You are on page 1of 57

Ringkasan Desertasi

PENGEMBANGAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


DALAM MEWUJUDKAN BUDAYA RELIGIUS SEKOLAH
(Studi Multi Kasus: di SMAN 1, SMAN 3
dan SMA Salahuddin Malang)

Oleh:

H. ASMAUN SAHLAN
NIM. FO. 1.5.03.05

PROGRAM PASCASARJANA
IAIN SUNAN AMPEL SURABAYA
2009

i
Ringkasan Desertasi

PENGEMBANGAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


DALAM MEWUJUDKAN BUDAYA RELIGIUS SEKOLAH
(Studi Multi Kasus: di SMAN 1, SMAN 3
dan SMA Salahuddin Malang)

Oleh:

H. ASMAUN SAHLAN
NIM. FO. 1.5.03.05

DISERTASI
Diajukan untuk Memenuhi
Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Doktor
Dalam Program Studi Ilmu Ke-Islaman
Pada Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel

SURABAYA
2009

ii
Promotor : 1. Prof. Dr. H. Imam Bawani, MA.
2. Prof. Dr. H. Muhaimin, MA.

iii
Telah diuji Pada Tahap I
Tanggal 8 April 2009

TIM PENGUJI DISERTASI TAHAP I


Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si. (Ketua)
Prof. Dr. H. Ahmad Zahro, MA. (Sekretaris)
Prof. Dr. H. Imam Bawani, MA. (Promotor)
Prof. Dr. H. Muhaimin, MA. (Promotor)
Prof. Dr. H. Kamrani, MA. (Penguji Utama)
Prof. Dr. Abd A’la, MA. (Penguji Utama)
Prof. Dr. H. M. Ridlwan Nasir, MA. (Penguji Utama)

iv
UCAPAN TERIMA KASIH

Segala puji dan sanjung hanya untuk Allah SWT, Tuhan


yang Maha Pencipta dan Maha Sempurna yang telah mengutus
rasul-rasulNya untuk memberikan petunjuk kepada manusia agar
dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat nanti.
S}alawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada nabi
Muhammad saw sebagai rasul yang membawa petunjuk dan
risalahnya.
Penulis menyadari dengan sepenuhnya bahwa
menyelesaikan tulisan disertasi ini sungguh merupakan pekerjaan
yang berat karena diperlukan ketekunan, keuletan, ketabahan,
kesabaran, kerja yang keras, dan cerdas yang istiqomah. Penulis
merasa sangat beruntung dan bahagia dapat mengatasi hambatan
dan tantangan dalam proses penulisan disertasi ini sehingga
akhirnya dapat penulis selesaikan, yang tentunya tidak terlepas dari
dorongan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu penulis
harus menyampaikan ucapan terima kasih dan rasa hormat kepada
mereka.
Prof. Dr. H. Imam Bawani, MA., dan Prof. Dr. H.
Muhaimin, MA., selaku promoter yang di tengah-tengah kesibukan
beliau berdua berkenan meluangkan waktu untuk mengoreksi dan
membimbing penulisan naskah disertasi ini dengan penuh
kesabaran, ketelitian, dan kecermatan serta menyerahkan karya
ilmiah ini sesuai dengan prinsip akademik. Penulis sangat
merasakan bahwa beliau berdua seringkali memberikan dorongan
dan semangat agar karya tulis ini cepat diselesaikan dengan tanpa
mengorbankan bobot ilmiah sebagaimana layaknya sebuah
disertasi seraya mengingatkan usia penulis yang sudah 57 tahun.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, Prof. Dr. H. Imam

v
Suprayogo atas kesempatan dan bantuan yang diberikan kepada
penulis, serta dorongannya untuk segera menyelesaikan studi di
Program Pascasarjana S-3 IAIN Sunan Ampel Surabaya. Hal yang
sama juga dilakukan oleh Pembantu Rektor Bidang Akademik,
Prof. Dr. H. Mudjia Raharjo, M.Si., yang setiap bertemu dengan
penulis selalu menanyakan perkembangan penulisan disertasi ini.
Oleh sebab itu, penulis sampaikan terima kasih. Demikian pula
ucapan terima kasih kepada Dekan Fakultas Tarbiyah, Prof. Dr. H.
M. Djunaidi Ghony, Pembantu Dekan I, Dr. M. Zainuddin, MA.,
dan Pembantu Dekan II, Drs. H. Farid Hasyim, M.Ag., yang telah
memberikan motivasi dalam menyelesaikan disertasi ini.
Penulis juga harus menyampaikan terima kasih kepada
Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya, Prof. Dr. H. M. Ridwan
Nasir, MA., dan penerusnya Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si.,
Direktur Program Pascasarjana, Prof. Dr. H. Ahmad Zahro, MA.,
para Asisten Direktur, para staff administrasi yang telah
memberikan pelayanan yang sangat baik kepada penulis sewaktu
studi di S-3.
Tidak kalah pentingnya kepada para dosen, di Program
Pascasarjana IAIN Sunan Ampel yang telah memberikan
pengalaman dan ilmu kepada penulis. Beliau antara lain adalah
Prof. Soetandyo, W., MPA., Prof. Dr. H. Amin Abdullah, MA.,
Prof. Dr. H. Syafiq A. Mughni, MA., Prof. Dr. Kunto Wibisono,
DR. Dr. Widodo P, M.Ph, Prof. Drs. H. Ahmad Jainuri, MA., Ph.D.
Kepada beliau semua penulis ucapkan terima kasih.
Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada
seluruh teman sejawat yang telah membantu dan ikut mendorong
penyelesaian disertasi ini dan teman-teman seangkatan di
Pascasarjana, teman dosen di Fakultas Tarbiyah Universitas Islam
(UIN) Malang yang telah memberikan berbagai bantuan dalam
kesempurnaan disertasi ini.

vi
Ucapan terima kasih juga perlu penulis sampaikan kepada
Kepala SMAN 1 Malang, Drs. H. Moh. Sulthon, M.Pd., beserta
dewan guru, Kepala SMAN 3 Malang, Drs. H. Tri Suharno, M.Pd.,
beserta dewan guru, Kepala SMA Sholahuddin Malang, Drs. H.
Sapilin, M.Pd., beserta dewan guru yang telah banyak membantu
pelaksanaan penelitian disertasi ini dengan memberikan informasi
dan data yang penulis inginkan.
Kemudian, rasa terima kasih harus penulis sampaikan
kepada kedua orang tua tercinta, ayahanda (almarhum) Bapak M.
Sahlan dan ibunda (almarhumah) Siti Asiyah, yang telah
membesarkan, membimbing, dan mendidik penulis selama ini.
Semoga amal ibadah beliau berdua diterima di sisi Allah SWT. dan
memperoleh kebahagiaan di sisi-Nya.
Secara khusus penulis juga menyampaikan terima kasih
kepada istri tercinta Siti Nurzaidah dan Ananda tersayang: Maulida
N. F., Binta Husna B., Faiz Ibnu A., Shofiya Q. A. Mereka adalah
harapan dan semangat hidup penulis. Akhirnya, hanya kepada
Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang, penulis memohon
rahmat dan hidayah-Nya.

Malang, 19 Safar 1430 H


15 Pebruari 2009 M

Asmaun Sahlan

vii
ABSTRAK

Asmaun Sahlan, Pengembangan Pendidikan Agama Islam dalam


Mewujudkan Budaya Religius di Sekolah (Studi Multi
Kasus di SMAN 1, SMAN 3 dan SMA Salahudin, Kota
Malang). Disertasi, Program Studi Islam Program
Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel
Surabaya, tahun 2009

Penelitian ini menfokuskan pada pengembangan


pembelajaran PAI dalam mewujudkan budaya religius sekolah.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan
rancangan studi multi kasus.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Pengembangan
PAI tidak cukup hanya dengan mengembangkan pembelajaran di
kelas dalam bentuk peningkatan kualitas dan penambahan jam
pembelajaran, tetapi bagaimana mengembangkan PAI melalui
budaya sekolah. Hal ini merupakan langkah strategis yang dapat
dilakukan sekolah dengan jalan meningkatkan peran-peran
kepemimpinan sekolah dan kesaradan warga dan komunitas
sekolah untuk pewujudan budaya Religius di sekolah.
Pewujudan budaya religius sebagai bentuk pengembangan
PAI di sekolah dapat meningkatkan spiritualitas siswa,
meningkatkan rasa persaudaraan dan toleransi, meningkatkan
kedisiplinan dan kesungguhan dalam belajar dan beraktifitas.
Proses pewujudan budaya religius dilakukan dengan dua
strategi, yaitu: (a) instructive sequential strategy, dan (b)
constructive sequential strategy. Pada strategi pertama, upaya
pewujudan budaya religius menekankan pada aspek stuktural yang
bersifat instruktif, sementara strategi kedua, upaya pewujudan
budaya religius sekolah lebih menekankan pada pentingnya
membangun kesadaran diri (self awareness), sehingga diharapkan
akan tercipta sikap, perilaku dan kebiasaan religius yang pada
akhirnya akan membentuk budaya religius sekolah.
Dukungan warga sekolah terhadap upaya pengembangan
PAI dalam mewujudkan budaya religius berupa: komitmen
pimpinan dan guru agama, komitmen siswa, komitmen orangtua,

viii
dan komitmen guru lain. Komitmen dan kerjasama secara sinergis
diantara warga sekolah dan dukungan orang tua menjadi kunci
keberhasilan dalam mewujudkan budaya religious
Temuan ini merupakan pengembangan dari hasil penelitian
sebelumnya yang dilakukan Muhaimin dkk tentang penciptaan
suasana religius di sekolah umum. Penelitian ini mempertegas dua
strategi yang dikemukakan oleh Ndraha tentang pola pelakonan
dan peragaan. Menurut Ndraha penggunaan dua pola itu
merupakan hubungan continual (yang berkesinambungan). Artinya
semakin dewasa objek penanaman nilai penggunaan pola
pelakonan harus semakin dikurangi dan diteruskan dengan
aktualisasi melalui pola peragaan. Hasil penelitian ini menunjukan
bahwa masih diperlukan adanya komitmen dan dukungan dari
warga sekolah agar strategi tersebut dapat berjalan secara efektif.

ix
ABSTRACT

Asmaun Sahlan, the development of Islamic religious subject in


order to shape the religious culture at senior high school
(multi case studies at SMAN 1, SMAN 3 and SMA
Salahudin, Malang). Research dissertation, school of
Islamic studies for post-graduate studies- the State institute
of Islamic studies Sunan Ampel- Surabaya, 2009.

The research focused on the development models of


Islamic religious studies at senior high schools. In this research, the
researcher employed the qualitative method using multi case
approach.

The result of the research shows the development of


Islamic religious subject is not sufficient only with the
development of Islamic religious teaching in the class-room i.e. in
the form of giving extra time for teaching. In this sense, the
development strategy should occupy the cultural approach by
applying PAI as schools’ culture; this is particularly, throughout the
development of educational leadership, the awareness both from
society and school community to shape religious culture at the
school.

The actualization of religious culture is the manifestation


of the development of Islamic religious subject. This strategy
effects on the students’ attitude in terms of their spirituality,
brotherhood, tolerant, discipline and motivation in learning
activities.

The process to shape religious culture through two main


strategies namely: (a) instructive sequential strategy and (b)
constructive sequential strategy. The first strategy (i.e. instructive
sequential strategy) is the efforts to put the structural instructions
aspect into practice. Meanwhile, the second strategy (i.e.
constructive sequential strategy) is the efforts to build the schools’

x
religious culture. This strategy is focused on the self awareness, as
the result the religious culture found at the school.

The support of the schools’ community to shape schools’


religious culture needs the commitment of the school community
such as: the head of school, religion teacher, students, students’
parent and other teachers. The commitment and cooperation among
of them is the key of successfulness to shape religious culture at
the school.

