Professional Documents
Culture Documents
1. Pengertian
Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani dengan asal suku kata pahainomenon (gejala/fenomena).
Adapun studi fenomenologi bertujuan untuk menggali kesadaran terdalam para subjek mengenai
pengalaman beserta maknanya. Sedangkan pengertian fenomena dalam Studi Fenomenologi sendiri
adalah pengalaman/peristiwa yang masuk ke dalam kesadaran subjek.
Fenomenologi merupakan ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak (phainomenon). Jadi,
fenomenologi mempelajari suatu yang tampak atau apa yang menampakkan diri. “fenomen” merupakan
realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung yang memisahkan realitas dari kita., realitas itu sendiri
tampak bagi kita. Kesadaran menurut kodratnya mengarah pada realitas. Kesadaran selalu berarti
kesadaran akan sesuatu. Kesadaran menurut kodratnya bersifat intensionalitas. (intensionalitas merupakan
unsur hakiki kesadaran. Dan justru karena kesadaran ditandai oleh intensionalitas, fenomen harus
dimengerti sebagai sesuatu hal yang menampakkan diri.
Sebagai contoh dari konstitusi: “saya melihat suatu gelas, tetapi sebenarnya yang saya lihat merupakan
suatu perspektif dari gelas tersebut, saya melihat gelas itu dari depan, belakang, kanan, kiri, atas dan
seterusnya”. Tetapi bagi persepsi, gelas adalah sintesa semua perspektif itu. Dalam prespektif objek telah
dikonstitusi. Pada akhirnya Husserl selalu mementingkan dimensi historis dalam kesadaran dan dalam
realitas. Suatu fenomen tidak pernah merupakan suatu yang statis, arti suatu fenomen tergantung pada
sejarahnya. Ini berlaku bagi sejarah pribadi umat manusia, maupun bagi keseluruhan sejarah umat
manusia. Sejarah kita selalu hadir dalam cara kita menghadapi realitas. Karena itu konstitusi dalam filsafat
Husserl selalu diartikan sebagai “konstitusi genetis”. Proses yang mengakibatkan suatu fenomen menjadi
real dalam kesadaran adalah merupakan suatu aspek historis.
Husserl juga mengungkapkan tentang reduksi transendental. Reduksi ini harus dilakukan menurut Husserl
lebih dikarenakan karena Husserl menginginkan fenomenologi menjadi suatu ilmu rigous. Ilmu rigous tidak
boleh mengandung keraguan, atau ketidak pastian apapun juga. Ucapan yang dikemukakan pada ilmu
rigorous harus bersifat “apodiktis” (tidak mengizinkan keraguan). Suatu benda material tidak pernah
diberikan kepada kita secara apodiktis dan absolut. Setiap benda material selalu diberikan dalam bentuk
profil-profil. Misalnya dari sebuah lemari yang ada di hadapan saya, saya hanya dapat melihat depannya
saja tanpa dapat mengetahui bentuk depannya, dan ketika saya ingin melihat sisi depannya, maka saya
harus melihatnya dari sisi yang lainnya, namun setelah itu saya tidak bisa melihat sisi depan dari profil-profil
lain. Dengan cara inilah benda-benda material tampak bagi saya. Setiap benda material tidak pernah
diberikan kepada saya menurut segala profil-profilnya, secara total dan absolut. Cara realitas material
tampak bagi saya bersikap sedemikian rupa, sehingga tidak dapat ditemukan pernyataan-pernyataan
apodiktis dan absolut tentangnya. Karena alasan-alasan itulah fenomenologi sebagai ilmu rigorous harus
mulai dengan mempraktekkan “reduksi transendental”.
Wawasan utama fenomenologi adalah “pengertian dan penje lasan dari suatu realitas harus dibuahkan dari
gejala realitas itu sendiri” (Aminuddin, 1990:108). Dalam perkembangannya, fenomenologi memang ada
beberapa macam, antara lain: (a) fenomenologi Edid etik dalam linguistik, fenomenologi Ingarden
dalam sastra, artinya pengertian murni ditentukan melalui penentuan gejala utama, penandaan dan
pemilahan, penyaringan untuk menentukan keberada an, penggambaran gejala (refleksi), fenomenologi
transendental, dan (d) fenomenologi eksistnsial.
Bagi fenomenologi transendental, keberadaan realitas sebagai “objek” secara tegas ditekankan. Kesa daran
aktif dalam menangkap dan merekonstruksi kesadaran terhadap suatu gejala amat penting. Bagi
fenomenologi eksitensial, penentuan pengertian dari gejala budaya semata-mata tergantung individu.
Refleksi individual menjadi “guru” bagi individu itu sendiri dalam rangka menemukan kebenaran.
Metode kualitatif fenomenologi berlandaskan pada empat kebenaran, yaitu kebenaran empirik sensual,
kebenaran empirik logik, kebenaran empirik etik, dan kebenaran empirik transenden. Atas dasar cara
mencapai kebenaran ini, fenomenologi menghendaki kesatuan antara subyek peneliti dengan pendukung
obyek penelitian.
Keter libatan subyek peneliti di lapangan dan penghayatan fenomena yang dialami menjadi salah satu ciri
utama. Hal tersebut juga seperti dikatakan Moleong (1988:7-8) bahwa pendekatan fenomenologis berusaha
memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu.
Mereka berusaha untuk masuk ke dunia konseptual para subyek yang ditelitinya sedemikian rupa sehingga
mereka mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang mereka kembangkan di sekitar peristiwa dalam
kehidupannya sehari hari. Makhluk hidup tersedia pelbagai cara untuk menginterpretasikam pengalaman
melalui interaksi dengan orang lain, dan bahwa penger tian pengalaman kitalah yang membentuk
kenyataan.
1. Sejarah Fenomenologi
Pada masa sebelum ada cara berpikir fenomenologis, cara berpikir manusia dibagi dua kutup yang
berlawanan 180 derajat yaitu: idealisme dan realisme. Kaum penganut idealisme menilai benda-benda
maupun peristiwa yang terjadi disekitarnya berdasarkan ide-ide yang dikembangkan dalam pikirannya.
Kemudian ide-ide ini membentuk semacam “frame of reference” yang secara subjectif dipahami sebagai
kebenaran. Dalam memandang dunia sekitarnya seorang idealist akan memakai acuan “frame of reference”
yang merupakan ide-ide dalam pikirannya. Oleh karena itu seorang idealist biasanya juga sangat subjectif
dalam menilai dunia sekitarnya. Sumbangan idealisme kedunia adalah adanya penemuan-penemuan baru,
ide-ide baru, karya besar di bidang sastra, dll. Sedangkan kebalikannya kaum penganut realisme, melihat
benda-benda maupun sesuatu peristiwa yang ada sesuai dengan keadaan nyata benda tersebut yang
secara nyata bisa diraba, diukur atau punyai nilai tertentu. Kalau tidak bisa dibuktikan bahwa benda itu
nyata dan punya nilai atau ukuran tertentu maka benda itu tidak pernah ada. Oleh karena itu penganut
realisme cenderung kepada atheisme yang tidak percaya adanya Tuhan karena Tuhan tidak bisa dilihat
secara nyata. Realisme sangat berpengaruh di Eropa pada masa revolusi industri dan sumbangannya
kedunia adalah kemajuan “science & technology”.
Pada sekitar awal abad ke 20, walaupun revolusi industri terus bergerak, beberapa filsuf di Eropa seperti
Edmund Hursell (1859 - 1938) mulai meragukan kehandalan cara berpikir realisme yang seolah-olah tidak
ada satupun dialam ini yang tidak bisa dijelaskan dengan ilmu pengetahuan alam. Apapun yang telah
ditemukan, persoalan-persoalan dasar manusia tidak pernah bisa diselesaikan. Tidak semua hal bisa
diselesaikan dengan ilmu pengetahuan alam.
Penelitian fenomenologi mencoba menjelaskan atau mengungkap makna konsep atau fenomena
pengalaman yang didasari oleh kesadaran yang terjadi pada beberapa individu. Penelitian ini dilakukan
dalam situasi yang alami, sehingga tidak ada batasan dalam memaknai atau memahami fenomena yang
dikaji. Menurut Creswell (1998:54), Pendekatan fenomenologi menunda semua penilaian tentang sikap
yang alami sampai ditemukan dasar tertentu. Penundaan ini biasa disebut epoche (jangka waktu). Konsep
epoche adalah membedakan wilayah data (subjek) dengan interpretasi peneliti. Konsep epoche menjadi
pusat dimana peneliti menyusun dan mengelompokkan dugaan awal tentang fenomena untuk mengerti
tentang apa yang dikatakan oleh responden. Berikut ini adalah sedikit uraian tentang fenomenologi sebagai
metode penelitian;
• Textural description: apa yang dialami subjek penelitian tentang sebuah fenomena.
• Structural description: bagaimana subjek mengalami dan memaknai pengalamannya.
• Pra-penelitian
• Menetapkan subjek penelitian dan fenomena yang akan diteliti
• Menyusun pertanyaan penelitian pokok penelitian
Sebagai suatu metode keilmuan, fenomenologi dapat mendeskripsikan fenomena sebagaimana adanya
dengan tidak memanipulasi data. Aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita terima sebelumnya
dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan dikesampingkan untuk
mengungkap pengetahuan atau kebenaran yang benar-benar objektif.
Selain itu, fenomenologi memandang objek kajiannya sebagai kebulatan yang utuh, tidak terpisah dari objek
lainnya. Dengan demikian fenomenologi menuntut pendekatan yang holistik, bukan pendekatan partial,
sehingga diperoleh pemahaman yang utuh mengenai objek yang diamati. Hal ini menjadi suatu kelebihan
pendekatan fenomenologi, sehingga banyak dipakai oleh ilmuwan-ilmuwan dewasa ini, terutama ilmuwan
sosial, dalam berbagai kajian keilmuan mereka termasuk bidang kajian agama.
Dibalik kelebihan-kelebihannya, fenomenologi sebenarnya juga tidak luput dari berbagai kelemahan. Tujuan
fenomenologi untuk mendapatkan pengetahuan yang murni objektif tanpa ada pengaruh berbagai
pandangan sebelumnya, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan, merupakan sesuatu yang
absurd. Sebab fenomenologi sendiri mengakui bahwa ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai
(value-free), tetapi bermuatan nilai (value-bound). Hal ini dipertegas oleh Derrida, yang menyatakan bahwa
tidak ada penelitian yang tidak mempertimbangkan implikasi filosofis status pengetahuan. Kita tidak dapat
lagi menegaskan objektivitas atau penelitian bebas nilai, tetapi harus sepenuhnya mengaku sebagai hal
yang ditafsirkan secara subjektif dan oleh karenanya status seluruh pengetahuan adalah sementara dan
relatif. Sebagai akibatnya, tujuan penelitian fenomenologis tidak pernah dapat terwujud.
Selanjutnya, fenomenologi memberikan peran terhadap subjek untuk ikut terlibat dalam objek yang diamati,
sehingga jarak antara subjek dan objek yang diamati kabur atau tidak jelas. Dengan demikian, pengetahuan
atau kebenaran yang dihasilkan cenderung subjektif, yang hanya berlaku pada kasus tertentu, situasi dan
kondisi tertentu, serta dalam waktu tertentu. Dengan ungkapan lain, pengetahuan atau kebenaran yang
dihasilkan tidak dapat digenaralisasi.
Hermeneutik
Di dalam tradisinya, hermeneutika dikaitkan dengan seorang dewa Yunani, Hermes (dalam mitologi
Romawi disebut Merkurius) sebagai dewa yang menyampaikan pesan Dewa Zeus kepada manusia. Ia
“menerjemahkan” keinginan Dewa Zeus (dalam bahasa dewa, mungkin) ke dalam ungkapan yang dipahami
oleh manusia. Ia sendiri adalah pencipta bahasa dan tulisan, sehingga manusia bisa memahami satu sama
lain. Hermeneutika juga dikaitkan dengan hermeios, yaitu pendeta bijak dari Delphi yang menerjemahkan
keinginan para dewa supaya dapat dipahami para manusia. Di dalam bahasa Inggris kata delphic sendiri
berarti tidak jelas atau ambigu. Maka adalah tugas sang pendeta untuk memberikan tafsir atas kalimat yang
ambigu tersebut.
1. Definisi
Secara etimologis, kata hermeneutik berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti menafsifkan.
Kata benda hermeneia secara harfiah dapat diartikan sebagai penafsiran atau interpretasi. Hermeneutik
akhirnya diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Pada
hermeneutik terdapat pengalaman-pengalaman mental yang disimbolkan secara langsung itu adalah sama
untuk semua orang, sebagaimana juga pada pengalaman-pengalaman imajinasi-imajinasi untuk
menggambarkan sesuatu. Menurut Aristoteles, tidak ada satupun manusia yang mempunyai, baik bahasa
tulisan maupun bahasa lisan, yang sama dengan yang lain. Bahasa sebagai suatu sarana komunikasi antar
individu dapat juga tidak berarti sejauh mana orang yang berbicara dengan yang lain dengan bahasa yang
berbeda. Peralihan dari pengalaman mental dalam kata-kata yang di ucapkan atau ditulis mempunyai
kecenderungan dasar untuk mengerut atau menyempit. Sebuah pengalaman mental atau konsep atau
gambaran (image) pada dasarnya kaya akan corak dan warna serta mempunyai nuansa yang beraganeka
ragam.
Dalam bentuk tertulis tidak hanya ejaan dan rangkaian huruf-huruf yang berbeda namun kesamaan bunyi
juga akan muncul ( ekiuvokal) seperti misalnya kata genting yang berarti “gawat” atau “atap”atau “sempit”.
Aristoteles memisahkan antara homonim, sinonim, dan kata-kata turunan. Dalam hal-hal seperti ini, orang
kemudian biasanya menurunkan arti kata-kata berdasarkan konteks yang ada. Untuk menanggulangi hal-
hal semacam ini maka hermeneutik kiranya akan berperan penting.
Pada dasarnya hermeneutik berhubungan dengan bahasa, berpikir itu ialah melalui bahasa dapat
menjadikan orang berbicara dan menulis dengan bahasa. Nuansa-nuansa bahasa bukanlah merupakan hal
yang baru, namun untuk pertama kalinya bahasa menjadi pusat pembicaraan filosofis H.G. Gadamer yang
menulis sebagai berikut: bahasa merupakan modus operandi dari cara kita berada di dunia dan merupakan
wujud yang seakan -akan merangkul seluruh konstitusi tentang status manusia di dunia ini sebagai bagian
yang seakan-akan tidak terbedakan dari dunia ini. Menurut Gadamer, bahasa tidak boleh boleh kita pikirkan
atau kita pahami sebagai sesuatu yang memiliki ketertujuan (teleologi) di dalam dirinya.Yang dimaksudkan
Gadamer adalah bahwa kata-kata atau ungkapann secara aksidental tidak pernah memiliki kebakuan. Kata-
kata ataupun ungkapan mempunyai tujuan (telos) tersendiri atau penuh dengan maksud, demikian yang di
katakanoleh Wilhelm Dilthey. Gadamer menyatakan bahwa mengerti berarti mengerti melalui bahasa.
