You are on page 1of 27

BAB I

LAPORAN KASUS

I. Identifikasi
Nama : Ny. R
Umur : 41 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Desa III Perambatan Muara Enim
Pekerjaan : Petani
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
MRS : 05 Juni 2010, 20.53 WIB

II. Anamnesis (Tanggal 18 Juni 2010)


Keluhan Utama
Perut terasa membesar

Riwayat Perjalanan Penyakit


± 5 bulan sebelum masuk rumah sakit, penderita mengeluh terdapat benjolan sebesar
kepalan tangan pada bagian epigastrium. Benjolan terasa keras dan tidak sakit.
± 3 minggu yang lalu, penderita merasakan perut semakin membesar dan nyeri pada perut
bagian bawah. Penderita juga mengeluh sesak nafas setelah makan dan sulit berbalik
posisi saat tidur. Mual (+), muntah (+), demam (+), BAB biasa (+), BAK biasa(+).

Riwayat Penyakit dalam Keluarga


Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga disangkal.

Riwayat konsumsi obat-obatan


Riwayat konsumsi jamu disangkal
Riwayat penggunaan KB suntik (+) sejak 12 tahun yang lalu
III.Pemeriksaan Fisik
A. Status Generalis (FU 18 Juni 2010)

Keadaan umum : Sedang


Kesadaran : compos mentis
Tekanan Darah : 120/80 mmhg
Nadi : 90 x/menit
Pernapasan : 36 x/menit
Suhu : 38,3 0C
Kepala : Konjungtiva palpebra pucat -/-
Pupil : Isokor, refleks cahaya +/+
Leher : Tidak ada kelainan
Dada : Tidak ada kelainan
Abdomen : Lihat status lokalis
Genitalia : Tidak ada kelainan
Anal : Tidak ada kelainan
Ekstremitas atas : Tidak ada kelainan
Ekstremitas bawah : Tidak ada kelainan

B. Status Lokalis
Regio Abdomen
Inspeksi : Cembung
Palpasi : Tegang
Perkusi : Redup, batas hepar membesar
Auskultasi : Bising usus (+)

IV. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium (17 Juni 2010)

Hasil Nilai normal

Hemoglobin 11, 0 g/dl 12-14 g/dl


Hematokrit 32 vol% 37-49 vol%

Leukosit 16.400 /mm3 5000-


10000/mm3

Trombosit 307.000 /mm3 150.000-


400.000/ mm3

BSS 114

Na+ 134 mmol/l 135-155


mmol/l

K+ 3,3 mmol/l 3,6-5,5 mmol/l

Foto thorax

Kesan:
Radiologis tidak tampak kelainan thorax

USG Abdomen (22 Mei 2010)

Kesan:
Tumor kistik multilokuler abdomen atas, curiga berasal dari pankreas
DD/ berasal dari hepar kiri
Cholelitiasis ø 1,41 cm

CT-Scan abdomen

Kesan:
Tumor kistik meluas ke abdomen bawah, berasal dari hepar lobus kiri.

V. Diagnosis kerja
Tumor Hepar Susp. Jinak

VI. Penatalaksanaan
1) IVFD RL
2) NGT
3) Kateter Uretra
4) Antibiotik, Analgesik
5) Rontgen Thoraks
6) Konsultasi ahli Penyakit Dalam
7) Herniorraphy cito
IO : tampak usus yang masih viabel

VII. Prognosis
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad functionam : Bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Latar Belakang

Secara umum tumor hati dibagi menjadi 2, yaitu tumor hati primer dan tumor hati
sekunder. Tumor hati yang paling umum ditemukan (90%) adalah sekunder (metastasis)
tumor misalnya dari payudara, bronkus, atau saluran pencernaan. Sedangkan tumor hati
primer kurang umum ditemukan, tumor hati primer dibagi menjadi dua, jinak atau ganas
Kasus tumor hati sebagian besar ditemukan pada wanita, kasus ini sering terjadi pada
rentang umur 15-45 tahun, sampai sekarang belum ada penelitian yang paling sering
ditemukan adalah tumor hati sekunder, dimana tumor berasal dari organ lain yang
bermetastase, pada laki-laki sering ditemukan berasal dari lambung, paru-paru dan kolon.
Sedangkan pada perempuan sering ditemukan berasal dari payudara, rahim, lambung dan
kolon, tetapi tumor tersebut juga sering ditemukan bermetastasis dari pancreas, leukemia,
limfoma dan karsinoid tumor.
Pada kasus-kasus tumor hati primer yang jarang ditemukan, dapat bersifat jinak
ataupun ganas, pada tumor hati jinak yang sering ditemukan adalah kista, hemangioma dan
adenoma hati, sedangkan pada kasus tumor hati ganas yang sering ditemukan adalah
kolangiosarkoma, angiosarkoma dan hepatoseluler karsinoma (HCC).
Kasus-kasus yang paling sering ditemukan pada tumor hepar jinak adalah adenoma
hepatoseluler dan kista hepar.
Istilah kista berasal dari perkataan Yunani kustis yang bererti kantong dimana ia
merupakan suatu abnormalitas pada pertumbuhan jaringan. Dalam pengertian secara
histopatologi, kista adalah rongga vans dilapisi sel epitel. Pada kista terdapat duktus yang
terdilatasi yang biasanya disebabkan oleh obstruksi, hiperplasia epitel, sekresi berlebihan dan
distorsi struktural. Sebagian kista timbul dari sisa-sisa epithelia ektopik atau sebagai hasil
nekrosis di tengah-tengah massa epitel.
Kista dapat bersifat kongenital atau didapatkan. Cairan kista biasanya bening dan
tidak berwama namun dapat iolga viskuos atau mengandung kristal kolestrol sebagai hasil
dari nekrosis jaringan. "True cysts" atau kista sesungguhnya harus dibedakan dari "false
cysts" atau pseudokista dimana pseudokista ini merupakan timbunan cairan yang terkandung
dalam, kavitas yang tidak mempunyai lapisan epithelium. Kista seperti ini biasanya berasal
dari suatu proses inflamatori atau degeneratif.
Adenoma hepatoseluler (HAS) juga dikenal sebagai adenoma hati atau adenoma sel
hati. Penyakit ini merupakan kasus yang cukup langka, tumor jinak yang berasal dari epitel
dan terjadi kurang dari 0,004% dari populasi berisiko.
Adenoma hepatoseluler sering ditemukan pada wanita usia subur dan sangat terkait
dengan penggunaan pil kontrasepsi oral (OCP) dan estrogen lainnya. Hal ini tercermin dari
peningkatan dramatis dalam insiden penyakit ini sejak OCP diperkenalkan pada tahun 1960.
Adenoma hepatoseluler dapat ditemukan tunggal atau ganda, ukurannya dapat
mencapai ukuran lebih besar dari 20 cm. Selain OCP, kondisi lain yang terkait dengan
adenoma adalah anabolic steroid, steroid androgenik, beta-Thalassemia, tyrosinemia, tipe 1
diabetes mellitus, dan penyakit penyimpanan glikogen (tipe 1 dan 3). Namun, beberapa
adenoma hati lebih sering terjadi pada penyakit penyimpanan glikogen. Selain multiplisitas
adenoma, adenoma hati yang terkait dengan penyakit penyimpanan glikogen (GSD)
cenderung lebih banyak, terjadi lebih sering pada pria daripada wanita (rasio 2:1) dan sering
mengembangkan sebelum usia 20 tahun.