The result of this research is the enlargement of previous


research which is conducted by Muhaimin et al. This research also
supports Ndrahas’ research about pattern of performing
(pelakonan) and modeling (peragaan). According to Ndraha using
two patterns (i.e. performing and modeling) is the continual
relationship. It means the more mature of the object of putting
cultural values; the more modeling pattern will be used into
practice, while using the performing pattern will be decreased.
Finally, the result of the research shows in order to implement the
strategy effectively, the commitment and support of the school
community is needed.

xi
‫الخالصة‬

‫أسماعون سهالن‪ ،‬الحاج‪ ،2009 ،‬التربي ُة اإلسالميّ َ ُة وتَن ْ ِميَتُها لتَك ِْو ِ‬
‫ين‬
‫راسة ُمتَ َع ِ ّد َد ُة ال َقضايا في‬ ‫الم ْد َرس ِة ( ِد َ‬
‫َ‬ ‫الِدي ِنيّ َ ِة في بِيْئَ ِة‬ ‫ِّ ّـ‬ ‫الثَّفاف َِة‬
‫احد‪ ،‬المدرس ِة العالية‬ ‫الحكومية َو ِ‬ ‫ُ‬ ‫ِ‬
‫ة‬ ‫َّ‬ ‫ي‬ ‫ِ‬
‫موم‬ ‫الع‬
‫ُ‬ ‫ة‬‫ِ‬ ‫َ‬ ‫ي‬ ‫ِ‬ ‫ل‬ ‫العا‬ ‫ِ‬
‫ة‬ ‫درس‬ ‫الم‬ ‫َ‬
‫الح‬
‫َ ُ‬ ‫ص‬ ‫العمومية‬ ‫العالية‬ ‫المدرسة‬ ‫الثة‪،‬‬ ‫َ‬ ‫ث‬ ‫الحكومية‬ ‫العمومية‬
‫الجام َع ِة‬
‫ِ‬ ‫الدكْتُ َوراة في‬‫وح ٌة ِلنَيْ ِل ُّ‬ ‫بم ِدينَة ماالنج)‪ .‬أ ُ ْط ُر َ‬ ‫الِدين‪َ ،‬‬ ‫ِّ ّـ‬
‫اإلسالمية الحكومية "سونان أمبيل" سورابايا‪ .‬االِ ْش َراف‪)1( :‬‬
‫أ‪.‬د‪ .‬الحاج إمام بَ َاوا ِني‪ ،‬الماجِ ْس ِتير‪ )2( ،‬أ‪.‬د‪ .‬الحاج ُم َهيْ ِمن‪،‬‬
‫‪.‬الماجستير‬

‫ين‬ ‫ث في تَن ْ ِميَ ِة التَ ْربِيَ ِة ال ِديْ ِنيّ َ ِة اإلسالميّ ِة لِتَك ِْو ِ‬ ‫ح ُ‬ ‫يرتك ُز هذا البَ ْ‬ ‫ِ‬
‫ث الن ّ ََظ ِريّ َ َة‬ ‫ح ُ‬ ‫خ ِد ُم هذا البَ ْ‬ ‫س ويَ ْستَ ْ‬ ‫دار ِ‪.‬‬ ‫الم ِ‬‫َ‬ ‫الثَّقا َف ِة ال ِدينيّ ِة في بِيْئَ ِ‬
‫ات‬
‫أنواع القَضايا‬ ‫ِ‬ ‫راز ِد ِ‬
‫راسة‬ ‫الج ْو ِديّ َ َة مع ِط ِ‬ ‫‪َ .‬‬
‫البحث على أنّه ال تَكْفي لتَنْمية التربية الدينية‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫وتَ ُد ُّل نتيج ُة‬
‫يادة ساعات‬ ‫ِ‬ ‫وز َ‬ ‫ِ‬ ‫صول‬
‫اإلسالمية تَنْميَ ُة التّ َْعليم والتعل ّم في الفُ ِ‬ ‫ُ‬ ‫ِ‬
‫الم ْس ُؤلِيُّون ثَقا َف ًة‬ ‫َ‬ ‫نِميها ويجعلها‬ ‫أن يُ ِّ ّـ‬ ‫ْ‬ ‫حاضرات‪ ،‬ول ِك ْن كيف‬ ‫الم َ‬ ‫ُ‬
‫والد ْو ِر‬
‫َ‬ ‫الس ْعي‬ ‫َ‬ ‫ِ‬
‫ة‬ ‫ي‬ ‫ق‬ ‫ِ‬ ‫ر‬
‫ْ‬ ‫َ‬ ‫ت‬ ‫مع‬ ‫لهم‬ ‫طوات‬ ‫خ‬ ‫ُ‬ ‫ال‬ ‫ي‬ ‫َ‬ ‫ّ‬ ‫يجِ‬ ‫ِ‬
‫ت‬ ‫را‬ ‫ت‬ ‫ِ‬ ‫كاس‬‫ْ‬ ‫ذا‬ ‫وه‬
‫َ‬ ‫‪.‬‬ ‫ِ‬
‫رسة‬ ‫لم ْد‬‫لِ َ‬
‫ين‬ ‫جتَع المدارس في تَك ِْو ِ‬ ‫عي ِمن ُم ْ‬ ‫الو ْ‬‫وجود َ‬ ‫ُ‬ ‫وجانب ذالك‬ ‫َ‬ ‫ياسة‪،‬‬ ‫الر َ‬ ‫في ِ‬
‫دارس‬ ‫ِ‬ ‫الم ِ‬‫َ‬ ‫ات‬ ‫ِ‬ ‫َ‬ ‫ئ‬ ‫ْ‬ ‫ِي‬ ‫ب‬ ‫في‬ ‫ة‬‫ِ‬ ‫ّ‬ ‫يني‬ ‫ِ‬
‫د‬ ‫ال‬ ‫ِ‬
‫ة‬ ‫ف‬
‫َ‬ ‫قا‬ ‫َ‬ ‫ّ‬ ‫ث‬ ‫ال‬ ‫‪.‬‬
‫دار ِس تعطي أثرا ً في تَر ِقيَة ُر ِ‬
‫وحية‬ ‫الم ِ‬ ‫َ‬ ‫الثَّقافَة ال ِدينيّة في‬
‫طلب العلم‬ ‫سامح‪ ،‬والطاعة‪ ،‬والجِ ّد في‬ ‫ُ‬ ‫الطالب‪ِ ،‬ص ِ‬
‫ِ‬ ‫خوة‪ ،‬والتَ ُ‬ ‫لة األ ّ‬
‫‪.‬واإلبتكار‬
‫ُ‬
‫اس ِترا ِتيجِ يَّا‬ ‫اس ِترا ِتيجِ يَّان‪ْ :‬‬ ‫جري لتكوين الثَّقافَة ال ِدينيّة فيها ْ‬ ‫وأ َ‬
‫التص ِميم اإلرشادي‬ ‫ْ‬ ‫واس ِترا ِتيجِ يَّا )‪(instructive sequential strategy‬‬ ‫ْ‬
‫التص ِميم البِنائي‬ ‫ْ‬ ‫‪(constructive‬‬ ‫‪sequential‬‬ ‫‪strategy).‬‬ ‫ي‬ ‫ع‬
‫َ ْ ُ‬ ‫الس‬ ‫هو‬ ‫األول‬
‫اإلرشا ِد‬ ‫ْ‬ ‫أو‬ ‫األمر‬
‫ِ‬ ‫ه‬ ‫ِ‬
‫ف‬ ‫ص‬ ‫ِو‬
‫َْ ِ َ ْ‬ ‫ب‬ ‫و‬ ‫م‬ ‫ي‬ ‫ظ‬‫ِ‬ ‫ن‬ ‫ت‬ ‫ال‬ ‫ِ‬
‫ء‬ ‫و‬
‫َ ْ‬‫ض‬ ‫على‬ ‫ة‬ ‫ّ‬ ‫يني‬ ‫ِ‬
‫د‬ ‫ال‬ ‫َة‬ ‫ف‬ ‫كوين الثَّقا‬ ‫ِ‬ ‫في تَ‬
‫الم ْرتَ ِك ُز على‬ ‫ُ‬ ‫تكوينها‬ ‫في‬ ‫ي‬ ‫ع‬
‫َ ْ ُ‬ ‫الس‬ ‫هو‬ ‫ي‬ ‫ِ‬
‫ن‬ ‫والثا‬ ‫‪.‬‬ ‫ى‬ ‫ن‬
‫َْ‬ ‫األد‬ ‫إلى‬ ‫لى‬ ‫األع‬
‫ْ‬ ‫ِمن‬
‫خ ِص ّي‬ ‫َ ْ‬‫الش‬ ‫ي‬ ‫ع‬
‫َ ْ‬ ‫الو‬ ‫ة‬‫ِ‬ ‫ي‬ ‫م‬
‫َ ّ َّ‬ ‫ِ‬ ‫ه‬ ‫َ‬ ‫أ‬ ‫‪(self‬‬ ‫)‪awareness‬‬ ‫جود‬
‫ُ ُ‬ ‫و‬ ‫هما‬ ‫ْ‬ ‫ن‬ ‫م‬‫ِ‬ ‫م‬ ‫را‬
‫ّ ُ ُ‬ ‫ي‬ ‫حتى‬
‫تكوين الثَّقافَة‬ ‫ُ‬ ‫بها‬ ‫ن‬ ‫ُ ُ‬ ‫ك‬ ‫ِ‬ ‫م‬ ‫ي‬ ‫التي‬ ‫الدينية‬ ‫ِ‬
‫نات‬ ‫ر‬ ‫َم‬
‫ّ َ ُّ‬ ‫ت‬ ‫وال‬ ‫ْعال‬
‫ِ‬ ‫ف‬ ‫واأل‬ ‫الموا ِق ِف‬ ‫َ‬
‫‪.‬ال ِدينيّة في المدارس‬
‫الس ْع ِي في تَن ْ ِميَ ِة تَ ْرب ِ‬
‫ِية‬ ‫َ‬ ‫مجتمع المدارس في‬ ‫ِ‬ ‫وتَ ْشجِ يْ ُ‬
‫عات‬
‫رئيس‬ ‫ِ‬ ‫كوين الثَّقافَة ال ِدينيّة‪ ،‬مايلي‪ُ :‬م ْؤتَ َم ُن‬ ‫ِ‬ ‫ت‬
‫ْ ِ َ‬ ‫ل‬ ‫ج‬ ‫َ‬ ‫أل‬ ‫اإلسالمية‬ ‫الدينية‬
‫ين‪.‬‬ ‫َ َِ َ‬ ‫ر‬ ‫آخ‬ ‫ذ‬ ‫وأساتي‬ ‫‪.‬‬ ‫هم‬ ‫ء‬‫ِ‬ ‫وأوليا‬ ‫‪،‬‬ ‫والطالب‬
‫ِ‬ ‫الدينية‪،‬‬ ‫العلوم‬ ‫ِ‬
‫ذ‬ ‫وأساتي‬ ‫ة‬ ‫ِ‬ ‫المدرس‬

‫‪xii‬‬
‫َجاح‬‫تاح الن ّ ِ‬ ‫كمفْ ِ‬ ‫مجتمع المدارس وأوليا ِء الطالب ِ‬ ‫ِ‬ ‫بين‬
‫َ‬ ‫عاو ِني ُة ان ْ ِسجاما ً‬
‫التَ ُ‬
‫تكوين الثَّقافَة ال ِدينيّة‬ ‫ِ‬ ‫‪.‬في‬
‫ج ِة‬ ‫مية لِن َ ِتيْ َ‬ ‫هذالبحث ِم َن النَتا ِئ ِج‪ُ ،‬ت َع ُّد ِمن التَن ْ ِ‬ ‫ِ‬ ‫وما يُ ْد َر ُك في‬
‫لم َهيْ ِمن وأعضائه‬ ‫ْ ُُ ُ‬ ‫ه‬ ‫راء‬ ‫اج‬ ‫ِق‬
‫ِ‬ ‫ب‬ ‫السا‬ ‫ث‬ ‫ِ‬ ‫ح‬
‫َ ْ‬ ‫الب‬ ‫‪(Muhaimin,‬‬ ‫)‪dkk‬‬ ‫نوان‬
‫ع ِ‬ ‫في ُ‬
‫ث يُ ْعطي أيضا‬ ‫البح ُ‬ ‫ْ‬ ‫العام ِة‪ .‬وهذا‬ ‫َّ‬ ‫تكوين البِيْئَ ِة الدينية في المدرسة‬ ‫ِ‬
‫لالس ِترا ِتيجِ يَّين لـِ‪ :‬ندراها‬ ‫ْ‬ ‫ة‬
‫ً‬ ‫ِي‬
‫ب‬ ‫جا‬ ‫إي‬
‫َ َْ ً ْ‬ ‫ة‬ ‫ر‬‫ب‬ ‫ن‬ ‫)‪(Ndraha‬‬ ‫ط‬ ‫ط‬‫ُ َ َّ‬‫خ‬ ‫الم‬ ‫راز‬
‫ِ‬ ‫ِ‬
‫الط‬ ‫في‬
‫الصل َِة‬‫ِ‬ ‫واع‬
‫الطرا َزيْ ِن من أن ْ ِ‬ ‫ِ‬ ‫هذين‬
‫ِ‬ ‫والع َرض‪ .‬ورأى ندراها استخدا َم‬ ‫َ‬
‫خ َّطط‪،‬‬ ‫الم‬
‫ُ ُ َ‬ ‫ز‬ ‫را‬ ‫ِ‬
‫الط‬ ‫فكان‬ ‫الطالب‬ ‫المستمرة‪ ُ .‬بمعنى أنّه كُلَّما ا ْز َ ُ ْ ُ‬
‫ر‬ ‫م‬‫ع‬ ‫داد‬
‫خ ِص‬ ‫الش ْ‬‫َ‬ ‫دور الرئيس في الوقت‪ ،‬ينقص ويُ ْستَ َم ُّر بفعالي ِة‬ ‫ُ‬ ‫أو بعبار ٍة أخرى‬
‫أن االستراتجي َة هذه‬ ‫على‬ ‫ِ‬
‫البحث‬ ‫هذا‬ ‫ة‬ ‫نتيج‬ ‫ل‬ ‫د‬ ‫ت‬ ‫و‬ ‫ِ‬
‫ة‬ ‫و‬ ‫ِ ُ‬
‫ّ‬ ‫ُ‬ ‫َُّ‬ ‫‪.‬‬ ‫نحو األ ْ َ‬
‫س‬ ‫على‬
‫مجتمع‬
‫ِ‬ ‫يع‬‫ِ‬ ‫جِ‬ ‫ش‬‫َْ‬ ‫ت‬ ‫و‬ ‫ة‬‫ِ‬ ‫ياس‬
‫ِ َ‬ ‫الر‬ ‫ن‬ ‫م‬
‫ُ ََ ِ‬ ‫ت‬ ‫ؤ‬ ‫م‬ ‫من‬ ‫ت‬
‫َ ْ‬‫ظهر‬ ‫ة‬
‫يُرا ُم ْ َ ْ ِ َ ّ ً‬
‫ال‬‫فع‬ ‫ي‬ ‫ر‬ ‫ج‬ ‫ت‬ ‫أن‬
‫ِ‬
‫المدارس‬ ‫ِ‬ ‫‪.‬‬