Hermeneutik adalah cara baru untuk “bergaul”dengan bahasa, bahasa menjelmahkan kebudayaan
manusia. Henri Bergson menyatakan bahwa bila seseorang memahami bahasa sesuatu Negara, dapat
dipastikan ia tidak akan mungkin benci terhadap Negara itu. Sebab, bila kita mampu memahami ssesuatu
bahasa, maka kita mampu memahami segala sesuatu. Bahasa adalah medium yang tanpa batas, yang
membawa segala sesuatu di dalamnya tidak hanya kebudayaan yang telah disampaikan pada kita melalui
bahasa melainkan juga sesuatu tanpa ada kecualinya, sebab segala sesuatu itu sudah termuat dalam
lapangan pemahaman. Bahasa adalah perantara berbagai hubungan umat manusia.. Tradisi dan juga
kebudayaan baik dari warisan nenek moyang itu sebagai suatu bangsa yang kesemuanya itu diungkap
dalam bahasa yang ditulis pada daun lontar.
1. Penerapan Hermeneutik
Disiplin ilmu yang pertama kalinya banyak menggunakan hermeneutik adalah ilmu tafsir kitab suci. Sebab
semua karya yang mendapatkan inspirasi ilahi seperti Al-Quran, kitab Taurat, kitab-kitab Veda dan
Upanished supaya dapat dimengerti memerlukan interpretasi atau hermeneutik. Interpretasi yang benar
atas teks sejarah memerlukan hermeneutik. Interpretasi terhadap hukum selalu berhubungan dengan isinya.
Setiap hukum mempunyai dua segi yaitu yang tersurat dan yang tersirat atau bunyi hukum dan semangat
hukum. Subtilitas Intellegendi (ketepatan pemahaman) dan Subtilitas Explicandi (ketepatan penjabarannya)
adalah sangat relevan bagi hukum.
Dalam bidang filsafat pentingnya hermeneutik tidak dapat ditekankan secara berlebihan. Sebab pada
kenyataannya, keseluruhan filsafat adalah “interpretasi”,”pembahasan”seluruh isi alam semesta kedalam
bahasa kebijaksanaan manusia. Aristoteles menyatakan:Amicus Plato sed magis amica veritas ( Plato
adalah seorang sahabat tetapi sahabat yang lebih akrab lagi adalah kebenaran. Melalui bahasa kita
berkomunikasi, tetapi melaui bahasa pula kita bisa salah paham dan salah tafsir. Arti makna dapat kita
peroleh tergantung dari banyak faktor : siapa yang berbicara, keadaan khusus yang berkaitan dengan
waktu, tempat, ataupun situasi yang mewarnai arti sebuah peristiwa bahasa. Sebagai contoh misalnya
pemahaman dan penafsiran anak terhadap kata-kata sedikit banyak tergantung dari latar belakang anak itu
sendiri.
Pada dasarnya semua objek itu netral, sebab objek itu adalah objek, arti atau makna yang diberikan pada
objek oleh subjek sesuai dengan cara pandang subjek. Husserl menyatakan bahwa objek dan makna tidak
pernah terjadi serentak atau bersama-sama, sebab pada mulanya objek itu menurunkan maknanya atas
dasar situasi objek, semuanya itu adalah sama saja. Darisinilah kita lihat keunggulan hermeneutik. Untuk
dapat membuat interpretasi, orang terlebih dahulu harus mengerti atau memahami. Namun keadaan lebih
dahulu mengerti ini bukan di dasarkan pada penetuan waktu, melainkan bersifat alamiah. Mengerti dan
interpretasi menimbulkan lingkaran hermeneutik. Emilio Betti mengatakan bahwa tugas orang yang
melakukan interpretasi adalah menjernihkan persoalan mengerti yaitu dengan cara menyelidiki setiap detail
proses interpretasi. Betti mencoba memahami ‘mengerti “juga menurut gayanya sendiri. Ia memandang
interpretasi untuk mengerti. Kegiatan interpretatif adalah proses yang bersifat triadik’(mempunyai tiga segi
yang saling berhubungan ). Dalam proses ini terdapat pertentangan antara pikiran yang diarahkan pada
objek dan pikiran penafsir itu sendiri. Orang yang mengenal interpretasi harus mengenal pesan atau
kecondongan sebuah teks lalu ia harus meresapi isi teks sehingga yang pada mulanya yang lain kini
menjadi aku penafsir itu sendiri.
Hermeneutik menegaskan bahwa manusia autentik selalu dilihat dalam konteks ruang dan waktu dimana
mausia sendiri mengalami atau menghayatinya.. manusia autentik hanya bisa dimengerti atau dipahami
dalam ruang dan waktu yang persis tepat dimana ia berada. Dengan kata lain setiap individu selalu dalam
keadaan tersituasikan dan hanya benar-benar dapat dipahami dalam situasinya. Heidegger menjelaskan hal
yang sebaliknya, yaitu manusia yang tidak autentik atau das man yang dimanupulasikan oleh lingkungan
atau situasinya. Manusia tidak mengontrol melainkan dikontrol oleh situasi. Argumentasi Hermeneutik dalam
ruang lingkup lebih luas dapat dijabarkan sebagai setiap objek yang tampil dalam konteks ruang dan waktu
yang sama atau sebagaimana yang di sebut oleh Karl Jaspers dengan istilah das Umgreifende atau
cakrawala ruang dan waktu. Meskipun hermeneutik atau interpretasi termuat dalam kesusutraan dan
lingualistik, hukum, sejarah , agama, dan disiplin ilmu yang lainnya berhubungan dengan teks namun
akarnya adalah tetap filsafat.
Yang dimaksud Schleiermacher adalah bahwa ada jurang pemisah antara berbicara atau berfikir yang
sifatnya internal dengan ucapan yang aktual. Setiap pembicara mempunyai waktu dan tempat dan bahasa
dimodifikasi menurut kedua hal tersebut. Menurut Schleiermacher, pemahaman hanya yterdapat didalam
kedua momen yang saling berpautan satu sama lain. Satu pernyataan tunggal dapat kita mengerti atau kita
pahami dengan berbagai macam cara, tergantung pada tata bahasa dan keterlibatan pendengarnya.
Seandainya ada rasio 1-1 antara pikiran dan ucapan kita, yaitu seandainya dimungkinkan pikiran kita
dipantulkan secara tidak senada ( tidak ekuivokal ) dengan ucapan kita, mak mungkin ada salah ucap, jadi
tidak perlu lagi ada hermeneutik. Tetapi karena tidak ada kesan impresi langsung dari pikiran keucapan kita,
maka kemungkinan untuk salah ucap itu besar sekali. Bahkan saat kita meletakkan pause diantara kata-
kata dalam kalimat sering kali kita mengalami kesenjanganjalan pikiran. Inilah bahaya yang sering kita alami
yaitu kita sering membuat kesalahan dalam linguistik.
Schleiermacher dalam uraiannya banyak juga dipengaruhi oleh para penasehatnya, seperti Friedrich ash
dan Friedrich August Wolf, dari Ash Schleiermacher mendapat ide untuk mengamati isi sebuah karya dari
dua sisi : sisi luar dan sisi dalam. Aspek luar sebuah karya ( teks ) adalah aspek tata bahasa dan kekhasan
linguistik lainnya. Aspek dalam adalah jiwanya ( Geist ). Bagi Ash sendiri tugas hermeneutik adalah
membawa keluar makna internal dari suatu teks beserta situasinya menurut jamannya. Ash membagi tugas
itu kedalam tiga bagian, yaitu : sejarah, tata bahasa dan aspek kerohaniannya. Hermeneutik adalah proses
menelaah isi dan maksud yang mengejawantah teks yang mengandung arti yang kelihatan sudah jelas
( Ricour, 1974 : 43 ).
Seorang filsuf yang mempengaruhi gagasan Schleiermacher adalah F. A. Wolf, yang mendefinisikan
hermeneutik sebagai seni menemukan sebuah teks. Menurut Wolf juga ada tiga taraf atau jenis hermeneutik
atau interpretasi, yaitu interpretasi gramatikal, historis dan retorik. Interpretasi gramatikal berhubungan
dengan bahasa, interpretasi historis dengan fakta waktu, sedang interpreasi retorik mengontrol kedua jenis
interpretasi yang terdahulu. Wolf membahas tata bahasa, hermeneutik dan kritik studi persiapan untuk
filologi ( ilmu bahasa ), sementara Ash menganggap ketiga disiplin ilmu tersebut hanya sekedar appendiks
(lampiran) saja bagi filolog, maka tidaklah mengherankan kalau mereka beralih ke hermeneutik karena
keduanya ingin membahas makna kata- kata.
Menurut Schleiermacher, ada dua tugas hermeneutik yang pada hakikatnya identik satu sama lain, yaitu
interpretasi gramatikal dan interpretasi psikologis. Bahasa gramatikal merupakan syarat berfikir setiap
orang. Sedangkan aspek psikologis interpretasi memungkinkan seseorang menangkap ” setitik cahaya ”
pribadi penulis. Oleh karenanya, untuk memahami pernyataan- pernyataan orang harus mampu memahami
bahasanya sebaik memahami kejiwaannya. Walaupun demikian, Schleiermacher menawarkan sebuah
rumusan positif dalam bidang seni interpretasi, yaitu rekonyruksi historis, objektif dan subjektif terhadap
sebuah pernyataan. Schleiermacher sendiri menyatakan bahwa tugas hermeneutik adalah memahami teks
sebaik atau lebih baik daripada pengarangnya sendiri dan memahami pengarang teks lebih baik daripada
memahami diri sendiri.
Setiap bagian dari suatu peristiwa hanya dapat dipahami dalam konteks keseluruhan bagian- bagiannya,
dan juga sebaliknya. Bahkan hal ini juga menuntut suatu pemahaman awal atas objek atau peristiwa yang
dipertanyakan itu. Disinilah penafsir mulai dengan satu teori tentatif atau konsep awal. Keseluruhan proses
ini adalah metode hermeneutik, suatu proses memahami dan interpretasi. Ada beberapa taraf memahami,
demikian juga dengan interpretasi. Taraf pertama ialah interpretasi dn pemahaman mekanis : pemahaman
dan interpretasi dalam kehidupan kita sehari- hari, di jalan- jalan, di pasar atau dimana saja orang
berkumpul bersama untuk berbincang- bincang tentang topik umum. Taraf kedua ialah taraf ilmiah :
dilakukan di Universitas, dimana diharapkan adanya taraf pemahaman dan interpretasi yang tinggi. Taraf
ketiga ialah taraf seni : disini tidak ada aturan yang mengikat atau membatasi imajinasi. Dari kehidupan
sehari- hari, kita harus mampu mengambil inti sari situasi yang mirip dengan yang mirip dengan yang
terdapat di dalam kitab suci, kutipan- kutipan sastra atau dengan dokumen sejarah yang harus kita ” baca ”
inti sari maknanya. Pemahaman yang selalu dipasangkan dengan interpretasi tidak lain adalah seni, dalam
arti bahwa seseorang tidak dapat meraamalkan waktu dan cara seseorang mengerti. Pikiran kita adalah
sebuah proses yang ” mengalir ” dan bukan sekedar fakta yang serba komplit. Oleh karena itu kita
memerlukan suatu pandangan kedalam atau intuisi yang tidak membingungkan bila kita ingin memahami
sesuatu teks.
Yang ingin dicari oleh Dilthey adalah pemahaman dan interpretasi atas kegiatan-kegiatan individu yang
dengan sendirinya tersituasikan dalam system-sistem eksternal dari organisasi-organisasi social, politik dan
ekonomi dengan nilai-nilainya sendiri yang sudah dianggap mapan atau mantap. Namun kegiatan-kegiatan
individu juga merupakan indikasi atau petunjuk kea rah factor-faktor psikologisnya. Menurut Dilthey,
lingkungan eksternal maupun kejiwaan internal seorang person harus dilihat secara seksama dengan
maksud untuk memahami perilakunya. Dalam hal ini, Dilthey pertama-tama membuat deskripsi, kemudian
mengadakan interpretasi.
Dilthey membedakan dengan tajam antara Naturwissenschaften atau ilmu pengetahuan tentang alam
dengan Geisteswissenschaften atau ilmu pengetahuan tentang batin manusia. Semua ilmu pengetahuan
tentang alam fisik seperti biologi, kimia, fisika dan ilmu-ilmu lainnya yang termasuk bidang ini serta semua
jenis sains yang mempergunakan metode ilmiah induksi dan eksperimen, termasuk dalam
Natuwissenschaften. Sedang semua ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan kehidupan batin
manusia seperti sejarah, psikologi, filsafat, dan ilmu-ilmu lain yang sejenis masuk dalam
Geisteswissenschaften.
Untuk dapat memahami orang lain dan ungkapan-ungkapan hidupnya, maka pemahaman terhadap diri
sendiri adalah mutlak. Pemahaman Geisteswissenschaften atau ilmu pengetahuan tentang hidup
tergantung pada pengalaman-pengalaman batin kita, yaitu pengalaman yang tidak dapat dijangkau oleh
metode ilmiah. Disinilah Dilthey membuat perbedaan penting antara dua buah kata dalam bahasa Jerman
yang sama-sama dapat diterjemahkan dengan kata “pengalaman”. Kedua kata tersebut adakah erfahrung,
yaitu kata yang biasanya diartikan sebagai “pengalaman” pada umumnya, dan erlebnis, kata turunan yang
berasal dari kata kerja erleben yang berarti “menglami”. Semua erlebnis benarnya merupakan pengalaman
dalam arti umum (erfahrung) pila, tetapi tidak semua pengalaman dapat disebut dengan erlebnis atau
pengalaman yang hidup. Bisa jadi, seseorang selama sekian tahun tidak memiliki pengalaman yang hidup
selain hanya pengalaman-pengalaman yang menjenuhkan dan tidak makna apa-apa (erfahrungen). Dilthey
menganjurkan kita menggunakan hermeneutic, sebab menurut dia, hermeunetik adalah dasar dari
Geisteswissenschaften. Berkenaan dengan keterlibatan individu dalam kehidupan masyarakat yang hendak
dipahaminya, ia merasa perlu memiliki tipe memahami yang khusus. Dilthey menaruh perhatian pada
metode hermeneutic ketika ia mencoba memecahkan persoalan tentang bagaimana membuat segala
pengetahuan tentang individu atau pengetahuan tentang singularitas eksistensi manusia menjadi ilmiah
(Kremer-Marietti, 1971:130).
1. Interpretasi Data
Dalam satu aspek, ungkapan atau pernyataan interpretation naturae (interpretasi terhadap alam) adalah
wujud dari ucapan. Dalam hal ini Dilthey menekankan bahwa terhadap benda-benda kita hanya mampu
“mengetahui”, sedang “memahami” dan “interpretasi” hanya dipergunakan untuk “mengetahui” manusia.
Jadi menurutnya, suatu proses dimana kita mengetahui sesuatu dari aspek kejiwaannya atas dasar tanda-
tanda yang dapat ditangkap pancaindra sehingga termanifestasikan, kita sebut “komprehensi” atau
pemahaman. Dilthey berkesimpulan bahwa eksegesis atau interpretasi adalah suatu seni memahami
manifestasi atau pengejawantahan hal yang bersifat vital dan ditampakkan pada kebiasaan yang tahan
lama. Hermeneutik pada dasarnya bersifat menyejarah. Ini berarti bahwa makna itu sendiri tidak pernah
berhenti pada ’satu masa’ saja, tetapi selalu berubah menurut modifikasi sejarah. Contohnya adalah sejarah
bangsa Indonesia tidak mungkin hanya akan ditulis satu kali dan berlaku untuk seterusnya, tetapi akan
selalu ditulis kembali oleh setiap generasi.