II.2 Anatomi dan Histologi Hati

Hati adalah organ intestinal terbesar dengan berat antara 1,2-1,8 kg atau lebih 25%
berat badan orang dewasa dan merupakan pusat metabolisme tubuh dengan fungsi sangat
kompleks yang menempati sebagian besar kuadran kanan atas abdomen.
Batas atas hati berada sejajar dengan ruangan interkostal V kanan dan batas bawah
menyerong ke atas dari iga IX kanan ke iga VIII kiri. Permukaan posterior hati berbentuk
cekung dan terdapat celah transversal sepanjang 5 cm dari sistem porta hepatis. Omentum
minor terdapat mulai dari system porta yang mengandung arteri hepatica, vena porta dan
duktus koledokus.
Gambar 1.1 Anatomi Hati

Sistem porta terletak didepan vena kava dan dibalik kandung empedu. Permukaan
anterior yang cembung dibagi menjadi 2 lobus oleh adanya perlekatan ligamentum falsiform
yaitu lobus kiri dan lobus kanan yang berukuran kira-kira 2 kali lobus kiri. Hati terbagi 8
segmen dengan fungsi yang berbeda. Pada dasarnya, garis cantlie yang terdapat mulai dari
vena kava sampai kandung empedu telah membagi hati menjadi 2 lobus fungsional, dan
dengan adanya daerah dengan vaskularisasi relative sedikit, kadang-kadang dijadikan batas
reseksi..
Hati terdiri atas bermacam-macam sel, secara mikroskopis didalam hati manusia
terdapat 50.000-100.000 lobuli, setiap lobulus berbentuk heksagonal yang terdiri atas sel hati
berbentuk kubus yang tersusun radial mengelilingi vena sentralis. Hepatosit meliputi kurana
lebih 60% sel hati,sedangkan sisanya terdiri dari sel-sel epithelial system empedu dalam
jumlah yang bermakna dan sel-sel parenkimal yang termasuk di dalamnya endotolium, sel
kuffer dan sel stellatayang berbentuk seperti bintang. Hepatosit sendiri dipisahkan oleh
sinusoid yang tersusun melingkari efferent vena hepatica dan duktus hepatikus. Saat darah
memasuki hati melalui arteri hepatica dan vena porta serta menuju vena sentralis maka akan
didapatkan pengurangan oksigen secara bertahap. Sebagai konsekuensinya, akan didapatkan
variasi penting kerentanan jaringan terhadap kerusakan asinus. Membrane hepatosit
berhadapan langsung dengan sinusoid yang mempunyai banyak mikrofili. Mikrofili juga
tampak pada sisi lain sel yang membatasi saluran empedu dan merupakan petunjuk tempat
permulaan sekresi empedu. Permukaan lateral hepatosit memiliki sambungan penghubung
dan desmosom yang saling bertautan dengn sebelahnya. Sinusoid hati memiliki lapisan
endothelial endothelial berpori yang dipisahkan dari hepatosit oleh ruang disse (ruang
sinusoida). Sel-sel lain yang terdapat dalam dinding inusoid adalah sel fagositik. Sel Kuffer
yang merupakan bagian penting sistem retikuloendothellial dan sel stellata disebut sel itu,
limposit atau perisit. Yang memiliki aktifitas miofibroblastik yang dapat membantu
pengaturan aliran darah. Sinosoidal disamping sebagai faktor penting dalam perbaikan
kerusakan hati.

II.3 Fisiologi Hepar

Hepar adalah organ terbesar dalam tubuh manusia, terletak di sebelah atas dalam
rongga abdomen, disebelah kanan bawah diafragma. Berwarna merah kecoklatan, lunak dan
mengandung amat banyak vaskularisasi. Hepar terdiri dari lobus kanan yang besar dan lobus
kiri yang kecil.
Hepar memiliki beberapa fungsi vital, yaitu :
1. Metabolisme karbohidrat, protein dan lemak
2. Sintesis kolesterol dan steroid, pembentukan protein plasma (fibrinogen, protrombin
dan globulin)
3. Penyimpanan glikogen, lemak, vitamin (A, B12, D dan K) dan zat besi (Ferritin)
4. Detoksikasi menghancurkan hormon – hormon steroid dan berbagai obat-obatan
5. Pembentukan dan penghancuran sel-sel darah merah, pembentukan terjadi hanya pada
6 bulan masa kehidupan awal fetus
6. Sekresi bilirubin (pigmen empedu) dari bilirubin unconjugated menjadi conjugated

Kantung atau kelenjar empedu merupakan kantung berbentuk buah pir dengan
panjang sekitar 7,5 cm dan dapat menampung ± 50 ml cairan empedu. Cairan empedu adalah
cairan kental berwarna kuning keemasan atau kehijauan yang dihasilkan terus menerus dalam
jumlah 500 – 1000 ml/hari, merupakan zat esensial dalam pencernaan dan penyerapan lemak,
suatu media yang dapat mengekskresikan zat-zat tertentu yang tidak dapat diekskresikan oleh
ginjal.
Metabolisme bilirubin terdiri dari empat tahap :
1. Produksi. Sebagian besar bilirubin terbentuk sebagai akibat pemecahan haemoglobin
(menjadi globin dan hem) pada sistem retikulo endoteal (RES). Hem dipecah oleh
hemeoksigenase menjadi bilverdin, dan oleh bilirubin reduktase diubah menjdai
bilirubin. Merupakan bilirubin indirek / tidak terkonjugasi.
2. Transportasi. Bilirubin indirek kemudian ditransportasikan dalam aliran darah
hepatik. Bilirubin diikat oleh protein pada plasma (albumin), selanjutnya secara
selektif dan efektif bilirubin diambil oleh sel parenkim hepar atau protein intraseluler
(ligandin sitoplasma atau protein Y) pada membran dan ditransfer menuju hepatosit.
3. Konjugasi. Bilirubin indirek dalam hepar diubah atau dikonjugasikan oleh enzim
Uridin Difosfoglukoronal Acid (UDPGA) atau glukoronil transferase menjadi
bilirubin direk atau terkonjugasi yang bersifat polar dan larut dalam air.
4. Ekskresi. Bilirubin direk yang terbentuk, secara cepat diekskresikan ke sistem
empedu melalui membran kanalikuler. Selanjutnya dari sistem empedu dikskresikan
melalui saluran empedu ke sistem pencernaan (usus) dan diaktifkan dan diabsorpsi
oleh bakteri / flora normal pada usus menjadi urobilinogen. Ada sebagian kecil
bilirubin direk yang tidak diabsorpsi melainkan dihidrolisis menjadi bilirubin indirek
dan direabsorpsi melalui sirkulasi enterohepatik.

