You are on page 1of 60

FENOMENOLOGI

1. Pengertian

Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani dengan asal suku kata pahainomenon (gejala/fenomena).
Adapun studi fenomenologi bertujuan untuk menggali kesadaran terdalam para subjek mengenai
pengalaman beserta maknanya. Sedangkan pengertian fenomena dalam Studi Fenomenologi sendiri
adalah pengalaman/peristiwa yang masuk ke dalam kesadaran subjek.

Fenomenologi merupakan ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak (phainomenon). Jadi,
fenomenologi mempelajari suatu yang tampak atau apa yang menampakkan diri. “fenomen” merupakan
realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung yang memisahkan realitas dari kita., realitas itu sendiri
tampak bagi kita. Kesadaran menurut kodratnya mengarah pada realitas. Kesadaran selalu berarti
kesadaran akan sesuatu. Kesadaran menurut kodratnya bersifat intensionalitas. (intensionalitas merupakan
unsur hakiki kesadaran. Dan justru karena kesadaran ditandai oleh intensionalitas, fenomen harus
dimengerti sebagai sesuatu hal yang menampakkan diri.

“Konstitusi” merupakan proses tampaknya fenomen-fenomen kepada kesadaran. Fenomen mengkonstitusi


diri dalam kesadaran. Karena terdapat korelasi antara kesadaran dan realitas, maka dapat dikatakan
konstitusi adalah aktivitas kesadaran yang memungkinkan tampaknya realitas. Tidak ada kebenaran pada
dirinya lepas dari kesadaran. Kebenaran hanya mungkin ada dalam korelasi dengan kesadaran. Dan karena
yang disebut realitas itu tidak lain daripada dunia sejauh dianggap benar, maka realitas harus dikonstitusi
oleh kesadaran. Konstitusi ini berlangsung dalam proses penampakkan yang dialami oleh dunia ketika
menjadi fenomen bagi kesadaran intensional.

Sebagai contoh dari konstitusi: “saya melihat suatu gelas, tetapi sebenarnya yang saya lihat merupakan
suatu perspektif dari gelas tersebut, saya melihat gelas itu dari depan, belakang, kanan, kiri, atas dan
seterusnya”. Tetapi bagi persepsi, gelas adalah sintesa semua perspektif itu. Dalam prespektif objek telah
dikonstitusi. Pada akhirnya Husserl selalu mementingkan dimensi historis dalam kesadaran dan dalam
realitas. Suatu fenomen tidak pernah merupakan suatu yang statis, arti suatu fenomen tergantung pada
sejarahnya. Ini berlaku bagi sejarah pribadi umat manusia, maupun bagi keseluruhan sejarah umat
manusia. Sejarah kita selalu hadir dalam cara kita menghadapi realitas. Karena itu konstitusi dalam filsafat
Husserl selalu diartikan sebagai “konstitusi genetis”. Proses yang mengakibatkan suatu fenomen menjadi
real dalam kesadaran adalah merupakan suatu aspek historis.

Husserl juga mengungkapkan tentang reduksi transendental. Reduksi ini harus dilakukan menurut Husserl
lebih dikarenakan karena Husserl menginginkan fenomenologi menjadi suatu ilmu rigous. Ilmu rigous tidak
boleh mengandung keraguan, atau ketidak pastian apapun juga. Ucapan yang dikemukakan pada ilmu
rigorous harus bersifat “apodiktis” (tidak mengizinkan keraguan). Suatu benda material tidak pernah
diberikan kepada kita secara apodiktis dan absolut. Setiap benda material selalu diberikan dalam bentuk
profil-profil. Misalnya dari sebuah lemari yang ada di hadapan saya, saya hanya dapat melihat depannya
saja tanpa dapat mengetahui bentuk depannya, dan ketika saya ingin melihat sisi depannya, maka saya
harus melihatnya dari sisi yang lainnya, namun setelah itu saya tidak bisa melihat sisi depan dari profil-profil
lain. Dengan cara inilah benda-benda material tampak bagi saya. Setiap benda material tidak pernah
diberikan kepada saya menurut segala profil-profilnya, secara total dan absolut. Cara realitas material
tampak bagi saya bersikap sedemikian rupa, sehingga tidak dapat ditemukan pernyataan-pernyataan
apodiktis dan absolut tentangnya. Karena alasan-alasan itulah fenomenologi sebagai ilmu rigorous harus
mulai dengan mempraktekkan “reduksi transendental”.

