You are on page 1of 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengungsi merupakan persoalan klasik yang timbul dalam peradaban umat


manusia sebagai akibat adanya rasa takut yang sangat mengancam keselamatan
mereka. Ancaman itu dapat ditimbulkan dari bencana alam atau karena bencana
buatan manusia. Perpindahan penduduk dalam skala besar ini pada awalnya hanya
merupakan persoalan domestik suatu Negara, sehingga tidak banyak menarik
perhatian suatu Negara. Kemudian masalah pengungsi meluas menjadi persoalan
Negara-negara di kawasan tertentu saja dan terakhir dianggap sebagai masalah
bersama umat manusia.

Masalah pengungsi1, yang sama tuanya dengan peradaban manusia, sampai


pecahnya Perang Balkan (1912), yang disusul dengan pecahnya Perang Dunia I
(1914), dan pecahnya revolusi Bolshevik di Kekaisaran Rusia (1917), sampai waktu
itu ditangani sebagai masalah humaniter-sosial semata-mata yang diwujudkan dalam
bentuk pertolongan (relief) dan bantuan (assistance) yang bertujuan menjamin
kelangsungan hidup orang-orang yang telah terpaksa meninggalkan atau berada di
luar negara asal mereka sebagai akibat konflik bersenjata atau situasi kekerasan yang
mengancam keselamatan dan kebebasan mereka.

Pertolongan dan bantuan demikian diberikan, terutama, oleh berbagai


organisasi non-pemerintah (Ornop), non-govermental organization (NGO’s) yang
bergerak di bidang sosial dan oleh lembaga-lembaga keagamaan. Bahkan sampai
terbentuknya Liga Bangsa-Bangsa (LBB) (League of Nations – LON) pada 1919,
negara-negara yang bergabung dalam organisasi internasional yang dibentuk seusai
PD I (1914-1918) ini, belum memiliki persepsi bersama tentang penanganan masalah
pengungsi yang tersebar di banyak negara kawasan Balkan dan kawasan Eropa
lainnya serta kawasan Asia Barat sebagai akibat perang Balkan (1912), PD I (1914-
1918), dan revolusi Bolshevik (1917) tersebut.

1
Enny Soeprapto, Implementasi Prinsip-Prinsip Humaniter Dalam Penanganan Masalah Pengungsi Dan Internally
Displaced Persons (IDP’s), http://www.komnasham.go.id/portal/files/ES_IDPs01.pdf, diakses tanggal 27
September 2010 pukul 08.55 WITA

1
Baru pada 1921, dua tahun sesudahnya terbentuknya LBB, setelah
berlangsungnya suatu konferensi internasional yang diadakan atas seruan organisasi-
organisasi humaniter non-pemerintah, pada Agustus 1921, LBB memutuskan untuk
menangani masalah pengungsi, dan untuk maksud ini, mengangkat Dr. Friedtjof
Nansen, seorang Norwegia (1861-1930, sebagai Komisaris Tinggi LBB untuk
pengungsi untuk tugas pokok, yakni, pertama, menetapkan status hukum pengungsi,
kedua, mengorganisasi repatriasi atau “pengalokasian” pengungsi ke negara-negara
yang bersedia menerima mereka, dan, ketiga, melakukan kegiatan pemberian
pertolongan kepada pengungsi dengan bantuan “badan-badan filantropis”.

Dengan pengangkatan Komisaris Tinggi LBB untuk pengungsi pada 1921


yang bertugas, antara lain, menetapkan status hukum pengungsi, komunitas
internasional mulai memandang masalah pengungsi bukan hanya maslah humaniter
serta masalah pertolongan dan bantuan, melainkan juga masalah hukum.
Berhubungan dengan itu, dapat di catat bahwa pada 1921 itu lahir konsep hukum
pengungsi internasional yang berangsur-angsur dan setapak demi setapak memasuki
ranah hukum internasional.

Pengungsi diakui sebagai orang yang temasuk kategori khusus yang perlu
mendapat perlindungan internasional dan hak tertentu, khususnya hak kartu identitas
dan hak untuk bepergian ke luar negara tempatnya berada. Institusi yang ditetapkan
oleh LBB untuk mengimplementasikan sistem perlindungan internasional untuk
pengungsi adalah Komisaris Tinggi [LBB] untuk Pengungsi. Dengan pecahnya PD II,
bubarnya LBB, dan berhenti berfungsinya Komisaris Tinggi [LBB] untuk Pengungsi,
maka setelah berakhirnya PD II pada 1945, atas prakarsa PBB dibentuk International
Refugee Organization (IRO) sebagai badan yang khusus bertugas, antara lain,
memberi perlindungan hukum dan politis kepada pengungsi, jadi meneruskan sistem
perlindungan pengungsi yang dirintis oleh LBB. Kelemahan utama instrumen-
instrumen yang dibuat antara 1922 dan 1939 dan Konstitusi IRO 1946 adalah
keterbatasan lingkup pengertian “pengungsi” yang diliput oleh mandat IRO, yang
hanya mencakup orang-orang yang dapat dikategorikan demikian sebagai akibat
peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum dibuatnya Konstitusi IRO. Situasi pengungsi
sebagai akibat peristiwa-peristiwa yang terjadi sesudah dibuatnya Konstitusi IRO
1946 tidak terliput dalam mandat IRO. Konsep ini mencerminkan pikiran para
perancang Konstitusi IRO 1946 yang memang menghendaki

IRO hanya merupakan organisasi yang bersifat sementara dengan tugas


menyelesaikan masalah pengungsi “masa lalu”, artinya yang timbul sebagai akibat

2
PD II (1939-1945) serta yang diliput oleh instrumen-instrumen internaional mengenai
pengungsi yang dibuat antara 1922 dan 1939 dan dibubarkan setelah tugas itu selesai.
Para perancang pembentukan IRO tidak mengantisipasi terjadinya situasi pengungsi
baru. Menurut sistem Konstitusi IRO 1946, lembaga pemberi perlindungan
internasional kepada adalah IRO sendiri sebagai organisasi yang mempunyai tiga
kelengkapan utama, yakni Dewan Umum (General Council), Komite Eksekutif
(Execitive Committee) dan Director General.

