You are on page 1of 4

Salah satu ciri yang wajib dimiliki oleh sumber daya manusia yang unggul adalah sehat jiwa

maupun raga. Dengan kondisi kesehatan yang prima, manusia dapat menjalankan perannya
dengan baik, sehingga ia dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Kesadaran akan hal itu
membuat Pemerintah Indonesia, melalui Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes
RI), terus berupaya memperbaiki taraf kesehatan rakyat Indonesia.

Itu bukanlah tugas yang mudah. Banyak tantangan yang harus dihadapi Depkes RI dalam
menjalankan tugas mereka. Salah satunya adalah karakter masyarakat Indonesia yang begitu
beragam. Di antara karakter-karakter tersebut, kemampuan ekonomi masyarakat merupakan
salah satu masalah yang cukup sering ditemui. Cukup sering kita mendengar, bagaimana sulitnya
masyarakat miskin di Indonesia memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai, dikarenakan
alasan biaya. Bagi mereka, biaya pelayanan kesehatan yang ada saat ini, cukup memberatkan.
Padahal, Depkes RI telah melakukan banyak upaya untuk membantu masyarakat miskin untuk
terbebas dari masalah tersebut. Pekan Imunisasi Nasional, Obat Generik, Puskesmas dan
Posyandu, Askeskin. Semua itu merupakan sedikit dari banyak upaya pemerintah untuk
memudahkan masyarakat miskin memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai dan
terjangkau. Akan tetapi, masalah tersebut masih saja muncul. Biaya pelayan kesehatan masih
tetap terasa mahal. Apa yang salah? Apakah pelayanan kesehatan yang memadai selalu
memerlukan biaya tinggi?

Anggapan itu tidak sepenuhnya salah. Perkembangan dunia kesehatan memangs semakin pesat.
Berbagai teknologi baru bermunculan. Riset-riset untuk menghasilkan inovasi baru harus terus
dilakukan. Semua itu memerlukan biaya yang tidak sedikit Ditambah lagi, persaingan di dunia
kesehatan yang makin ketat. Banyak institusi pelayanan kesehatan, seperti rumah sakit dan
klinik, yang bermunculan. Kehadiran institusi-institusi tersebut, tidak hanya didasari semangat
untuk menolong, tapi ju memiliki sisi bisnis yang tidak bisa dikesampingkan. Tentu saja, dalam
bisnis, seir pihak mengharapkan keuntungan dari bisnis yang mereka jalani tersebut.

Masalahnya, upaya mencari keuntungan tersebut dilimpahkan kepada masyarakat sebagai


pengguna jasa pelayanan kesehatan. Itu artinya, institusi pelayanan bergantung pada uang yang
dibayarkan masyarakat atas jasa yang telah mereka berikan. Semakin banyak uang yang
dibayarkan, semakin besar pula keuntungan yang didapat. Akibatnya, banyak institusi pelayanan
medis yang mengambil jalan pintas dengan menentukan tarif pelayanan medis secara
sembarangan. Ini disebabkan tidak adanya standar baku yang berlaku secara nasional untuk
menghitung dan mengevaluasi pelayanan medis yang harus dikenakan pada masyarakat. Itu
sebabnya, sering terjadi perbedaan biaya pada institusi pelayanan kesehatan yang berbeda,
walaupun diagnosis yang dilakukan sama. Akibatnya, banyak pengguna jasa pelayanan
kesehatan merasa ditipu. Namun, masyarakat tidak mampu melakukan perlawanan karena tidak
adanya patokan yang bisa dijadikan dasar untuk melakukan klarifikasi.

Ketiadaan standar ini memang sangat merugikan konsumen jasa pelayanan kesehatan, terlebih
lagi bagi golongan masyarakat miskin. Umumnya, masyarakat miskin tidak memiliki banyak
pilihan dalam hidup mereka. Selain itu, pengetahuan serta akses mereka menuju pelayanan
kesehatan yang murah dan memadai juga terbatas, sehingga, mereka dengan mudah menerima
apa pun yang dikatakan atau disarankan oleh dokter atau rumah sakit. Akibatnya, ketika mereka
mengetahui jumlah kewajiban yang harus mereka lunasi, mereka tidak berdaya. Akhimya,
mereka lebih memilih untuk menjauhi institusi pelayanan kesehatan karena merasa takut dengan
biaya yang mahal.