Wawasan utama fenomenologi adalah “pengertian dan penje lasan dari suatu realitas harus dibuahkan dari
gejala realitas itu sendiri” (Aminuddin, 1990:108). Dalam perkembangannya, fenomenologi memang ada
beberapa macam, antara lain: (a) fenomenologi Edid etik dalam linguistik, fenomenologi Ingarden
dalam sastra, artinya pengertian murni ditentukan melalui penentuan gejala utama, penandaan dan
pemilahan, penyaringan untuk menentukan keberada an, penggambaran gejala (refleksi), fenomenologi
transendental, dan (d) fenomenologi eksistnsial.

Bagi fenomenologi transendental, keberadaan realitas sebagai “objek” secara tegas ditekankan. Kesa daran
aktif dalam menangkap dan merekonstruksi kesadaran terhadap suatu gejala amat penting. Bagi
fenomenologi eksitensial, penentuan pengertian dari gejala budaya semata-mata tergantung individu.
Refleksi individual menjadi “guru” bagi individu itu sendiri dalam rangka menemukan kebenaran.

Metode kualitatif fenomenologi berlandaskan pada empat kebenaran, yaitu kebenaran empirik sensual,
kebenaran empirik logik, kebenaran empirik etik, dan kebenaran empirik transenden. Atas dasar cara
mencapai kebenaran ini, fenomenologi menghendaki kesatuan antara subyek peneliti dengan pendukung
obyek penelitian.

Keter libatan subyek peneliti di lapangan dan penghayatan fenomena yang dialami menjadi salah satu ciri
utama. Hal tersebut juga seperti dikatakan Moleong (1988:7-8) bahwa pendekatan fenomenologis berusaha
memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu.

Mereka berusaha untuk masuk ke dunia konseptual para subyek yang ditelitinya sedemikian rupa sehingga
mereka mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang mereka kembangkan di sekitar peristiwa dalam
kehidupannya sehari hari. Makhluk hidup tersedia pelbagai cara untuk menginterpretasikam pengalaman
melalui interaksi dengan orang lain, dan bahwa penger tian pengalaman kitalah yang membentuk
kenyataan.

1. Sejarah Fenomenologi

Pada masa sebelum ada cara berpikir fenomenologis, cara berpikir manusia dibagi dua kutup yang
berlawanan 180 derajat yaitu: idealisme dan realisme. Kaum penganut idealisme menilai benda-benda
maupun peristiwa yang terjadi disekitarnya berdasarkan ide-ide yang dikembangkan dalam pikirannya.
Kemudian ide-ide ini membentuk semacam “frame of reference” yang secara subjectif dipahami sebagai
kebenaran. Dalam memandang dunia sekitarnya seorang idealist akan memakai acuan “frame of reference”
yang merupakan ide-ide dalam pikirannya. Oleh karena itu seorang idealist biasanya juga sangat subjectif
dalam menilai dunia sekitarnya. Sumbangan idealisme kedunia adalah adanya penemuan-penemuan baru,
ide-ide baru, karya besar di bidang sastra, dll. Sedangkan kebalikannya kaum penganut realisme, melihat
benda-benda maupun sesuatu peristiwa yang ada sesuai dengan keadaan nyata benda tersebut yang
secara nyata bisa diraba, diukur atau punyai nilai tertentu. Kalau tidak bisa dibuktikan bahwa benda itu
nyata dan punya nilai atau ukuran tertentu maka benda itu tidak pernah ada. Oleh karena itu penganut
realisme cenderung kepada atheisme yang tidak percaya adanya Tuhan karena Tuhan tidak bisa dilihat
secara nyata. Realisme sangat berpengaruh di Eropa pada masa revolusi industri dan sumbangannya
kedunia adalah kemajuan “science & technology”.

Pada sekitar awal abad ke 20, walaupun revolusi industri terus bergerak, beberapa filsuf di Eropa seperti
Edmund Hursell (1859 - 1938) mulai meragukan kehandalan cara berpikir realisme yang seolah-olah tidak
ada satupun dialam ini yang tidak bisa dijelaskan dengan ilmu pengetahuan alam. Apapun yang telah
ditemukan, persoalan-persoalan dasar manusia tidak pernah bisa diselesaikan. Tidak semua hal bisa
diselesaikan dengan ilmu pengetahuan alam.