Perkembangan konsep perlindungan internasional pengungsi berlanjut dengan


dibentuknya lembaga UNHCR yang mandatnya tidak saja meliputi orang-orang yang
sudah atau dapat dianggap pengungsi sebelum diterimanya Statuta UNHCR oleh
Majelis Umum PBB pada 14 Desember 1950 melainkan juga sesudahnya sesuai
dengan kriteria yang ditetapkan dalam Statuta tersebut. Patut digarisbawahi dalam
hubungan ini bahwa Statuta UNHCR adalah instrumen internasional non-yuridis
yang menetapkan mandat UNHCR yang terdiri dari dua pokok, yakni sebagai
institusi pemberi perlindungan internasional kepada pengungsi dan sebagai pencari
solusi permanen masalah pengungsi.

Selanjutnya dibuatlah Konvensi 19512 tentang status pengungsi yang


merupakan perintis penerjemahan ketentuan-ketentuan deklaratif dalam Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) (Universal Declaration of Human Rights –
UDHR), 1948 menjadi ketentuan-ketentuan yuridis, setidak-tidaknya ketentuan-
ketentuan yang paling relevan dan paling dibutuhkan oleh pengungsi sebagai orang
yang berada di dalam kondisi “khusus”, dengan menuangkannya ke dalam instrumen
yuridis internasional yaitu Konvensi 1951.

Dilihat dari sudut pandang perkembangan hukum pengungsi internasional


khususnya dan hukum hak asasi manusia umumnya. Konvensi 1951 dapat dianggap
sebagai tonggak perkembangan hukum hak asasi manusia, karena Konvensi 1951
merupakan instrumen yuridis internasional pertama yang mentransformasikan
ketentuan-ketentuan tertentu dalam DUHAM untuk kategori orang tertentu. Tindak
ini dilanjutkan oleh kominutas internasional dengan membuat instrumen-instrumen
2
Konvensi ini diterima oleh Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa dari wakil-wakil Berkuasa Penuh tentang
Status Pengungsi dan Orang Tanpa Kewarganegaraan, yang diadakan di Jenewa dari 2 sampai 25 Juli 1951.
Konferensi tersebut diselenggarakan sesuai dengan resolusi 429 (V), yang diterima oleh Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-bangsa pada 14 Desember 1950. Naskah resolusi ini dapat dilihat dalan Official Records of
the General Assembly, fifth session, Supplement No. 20 (A/1775), hlm. 48. Naskah Akta Final Konferensi
tersebut dimuat kembali dalam Apendiks.
Menyatakan keinginan bahwa semua Negara, yang mengakui sifat sosial dan humaniter masalah pengungsi, akan
melakukan segalanya yang berada di dalam kekuasaannya, untuk nencegah masalah ini menjadi sebab ketegangan
antara Negara-negara,

3
yuridis internasional lain untuk menuangkan keseluruhan prinsip atau prinsip-prinsip
tertentu dalam DUHAM yang berlaku bagi semua orang atau kategori orang tertentu
ke dalam instrumen-instrumen internasional yang mengikat secara hukum, yang
bersifat komprehensif, tematis, atau yang bersasaran kategori orang tertentu.

Secara substantif Konvensi 1951 memang merupakan kemajuan baik bagi


perkembangan hukum pengungsi khususnya dan hukum HAM umumnya. Namun,
dilihat liputan berlakunya, Konvensi 1951 merupakan kemunduran dibanding Statuta
UNHCR 1950, sebagaimana nyata dari definisi istilah “pengungsi” menurut
Konvensi 1951, yang hanya meliputi orang-orang yang sudah diakui sebagai
pengungsi oleh instrumen-instrumen internasional mengenai pengungsi sebelum
dibuatnya Konvensi 1951 atau yang dapat diakui sebagai pengungsi menurut
Konvensi 1951 sebagai akibat peristiwa yang terjadi sebelum 1 Januari 1951.
Pembatasan waktu ini masih dapat dibatasi lagi secara geografis yakni yang
memungkinkan negara pihak, secara opisional, menyatakan bahwa peristiwa yang
terjadi sebelum 1 Januari 1951 termasuk hanyalah peristiwa di Eropa atau baik di
Eropa maupun di tempat lain sebelum 1 Januari 1951.