1. Riset Sejarah
Dilthey mengatakan bahwa peristiwa sejarah dapat dipahami dalam tiga proses:
Namun proses tiga tahap pemahaman itu sendiri tidak berlaku untuk metode ilmiah. Alasannya adalah
karena untuk memahami atau mencerna sudut pandang pelaku asli dalam sejarah, kita harus memiliki
sedikit pengetahuan tentang psikologi atau cara mengenal orang atau masyarakat. Sebagai contoh
misalnya, bagi kita kiranya cukup mudah unyuk menentukan akibat naiknya harga BBM terhadap situasi
ekonomi. Tetapi melacak akibat yang timbul karena keputusan sepihak yang dikeluarkan oleh seorang
penguasa, kiranya cukup sulit. Jadi pemahaman dan interpretasi terhadap peristiwa-peristiwa sejarah
bukanlah merupakan tugas yang mudah untuk dilaksanakan.
Bahasa kita sendiri tidak bebas dari pasang surutnya sejarah. Kata-kata atau pernyataan tunggal dapat
mempunyai arti yang bermacam-macam tergantung pada konteks sejarah di mana kata atau pernyataan itu
diucapkan. Sebagai contoh misalnya kata “aduh” sbb.: “Aduh, bagusnya” yang keluar dari mulut seorang
pengagum lukisan; atau “Aduh, sakitnya!” yang diucapkan oleh seorang pasien yang sedang disuntik. Kata
“Aduh” memiliki arti yang sama, yaitu ungkapan perasaan. Tetapi yang diucapkan oleh pengagum lukisan
mempunyai nada pujian. Sedangkan yang diucapkan oleh seorang pasien bertujuan untuk menahan rasa
sakit. Oleh karena itu, bila kita membaca sejarah, kewajiban kita adalah “menyusun balik” kerangka yang
dibuat oleh sejarawan dengan maksud supaya peristiwa-peristiwa dapat dilihat kembali sesuai dengan
kejadian yang sebenarnya. Metode atau proses semacam inilah yang disebut hermeneutik. Jadi bagi
seorang sejarawan, menggabungkan pengalaman yang hidup dengan pemahaman terhadap individu
merupakan keharusan. Pengalaman yang hidup dan pemahaman saling melengkapi satu sama lain, bahkan
seakan menyatu walaupun keduanya itu kita mengerti secara terpisah.
Pemahaman adalah proses di mana kehidupan mental menjadi diketahui melalui ungkapannya yang
ditangkap oleh pancaindra kita. Tanpa ungkapan, kehidupan mental kita tidak mungkin kita ketahui. Bila
kehidupan mental ini tidak terjangkau oleh sarana-sarana objektif, maka besar kemungkinannya
subjektivitas masuk dalam pemahaman terhadap kehidupan mental tersebut. Proses pemahaman ini terdiri
dari dua bagian yang berhubungan dengan rangkaian peristiwa dalam proses kehidupan secara berbeda
satu sama lain. Pertama, pengalaman yang hidup menimbulkan ungkapannya. Bila kita menyelidiki
ungkapan dengan mundur ke pengalaman, ini berarti kita melakukan proses hubungan sebab akibat.
Kedua, dalam proses menghidupkan kembali atau rekonstruksi berbagai peristiwa, dimana orang dapat
melihat kelanjutan peristiwa tersebut sehingga ia bias ambil bagian di dalamnya, maka ia melakukan proses
hubungan sebab akibat.
Hans-Georg Gadamer dalam karyanya yang berjudul Wahrheitund Methode (kebenaran dan Metode)
menekankan pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologism, bukan metodologis. Karena kebenaran
menerangi metode-metode individual, sedangkan metode justru merintangi atau menghambat kebenaran.
Dalam “kebenaran dan metode”, karya Gadamer yang paling menarik adalah konsepnya tentang
“permainan”. Dalam hubungannya dengan pengalaman dalam bidang seni, “permainan”dapat merupakan
semacam kerangka berpikir di dalam proses memahami yang menjadi pokok bahasan hermeneutic.
Gadamer menolak konsep hermeneutic sebagai metode. Dalam karyanya yang berjudul Philosophical
Apprenticeships (Magang Filsafat) ia menulis sebagai berikut: Dapatkah tujuan sebuah metode menjamin
kebenaran? Filsafat harus menuntut sains dan metodenya supaya mengenali dirinya sendiri terutama dalam
konteks eksistensimanusia dan penalarannya. Pernyataan itu juga dapat di artikan bahwa filsafat tidak usah
mengikuti metode yang ketat jika ingin berhubungan dengan existenz atau “manusia autentik”. Kata existenz
adalah istilah yang di pergunakan filsuf eksistensiallis Karl Jasper untuk menyebut “manusia autentik”.
Jasper menyatakan bahwa existenz mengambil jalur yang berbeda untuk sampai pada kebenaran
eksistensial. Existenz seringkali harus membuat loncatan (saltus) iman untuk mencapai Tuhan. Yang ingin
di katakana Gadamer ialah bahwa logika sendiri sudah tidak berdaya dan tidak mampu menjadi sarana
unyuk mencapai kebenaran filosofis.
Gadamer menaruh perhatian pada bidang seni dengan alas an di dalam seni kita mengalami suatu
kebenaran, tetapi bukan kebenaran yang kita peroleh melalui penalaran melainkan kebenaran yang
menurut faktanya ” menentang semua jenis penalaran”.Gadamer mengutip pendapat Kant bahwa ” seni
murni adalah seni para genius” dan kebenarannya tidak dapat di capai denganmetode ilmiah.Gadamer
membahas secara panjang lebar empat konsep tentang manusia yang memperkaya hermeneutic. Empat
konsep tersebut adalah:
1.
1. Bildung
Bildung adalah konsep-konsep yang meliputi seni, sejarah, Weltanschauung ( pandangan dunia),
pengalaman, ketajaman pikiran, dunia eksternal, kebatinan, ekspresi atau ungkapan, style atau gaya dan
symbol, yang kesemuannya itu kita mengerti saat ini sebagai istilah-istilah dalam sejarah. Kata Bildung
sendiri mempunyai arti yang lebih luas daripada sekedar “kultur atau kebuadyaan”, bahkan mempunyai arti
dalam lonotasi yang lebih tinggi. Sinonim dari kata Bildung dalam bahasa latin adalah formatio, yaitu bentuk
atau formasi.
Bildung adalah sebauh gagasanhistoris asli dan pengadaannya penting untuk pemahaman dan interpretasi
ilmu-ilmu kemanusiaan. Pada dasarnya Bildung adalah “kumpulan kenangan” yang di dalam proses
pengumpulannya membentuk dirinnya sendiri sebagai yang ideal. Menurut Gadamer, memori atau
kenangan harus di bentuk.
1.
1. Sensus Communis
Gadamer menggunakan atau mengartikan ungkapan ini bukan sebagai “pendapat umum” atau pendapat
kebanyakan orang pada umumny. Sensus Communis mempunyai kesetaraan arti dengan ekspresi dalam
bahasa Perancis le bon ses, ayaitu pertimbanagn praktis yang baik. Menurut pengertiannya yang mendasar,
istilah tersebut adalah pandangan yang mendasari komunitas dan karenanya sangat penting untuk hidup.
Sebagaimana dinyatakan oleh Vico, Sensus Communis tidak boleh berperanan penting dalam bidang sains
seperti dalam ilmu-ilmu tentang hidup atau ilmu-ilmu kemanusiaan. Ia sepakat dengan Shaftesbury bahwa
sensus communis adalah pandangan tentang kebaikan umum, cinta komunitas, masyarakat, atau
kemanusiaan. Sensus Communis juga mempunyai aspek moral.
1.
1. Pertimbangan
Konsep yang ketiga ini mirip dengan sensus communis dan selera. Pertimbangan sifatnya universal, namun
bukan berarti berlaku um um. Pertimbangan dan sensus communis keduanya termasuk dalam interpretasi
ilmu-ilmu tentang hidup. Gadamer sepakat dengan Kant tentang pembinaan pertimbangan praktis yang di
perhubungkan dengan pengertian estetis. Dalam pandangan Kant, pertimbangan praktis juga bersifat seni
atau estetik, minimal dalam pandangan moralnya, sejauh orang mengetahui ” apa yang harus ia lakukan”
juga memiliki seni atau pandanganpraktis. Pertimbangan adalah kemampuan untuk memahami hal-hal
khusus sebagai contoh yang universal, dan kemampuan ini akan melibatkan perasaan, konsep, prinsip dan
hukum-hukum yan dapat di olah manusia.
1.
1. Taste atau Selera
Menurut Gadamer selera sama dengan rasa, yaitu dalam pengoperasiannyatidak memakai pengetahuan
akali. Berdasarkan fakta, selera bertentangan dengan yang tidak menimbulkan selera. Gadamer
mempertentangkan antara selera yang baik dengan yang tidak menimbulkan selera. Gadamer menyatakan
bahwa fenomena selera adalah kemampuan intelektual untuk membuat diferensiasi atau pembedaan, tetapi
kemampuan ini tidak dapat di demonstrasikan. Setiap pertimbangan tentang apa yang di inginkan untuk di
pahami dalam individualitasnya yang konkret adalah pertimbangan atas sesuatu yang khusus. Tanpa selera
tidak akan ada seni dan tidak ada satu selera pun yang dapat menilai seni. Menurut Kant, pertimbangan
estetis melibatkan kecerdasan maupun selera.
Kini yangf menjadi persoalan kita adalah: apa hubungan antara selera dengan hermeneutic? Jika selera
melibatkan pertimbangan yang pada suatu saat juga melibatkan sensus communis dan bulding, maka
mudah sekali untuk menghubungkan selera dengan hermeneutic. Hermeneutik adalah metode yang di
pergunakan oleh ilmu-ilmu tentang hidup atau ilmu-ilmu tentang manusia. Hidup itu tidak statis melainkan
berubah antara rangkaian baik dan buruk, mulia dan nista, luhur fdan rendah, dan sebagainya. Dari realitas
hidup ini, yang menjadi bagian bildung adalah menetukan mana yang boleh di kenang dan mana yang yang
harus di buang jauh-jauh. Sensus communis yang bersifat peka terhadap hubungan antar manusia memberi
corak khusus pada komunitas sebagai kumpulan person. Pertimbangan dan selera membuat diskriminasi
terhadap hal-hal yang bertentangan dengan yang indah dan baik. Di dalam interpretasi, hermenutik
mempergunakan keempat konsep manusiawi tersebut.
Gadamer beropendapat bahwa hermeneutic adal;ah seni, bukan proses mekanis. Pemahaman dan
hermeneutic hanya dapa di berlakukan sebagai suatu karya seni. Gadamer menyebut hermeneutic sebagai
seni dan hermeneutic semacam ini tidak dapat di persiapkan lebih dahulu sebelum di buat, tidakdapat di
ramalkan atau di katakana sebelumnya.
Gadamer mengatakan bahwa interpretasi adalah penciptaan kembali. Meski bukan merupakan perbuatan
yang kreatif Hermeneut atau penafsir selalu memahami realitas dan manusia dengan titik tolakk sekarang
atau kontemporer. Bila hermeneut berinterpretasi mulai dari titik tolak sejarah yang menguntungkan dirinya
sendiri, hal ini akan menimbulkan suatu pencampuran cakrawala atau fision of horizons atau bahkan akan
menimbulkan campur baurnya kebudayaan yang bermacam-macam. Hakikat sebenarnya sebuah cakrawala
adalah ” selalu meluas” dan sementara itu kebuudayaan pada hakikatnya juga tidak pernah murnidan tidak
pernah di palsukan.
Yang di butuhkan hermeneut adalah pengetahuan tentang manusia atau masyarakat yang di peroleh bukan
atas dasar kerja ilmiah, melainkan yang hanya dapat di pelajari sebagai suatu seni.
Para filsuf berbicara dengan menggunakan suatu bahasa yang tidak seorang pun menngerti, ini berarti
mereka sama saja dengan tidak berbicara apa-apa. Gadamer menegaskan bahwa persoalan bahasa
adalah tugas hermeneut. Pemahaman hanya mungkin di mulai bila bermacam-macam pandangan
menemukan suatu bahasa umum untuk saling bercakap-cakap. Kita berfilsafat tidak mulai dari nol, tetapi
kita harus berfifkir dan berbicara dengan bahasa yang sudak kita miliki sendiri. Fiksafat tidak mulai dari
suatu tempat tert6entu, tidak dari satu titik awal yang sudah bersifat subyektif, personal maupun dengan
suatu perspektif tertentu. Dan itulah bahasa filsafat.
Sebagaiman di sebutkan bahwa tugas hermeneutic adalah terutama memahami teks, maka pemahaman itu
sendiri mempunyai hubungan fundamental dengan bahasa. Kita menumbuhkan di dalam bahasa kita sendiri
unsure-unsur penting dari pemahaman, sehingga para pembicara asli(native speaker) tidak akan gagal
untuk menangkap nuansa-nuansa atau benang merah bahasanya sendiri. Gadamer juga menegaskan
bahwa suatu interpretasi akan benar bila interpretasi tersebut mampum menghilang di balik bahasa yang di
gunakan. Maksudnya adalah bahwa terjemahan itu akan tepat bila pembacanya mengalami suatu
kehalusan dan irama bahasayang teratur. Dalam berbicara, interpretasi adalah bagaikan terjemahan.
Melalui bahasa kita tidak hanya melakukan interpretasi atas sebuah teks atau dokomen tertulis saja,
melainkan juga benda yang bukan bahsa seperti patung, komposisi musik, dan sebagainya.
1. Arti “Memahami”
Menurut Gadamer, pemahaman selalu dapat di terapkan pada keadaan kita saat ini, meskipun pemahaman
itu berhubungan dengan peristiwa sejarah, dialektik dan bahasa. ‘ Memahami” selalu dapat berarti membuat
interpretasi. Interpretasi secara eksplisit adalah bentuk dari pemahaman.
Subtilitas adalah suatu kualitas yang mencarikehalusan seperti “lembutnya” roh, yang menghindarkan
gangguan yang berasal dari penggunaan metode. Gadamer menambahkan istilah subtilitas applicandi, yang
menandai hermeneutic, karena ia berkeyakinan bahwa penerapan seperti halnya pemahaman dan
interpretasi adalah bagian hermeneutic. Dulu yang di anggap tugas hermeneutic adalah menyadur makna
dari sebuah teks ke dalam situasi konkret, di mana pesan yang terdapat di dalam teks itu di tujukan. Tugas
interpretasi sama dengan tugas konkretisasi hokum atau penerapan hokum p;ada hal-hal khusus. Jadi,
penerapan juga merupakan pemahaman yang benar terhadap factor yang universal. Pemahaman dan
interpretasi pada dasarnya juga merupakan penerapan.
Untuk dapat memahami sebuah teks, kita harus membuang jauh-jauh segala bentuk prakonsepsi dengan
maksud supaya kita menjadi terbuka terhadap apa yang di katakan oleh sebuah teks. Kita mengantisipasi
dan menginterpretasi menturut apa yang kita miliki ( vorhabe), apa yang kita lihat (vorscht), serta apa yang
akan kita peroleh kemudian (vorgriff). Adanya antisipasi makna, yaitu yang berasal dari pertimbangan
sebelumnya atas keseluruhan pemahaman melalui bagia-bagiannya, memang di harapkan. Gadamer
menyebut hal itu sebagai makna atau arti yang akan datang (fore-meaning) dan pemahaman yang akan
datang (fore umderstanding), yang juga merupakan persyaratan hermeneutic sehingga membuat
pemahaman itu menjadi suatu “hubungan yang histories dan efektif”.