‫‪xiii‬‬
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL.................................................................. ii
UCAPAN TERIMA KASIH....................................................... v
ABSTRAK ................................................................................ viii
DAFTAR ISI ............................................................................. xiv

BAB I : PENDAHULUAN..................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ...................................1
B. Fokus dan tujuan penelitian ...................................5
C. Manfaat Penelitian ...................................6
BAB II : KAJIAN PUSTAKA ................................................. 7
A. Urgensi Pengembangan PAI di sekolah umum.............. 7
B. Budaya Religius sekolah............................................... 8
C. Strategi dalam mewujudkan budaya religius ................ 11
BAB III METODE PENELITIAN ............................................ 17
BAB IV TEMUAN PENELITIAN............................................ 20
A. Pembudayaan nilai-nilai religius di sekolah.................. 20
B. Strategi Pengembangan Pembelajaran PAI dalam
mewujudkan budaya religius sekolah............................ 23
C. Proses pewujudan budaya religius................................. 30
D. Dukungan warga sekolah terhadap pengembangan PAI
dalam mewujudkan budaya relihius sekolah................. 34
BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI TEORITIK............ 38
A. Kesimpulan................................................................... 38
B. Implikasi Teoritis........................................................... 40
DAFTAR PUSTAKA................................................................. 41
DAFTAR RIWAYAT HIDUP..................................................... 43

xiv
xv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Penelitian ini berangkat dari sebuah keprihatinan dan
sekaligus harapan. Mengapa berbagai persoalan seputar
pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah masih belum
terselesaikan dengan baik, dan hanya sebagian kecil sekolah yang
mampu melakukan pengembangan dengan melakukan berbagai
inovasi. Salah satu bentuk pengembangannya adalah dengan
mewujudkan budaya religius di sekolah. Pewujudan budaya
religius dipahami sebagai langkah strategis dalam upaya
mewujudkan tujuan pendidikan nasional dan tujuan pendidikan
Agama Islam di sekolah.
Sebagaimana yang dinyatakan Watik,1 bahwa sumber daya
manusia yang berkualitas menyangkut tiga dimensi, yaitu: (1)
dimensi ekonomi, (2) dimensi budaya, dan (3) dimensi spiritual
(iman dan taqwa). Upaya pengembangan kualitas sumber daya
manusia melalui pendidikan juga perlu mengacu pada
pengembangan nilai tambah pada ketiga dimensi tersebut.
Bentuk pengembangannya dapat dilakukan melalui proses-
proses sebagai (1) pembudayaan, (2) pembinaan iman dan taqwa,
dan (3) pembinaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Proses
pembudayaan ialah proses transformasi nilai-nilai budaya yang
menyangkut nilai-nilai etis, estetis, dan nilai budaya, serta
wawasan kebangsaan dalam rangka terbinanya manusia berbudaya.

1
Ahmad Watik Pratiknya, Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum
dalam Fuaduddin & Cik Hasan Bisri (Eds), Dinamika Pengembangan
Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum. (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1999), 87.

xvi
Namun demikian, urgensi nilai yang cukup mendapat posisi
strategis dalam konsep pendidikan nasional pada kenyataannya
tidak berperan secara riil dalam kepribadian peserta didik di
Indonesia. Kesenjangan ini diduga akibat dari beberapa faktor
seperti: (1) buku teks atau buku pelajaran (bahan ajar) yang
digunakan kurang mengarah pada integrasi keilmuan antara sains
dan agama, (2) penerapan strategi belajar-mengajar yang belum
maksimal dan belum relevan dengan tuntutan kurikulum karena
keterbatasan kemampuan pendidik, dan (3) lingkungan belajar
(hidden curricullum) belum kondusif bagi berlangsungnya suatu
proses pembelajaran.2
Konsekuensi dari ketiga faktor tersebut adalah internalisasi
nilai (domain afektif) belum mampu menghujam ke dalam diri
(kepribadian) peserta didik secara utuh. Selama ini proses
pembelajaran di sekolah pada umumnya belum mampu
mengintegrasikan antara berbagai konsep atau teori keilmuan sains
dan dimensi nilai agama, dan begitu sebaliknya.
Kenyataan di lapangan pendidikan, aspek ideal itu (integrasi
keilmuan) belum dominan terlihat, sehingga sistem pendidikan
nasional terkesan menganut sistem bebas nilai. Pendidikan nasional
cenderung berwajah sekularistik, seolah-olah tidak ada kaitan
antara konsep keilmuan tertentu dengan nilai-nilai religius yang
sejatinya dimunculkan dalam setiap disiplin ilmu.3
Kekurangkeberhasilan pendidikan agama di sekolah secara
khusus dan di masyarakat secara umum adalah masih lebarnya
jurang pemisah antara pemahaman agama masyarakat dengan
perilaku religius yang diharapkan. Indikator yang sangat nyata

2
Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, (Bandung: PT. Raja
Grafindo Persada, 2005), 195.
3
Muhibuddin Hanafiah, Arah Baru Pendidikan Islam, Republika, (15
Juni 2007), 4

xvii
adalah semakin meningkatnya para pelajar yang terlibat dalam
tindakan pidana, seperti tawuran, penggunaan narkoba, pencurian,
pemerkosaan, pergaulan bebas dan sebagainya. Bahkan Humas
Polda Metro Jaya menyebutkan bahwa tahun 2003-2004 terjadi
tawuran antar pelajar sebanyak 19 orang pelajar SLTP dan 100
orang pelajar SLTA dengan korban luka ringan sebanyak 38 orang,
luka berat 3 orang dan tewas 2 orang 4. Jika realitas ini dibiarkan
seperti apa adanya, maka bukan mustahil jika frekuensi tawuran
dan tindakan pidana yang dilakukan para pelajar terus meningkat
dalam setiap tahunnya.5
Kenyataan ini sudah cukup untuk mendorong pakar dan
praktisi pendidikan melakukan kajian sistematik untuk membenahi
atau memperbaiki sistem pendidikan nasional yang saat ini sedang
terpuruk6. Upaya internalisasi dan perwujudan nilai-nilai
keagamaan dalam diri peserta didik perlu dilakukan secara serius
dan terus-menerus melalui suatu program yang terencana. Upaya
tersebut dalam kontek lembaga pendidikan tidak semata-mata
menjadi tugas guru Pendidikan Agama Islam (PAI) atau guru PPKn
saja tetapi menjadi tugas dan tanggung jawab bersama, terutama
kepala sekolah bagaimana dapat membangun kultur sekolah yang
kondusif melalui penciptaan budaya religius di sekolah. Salah satu
upaya yang dapat dijadikan alternatif pendukung akan keberhasilan
pendidikan agama khususnya di sekolah adalah pengembangan
Pendidikan Agama Islam dalam berbagai bentuk kegiatan, baik
kurikuler, ko-kurikuler maupun ekstrakurikuler yang satu sama lain
saling terintegrasi sehingga mendorong terwujudnya budaya
religius sekolah.
4
Ibid.
5
Endin Mujahidin, Pesantren Kilat Alternatif Pendidikan Agama di Luar
Sekolah, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2005), 7.
6
Brighthouse, J.  & Woods, D.  How to Improve Your School.  (New York:
Routledge, 1999)

xviii
Berdasarkan pengamatan atau observasi peneliti, terdapat
sejumlah sekolah di kota Malang yang telah mengembangkan
Pendidikan Agama Islam dalam mewujudkan budaya religius
sekolah, di antaranya; SMAN 1, SMAN 3, SMAN 4, SMA
Shalahuddin dan SMA Muhammadiyah 1 Malang. Adapun budaya
religius itu tercermin antara lain : (1) toleransi beragama, (2) saling
memberi salam, (3) maraknya kegiatan keagamaan, (4) lingkungan
yang bersih dan tertib, (5) disiplin, (6) sopan santun. Hal ini
sebagaimana diungkap dalam penelitian Muhaimin, 7 bahwa
beberapa SMA di Malang telah menciptakan suasana religius
dengan berbagai macam cara, antara lain: dengan acara keagamaan
yang terprogram, kebijakan pimpinan terhadap penciptaan budaya
religius dan pemondokan santri kilat.
Dalam penelitian ini, dipilih tiga sekolah sebagai lokasi
penelitian, yaitu: SMAN 1, SMAN 3 dan SMA Shalahuddin.
Pemilihan lokasi ini didasarkan pada perbedaan karakteristik pada
ketiga lembaga tersebut. Berdasarkan hasil pengamatan peneliti
SMAN 1 dan 3 memiliki karakteristik yang hampir sama, karena
keduanya merupakan SMA Negeri yang tempatnya sangat strategis
dan berdekatan dengan balai kota Malang, akan tetapi mereka
memiliki bentuk pengembangan PAI yang berbeda. Hal ini tampak
dari beberapa kegiatan yang penulis temukan di lapangan,
misalnya di SMAN 1 pengembangan PAI lebih banyak dipengaruhi
oleh kebijakan pimpinannya, hal ini dapat dilihat melalui (1)
banyaknya peraturan yang diterapkan di sekolah, (2) kegiatan
keagamaan yang rutin dilakukan oleh guru. Sedangkan di SMAN 3
kesadaran gurunya lebih menonjol dari kebijakan pimpinan.
Sedangkan SMA Shalahuddin Malang, termasuk sekolah
swasta yang favorit sejak tahun 1985-an, jauh sebelum munculnya
7
Muhamin, Paradigma Pendidikan Islam,(Bandung: Rosda Karya,
1999),74.

xix
sekolah-sekolah favorit bermunculan pada 15 tahun terakhir.
Berdasarkan hasil pengamatan peneliti sekolah ini juga melakukan
pengembangan PAI dalam mewujudkan budaya religius, seperti
tampak dalam berbagai kegiatan keagamaannya, misalnya
istighasah, shalat berjamaan dan lain-lain.
Upaya pengembangan PAI dalam mewujudkan budaya
religius sekolah tentu tidak mudah, karena perlu usaha yang
sungguh-sungguh dan dukungan semua pihak, khususnya pimpinan
sekolah. Pengembangan PAI di SMAN 1, SMAN 3 dan SMA
Salahuddin Kota Malang dalam mewujudkan budaya religius
sekolah menarik untuk dikaji lebih mendalam, dan diharapkan
dapat dihasilkan strategi pengembangan PAI dalam mewujudkan
budaya religius sekolah.

B. Fokus dan Tujuan Penelitian


Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka fokus
penelitian ini adalah:(1) Bagaimana pengembangan PAI dalam
mewujudkan budaya religius sekolah di SMAN 1, SMAN 3 dan
SMA Salahuddin Kota Malang?, meliputi; pengembangan PAI
yang dilakukan di tiga lembaga tersebut; wujud budaya religius;
strategi pengembangan pembelajaran PAI dalam mewujudkan
budaya religius dan dukungan warga sekolah terhadap
pengembangan PAI dalam mewujudkan budaya religius sekolah,
serta (2) alasan-alasan yang mendasari pengembangan PAI dalam
mewujudkan budaya religius di tida lembaga tersebut.
Berdasarkan fokus masalah di atas, maka tujuan penelitian ini
adalah Pertama, menghasilkan pemahaman tentang pengembangan
PAI dalam mewujudkan budaya religius, meliputi; bentuk
pengembangan, wujud budaya religius, strategi pengembangan
pembelajaran PAI dalam mewujudkan budaya religius sekolah, dan

xx
dukungan warga sekolah. Kedua, menghasilkan pemahaman alasan
pengembangan PAI dalam mewujudkan budaya religius.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat baik secara teoritis
maupun praktis. Adapun secara teoritis, penelitian ini diharapkan
dapat membangun teori budaya, terutama strategi mewujudkan
budaya religius di sekolah sebagai wujud pengembangan PAI di
sekolah.
Kajian ini, juga bermanfaat bagi praktisi pendidikan.
Disamping memberikan informasi ilmiah, juga dapat memberikan
pemahaman tentang pentingnya kesadaran dan komitmen setiap
warga sekolah dalam mewujudkan budaya religius di sekolah,
karena implikasinya sangat besar terutama dalam proses
pembentukan pribadi agar memiliki integritas moral yang baik.

xxi
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Urgensi Pengembangan PAI di Sekolah Umum.