II.4 Klasifikasi Tumor Hepar

Tumor hati berdasarkan etiologinya dibagi menjadi tumor hati primer dan tumor hati
sekunder, disebut tumor hati primer jika tumor tersebut berasal dari hati, dan disebut tumor
hati sekunder jika tumor tersebut bermetastasis dari organ lain, pada table dibawah ini dapat
dilihat jenis-jenis tumor hati primer.
Tabel 1.1 Primary Liver Tumor

Malignant Benign
Hepatoseluler Carcinoma Cysts
Cholangiosarcoma Haemangioma
Angiosarcoma Adenoma
Hepatoblastoma Focal Nodular Hyperplasia
Fibrosarcoma Fibroma
Leiomyosarcoma Leiomyoma

Tumor hati sekunder merupakan tumor hati yang bermetastasis dari organ lain,
berikut adalah jenis-jenis tumor hati sekunder.

Tabel 1.2 Origins of Secondary Liver Tumours

Common in Male Common in Female Less Common


Stomach Breast Pancreas
Lung Colon Leukaemia
Colon Stomach Lymphoma
Uterus Carcinoid Tumours

II.6 Diagnosis

Anamnesis

Pemeriksaan Fisik

Ditemukan adanya
massa pada pemeriksaan
regio RUQ

Curiga suatu tumor hepar


Simptomatik Asimptomatik

Ganas Jinak

Pemeriksaan Laboratorium
(Darah rutin, Darah lengkap
Kimia darah, Fungsi hati, Serum)

Pemeriksaan penunjang

USG, CT-Scan, Biopsi Hati

Diagnosis

Penatalaksanaan

II.7 Kista Hepar

Istilah kista berasal dari perkataan Yunani kustis yang bererti kantong dimana ia
merupakan suatu abnormalitas pada pertumbuhan jaringan. Dalam pengertian secara
histopatologi, kista adalah rongga vans dilapisi sel epitel. Pada kista terdapat duktus yang
terdilatasi yang biasanya disebabkan oleh obstruksi, hiperplasia epitel, sekresi berlebihan dan
distorsi struktural. Sebagian kista timbul dari sisa-sisa epithelia ektopik atau sebagai hasil
nekrosis di tengah-tengah massa epitel.
Kista dapat bersifat kongenital atau didapatkan. Cairan kista biasanya bening dan
tidak berwama namun dapat iolga viskuos atau mengandung kristal kolestrol sebagai hasil
dari nekrosis jaringan. "True cysts" atau kista sesungguhnya harus dibedakan dari "false
cysts" atau pseudokista dimana pseudokista ini merupakan timbunan cairan yang terkandung
dalam, kavitas yang tidak mempunyai lapisan epithelium. Kista seperti ini biasanya berasal
dari suatu proses inflamatori atau degeneratif.
Penyakit kistik hepar merupakan suatu spektrum yang secara umum diklasifikasikan
mulai dari kista yang bersifat infeksius, kongenital, neoplastik hingga kista akibat trauma
pada hepar yang masing-masing berbeda etiologi, cara penanganan dan komplikasi serta
prognosis.

II.7.1 Klasifikasi Kista Hepar

Secara umum kista hepar dibagi berdasarkan lesi kistik dan etiologinya, berdasarkan
lesi kistiknya kista hepar di bagi atas :
1. Kista Hepatik Infeksius
a. Abses hepar piogenik
b. Abses hepar amoebik
c. Kista hepar hidatid
2. Kista Hepatik Kongenital
a. Simple Cyst
b. Polycystic Liver Disease
3. Kista Hepar Neoplastik
a. Kistadenoma
b. Kistaclenocarcinoma
4. Kista Hepar Traumatik
Berdasarkan etiologi kista hepar terbagi kepada dua yaitu kista hepar non parasitik
dan kista hepar parasitik atau kista hidatid, dimana kista hepar non rasitik paling sering
merupakan kelainan yang bersifat kongenital. Istilah 'kista hepar sendin umumnya digunakan
untuk kista yang bersifat non parasitik yang soliter, namun dapat juga multipel (simple cyst).
Namun terdapat beberapa tipe lesi kistik pada hepar yang harus dikenali dan dibedakan dad
simple cyst ini. Lesi kistik non parasitik pada hepar termasuklah kista hepar kongenital soliter
atau multipel, kista multiple pada penyakit polycystic liver disease, tumor hepar kistik
(kistadenoma, kistadenocarcinoma) dan pseudokista yaitu abses hepar piogenik dan amoebik
serta kista yang terbentuk akibat trauma yaitu kista traumatik. Keadaan-keadaan ini biasanya
dapat dibedakan melalui simptom yang dialami pasien serta gambaran radiografik lesi.
Kista Echinococcal atau kista hidatid disebabkan oleh infestasi parasit racing pita dari
genus Echinococcus dan merupakan lesi kista hepar yang paling sering dijumpai di luar
Amerika Serikat, terutama di kawasan Mediterranean. Echinococcus bisa menyerang semua
organ, namun hepar merupakan organ yang paling sering terlibat, diikuti oleh paru-paru dan
tidak sering pada organ lain seperti ginjal dan kelenjar adrenal. Kedua organ ini terlibat pada
90% dad semua kasus echinocossis.

II.7.2 Insidensi

Insidens kista hepar non parasitik yang pasti tidak diketahui karena biasanya penderita
asimptomatik dan tidak menunjukkan gejala hingga terjadi komplikas. Namun diestimasikan
kista hepar dideritai pada 5% dari populasi umum. Tidak lebih dari 10-15% dari jumlah
penderita ini mengalami simptom secara klinis. Kista hepar biasanya dijumpai secara tidak
sengaja pada pemeriksaan radiologik abdominal atau pada prosedur laporotomi untuk
kelainan lain yang dialami penderita dan Tidak berkaitan dengan gangguan fungsi hepar.
Kista hepar lebih banyak dijumpai pada kaum wanita berbanding lelaki, dengan ratio 4-10:1,
pada range umur 50-60 tahun. Simptom klinis terjadi akibat pembesaran secara progresif
kista, atau karena komplikasi yang timbul akibat kista tersebut. Komplikasi yang bisa terjadi
termasuklah perdarahan intrakistik, torsi, infeksi pada kista, transformasi kista ke arah proses
malignansi, kompresi pada organ-organ sekitar yang juga dapat menyebabkan jaundice
obstruktif, kista ruptur spontan serta reaksi alergi akibat kebocoran cairan kista.
Kista hidatid bersifat endemik di negara-negara berkembang maupun negara maju seperti
negara Mediterainian Amerika Selatan, leeland, Australia dan New Zealand. Insidens
penyakit kista hidatid di kawasan endemik berkisar dari 1-220 kasus per 100. 000 orang
penduduk. Tidak terdapat predileksi dan jenis kelamin namun biasanya kista hidatid terjadi
pada umur antara 30-40 tahun.