Meskipun gagasan-gagasan Habermas tidak berpusat pada hermeneutik, namun gagasan-gagasannya itu
mendukung pustaka herme neutik. Bahkan karya-karyanya pun tidak secara khusus membicarakan
hermeneutik sebagai gagasan tunggalnya. Gagasan hermeneutiknya dapat kita ketemukan di dalam
tulisannya yang diberi judul Knowledge and Human Interests (Pengetahuan dan Minat Manusia).
Karya-karya Habermas termasuk dalam bidang sains, namun itu juga mempunyai konsep tentang
penjelasan dan pemahaman. Menurut Habermas, penjelasan “menuntut penerapan proposisi-proposisi
teoretis terhadap fakta yang terbentuk secara bebas dan sistematis” (Habermas, 1972 : 144). Sedangkan
pemahaman adalah “suatu kegiatan di mana pengalaman dan pengertian teoretis berpadu menjadi satu”.
Konsepnya tentang penjelasan tersebut mendekati metode ilmiah yang ia nyatakan mengatasi metode-
metode yang lainnya, seperti misalnya ‘metode untuk menekuni sesuatu’, ‘metode penguasaan bahan’ dan
‘metode pemikiran a priori’, karena konsep tersebut mencagai keyakinan-keyakinan yang vajid dan definiti
Habermas mengatakan bahwa semua peristiwa yang akan terjadi di masa mendatang tidak akan
mempersulit keyakinan-keyakinan tersebut, melainkan akan memperteguhnya.
Habermas mengikuti tiga bentuk penyimpulan yang dikemukakan oleh C.S. Peirce. yaitu: deduksi, induksi
dan abduksi atau proses abduktif. Dengan deduksi ia ingin membuktikan bahwa sesuatu ’seharusnya’
berperilaku dalam cara tertentu dengan induksi ia ingin membuktikan bahwa sesuatu pada kenyataannya
berperilaku dalam suatu cara tertentu; dan dengan abduksi ia ingin membuktikan bahwa sesuatu mungkin
akan berperilaku menurut suatu cara tertentu.
Di dalam induksi, ada pengujian apakah dan dengan kemungkinan apa prediksi-prediksi dapat diyakinkan
kebenarannya. Induksi adalah proses yang aktual dalam penelitian. Abduksi adalah proses pembentukan
hipotesis yang bersifat eksplanatoris (menerangkan) yang berbunyi: jika kita harus mempelajari sesuatu
atau memahami fenomena secara lugas, maka harus melalui proses yang memperjelas sesuatu atau
fenomena tersebut.
1. Metode ‘Memahami’
Dari uraian di atas telah kita lihat bagaimana Habermas membedakan antara penjelasan
denganpemahaman. Ia juga memperingatkan kita bahwa kita tidak dapat memahami sepenuhnya makna
sesuatu fakta, sebab ada juga fakta yang tidak dapat diinterpretasi. Habermas menyatakan bahwa selalu
ada makna yang bersifat lebih. yang tidak dapat dijangkau oleh interpretasi, yaitu yang terdapat di dalam
hal-hal yang bersifat ‘tidak teranalisiskan’, ‘tidak dapat dijabarkan’, bahkan di luar pikiran kita. Semua hal
tersebut mengalir secara terus-menerus di dalam hidup kita.
Jadi jelaslah bahwa kita tidak dapat menerangkan hal-hal yang tidak mungkin kita pahami, bahkan kita juga
tidak dapat membuat interpretasi atas hal-hal tersebut. Habermas mengatakan bahwa sebuah penjelasan
menuntut penerapan proposisi-proposisi teoretis terhadap fakta yang terbentuk secara bebas melalui
pengamatan sistematis. Sedangkan pemahaman adalah suatu kegiatan di mana pengalaman dan
pengertian teoretis berpadu menjadi satu. Seperti halnya pemikiran ilmiah. Habermas menegaskan bahwa
penjelasan haruslah berupa penerapan secara objektif sesuatu hukum atau teori terhadap fakta, dan
pemahaman menjadi bagian subjektifnya, sebab pemahaman melibatkan juga pengalaman interpreter.
Pemahaman hermeneutik sedikit berbeda dari jenis pemahaman yang lainnya sebab pemahaman
hermeneutik diarahkan pada konteks tradisional tentang makna. Habermas membicarakan tentang
“pemahaman monologis atas makna”, yaitu pemahaman yang tidak me libatkan hubungan-hubungan faktual
tetapi mencakup bahasa-bahasa ‘murni’, seperti misalnya bahasa simbol. Dari pembedaan itu kita
mengetahui bahwa monologika adalah pemahaman atas simbol-simbol yang disebut Habermas sebagai
‘bahasa murni’ karena simbol-simbol mempunyai makna yang definitif, sebagaimana terdapat dalam setiap
rumusannya. Dengan kata lain, yang disebut monologika itu tidak lain adalah jalan pikiran yang terstrukutur,
yang mengikuti sesuatu hukum dengan segala ketepatan dan keharusannya. Sedang pemahaman
hermeneutik di sisi lain tidak dapat mempersempit ketergantungannya pada hal-hal lain.
Hal-hal yang menonjol dalam kedua metode pemahaman tersebut tampaknya akan dipadukan.
Hermeneutik biasanya mencoba menerangkan apa yang individual, bukan yang universal. Bagaimana dapat
terjadi suatu metode menerangkan hal yang individual dan tunggal dengan menggunakan cara yang
universal? Dalam ilmu pengetahuan empiris-analitis, proses kedua hal itu hanya dapat terjadi atas dasar
“asimilasi transcendental a priori dari pengalaman yang mungkin dengan ungkapan universal bahasa-
bahasa teoretis” (Habermas. 1972: 162-163).
Pemahaman hermeneutik melibatkan tiga kelas ekspresi kehidupan, yaitu : linguistic, tindakan dan
pengalaman. Tentang linguistik, Habermas mengatakan bahwa ekspresi atau ungkapan dapat sama sekali
dipisahkan dari konteks kehidupan konkret jika tidak berhubungan dengan bagian-bagian khusus dalam
konteks tersebut. Dalam hal ini expresi linguistik muncul dalam bentuk yang absolut, yaitu yang
menggambarkan pemahaman monologis.
Komunikasi dapat dilakukan melalui tindakan atau kegiatan. Sebagaimana halnya dalam pemahaman
linguistik, tindakan atau kegiatan perlu dijabarkan. Dalam tingkat pemahaman seperti ini, penjelasan
diarahkan pada tujuan akhir, maksud dan ruang lingkup tindakan.
Pada kelas pengalaman, terutama dalam reaksi tubuh manusia, yang berupa kecenderungan yang tidak
dicetuskan atau sebagai ungkapan nonverbal, interpreter memperhitungkan hal-hal itu sebagai salah satu
bentuk atau jenis pemahaman.
Habermas mengutip ketiga jenis pemahaman tersebut dari pendapat Dilthey, seperti halnya Dilthey,
Habermas mengatakan bahwa pemahaman hermeneutik harus mengintegrasikan ketiga kelas ungkapan
kehidupan itu. Sebagai contoh misalnya: bahasadan tindakan saling menginterpretasi satu sama lain secara
timbale balik (bdk. language game dari Wittgenstein).
1. Dilema Pemahaman
Habermas mengatakan :
“Sebagai suatu seni yang menggambarkan komunikasi tidak langsung tetapi dapat dipahami, hermeneutik
berhubungan dengan jangkauan yang harus dicapai oleh subyek dan pada saat itu pula diungkapkan
kembali sebagai identitas struktur yang terdapat di dalam kehidupan, sejarah dan objektivitas. Disini
hermeneut menghadapi dilemma antara tetap objektif dan bersifat subjektif, atau antara tetap subjektif dan
harus menjadi objetif.”
Dilema tersebut semakin menjadi besar terutama dalam ilmu-ilmu pengetahuan tentang hidup atau
Geisteswissenschaften. Dilema itu merupakan pertanyaan : “eksklusif linguistic atau analisis empiris”. Disini
disjungsi tidak dapat berlaku, sebab kita tidak dapat melakukan analisis linguistic eksklusif atau analisis
empiris murni. Pemahaman harus mengkombinasikan keduanya. Hal ini hanya mudah untuk dikatakan,
namun sulit untuk dilaksanakan. Interpretasi tergantung pada hubungan timbal balik antara pemahaman
atas bagian-bagian yang merupakan “keseluruhan yang terdiri dari campuran macam-macam hal yang
sudah diketahui sebelumnya” dan koreksi terhadap apa saja yang dikemudian hari dirasakan tidak sesuai
lagi.
Hibermas mengambil alih tugas Dilthey dengan mengatakanDilthey telah mengikuti logika penyelidikannya
sendiri dan akan melihat bahwa objektivasi pemahaman hanya mungkin terjadi bila interpreter atau
hermeneut menjadi partner dalam dialog komunikatif. Ini berarti bahwa hermeneut harus mengadakan
interaksi, sebagaimana terjadi dalam dialog atau dialektika antara yang umum dan yang individual. Apa
yang benar di dalam yang universal tidak harus benar pula di dalam yang individual, atau sebaliknya.
Disinilah letak perbedaan antara ilmu - ilmu alamiah dan ilmu- ilmu kemanusiaan, antara
Naturwissenschaften dengan Geistes-wissenschaften. Dalam ilmu-ilmu alamiah, apa yang benar secara
individual akan benar pula secara umum, yaitu melalui proses induksi dimana kebenaran umum akan
diperoleh setelah ditentukan kebenaran yang terdapat pada hal-hal tunggal dan individual. Dan ilmu-ilmu
kemenusiaan. Penjelasan dan interprestasi berlangsung dari yang individual ke yang indinidual juga, jarang
terjadi dari yang umum ke yang individual, atau sebaliknya.pada dasarnya, ilmu-ilmu kemanusiaan tidak
mengikuti skema ilmu-ilmu alamiah. Suatu proses tertentu bukan induksi, deduksi atau abduksi- memberi
kemungkinan hermeneut untuk menentukan kehidupan batin dari hal-hal yang telah diinterprestasikannya.
Paul Ricoeur adalah filsuf yang menekankan pandangan katolik.Dalam karya-karyanya tampaknya ia
memiliki perspektif kefilsafatan yang beralih dari analisis eksistensial kemudian ke analisis
eidetik(pengamatan yang sedemikian mendetail),fenimenologis,historis.Herleneutik pada akhirnya semantik.
Ricoeur mengatakan bahwa pada dasarnya keseluruhan filsafat itu adalah interpretasi terhadap
interpretasi.Dengan mengutip Nietzsche,ia menyatakan bahwa hidup itu sendiri adalah interpretasi.Jika
simbol-simbol dilibatkan,maka interpretasi menjadi penting,sebab disini terdapat makna yang mempunyai
multi lapisan.Filsafat pada dasarnya adalah hermeneutik,yaitu kupasan tentang makna yang tersembunyi
dalam teks yang kelihatan mengandung makna.Setiap interpretasi adalah usaha untuk membongkar
makna-makna yang masih terselubung atau usaha membuka lipatan-lipatan dari tingkat-tingkat makna yang
terkandung dalam makna kesusastraan.Simbol-simbol dan interpretasi merupakan konsep-konsep yang
mempunyai pluraritas makna yang terkandung di dalam simbol-simbol atau kata-kata.
Terdapat kebutuhan laten dalam bahasa untuk mengungkapkan konsep melalui kata-kata.Kebutuhan laten
tersebut adalah kebutuhan akan hermeneutik.Setiap kata adalah sebuah simbol.Oleh karenanya,maka kata-
kata penuh dengan makna dan intensi yang tersembunyi.Ricoeur menyatakan bahwa hermeneutik
bertujuan menghilangkan misteri yang terdapat dalam sebuah simbol dengan cara membuka selubung
daya-daya yang belum diketahui dan tersembunyi di dalam simbol-simbol tersebut.Kemudian Ricoeur
memberiakn kesan bahwa berbicara dengan menggunakan suatu bahasa adalah masalah jaket dan belati
yang tersembunyi dibaliknya,maka hal ini tidak perlu dibesar-besarkan.Adanya simbol,mengundang kita
untuk berpikir sehingga simbol itu sendiri menjadi kaya akan makna dan kembali kepada maknanya yang
asli.Hermeneutik membuka makna yang sesungguhnya,sehingga dapat mengurangi keanekaan makna dari
simbol-simbol.
Sebuah kata adalah juga sebuah simbol,sebab keduanya sama-sama menghadirkan sesuatu yang
lain.Setiap kata pada dasarnya bersifat konvensional dan tidak membawa maknanya sendiri secara
langsung bagi pembaca atau pendengarnya(kecuali kata-kata onomatopoik).Sebuah kata bisa memilikki
konotasi yang berbeda,tergantung kepada pembicaranya.Sebagai contoh misalnya pohon kata ini
mempunyai banyak makna tergantung pembicaranya:apakah ia seorang tukang kayu,pematung,petani
dll.Istilah-istilah mempunyai makna ganda,dasarnya adalah tradisi dan kebudayaan setempat.
Menurut Riceour,salah satu sasaran yang hendak dituju oleh berbagai macam yang hermeneutik adalah
perjuangan melawan distansi kultural yaitu penafsir harus mengambil jarak supaya ia dapat membuat
interpretasi dengan baik.Kita baru bisa mengkritik jika kita membuat jarak dengan objek kritik.Namun kritik
yang kita lakukan itu membawa juga struktur-struktur yang sudah jadi dari gagasan-gagasan kita dan
bahasa yang diungkapakan dalam struktur itu juga sudah kita beri warna.Ia masih membawa sesuatu yang
oleh Heideger disebut Vorhabe(apa yang ia miliki),Vorsicht(apa yang ia lihat),dan Vorgriff(apa yang akan
menjadi konsepnya kemudian).Ini semua menandakan bahwa kita sama sekali tidak dapat menghindarkan
diri dari prasangka.
Ricoeur kemudian memperluas definisi tersebut dengan menambahkan perhatian kepada teks.Teks sebagai
penghubung bahasa isyarat dan simbol-simbol dan membatasi ruang lingkup hermeneutik karena budaya
oral (ucapan) dapat dipersempit.Hermeneutik dalam hal ini hanya akan berhubungan dengan kata-kata
yang tertulissebagai ganti kata-kata yang diucapkan.Ricoeur menegaskan bahwa definisi yang tidak terlalu
luas justru memiliki intensitas (Montefiero,1983:193)
Mengenai tugas hermeneutik,Ricoeur menyatakan bahwa tugas utama hermeneutik adalah di satu pihak
mencari dinamika internal yang mengatur struktural kerja di dalam sebuah teks itu untuk memproyeksikan
diri ke luar dan memungkinkan “hal” nya teks itu muncul ke permukaan.Dalam hal ini Recoeur
mengemukakan tentang hermeneutik yaitu teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan
interpretasi terhadap teks.(Riceour,1985:43).Riceour menyebut karakteristik ini dengan istilah polisemi yaitu
ciri khas yang menyebabkan kata-kata mempunyai makna lebih dari satu bila digunakan di dalam konteks
yang bersangkutan.
Menurut Ricoeur,manusia pada dasarnya merupakan bahasa(Riceour,1967:350) dan bahasa itu sendiri
merupakan syarat utama bagi semua pengalaman manusia.Kita mengerti atau memahami sesuatu dengan
mempergunakan istilah-istilah yang terdapat di dalam bahasa.Namun bahasa juga mempunyai
kelemahan,sebab kita memahami melalui bahasa,kita salah paham atau salah mengerti juga melalui
bahasa.Melalui hermeneutik,segala problem yang terdapat di dalam filsafat bahasa dapat dijawab,yaitu
melalui interpretasi.