Berbagai hasil penelitian tentang problematika PAI di sekolah
selama ini, ditemukan salah satu faktornya adalah karena
pelaksanaan pendidikan agama cenderung lebih banyak digarap
dari sisi-sisi pengajaran atau didaktik-metodiknya. Guru-guru PAI
sering kali hanya diajak membicarakan persoalan proses belajar
mengajar, sehingga tenggelam dalam persoalan teknis-mekanis
semata. Sementara itu persoalan yang lebih mendasar yaitu yang
berhubungan dengan aspek pedagogisnya, kurang banyak
disentuh. Padahal, fungsi utama pendidikan agama di sekolah
adalah memberikan landasan yang mampu menggugah kesadaran
dan mendorong peserta didik melakukan perbuatan yang
mendukung pembentukan pribadi beragama yang kuat.8
Berbagai problem tersebut muncul tentunya tidak terlepas dari
kebijakan yang berkaitan pelaksanaan Pendidikan Agama (baca:
Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum), baik yang berupa
kebijakan ekternal yang berasal dari pemerintah maupun kebijakan
internal (institusional) sebagai bentuk operasionalisasi Pendidikan
Agama Islam di Sekolah Umum. Berbagai kebijakan yang ada
tidak akan terlaksana dengan baik bila tidak dikemas dalam sistem
pembelajaran yang efektif dan efisien. Tugas ini harus diemban
oleh seluruh lapisan masyarakat terutama para pelaksana
pendidikan yang bersentuhan langsung dengan sistem pendidikan.
Fenomena di atas nampaknya sudah mulai disadari oleh para
pelaksana pendidikan di Sekolah Umum. Keterbatasan alokasi
waktu untuk Mata Pelajaran PAI harus diperkaya dengan berbagai
8
Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, (Bandung: Raja
Grafindo Persada, 2005), 195.

xxii
strategi baik dalam kebijakan maupun dalam proses
pembelajarannya. Keberadaan PAI tidak hanya dipandang sebagai
salah satu Mata Pelajaran yang berdiri sendiri, tetapi lebih dari itu
keberadaanya terkait dengan mata pelajaran lainnya. Dengan
demikian, porsi untuk Mata Pelajaran PAI bisa lebih memadai
dengan kebijakan tersebut.
Sementara itu, menurut Malik Fajar, untuk memecahkan
masalah-masalah yang dihadapi oleh dunia pendidikan
sebagaimana digambarkan di atas, maka perlu digunakan dua
konsep pendekatan, yaitu: (1). Macrocosmis (tinjauan makro)
yakni pendidikan dianalisis dalam hubungannya dengan kerangka
sosial yang lebih luas. (2). Microcosmis (tinjauan mikro), yakni
pendidikan yang dianalisis sebagai satu kesatuan unit yang hidup
dimana terdapat interaksi di dalam dirinya sendiri. 9

B. Budaya Religius Sekolah.


Dari sekian banyak nilai yang terkandung dalam sumber
ajaran Islam, nilai yang fundamental adalah nilai tauhid. Ismail
Raji al-Faruqi, menformulasikan bahwa kerangka Islam berarti
memuat teori-teori, metode, prinsip dan tujuan tunduk pada esensi
Islam yaitu Tauhid.10 Dengan demikian, Pendidikan Agama Islam
dalam penyelenggarannya harus mengacu pada nilai fundamental
tersebut.
Nilai tersebut memberikan arah dan tujuan dalam proses
pendidikan dan memberikan motivasi dalam aktivitas pendidikan.

9
Malik Fadjar, Visi Pendidikan Islam, (Jakarta Pusat: Lembaga
Pengembangan Pendidikan dan Penyusunan Naskah Indonesia (LP3NI),
1998), 31.
10
Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of knowledge: General Principles
and Workplan, (Washington DC., International institute of Islamic
Thoungt, 1982) 34-36

xxiii
11
konsepsi tujuan pendidikan yang mendasarkan pada nilai Tauhid
menurut an-Nahlawi disebut ”ahdaf al-rabbani”, yakni tujuan
yang bersifat ketuhanan yang seharunya menjadi dasar dalam
kerangka berfikir, bertindak dan pandangan hidup dalam sistem
dan aktivitas pendidikan.
Berkaitan dengan hal tersebut, budaya religius sekolah
merupakan cara berfikir dan cara bertindak warga sekolah yang
didasarkan atas nilai-nilai religius (keberagamaan). Religius
menurut Islam adalah menjalankan ajaran agama secara
menyeluruh. Allah berfiman dalam al-Qur’a>n surat al Baqarah
ayat 208:
$yg•ƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=äz÷Š$# ’Îû ÉOù=Åb¡9$# Zp©ù!$Ÿ2
Ÿwur (#qãèÎ6®Ks? ÅVºuqäÜäz Ç`»sÜø‹¤±9$# 4 ¼çm¯RÎ) öNà6s9 Ar߉tã ×ûüÎ7•B ÇËÉÑÈ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam
Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah
syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.12
Menurut Glock & Stark (1966) dalam Muhaimin, ada lima
macam dimensi keberagamaan, yaitu: (a) Dimensi keyakinan yang
berisi pengharapan-pengharapan dimana orang religius berpegang
teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui keberadaan
doktrin tersebut. (b) Dimensi praktik agama yang mencakup
perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang
untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. (c)
Dimensi pengalaman. Dimensi ini berisikan dan memperhatikan
fakta bahwa semua agama mengandung pengharapan-pengharapan
tertentu. (d) Dimensi pengetahuan agama yang mengacu kepada
harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki
sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan,
ritus-ritus, kitab suci dan tradisi. (e) Dimensi pengamalan atau
11
J.S. Brubacher, Modern Philoshophy of Education (Tata Mc. Graw
Hill, Publishing, Co. Ltd., New Delhi, Edisi ke-4) : 96
12
al-Qur’a>n, 2 (al-Baqarah): 208.

xxiv
konsekuensi. Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat
keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan
seseorang dari hari ke hari.13
Tradisi dan perwujudan ajaran agama memiliki keterkaitan
yang erat, karena itu tradisi tidak dapat dipisahkan begitu saja dari
masyarakat/lembaga di mana ia dipertahankan, sedangkan
masyarakat juga mempunyai hubungan timbak balik, bahkan saling
mempengaruhi dengan agama. Untuk itu, menurut Mukti Ali,
agama mempengaruhi jalannya masyarakat dan pertumbuhan
masyarakat mempengaruhi pemikiran terhadap agama. Dalam
kaitan ini, Sudjatmoko juga menyatakan bahwa keberagamaan
manusia, pada saat yang bersamaan selalu disertai dengan identitas
budayanya masing-masing yang berbeda-beda.14
Dalam tataran nilai, budaya religius berupa: semangat
berkorban, semangat persaudaraan, semangat saling menolong dan
tradisi mulia lainnya. Sedangkan dalam tataran perilaku, budaya
religius berupa: berupa tradisi sholat berjamaah, gemar
bersodaqoh, rajin belajar dan perilaku yang mulia lainnya.
Dengan demikian, budaya religius sekolah pada hakikatnya
adalah terwujudnya nilai-nilai ajaran agama sebagai tradisi dalam
berperilaku dan budaya organisasi yang diikuti oleh seluruh warga
sekolah. Dengan menjadikan agama sebagai tradisi dalam sekolah
maka secara sadar maupun tidak ketika warga sekolah mengikuti
tradisi yang telah tertanam tersebut sebenarnya warga sekolah
sudah melakukan ajaran agama.
Oleh karena itu, untuk membudayakan nilai-nilai
keberagamaan (religius) dapat dilakukan dengan beberapa cara,
antara lain melalui: kebijakan pimpinan sekolah, pelaksanaan
kegiatan belajar mengajar di kelas, kegiatan ektrakurikuler di luar
13
Muhaimin, 1999. Paradigma Pendidikan Islam, 294.
14
Ibid.

xxv
kelas serta tradisi dan perilaku warga sekolah secara kontinyu dan
konsisten, sehingga tercipta religious culture tersebut dalam
lingkungan sekolah.
Saat ini, usaha penanaman nilai-nilai religius dalam rangka
mewujudkan budaya religius sekolah dihadapkan pada berbagai
tantangan baik secara internal maupun eksternal. Secara internal,
pendidikan dihadapkan pada keberagaman siswa, baik dari sisi
keyakinan beragama maupun keyakinan dalam satu agama. Lebih
dari itu, setiap siswa memiliki latar belakang kehidupan yang
berbeda-beda. Oleh karena itu, pembelajaran agama diharapkan
menerapkan prinsip-prinsip keberagaman sebagai berikut; (a)
Belajar Hidup dalam Perbedaan; (b) Membangun Saling Percaya
(Mutual Trust); (c) Memelihara Saling Pengertian (Mutual
Understanding); (d) Menjunjung Sikap Saling Menghargai
(Mutual Respect); (e) Terbuka dalam Berfikir; (f) f. Apresiasi dan
Interdepedensi; (g) g. Resolusi Konflik.

C. Strategi dalam Mewujudkan Budaya Religius di Sekolah.


1. Terbentuknya Budaya Religius di Sekolah.
Secara umum budaya dapat terbentuk secara prescriptive dan
dapat juga secara terprogram sebagai learning process atau solusi
terhadap suatu masalah. Yang pertama adalah pembentukan atau
terbentuknya budaya religius sekolah melalui penurutan, peniruan,
penganutan dan penataan suatu skenario (tradisi, perintah) dari atas
atau dari luar pelaku budaya yang bersangkutan. Pola ini disebut
pola pelakonan, modelnya sebagai berikut:

Tradisi, perintah

Skenario dari luar, dari atas


Penataan Penganutan Peniruan Penurutan

xxvi
Gambar: 1
Pola pelakonan
Yang kedua adalah pembentukan budaya secara terprogram
melalui learning process. Pola ini bermula dari dalam diri pelaku
budaya, dan suara kebenaran, keyakinan, anggapan dasar atau
kepercayaan dasar yang dipegang teguh sebagai pendirian, dan
diaktualisasikan menjadi kenyataan melalui sikap dan perilaku.
Kebenaran itu diperoleh melalui pengalaman atau pengkajian trial
and error dan pembuktiannya adalah peragaan pendiriannya
tersebut. itulah sebabnya pola aktualisasinya ini disebut pola
peragaan. Berikut ini modelnya:15
Sikap Perilaku
Raga (kenyataan)

PENDIRIAN di dalam diri pelaku budaya

Tradisi, perintah

Gambar: 2
Pola Peragaan
Budaya religius yang telah terbentuk di sekolah, beraktualisasi
ke dalam dan ke luar pelaku budaya menurut dua cara. Aktualisasi
budaya ada yang berlangsung secara covert (samar/tersembunyi)
dan ada yang overt (jelas/terang). Yang pertama adalah aktualisasi
budaya yang berbeda antara aktualisasi ke dalam dengan ke luar,
ini disebut covert yaitu seseorang yang tidak berterus terang,
berpura-pura, lain di mulut lain dihati, penuh kiasan dalam bahasa
lambing, ia diselimuti rahasia. Yang kedua adalah aktualisasi
budaya yang tidak menunjukkan perbedaan antara aktualisasi ke
dalam dengan aktualisasi ke luar, ini disebut dengan overt. Pelaku

15
Talizuhu Ndara, 2005. Teori Budaya Organisa .(Jakarta: Rineke Cipta)
24.

xxvii
overt ini selalu berterus terang dan langsung pada pokok
pembicaraan.

2. Strategi Pengembangan PAI


dalam Mewujudkan Budaya Religius Sekolah.
Menurut Tasfir, strategi yang dapat dilakukan oleh para
praktisi pendidikan untuk membentuk budaya religius sekolah,
diantaranya melalui: (1) memberikan contoh (teladan); (2)
membiasakan hal-hal yang baik; (3) menegakkan disiplin; (4)
memberikan motivasi dan dorongan; (5) memberikan hadiah
terutama psikologis; (6) menghukum (mungkin dalam rangka
kedisiplinan); (7) penciptaan suasana religius yang berpengaruh
bagi pertumbuhan anak. 16
Dengan demikian secara umum ada empat komponen yang
sangat mendukung terhadap keberhasilan strategi pengembangan
PAI dalam mewujudkan budaya religius sekolah, yaitu: pertama,
kebijakan pimpinan sekolah yang mendorong terhadap
pengembangan PAI; kedua, keberhasilan kegiatan belajar
mengajar PAI di kelas yang dilakukan oleh guru agama; ketiga,
semakin semaraknya kegiatan ekstrakurikuler bidang agama yang
dilakukan oleh pengurus OSIS khususnya Seksi Agama; dan
keempat, dukungan warga sekolah terhadap keberhasilan
pengembangan PAI.
Sedangkan strategi dalam mewujudkan budaya religius di
sekolah, meminjam teori Koentjaraningrat tentang wujud
kebudayaan, meniscayakan upaya pengembangan dalam tiga
tataran, yaitu tataran nilai yang dianut, tataran praktik keseharian,
dan tataran simbol-simbol budaya. 17

16
Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, ( Bandung:
Remaja; Rosda Karya, 2004), 112.