II.7.3 Etiologi dan Patogenesis


Etiologi dan patogenesis kista hepar dibagi menjadi beberapa macam, yaitu :
 Parasitik - Echinococcus
- Ameboid (abses)
 Nor-parasitik - Kongenital (simple cyst)
- Neoplastik
- Polycystosis
 Pseudocysts - Traumatic
- Piogenik (abses)
 Kista, hepar soliter atau multipel kongenital (simple cysts)
Penyebab pasti simple cyst ini tidak diketahui, namun diduga bersifat konginetal.
Kista ini dilapisi oleh epitel yang persis seperti epitel sistem biliari dan mungkin terjadi
akibat dilatasi progresif dari microhamartoma dari traktus biliari. Namun begitu kista ini
jarang sekall mengadungi empedu, dan hipotesis terbaru menyebutkan bahwa kista terjadi
karena mikrohamartoma gagal untuk menyatu dengan traktus biliaris. Secara umumnya
cairan di dalam kista mempunyai komposisi elektrolit yang sama dengan plasma. Tidak
terdapat ampedu, amilase maupun sel darah putih. Cairan pada kista secara terus¬-menerus
dihasilkan oleh epitel yang melapisi kista tersebut sehingga penanganan dengan aspirasi
jarum pada kista hepar soliter tidak bersifat kuratif.
 Polycystic liver disease (PCLD)
Polycystic liver disease (PCLD) atau penyakit hepar polikistik pada prang dewas
adalah kongenital dan biasanya berhubungan dengan penyakit ginjal polikistik autosomal
dominan (PKP-AD). Pada pasien-pasien ini telah dikenal pasti abnormalitas pada gen PKD1
dan PKD2. Kadang-kadang PCLD dijumpai tanpa PKD. Pada pasien-pasien ini, telah dikenal
pasti gen yang ketiga yaitu protein kinase C substrate 8OK-H (PRKCSH). Walaupun berbeda
secara genotip, pasien dengan PCLD sama secara fenotip. Pada pasien dengan PKD, kista di
ginjal biasanya mendahului kista di hepar. PKD sering berakhir dengan gagal ginjal
sedangkan kista hepar jarang dikaitkan dengan fibrosis hepar dan gagal fungsi hepar.

 Kista Neoplastik
Tumor hepar dengan nekrosis sentralis yang dilihat pada pemeriksaan pencitraan
sering di salah diagnosis sebagai kista hepar. Penyebab, pasti kistadenoma dan
kistadenokarsinoma tidak diketahui, namun mereka diduga merupakan akibat proliferasi
abnormal dari analog embrionik dari kanclung emped6 atau epitel biliari. Tumor kistik ini
dilapisi dengan sel kuboid atau kolumnar tipe biliaris dan dikelilingi oleh stroma persis
seperti stroma pada oval. Kistadenoma adalah lesi premalignant dengan transformsi
neoplastik menjadi kistadenokarsinoma yang dikenal pasti dengan adanya struktur
tubulopapillari dan invasi pada membrana basalis pada pemeriksaan histopatologi.
 Kista Hidatid
Kista hidatid disebabkan oleh infestasi dari parasit Echinoccus granulosus. Parasit ini
dijumpai di seluruh dunia tapi lebih sering di kawasan pentemakan kambing dan sapi. Cacing
pita dewasa hidup di, traktus digestif hewan karnivora seperti anjing. Telur dari induk
dilepaskan dalam feses dan dimakan oleh host perantara seperti kambing, sapi, atau manusia.
Larva dari telur menginvasi dinding usus dan pembuluh darah mesenteric dan sampai di
hepar lewat sirkulasi. Di dalam hepar, larva membesar dan menjadi kistik. Kista hidatid ini
menghasilkan lapisan jaringan inflammatori di luar, dan lapisan germinal di dalam yang
menghasilkan kista anak (daughter cyst). Apabila kamivora memakan hepar dari host
perantara ini, skoliks dari kista anak dilepaskan di dalam usus kecil dimana ia akan
berkembang menjadi racing dewasa dan melengkapi daur kehidupannya.
 Abses hepar
Abses hepar berasal dari cumber amebik atau bakteri. Entamoeba histolytica adalah
agen peryebab pada abses hepar amebik. la menular melalui makanan atau air yang
dikontaminasi oleh fase, kista dari parasit ini. Amebiasis secara umumnya hanya melibatkan
usus tapi ia dapat melewati pembuluh darah mesenterika dan menghasilkan abses hepar.
Manusia adalah satu-satunya host parasit ini.
Abses piogenik bisa merupakan akibat instrumentasi pada rongga tubuh namun paling
sering disebabkan oleh kolangitis ascenders. Mikroorganisma yang diisolasi biasanya
merupakan flora normal usus. Jalur kontaminasi lain termasuklah secara hematogen melalui
vena ports dan arteri hepatica. Pasien dengan infeksi infra abdominal mungkin mengalami
abses hepar karena perkembangan bakteri melalui sistem vena ports. Penularan lewat
hematogen melalui arted hepaticum pada pasien dengan septicaemia sangat jarang terjadi.

II.7.4 Manifestasi Klinis

Sebagian besar dari kista hepar bersifat asimptomatik dan dikelo1a secara konservatif
selagi bisa, karena risiko terjadi komplikasi paca pengobatan operatif dan kemungkinan
terjadinya regresi spontan. Gambaran klinik yang sering didapatkan pada pasien biasanya
adalah :
 Nyeri epigastrik
 Mual dan muntah
 Kehilangan nafsu makan
 Perasaan penuh di lambung.
 Perut yang membesar
 Takikardi
 Hipotensi
 Badan lemah

Dengan bervariasinya klasifikasi serta etiolcgi kista hepar, gejala klinik bervariasi
berdasarkan penyebab, tempat dan ukuran. Nyari mungkin merupakan keluhan utama pada
kista yang membesar. Nyeri sering terjadi bekunder akibat komplikasi yang timbal dari kista
tersebut. Antara lain bisa terjadi pendarahan atau infeksi, yang menyebabkan peningkatan
tekanan intrakistik. Nyeri juga dialami apabila terjadi ruptur kista atau terjadi torsi pada kista,
dimana pada keadaan ini pasien datang dengar, simptom akut abdomen.
Kebanyakan kista hidatid bersifat asimptomatik, walaupun telah berkembang lanjut.
Jumlah parasit, lokelisasi dan ukuran kista menentukan derajat keparahan symptom. Dalam
hepai, afek dari penekanan kista bisa menimbulkan simptom jaundice obstruktif dan nyeri
perut. Komplikasi sekunder bisa terjadi sebagai akibat infeksi pada kista dan ruptur atau
kebocoran kista. Kebocoran kecil menimbulkan nyeri Yang bertambah dan reaksi alergik
yang ringan yang ditandai oleh urtikaria. Reaksi alergi ini terjadi karena cairan dari kista
yang bersifat merangsang, Ruptur yang besar menyebabkan reaksi anafilaktik yang bisa
bersifat fatal jika tidak ditangani dengan cepat. Infeksi pada kista bisa terjadi samada sebagai
infeksi primer atau infeksi sekunder setelah terjadi kebocoran kista ke traktus biliaris.
Simptom yang dialami dapat mulai dari demam ringan hingga sepsis.
Pada abses hepar balk abses hepar piogenik maupun amebik, gejala klinik yang
dialami hampir kesemua penderita adalah demam yang bersifat akut atau subakut disertai
nyeri abdomen kuadran kanan atas, disamping gejala non spesifik lain seperti malaise, mual
dari muntah.