Dengan pembatasan waktu dan opsi pembatasan geografis tersebut Konvensi


1951 merupakan instrumen yang tidak berwawasan ke depan (forward-looking)
melainkan berpandangan ke belakang (backward-looking) dan tidak pula universal
melainkan regional. Akibatnya, meskipun Konvensi 1951 sudah mulai berlaku pada
22 April 1954, pada 1956, ketika ribuan orang dari Hongaria meninggalkan negara
mereka sebagai akibat perlawanan rakyat terhadap “pendudukan” Uni Soviet dan
penindasan brutal oleh Pasukan Uni Soviet terhadap perlawanan itu, masuk ke
berbagai negara di Eropa Barat untuk mencari keselamatan, orang-orang tersebut
tidak dapat ditangani berdasarkan Konvensi 1951. Hal yang sama terjadi dengan
kasus-kasus pengungsian individual lainnya.

Meskipun sudah dihadapkan pada masalah humaniter yang nyata demikian,


baru pada 31 Januari 1967, hampir enam belas tahun sesudah dibuatnya atau hampir
23 tahun setelah berlakunya Konvensi 1951, komunitas internasional memuat
instrumen yang mengubah bagian dari definisi “pengungsi” yang tercantum dalam
Konvensi 1951 sehingga liputannya tidak lagi terbatas pada kasus-kasus pengungsian
yang terjadi sebelum 1 Januari 1951 melainkan berlaku untuk segala waktu; yakni
Protokol 19673 tentang Status Pengungsi.
3
Protokol ini ditandatangani oleh Presiden Majelis Umum dan Sekretaris Jenderal pada 31 Januari 1967. Naskah
Resolusi Majelis Umum 2198 (XXI) 16 Desember 1966 mengenai aksesi pada Protokol mengenai Status
Pengungsi ' dimuat kembali dalam Apendiks.

4
Dengan diubahnya Konvensi 1951 oleh Protokol 1967 maka Konvensi 1951
bersifat berpandangan ke depan, artinya berlaku untuk segala waktu. Meskipun
demikian, meskipun sekarang ini, lebih dari 51 tahun setelah dibuatnya Konvensi
1951, arti praktisnya sudah hilang, negara pihak pada Protokol 1951 yang pada waktu
menjadi pihak pada Konvensi 1951 yang pada waktu menjadi pihak pada Konvensi
1951 menyatakan bahwa baginya istilah “peristiwa yang terjadi sebelum 1 Januari
1951” hanya berarti peristiwa demikian di Eropa, masih tetap dapat mempertahankan
opsi itu.

Patut digaris bawahi bahwa Protokol 1967, yang hanya terdiri dari sebelas
pasal, hanya mengubah dua ketentuan pokok Konvensi 1951, yakni, pertama,
perluasan definisi istilah “pengungsi”(pasal 1 Konvensi 1951yang diubah pada Pasal
I Protokol 1967) dan, kedua, kemungkinan direservasinya ketentuan yang
menentukan bahwa perselisihan mengenai penafsiran dan pelaksanaan Konvensi
1951 dan/atau Protokol 1967 yang tidak dapat diselesaikan dengan cara lain, dapat
diajukan ke Mahkamah Internasional atas permintaan salah satu pihak yang berselisih
(Pasal 38 Konvensi 1951; Pasal IV dan Pasal VII Protokol 1967). Bagian substantif
Konvensi 1951 (Pasal 2-Pasal 34) sama sekali tidak diubah dan pelaksanaan Pasal 2-
Pasal 34 Konvensi 1951 tersebut merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh
Negara-negara Pihak pada Protokol 1967 (Pasal I ayat1 Protokol 1967)4.

Selain permasalahan pengungsi sebenarnya terdapat masalah lain yang sama


urgensinya, yaitu permasalahan Orang-orang yang terpinggirkan didalam negeri atau
yang biasa diketahui dengan IDPs (Intenally Displaced Persons). Sebenarnya
apabaila dilihat dari pengertian Guiding Principles on Internal Displacement tahun
1998 ada perbedaan signifikan antara pengungsi dengan “pengunsi” internal.
Perbedaan itu yaitu pengungsi internal mengungsi atau meninggalkan daerahnya
karena ketakutan sebagai akibat dari, atau dalam rangka menghindarkan diri dari,
dampak-dampak konflik bersenjata, situasi rawan yang ditandai oleh maraknya tindak
kekerasan secara umum, pelanggaran-pelanggaran hak-hak asasi manusia, bencana-
bencana alam, atau bencana-bencana akibat ulah manusia tetapi tidak keluar dari
wilayah Negara dimana dia berada.

Tercatat sebanyak 27 juta pengungsi internal yang berada di seluruh dunia 5.


Hal ini menunjukkan bahwa permasalah pengungsi internal juga perlu diperhatikan
dan perlu perlindungan terhadap hak-hak mereka. Hal ini menjadi penting karena
4
Enny Soeprapto, Loc Cit, hlmn. 16
5
Bahan ajar pada Seminar & Workshop “Hukum Pengungsi Internasional dan Hak Asasi Manusia”, senin 4
Oktober 2010, Kenari Tower, Makassar

5
dibandingkan dengan banyaknya pengungsi yang banyaknya diseluruh dunia
mencapai 10,4 juta orang hanya hampir setengah dari jumlah pengungsi internal.
Selain itu banyak pelanggaran-pelanggaran yang dialami oleh para pengungsi internal
di seluruh dunia, baik itu tidak terjaminnya hak-hak mereka oleh Negara, ataupun
bantuan yang seharusnya mereka terima.