xxviii
Pada tataran nilai yang dianut, perlu dirumuskan secara
bersama nilai-nilai agama yang disepakati dan perlu dikembangkan
di sekolah, untuk selanjutnya membangun komitmen dan loyalitas
bersama di antara semua warga sekoloh terhadap nilai yang telah
disekapakati. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Hicman dan
Silva18 bahwa terdapat tiga langkah untuk mewujudkan budaya,
yaitu: commitment, competence dan consistency. Sedangkan nilai-
nilai yang disepakati tersebut bersifat vertikal dan horizontal. Yang
vertikal berwujud hubungan manusia atau warga sekolah dengan
Allah dan yang horizontal berwujud hubungan manusia dengan
warga sekolah dengan sesamanya dan hubungan mereka dengan
alam sekitar.
Dalam tataran praktik keseharian, nilai-nilai keagamaan yang
telah disepakati tersebut diwujudkan dalam bentuk sikap dan
perilaku keseharian oleh semua warga sekolah. Proses
pengembangan tersebut dapat dilakukan melalui tiga tahap, yaitu:
pertama, sosialisasi nilai-nilai agama yang disepakati sebagai sikap
dan perilaku ideal yang ingin dicapai pada masa mendatang di
sekolah. Kedua, penetapan action plan mingguan atau bulanan
sebagai tahapan dan langkah sistematis yang akan dilakukan oleh
semua pihak di sekolah dalam mewujudkan nilai-nilai agama yang
telah disepakati tersebut. Ketiga, pemberian penghargaan terhadap
prestasi warga sekolah, seperti guru, tenaga kependidikan dan/atau
peserta didik sebagai usaha pembiasaan (habit formation) yang
menjunjung sikap dan perilaku yang komitmen dan loyal terhadap
ajaran dan nilai-nilai agama yang disepakati. Penghargaan tidak

17
Koentjaranindrat, ”Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan” dalam
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2006), 157.
18
Hickman dan Silva () (dalam Purwanto, Budaya Perusahaan,
(Yogyakarta Pustaka Pelajar: 1984), 67.

xxix
selalu berarti materi (ekonomik), melainkan juga dalam arti sosial,
kultural, psikologik ataupun lainnya.
Dalam tataran simbol-simbol budaya, pengembangan yang
perlu dilakukan adalah mengganti simbol-simbol budaya yang
kurang sejalan dengan ajaran dan nilai-nilai agama dengan simbol-
simbol budaya yang agamis. Perubahan simbol dapat dilakukan
dengan mengubah berpakaian dengan prinsip menutup aurat,
pemasangan hasil karya peserta didik, foto-foto dan motto yang
mengandung pesan-pesan dan nilai–nilai keagamaan dan lainnya.
Adapun strategi untuk membudayakan nilai-nilai agama di
sekolah dapat dilakukan melalui: (1) power strategi, yakni strategi
pembudayaan agama di sekolah dengan cara menggunakan
kekuasaan atau melalui people’s power, Dalam hal ini peran kepala
sekolah dengan segala kekuasaannya sangat dominan dalam
melakukan perubahan; (2) persuasive strategy, yang dijalankan
lewat pembentukan opini dan pandangan masyarakat atau warga
sekolah; dan (3) normative re-educative. Norma adalah aturan yang
berlaku di masyarakat. Norma termasyarakatkan lewat education
(pendidikan). Normative digandengkan dengan re-educative
(pendidikan ulang) untuk menanamkan dan mengganti paradigma
berpikir warga sekolah yang lama dengan yang baru.
Pada strategi pertama tersebut dikembangkan melalui
pendekatan perintah dan larangan atau reward dan punishment.
Allah swt memberikan contoh dalam hal Shalat agar manusia
melaksanakan setiap waktu dan setiap hari, maka diperlukan
hukuman yang sifatnya mendidik, hal ini sebagaimana sabda
Rasulullah saw.
‫عل َيْ َها‬ ْ ‫اء َسبْ ِع ِس ِنيْ َن َو‬
َ ‫اض ِربُ ْو ُه ْم‬ ُ َ ‫ِالصال َ ِة َو ُه ْم اَبْن‬
َّ ‫ب‬ ‫ُم ُر ْوا ا َ ْوال ََدك ُْم‬
)‫في ال َْم َضاجِ ِع (رواه احمد‬ ِ ‫ع ْش ٍر َوف ِ َّرق ُْوبَيْن َ ُه َما‬ ُ َ ‫اَبْن‬
َ ‫اء‬ ‫َو ُه ْم‬

HR. Ahmad, no. Hadith 6689

xxx
”Perintahkanlah kepada anak-anak kalian untuk salat ketika
umur mereka tujuh tahun, dan pukullah mereka karenanya
(tidak mau salat) ketika umur mereka sepuluh tahun, dan
pisahkanlah tempat-tempat tidur mereka”
Sedangkan pada strategi kedua dan ketiga tersebut
dikembangkan melalui pembiasaan, keteladanan dan pendekatan
persuasif atau mengajak kepada warganya dengan cara yang halus
dengan memberikan alasan dan prospek baik yang bisa
meyakinkan mereka. Sifat kegiatannya bisa berupa aksi positif dan
reaksi positif. Bisa pula berupa proaksi, yakni membuat aksi atas
inisiatif sendiri, jenis dan arah ditentukan sendiri, tetapi membaca
munculnya aksi-aksi agar dapat ikut memberi warna dan arah
perkembangan.19

19
Muhaimin, 160-167.

xxxi
BAB III
METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan paradigma naturalistik atau


biasa disebut juga dengan paradigma interpretif atau non
positivistik. Paradigma ini biasa digunakan dalam penelitian
kualitatif. Sesuai dengan fungsi ilmu pengetahuan pada
umumnya, maka penggunaan paradigma naturalistik
dimaksudkan agar dapat menjelaskan dan menerangkan apa sifat,
karakteristrik dan kaitan sebab akibat atau pengaruh
mempengaruhi tentang peristiwa dan fenomena budaya organisasi
pada sekolah yang diteliti. Di samping itu paradigma naturalistik
digunakan karena memungkinkan peneliti menemukan
pemaknaan (meaning) dan pemahaman (understanding) dari
setiap fenomena sehingga diharapkan dapat menemukan kearifan
lokal, kearifan tradisional, people knowledge (pengetahuan orang)
dan teoti-teori dari subyek yang diteliti.
Penelitian ini bertujuan mendapatkan gambaran mendalam
tentang pengembangan pembelajaran PAI dalam mewujudkan
budaya religius sekolah dengan pendekatan kualitatif dan
menggunakan rancangan studi multi kasus. Kasus yang diteliti
adalah pengembangan PAI dalam mewujudkan budaya religius
sekolah yang memiliki latar berbeda. SMAN 1 dan SMAN 3,
keduanya adalah sekolah Negeri di bawah naungan Departemen
Pendidikan Nasional, sementara SMA Salahuddin adalah sekolah
swasta yang berbasis agama yang berhaluan ahl al-Sunnah wa al-
Jama’ah yang berada di bawah naungan Yayasan Ma’arif NU.
Adapun yang membedakan antara SMAN 1 dan SMAN 3 adalah
dari sisi kepemimpinan dan sarana peribadatan di sekolah. Dari sisi
kepemimpinan SMAN I dipimpin oleh kepala sekolah yang
memiliki latar belakang pendidikan agama Islam dan memiliki

xxxii
councern terhadap pengembangan budaya agama di sekolah
sementara SMAN 3 memiliki latar belakang pendidikan umum,
tetapi suasana religius juga muncul di sekolah ini. Adapun dari
aspek sarana peribadatan, SMAN 3 Malang memiliki sarana
berupa mushalla sementara SMAN 1 Malang tidak memiliki
fasilitas tersebut, hanya menggunakan ruang-ruang seperti aula
untuk kegiatan peribadatan.
Memperhatikan keberadaan masing-masing sekolah
tersebut di atas, kasus dan karakteristik ketiganya berbeda-beda,
baik dari segi nilai-nilai budaya yang dianut maupun
penyelenggaranya, maka penelitian ini cocok untuk
menggunakan rancangan studi multi kasus (multi case study).
Penerapan rancangan studi multi kasus dimulai dari kasus
tunggal (sebagai kasus pertama) terlebih dahulu, kemudian
dilanjut pada kasus kedua dan ketiga.
Karena rancangan penelitian ini adalah studi multi kasus,
maka langkah-langkah yang akan ditempuh dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut: (1) melakukan pengumpulan data pada
kasus pertama yaitu di SMAN 1 Malang. (2) melakukan
pengamatan pada kasus kedua, yaitu, SMAN 3 Malang. (3)
penelitian dilanjutkan pada kasus ketiga yaitu SMA Salahuddin
Kota Malang.
Meskipun rancangan penelitian ini akan dilakukan secara ber-
tahap, namun dalam peristiwa-peristiwa khusus (event) pengamatan
dilakukan secara simultan. Sebagai contoh adalah pada saat
pendaftaran siswa baru, perpisahan siswa kelas XII, tes akhir
semester, kegiatan-kegiatan insidental, dan peristiwa tertentu
yang membutuhkan waktu khusus. Dalam hal ini peneliti
memanfaatkan kejadian tersebut untuk menggali data.
Berdasarkan temuan koseptual dari ketiga sekolah tersebut,
selanjutnya dilakukan analisis komparasi dan pengembangan

xxxiii
konseptual, untuk mendapat abstraksi tentang pengembangan PAI
dalam mewujudkan budaya religius sekolah dari ketiga sekolah
tersebut. Dalam hal ini dilakukan analisis termodifikasi sebagai
suatu cara mengembangkan teori dan mengujinya.20
Sejalan dengan rancangan penelitian studi multi kasus, peneli-
tian ini berusaha memahami makna peristiwa serta interaksi orang
dalam situasi tertentu. Untuk dapat memahami makna peristiwa dan
interaksi orang, digunakan orientasi teoritik atau perspektif teoritik
dengan pendekatan fenomenologis (phenomenological approach)
seperti yang telah dijelaskan di atas.

20
Ibid, 65

xxxiv
BAB V
TEMUAN PENELITIAN

A. Pembudayaan Nilai-nilai Religius di Sekolah.


Pendidikan agama Islam sarat dengan nilai-nilai, baik nilai
ilahi maupun insani. Sebagaimana rumusan tujuan PAI di sekolah
yaitu mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan
berakhlak mulia yaitu manusia yang berpengetahuan, rajin
beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin,
bertoleransi (tasamuh), menjaga keharmonisan secara personal dan
sosial serta mengembangkan budaya agama dalam komunitas
sekolah.
Nilai-nilai sebagaimana yang terdapat di tujuan tersebut harus
diinternasisasikan serta dikembangkan dalam budaya komunitas
sekolah. Dalam melakukan proses pembudayaan nilai-nilai agama
tersebut dituntut komitmen bersama diantara warga sekolah
terutama kepemimpinan kepala sekolah. Strategi pembudayaan
nilai-nilai agama di sekolah dapat dilakukan melalui tiga cara;
pertama, power strategy, yakni strategi pembudayaan agama di
sekolah dengan cara menggunakan kekuasaan atau melalui
people’s power, dalam hal ini peran kepala sekolah dengan segala
kekuasaannya sangat dominan dalam melakukan pembudayaan
yang dikembangkan melalui pendekatan perintah dan larangan atau
reward and punishment yang tertuang dalam Tata Tertib Sekolah;
kedua, persuasive strategy, yang dijalankan lewat pembentukan
opini dan pandangan masyarakat atau warga sekolah; dan ketiga,
normative re-educative. Norma adalah aturan yang berlaku di
masyarakat. Norma termasyarakatkan lewat pendidikan. Normative
digandengkan dengan re-educative (pendidikan ulang) untuk
menanamkan dan mengganti paradigma berfikir masyarakat
sekolah yang lama dengan yang baru. Pada strategi kedua dan

xxxv
ketiga tersebut dikembangkan melalui pembiasaan, keteladanan,
dan pendekatan persuasif atau mengajak kepada warganya dengan
cara yang halus, dengan memberikan alasan dan prospek baik yang
bisa meyakinkan mereka.
Pembudayaan nilai-nilai agama dalam komunitas sekolah
seharusnya menjadi “core” atau inti dari kebijakan sekolah. Di
samping sebagai wujud pengembangan PAI juga dalam rangka
meningkatkan animo masyarakat terhadap sekolah. Berdasarkan
hasil penelitian sebagaimana telah diungkap di awal bahwa
lembaga pendidikan yang dapat menawarkan prestasi akademik
dan suasana religius akan memiliki daya tarik bagi masyarakat.
Sebab itu kebijakan penciptaan budaya religius seharunya menjadi
kebijakan strategis dalam meningkatkan kualitas dan daya tarik
masyarakat.
Berdasarkan hasil penelitian di tiga latar penelitian, nuansa
penciptaan suasana religius dan upaya pembudayaan nilai-nilai
tersebut terasa sekali. Berdasarkan data-data tentang pembudayaan
nilai-nilai religius di atas dapat dikemukakan hasil penelitian
bahwa pembudayaan nilai agama pada komunitas sekolah
merupakan wujud pengembangan PAI yang cukup efektif. Bahwa
agama itu penuh dengan nilai-nilai luhur dan harus diamalkan,
harus dibudayakan dalam kehidupan sehari-hari, karena itu bentuk
pengembangan PAI di sekolah melalui pembudayaan nilai-nilai
sangat penting. Bentuk-bentuk budaya religius berupa aktivitas
ritual dan hubungan sosial serta simbol-simbol sebagai manifestasi
nilai-nilai religius.