Bahasa adalah bidang di mana semua pengamatan filosofis saling memotong satu sama lain.Bahasa
adalah tempat bertemunya analisis logika,fenomenologi,eksistensialisme,tafsir kitab suci dan
hermeneutik,bahkan psikoanalisa.Bahasa dinyatakan dalam bentuk simbol.Kita mengungkapkan gagasan-
gagasan,emosi,kesusastraan,filsafat semuanya melalui bahasa.Setiap kali kita membaca,sebuah teks
selalu berhubungan dengan masyarakat,tradisi ataupun aliran yang hidup dari macam-macam
gagasan.Kesenjangan ini mendorong Ricoeur untuk mengatakan bahwa sebenarnya sebuah teks itu
mempunyai tempat di antara penjelasan struktural dan pemahaman hermeneutik yang berhadapan satu
dengan yang lain.
Penjelasan struktural cenderung untuk bersifat objektif,sedang pemahaman hermeneutik memberi kita
kesan subyektif.Jadi,di sini kita dapati dikotomi antara objektivitas dan subjektivitas yang menimbulkan
problem.Sebuah teks pada dasarnya bersifat otonom untuk melakukan dekontekstualisasi,baik ari sudut
pandang sosiologis maupun psikologis,serta untuk melakukan rekontekstualisasi secara berbeda di dalam
tindakan membaca.Dikotomi antara penjelasan dan pemahaman itu tajam,yaitu untuk memahami sebuah
percakapan kita harus kembali pada struktur permulaannya.Kebenaran dan metode dapat menimbulkan
proses dialektis.
Tugas Hermeneutik menjadi sangat berat,sebab hermeneut harus membaca dari dalam teks tanpa masuk
atau menempatkan diri dalam teks tersebut dan cara pemahamannya pun tidak dapat lepas dari kerangkan
kebudayaan dan sejarahnya sendiri.Maka untuk dapat berhasil dalam usahanya,ia harus dapat
menyingkirkan distansi yang asing,harus dapat mengatasi situasi dikotomis,serta harus dapat memecahkan
pertentangan tajam antara aspek-aspek subjektif dan objektif.
Otonomi teks ada 3 macam: intensi atau maksid pengarang,situasi kultural dan kondisi sosial pengadaan
teks,dan untuk siapa teks itu dimaksudkan.Dekonyekstualisasi adalah bahwa materi teks melepaskan diri
dari cakrawala intensi yang terbatas dari pengarangnya.Teks tersebut membuka diri terhadap kemungkinan
dibaca secara luas,di mana pembacaanya selalu berbeda-beda,inilah yang dimaksudkan dengan
rekontekstualisasi.Riceour mengatakan bahwa hubungan dengan dunia teks terletak di dalam hubungan
dengan subjektivitas pembaca ditinggalkan.Untuk memahami sebuah teks kita tidak memproyeksikan diri ke
dalam teks,melainkan membuka diri terhadapnya.
Yang dimaksudkan dengan membuka diri adalah proses meringankan dan mempermudah isi teks dengan
cara menghayatinya.Riceour menyatakan bahwa memahami bukanlah berarti memproyeksikan diri ke
dalam teks,melainkan membuka diri terhadapnya.Penafsir selalu dalam keadaan in medias res atau berada
di tengah-tengah teks (ing madya) dan tidak pernah hanya di depan atau pada permulaan atau pada akhir
teks untuk sekedar tut wuri saja.
1. Arti Memahami
Setiap hermeneut membuat pembedaan dan penekanan yang tegas atas pemahaman,penjelasan dan
interpretasi.Hermeneut uga berbicara tentang sirkularitas ketiga hal tersebut sedemikian rupa sehingga
seakan-akan ketiganya saling menyusupi satu sama lain.Riceour mengatakan bahwa “engkau harus
memahami untuk percaya dan percaya untuk memahami”.Riceour juga menyatakan bahwa lingkaran
tersebut hanya semu saja,sebab tidak ada satupun hermeneut yang pada kenyataanya mau mendekatkan
diri pada apa yang dikatakan oleh teks jika ia tidak menghayati sendiri suasana makna yang ia
cari.Hermeneut harus menggumuli interpretasinya sendiri,ia harus mulai dengan pengertian yang seakan-
akan masih mentah,sebab jika tidak demikian ia tidak akan mulai melakukan interpretasi.
Menurut Riceour,ada tiga langkah pemahaman,yaitu yang berlangsung dari penghayatan atas simbol-
simbol ke gagasan tentang berpikir dari simbol-simbol.Langkah pertama adalah simbolik atau pemahaman
dari simbol ke simbol.Langkah kedua adalah pemberian makna oleh simbol serta penggalian yang cermat
atas makna.Langkah ketiga adalah langkah yang benar-benar filosofis,yaitu berpikir dengan menggunakan
simbol sebagai titik tolaknya.Ketiga langkah tersebut berhubungan erat dengan langkah-langkah
pemahaman bahasa yaitu:semantik,refleksif serta eksistensial atau ontologis.Langkah semantik adalah
pemahaman pada tingkat ilmu bahasa yang murni.Pemahaman refleksi adalah pemahaman pada tingkat
yang lebih tinggi,yaitu yang mendekati tingkat ontologi.sedang langkah pemahaman eksistensial atau
ontologis adalah pemahaman pada tingkat being atau keberadaan makana itu sendiri.Riceour menyatakan
bahwa pemahaman itu pada dasarnya adalah cara berada (mode of being) atau cara menjadi.Pemahaman
hanya dapat terjadi pada tingkat pengetahuan,yaitu pada teori tentang pengetahuan atau
erkenntnistheorie.Riceour menyatakan bahwa hubungan antara hidup dan pengalaman -pengalamannya
boleh dikatakan merupakan akar dari hubungan dua arah antara manusia dengan alam dan sejarah.Jika
demikian,bagaimana Riceour bisa mengatakan bahwa pemahaman merupakan cara berada atau cara
menjadi,dan bukan cara mengetahui atau cara memperoleh pengetahuan.
Ricoeur hanya ingin menggugah pandangan kita bahwa hermeneutik adalah sebuah metode yang dapat
bersaing dalam tingkat yang sejajar dengan metode dalam sains.Ricoeur juga mempertanyakan metode
yang dipergunakan Dilthey dalam geisteswissenschaften nya yaitu hermeneutik yang dibedakan dengan
metode yang terdapat pada naturwissenschaften.Riceour sendiri tidak benar-benar memperlakukan
hermeneutuk sebagai metode.Ia hanya ingin membuang jauh semua metode yang objektif,kaku,dan
terstruktur yang terdapat dalam ilmu-ilmu alamiah.Sebab,pemahaman adalah salah satu aspek dari proyeksi
Dasein (proyeksi manusia seutuhnya) dan keterbukaan terhadap being.
Pengalaman eksistensial memang pengalaman yang dimiliki oleh being sendiri.Segala bukti tidak perlu lagi
atau bahkan tidak penting,sebab pengalaman semacam itu melibatkan keseluruhan keberadaan seorang
pribadi.Karena pribadi sedemikian terlibat,maka pengalaman menjadi traumatik di dalam
intensitasnya.Dalam kondisi seperti ini,tidak ada lagi pemisahan antara pemahaman,penjelasan dan
interpretasi.
Ada jenis pemahaman lain,yaitu yang datangnya dari penderitaan,yang dikemukakan oleh Karl
Jaspers.Melalui penderitaan kita sering memahami sesuatu,yaitu kita seakan-akan terpelanting untuk
memahami pribadi manusia.Ini merupakan tingkat pemahaman yang tertinggi,yaitu tingkat eksistensial atau
ontologis.Sepakat dengan pandangan Gadamer,Ricoeur uga berbicara mengenai wirkungsgeschichtliches
bewusstsein atau kesadaran yang diarahkan pada akibat-akibat sejarah.Namun dalam uraiannya,ia
menegaskan bahwa konsep itu harus dipertentangkan dengan konsep atau pengertian tentang distansi
sejarah,sebab konsep yang terakhir ini berbau metodologis.Hal ini menunjukkan kepada kita tema pertama
dari empat tema yang diketengahkan oleh Riceour,yaitu bahwa tidak ada titik nol dari mana kritik yang
tuntas dapat mulai dilakukan.Meskipun seseorang menempatkan dirinya pada distansi tertentu,namun
akibat atau hasil penelusuran sejarah tidak dapat lepas dari pengamatan kesadaran penafsir.
Tema yang kedua adalah tidak ada pandangan umum menyeluruh yang memberi kita kemungkinan untuk
memahami totalitas akibat sejarah hanya dalam waktu sekejap saja(Josef Bleicher,1980:74).Tema kedua ini
menunjukkan pandangan ekstrim yang lain sesudah tema yang pertama.Dalam filsafat Ricoeur,tempat yang
layak untuk seorang penafsir adalah di tengah-tengah kedua ekstrem tersebut.
Tema ketiga jika tidak ada pandangan yang menyeluruh,maka juga tidak akan ada situasi yang secara
mutlak membatasi kita.Sebab,jika ada situasi maka ada cakrawala yang dapat menyempit atau
meluas(Ibid:74).Setiap kejadian atau peristiwa menpunyai latar belakang atau cakrawala karena setiap fakta
atau peristiwa selalu tersituasi.Maka juga selalu ada goncangan antara peristiwa yang tersituasi dengan
cakrawalanya.Interpretasi harus selalu memandang kedua hal itu sebagai hal yang korelatif atau
berinteraksi.
Tema keempat adalah perpaduan antar cakrawala.Riceour mengatakan bahwa tidak satu cakarawalapun
yang bersifat tertutup sejauh masih mungkin menempatkan seseorang pada pandangan yang lain dan
dalam kebudayaan yang lain pula (Ibid,75).Mungkin pandangan Riceour ini mirip dengan pandangan
Gadamer.Pemahaman adalah perpaduan antar cakrawala.Kita tidak mungkin mengabstraksikan atau
memencilkan suatu peristiwa dengan latar belakang atau cakrawalanya dari peristiwa-peristiwa
lainnya.Tidak ada satu peristiwa sejarahpun yang bukan merupakan kelanjutan dari peristiwa-peristiwa yang
mendahuluinya.Jadi,ada rangkaian peristiwa di mana peristiwa yang satu menyebabkan peristiwa-peristiwa
lainnya.
Hermeneutik harus menempatkan peristiwa yang tersituasi beserta cakrawalanya dalam konteks yang
semestinya.Ia harus mampu memisahkan mana yang seharusnya masuk dalam cara pemahamannya dan
mana yang seharusnya disingkirkan dari antara konsep-konsepnya yang populer atau yang hanya khayalan
saja.Penafsir harus waspada terhadap berbagai macam prasangka ataupun pendewaan terhadap pikiran.
Jacques Derrida bisa dimasukkan ke dalam kelompok penulis hermeneutik sejauh dia berhubungan dengan
bahasa dan makna. Akan tetapi, beberapa komentator mengatakan bahwa ia justru seorang filsuf yang anti
hermeneutik. Gagasan-gagasannya tentang kritik sastra mengklasifikasikan dia di antara kritikus sastra,
meskipun ia sendiri mengingkari anggapan orang tentang posisinya sebagai filsuf ataupun sastrawan
(Derrida, 1972:95). Ia seringkali juga disebut seorang post-strukturalis, meskipun ia sendiri menyangkal
kecenderungan strukturalis. Deriida sangat cerdas. Untuk memahami gagasan-gagasannya, kita perlu juga
mengetahui latar belakang dirinya. Karya-karyanya sulit dimengerti.
Dua aliran pemikiran kefilsafatan yang banyak mempengaruhi gagasan-gagasan Derrida adalah
fenomenologi dan strukturalisme. Edmund Husserl, pendiri fenomenologi modern memulai karyanya dengan
dua metode, satu positif dan satu negatif. Metode positif dimaksudkan untuk melepaskan jalan pikiran dari
apa saja yang dianggap ideal tetapi tidak mendasarkan diri pada realitas. Dalam metode negatif, Husserl
mendekatkan diri pada metode yang dikemukakan oleh Descrates yaitu mulai dengan sikap ragu-ragu, ia
menyangkal segala sesuatu dan ingin memulai proses pemikirannya dari titik yang benar-benar nol.
Husserl seorang pakar matematika dan sains, menyadari akan adanya ketimpangan antara subyektivitas
dan obyektivitas. Sebagao seorang ahli matematika ia mengetahui signifikan obyektivitas, tetapi sebagai
filsuf ia juga mengetahui bahwa subyektivitas yang walaupun hanya sedikit masih tetap diinginkan.
Melalui dua metode yang diketengahkan di atas, ia memulai karyanya dengan tepat. Ia membicarakan
tentang tiga tingkatan kesadaran yang dapat dihubungkan dengan tiga tiga jenis obje, yaitu:
• Tingkatan pertama atau tingkatan yang dangkal adalah kesadaran alamiah. Kesadaran ini
berhubungan dengan objek-objek alamiah.
• Tingkatan kedua adalah tingkat kesadaran refleksi, yaitu kesadaran yang muncul setelah memberi
‘tanda petik’ pada tingkat yang dangkal.
• Tinkatan ketiga atau tingkat ‘kedalaman ego’: bila perhatian seseorang difokuskan lebih jauh lagi
pada objek , ia akan mencapai tingkat kesadaran jauh lebih dalam lagi. Dalam keadaan kesadaran
pada tingkat ini, objek yang murni atau yang sejati mengejawantah.
• Arti “Differance”
Perbedaan dua kata yang kontroversial itu yaitu, difference dan difference. Perbedaan pokok hanya
terdapat di dalam kerangka ruang dan waktu. Derrida menghubungkan kerangka waktu ruang dan waktu
dengan pengertian ‘tanda dan penulisannya’.
‘Tanda’ adalah ‘wakil’ dari bendanya. Makna, juga seperti tanda, untuk memahaminya kita harus
‘menangguhkan’ atau menunda dulu sampai orang atau benda yang merasa layak atau pantas untuk
memilikinya. Proses ini oleh Derrida disebut ‘temporisasi’ atau pemberian waktu (untuk menunda). Tanda
tempatnya dalam ruang. Tanda dapat dengan mudah kita mengerti dan kita rasakan, seperti kata-kata
ataupun tulisan. Kata-kata adalah tanda, seperti juga bahasa, isyarat, dan sistem yang pada umumnya kita
mengerti berdasarkan sejarahnya sebagai jaringan yang merupakan asal mula timbulnya perbedaan.
Tanda-tanda membawa makna dan adanya dalam ruang; untuk sementara waktu makna tersebut tertunda.
Tulisan, pada umumnya kita berpandangan bahwa sebelum seseorang menuliskannya, ia terlebih dahulu
mengucapkannya. Derrida justru berpendapat sebaliknya. Tulisan itu barang mati, hanya merupakan jalan
tengah antara maksud dan makna, atau antara ucapan dan pemahaman (Ch. Norris, 1985:28). Sebab
‘tulisan’ dalam pandangan Derrida bukan gambar sebagai hasil tindakan seseorang memindahkan gagasan-
gagasannya.
Derrida menyatakan bahwa ‘tulisan’ merussak atau menghancurkan dirinya sendiri. Artinya, ‘tulisan’ adalah
impersonal, jauh dari kehidupan, tidak seperti ‘bicara’. Menulis adalah pengelompokkan kata-kata yang
sifatnya mekanis menurut tata bahasa dan struktur katanya. Tentang makna menulis, Derrida mengatakan
bahwa makna itu seakan-akan keluar atau diturunkan dari tulisan, entah benar atau hanya khayalan saja.
