Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
Enny Soeprapto, Implementasi Prinsip-Prinsip Humaniter Dalam Penanganan Masalah Pengungsi Dan Internally
Displaced Persons (IDP’s), http://www.komnasham.go.id/portal/files/ES_IDPs01.pdf, diakses tanggal 27
September 2010 pukul 08.55 WITA
1
Baru pada 1921, dua tahun sesudahnya terbentuknya LBB, setelah
berlangsungnya suatu konferensi internasional yang diadakan atas seruan organisasi-
organisasi humaniter non-pemerintah, pada Agustus 1921, LBB memutuskan untuk
menangani masalah pengungsi, dan untuk maksud ini, mengangkat Dr. Friedtjof
Nansen, seorang Norwegia (1861-1930, sebagai Komisaris Tinggi LBB untuk
pengungsi untuk tugas pokok, yakni, pertama, menetapkan status hukum pengungsi,
kedua, mengorganisasi repatriasi atau “pengalokasian” pengungsi ke negara-negara
yang bersedia menerima mereka, dan, ketiga, melakukan kegiatan pemberian
pertolongan kepada pengungsi dengan bantuan “badan-badan filantropis”.
Pengungsi diakui sebagai orang yang temasuk kategori khusus yang perlu
mendapat perlindungan internasional dan hak tertentu, khususnya hak kartu identitas
dan hak untuk bepergian ke luar negara tempatnya berada. Institusi yang ditetapkan
oleh LBB untuk mengimplementasikan sistem perlindungan internasional untuk
pengungsi adalah Komisaris Tinggi [LBB] untuk Pengungsi. Dengan pecahnya PD II,
bubarnya LBB, dan berhenti berfungsinya Komisaris Tinggi [LBB] untuk Pengungsi,
maka setelah berakhirnya PD II pada 1945, atas prakarsa PBB dibentuk International
Refugee Organization (IRO) sebagai badan yang khusus bertugas, antara lain,
memberi perlindungan hukum dan politis kepada pengungsi, jadi meneruskan sistem
perlindungan pengungsi yang dirintis oleh LBB. Kelemahan utama instrumen-
instrumen yang dibuat antara 1922 dan 1939 dan Konstitusi IRO 1946 adalah
keterbatasan lingkup pengertian “pengungsi” yang diliput oleh mandat IRO, yang
hanya mencakup orang-orang yang dapat dikategorikan demikian sebagai akibat
peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum dibuatnya Konstitusi IRO. Situasi pengungsi
sebagai akibat peristiwa-peristiwa yang terjadi sesudah dibuatnya Konstitusi IRO
1946 tidak terliput dalam mandat IRO. Konsep ini mencerminkan pikiran para
perancang Konstitusi IRO 1946 yang memang menghendaki
2
PD II (1939-1945) serta yang diliput oleh instrumen-instrumen internaional mengenai
pengungsi yang dibuat antara 1922 dan 1939 dan dibubarkan setelah tugas itu selesai.
Para perancang pembentukan IRO tidak mengantisipasi terjadinya situasi pengungsi
baru. Menurut sistem Konstitusi IRO 1946, lembaga pemberi perlindungan
internasional kepada adalah IRO sendiri sebagai organisasi yang mempunyai tiga
kelengkapan utama, yakni Dewan Umum (General Council), Komite Eksekutif
(Execitive Committee) dan Director General.
3
yuridis internasional lain untuk menuangkan keseluruhan prinsip atau prinsip-prinsip
tertentu dalam DUHAM yang berlaku bagi semua orang atau kategori orang tertentu
ke dalam instrumen-instrumen internasional yang mengikat secara hukum, yang
bersifat komprehensif, tematis, atau yang bersasaran kategori orang tertentu.
4
Dengan diubahnya Konvensi 1951 oleh Protokol 1967 maka Konvensi 1951
bersifat berpandangan ke depan, artinya berlaku untuk segala waktu. Meskipun
demikian, meskipun sekarang ini, lebih dari 51 tahun setelah dibuatnya Konvensi
1951, arti praktisnya sudah hilang, negara pihak pada Protokol 1951 yang pada waktu
menjadi pihak pada Konvensi 1951 yang pada waktu menjadi pihak pada Konvensi
1951 menyatakan bahwa baginya istilah “peristiwa yang terjadi sebelum 1 Januari
1951” hanya berarti peristiwa demikian di Eropa, masih tetap dapat mempertahankan
opsi itu.