Berdasarkan temuan penelitian di tiga latar penelitian, wujud


budaya meliputi; budaya senyum, salam dan menyapa; budaya
saling hormat dan toleran; budaya puasa senin dan kamis; budaya

xxxvi
s}alat D}uha Duhur Berjama>ah , budaya tadarrus al-Qur’a>n;
budaya istighasah dan do’a bersama.
Budaya religius adalah sekumpulan nilai-nilai agama yang
melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-
simbol yang dipraktikkan oleh kepala sekolah, guru, petugas
administrasi, peserta didik, dan masyarakat sekolah. Sebab itu
budaya tidak hanya berbentuk simbolik semata sebagaimana yang
tercermin di atas, tetapi di dalamnya penuh dengan niali-nilai.
Perwujudan budaya juga tidak hanya muncul begitu saja, tetapi
melalui proses pembudayaan. Koentjoroningrat21 menyatakan
proses pembudayaan dilakukan melalui tiga tataran yaitu; Pertama,
Tataran nilai yang dianut, yakni merumuskan secara bersama nilai-
nilai agama yang disepakati dan perlu dikembangkan di sekolah,
untuk selanjutnya dibangun komitmen dan loyalitas bersama di
antara semua warga sekolah terhadap nilai-nilai yang disepakati.
Kedua, Tataran praktik keseharian, nilai-nilai keagamaan yang
telah disepakati tersebut diwujudkan dalam bentuk sikap dan
perilaku keseharian oleh semua warga sekolah. Proses
pengembangannya dilakukan melalui tiga tahap, yaitu: (1),
sosialisasi nilai-nilai agama yang disepakati sebagai sikap dan
perilaku ideal yang ingin dicapai pada masa mendatang di sekolah.
(2) penetapan action plan mingguan atau bulanan sebagai tahapan
dan langkah sistematis yang akan dilakukan oleh semua pihak di
sekolah dalam mewujudkan nilai-nilai agama yang telah disepakati
tersebut. (3) pemberian penghargaan terhadap yang berprestasi;
Ketiga, Tataran simbol-simbol budaya, yaitu mengganti simbol-
simbol budaya yang kurang sejalan dengan ajaran dan nilai-nilai
agama dengan simbol budaya yang agamis.

21
Koentjoroningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan,(
Jakarta: Gramedia, 1974), 32

xxxvii
B. Strategi Pengembangan Pembelajaran PAI dalam
Mewujudkan Budaya Religius sekolah
Berdasarkan hasil penelitian ini, pengembangan pembelajaran
PAI dalam mewujudkan budaya religius dilakukan melalui dua
jalan, Pertama, melalui kebijakan sekolah dan kedua, melalui
komitmen Pimpinan dan Warga Sekolah.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Muhaimin 22, bahwasannya
dalam upaya mengembangan PAI dalam mewujudkan budaya
religius dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain melalui:
kebijakan pimpinan sekolah, pelaksanaan kegiatan belajar
mengajar di kelas, kegiatan ektrakurikuler di luar kelas serta tradisi
dan perilaku warga sekolah secara kontinyu dan konsisten,
sehingga tercipta religius culture tersebut di lingkungan sekolah.
Berdasarkan hasil penelitian ini, berbagai kebijakan dapat
diarahkan untuk mengembangkan PAI dalam mewujudkan budaya
religius di sekolah. Baik kebijakan yang berupa program
pengembangan jam pelajaran maupun melalui penciptaan suasana
religius dan peningkatan keefektivan serta pengefisienan
pembelajaran Agama Islam baik di kelas maupun di luar kelas.
Akan tetapi karena masing-masing sekolah memiliki karakteristik
unik tersendiri maka hal itu berimplikasi terhadap bentuk
pengembangan PAI di sekolah.
Kuatnya komitmen yang ditemukan di SMAN 1 Malang,
secara sekuensial (berurutan) sebagai berikut: (a) komitmen
pimpinan, (b) komitmen siswa, (c) komitmen orangtua, dan (d)
komitmen guru.
Kuatnya komitmen pimpinan di SMAN 1 Malang dapat
dijelaskan dengan menggunakan pendekatan struktural23, yaitu
strategi pengembangan PAI dalam mewujudkan budaya religius
22
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam. (Pustaka Pelajar: Yogyakarta,
1999) hlm. 294

xxxviii
sekolah sudah menjadi komitmen dan kebijakan pimpinan sekolah,
sehingga lahirnya berbagai peraturan atau kebijakan yang
mendukung terhadap lahirnya berbagai kegiatan keagamaan di
sekolah beserta berbagai sarana dan prasarana pendukungnya
termasuk dari sisi pembiayaan. Dengan demikian pendekatan ini
lebih bersifat “top down” yakni kegiatan keagamaan yang dibuat
atas prakarsa atau instruksi dari pejabat atau pimpinan sekolah.
Hal ini karena beberapa alasan, pertama, kepala SMAN 1
Malang memiliki Latar belakang Pendidikan Agama Islam, karena
beliau merupakan lulusan dari IAIN Malang yang merupakan salah
satu Perguruan Tinggi yang berbasis Islam di Malang; kedua,
secara organisatoris kepala SMAN 1 Malang merupakan salah satu
pengurus organisasi Islam terbesar di Indonesia sekaligus
merupakan seorang juru dakwah di kota Malang; ketiga; adanya
komitmen yang besar dalam mewujudkan budaya religius sekolah.
Oleh karena itu, berdasarkan beberapa alasan di atas, maka
kepala sekolah SMAN 1 Malang lebih memiliki komitmen yang
kuat di bandingkan dengan kepala sekolah di SMAN 3 dan SMA
Shalahuddin Malang untuk mengembangkan Pendidikan Agama
Islam dalam mewujudkan budaya religius sekolah. Dengan
demikian pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
struktural, yaitu upaya pengembangan PAI dalam mewujudkan
budaya religius lebih merupakan inisiatif dari pimpinan sekolah.
Sementara Komitmen yang ditemukan di SMAN 3
Malang, secara sekuensial (berurutan), dapat ditunjukkan sebagai
berikut: (a) komitmen guru Agama, (b) komitmen pimpinan, (c)
komitmen siswa, (d) komitmen orangtua.

23
Muhaimin, Muhaimin, Abdul Ghofir, Nur Ali, 1996. Strategi Belajar-
Mengajar Penerapannya dalam Pembelajaran Pendidikan Agama.
(Surabaya: Citra Media, 1996). 305

xxxix
Di SMAN 3 Malang, guru agama memiliki komitmen yang
besar untuk mengembangkan Pendidikan Agama Islam dalam
mewujudkan budaya religius di sekolah dapat mengacu pada
”Pendekatan Mekanik” sebagaimana yang dikemukakan oleh
Muhaimin24, yaitu strategi pengembangan PAI dalam mewujudkan
budaya religius sekolah didasari oleh pemahaman bahwa
kehidupan terdiri atas berbagai aspek, dan pendidikan dipandang
sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat nilai
kehidupan, yang masing-masing bergerak dan berjalan menurut
fungsinya. Masing-masing gerak bagaikan sebuah mesin yang
terdiri atas beberapa komponen atau elemen–elemen, yang masing-
masing menjalankan fungsinya sendiri-sendiri, dan antara satu
dengan lainnya bisa saling berkonsultasi atau tidak dapat
berkonsultasi. Pendekatan mekanik ini di sekolah dapat
diwujudkan dengan meningkatkan kuantitas dan kualitas kegiatan
ekstrakurikuler bidang agama. Artinya dengan semakin
menyemarakkan berbagai kegiatan ekstrakurikuler bidang agama
di sekolah, warga sekolah khususnya para siswa tidak hanya
memahami PAI secara kurikuler di kelas saja, namun juga
diwujudkan dalam berbagai kegiatan ekstrakurikuler yang saling
terintegrasi dengan kegiatan sekolah lainnya. Dalam pendekatan
mekanik ini, pengurus OSIS khususnya bidang agama memiliki
peran penting dalam pengembangan PAI dalam mewujudkan
budaya religius sekolah.
Di SMAN 3 Malang tampak bahwa berjalannya
pengembangan PAI didasarkan pada kesungguhan pemegang
fungsi pembelajaran, yaitu: pertama, peran guru Agama yang
dalam melakukan berbagai upaya pengembangan PAI melalui
berbagai kegiatan keagamaan di sekolah; kedua, peran guru umum
dalam upaya mendukung kegiatan keagamaan di sekolah; ketiga,
24
Ibid, 306.

xl
peran OSIS dan keterlibatan orangtua siswa dalam berbagai
kegiatan keagamaan dan kegiatan ekstrakurikuler keagamaan di
sekolah. Mengacu kepada pendapat Muhaimin, maka SMAN 3
Malang cenderung menggunakan “pendekatan formal-mekanik”,
yaitu semua elemen sekolah berjalan sesuai dengan fungsinya dan
tujuannya masing-masing. Dengan demikian pendekatan ini lebih
bersifat “buttom-up” yakni kegiatan keagamaan ini muncul dari
inisiasi para guru dan para siswa.
Komitmen yang ditemukan di SMAN 3 Malang, secara
sekuensial (berurutan), dapat ditunjukkan sebagai berikut: (a)
komitmen pimpinan, (b) komitmen guru, (c) komitmen orangtua,
(d) komitmen siswa.
Di SMA Shalahuddin Malang, komitmen pimpinan dan
guru sangat kuat sekali, hal ini tidak lain disebabkan peran Yayasan
Pendidikan Shalahuddin (YAPISH) yang menginginkan sekolah
tersebut memiliki ciri khas keIslaman, karena sekolah tersebut
merupakan salah satu sekolah umum yang berbasis Islam ke-NU-
an yang memiliki visi KeIslaman berhaluan Ahl al-Sunnah wa al-
jama>’ah, sehingga program-program yang dikembangkan yang
mengacu kepada visi tersebut sangat didukung oleh para pimpinan
dan semua guru.
Hal ini dapat dijelaskan melalui teori yang dikemukakan
oleh Koentjaraningrat25 tentang perlunya perumusan secara
bersama nilai-nilai agama yang disepakati dan perlu dikembangkan
di sekolah, untuk selanjutnya membangun komitmen dan loyalitas
bersama di antara semua warga sekolah terhadap nilai yang telah
disepakati. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Hicman dan
Silva26 bahwa terdapat tiga langkah untuk mewujudkan budaya,
yaitu: commitment, competence dan consistency.
25
Koentjoro Ningrat (dalam Muhamin, Nuansa Baru Pendidikan: Raja
Grafindo Persada, 2006) 157

xli
Di SMA Shalahuddin Malang strategi pengembangan PAI
dalam mewujudkan budaya religius sekolah sudah menjadi
komitmen dan kebijakan pimpinan sekolah, sehingga lahirnya
berbagai peraturan atau kebijakan yang mendukung terhadap
lahirnya berbagai kegiatan keagamaan di sekolah beserta berbagai
sarana dan prasarana pendukungnya termasuk dari sisi
pembiayaan.
Dengan demikian pendekatan ini lebih bersifat “top
down” yakni kegiatan keagamaan yang dibuat atas prakarsa atau
instruksi dari pejabat atau pimpinan sekolah. Namun berbeda
dengan SMAN 1 Malang, karena di SMA Shalahuddin pendekatan
force (paksaan) lebih menonjol dibandingkan dengan SMAN 1
Malang, hal ini dibuktikan dengan banyaknya jenis dan bentuk
hukuman yang diberikan pimpinan kepada siswa yang melanggar.
Melalui pendekatan paksaan, dimana aturan, ancaman dan
peringatan seringkali dilakukan. Hal ini sebagaimana yang
dinyatakan Yulk27 bahwa kekuasaan memaksa diterapkan dengan
mengancam atau memberi peringatan kepada seorang target bahwa
ia akan mendapatkan konsekuensi yang tidak menyenangkan jika
tidak memenuhi permintaan, aturan atau kebijakan. Bentuk
kebijakan itu bisa ekplisit, atau hanya samar-samar dimana target
akan merasa menyesal bila gagal memenuhi apa yang diinginkan
agen. Kemungkinan kepatuhan akan sangat besar saat ancaman itu
dianggap memenuhi syarat dan target mempunyai keinginan kuat
untuk menghindari ancaman hukuman.
Di samping itu, kepala sekolah memiliki peran utama dan
besar untuk menentukan baik dan buruknya kegiatan keagamaman

26
Hickman dan Silva (dalam Purwanto, Budaya Perusahaan. Pustaka
Pelajar: Yogyakarta, 2001) 67
27
Gary Yukl, Kepemimpinan dalam Organisasi. (Jakarta: Gramedia,
2005), 180

xlii
di sekolah. Banyak sekali sanksi-sanksi yang diberlakukan di
sekolah, seperti membayar uang denda jika tidak bisa
melaksanakan salah satu kegiatan keagamaan di sekolah (membeli
karpet atau al-Qur’a>n atau hal-hal yang perlukan di sekolah).
Dari uraian di atas, dapat dijelaskan bahwa di SMAN
Shalahuddin cenderung menggunakan pendekatan coercive power
(kekuasaan paksaan) yang didasarkan atas rasa takut.28 Dengan
demikian sumber kekuasaan diperoleh dari rasa takut. Pemimpin
yang mempunyai kekuasaan jenis ini mempunyai kemampuan
untuk mengenakan hukuman, dampratan, atau pemecatan. Dalam
kehidupan manusia pada umumnya, orang mempunyai kekuasaan
ini selalu dihubungkan dengan penggunaan kekerasan fisik atau
bahkan diwujudkan dalam benturan senjata seperti misalnya
perang. Menurut David Kipnis, semua kekuasaan pada dasarnya
ada pada orang, hanya saja kekuasaan yang suka menyakiti atau
menghukum orang lain seringkali dipergunakan dan sulit
dikendalikan.
Secara skematik strategi pewujudan budaya religius sekolah
dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Gambar: 3 Instructive Sequential Strategy
Komitmen dan Kebijakan Pimpinan