Selain itu Indonesia sebagai salah satu Negara dengan jumlah penduduk
terbesar di dunia dengan berbagai keragaman suku bangsa, ras dan agama menjadi
salah satu tempat dengan tingkat keberadaan pengungsi internal yang cukup
banyak.selain itu ditunjang dengan wlayah geografis Indonesia yang berada di Ring
of Fire dan pertemuan antara dua lempeng benua menjadikan Indonesia sebagai
tempat dengan tingkat bencana alam paling tinggi di dunia. Hal ini menjadi penting
bagaimana pengungsi internal ini di perlakukan, baik itu dari segi bantuan ataupun
perlindungan hak-hak mereka.

B. Rumusan Masalah

1. Jelaskan pengertian Pengungsi Internal (IDPs) dan bagaimana status


hukum dari IDPs tersebut?
2. Bagaimana satatus IDPs di Indonesia?

6
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pengungsi Internal (IDPs) dan Status Hukum IDPs

1. Pengertian Pengungsi Internal (IDPs)

Istilah “displaced persons” (orang-orang yang tersingkirkan digunakan secara


formal dalam instrumen yuridis internasional, yakni Konstitusi IRO, 1946, untuk
menunjuk kategori orang tertentu yang terpaksa atau dipaksa meninggalkan
negara asalnya sebagai akibat tindakan penguasa rezim Nazi atau fasis di masa
PD II. Konstitusi IRO, 1946 mendefinisikan istilah “displaced persons” sebagai
berikut: “Istilah ‘displaced persons’ berlaku bagi seseorang yang, sebagai akibat
tindakan penguasa rezim-rezim sebagaimana disebut dalam Bagian I, seksi A,
ayat 1(a) Lampiran ini (yang dimaksud adalah rezim Nazi dan rezim Fasis dalam
PD II – ES), telah dideportasikan, atau telah terpaksa meninggalkan negara
kewarganegaraan atau negara tempat ia sebelumnya biasanya bertempat tinggal,
seperti orang-orang yang diharuskan melakukan kerja paksa atau yang
dideportasikan karena alasan rasial, keagamaan, atau politis.

Dengan bubarnya IRO pada 1951 berakhir pulalah pengertian istilah


“displaced persons” sebagaimana dimaksudkan dalam Konstitusi IRO, 1946.
Karena Statuta UNHCR, 1950 dan Konvensi 1951 adalah instrumen-instrumen
yang mengatur masalah “pengungsi, sedangkan “displaced persons” bukanlah
“pengungsi” menurut pengertian masing-masing instrumen tersebut, istilah
pengaturan mengenai “displaced persons” [dengan sendirinya] tidak terdapat
dalam kedua instrumen itu.

Istilah “displaced persons” dipergunakan lagi oleh UNHCR dan MUPBB


untuk menunjuk orang-orang di Sudan, yang karena konflik bersenjata internal di
negara itu, terpaksa meninggalkan kampung halaman mereka dan pergi ke tempat
lain yang mereka rasa aman yang [masih] berada di dalam, bukan di luar,
perbatasan wilayah negara Sudan. Orang-orang Sudan lain, yang karena alasan
yang sama meninggalkan kampung halaman mereka dan sudah menyeberangi

7
perbatasan nasional dan berada di luar perbatasan wilayah negara Sudan disebut
“pengungsi”. Istilah “displaced persons” untuk menunjuk orang-orang di Sudan
yang berada dalam kondisi sebagaimana digambarkan di atas pergunakan oleh
UNHCR dan MUPBB sampai 1974.

Pada 1974 istilah “displaced persons” juga dipergunakan untuk menunjuk


orang-orang di Laos, yang karena konflik bersenjata internal di negara ini, trpaksa
meninggalkan kampung halaman mereka untuk pergi ke tempat lain yang mereka
rasa aman, tetapi [masih] berada di dalam perbatasan wilayah negara Laos.

Dari 1972 sampai 1974 UNHCR secara ajek menggunakan istilah “displaced
persons” untuk menunjuk orang-orang yang karena konflik bersenjata (dalam hal
ini di Sudan dan Laos) terpaksa meninggalkan kampung halaman mereka dan
pergi ke tempat lain yang mereka rasa aman, tetapi [masih] berada di dalam
negeri (di dalam perbatasan wilayah nasional).

Sejak April 1975 UNHCR dan MUPBB menggunakan istilah “displaced


persons” untuk menunjuk orang-orang yang, karena konflik bersenjata di negara
tempat tinggal mereka, meninggalkan kampung halaman mereka dan pergi ke
tempat lain yang mereka rasa aman, yang [sudah] berada di luar perbatasan
nasional. Untuk “displaced persons” menurut pengertian sebelumnya, yakni
mereka yang [masih] berada di dalam perbatasan negara asal UNHCR
menggunakan “internally displaced persons” (IDPs).

Beberapa waktu sejak terjadinya perubahan situasi politik di negara-negara di


Semenanjung Indocina (Kamboja, Laos, dan Vietnam) pada 1975, untuk
menyebut orang-orang yang meninggalkan negara masing-masing di
Semenanjung itu dan pergi ke negara-negara lain yang mereka ras aman, UNHCR
menggunakan istilah “displaced persons”, di samping istilah lain seperti
“asylumseekers” (pencari suaka), “border-crossers” (pelintas batas), “boat
people” (manusia perahu), dan kadang-kadang, juga “refugee” (pengungsi).