Patut digaris bawahi bahwa Protokol 1967, yang hanya terdiri dari sebelas
pasal, hanya mengubah dua ketentuan pokok Konvensi 1951, yakni, pertama,
perluasan definisi istilah “pengungsi”(pasal 1 Konvensi 1951yang diubah pada Pasal
I Protokol 1967) dan, kedua, kemungkinan direservasinya ketentuan yang
menentukan bahwa perselisihan mengenai penafsiran dan pelaksanaan Konvensi
1951 dan/atau Protokol 1967 yang tidak dapat diselesaikan dengan cara lain, dapat
diajukan ke Mahkamah Internasional atas permintaan salah satu pihak yang berselisih
(Pasal 38 Konvensi 1951; Pasal IV dan Pasal VII Protokol 1967). Bagian substantif
Konvensi 1951 (Pasal 2-Pasal 34) sama sekali tidak diubah dan pelaksanaan Pasal 2-
Pasal 34 Konvensi 1951 tersebut merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh
Negara-negara Pihak pada Protokol 1967 (Pasal I ayat1 Protokol 1967)4.
5
dibandingkan dengan banyaknya pengungsi yang banyaknya diseluruh dunia
mencapai 10,4 juta orang hanya hampir setengah dari jumlah pengungsi internal.
Selain itu banyak pelanggaran-pelanggaran yang dialami oleh para pengungsi internal
di seluruh dunia, baik itu tidak terjaminnya hak-hak mereka oleh Negara, ataupun
bantuan yang seharusnya mereka terima.
Selain itu Indonesia sebagai salah satu Negara dengan jumlah penduduk
terbesar di dunia dengan berbagai keragaman suku bangsa, ras dan agama menjadi
salah satu tempat dengan tingkat keberadaan pengungsi internal yang cukup
banyak.selain itu ditunjang dengan wlayah geografis Indonesia yang berada di Ring
of Fire dan pertemuan antara dua lempeng benua menjadikan Indonesia sebagai
tempat dengan tingkat bencana alam paling tinggi di dunia. Hal ini menjadi penting
bagaimana pengungsi internal ini di perlakukan, baik itu dari segi bantuan ataupun
perlindungan hak-hak mereka.
B. Rumusan Masalah
6
BAB II
PEMBAHASAN
7
perbatasan nasional dan berada di luar perbatasan wilayah negara Sudan disebut
“pengungsi”. Istilah “displaced persons” untuk menunjuk orang-orang di Sudan
yang berada dalam kondisi sebagaimana digambarkan di atas pergunakan oleh
UNHCR dan MUPBB sampai 1974.
Dari 1972 sampai 1974 UNHCR secara ajek menggunakan istilah “displaced
persons” untuk menunjuk orang-orang yang karena konflik bersenjata (dalam hal
ini di Sudan dan Laos) terpaksa meninggalkan kampung halaman mereka dan
pergi ke tempat lain yang mereka rasa aman, tetapi [masih] berada di dalam
negeri (di dalam perbatasan wilayah nasional).
8
perlunya diprioritaskannya tindakan yang bersifat mendesak, yakni memastikan
bahwa orang-orang tersebut diizinkan masuk ke dan tinggal sementara di negara
kedatangan, untuk memungkinkan UNHCR memproses kemungkinan
pemukiman mereka ke negara lain.
Istilah Displaced Person dalam berbagai resolusi Majelis Umum tahun 1957
yang memberikan hak kepada UNHCR untuk memberikan bantuan dan
perlindungan kepada orang-orang yang terlantar (persons displaced) diluar
Negara asal yang tidak masuk dalam definisi pengungsi, tetapi mereka ditemukan
dalam “keadaan seperti pengungsi”, akibat kejadian-kejadian (kadang-kadang
sebagai “bencana buatan manusia”) yang timbul dalam Negara asal mereka7.
6
Enny Soeprapto, Loc Cit, Hlmn. 27
7
Achmad Romsan, dkk, 2003, Pengantar Hukum Pengungsi Internasiona (Hukum Internasional dan Prinsip-
prinsip Perlindungan Internasional), Sanic Offset, Bandung, hlmn. 32
9
bencana-bencana alam, atau bencana-bencana akibat ulah manusia, dan yang
tidak melintasi perbatasan negara yang diakui secara internasional8.
Berdasarkan pendapat diatas, terlihat bahwa istilah IDPs timbul karena adanya
pertikaian bersenjata, atau karena banyaknya terjadi pelanggaran, pelanggaran
hak asasi manusia atau karena terjadinya bencana alam ataupun bencana buatan
manusia. Bencana alam di sini dapat berupa banjir, gempa, tsunami, gunung
meletus, kekeringan dan lain sebagainya. Sedangkan bencana buatan manusia
misalnya adanya pencemaran udara karena zat-zat berbahaya buatan manusia, dll.
Sehingga apabila ada orang-orang yang memenuhi criteria tersebut dapat
digolongkan dalam IDPs dan diharapkan mendapat bantuan dan juga
perlindungan.