Edmund Hursell memperkenalkan fenomenologi yang belakangan dikembangkan menjadi eksistensialisme.


Cara berpikir fenomenologi ditekankan dengan pengamatan terhadap gejala-gejala dari suatu benda. Kalau
seorang penganut realisme menilai benda dengan cara melihat bentuk, ukuran dan nilai suatu benda, maka
seorang penganut fenomenologi melihat benda dengan gejala-gejala yang muncul dari benda tersebut.
Benda itu ada berdasarakan gejala-gejala yang timbul dari benda itu sendiri, kita hanya menangkap gejala-
gejala tersebut. Benda tersebut bercerita tentang dirinya dengan memancarkan gejala-gejala, dengan
menangkap gejala tersebut kita bisa menangkap esensi benda tersebut. Semua benda punya pancaran
gejala-gejalanya sendiri-sendiri, kita akan bisa lebih memahami benda tersebut apabila kita menganggap
benda sebagai subjek yang menceritakan diri sendiri melalui gejala-gejala yang memancar darinya.
Contohnya: kalau kita melihat kursi, kursi itu sendiri memancarkan gejala-gejala bahwa dia itu kursi bukan
meja. Kita hanya perlu menangkap gejala yang muncul dari kursi tersebut kemudian kita tidak akan salah
bahwa dari gejala-gejala yang muncul dari kursi itu bahwa kebenarannya dia itu kursi, bukan benda yang
lain. Jelas cara berpikir ini adalah cara berpikir yang radikal berbeda dengan cara berpikir idealisme maupun
realisme. Idealisme memahami alam sekitarnya melalui manusia sebagai subject dengan ide-ide pikirannya,
benda disimpulkan sepenuhnya tergantung dari ide-ide pikiran. Realisme memahami benda kalau benda itu
nyata berdasarkan ukuran atau nilai. Sedangkan fenomenologi menganggap object sebagai subject yang
bercerita kepada kita melalui gejala-gejala yang timbul darinya.
1. Fenomenologi Sebagai Metode Penelitian

Penelitian fenomenologi mencoba menjelaskan atau mengungkap makna konsep atau fenomena
pengalaman yang didasari oleh kesadaran yang terjadi pada beberapa individu. Penelitian ini dilakukan
dalam situasi yang alami, sehingga tidak ada batasan dalam memaknai atau memahami fenomena yang
dikaji. Menurut Creswell (1998:54), Pendekatan fenomenologi menunda semua penilaian tentang sikap
yang alami sampai ditemukan dasar tertentu. Penundaan ini biasa disebut epoche (jangka waktu). Konsep
epoche adalah membedakan wilayah data (subjek) dengan interpretasi peneliti. Konsep epoche menjadi
pusat dimana peneliti menyusun dan mengelompokkan dugaan awal tentang fenomena untuk mengerti
tentang apa yang dikatakan oleh responden. Berikut ini adalah sedikit uraian tentang fenomenologi sebagai
metode penelitian;

Fokus Penelitian Fenomenologi :

• Textural description: apa yang dialami subjek penelitian tentang sebuah fenomena.
• Structural description: bagaimana subjek mengalami dan memaknai pengalamannya.

Teknik Pengumpulan Data Fenomenologi :

• Teknik “utama” pengumpulan data: wawancara mendalam dengan subjek penelitian.


• Kelengkapan data dapat diperdalam dengan : observasi partisipan, penulusuran dokumen, dan
lain-lain.

Tahap-Tahap Penelitian Fenomenologi :

• Pra-penelitian
• Menetapkan subjek penelitian dan fenomena yang akan diteliti
• Menyusun pertanyaan penelitian pokok penelitian

Proses Penelitian Fenomenologi :

• Melakukan wawancara dengan subjek penelitian dan merekamnya.

Analisis Data Fenomenologi :

• Mentranskripsikan rekaman hasil wawancara ke dalam tulisan.