Penggunaan istilah “refugee(s)” sehingga dihindarkan sejauh mungkin


berdasarkan dua pertimbangan, yakni, pertama, ketidakmungkinan UNHCR
menentukan eligibility orang-orang tersebut sebagai “pengungsi” menurut Statuta
UNHCR, 1950 dalam waktu singkat, mengingat kepergian orang-orang itu
kebanyakan berlangsung secara en masse dan lokasi kedatangan mereka sering
terpisah-pisah dan jauh dari kantor-kantor perwakilan UNHCR dan, kedua,

8
perlunya diprioritaskannya tindakan yang bersifat mendesak, yakni memastikan
bahwa orang-orang tersebut diizinkan masuk ke dan tinggal sementara di negara
kedatangan, untuk memungkinkan UNHCR memproses kemungkinan
pemukiman mereka ke negara lain.

Karena sejak 1975 secara ajek dipergunakan istilah “internally displaced


persons” (IDPs) khusus untuk menunjuk orang-orang yang terpaksa menyingkir
dari kampung halaman mereka guna menyelamatkan diri di tempat lain di dalam
negeri yang mereka rasa aman berhubung dengan situasi yang mengamcam
keselamatan dan/atau hak asasi dan/atau kenebasan fundamental mereka, sejak
waktu tersebut, dari waktu ke waktu, digunakan istilah “externally displaced
persons” (EDPs) untuk menunjuk orang-orang yang didorong oleh kondisi yang
sama dengan yang dihadapi IDPs, tepaksa menyingkir dari kampung halaman
mereka dan pergi ke tempat yang dirasa aman, yang berada di luar perbatasan
negara asal mereka6.

Istilah Displaced Person dalam berbagai resolusi Majelis Umum tahun 1957
yang memberikan hak kepada UNHCR untuk memberikan bantuan dan
perlindungan kepada orang-orang yang terlantar (persons displaced) diluar
Negara asal yang tidak masuk dalam definisi pengungsi, tetapi mereka ditemukan
dalam “keadaan seperti pengungsi”, akibat kejadian-kejadian (kadang-kadang
sebagai “bencana buatan manusia”) yang timbul dalam Negara asal mereka7.

Pada tahun 1998 dibuatlah Guiding Principles on Internal Displacement yang


mencaba merumuskan bagaimana pengungsi internal diperlakukan dan hak-hak
apa saja yang dimiliki oleh pengungsi internal. Di dalamnya juga terdapat
pengertian Pengungsi internal yang cakupannya lebih luas dan sudah diakui
secara internasional. Pengertian Internally Displaced Persons (IDPs) yaitu orang-
orang atau kelompok-kelompok orang yang telah dipaksa atau terpaksa melarikan
diri atau meninggalkan rumah mereka atau tempat mereka dahulu biasa tinggal,
terutama sebagai akibat dari, atau dalam rangka menghindarkan diri dari,
dampak-dampak konflik bersenjata, situasi rawan yang ditandai oleh maraknya
tindak kekerasan secara umum, pelanggaran-pelanggaran hak-hak asasi manusia,

6
Enny Soeprapto, Loc Cit, Hlmn. 27
7
Achmad Romsan, dkk, 2003, Pengantar Hukum Pengungsi Internasiona (Hukum Internasional dan Prinsip-
prinsip Perlindungan Internasional), Sanic Offset, Bandung, hlmn. 32

9
bencana-bencana alam, atau bencana-bencana akibat ulah manusia, dan yang
tidak melintasi perbatasan negara yang diakui secara internasional8.

Berdasarkan pendapat diatas, terlihat bahwa istilah IDPs timbul karena adanya
pertikaian bersenjata, atau karena banyaknya terjadi pelanggaran, pelanggaran
hak asasi manusia atau karena terjadinya bencana alam ataupun bencana buatan
manusia. Bencana alam di sini dapat berupa banjir, gempa, tsunami, gunung
meletus, kekeringan dan lain sebagainya. Sedangkan bencana buatan manusia
misalnya adanya pencemaran udara karena zat-zat berbahaya buatan manusia, dll.
Sehingga apabila ada orang-orang yang memenuhi criteria tersebut dapat
digolongkan dalam IDPs dan diharapkan mendapat bantuan dan juga
perlindungan.

2. Status Hukum IDPs

“Pengungsi” adalah karegori orang yang ditentukan definisinya oleh hukum


atau kebiasaan internasional. Status hukum pengungsi ditentukan oleh hukum
internasional, yakni sebagai orang yang di tempatkan di bawah sistem
perlindungan internasional. Sesuai dengan statusnya ini, hak dan kewajiban
ditentukan oleh hukum internasional. Masalah pengungsi adalah masalah yang
berlingkup dan bersifat internasional dan yang pencegahannya hanya dapat
dicapai melalui kerja sama internasional pula.

Tidak demikianlah halnya dengan IDPs. Mereka adalah penduduk negara


yang bersangkutan dan berada di dalam perbatasan wilayah negara itu. Penduduk
negara tersebut, yang terdiri dari warga negara, orang-orang tanpa
kewarganegaraan yang bertempat tinggal tetap di negara tersebut, dan orang
asing, yang ketiganya memperoleh perlindungan nasional. Perlindungan nasional
warga negara dan orang-orang tanpa kewarganegaraan yang bertempat tinggal
tetap di negara itu merupakan wewenang dan tanggung jawab negara tempat
mereka berada sedangkan perlindungan orang asing berada di negara tersebut
memperoleh perlindungan nasional dari negara asal mereka masing-masing.
Dengan demikian, masalah IDPs merupakan masalah yang pemecahannya
merupakan wewenang dan tanggung jawab nasional negara yang bersangkutan.
Dengan demikian, pada dasarnya, masalah IDPs adalah masalah hukum nasional,
bukan hukum internasional.