8
Judhariksawan, 2010, Internally Displaced Persons (IDP’s), bahan ajar kuliah Hukum Pengugsi, Fakultas
Hukum Unhas, Makassar, dalam bentuk Power Point.
10
Saat ini melihat banyaknya IDPs yang tersebar di seluruh dunia dan tidak
mampunya Negara-negara dalam mengatasi pengungsi internalnya membuat
banyak lembaga-lembaga ataupun organisasi-organisasi internasional yang turut
serta dalam membantu dan melindungi para IDPs tersebut. Dengan tetap menjaga
dan menghormati kedaulatan Negara tempat IDPs itu bermukim. Biasanya harus
ada permintaan langsung kepada lembaga, organisasi ataupun dunia internasional
untuk membantu Negara tersebut dalam mengatasi IDPs ini. Sebagai contoh pada
saat Tsunami di Aceh, pemerintah Indonesia meminta bantuan dari UNHCR dan
organisasi internasional lain untuk membantu mengatasi masalah-masalah yang
berada di sana.
Selain itu Office For The Humanitarian Affairs (OCHA) membuat Guiding
Principles on Internally Displacement 1998 (30 Prinsip) sebagai bentuk perhatian
terhadap banyaknya pengungsi internal di seluruh dunia. Panduan ini memberikan
arahan tentang perlindungan dan pemenuhan kebutuhan para pengungsi internal
di seluruh dunia. Selain itu diatur juga bagaimana memperlakukan dan juga
pemulihan kembali, maupun reintegrasi pengungsi internal.
B. IDPs di Indonesia
9
Ibid.,
11
RI sudah mengenal masalah IDPs segera sejak proklamasi 17 Agustus 194510:
- 1945-1949: Penyingkiran orang-orang pro-RI dari daerah-daerah tempat
terjadinya konflik bersenjata antara pasukan RI dan pasukan Inggris/Belanda
dan, kemudian, dari daerah-daerah yang diduduki Belanda (konflik bersenjata
internasional) atau pemberontakan PKI-Madiun, 1948) (konflik bersenjata
noninternasional/vertikal);
- 1950-an: sebagai akibat pemberontakan bersenjata terhadap
Negara/Pemerintah RI (seperti pemberontakan DI-TII, PRRI, Permesta)
(konflik bersenjata noninternasional/vertikal);
- 1960-an: sebagai akibat konflik bersenjata internal (noninternasional), i.c.
peristiwa G-30-S, 1965 dengan berbagai imbasnya;
- 1970-an: sebagai akibat konflik bersenjata/vertikal seperti di Irian Jaya dan
Aceh, serta konflik vertikal-horisontal di Timor Timur;
- 1980-an: sebagai akibat berlanjutnya konflik bersenjata vertikal, seperti di
Irian Jaya, Timor Timur, dan Aceh;
- 1990-an: sebagai akibatnya berlanjutnya konflik bersenjata/vertikal di Irian
Jaya, Timor Timur,dan Aceh, konflik horizontal di Kalimantan Barat,
Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, maluku, dan Timor Timur pasca-jajak
pendapat 30 Agustus 1999;
- 2000-an: sebagai akibat berlanjutnya konflik vertikal di Aceh dan konflik
horizontal di Maluku dan Sulawesi Tengah.
10
Enny Soeprapto, 2002, Perlindungan Hak Asasi Dan Kebebasan Fundamental Internally Displaced Persons
(IDPs), http://www.komnasham.go.id/portal/files/ES_IDPs01.pdf, diakses tanggal 31 Oktober 2010, pukul 15.30
WITA
12
c. Fokus kegiatan :
Hak asasi dan kebebasan fundamental yang paling esensial bagi IDPs yang
perlu dilindungi 11:
a. Pasal 5 Hak untuk diakui sebagai manusia pribadi di depan hukum (ayat (1)),
untuk mendapat bantuan dan perlindungan dari pengadilan yang objektif dan
tidak memihak (ayat (2)), dan memperoleh perlakuan perlindungan lebih
berkenaan dengan kekhususannya (bagi kelompok masyarakat yang rentan
(ayat (3)) (cf. Ps. 27 (1) dan 28D (1) UUD 1945, Ps. 6 & 7 DUHAM 1948, Ps.
4(2), 14, 16, dan 24(2) ICCPR 1966, Ps. 2 CEDAW 1979, dan Ps. 8(2) CRC
1989), Pr. 20 Guiding Principles 1998);
b. Pasal 9 Hak untuk hidup, mempertahankan hidup [dan meningkatkan taraf
kehidupan (ayat (1)), hak untuk hidup tentram, aman, damai, bahagia lahir
dan batin (ayat (2)), dan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat (ayat
(3)) (cf. Ps. 28A UUD 1945, Ps. 3 DUHAM 1948, Ps. 6 ICCPR 1966, dan Pr.
