik.Tradisi, Kemodernan
dan Metamodernisme: Memperbincangkan Pemikiran Mohammed Arkoun. Yogyakarta: LkiS. 1996.
[1] Nafisul Atho’ dan Arif Fahrudin (ed.), Hermeneutika Transendental; dari Konfigurasi Filosofis
menuju Praksis Islamic Studies, Yogyakarta: IRCiSoD, 2003. hlm. 18
[2] Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity
against Oppression, England: Oneworld Publication, 1997, hlm. 18
[3] Fkharuddin Fais, Hermeneutika Al-Qur’an;Tema-tema Kontroversial, Yogyakarta: eLSAQ Press,
2005, hlm. 14
[4] Drs. Suadi Putro,MA, Mohammad Arkoun tentang Islam dan Modernitas,Jakarta: Paramadina, 1996,
hlm. 11-13
[5] Haji Johan H. Meuleman, Nalar Islami dan Nalar Modern: Memperkenalkan Pemikiran Mohammed
Arkoun, dalam jurnal Ulumul Qur’an, nomor 4 vol. 1v 1993, hlm.94.
[6] Ibid.
[7] DRS. Suadi Putro, MA, Op. Cit., hlm. 18.
[8] Ibid., hlm. 17.
[9] Luthfi Asysyaukani, Tipologi Pemikiran dan Wacana Arab Kontemporer, dalam jurnal Pemikiran
Islam vol. I nomor 1, Juli-Desember 1998., hlm. 62-63.
[10] Johan Hendrik Meuleman, op. cit. hlm. 12-13
[11] Mohammed Arkoun, “Metode Kritik Akal Islam“, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, nomor 6 vol. V
1994, hlm. 157.
[12] Kriteriologi (kriteriologi) adalah himpunan dari berbagai kriteria atau ukuran (critere); Arkoun
mengatakan misalnya, semua teks Arab dari abad pertengahan mematuhi kriteriologi yang ketat, yaitu
himpunan keyakinan yang membentuk berbagai praanggapan dari setiap tindak pemahaman pada
periode tersebut.
[13] Mohammed Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur’an, Jakarta: INIS, 1997, hlm. 48.
[14] Ibid., hlm. 51.
[15] Istilah Modalisatour, actant dan Poros dipijam Arkoun dari seorang Semiotikus kelahiran Lithuania,
Alidas Julien Greimas. Secara intelektual, Greimas banyak dipengaruhi oleh Ferdinand de Saussure,
sehingga, bisa ditebak, teorinya tentang semiotika juga bernuansa struktural (walaupun banyak
modifikasi di sana-sini).
[16] St. Sunardi, Membaca Qur’an bersama Arkoun, dalam Johan Hendrik Meuleman, Tradisi,
Kemodernan dan Metamodernisme: Memperbincangkan Pemikiran Mohammed Arkoun, Yogyakarta:
LkiS, 1996, hlm. 60
[17] Untuk menghindari terjadinya kebingungan dan kerancuan mengenai alur pemikiran Arkoun, di sini
perlu diuraikan secara singkat pengertian mengenai tanda (sign), simbol (symbol) dan mitos (myth).
Tanda adalah segala sesuatu yang menunjuk di luar dirinya. Lima huruf r,u, m, a, dan h adalah tanda
yang bisa menunjuk (designare) sesuatu di luar dirinya, yaitu rumah dalam realitasnya. Simbol juga
semacam tanda. Setiap simbol adalah tanda,tetapi tidak setiap tanda simbol. Sebab, simbol
mempunyai ciri khas: rujukan ganda. Merah misalnya, tidak saja berarti merah buat darah, tapi juga
untuk simbol keberanian. Maka. Merah menjadi simbol karena memiliki rujukan ganda. Mitos adalah
mirip simbol. Mitos adalah sejenis simbol yang diungkapkan dalam kisah atau cerita, yang terjadi dalam
waktu dan tempat. Mitos adalah wahana orang untuk bisa cerita tentang kehidupan eksistensial dirinya
sendiri, masyarakat, alam yang mendalam dan rumit. Karenanya, struktur cerita mitis sangat kental
dan sublim. Lihat St. sunardi, Op. Cit., hlm. 81-82.
[18] Mohammed Arkoun, Berbagai Pembacaan…, Op.Cit., hlm. 57-60.
[19] St. Sunardi, op.cit., hlm. 87-88.
Buangan:

Untuk memahami kritik Epistemologinya, tulisan ini berupaya menjawab tiga pertanyaan mendasar
tentang:

1. Apakah yang dimaksud Arkoun dengan metode kritik atas “Akal Islam” dan bagaimana cara
kerjanya?

2. Bagaimana kritik Strukturalis multidisipiler Arkoun terhadap Islam Ortodoks atau


Fundamentalis-Skriptual yang didominasi oleh Logosentrisme?

3. Mengapa perlu ada Dekonstruksi pewahyuan atau kritik atas tekstualitas Al-Qur’an ?

You might also like