II.7.5 Pemeriksaan Penunjang


II.7.5.1Pemeriksaan Laboratorium
Evaluasi pasien dengan kista hepar memerlukan anamnesis yang teliti dan melakukan
pemeriksaan finis serta pemeriksaan penunjang radiografik seperti CT scan abdominal, untuk
mengetahui lokasi dan ukuran dari kista. tersebut. Pasien dengan kista hepar memerlukan
pemeriksaan laboratorium yang tidak banyak. Hasil pemeriksaan faal hati seperti
transaminase atau alkali fosfatase mungkin sedikit abnormal, namun kadar bilirubin,
prothrombin time (PT) dan activated prothrombin times (APTT) biasanya berada dalam batas
normal.
Pada PCLD, dapat dijumpai abnormalitas yang lebih banyak pada pemeriksaan fungsi
faal hati, namun gagal fungsi hati jarang dijumpai. Test fungsi ginjal termasuk kadar urea dan
kreatinin darah biasanya abnormal. Pada tumor kistik hepar, test fungsi hati juga normal
seperti pada simple cyst namun bisa terdapat abnormalitas pada sebagian psien. Terdapat
peningkatan kadar Carbohydrate antigen (CA)19-9 pada sebagian pasien. Cairan kista dapat
diambil untuk pemeriksaan CA 19¬9 pada saat pembedahan sebagai peeriksaan marker untuk
kistadenoma dan kistadenocarcinome. Pasien dengan abses hepar dapat dikenal pasti dari
gejala kiinis.
Pada pemeriksaan darah sering ditemukan leukositosis. Jika terdapat kista hidatid,
dijumpai eosoniphiiia pada sekitar 40,A pasien, dan titer antibody echinococcal positif pada
hampir 80% dari pasien. Pemeriksaan immunoassay enzim (enzyme immunoassay, EIA)
dapat digunakan untuk mendeteksi antibodi spesifik untuk E. histolytica.
Pemeriksaan histologik dari kista dilakukan dengan tujuan untuk menyingkirkan
kemungkinan suatu keganasan, seperti kistadenocarcinoma. Secara histopatologik kista hepar
yang benigna mengandungi cairan yang bersifat serosa dan dindingnya terdiri dari selapis sel
epitel kuboidal dan stroma fibrosa yang tipis.

II.7.5.2Pemeriksaan radiologik
Sebelum persediaan secara meluas modalitas teknik pencitraan abdominal termasuk
ultrasonografi (USG) dan computed tomography scans (CT scan), kista hepar didiagnosa
hanya apabila ia sudah sangat memebesar dan bisa dilihat sebagai massa di abdomen atau
sebagai penemuan tidak sengaja saat melakukan laparotomy. Saat ini, pemeriksaan radiologik
sering menemukan lesi yang asimptomatik secara tidak sengaja. Terdapat beberapa pilihan
pemeriksaan radiologic pada pasien dengan kista hepar seperti USG yang bersifat non
invasive namun cukup sensitif untk mendeteksi kista hepar. CT juga sensitif dalam,
mendeteksi kista hepar dan hasilnya lebih mudah untuk diinterpretasi berbanding USG. MRI,
nuclear medicine. scanning dan angiografi hepatik mempunyai penggunaan yang terbatas
dalam mengevaluasi kista hepar.
Secara umumnya simple cysts mempunyai gambaran radiologik yang tipikai yaitu
mempunyai dinding yang tipis dengan cairan yang berdensitas rendah dan homogenous.
PCKD harus dikonfirmasi dengan USG atau CT scan dengan menemukan kista-kista multiple
pada saat evaluasi.
Kista hidatid bisa didenfifikasi dengan ditemukan daughter cyst yang terkandung
delam sate rongga utama yang berdinding tebal. Kistadenoma dan kistadenocarcinoma
umumnya terlihat multilokulasi dan mempunyai septasi internal, densitas yang heterogeneus
dan dinding kista yang irregular. Tidak seperti tumor lain pada umumnya, jarang dijumpai
Valsifikasi pada kistadenoma dan cystadenocarcinoma. Satu masalah yang sering ditemui
dalam mengevaluasi pasein dengan lesi kistik pada hepar adalah untuk memdiferensiasi kista
neoplasma dan simple cyst. Namun secara umumnya neoplasma kistik mempunyai dinding
yang tebal, irregular dan hipervaskular sedangkan dinding kista pada simple cyst nipis dan
uniform. Simple cyst bertendensi untuk mengandungi bagian interior yang homogenous dan
berdensitas rendah sedangkan neoplasma kistik biasanya mempunyai bagian interior yang
heterogenous dengan septasi-septasi

II.7.6 Penatalaksanaan

II.7.6.1 Non-Surgical
Pengobatan secara medikamentosa untuk penanganan kista hepar non parasitik
maupun kista parasitik mempunyai manfaat yang terbatas. Tidak ada terapi konservatif yang
ditemui berhasil untuk menangani kista hepar secara tuntas.
Aspirasi perkutaneous dengan dibantu oleh USG atau CT scan secara teknis mudah
untuk dilaksanakan namun sudah ditinggalkan karena mempunyai kadar rekurensi hampir
100%. Tindakan aspirasi yang dikombinasikan dengan sklerosis dengan menggunakan
alcohol atau bahan sklerosant lain berhasil pada sebagian pasien namun mempuoyai tingteat
kegagalan dan kadar rekurensi yang tinggi Sklerosis akan berhasil hanya terjadi dekompresi
sempurna dan aposisi dari dinding kista. Hal ini tidak mungkin terjadi jika dinding kista
menebal atau pada kista yang sangat besar. Tidak terdapat pengobatan medikamentosa untuk
PCLD dan kistadenocarcinoma.
Kista hidatid dapat diobati dengan agen antihidatid yaitu albendazole dan
mebendazole namun biasanya tidak efektif. Obat-obatan ini digunakan sebagai terapi
adjuvant dan tidak dapat menggantikan pecan penanganan bedah atau pengobatan per
kutaneus dengan teknik PAIR (puncture, aspiration, injection, reaspiration). Pengobatan
medikamentosa dimulai 4 hari sebelum pembedahan dan dilanjutkan 1 hingga 3 bulan setelah
operasi sesuai panduan dari Organisasi Kesehatan Dunia.