8
Judhariksawan, 2010, Internally Displaced Persons (IDP’s), bahan ajar kuliah Hukum Pengugsi, Fakultas
Hukum Unhas, Makassar, dalam bentuk Power Point.

10
Saat ini melihat banyaknya IDPs yang tersebar di seluruh dunia dan tidak
mampunya Negara-negara dalam mengatasi pengungsi internalnya membuat
banyak lembaga-lembaga ataupun organisasi-organisasi internasional yang turut
serta dalam membantu dan melindungi para IDPs tersebut. Dengan tetap menjaga
dan menghormati kedaulatan Negara tempat IDPs itu bermukim. Biasanya harus
ada permintaan langsung kepada lembaga, organisasi ataupun dunia internasional
untuk membantu Negara tersebut dalam mengatasi IDPs ini. Sebagai contoh pada
saat Tsunami di Aceh, pemerintah Indonesia meminta bantuan dari UNHCR dan
organisasi internasional lain untuk membantu mengatasi masalah-masalah yang
berada di sana.

Selain itu Office For The Humanitarian Affairs (OCHA) membuat Guiding
Principles on Internally Displacement 1998 (30 Prinsip) sebagai bentuk perhatian
terhadap banyaknya pengungsi internal di seluruh dunia. Panduan ini memberikan
arahan tentang perlindungan dan pemenuhan kebutuhan para pengungsi internal
di seluruh dunia. Selain itu diatur juga bagaimana memperlakukan dan juga
pemulihan kembali, maupun reintegrasi pengungsi internal.

Prinsip-prinsip ini mengidentifikasikan hak-hak dan jaminan-jaminan yang


berkaitan dengan perlindungan terhadap orang-orang dari paksaan untuk
mengungsi, perlindungan dan bantuan terhadap mereka selama masa
pengungsian, serta perlindungan dan bantuan selama mereka pulang kembali atau
selama proses pemukiman di tempat lain, dan selama proses reintegrasi dengan
masyarakat pada masa pascapengungsian. Adapun garis besar isi dari Guiding
Principles on Internally Displacement 1998, yaitu9 :

• Bagian I. Prinsip-Prinsip Umum (4 Pasal)


• Bagian II. Prinsip-Prinsip yang Berkaitan dengan Perlindungan dari
Pengungsian Internal (5 Pasal)
• Bagian III. Prinsip-Prinsip yang Berkaitan dengan Perlindungan Selama
Masa Pengungsian Internal (14 Pasal)
• Bagian IV. Prinsip-Prinsip yang Berkaitan dengan Bantuan Kemanusiaan
(4 pasal)
• Bagian V. Prinsip-Prinsip yang Berkaitan dengan Pemulangan,
Pemukiman Kembali dan Reintegrasi (3 pasal)

B. IDPs di Indonesia
9
Ibid.,

11
RI sudah mengenal masalah IDPs segera sejak proklamasi 17 Agustus 194510:
- 1945-1949: Penyingkiran orang-orang pro-RI dari daerah-daerah tempat
terjadinya konflik bersenjata antara pasukan RI dan pasukan Inggris/Belanda
dan, kemudian, dari daerah-daerah yang diduduki Belanda (konflik bersenjata
internasional) atau pemberontakan PKI-Madiun, 1948) (konflik bersenjata
noninternasional/vertikal);
- 1950-an: sebagai akibat pemberontakan bersenjata terhadap
Negara/Pemerintah RI (seperti pemberontakan DI-TII, PRRI, Permesta)
(konflik bersenjata noninternasional/vertikal);
- 1960-an: sebagai akibat konflik bersenjata internal (noninternasional), i.c.
peristiwa G-30-S, 1965 dengan berbagai imbasnya;
- 1970-an: sebagai akibat konflik bersenjata/vertikal seperti di Irian Jaya dan
Aceh, serta konflik vertikal-horisontal di Timor Timur;
- 1980-an: sebagai akibat berlanjutnya konflik bersenjata vertikal, seperti di
Irian Jaya, Timor Timur, dan Aceh;
- 1990-an: sebagai akibatnya berlanjutnya konflik bersenjata/vertikal di Irian
Jaya, Timor Timur,dan Aceh, konflik horizontal di Kalimantan Barat,
Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, maluku, dan Timor Timur pasca-jajak
pendapat 30 Agustus 1999;
- 2000-an: sebagai akibat berlanjutnya konflik vertikal di Aceh dan konflik
horizontal di Maluku dan Sulawesi Tengah.

Tindakan Pemerintah RI guna menangani masalah IDPs:


a. Institusional:
- Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Alam (Bakornas
PBA) (Keppres 28/1979);
- Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas PB)
(juga menangani masalah penyingkiran penduduk sebagai akibat
konflik sosial, antarsuku, antar agama, dari Tomor Timur ke
Indonesia) (Keppres 43/1990);
- Bakornas PB (penyempurnaan Keppres 43/1990) (Keppres 106/1990);
- Bakornas Penanggulangan Bancana dan Penanganan Pengungsi
Bakornas PBP) (penyempurnaan keppres 3/2001);
b. Fungsi institusi: Forum koordinasi;

10
Enny Soeprapto, 2002, Perlindungan Hak Asasi Dan Kebebasan Fundamental Internally Displaced Persons
(IDPs), http://www.komnasham.go.id/portal/files/ES_IDPs01.pdf, diakses tanggal 31 Oktober 2010, pukul 15.30
WITA