Hal itu hanya mungkin dengan syarat bahasa yang asli dan alamiah tidak pernah ada, jadi tidak pernah
berkontak atau terjamah oleh tindakan menulis (Derrida, 1967:82). Gagasan ini disebutnya dengan istilah
archi-writing.
Archi-writing dimaksudkan Derrida untuk membicarakan tentang ‘waktu’ sebelum waktu yang kita alami,
atau ‘bahasa’ sebelum bahasa yang kita pakai saat ini. Archi-writing merupakan syarat utama untuk
memungkinkan sebuah bahasa dinyatakan sebagai sebuah sistem, dan melalui archi-writing ini kita dapat
memahami pernyataan atau artikulasi yang benar dari ucapan dan tulisan. Menurut Derrida, bahasa pada
dasarnya sudah merupakan tulisan, oleh karena itu pasangan konsep ucapan-tulisan harus diubah manjadi
tulisan-ucapan.
• Peranan Sejarah
Untuk memahami konsep Derrida tentang ‘tulisan’, kiranya baik bagi kita untuk mengambil makna sejarah
sebagai sarana untuk melacaknya. Sebab Derrida membicarakan sejarah melalui cara yang berbeda, yaitu
bukan sebagai deretan makna, melainkan sebagai ‘jejak’ yang bisa dilacak. Tulisan dapat menjadi jejak
yang bisu namun juga dapat menjadi saksi dari yang tidak hadir dan belum dapat terkatakan.
Derrida berkeyakinan bahwa meskipun orang belum mengucapkan kata-kata, namun tulisan sudah siap
untuk dicurahkan, tulisan dibatasi oleh bahasa yang diucapkan, karena ucapan, yaitu makna yang tertunda
kehadirannya, sudah terdapat di dalam tulisan.
• Definisi “Difference”
1. Differance adalah sebuah gerakan (aktif atau pasif) yang terdiri dari penundaan, karena
penundaan, perutusan, penundaan hukuman, penyimpangan, penangguhan, penyimpanan.
Kehadiran dinyatakan atau diinginkan dalam sifat representatifnya, tandanya atau jejaknya(Ibid,
17)
2. Gerakan differance adalah akar umum dari semua pertentangan konsep-konsep di dalam bahasa
misalnya sensibel-inteligibel, intuisi-makna, alam-kebudayaan, dsb.
3. Differance, yang menghasilkan perbedaan, adalah syarat dari semua makna dan struktur.
4. Differance adalah berbeda secara khusus, tetapi perbedaan ini secara ontologis benar-benar ada
dan tampak. Disini jelas bahwa deconstruction dan differance seiring sejalan. Deconstruction
membatalkan ekspresi ganda seperti dalam ucapan atau penulisan.
1. Pengaruh Strukturalisme
Derrida menyangkal pernyataan bahwa struktur bahasa itu benar-benar ada. Terutama ia akan menolak
argumen Noam Chomsky yang mengatakan bahwa bahasa itu diprogram ke dalam pikiran manusia dan
manusia sebagai pembicara begitu saja mengikuti struktur tersebut. Menurut Derrida, “makna” tidak dapat
disusun di manapun juga dalam pikiran manusia, selama makna itu merupakan produk pengalaman. Ia ingin
mengupas gagasan entang “struktur”, karena srtuktur menentang kebebasan peran makna di dalam teks
apa saja. Ini berarti bahwa orang dapat membaca kata-kata dalam sebuah teks, tetapi ia tidak mungkin
membaca makna di dalam teks tersebut.
Dengan demikian, makna bukan urusan struktur. Makna tidak dapat dibangun dalam ucapan, dan
karenanya Derrida menentang pernyataan para pakar linguistik struktural. Sebab, jika makna sudah
terbentuk didalam bahasa, oarng tidak akan membutuhkan hermeunetik atau interpretasi lagi.
Setelah menimba gagasan-gagasan dari Hegel dan Husserl, Derrida ingin menunjukkan bahwa bahasa
tidak lain adalah intensionalitas. Apa maksud seseorang ketika ia menggunakan bahasa? Apakah bahasa
identik dengan deretan kata-kata yang sudah jadi, apa kemudian disusul dengan makna-makna yang dipilih
secara bebas oleh pembicaranya? Husserl telah menunjukkan perbedaan antara noesis (pikiran) dengan
noema (yang dipikirrkan). Seperti misalnya seseorang melihat sebuah pohon,, harus dibedakan antara
’siapa yang melihat’ dengan ‘dari sudut mana’ pohon itu dilihat. Sebab, seorang tukang kayu dengan
seorang pematung akan mempunyai pandangan yang berbeda tentang pohon yang dilihatnya itu.
Dari realitas di dalam contoh tersebut di atas, Derrida melihat hubungan yang jelas antara fenomenologi
dengan hermeneutik. Jika makna yang muncul pada taraf yang paling dalam, maka bahasa yang
dipergunakan untuk berbicara harus diselidiki, apakah bahasa ini hanya keluar dari emanasi taraf pertama
atau kedua. Lalu, bagaimana hermeneut mengenakan nilai atau makna pada kata yang diucapkan itu?
Hermeneutik adalah pemahaman karya. Tujuannya adalah membongkar rahasia pandangan dunia dari
pengarang dan memungkinkan kita untuk menyadur bahwa esensi fenomenologis dari memahamitidak lain
adalah kemampuan seseorang untuk mendengarkan sendiri apa yang sedang ia katakan. Pemberi tanda
adalah orang yang dapat merasakan nafas pengarang dan maksud dari isyarat atau makna yang melekat
pada pengarang. Hermeneut kemudian berusaha melepaskan makna dari kata-kata yang diucapkan atau
yang tertulis epat pada saat kata-kata itu diucapkan . bagaimana dengan teks tertulis? Untuk dapat
dikatakan sebagai tulisan dalam arti yang sebenarnya, maka teks tersebut harus berjuang untuk mengatasi
‘kematian’ pembicara yang membawanya di dalam komunikai oral.
Apa peranan pengarang dan pembaca di dalam interpretasi sebuah teks? Apa yang menjadi ukurannya jika
dikatakan bahwa teori interpretasi menggambarkan pengarang asli atau pembaca asli? Jika kita
membicarakan tentang interpretasi, apa batasan proses tersebut? apa yang sebenarnya dimaksudkan
dengan penerapan, kelayakan dan permainan?
Menurut Jean Greisch, semua pertanyan tersebut harus dijawab oleh orang yang ingin membuat
interpretasi. Hermeneut menghendaki jawaban-jawaban atas pertanyaan tersebut menjadi pendahuluan
dalam karya interpretasinya. Untuk merumuskan pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam perspektif yang
semestinya, kita harus membedakan antara jenis teks berikut:
Sebuah teks oral yang kemudian diwujudkan dalam bentuk teks tertulis pada dasarnya tidak memiliki ‘nilai
tertulis’ sebagaimana dimaksudnya untuk dibaca, seperti karya sastra. Jika seseorang berbicara, maka ia
mengikuti aturan-aturan berbicara yang berbeda dengan aturan-aturan membaca. Jika seseorang
menulis,ia sadar akan kesuatuan, koherensi dan hubungans logis dari gagasan-gagasan dan bab-babnya,
pengaturan pemakaian kata-kata serta redundansinya. Jika terdapat teks yang dimaksudkan hanya untuk
dibaca tetapi ternyata dibacakan untuk didengarkan, maka teks tersebut menghasilkan sesuatu yang
sumbang dan seringkali menghasilkan makna yang berbeda bagi pendengarnya. Derrida lebih suka
mengoperasikan teks tertulis pada jenis yang ketiga, yaitu teks yang dimaksudkan untuk dibaca sebagai
teks, sebab teks ini mengikuti secara ketat aturan-aturan tentang sintaksis, tata bahasa dan gaya bahasa.
Derrida tidak mengutip teori Ricoeur tentang polisemi, yaitu sebuah kata atau ungkapan ada kemungkinan
mempunyai lebih dari satu makna. Ia cenderung mengatakan polisemi hanya laten dalam bahasa itu sendiri.
Kasusastraan memang penuh dengan makna ganda. Sebagai contoh misalnya salah satu kalimat yang
ditulis Shakespeare dalam Hamlet: ‘Orang ini, pembunuh bapaknya’. Walaupun di situ terdapat koma,
namun orang tetap sulit memahami siapa pembunuhnya dan siapa yang dibunuh.
Martin Heidegger memberikan arah baru dalam perkembangan hermeneutika. Hermeneutika tidak lagi
sekedar sebuah prinsip umum untuk melakukan interpretasi teks, melainkan hermeneutika adalah cara
berada manusia. Ia mengubah hermeneutika tradisional menjadi sebuah filsafat, sebuah hermeneutika
ontologis. Interpretasi bagi Heidegger adalah salah satu dari cara mengada manusia (yang lain adalah
mood dan diskursus).
Memahami (understanding) umumnya dilihat sebagai mengetahui atau kognisi. Heidegger menolak ini;
memahami baginya adalah bagaimana manusia mengalami sebuah situasi dan bagaimana ia siap untuk
menghadapi situasi tersebut. Semakin seseorang bisa menghadapi sebuah situasi, semakin ia “memahami”
situasi tersebut, semakin ia mampu bertindak, dan ia semakin bereksistensi.
Interpretasi adalah salah satu cara untuk mengartikulasikan pemahaman ini. Ia melihat kemungkinan-
kemungkinan dari sebuah situasi. Ia hadir dalam setiap situasi dan mencari jalan untuk menghadapi situasi
tersebut. Interpretasi tidak harus dalam bentuk verbal atau linguistik, atau dalam bentuk sebuah proposisi. Ia
juga bisa berbentuk sebuah aksi.
Heidegger lebih melihat proses pemahaman sebagai sebuah aksi ketimbang proses teoretisasi. Memahami
adalah cara praktis manusia bergaul dengan dunianya. Teori hanyalah sebuah bentuk praktis. Interpretasi
hanyalah salah satu modus dari pemahaman. Dan pada akhirnya interpretasi dalam bentuk bahasa
hanyalah salah satu bentuk dari interpretasi. Bahasa hanyalah sebuah instrumen dari pengertian.
Heidegger juga memperkenalkan lingkaran hermeneutik yang baru: sebuah pertanyaan selalu dibentuk oleh
ekspektasi sebelumnya yang akan menentukan jawaban yang metode yang akan didapatkan. Hal ini seperti
halnya pada lingkaran hermeneutik tradisional terlihat seperti sebuah paradoks. Namun Heidegger tidak
menutup kemungkinan untuk melakukan interpretasi. Yang dibutuhkan adalah dialog antara teks dan sang
penafsir sehingga teks semakin membuka dirinya untuk ditafsirkan.
1. KESIMPULAN
Studi tentang peranan bahasa dalam komunikasi dan proses berpikir, serta khususnya dalam persoalan
yang menyangkut bagaimana mengidentifikasi, memahami, maupun meyakini bahwa makna muncul pada
saat bahasa dipergunakan, telah banyak dilakukan oleh filsuf-filsuf analitik. Ciri khusus peranan bahsa itu
nampak melalui penggunaan bahasa sebagai medium dalam komunikasi gagasan. Sehubungan dengan hal
ini maka persoalan yang timbul kemudian adalah “problem tentang makna”.
Bagi para beberapa filsuf, pengertian tentang makna dibahas berdasarkan motivasi-motivasi tertentu. Ada
yang menghubungkan ‘makna’ dengan kebenaran tentang dunia yang ada di sekitar kita atau di mana kita
hidup. Bagi mereka istilah ‘bermakna’ atau tidak’bermakna’ adalah persyaratan utama untuk mencapai
kebenaranKita seringkali terperangkap di dalam penggunaan bahasa dengan rangkaian kata-kata yang
muluk-muluk, yang pada akhirnya membuat kita frustasi sendiri. Filsafat akhirnya juga kita mengerti sebagai
sebuah ‘teka teki’ yang sulit untuk dijawab dan dijelaskan.
Bila dalam arti luas metode adalah cara bertindak menurut sistem aturan tertentu dengan maksud untuk
mencapai hasil optimal, dan dalam arti khusus metode merupakan cara berfikir menurut sistem aturan
tertentu, maka yang menjadi persoalan adalah: sejauhmanakah metode yang dipergunakan di dalam
hermeneutik dapat kita pergunakan untuk ‘ memehami’ pemikiran kefilsafatan?
Pandangan kefilsafatan memandang penting bagi kita untuk mengetahui “dimana kita berpijak” atau “dari
sudut mana kita meninjau”bila kita berhadapan dengan hal-hal atau pernyatan-pernyataan tertentu.
Pandangan semacam ini juga mengandaikan keterlibatan pribadi didalam filsafat, yaitu berupa pandangan
hidup seseorang. Jadi bila kita melihat kembali pandangan-pandangan hermeneut diatas, maka segala
uraiannya tentang hermeneutic sedikit banyak diwarnai pula oleh pandangan hidup para hermeneut itu
sendiri serta latar belakang kehidupannya, atau tokoh lain yang mempengaruhinya.
Sebagaimana telah disebutkan pada pendahuluan bahwa filsafat berhubungan dengan spekulasi dan
analisis, filsafat juga bersifat selalu bertanya, analitik, kritis, dan evaluative. Filsafat mempersoalkan apa
saja, misalnya keyakinan, pernyataan, teori, hipotesis, dsb, tanpa ada kekecualiannya. Filsafat menganalisis
dan mengevaluasi semua hal tersebut sekritis-kritisnya.
Dilthey mengajak kita untuk melakukan kritik sejarah dengan mencoba menelusuri kembali segala peristiwa
dalam sejarah. Cara pandang semacam tikini menunjukkan bahwa filsafat adalah kegiatan yang bersifat
integrative atau kegiatan yang mengarah pada sintesis berbagai macam unsure kedalam keseluruhan yang
bersifat koheren dan terpadu. Cara pendang yang “sintetik”adalah sisitem berpikir yang mengarah pada
pandangan dunia yang terdiri dari bagian-bagian yang lebih kecil dan koheren (berkesinambungan).
Hermeneutik bukanlah merupakan “barang” baru. Apa yang telah dilakukan oleh para hermeneut tersebut
pada dasarnya hanyalah mengundang kita untuk melihat secara lebih dekat bahasa yang kita pergunakan,
yaitu sebagai alat untuk mengerti dan memahami, dan sekaligus sebagai penyebab “salah mengerti”
ataupun “salah paham”. Bahasa akan menjadi bahasan hermeneutic sejauh hal itu menyatakan keseluruhan
jaringan sejarah, kebudayaan, kehidupan, dan nilai-nilai yang merupakan petunjuk kearah interpretasi.
SUMBANGAN HEIDEGGER KEPADA HERMENEUTIKA DALAM
“BEING AND TIME”
Pengantar
Filsafat Heidegger beranjak dari persoalan bahwa para filsuf telah banyak mengajukan pertanyaan-
pertanyaan tentang dunia tetapi mereka mengabaikan kenyataan yang paling penting, yaitu bahwa dunia
ada. Heidegger berusaha untuk mencari arti syarat awal eksistensi yang ia sebut sebagai Ada. Ada tidak
dicari pada yang fisik melainkan lewat fenomena misalnya lewat fenomen tertawa, menangis, berjalan dan
sebagainya. Fenomen yang diteliti itu adalah manusia. Ia menyebut manusia
sebagai dasein(eksistensi). Dasein berarti berada-di-sana, di dunia. Dunia mempunyai ciri referensial.