II.7.6.2 Surgical
Secara umumnya tujuan terapi operatif adalah untuk mengeluarkan seluruh lapisan
epithelial kista karena dengan adanya sisa epitel akan menyebabkan terjadinya rekurensi.
Secara ideal, kista didiseksi keluar secara utuh tanpa melubangi kavitas kista tersebut. Jika ini
terjadi, kista akan kollaps dan ditemukan kesukaran untuk mengenalpasti dan mengeluarkan
lapisan epitel.
 Teknik PAIR (puncture, aspiration, injection, reat piration).
Teknik PAIR untok penanganan kista hepar dilakukan dengan dibantu oleh USG atau CT
scan yang melibatkan aspirasi isi kisia via sate kanula yang khusus, diikuti dengan injeksi
agen yang bersifat skolisidal selama 15 menit, kemudian isi kista direaspirasi lagi. Proses ini
diulang hingga hasil aprisasi jemih. Kista kemudian diisi dengan solusi natrium klorida yang
isotonic. Tindakan ini harus dibarengi dengan pengobatan perioperatif dengan obat
benzimodazole 4 hari sebelum tindakan hingga 1-3 bulan setelah tindakan.
 Marsupialisasi (dekapitasi)
Dekapitasi atau "unroofing" kista dilakukan dengan cara mengeksisi bagian dari dinding
kista yang melewati hingga permukaan hepar. Eksisi seperti ini menghasilkan permukaan
kista yang lebih dangkal pada bagian kista yang tertinggal hingga cairan yang disekresi oleh
epitel yang masih tertinggal merembes kedalam rongga peritoneal dimana ia diabsorbsi. Sisa
epitel dapat juga diablasi dengan menggunakan sinar koagulator argon atau elektrokauter.
Sebelum ini penanganan kista seperti ini memerlukan tindakan laparotomi (open unroofing)
namun seiring dengan perkembangan alat dan teknik, ia bisa dilakukan secara laparoskopik.
Terdapat juga berapa modifikasi dari taknik marsuapialisasi yang dilaporkan seperti teknik
open partial cystectomy yang dilaporkan oleh Filipppou dkk untuk penanganan kista hidatid
hepar.
Dari hasil penelitian yang dijalankan, didapatkan bahwa unroofing kista secara
laparoskopik mempunyai tingkat morbiditas yang rendah, tempoh reokupasi yang lebih
singkat dan bisa kembali ke aktivitas normal lebih cepat berbanding open unroofing secara
laparotomi. Faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi terjadi rekurensi dengan teknik ini
adalah luga deroofing yang adekuat, kista yang terletak dalam atau berada di segmen
posterior dari hepar, penggunaan sinar argon untuk sisa epitel dinding kista, tindakan
omentoplasty untuk cavitas residual, dan tindakan laparoskopi atau laparoti yang pernah
dilakukan sebelumnya yang menyebabkan timbulnya jaringan fibrosis di hepar.
 Reseksi hepar dan tranplantasi hati
Prosedur yang lebih radikal seperti reseksi hepar dan transplantasi hati telah digunakan
dalam penanganan kista hepar non parasitik. Walaupur prosedur ini bisa mendapatkan hasil
terbaik dari segi kadar rekurensi yang sangat rendah, namun ia mempunyai kadar morbiditas
yang tinggi, yang mungkin tidak dapat diterima untuk suatu penyakit yang benigna.
Contohnya, penelitian Martin dan rekan-rekan menemukan kadar morbiditas 50% pada 16
pasien yang menjalani prosedur reseksi hepar untuk penanganan kista hepar non parasitik.
Antara komplikasi yang terjadi pada tindakan reseksi hepar termasuklah infeksi paru-paru,
efusi pleura, infeksi pada luka operasi, drainase cairan peritoneal dan empedu yang lama dan
hematoma subphrenik.
Tranplantasi hepar diindikasikan untuk penyakit polikstik dengan simptom yang menetap
setelah pendekatan terauputik medikamentosa dan operatif yang lain gagal, atau pada
keadaan gagal ginjal.
Reseksi hepar layak untuk diaplikasikan pada pasien dengan kista multipel yang rekuren
atau terdapat kemungkinan suatu tumor kistik hepar. Anatomi segimental hepar yang pertama
dijelaskan oleh Couinaud pada tahun 1957 membagi hepar kepada lapan segmen dimana
setiap segmen mempunyai cabang arteri hepatikum, vena porta dan traktus biliaris yang
tersendiri. Hal ini memungkinkan untuk mereseksi setiap segmen ini secara individual
apabila diperlukan, dan mengurangkan pemotongan tidak perlu dari jaringan hepar yang
normal. Telah dikembangkan teknik ciperasi untuk membagi parenkim hepar, samada dengan
memakai klem atau diseksi wirasonik, justeru membolehkan pembuluh vaskular dan biliari
untuk diligasi secara individual. Kehilangan darah bisa dikurangkan dengan teknik oklusi
vaskular (manoeuvre Pringle)

II.8 Adenoma Hepatoseluler


Adenoma hepatoseluler (HAS) juga dikenal sebagai adenoma hati atau adenoma sel
hati. Penyakit ini merupakan kasus yang cukup langka, tumor jinak yang berasal dari epitel
dan terjadi kurang dari 0,004% dari populasi berisiko.
Adenoma hepatoseluler sering ditemukan pada wanita usia subur dan sangat terkait
dengan penggunaan pil kontrasepsi oral (OCP) dan estrogen lainnya. Hal ini tercermin dari
peningkatan dramatis dalam insiden penyakit ini sejak OCP diperkenalkan pada tahun 1960.
Adenoma hepatoseluler dapat ditemukan tunggal atau ganda, ukurannya dapat
mencapai ukuran lebih besar dari 20 cm. Selain OCP, kondisi lain yang terkait dengan
adenoma adalah anabolic steroid, steroid androgenik, beta-Thalassemia, tyrosinemia, tipe 1
diabetes mellitus, dan penyakit penyimpanan glikogen (tipe 1 dan 3). Namun, beberapa
adenoma hati lebih sering terjadi pada penyakit penyimpanan glikogen. Selain multiplisitas
adenoma, adenoma hati yang terkait dengan penyakit penyimpanan glikogen (GSD)
cenderung lebih banyak, terjadi lebih sering pada pria daripada wanita (rasio 2:1) dan sering
mengembangkan sebelum usia 20 tahun.