• Bracketing (epoche): membaca seluruh data (deskripsi) tanpa prakonsepsi.
• Tahap Horizonalization: menginventarisasi pernyataan-pernyataan penting yang relevan dengan
topik.
• Tahap Cluster of Meaning: rincian pernyataan penting itu diformulasikan ke dalam makna, dan
dikelompokkan ke dalam tema-tema tertentu. (Textural description, Structural description)
• Tahap deskripsi esensi: mengintegrasikan tema-tema ke dalam deskripsi naratif.

1. Kritik Terhadap Fenomenologi

Sebagai suatu metode keilmuan, fenomenologi dapat mendeskripsikan fenomena sebagaimana adanya
dengan tidak memanipulasi data. Aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita terima sebelumnya
dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan dikesampingkan untuk
mengungkap pengetahuan atau kebenaran yang benar-benar objektif.

Selain itu, fenomenologi memandang objek kajiannya sebagai kebulatan yang utuh, tidak terpisah dari objek
lainnya. Dengan demikian fenomenologi menuntut pendekatan yang holistik, bukan pendekatan partial,
sehingga diperoleh pemahaman yang utuh mengenai objek yang diamati. Hal ini menjadi suatu kelebihan
pendekatan fenomenologi, sehingga banyak dipakai oleh ilmuwan-ilmuwan dewasa ini, terutama ilmuwan
sosial, dalam berbagai kajian keilmuan mereka termasuk bidang kajian agama.

Dibalik kelebihan-kelebihannya, fenomenologi sebenarnya juga tidak luput dari berbagai kelemahan. Tujuan
fenomenologi untuk mendapatkan pengetahuan yang murni objektif tanpa ada pengaruh berbagai
pandangan sebelumnya, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan, merupakan sesuatu yang
absurd. Sebab fenomenologi sendiri mengakui bahwa ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai
(value-free), tetapi bermuatan nilai (value-bound). Hal ini dipertegas oleh Derrida, yang menyatakan bahwa
tidak ada penelitian yang tidak mempertimbangkan implikasi filosofis status pengetahuan. Kita tidak dapat
lagi menegaskan objektivitas atau penelitian bebas nilai, tetapi harus sepenuhnya mengaku sebagai hal
yang ditafsirkan secara subjektif dan oleh karenanya status seluruh pengetahuan adalah sementara dan
relatif. Sebagai akibatnya, tujuan penelitian fenomenologis tidak pernah dapat terwujud.

Selanjutnya, fenomenologi memberikan peran terhadap subjek untuk ikut terlibat dalam objek yang diamati,
sehingga jarak antara subjek dan objek yang diamati kabur atau tidak jelas. Dengan demikian, pengetahuan
atau kebenaran yang dihasilkan cenderung subjektif, yang hanya berlaku pada kasus tertentu, situasi dan
kondisi tertentu, serta dalam waktu tertentu. Dengan ungkapan lain, pengetahuan atau kebenaran yang
dihasilkan tidak dapat digenaralisasi.

Hermeneutik

Di dalam tradisinya, hermeneutika dikaitkan dengan seorang dewa Yunani, Hermes (dalam mitologi
Romawi disebut Merkurius) sebagai dewa yang menyampaikan pesan Dewa Zeus kepada manusia. Ia
“menerjemahkan” keinginan Dewa Zeus (dalam bahasa dewa, mungkin) ke dalam ungkapan yang dipahami
oleh manusia. Ia sendiri adalah pencipta bahasa dan tulisan, sehingga manusia bisa memahami satu sama
lain. Hermeneutika juga dikaitkan dengan hermeios, yaitu pendeta bijak dari Delphi yang menerjemahkan
keinginan para dewa supaya dapat dipahami para manusia. Di dalam bahasa Inggris kata delphic sendiri
berarti tidak jelas atau ambigu. Maka adalah tugas sang pendeta untuk memberikan tafsir atas kalimat yang
ambigu tersebut.