Adanya selalu menunjuk pada sesuatu misalnya palu menunjuk pada paku, paku menunjuk pada papan,
papan menunjuk pada rumah dan seterusnya. Melihat begitu pentingnya arti “dunia”, Heidegger menyebut
kegiatan berada Dasein sebagai berada-dalam-dunia. Salah satu kegiatan itu adalah memahami. Bagi
Heidegger, pemahaman yang sesungguhnya itu tidak dilihat dalam suatu “pernyataan” sebagai buah nalar
(ratio), melainkan dalam tingkat fundamental (tidak perlu dipikirkan lagi). Jadi, seseorang dikatakan
memahami palu bukan karena ia bisa menyatakan palu adalah alat untuk menancapkan paku pada papan,
melainkan jika tanpa perlu berpikir lagi ia langsung menggunakan palu itu untuk menancapkan paku pada
papan (pemahaman pra konseptual). Ia membiarkan palu (fenomen pengada) termanifestasikan apa
adanya. Pemahaman lantas menjadi elemen penting hermeneutika. Karena Heideggerr berusaha mencari
pemahaman melalui fenomen maka ia memakai metode Fenomenologi. Fenomenologinya merupakan
hermeneutika terhadap fenomena.
Husserl dan Heidegger: Dua Tipe Fenomenologi
Fenomenologi merupakan pendekatan yang dirumuskan Edmund Husserl pada awal abad ke-20.
Fenomenologi telah membuka bidang pemahaman fenomena pra-konseptual. Ia berusaha melihat fenomen
sebagai realitas yang menampakkan diri apa adanya. Artinya, tanpa kita menafsirkan fenomen-fenomen itu.
Ini adalah penemuan baru Husserl. Namun, fenomenologi Husserl ini berbeda dengan Heidegger.
Pendekatan Husserl terarah pada fungsi kesadaran sebagai subyektivitas transendental. Kesadaran kita,
menurut Husserl selalu terarah pada sesuatu di luarnya (sadar akan sesuatu). Sedangkan Heidegger justru
melihat media vital historisitas “keber-ada-an” manusia di dunia. Menurutnya, kesadaran bukan sekedar
kesadaranakan sesuatu, melainkan kesadaran dalam/sebagai sesuatu. Apa maksudnya? Kita tidak sekedar
menyadari sesuatu, melainkan sesuatu itu turut membentuk kesadaran kita. Kita tidak hanya sadar hidup di
suatu dunia, tetapi juga sadar bahwa dunia ini turut membentuk kita yang ada di dalamnya. Arah
pendekatan Heidegger adalah keberadaan manusia itu sendiri. Heidegger berpandangan bahwa fakta
keberadaan merupakan persoalan yang lebih mendasar dari pada kesadaran dan pengetahuan manusia.
Ada lebih utama dari kesadaran, karena kesadaran hanyalah cara Ada menampakkan diri. Ini berbeda
dengan Husserl yang menganggap keberadaan Ada sebagai datum kesadaran.
Perbedaan fenomenologi Husserl dengan metode fenomenologis Heidegger dapat diringkas dalam kata
“hermeneutik” itu sendiri. Term ini tidak pernah digunakan Husserl untuk merujuk pada karyanya, sementara
Heidegger mengatakan bahwa dimensi otentik metode fenomenologi membuat karyanya (Being and Time)
bersifat hermeneutis; proyeknya dalam Being and Time adalah “hermeneutik Dasein”. Term tersebut
mengasumsikan adanya bias anti sains yang bisa membedakan secara nyata Heidegger dengan Husserl.
Filsafat dalam pegertian Husserl secara mendasar masih sains, suatu ilmu yang kaku, sementara bagi
Heidegger filsafat menjadi pemikiran historis, penemuan kreatif masa lalu.
Garis pembeda antara dua tipe fenomenologi di atas, secara jelas tergambarkan pada persoalan yang lain
yaitu “historisitas”. Menurut Heidegger, Fenomenologi Husserl hanya mengelaborasi “pola yang telah di
bentuk oleh Descartes, Kant, dan Fichte. Di sini historisitas masih asing”. Heidegger berusaha mengatasi
filsafat modern yang berporos pada kesadaran atau subyektivitas. Misalnya dalam Descartes, kenyataan
atau ada itu diciptakan oleh kesadaran. Jika aku menyadari danau di luar diriku maka danau itu ada.
Pandangan semacam ini yang ditolak Heidegger. Kesadaran yang ditemukan Descartes itu bukanlah
segala-galanya sebagaimana dipikirkan oleh Descartes, melainkan hanyalah salah satu
cara Ada menampakkan diri dalam kesejarahan Ada (historisitas Ada). Apa itu historisitas Ada? Kita harus
membayangkan seluruh manusia dan alam semesta ini sebagai suatu cerita tentang penampakan diri Ada
dalam berbagai maknanya. Dalam penggalan tertentu yang kita sebut ‘zaman modern’, Ada lebih ditangkap
sebagai kesadaran atau subyektivitas. Tetapi ini tidak berlaku untuk segala zaman. Heidegger menawarkan
strategi lain dalam mendekati fenomen kesadaran: membuka diri terhadap Ada dan
membiarkan Ada tampak apa adanya (memahami). Karena itu fenomenologi tidak sekedar untuk membuka
kesadaran manusia belaka tapi juga sebagai sarana untuk mendekati Ada dalam seluruh faktisitas dan
historisitasnya. Di sinilah penekanannya bahwa fenomenologi harus menjadi hermeneutis.
Fenomenologi Hermeneutis
Dalam bagian buku “Sein und Zeit” yang berjudul “The Phenomenological Method of Investigation”,
Heidegger menyebut metode fenomenologinya sebagai “hermeneutika”. Untuk mengerti hal ini, Heidegger
kembali pada akar kata fenomenologi. Fenomenologi berasal dari akar kata Yunani yang merupakan
kombinasi kata polimorfemikphainomenon atau phainesthai dan logos. Phainomenon/phainesthai berarti
yang menampakkan diri, sesuatu yang termanifestasikan, atau tampak apa adanya.
Sedangkan logos adalah sesuatu yang dipahami dalam pembicaraan, tidak diartikan sebagai ‘nalar’ atau
‘landasan’. Dengan demikian, Logos berarti sesuatu yang dengan sendirinya membiarkan sesuatu itu
muncul. Logos membiarkan ssuatu itu tampak sebagai sesuatu. Logos menjadi hermeneutika.
Dengan demikian, kombinasi phainomenon/phainesthai dan logos berarti membiarkan benda-benda
(fenomen) termanifestasikan sebagaimana adanya, tanpa memaksakan kategori-kategori kita sendiri pada
benda-benda tersebut. Ini berarti berlawanan dengan kebiasaan yang telah ada. Bukan kita yang menunjuk
benda atau realitas, tapi realitas itu sendiri yang menunjukkan dirinya kepada kita. Metode fenomenologi ini
menjadi signifikan bagi teori hermeneutis. Metode ini menunjukkan bahwa interpretasi tidaklah didasarkan
pada kesadaran dan kategori yang dibuat manusia, tetapi pada realitas yang menampakkan diri apa
adanya. Dengan kata lain, ontologi harus menjadi fenomenologi. Heidegger, dalam Being and
Time berusaha mendekati Ada sebagai fenomen.
Lantas apa hubungannya dengan hermeneutika? Sebagaimana ontologi menjadi fenomenologi tentang
Ada, ia juga harus menjadi hermeneutika eksistensi. Hermeneutika ini bukanlah suatu metode filologi, juga
bukan metode memahami (Geisteswissenschaften) seperti yang diungkapkan Dilthey, melainkan
hermeneutika yang membuka sesuatu yang tersembunyi. Ia bukan interpretasi atas interpretasi (misalnya
suatu teks) melainkan kegiatan primer interpretasi yang membuka hakekat Ada. Selanjutnya, Hermeneutika
menjadi “interpretasi Dasein”. Dengan demikian, pemahaman terhadap Dasein sendiri merupakan bagian
yang penting dalam hermeneutika Heidegger. Akhirnya Heidegger sendiri mendefinisikan esensi
hermeneutika sebagai kekuatan ontologis ‘pemahaman’ dan ‘interpretasi’ yang memungkinkan keberadaan
sesuatu khususnya keberadaan Dasein dapat terungkap.
Hakekat Pemahaman: Heidegger Melampaui Dilthey
Pemahaman (Verstehen) merupakan term khusus yang dipakai Heidegger. Maknanya berbeda dengan
pemahaman yang dimaksudkan oleh Schleirmacher dan Dilthey. Dalam pemikiran Schleirmacher,
pemahaman didasarkan pada afirmasi filosofisnya terhadap identitas dalam. Artinya, dalam pemahaman
seseorang menyatukan diri dengan pembicara atau penulis sebagai seorang yang dipahami. Dalam
pemikiran Dilthey, pemahaman mengacu pada level komprehensi lebih dalam yang melibatkan perolehan
suatu gambar, puisi, atau fakta (sosial, ekonomi, psikologi) lebih dari sekedar datum, melainkan sebagai
suatu ekspresi hidup.
Bagi Heidegger, pemahaman merupakan kemampuan menangkap kemungkinan-kemungkinan hakekat
eksistensi manusia. Pemahaman adalah cara berada di dunia, yang merupakan struktur
eksistensial Dasein yang memungkinkan terjadi pengalaman ditingkat empiris serta memungkinkan
terjadinya pengetahuan yang lainnya. Kemungkinan-keungkinan itu terbuka justru pada prakteknya, bukan
pada yang dipikirkan. Inilah pemahaman yang fundamental.
Pemahaman merupakan dasar bagi semua interpretasi, dan senantiasa hadir dalam setiap kegiatan
intepretasi. Pemahaman dipandang bukan sekedar peristiwa kejiwaan, melainkan suatu proses ontologis,
sebagai pengungkapan segala sesuatu yang berkaitan dengan eksistensi manusia. Karakteristik penting
pemahaman bagi Heidegger adalah bahwa ia selalu berlaku dalam suatu hubungan yang sudah
diinterpretasikan. Dilthey menegaskan bahwa kebermaknaan selalu merupakan sesuatu yang merujuk ke
dalam konteks keberhubungan, suatu persoalan prinsip yang sudah umum bahwa pemahaman selalu
berlaku dalam sebuah lingkaran hermeneutis. Karena itu, Heidegger suka mengangkat “lingkaran
hermeneutik”: manusia mencari pengetahuan karena belum tahu dan sudah tahu (pra pemahaman).
Hermeneutika Heidegger melangkah lebih jauh dari Dilthey karena Heidegger mengeksplorasi implikasi
lingkaran hermeneutis bagi struktur ontologis pemahaman eksistensi manusia dan interpretasinya. Akhirnya
dapat dikatakan bahwa pemahaman dalam pemikiran Heidegger telah menjadi ontologis.
Dunia dan Hubungan Kita dengan Obyek di Dunia
Yang dimaksud dunia dalam pemikiran Heidegger tidak sama dengan bumi atau alam semesta belaka atau
lingkungan kita, melainkan (dari sudut pandang Dasein) suatu tempat untuk dimukimi. Dunia itu suatu
keseluruhan dimana ada manusia menemukan dirinya sudah terlempar kedalamnya, dengan segala
kemanifestasiannya. Dunia tidak dapat dipahami dengan menaksir entitas yang ada di dalamnya karena
dengan cara ini dunia tidak akan mempunyai arti. Dengan kata lain, dunia tidak hanya dipahami sebagai
tindakan mengetahui suatu entitas.
Heidegger menekankan pentingnya ‘dunia’ dengan menyebut kegiatan berada Daseinsebagai berada-
dalam-dunia. Pengunaan garis hubung menekankan bahwa tidak ada jarak antara diri kita dengan dunia.
Kita merupakan bagian dunia seperti dunia merupakan bagian kita. Seorang pribadi tanpa dunia tidak
masuk akal. Seorang memandang dengan benar melalui dunia, bahkan ia tidak bisa melihat Dasein atau
apapun dalam kemanifestasiannya sendiri tanpa dunia itu. Dunia dan Daseinmerupakan relitas yang tak
terpisahkan.
Kata ‘dalam’ pada ‘berada-dalam-dunia’ juga harus dimengerti dengan tepat. Arti kata depan itu di hadapan
Heidegger sangat kompleks. Makna pernyataan: Dasein berada-dalam-dunia tidak dimengerti seperti air
‘dalam’ gelas atau pakaian ‘dalam’ almari. Apa bedanya? Air, pakaian, gelas, dan almari dengan cara yang
sama berada ‘dalam’ suatu tempat. Sedangkan Dasein berada dalam dunia secara khas. Dasein tak pernah
ada di dalam ruang melainkan menduduki ruang. Dia tidak ‘terletak’ di suatu tempat tetapi memukimi suatu
tempat. Kita tidak tergeletak di dalam dunia melainkan terlibat dan kerasan di dunia.
Apa yang ditemui Dasein di dunia? Dan bagaimana hubungan ada kita (sebagaiDasein) dengan obyek yang
ada di dalamnya? Jika kita berada dalam suatu ruang kuliah, kita akan menjumpai ada kursi, meja, lampu,
papan tulis, alat tulis dan alat-alat lainnya atau juga benda-benda yang bukan alat atau teman dan dosen
kita sendiri. Jika kita cermati, benda atau alat-alat tersebut adalah selalu “untuk sesuatu” (intensional). Ia
mempunyai struktur ‘untuk’ karena itu selalu mengacu pada alat-alat lain. Kita sering mengunakan alat-alat
itu nyaris secara spontan. Jika ada gangguan, misalnya alat tulis hilang atau kursi rusak atau lampu mati,
maka intensi yang diandaikan begitu saja akan tersingkap dan disadari. Kita lalu menjadi sadar akan
ketergantungan kita pada materi tersebut. Pengalaman ini mengasumsikan prinsip hermeneutis bahwa
keberadaan sesuatu terungkap tidak dalam tatapan analitis kontemplatif melainkan dalam momen di mana
ia muncul secara tiba-tiba dari kesembunyiannya dalam konteks dunia yang sangat fungsional.
Kebermaknaan Prapredikatif, Pemahaman dan Interpretasi
Fenomen kerusakan yang menyingkapkan keberadaan sebuah alat sebagai alat mengarah pada ‘dunia’
yang sangat luas, tempat kita eksis. Dunia ini lebih dari sekedar lahan aktivitas prasadar persepsi pikiran. Ia
adalah lahan di mana resistensi dan posibilitas dalam struktur ada membentuk pemahaman. Di sini
temporalitas dan historisitas ada hadir secara tegas. Ada menyingkapkan dirinya dalam kebermaknaan,
pemahaman dan interpretasi. Singkatnya, ia merupakan lahan proses hermeneutis di mana ada
tertematisasikan sebagai bahasa.
Kebermaknaan yang dimaksudkan oleh heidegger adalah Rede atau percakapan. Percakapan di sini bukan
dipahamai sebagai komunikasi verbal, melainkan suatu penyampaian makna yang mendahului artikulasinya
dalam bahasa. Karena itu, dalam kebungkaman, manusia juga bisa bertutur. Ini bukan paradoks, melainkan
menunjukkan bahwa ‘percakapan’ itu bukan pengucapan makna secara verbal, melainkan penyampaian
makna tanpa artikulasi apapun. Dua teman karib yang lama tidak berjumpa akan terpaku saling
memandang tak berkata-kata saat mereka tak berjumpa lagi. hal ini menunjukkan bahwa mereka saling
memahami satu sama lain. Inilah momen kebermaknaan yang tidak diartikulasikan namun disampaikan
lewat disposisi dasar eksistensial mereka masing-masing.