Ini tentunya sesuatu yang tidak diharapkan oleh Depkes RI dalam menjalankan visi misinya,
MENUJU INDONESIA SEHAT 2010. Diperlukan sebuah solusi yang efektif untuk
menanggulangi masalah tersebut. Sebuah solusi yang dapat menjamin ketersediaan pelayanan
kesehatan yang memadai, terjangkau, Solusi itu kini tengah diuji coba di Indonesia, yang dikenal
dengan nama Indonesia Diagnosis Related Group (INA-DRG).

Case-Mix pertama kali dikembangkan di Amerika Serikat pada tahun 1980. Sebelum masuk ke
Indonesia, sistem Case-Mix telah diterapkan di banyak negara, seperti Amerika Serikat, Jepang,
Thailand, Australia, serta Malaysia. Case-Mix Indonesia merupakan adaptasi dari sistem serupa
yang diterapkan di Malaysia. Dalam hal ini, Depkes RI menggandeng Universiti Kebangsaan
Malaysia (UKM), sebagai partner untuk merumuskan sistem Case-Mix yang paling sesuai bagi
Indonesia. Kerja sama ini berbentuk sebuah Pilot Project Implementasi Case-Mix di 15 rumah
sakit di Indonesia.

Centre for Case-Mix adalah sebuah wadah yang dibentuk Depkes RI, yang bertugas
mengumpulkan, mengolah, dan menyajikan data dan informasi mengenai pelaksanaan Case-Mix
di 15 rumah sakit yang telah ditunjuk pemerintah sebagai tempat uji coba sistem Case-Mix.
Berbekal data yang dikirimkan dari rumah sakit-rumah sakit tersebut Centre for Case-Mix
menyusun daftar INA-DRG. Adapun rumah sakit yang berpartisipasi dalam kerja sama ini
adalah :

1. RSU H. Adam Malik, Medan


2. RSUP Dr. M. Djamil, Padang
3. RSUP Dr. M. Hoesin, Palembang
4. RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
5. RSUP Fatmawati, Jakarta
6. RSUP Persahabatan, Jakarta
7. RS Anak Bunda Harapan Kita, Jakarta
8. RS Jantung & Pembuluh Darah Harapan Kita, Jakarta
9. RS Kanker Dharmais, Jakarta
10. RSUP Hasan Sadikin, Bandung
11. RSUP Dr. Kariadi, Semarang
12. RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta
13. RSUP Sanglah, Denpasar
14. RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar
15. RSUP Dr. R. D. Kandou, Manado

Case-Mix merupakan sistem pembayaran pelayanan kesehatan yang berhubungan dengan mutu,
pemerataan, jangkauan dalam sistem pelayanan kesehatan yang menjadi salah satu unsur dalam
pembiayaan kesehatan, serta mekanisme pembayaran untuk pasien berbasis kasus campuran.
Case-Mix merupakan suatu format klasifikasi yang berisikan kombinasi beberapa jenis penyakit
dan tindakan pelayanan di suatu rumah sakit dengan pembiayaan yang dikaitkan dengan mutu
dan efektivitas pelayanan.
Dalam sistem Case-Mix, terdapat 14 variabel mengenai pasien yang perlu dicatat oleh rumah
sakit, yaitu :

1. Identitas Pasien
2. Tanggal masuk rumah sakit
3. Tanggal keluar rumah sakit
4. Lama hari rawatan
5. Tanggal lahir
6. Umur ketika masuk rumah sakit (dalam satuan tahun)
7. Umur ketika masuk rumah sakit (dalam satuan hari)
8. Umur ketika keluar dari rumah sakit (dalam satuan hari)
9. Jenis kelamin
10. Status keluar rumah sakit (discharge disposition)
11. Berat badan baru lahir
12. Diagnosis utama
13. Diagnosis sekunder, seperti komplikasi dan komorbiditas
14. Prosedur atau pembedahan utama

Dalam sistem Case-Mix, yang menjadi perhatian adalah bauran kasus, yaitu apakah diagnosis
utama yang ditegakkan pasien serta komplikasi apa yang mungkiri terjadi akibat diagnosis utama
tersebut. Diagnosis utama itu lah yang dijadikan acuan untuk menghitung biaya pelayanan.
Penghitungan biaya berfokus pada variabel tersebut, sehingga rumah sakit tidak akan
mencantumkan hal-hal yang tidak seharusnya dalam pembayaran. Dengan demikian,
penghitungan biaya menjadi lebih mudah dan tepat. Tidak ada pembayaran untuk hal-hal yang
sekiranya tidak berhubungan atau tidak perlu. Prioritas pelayanan pasien akan diberikan sesuai
dengan tingkat keparahan, dan tidak dilakukan secara sembarangan. Ini tentunya dapat menekan
biaya pelayanan kesehatan yang kerap menjadi masalah bagi masyarakat, khususnya masyarakat
miskin. Masyarakat tidak akan merasa ditipu akibat harus membayar biaya di luar pelayanan
yang seharusnya.