10, 11, 12, dan 18 Guiding Principles 1998);
c. Pasal 12 Hak memperoleh pendidikan (cf. Ps. 28E(1) 7 Ps. 31 UUD 1945, Ps.
26 DUHAM 1948, Ps. 13 ICESCR 1966, Ps. 28(1) CRC 1989, Pr. 23 Guiding
principles 1998);
11
Ibid,.
13
d. Pasal 22 Kebebasan memeluk dan beribadat menurut agama dan
kepercayaannya masing-masing (cf. Ps. 28E(1) & (2) UUD 1945, Ps. 18 & 19
DUHAM 1948, Ps. 18 ICCPR 1966, Pr. 22.1(a) Guiding Principles 1998);
e. Pasal 27 Kebebasan bergerak, berpindah tempat, dan bertempat tinggal di
dalam wilayah negara [RI] (cf. Ps. 28E(1) (dua kalimat / rangkaian kata
terakhir) UUD 1945, Ps. 13(1) DUHAM 1948, Ps. 12(1) & (2) ICCPR 1966,
Pr. 14 & 15 Guiding Principles 1998);
f. Pasal 29 Hak atas perlindungan pribadi, keluarga, martabat, dan hak milik (cf.
Ps. 28G(1) DUHAM 1948, Ps. 7 & 17(1) ICCPR 1966, Ps. 6 CEDAW 1979,
Ps. 9(1), 10(1), 16(1), 32 s.d 16, dan 37(a) CRC 1989, dan Pr. 11 & 17
Guiding Principles 1998);
g. Pasal 33 Hak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman yang kejam, tidak
manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan (ayat (1)) dan
hak untuk bebas dari penghilangan paksa dan nyawa (ayat (2)) (cf. Ps 28G(2)
UUD 1945, Ps. 5 & 5 DUHAM 1948, Ps. 7 & 8 ICCPR 1966, Ps. 6 CEDAW
1979, Ps. 32 s.d 36 CRC 1989, dan Pr. 11 Guiding Principles 1998);
h. Pasal 36 Hak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan
orang lain (ayat (1)) [dan bahwa tidak seorang pun boleh dirampas miliknya
dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum (cf. Ps. 28G(1) &
28H(4) UUD 1945, Ps. 17 DUHAM 1948, Pr. 21 Guiding Principles 1998);
i. Pasal 65 Hak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan
pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak [serta dari berbagai bentuk
penyalahgunaan narkotika, psikotopika, dan zat adiktif lainnya] (cf. Ps.
28G(2) UUD 1945, Ps. 7 ICCPR 1966, Ps. 32 s.d 36 & 37 (a) CRC 1989, dan
Pr. 11 Guiding Principles 1998).
14
''Meski UNHCR bekerja bukan di bidang garapannya, diluar mandatnya sebagai
badan PBB yag mengurusi pengungsi, UNHCR diperkenankan untuk meneruskan
rencananya menggelar program rekonstruksi senilai 60 juta dolar,'' ungkap seorang
juru bicara Alwi Shihab, sebagaimana dikabarkan oleh surat kabar Australia, Sydney
Morning Herald hari ini.
Robert Ashe sendiri mengaku senang dengan kabar baik dari Alwi Shihab itu. ''Kami
gembira dengan pernyataan tersebut. Meskipun begitu kami masih menunggu
kejelasan tentang bagaimana program kerja kami akan ditempatkan dalam konteks
keseluruhan upaya rekonstruksi Aceh,'' kata Ashe.
Ditambahkan pula oleh Menko kesra bahwa yang boleh tinggal di Aceh adalah
lembaga-lembaga asing yang sudah secara resmi membuat perjanjian dengan
pemerintah, atau punya kerjasama atau menjadi pelaksana proyek yang dijalankan
oleh badan-badan PBB.
Menyimak pernyataan terakhir ini, boleh jadi IOM --yang sebagaimana UNHCR juga
mengurusi pengungsi akibat bencana buatan manusia-- juga akan bertahan. Terlebih
sudah sejak awal lembaga yang bernaung di bawah Uni Eropa ini meneken
kesepakatan dengan Alwi Shihab sendiri --selaku pelaksana harian Bakornas PBP--
untuk membangun 11.000 rumah untuk Aceh..
Dari kasus di atas dapat disimpulkan bahwa sesuai dengan pengertian IDPs
pengungsi internal dapat juga dikarenakan oleh bencana alam. Jadi bukan hanya
karena alasan perang, perbedaan pandangan politik, ataupun terjadi karena banyaknya
pelanggaran-pelanggaran terhadap hak asasi seseorang atau kelompok masyarakat
tertentu. Alasan bencana alam juga dapat dikategorikan sebagai IDPs.
15
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. SARAN
16