Pembiasaan Keteladanan Internalisasi


Penciptaan Buda-ya
suasana religius

28
R.A. Dahl, (1989) The Concept of Power" Behavior Science\,
Newyork. Hlm. 57

xliii
Dari gambar di atas, dapat penulis jelaskan bahwa
terbentuknya budaya religius, yang lebih dominan aspek struktural
nya, mengandalkan komitmen pimpinan melalui kebijakan yang
ditetapkan oleh pimpian sekolah, untuk melakukan berbagai upaya
sistematis, melalui proses penciptaan suasana religius, internalisasi
nilai, keteladanan, pembiasaan dan pada akhirnya akan tercipta
budaya religius. Akan tetapi cara ini memiliki kelemahan apabila
komitmen pimpinan dan pengawasan tidak lagi kuat dan konsisten
dijalankan oleh sekolah. Strategi ini disebut dengan instructive
squential strategy (strategi instruktif bertahap).
Gambar: 4 Constructive Sequential Strategy
Sikap Perilaku Kebiasaan Budaya
Penciptaan suasana religius

Kesadaran diri (self awareness)

Gambar di atas, menujukkan bahwa upaya penciptaan


suasana religius tetap diupayakan dalam mewujudkan budaya
religius sekolah, akan tetapi lebih mementingkan pada aspek
pemahaman dan kesadaran yang bermula pada diri pelaku. Nilai-
nilai dan kebenaran akan berjalan sesuai dengan waktu dan
peristiwa yang terjadi. Oleh karena itu cara kedua ini memerlukan
internalisasi yang kontinyu dan konsisten, sebab para siswa akan
belajar dari pengalaman dan peristiwa yang terjadi secara acak.
Kelemahan dari cara kedua ini adalah apabila internalisasi dan
proses pemahaman tidak diupayakan secara baik, maka akan
membawa kesan yang tidak baik, sehingga proses kesadaran diri
menjadi sulit tercipta.

C. Proses Pewujudan Budaya Religius

xliv
Strategi pewujudan budaya religius yang ditemukan di tiga
lokasi penelitian, meliputi: (a) penciptaan suasana religius, (b)
internalisasi nilai, yang meliputi: pemberian pemahaman dan
nasehat, (c) keteladanan, (d) Pembiasaan, dan (e) pembudayaan.
1. Penciptaan Suasana Religius
Temuan tentang penciptaan suasana religius itu mencakup
beberapa hal seperti di bawah ini: (a) Berdoa Bersama Sebelum
Pembelajaran, kegiatan ini dilakukan setiap awal dan akhir
pembelajaran. Dengan doa bersama tersebut diharapkan para siswa
senantiasa ingat kepada Allah dan dapat memperoleh ilmu yang
bermanfaat serta ketenangan hati dan jiwa; (b) Khatm al-Qur’a>n,
kegiatan ini diadakan setiap bulan sekali agar siswa lancar dalam
membaca al-Qur’a>n; (c) s}alat Jum’at, dilakukan bergilir setiap
kelas; (d) Istighasah, merupakan kegiatan doa bersama dengan
membaca kalimah-kalimah t}ayyibah dan memohon petunjuk serta
pertolongan dari Allah. Menurut Muhaimin29 doa dipakai untuk
menciptakan suasana religius. Hal ini menunjukkan bahwa
pimpinan sekolah memiliki pemahaman bahwa untuk menjadi
orang yang pandai, pintar, berguna bagi agama, nusa dan bangsa
tidak hanya semata-mata dikarenakan ketajaman akal ketepatan,
metodologi pembelajaran dan kesungguhan hati, tetapi juga
bergantung pada kesucian hati. Doa restu para orangtua-guru, dan
upaya ritual lainnya; (e) Peringatan Hari Besar Islam (PHBI); (f)
Kegiatan Pondok Ramadhan.
Berbicara tentang penciptaan suasana religius, mengutip
pendapat Muhaimin merupakan bagian dari kehidupan religius
yang tampak dan untuk mendekati pemahaman kita tentang hal
tersebut.
Penciptaan suasana religius merupakan upaya untuk
menkondisikan suasana sekolah dengan nilai-nilai dan perilaku
29
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam. 303.

xlv
religius (keagamaan). Hal itu dapat dilakukan dengan: (i)
kepemimpinan, (ii) skenario penciptaan suasana religius, (iii)
wahana peribadatan atau tempat ibadah, (iv) dukungan warga
masyarakat.
2. Internalisasi Nilai.
Internalisasi dilakukan dengan memberikan pemahaman
tentang agama kepada para siswa, terutama tentang tanggung
jawab manusia sebagai pemimpin yang harus arif dan bijaksana,
selain itu juga mereka diharapkan memiliki pemahaman Islam
yang inklusif tidak ekstrim yang menyebabkan Islam menjadi
agama yang ekslusif.
Selanjutnya senantiasa diberikan nasehat kepada para
siswa tentang adab bertutur kata yang sopan dan bertata krama
baik terhadap orangtua, guru maupun sesama orang lain. Selain itu
proses internalisasi tidak hanya dilakukan oleh guru Agama saja,
melainkan juga semua guru, dimana mereka mengintenaliasikan
ajaran agama dengan keilmuwan yang mereka miliki seperti guru
biologi yang mengkaitkan materi tersebut dengan al-Qur’a>n dan
nilai-nilai Agama Islam lainnya. Pesan-pesan moral yang
disampaikan oleh guru umum kadangkala lebih mengena kepada
hati siswa, sehingga proses internalisasi akan dapat masuk ke
dalam fikiran dan tindakan para siswa, karena mereka senantiasa
diingatkan dengan nilai-nilai agama. Hal tersebut dapat dilakukan
oleh semua guru, baik matematika, biologi, fisika, kimia dan lain
sebagainya. Proses internalisasi yang demikian akan lebih
menyentuh ke dalam diri siswa.
Talidzhuhu Ndara menyatakan bahwa agar budaya tersebut
menjadi nilai-nilai yang tahan lama, maka harus ada proses
internalisasi budaya. Dalam bahasa Inggris, internalized berarti to
incorporate in oneself. Jadi, internalisasi berarti proses
menanamkan dan menumbuhkembangkan suatu nilai atau budaya

xlvi
menjadi bagian diri (self) orang yang bersangkutan. Penanaman
dan penumbuhkembangan nilai tersebut dilakukan melalui
berbagai didaktik metodik pendidikan dan pengajaran. Seperti
pendidikan, pengarahan, indoktrinasi, brain washing dan lain
sebagainya.30
3. Keteladanan.
Temuan penelitian mengenai keteladanan di tiga lembaga,
yaitu: (a) berakhlaq yang baik, para guru dan karyawan
memberikan akhlaq yang baik, dengan cara dan sikap mereka yang
menjunjung tinggi toleransi kepada sesama; (b) menghormati yang
lebih tua, walaupun posisi mereka sebagai tukang kebun atau
karyawan; (c) mengucapkan kata-kata yang baik; (d) memakai
busana muslimah. Sebagian besar para guru di tiga lembaga
tersebut memakai busana muslimah, walaupun masih terdapat
beberapa guru yang belum memakai baju muslimah, hal ini
disebabkan latar belakang pendidikan mereka dan status lembaga
pendidikan umum, bukan pendidikann Islam; (e) menyapa dan
mengucapkan salam.
Keteladanan merupakan perilaku yang memberikan contoh
kepada orang lain dalam hal kebaikan. Rasulullah saw sendiri di
utus ke dunia tidak lain adalah untuk menyempurnakan Akhak,
dengan memberikan contoh pribadi beliau sendiri. Sebagaimana
sabda Rasulullah SAW:
)‫ْت لِأُتَ ِ ّم َم َمك َِار َم ال ْأ َ ْخال َِق (رواه احمد‬
ُ ‫ِإن ّ ََما بُ ِعث‬
”sesungguhnya aku (Muhammad) di utus, untuk menyempurnakan
akhlak”31.

30
Talizhidu Dhara, Budaya Organisasi, (Jakarta: Rinika Cipta, 1997), 82
31
HR. Ahmad, 8938. CD Hadith Kutub al Tis’ah.

xlvii
Dalam mewujudkan budaya religius sekolah menurut
Muhaimin, dapat dilakukan melalui pendekatan keteladanan dan
pendekatan persuasif atau mengajak kepada warga sekolah dengan
cara yang halus, dengan memberikan alasan dan prospek baik yang
bisa meyakinkan mereka. Sikap kegiatannya berupa proaksi, yakni
membuat aksi atas inisiatif sendiri, jenis dan arah ditentukan
sendiri, tetapi membaca munculnya aksi-aksi agar dapat ikut
memberi warna dan arah pada perkembangan nilai-nilai religiusitas
di sekolah. Bisa pula berupa antisipasi, yakni tindakan aktif
menciptakan situasi dan kondisi ideal agar tercapai tujuan idealnya.

4. Pembiasaan.
Temuan penelitian mengenai pembiasaan di tiga lembaga
tersebut, yaitu: (a) menyapa, (b) mengucapkan salam dan senyum,
(c) s}alat berjama>’ah, (d) memakai busana muslim, (e) istighasah,
(f) khatmu al-Qur’a>n, (g) doa bersama, (h) puasa senin kamis, (i)
s}alat D}uha.
Pendekatan pembiasaan, keteladanan dan pendekatan
persuasif atau mengajak kepada warga sekolah dengan cara yang
halus, dengan memberikan alasan dan prospek baik yang bisa
meyakinkan mereka. Sikap kegiatannya berupa proaksi, yakni
membuat aksi atas inisiatif sendiri, jenis dan arah ditentukan
sendiri, tetapi membaca munculnya aksi-aksi agar dapat ikut
memberi warna dan arah pada perkembangan nilai-nilai religiusitas
di sekolah. Bisa pula berupa antisipasi, yakni tindakan aktif
menciptakan situasi dan kondisi ideal agar tercapai tujuan
idealnya.32
5. Pembudayaan.

Talidzuhu Ndara, 63-64


32
Ibid, 63-64

xlviii
Berdasarkan data sebelumnya, dalam penelitian ini
ditemukan aspek-aspek yang telah menjadi budaya religius di tiga
lembaga ini: (a) mengucapkan salam, (b) berjabat tangan, (c)
tawadlu, (d) istighasah, (e) s}alat D}uha, dan (f) tadarrus al-
Qur’a>n.
Sementara itu ada beberapa aspek-aspek yang masih
menjadi kebiasaan pada sekolah ini, karena masih dilakukan oleh
beberapa orang saja, seperti salat berjama’ah, (a) memakai busana
muslim, dan (b) doa bersama.

D. Dukungan Warga Sekolah terhadap Pengembangan PAI


dalam Mewujudkan Budaya Religius Sekolah.
Upaya mewujudkan budaya religius sekolah tidak akan
tercapai secara optimal bila tidak didukung oleh semua komponen
sekolah seperti guru, karyawan, siswa bahkan para orangtua siswa.
Mereka dalam bahasa manajemen disebut sebagai pelanggan
internal pendidikan. 33 Semua jenis pelanggan ini adalah hal
penting yang harus dikenali oleh lembaga pendidikan atau kepala
sekolah untuk kerjasama antara supervisor (penyelia) dan
pelanggan pendidikan agar menghasilkan lulusan yang dapat
memuaskan para pelanggan pendidikan. Agar kualitas pendidikan
dapat ditingkatkan, maka diperlukan pelibatan secara optimal
semua komponen tersebut.
Pelibatan secara total total involvement yaitu melibatkan
secara total semua komponen sekolah, baik komponen internal
maupun eksternal. Tujuannya tidak lain agar mutu atau kualitas
sekolah tersebut dapat ditingkatkan secara terus menerus. Dalam
33
Stephen Murgatroyd dan Colin Morgan, Total Quality Management at
the School, (USA: Open University Press, 1993), 6

xlix
hal ini, pelibatan tersebut bertujuan meningkatkan kualitas
keagamaan warga sekolah yaitu terwujudnya budaya religius
sekolah.
Berdasarkan analisis data terkait dengan dukungan warga
sekolah terhadap upaya pengembangan PAI dalam mewujudkan
budaya religius sekolah, maka dapat dibuat kesimpulan sebagai
berikut:
a. Secara sekuensial (berurutan) tentang
dukungan warga sekolah terhadap upaya pengembangan PAI
dalam mewujudkan budaya religius sebagai berikut: Di SMAN
1 Malang: komitmen pimpinan dan guru agama, komitmen
siswa, komitmen orangtua, dan komitmen guru lain. Di SMAN
3 Malang: komitmen guru Agama, komitmen pimpinan dan
guru lain, komitmen siswa, komitmen orangtua. Di SMA
Shalahuddin: komitmen pimpinan, komitmen guru, komitmen
orangtua, komitmen siswa.
b. Untuk mewujudkan dukungan yang kuat,
pada tataran perumusan nilai harus melibatkan semua unsur
sekolah. Pada tataran praktik keseharian, dilakukan sosialisasi
secara maksimal, penetapan action plan mingguan atau
bulanan. Selain itu juga dilakukan pemberian motivasi
(motivating), dukungan (supporting) pengakuan (recognizing)
dan pemberian imbalan (rewarding). Motivasi dan dukungan
diberikan khususnya kepada warga sekolah yang masih lemah
tingkat dukungannya, sedangkan pengakuan dan imbalan
diberikan khususnya pada warga sekolah yang memiliki
komitmen yang kuat dan prestasi yang baik.