12
c. Fokus kegiatan :

- Penyelamatan IDPs selam proses penyingkiran;


- Pemberian bantuan tanggap darurat (tempat berteduh darurat, makanan
siap santap, pengobatan, air bersih, sanitasi 2-3 minggu dan dapat
diperpanjang hingga 3-6 bulan, 400 gram beras dan uang lauk-pauk
Rp 1.500 per-orang/hari) (Biaya: Rp 2 Milyar/hari; Rp 60-70
Milyar/bulan);
- Pemberdayaan (ceramah, penyuluhan, pelatihan alih profesi sebagai
persiapan pemulangan kembali atau pemukiman di daerah lain);
- Penyediaan bantuan/stimulans pembuatan rumah IDPs yang
rusak/dirusak/dibakar bagi mereka yang akan kembali ke rumah
masing-masing;
- Penyediaan lahan dan perumahan yang layak di tempat pemukiman
baru (sebagai sisipan/pemukiman/transmigrasi lokal) (di Aceh,
Maluku, Nusa Tenggara, Kalimantan Barat, dan beberapa daerah
lainnya).

Hak asasi dan kebebasan fundamental yang paling esensial bagi IDPs yang
perlu dilindungi 11:
a. Pasal 5 Hak untuk diakui sebagai manusia pribadi di depan hukum (ayat (1)),
untuk mendapat bantuan dan perlindungan dari pengadilan yang objektif dan
tidak memihak (ayat (2)), dan memperoleh perlakuan perlindungan lebih
berkenaan dengan kekhususannya (bagi kelompok masyarakat yang rentan
(ayat (3)) (cf. Ps. 27 (1) dan 28D (1) UUD 1945, Ps. 6 & 7 DUHAM 1948, Ps.
4(2), 14, 16, dan 24(2) ICCPR 1966, Ps. 2 CEDAW 1979, dan Ps. 8(2) CRC
1989), Pr. 20 Guiding Principles 1998);
b. Pasal 9 Hak untuk hidup, mempertahankan hidup [dan meningkatkan taraf
kehidupan (ayat (1)), hak untuk hidup tentram, aman, damai, bahagia lahir
dan batin (ayat (2)), dan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat (ayat
(3)) (cf. Ps. 28A UUD 1945, Ps. 3 DUHAM 1948, Ps. 6 ICCPR 1966, dan Pr.
10, 11, 12, dan 18 Guiding Principles 1998);
c. Pasal 12 Hak memperoleh pendidikan (cf. Ps. 28E(1) 7 Ps. 31 UUD 1945, Ps.
26 DUHAM 1948, Ps. 13 ICESCR 1966, Ps. 28(1) CRC 1989, Pr. 23 Guiding
principles 1998);

11
Ibid,.

13
d. Pasal 22 Kebebasan memeluk dan beribadat menurut agama dan
kepercayaannya masing-masing (cf. Ps. 28E(1) & (2) UUD 1945, Ps. 18 & 19
DUHAM 1948, Ps. 18 ICCPR 1966, Pr. 22.1(a) Guiding Principles 1998);
e. Pasal 27 Kebebasan bergerak, berpindah tempat, dan bertempat tinggal di
dalam wilayah negara [RI] (cf. Ps. 28E(1) (dua kalimat / rangkaian kata
terakhir) UUD 1945, Ps. 13(1) DUHAM 1948, Ps. 12(1) & (2) ICCPR 1966,
Pr. 14 & 15 Guiding Principles 1998);
f. Pasal 29 Hak atas perlindungan pribadi, keluarga, martabat, dan hak milik (cf.
Ps. 28G(1) DUHAM 1948, Ps. 7 & 17(1) ICCPR 1966, Ps. 6 CEDAW 1979,
Ps. 9(1), 10(1), 16(1), 32 s.d 16, dan 37(a) CRC 1989, dan Pr. 11 & 17
Guiding Principles 1998);
g. Pasal 33 Hak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman yang kejam, tidak
manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan (ayat (1)) dan
hak untuk bebas dari penghilangan paksa dan nyawa (ayat (2)) (cf. Ps 28G(2)
UUD 1945, Ps. 5 & 5 DUHAM 1948, Ps. 7 & 8 ICCPR 1966, Ps. 6 CEDAW
1979, Ps. 32 s.d 36 CRC 1989, dan Pr. 11 Guiding Principles 1998);
h. Pasal 36 Hak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan
orang lain (ayat (1)) [dan bahwa tidak seorang pun boleh dirampas miliknya
dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum (cf. Ps. 28G(1) &
28H(4) UUD 1945, Ps. 17 DUHAM 1948, Pr. 21 Guiding Principles 1998);
i. Pasal 65 Hak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan
pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak [serta dari berbagai bentuk
penyalahgunaan narkotika, psikotopika, dan zat adiktif lainnya] (cf. Ps.
28G(2) UUD 1945, Ps. 7 ICCPR 1966, Ps. 32 s.d 36 & 37 (a) CRC 1989, dan
Pr. 11 Guiding Principles 1998).