II.8.1 Epidemiologi

 Dari 20-25% kasus yang melibatkan nyeri kuadran kanan atas, dan 30-40%
melibatkan perdarahan (sepertiga dalam massa, dua pertiga ke perut).
 Angka kematian dikaitkan dengan perdarahan akut ke peritoneum dapat sebesar 25-
30% pada pasien dengan tumor yang besar.
 Risiko keganasan transformasi tidak sepenuhnya diketahui, kemungkinan sebesar
13% didasarkan pada penelitian kecil.
 Kehamilan yang berkaitan dengan adenoma hati, dan pecahnya adenoma selama
kehamilan telah dikaitkan dengan tingginya tingkat kematian ibu dan janin

II.8.2 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis yang ditemukan pada kasus ini sangat bervariasi. Hal-hal yang
sering ditemukan dari pemeriksaan fisik dapat mencakup sebagai berikut:
 Nyeri di kuadran kanan atas atau regio epigastrik, terjadi pada 25-50% pasien dengan
adenoma hepatoseluler.
 Lesi dapat terasa sekali pada pasien dengan massa yang teraba. Lesi juga mungkin
ditemukan secara kebetulan saat studi pencitraan perut karena alasan yang tidak
berhubungan.
 Pemakaian obat-obatan dalam kehamilan atau menggunakan steroid anabolik harus
diperhatikan pada pasien suspek adenoma hepatoseluler
 Pasien juga mungkin datang dengan keadaan buruk, nyeri perut akut dengan perdarahan
ke dalam perut, yang menyebabkan tanda-tanda syok (misalnya, hipotensi, takikardia,
diaphoresis).
 Hemoperitoneum lebih sering terjadi jika pasien dengan riwayat penggunaaan OCP dosis
tinggi, secara aktif haid atau hamil, atau dalam jangka waktu 6 minggu setelah
melahirkan. Lokasi lesi juga penting, dengan orang-orang dekat permukaan hati lebih
rentan terhadap menyebabkan hemoperitoneum.

Pada pemeriksaan fisik sering ditemukan gejala dan tanda-tanda yangtidak spesifik.
Pasien mungkin asimtomatik, atau datang dengan keadaan sakit berat, dengan pucat dan
distensi abdomen, bisa juga ditemukan tanda-tanda seperti di bawah ini :

 Teraba massa pada regio hypochondrium kanan (Bisa teraba massa yang lembut ataupun
keras, sering ditemukan hepatomegali)
 Ditemukan adanya pendarahan (sering ditemukan hemoperitoneum)
 Takikardia (Pada pasien dengan perdarahan hebat sering ditemukan takikardia berat)
 Hipotensi
 Orthostasis
 Sklera tidak ikterik (Penyakit kuning telah dilaporkan karena kompresi empedu oleh
tumor.)
 Konjungtiva pucat. (kemungkinan, jika telah terjadi pendarahan)
 Takikardia jika pendarahan aktif
 Pemeriksaan temuan dari leher, dada, dan kaki jarang ditemukan kelainan
 Jarang ditemukan kelainan pada pemeriksaan neurologis

II.8.3 Patofisiologi
Adenoma hepatoseluler terdiri dari lembaran hepatosit tanpa saluran empedu atau
daerah portal. Kupffer sel, jika ditemukan akan berkurang jumlahnya dan tidak berfungsi.
adenoma hepatoseluler ini berwarna cokelat, halus, berbatas, dan bervariasi dari 1 sampai 30
cm dalam ukuran. Memiliki pembuluh darah besar di permukaan, dan lesi dapat menutup
pasokan darah arteri mereka, menyebabkan nekrosis dalam luka. Sebuah kapsul berserat
dapat ditemukan ataupun tidak, jika tidak ada, ini mungkin predisposisi perdarahan
ekstrahepatic atau intrahepatic. Kebanyakan hadir sebagai lesi soliter dalam lobus hati,
namun, tumor memang terjadi di kedua lobus kanan dan lobus kiri, dan 20% kasus
melibatkan beberapa lesi.
Patogenesis ini diperkirakan terkait dengan ektasia vaskular umum yang berkembang
karena eksposur dari vaskular hati untuk kontrasepsi oral dan steroid sintetik terkait. Dapat
memberikan pengaruh estrogen melalui reseptor estrogen yang di sitoplasma atau inti
hepatosit. Namun, ini tetap kontroversial sebagai adenoma dapat terjadi pada laki-laki dan
anak-anak tanpa predisposisi faktor risiko, dan reseptor ini belum teridentifikasi bahkan
dengan menggunakan monoklonal antibodies.
Adenoma juga telah dikaitkan dengan diabetes mellitus dan GSD, menyebabkan
spekulasi, apakah ketidakseimbangan antara insulin dan glukagon juga memainkan peran.
Pasien dengan GSD lebih mungkin untuk hadir dengan beberapa lesi. Lesi yang berkaitan
dengan GSD sering muncul pada pasien yang lebih muda (awal dekade ketiga kehidupan)
dan memiliki rasio pria-wanita 2:1. Dalam kasus ini, jumlah abnormal glikogen yang
tersimpan mungkin berakibat langsung, ataupun dapat terjadi karena stimulasi onkogen.
Insulin dan glukagon tampaknya memainkan peranan yang lebih besar, karena
adenoma GSD-istimewa telah dilaporkan dapat berkurang dengan manipulasi pola makanan.
Sebuah mutasi germline faktor nuklir hepatosit (HNF-1 alpha) dalam 2 keluarga yang
memiliki diabetes mellitus dan tumor adenomatosis. Analisisnya menunjukkan inaktivasi sel
biallelic dari HNF-1 alfa

II.8.4 Pemeriksaan Penunjang


II.8.4.1 Pemeriksaan Laboratorium
 Serum aspartate aminotransferase (aminotransferase [AST] / alanine aminotransferase
[ALT]) ditemukan meningkat pada sekitar 50% pasien, kemungkinan disebabkan oleh
efek massa tumor.
 serum alpha-fetoprotein (AFP) berada dalam rentang normal pada pasien dengan
adenoma hepatoseluler. Peningkatan terjadi pada 50% dari kasus karsinoma
hepatoseluler (HCC). Dengan demikian, AFP yang meningkat dapat terjadi baik pada
karsinoma primer atau adenoma yang telah mengalami transformasi ganas. Tingkat
AFP dalam rentang referensi tidak menghilangkan HCC dari differensial diagnosis.
 Peningkatan carcinoembryonic antigen (CEA) level menunjukan metastasis dari usus
besar.
 Pemeriksaan serologis untuk amebiasis dan echinococcus harus dipertimbangkan jika
muncul lesi kistik.