Selain memberikan fokus dalam masalah penghitungan biaya, Case-Mix juga memberikan
standar nasional mengenai berapa biaya yang harus dikenakan untuk diagnosis tertentu. Hal ini
memberikan kepastian sekaligus transparansi pada masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan
kesehatan. Dengan demikian, biaya dapat diprediksi, dan keuntungan yang diperoleh rumah sakit
pun dapat lebih pasti. Pemerataan pelayanan kesehatan di Indonesia lebih mungkin untuk
tercapai karena adanya standardisasi tariff secara nasional. Standardisasi bukan hanya berguna
bagi masyarakat miskin, tetapi juga bagi masyarakat golongan menengah atas yang terbiasa
berobat ke luar negeri. Dengan adanya tarif standar yang lebih terjangkau, mereka tentunya akan
berpikir dua kali sebelum memutuskan untuk berobat ke luar negeri.

Dengan data yang begitu lengkap dan akurat, Case-Mix juga dapat berfungsi sebagai mjukan
bagi Rumah Sakit dalam melakukan penilaian terhadap berbagai pelayanan yang telah diberikan
Dengan demikian, efektivitas pelayanan kesehatan dapat terkontrol dan dievaluasi karena sistem
yang ada sudah memiliki standar dalam hal penggunaan berbagai sumber dayanya. Dengan
demikian, rumah sakit memiliki acuan yang jelas dalam usaha meningkatkan mutu pelayanan
mereka.
Namun, pelaksanaan Case-Mix pun tidak lepas dari berbagai kendala. Salah satunya adalah
kendala dalam melakukan diagnosa dan pengkodeannya. Sampai dengan sekarang, selain ke-15
rumah sakit berpartisipasi, rumah sakit di Indonesia banyak yang belum mulai menggunakan
pengkodean medis. padahal, kunci sukses dari penyusunan Case-Mix adalah pada diagnosa dan
pengkodean yang teliti. Depkes RI telah berusaha mengantisipasinya, dengan mengadakan
pelatihan pengkodean, diagnosis, dan prosedur yang mengikuti standar intemasional.

Selain itu, pengumpulan informasi tentang berbagai variabel serta biaya dalam Case-Mix juga
tidak mudah. Memerlukan usaha yang keras, komitmen, serta motivasi yang tinggi. Penggunaan
teknologi informasi dan komunikasi juga tengah diusahakan demi mempermudah penerapan
Case-Mix. Dalam sejumlah kasus, seperti di ruang isolasi, Case-Mix juga sulit diterapkan karena
besar kemungkinan pasien mengalami perpindahan diagnosis utama dari DRG menuju tingkat
yang lebih mahal.

Dalam pengembangannya, Depkes RI menggunakan software Clinical Cost Modelling Software


yang menggunakan 3 macam pendekatan costing konvensional yang berbeda, yaitu Step-Down
Costing, Activity-Based Costing, dan Case-Mix Costing. Dengan mengkombinasikan 3
pendekatan itu, informasi yang dihasilkan lebih akurat dan stabil.

Dengan begitu, jelaslah kiranya bahwa Case-Mix sangat diperlukan oleh rakyat Indonesia dalam
mengambil keputusan mengenai pelayanan kesehatan. Melalui forum ini, diharapkan INA-DRG
akan tersosialisasikan dengan lebih luas, sehingga masyarakat makin sadar dan mau untuk
menggunakan jasa pelayanan kesehatan tanpa merasa takut terbebani biaya. Harapan yang tak
kalah pentingnya, INA-DRG dapat membantu masyarakat miskin untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan yang memadai, sehingga kualitas hidup meningkat, dan visi INDONESIA SEHAT
2010 dapat menjadi suatu kenyataan.

You might also like