l
INSTRUCTIVE SEQUENTIAL STRATEGY

Visi, Misi, Tujuan, Pedoman, Peraturan Dan Tata Tertib

Pengembangan Rumpun PAI dan Penambahan Jam Pembelajaran

-Prestasi Akdemik dan Non Akademik


Menjadikan PAI Sebagai Budaya SekolahProses Pewujudan Budaya -Akhlakul Karimah
Budaya Religius Sekolah
Pengembangan
PAI

Peningkatan Kualitas Pembelajaran PAI

Kebijakan
Sekolah

CONSTRUCTIVE SEQUENTIAL STRATEGY

Komitmen dan Dukungan Warga Sekolah

Gambar: 5. Strategi Pengembangan PAI dalam Mewujudkan Budaya Religius Sekolah

li
BAB VI
Kesimpulan dan Implikasi Teoritik

A. Kesimpulan
Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dalam penelitian
ini adalah:
1. Pengembangan PAI tidak cukup hanya dengan
mengembangkan pembelajaran di kelas dalam bentuk
peningkatan kualitas dan penambahan jam pembelajaran, tetapi
bagaimana menjadikan PAI sebagai budaya sekolah merupakan
bentuk pengembangan PAI yang strategis dengan jalan
meningkatkan peran-peran kepemimpinan sekolah dengan
segala kekuasaannya melakukan pembudayaan melalui
pembiasaan, keteladanan, dan pendekatan persuasif atau
mengajak dengan cara yang halus, dengan memberikan alasan
dan prospek baik yang meyakinkan.
2. Perwujudan budaya religius sebagai bentuk pengembangan
PAI di sekolah meliputi; budaya senyum, salam dan menyapa;
budaya saling hormat dan toleran; budaya puasa senin dan
kamis, budaya s}olat d}uha, budaya tadarrus al-Qur’a>n,
budaya istighasah dan doa bersama. Budaya tersebut terbukti
dapat meningkatkan spiritualitas siswa, meningkatkan rasa
persaudaraan dan toleransi, meningkatkan kedisiplinan dan
kesungguhan dalam belajar dan beraktifitas, dapat
meningkatkan sikap tawad}u’ siswa pada guru sebagai bentuk
penghormatan dan keyakinan akan mendapatkan berkah dari
gurunya berupa manfaat ilmu pengetahuan yang di dapat dari
guru, serta dapat menjadikan mentalitas siswa lebih stabil
sehingga berpengaruh pada kelulusan dan nilai yang
membanggakan.

lii
3. Proses pewujudan budaya religius dilakukan dengan dua
strategi, yaitu: (a) instructive sequential strategy, dan (b)
constructive sequential strategy. Pada strategi pertama, upaya
pewujudan budaya religius menekankan pada aspek stuktural
yang bersifat instruktif, yang mengandalkan komitmen
pemimpin untuk melakukan upaya sistematis melalui force
untuk mewujudkan budaya religius, sehingga punishment
dijadikan sebagai salah satu cara untuk mewujudkan budaya
religius sekolah. Adapun proses pewujudannya sebagai berikut:
(1) penciptaan suasana religius, (2) internalisasi nilai, (3)
keteladanan, (4) pembiasaan, dan (5) pembudayaan. Pada
strategi kedua, upaya pewujudan budaya religius sekolah lebih
menekankan pada pentingnya membangun kesadaran diri (self
awareness), sehingga diharapkan akan tercipta sikap, perilaku
dan kebiasaan religius yang pada akhirnya akan membentuk
budaya religius sekolah. Adapun prosesnya sebagai berikut: (1)
penciptaan suasana religius, (2) sikap, (3) perilaku, (4)
kebiasaan, dan (5) pembudayaan. Agar budaya religius di
sekolah dapat terwujud, maka diperlukan komitmen dan
dukungan dari warga sekolah, di samping itu, perlu adanya
upaya pengawasan dan pengendalian terhadap proses
pembudayaan di sekolah dengan cara membuat buku kendali
untuk para siswa.
4. Dukungan warga sekolah terhadap upaya pengembangan PAI
dalam mewujudkan budaya religius berupa: komitmen
pimpinan dan guru agama, komitmen siswa, komitmen
orangtua, dan komitmen guru lain. Komitmen dan kerjasama
secara sinergis diantara warga sekolah dan dukungan orang tua
dan masyarakat menjadi kunci keberhasilan dalam
mewujudkan budaya religious

liii
5. Pentingnya pengembangan PAI dalam mewujudkan budaya
religius sekolah adalah didasari adanya kekurangberhasilan
Pengembangan Pendidikan Agama Islam di sekolah yang
disebabkan oleh banyak hal, antara lain: Terbatasnya alokasi
waktu; Metode pembelajaran yang cenderung kognitif
oriented; Tidak adanya proses internalisasi nilai sehingga
proses pembelajaran cenderung hanya bersifat transfer of
knowledge, dan adanya pengaruh negatif dari dunia luar
sekolah dan pesatnya perkembangan tekhnologi.
B. Implikasi Teoritis
1. Pewujudan budaya religius merupakan langkah strategis dalam
pengembangan PAI di sekolah umum, mengingat adanya
berbagai macam kelemahan dan persoalan pembelajaran PAI.
Temuan ini menguatkan kebijakan pemerintah melalui
Permendiknas No. 23 tahun 2006 tentang SKL (Standar
Kompetensi Lulusan), pada bagian tujuan PAI, menegaskan
bahwa sekolah perlu mengembangkan budaya agama dalam
komunitas sekolah. Temuan ini merupakan pengembangan dari
hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan Muhaimin dkk
tentang penciptaan suasana religius di sekolah umum.
2. Penelitian ini mempertegas dua strategi yang dikemukakan
oleh Ndraha tentang pola pelakonan dan peragaan. Menurut
Ndraha penggunaan dua pola itu merupakan hubungan
continual (yang berkesinambungan). Artinya semakin dewasa
objek penanaman nilai penggunaan pola pelakonan harus
semakin dikurangi dan diteruskan dengan aktualisasi melalui
pola peragaan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa masih
diperlukan adanya komitmen dan dukungan dari warga sekolah
agar strategi tersebut dapat berjalan secara efektif.

liv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. DATA PRIBADI

Nama : Drs. Asmaun Sahlan, M.Ag


NIP : 150215372
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat dan Tanggal Lahir : Bojonegoro, 10 November 1952
Golongan / Pangkat : Pembina Utama Muda (IV/c)
Jabatan Fungsional Akademik : Lektor Kepala
Perguruan Tinggi : UIN Malang
Status Perkawinan : Kawin
Nama Istri : Siti Nurzaidah
Nama Anak : 1. Maulida NF
2. Binta Husna B
3. Faiz Ibnu A
4. Shofiya QA
Nama Orang Tua :
Ayah : M. Sahlan (alm.)
Ibu : Siti Aisyah (almh.)
Agama : Islam
Alamat Rumah : Jl. Pertamanan 1-A Kepuharjo Karangploso
Malang
E-mail : asmaun.tarbiyah@yahoo.com

II. RIWAYAT PENDIDIKAN


Tahun Jenjang Tempat Pendidikan Jurusan/
Lulus Bidang Studi
1965 MI MI Al Islamiyah Bojonegoro -
1971 PGAN 6 Th PGAN 6 tahun Bojonegoro -
1979 S1 IAIN Malang Fak.Tarbiyah/Pend.
Agama
1999 S2 Universitas Muhammadiyah Malang Studi Islam

III. PENDIDIKAN / PELATIHAN TAMBAHAN


Tahun Pelatihan Penyelenggara
2004 Program Latihan Pengurusan Akademik Universitas Kebangsaan
Malaysia
2004 Pelatihan Metodologi Penelitian Lemlit UIN Malang
2005 Pelatihan Penyusunan Proposal Penelitian Lemlit UIN Malang
2008 Pelatihan Pembelajaran Berbasis ICT UIN Malang

IV. PENGALAMAN KERJA


Jenis Pekerjaan Institusi Thun. s.d .
Dosen Agama Islam Universitas Tadolako Palu, Sulteng 1980 - 1982
Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN IAIN Sunan Ampel Surabaya 1983 –
Sunan Ampel 1997
Dosen Fakultas Tarbiyah UIN UIN Malang 1997 –

lv
Malang Sekarang

V. PENGALAMAN JABATAN
Jabatan Institusi Tahun.... s.d ....
Sekretaris PKPBA STAIN Malang 1997 – 1999
Ketua Jurusan Tarbiyah STAIN Malang 1999 – 2004
Ketua Lemlit UIN Malang 2004 – 2006
Pembantu Dekan 3 UIN Malang 2006 - sekarang
Fak. Tarbiyah

VI. KEGIATAN PENELITIAN

Tahun Judul Penelitian Jabatan Sumber Dana


1998 Pengembangan system pendidikan Madrasah Mandiri Pribadi
Aliyah menjadi Madrasah Model (Studi Kasus
MAN III Malang)
2003 Restrukturisasi Kurikulum Pendidikan Ekonomi Mandiri Pribadi
Program Studi Pendidikan IPS Fakultas
Tarbiyah
2004 Pemetaan Madrasah di Kota Malang Mandiri Pribadi
2004 Peningkatan Profesionalitas Guru di MI (Studi Mandiri Pribadi
Kasus di MIN Malang 1)
2005 Pengembangan Sistem Pendidikan Pesantren Mandiri DIPA Lemlit
(Studi Kasus Pesantren al-Hikam Malang) UIN Malang
2006 Pengembangan Profesionalitas Dosen (Studi Mandiri DIPA Lemlit
Kasus Fak. Tarbiyah UIN Malang) UIN Malang
2007 Pengembangan Pembelajaran PAI Melalui Ketua Litbang
Social Reconstruction untuk Pendidikan Anti DEPAG RI
Korupsi di Madrasah Aliyah

VII. KARYA TULIS ILMIAH

Tahun Judul Penerbit/Jurnal


2004 Strategi Pengembangan Fak. Tarbiyah dalam Shifa
Melahirkan Pendidik Ulul Albab
2005 Pendidikan dan Kualitas Sumber Daya Manusia Jurnal El-Hikmah Tarbiyah
UIN Malang
2006 Kehadiran Kiai Independen dalam Dinamika Jurnal El-Hikmah Tarbiyah
Sosial Politik UIN Malang
2007 Pengembangan Profesionalitas Dosen Jurnal El-Hikmah Tarbiyah
UIN Malang
2008 Humanisasi dalam Perspektif Pendidikan Islam Jurnal El-Hikmah Tarbiyah
UIN Malang
2004 Pendidikan Sebagai Proses Sosialisasi HMJ PAI Tarbiyah
UIN Malang
2005 Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam, Fak. Tarbiyah
Sebuah Tinjauan Historis Sosiologis UIN Malang

lvi
2006 Pergeseran Paradigma dan Pemberdayaan Kerja BEM F. Tarbiyah
Kebudayaan Pendidikan UIN Malang
2007 Peningkatan Profesionalitas Guru Madrasah Mapenda DEPAG Kab.
Ponorogo
2008 Pengembangan Profesionalitas Guru PAI di Mapenda DEPAG Kab.
Sekolah Pacitan

VIII. KEGIATAN SEMINAR DAN FORUM ILMIAH

Tahun Judul Kegiatan Penyelenggara


2005 International Workshop on “Issues on Raising Child; UIN Malang
Interdiciplinary Perspective”
2005 Workshop Pengembangan Jaringan Penelitian Puslitbang DEPAG
Pendidikan Agama dan Keagamaan RI
2006 Workshop Pengembangan Pusat Penelitian Dosen Lemlit UIN Malang
2006 Workshop Penguatan Penelitian Bagi Calon Penerima DIRJEN Pendidikan
Bantuan Dana Penelitian DIREKTORAT DIKTIS 2006 Islam
2007 Workshop Evaluasi Tengah Tahunan Pemberdayaan DIRJEN Pendidikan
Madrasah / Pesantren / Masjid / Masyarakat Islam
Dampingan PTAI
2008 Seminar Orientasi PAI di Perguruan Tinggi Umum Universitas
Brawijaya Malang
2008 Seminar Nasional Formulasi Pendidikan Islam Fak. Tarbiyah
Menyongsong Era Globalisasi UIN Malang

VIX. KEGIATAN SOSIAL

Tahun Kegiatan
1990 - 2001 Ketua Ta’mir Masjid Baiturrahman Tunggul wulung Kota Malang
2005 – sekarang Ketua Ta’mir Masjid Baitussalam Desa Kepuharjo Karangploso Malang
2006 – sekarang Anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
2006 Pemberdayaan Madrasah Binaan UIN Malang
2007 Sosialisasi KTSP Bagi Guru Swasta di Kota Batu
2007 Diklat Profesi Guru
2008 Diklat Pembelajaran Guru
2008 Peer Teaching Diklat Profesi Guru

lvii

You might also like