Pemahaman sangat berkaitan erat dengan kebermaknaan di atas. Pemahaman juga tidak dapat dipisahkan
dari interpretasi karena interpretasi merupakan penerjemahan eksplisit dari pemahaman. Dalam
pemahaman, suatu ‘dunia’ bisa dilihat sebagai ini atau sebagai itu. Ungkapan kata sebagai ini merupakan
suatu terjemahan eksplisit pemahaman atau suatu interpretasi. Misalnya, seseorang yang baru di PHK
termenung di taman sampai pada pemahaman akan makna hidupnya lalu mengambil keputusan untuk
hidup masa depannya, ia telah melewati interpretasi atas situasi dirinya. Interpretasi disini bukan berarti
meratapi pemecatannya, melainkan mencoba keluar dari keterpurukan dengan menafsirkannya. Dalam
interpretasinya, ia bisa mengatakan: “O saya memahami musibah ini sebagai peluang untuk berkembang
lebih baik”. Tentu yang dikatakannya itu juga tidak terpisah dari momen kebermaknaan prapredikatif yang
telah dilaluinya yakni saat dia duduk termenung di taman. Inilah saat diam yang penuh makna, atau momen
kebermaknaan yang tidak diartikulasikan lewat kata.
Karakter Derivatif Pernyataan
Pemahaman yang paling dasar tidak terletak pada suatu pernyataan produk akal budi, melainkan pada
pemahaman pra sadar dimana kita sudah tidak perlu memikirkannya lagi. sedangkan pemahaman yang
diungkapkan melalui kata-kata (pernyataan) merupakan pemahaman sekunder. Pernyataan itu adalah
turunan dari pemahaman primer yang pra sadar (fundamental). Bagi Heidegger, “pernyataan” (Aussage)
bukanlah suatu bentuk dasar interpretasi. Heidegger memberikan suatu contoh pernyataan: “Palu itu berat”.
Ini merupakan suatu pemahaman yang terbentuk lewat logika (pemikiran). Dalam pernyataan ini, palu
diinterpretasikan sebagai sesuatu dengan kekayaan sifatnya, dalam hal ini bobot beratnya. Lalu pernyataan
ini menjadi penyataan logis yang menempatkan palu tidak lagi sebagai sebuah “alat” (sebagaimana adanya)
melainkan sebagai sebuah obyek. Pernyataan seperti ini akan memutuskan ada (palu) dari
kebermaknaannya sebagai akar dari keberadaannya.
HERMENEUTIKA
Pengantar
Salah satu ciri menonjol mayoritas filosof abad XX adalah menjadikan bahasa
sebagai fokus kajian filsafat mereka. Mereka semakin menyadari bahwa persoalan-
persoalan filsafat berkembang dan dapat dijelaskan melalui bahasa. Namun dalam
kenyataannya tidaklah mudah untuk menentukan karakteristik pandangan filsafat
melalui objek material bahasa. Kenyataan menunjukkan bahwa bahasa tidaklah
mungkin dibatasi melalui formulasi logika yang ketat sebagaimana dilakukan oleh
atomisme logis dan positivisme logis. Hal inilah yang kemudian memunculkan
pemikiran filsafat bahasa biasa yang berupaya memecahkan problema-problema
filsafat dan membahas konsep-konsep filsafat dengan melalui suatu analisis bahasa.
Dari pemikiran ini kemudian berkembanglah pemikiran tentang hermeneutika.
Hermeneutika merupakan satu istilah yang cukup populer saat ini khususnya dalam
bidang ilmu sosial humaniora. Apa itu hermeneutika dan bagaimana pemikiran
tentangnya akan sedikit dibahas dalam tulisan sederhana ini.
Kajian kritis ini kemudian berkembang tidak hanya berlaku pada teks-teks bibel tapi
termasuk teks-teks lainnya. Bahkan, kemudian berkembang lagi meliputi segala hal
yang dapat disamakan dengan teks hingga usaha memahami makna kehidupan.
Hermeneutika cukup sulit didefinisikan secara tunggal. Hal ini merujuk sekian
banyaknya teori tentang hermeneutika itu sendiri dan juga perkembangannya. Akan
tetapi, lepas dari itu, tentu saja terdapat titik temu dari semuanya terlebih jika
dimaklumi bahwa sekian tersebut sama-sama menggunakan istilah hermeneutika
yang mana bisa dirunut maknanya secara etimologi.
Emilio Betti
Ketiga, setelah itu pembaca harus menggabungkan antara dua horizon, horizon
pembaca dan horizon teks. Keduanya harus dikomunikasikan agar ketegangan
antara dua horizon yang mungkin berbeda bisa diatasi. Pembaca harus terbuka pada
horizon teks dan membiarkan teks memasuki horizon pembaca. Sebab, teks dengan
horizonnya pasti mempunyai sesuatu yang akan dikatakan pada pembaca. Interaksi
antara dua horizon inilah yang oleh Gadamer disebut “lingkaran hermeneutik”.
Keempat, langkah selanjutnya adalah menerapkan “makna yang berarti” dari teks,
bukan makna obyektif teks. Bertolak pada asumsi bahwa manusia tidak bisa lepas
dari tradisi dimana dia hidup, maka setiap pembaca menurutnya tentu tidak bisa
menghilangkan tradisinya begitu saja ketika hendak membaca sebuah teks.
Paul Ricoeur
Ricoeur yang berlatar belakang pandangan Katholik, memiliki prespektif kefilsafatan yang beralih dari
analisis eksistensial ke analisis eidetik (pengamatan yang sedemikian mendetil), fenomenologis, historis,
hermeneutik hingga pada akhirnya semantik.
Ia mengatakan bahwa pada dasarnya keseluruhan filsafat itu adalaha interpretasi terhadap interpretasi,
seperti yang dikutip dari Nietzsche, ia menyatakan bahwa hidup itu sendiri adalah interpretasi (Ricoeur,
1974:12)
Bilamana ada pluralitas makna, maka dibutuhkan sebuah interpretasi, demikian pula jika simbol-simbol
mulai dilibatkan. Setiap interpreatsi adalah usaha untuk membongkar makna-makna yang masih
terselubung.
Menurut Riceour, setiap kata merupakan sebuah simbol yang penuh dengan makna dan intensi yang
tersembunyi. Jadi tidaklah heran jika menurut Riceour tujuan hermeneutik adalah menghilangkan misteri
yang terdapat dalam sebuah simbol dengan cara membuka selubung daya-daya yang belum diketahui dan
tersembunyi di dalam simbol-simbol tersebut (Montifiore, 1983:192)
Salah satu sasaran yang hendak dituju oleh berbagai macam hermeneutik adalah ‘perjuangan melawan
distansi kultural’, yaitu penafsir harus mengambil jarak supaya ia dapat membuat interpretasi dengan baik.
Jika pembahasan interpretasi hanya terbatas pada simbol-simbol maka ini menjadi terlalu sempit, Riceour
kemudian memperluas definisi tersebut dengan menambahkan ‘perhatian kepada teks’. Teks sebagai
penghubung bahasa isyarata dan simbol-simbol dapat membatasi ruang lingkup hermeneutik karena
budaya oral dapat dipersempit.
Tugas utama hermeneutik di satu pihak adalah mencari dinamika internal yang mengatur struktural kerja di
dalam suatu teks, dan di lain pihak mencari daya yang dimiliki kerja teks itu untuk memproyeksikan diri
keluar.
Definisi pasti tentang hermeneutik menurut Ricoeur adalah teori pengoperasian pemahaman dalam
hubungannya dengan interpretasi terhadap teks (Ricoeur, 1985:43).
Baginya manusia pada dasarnya adalah bahasa dan bahas itu sendiri merupakan syarat utama bagi semua
pengalaman manusia.
Penjelasan struktural suatu teks cenderung bersifat obyektif, sedangkan penjelasan hermeneutik memberi
kita kesan subyektif, di sinilah didapati dikotomi antara obyektifitas dan subyektifitas yang menimbulkan
problem. Dikotomi antara ‘penjelasan’ dan ‘pemahaman’ sangat tajam, yaitu untuk memahami sebauh
percakapan kita harus kembali pada struktur permulaannya. Kebenaran dan metode dapat menimbulkan
proses dialektis.
Otonomi teks ada tiga macam: intensi atau maksud pengarang, situasi kultural dan kondisi sosial
pengadaan teks, dan untuk siapa teks itu dimaksudkan.
Menurut Ricoeur ada tiga langkah pemahaman, yaitu yang berlangsung dari penghayatan atas simbol-
simbol ke gagasan tentang ‘berpikir dari’ simbol-simbol. Langkah pertama adalah langkah simbolik atau
pemahaman dari simbol ke simbol, langkah kedua adalah pemberian makna oleh simbol serta penggalian
yang cermat atas makna, langkah ketiga adalah langkah yang benar-benar filosofis yaitu berpikir dengan
menggunakan simbol sebagai titik tolaknya.
Pemahaman yang pada dasarnya adalah ‘cara berada’ (mode of being) atau ‘cara menjadi’ hanya bisa
terjadi pada tingkat pengetahuan yaitu pada teori tentang pengetahuan atau Erkenntnistheorie.
Ada empat tema yang diketengahkan oleh Ricoeur, tema pertama adalah tidak ada titik nol saat kritik tuntas
dapat mulai dilakukan. Tema kedua adalah tidak ada pandangan umum menyeluruh yang memberi kita
kemungkinan untuk memahami totalitas akibat sejarah hanya dalam waktu sekejap saja. Tema ketiga
adalah jika tidak ada pandangan ang menyeluruh, maka tidak akan ada situasi yang secara mutlak
membatasi kita. Tema keempat adalah perpaduan antarcakrawala.
Pendahuluan
Mengkaji aplikasi hermeneutika dalam tradisi Islam tidak terlepas dari tokoh Nars Hamid Abu Zayd. Pemikir
ini sangat terkenal di dunia dan di Indonesia, juga menjadi rujukan para akademisi. Buku-bukunya telah
banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Adalah menarik menyimak bagaimana Nasr Hamid memandang teks al-Quran, sebagaimana dia paparkan
dalam berbagai bukunya, terutama dalam Mafhum an-Nas Dirasah fii Uluum al-Quran dan Naqdu al-Khitab
ad-Dini. Konsep Nasr Hamid ini membawa dampak pada metode penafsiran teks al-Quran, di mana ia
mengkritisi metode tafsir Ahlu Sunnah yang menurutnya tidak sesuai dengan konteks kekinian. Tulisan ini
akan coba menguraikan biorafi Nasr Hamid Abu Zayd, Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd; Teori Makna
dan Signifikansi ( )الدللة والمغزىdan Posisinya dalam Hermeneutika Barat, Aplikasi Teori Hermeneutika Nasr
Hamid Abu Zayd, dan Analisis Kritis Atas Teori Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd.
Biografi
Nasr Hamid Abu Zayd lahir di Tantra, Mesir pada 10 Juli 1943. Dia menyelesaikan gelar BA pada 1972
konsentrasi Arabic Studies, gelar MA pada tahun 1977 dan PhD pada 1981 dengan konsentrasi Islamic
Studies di Universitas Kairo. Dia bekerja sebagai dosen di Universitas yang sama sejak 1982. Pada tahun
1992, dia dipromosikan sebagai profesor, tetapi ditolak karena hasil kerja dan pemikirannya yang
kontroversial, diantaranya menghujat para sahabat, terutama Uthman Ibn ‘Affan. Menurutnya, Utsman Ibn
‘Affan, mempersempit bacaan Alquran yang beragam menjadi satu versi, Quraysh.[1] Belakangan ia divonis
“murtad”, dikenal dengan peristiwa “Qadiyyah Nasr Hamid Abu Zayd”. “Pemurtadan” Nasr tidak berhenti
sampai di situ, tetapi masih terus berlanjut hingga pengadilan banding Kairo menetapkan Nasr harus
menceraikan istrinya. Tindakan ini menurutnya sebagai upaya melanggengkan hegemoni kaum Quraysh
terhadap kaum muslimin. Semenjak peristiwa itu, dia meninggalkan Mesir dan menetap di Netherlands
bersama istrinya. Awalnya, di Netherland Nasr menjadi profesor tamu studi Islam pada Universitas Leiden
sejak 26 Juli 1995, hingga 27 Desember 2000 dikukuhkan sebagai Guru Besar Tetap di Universitas
tersebut.[2]
Nasr Hamid Abu Zayd merupakan ilmuwan muslim yang sangat produktif, Ia menulis lebih dari dua puluh
sembilan (29) karya sejak tahun 1964 sampai 1999, baik berbentuk buku, maupun artikel. Ada sembilan
karyanya yang penting dan sudah dipublikasikan, yaitu:
Nasr Hamid Abu Zayd hidup dalam hegemoni wacana agama Islam yang ”terisolasi” dari dunia ilmu
pengetahuan Barat. Perhatiannya yang sangat besar di bidang interpretasi (tafsir) Alquran rnendorongnya
untuk bereksplorasi dengan filsafat Barat, seperti rasionalisme, kritisisme, Fenomenologi dan hermeneutika.
Hasil eksplorasinya memunculkan beragam tudingan miring. Tuduhan-tuduhan tersebut muncul sebagai
reaksi terhadap tulisan-tulisan Nasr tentang interpretasi Alquran.[3]
Jika aplikasi teori hermeneutika Syahrûr dikenal dengan istilah inter- tekstualitas
dengan teknik sintagmatis-paradigmatis untuk menangkap pesan yang terkandung dalam teks al-Qur’ân,
[29] dan Fazlur Rahman dikenal dengan teori double movement.[30]Kemudian Hermeneutika Arkoun
berusaha untuk memilah dan menunjukkan mana teks pertama atau teks pembentuk dan mana teks
hermeneutika,[31] dan kelihatannya dipengaruhi teori hermeneutika post-strukturalis Michel Foucault,
sehingga ia menggunakan metode dekonstruksi dan analisa arkeologis.[32] Maka aplikasi teori Nasr Hamid
Abu Zayd berangkat dari teori makna (dalâlah) dan signifikansi (magzâ) sebagaimana dikemukakan
sebelumnya dan contoh cara kerjanya sebagai berikut.
Poligami dalam wacana Alquran mempunyai level makna ketiga, di mana pemahamannya haruslah
melampaui makna historisnya dengan menguak signifikansi masa kininya dan mampu menguak dimensi
yang tak terkatakan dari suatu pesan. Dalam masalah poligami, Abu Zayd berargumentasi sebagai berikut:
1. Kesadaran akan historisitas teks keagamaan adalah teks linguistik dan bahasa sebagai produk
sosial dan kultural.
2. meletakkan teks dalam konteks Alquran secara keseluruhan terhadap konsep adil. Dengan
melakukan ini, Abu Zayd berharap bahwa “yang tak terkatakan” atau yang implisit dapat
diungkapkan.
3. Poligami dibolehkan dalam Alquran pada hakikatnya adalah sebuah pembatasan dari poligami
yang tak terbatas yang telah dipraktikan sebelum datangnya Islam.[33]
Gambar :[34]
No. Makna /Dilalah Signifikansi/maghza Yang tak
terkatakan
Poligami Praktik Islam Sikap adilTujuan akhir legislasiPoligami
poligami pra-membatasi dalam Islam: monogami dilarang
islam :poligami poligami
poligami tidakempat istritidak
terbatas secara adil mungkin:
monogami
ditekankan