II.8.4.2 Pemeriksaan Radiologik


Temuan pada studi imaging dalam kasus adenoma hepatoseluler umumnya
nondiagnostic karena massa sering soliter dan juga dibatasi. Membedakan karakteristik
secara umum sulit dilakukan. USG dan pencitraan CT lebih spesifik jika perdarahan intralesi
dicatat.
 Ultrasonografi
Penemuan yang spesifik, mengungkapkan lesi hypoechoic, yang biasanya subcapsular
(7% pedunculated), juga terbatas, berkisar 2-20 cm, dan terletak terutama di lobus kanan hati.

pola aliran Doppler dalam adenoma hepatoseluler adalah vena, dibandingkan dengan pola
arteri dicatat dalam FNH.
 Computed tomography imaging
Spesifik massa, baik terbatas yang memiliki kepadatan rendah di non-kontras dan pola
sentripetal ditandai dari perangkat tambahan pada fase arteri. Lesi dapat memiliki luas
nekrotik pusat atau kalsifikasi. Kebanyakan adenoma encapsulated ditemukan pada gambaran
CT scan.
 Magnetic Ressonance Imaging (MRI)
Variabel penampilan karena adanya atau tidak adanya perdarahan. Heterogen sinyal
Hyperintense pada pencitraan T1-T2-tertimbang dan sering disebabkan oleh lipid yang
terkandung dalam lesi. Dengue adenoma hepatoseluler mungkin juga pencitraan T1
hyperintense dengan cincin hemosiderin subcapsular dalam 30% pasien. Kupffer sel-spesifik
MRI agen (oksida besi superparamagnetic [SPIO] dan besi oksida superparamagnetic
ultrasmall [USPIO]) dapat diberikan selama scan. Mereka tidak menunjukkan serapan karena
kurangnya sel endotel-retikuler. Mangan-dipyridoxal difosfat (DPDP), gadolinium, atau
dimeglumine gadobenate (Gd-BOPTA) dapat diberikan selama scan. Hal ini menunjukkan
serapan kuat karena adanya hepatosit. MRI dengan kontras dapat membedakan adenoma
hepatoseluler dari FNH di 70% dari cases. Sayangnya, HCC juga memiliki dominasi
hepatosit, yang membuat agen ini tidak dapat membedakan antara adenoma hepatoseluler dan
HCC.
 Arteriografi
Modalitas imaging ini jarang dilakukan dan telah digantikan oleh CT atau angiografi MR
di pusat kebanyakan. Didefinisikan, bundar atau bulat, hypervascular massa dengan cabang-
cabang arteri hepatik yang masuk dari pinggiran. Kapal dalam massa yang berliku-liku dan
dari berbagai kaliber dengan aliran bergerak pusat dari pinggiran. Avascular daerah dan
hematoma intralesi merupakan indikator dari adenoma hepatoseluler.

II.8.5 Penatalaksanaan

II.8.5.1 Non-Surgical
Pasien harus menghentikan penggunaan kontrasepsi oral atau steroid anabolik. Hal ini
memungkinkan untuk regresi dalam ukuran mayoritas tumor. Transformasi untuk menjadi
ganas tetap ada bahkan setelah penggunaan kontrasepsi atau steroid.
Kehamilan harus dihindari karena risiko pembesaran abdomen dan pecah. Reseksi
bedah mungkin pilihan terbaik pada pasien dengan adenoma hepatoseluler yang ingin
menjadi hamil. Reseksi adenoma hepatoseluler besar insidental ditemukan selama kehamilan
dapat dipertimbangkan untuk reseksi selama trimester kedua, ketika risiko yang terendah..
Adenoma hepatoseluler yang ruptur selama kehamilan harus dikelola dengan resusitasi dan
reseksi.
Ultrasound imaging tahunan dan penilaian terhadap serum AFP level merupakan
pertimbangan pada semua pasien dengan adenoma hepatoseluler, khususnya mereka dengan
mempunyai lesi multipel atau tunggal yang lebih besar dari 5 cm diameter yang tidak
menjalani reseksi bedah.
Pencitraan abdomen diperlukan untuk pasien dengan adenoma hepatoseluler yang
hadir dengan sakit perut baru atau memburuk atau tanda-tanda ketidakstabilan hemodinamik.
Arteriography hati dengan embolisasi harus dipertimbangkan untuk mengontrol
perdarahan dalam pembedahan pada pasien yang berisiko tinggi.

II.8.5.2 Surgical
Sehubungan dengan peningkatan risiko perdarahan spontan yang mengancam jiwa
dan transformasi keganasan yang mungkin terkait dengan tumor yang besar ukurannya,
reseksi bedah elektif dapat dipertimbangkan untuk semua lesi dengan diameter yang lebih
besar dari 5 cm. Reseksi pilihan harus dilakukan hanya setelah jangka waktu yang wajar jika
pengamatan penggunaan kontrasespsi oral telah dihentikan baru-baru ini. Namun, beberapa
penelitian merekomendasikan bahwa semua adenoma harus dilakukan reseksi tanpa ukuran
karena kasus yang jarang terjadi transformasi ganas setelah adenoma menurun dalam ukuran
atau menghilang setelah penghentian OCP.
Beberapa penelitian mengatakan tumor yang lebih cenderung pecah adalah tumor
lebih besar dan pada wanita dengan menggunakan hormon. Para peneliti menganjurkan
reseksi adenoma hepatoseluler bedah ketika mendekati 4 cm dalam ukuran atau jika terapi
hormonal yang dibutuhkan.
Semua pasien dengan tingkat signifikan AFP tinggi harus menjalani reseksi tumor
tanpa ukuran.
Sebagian besar dapat dilakukan lokal atau dengan lobektomi parsial segmental.
Pilihan reseksi membawa sekitar 13% morbiditas. Tingkat Komplikasi terkait dengan operasi
darurat lebih tinggi, termasuk tingkat kematian sekitar 5-8%.
Laparoskopi reseksi dapat digunakan pada pasien yang memiliki tumor kecil di dalam
hati segmen anterolateral dan untuk tumor pedunculated.
Para peneliti melaporkan bahwa reseksi bedah adalah lebih baik daripada observasi
jika pasien komorbiditas dan lokasi anatomi tidak beresiko karena resiko untuk terjadi
hemoragik (29%) dan keganasan (5%).

BAB III
ANALISA KASUS
Seorang perempuan, berusia 41 tahun, bertempat tinggal di Desa III Perambatan
Muara Enim, berkebangsaan Indonesia dan beragama Islam, menjalani rawat inap di
Departemen Bedah Rumah Sakit Dr. Moh. Hoesin Palembang sejak 5 juni 2010.

± 5 bulan sebelum masuk rumah sakit, penderita mengeluh terdapat benjolan sebesar
kepalan tangan pada bagian epigastrium. Benjolan terasa keras dan tidak sakit. ± 3
minggu yang lalu, penderita merasakan perut semakin membesar dan nyeri pada perut
bagian bawah. Penderita juga mengeluh sesak nafas setelah makan dan sulit berbalik
posisi saat tidur. Mual (+), muntah (+), demam (+), BAB biasa (+), BAK biasa(+).
Pada pemeriksaan fisik status generalis, penderita mengalami peningkatan suhu
tubuh. Pada status lokalis di regio abdomen, pada inspeksi tampak abdomen terlihat
cembung, warna kulit sama dengan sekitarnya. Pada palpasi abdomen teraba tegang.
Pada perkusi terdengar redup dan batas hepar membesar. Pada auskultasi BU (+). Pada
pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar hemoglobin dan hamatokrit menurun serta
terdapat peningkatan jumlah leukosit dalam darah.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pasien ini
didiagnosa dengan tumor hepar. Prognosis pasien ini quo ad vitam dan quo ad
functionam adalah bonam.

You might also like