Contoh Kasus IDPs :

Jakarta, Indonesia12 -- Komisi Tinggi PBB urusan Pengungsi, UNHCR, akhirnya


diperbolehkan untuk terus berkiprah di Aceh. Kepastian itu diutarakan langsung oleh
Menko Kesra Alwi Shihab dalam pertemuan dengan Kepala Perwakilan Regional
UNHCR Robert Ashe di Jakarta, kemarin. Sementara IOM, yang juga sudah masuk
'daftar keluar' Aceh, masih belum diketahui nasibnya.

Berita : UNHCR Lolos dari 'Daftar Keluar' Aceh , Rabu, 09-Maret-2005,

14
''Meski UNHCR bekerja bukan di bidang garapannya, diluar mandatnya sebagai
badan PBB yag mengurusi pengungsi, UNHCR diperkenankan untuk meneruskan
rencananya menggelar program rekonstruksi senilai 60 juta dolar,'' ungkap seorang
juru bicara Alwi Shihab, sebagaimana dikabarkan oleh surat kabar Australia, Sydney
Morning Herald hari ini.

UNHCR menurut mandatnya memang lembaga yang mengurusi pengungsi. Namun


makna kata pengungsi yang disandangnya bukanlah pengungsi akibat bencana alam,
seperti dalam kasus Aceh. Melainkan pengungsi dalam artian pengungsi (refugee)
akibat bencana yang ditimbulkan manusia (man made disaster), semisal perang, dan
bersifat lintas negara. Adapun pengungsi dalam konteks Aceh sekarang ini lazim
disebut sebagai IDPs, internally displaced persons, alias orang-orang yang tak lagi
punya tempat tinggal tetap.

Robert Ashe sendiri mengaku senang dengan kabar baik dari Alwi Shihab itu. ''Kami
gembira dengan pernyataan tersebut. Meskipun begitu kami masih menunggu
kejelasan tentang bagaimana program kerja kami akan ditempatkan dalam konteks
keseluruhan upaya rekonstruksi Aceh,'' kata Ashe.

Ditambahkan pula oleh Menko kesra bahwa yang boleh tinggal di Aceh adalah
lembaga-lembaga asing yang sudah secara resmi membuat perjanjian dengan
pemerintah, atau punya kerjasama atau menjadi pelaksana proyek yang dijalankan
oleh badan-badan PBB.

Menyimak pernyataan terakhir ini, boleh jadi IOM --yang sebagaimana UNHCR juga
mengurusi pengungsi akibat bencana buatan manusia-- juga akan bertahan. Terlebih
sudah sejak awal lembaga yang bernaung di bawah Uni Eropa ini meneken
kesepakatan dengan Alwi Shihab sendiri --selaku pelaksana harian Bakornas PBP--
untuk membangun 11.000 rumah untuk Aceh..

Dari kasus di atas dapat disimpulkan bahwa sesuai dengan pengertian IDPs
pengungsi internal dapat juga dikarenakan oleh bencana alam. Jadi bukan hanya
karena alasan perang, perbedaan pandangan politik, ataupun terjadi karena banyaknya
pelanggaran-pelanggaran terhadap hak asasi seseorang atau kelompok masyarakat
tertentu. Alasan bencana alam juga dapat dikategorikan sebagai IDPs.

15
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Meskipun masalah IDPs merupakan masalah yang sudah dihadapi oleh


komunitas internasional sejak lama, perhatian serius pada masalah ini baru
muncul sejak belum lama berselang. Perhatian itu pun untuk waktu yang
relatif lama terfokus pada masalah bantuan materil pada IDPs. Baru sejak
dasawarsa 1990-an yang lalu muncul kesadaran di kalangan komunitas
internasional bahwa kebutuhan IDPs bukanlah sekedar bantuan materil
melainkan juga perlindungan (protection), dan bukan saja perlindungan
keselamatan dan keamanan fisik dan mental, melainkan, yang sangat penting
artinya, juga perlindungan hak asasi dan kebebasan fundamental mereka.

2. Perkembangan di tataran internasional yang berkenaan dengan masalah IDPs


tersebut juga berlangsung di Indonesia. Bangsa Indonesia sudah menghadapi
masalah IDPs segera setelah proklamasi kemerdekaannya pda 1945.
Meskipun demikian, perhatian serius dan secara nasional terhadap masalah
IDPs di Indonesia yang baru muncul dan berkembang sejak belum lama
berselang. Perhatain itu pun, sampai sekarang, masih lebih tertuju pada
kebutuhan bantuan (assistance) IDPs, belum pada masalah perlindungan IDPs,
terutama perlindungan hak asasi dan kebebasan fundamental mereka dan pada
penanganan sebab-sebab akar (root causes) internal displacement di
Indonesia, yang penanganannya secara tepat dan tepat waktu diharapkan akan
dapat mencegah atau, setidak-tidaknya mengurangi kemungkinan, terjadinya
penyingkiran baru, baik dari daerah yang sama maupun dari daerah lain.

B. SARAN

1. Penyusunan kebijakan harus dilakukan dengan memperhatikan pokok-pokok


yang paling relevan yang tercantum dalam intsrumen-intsrumen HAM, baik
nasional maupun internasional, dan sepanjang yang menyangkut instrumen
internasional, baik yang bersifat yuridis maupun yang nonyuridis, dan baik
yang diratifikasi atau diaksesi oleh Indonesia maupun yang tidak atau belum;

2. Komnas HAM, sesuai dengan mandatnya, hendaknya memberi perhatian yang


lebih besar pada masalah IDPs, khususnya pada pemastian dihormati dan
dipenuhinya hak asasi dan kebebasan fundamental mereka.

16

You might also like