1. Apakah Hermeneutik itu ?

1. Definisi

Secara etimologis, kata hermeneutik berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti menafsifkan.
Kata benda hermeneia secara harfiah dapat diartikan sebagai penafsiran atau interpretasi. Hermeneutik
akhirnya diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Pada
hermeneutik terdapat pengalaman-pengalaman mental yang disimbolkan secara langsung itu adalah sama
untuk semua orang, sebagaimana juga pada pengalaman-pengalaman imajinasi-imajinasi untuk
menggambarkan sesuatu. Menurut Aristoteles, tidak ada satupun manusia yang mempunyai, baik bahasa
tulisan maupun bahasa lisan, yang sama dengan yang lain. Bahasa sebagai suatu sarana komunikasi antar
individu dapat juga tidak berarti sejauh mana orang yang berbicara dengan yang lain dengan bahasa yang
berbeda. Peralihan dari pengalaman mental dalam kata-kata yang di ucapkan atau ditulis mempunyai
kecenderungan dasar untuk mengerut atau menyempit. Sebuah pengalaman mental atau konsep atau
gambaran (image) pada dasarnya kaya akan corak dan warna serta mempunyai nuansa yang beraganeka
ragam.

Dalam bentuk tertulis tidak hanya ejaan dan rangkaian huruf-huruf yang berbeda namun kesamaan bunyi
juga akan muncul ( ekiuvokal) seperti misalnya kata genting yang berarti “gawat” atau “atap”atau “sempit”.
Aristoteles memisahkan antara homonim, sinonim, dan kata-kata turunan. Dalam hal-hal seperti ini, orang
kemudian biasanya menurunkan arti kata-kata berdasarkan konteks yang ada. Untuk menanggulangi hal-
hal semacam ini maka hermeneutik kiranya akan berperan penting.

1. Hermeneutik dan Bahasa

Pada dasarnya hermeneutik berhubungan dengan bahasa, berpikir itu ialah melalui bahasa dapat
menjadikan orang berbicara dan menulis dengan bahasa. Nuansa-nuansa bahasa bukanlah merupakan hal
yang baru, namun untuk pertama kalinya bahasa menjadi pusat pembicaraan filosofis H.G. Gadamer yang
menulis sebagai berikut: bahasa merupakan modus operandi dari cara kita berada di dunia dan merupakan
wujud yang seakan -akan merangkul seluruh konstitusi tentang status manusia di dunia ini sebagai bagian
yang seakan-akan tidak terbedakan dari dunia ini. Menurut Gadamer, bahasa tidak boleh boleh kita pikirkan
atau kita pahami sebagai sesuatu yang memiliki ketertujuan (teleologi) di dalam dirinya.Yang dimaksudkan
Gadamer adalah bahwa kata-kata atau ungkapann secara aksidental tidak pernah memiliki kebakuan. Kata-
kata ataupun ungkapan mempunyai tujuan (telos) tersendiri atau penuh dengan maksud, demikian yang di
katakanoleh Wilhelm Dilthey. Gadamer menyatakan bahwa mengerti berarti mengerti melalui bahasa.

Hermeneutik adalah cara baru untuk “bergaul”dengan bahasa, bahasa menjelmahkan kebudayaan
manusia. Henri Bergson menyatakan bahwa bila seseorang memahami bahasa sesuatu Negara, dapat
dipastikan ia tidak akan mungkin benci terhadap Negara itu. Sebab, bila kita mampu memahami ssesuatu
bahasa, maka kita mampu memahami segala sesuatu. Bahasa adalah medium yang tanpa batas, yang
membawa segala sesuatu di dalamnya tidak hanya kebudayaan yang telah disampaikan pada kita melalui
bahasa melainkan juga sesuatu tanpa ada kecualinya, sebab segala sesuatu itu sudah termuat dalam
lapangan pemahaman. Bahasa adalah perantara berbagai hubungan umat manusia.. Tradisi dan juga
kebudayaan baik dari warisan nenek moyang itu sebagai suatu bangsa yang kesemuanya itu diungkap
dalam bahasa yang ditulis pada daun lontar.

1. Penerapan Hermeneutik

Disiplin ilmu yang pertama kalinya banyak menggunakan hermeneutik adalah ilmu tafsir kitab suci. Sebab
semua karya yang mendapatkan inspirasi ilahi seperti Al-Quran, kitab Taurat, kitab-kitab Veda dan
Upanished supaya dapat dimengerti memerlukan interpretasi atau hermeneutik. Interpretasi yang benar
atas teks sejarah memerlukan hermeneutik. Interpretasi terhadap hukum selalu berhubungan dengan isinya.
Setiap hukum mempunyai dua segi yaitu yang tersurat dan yang tersirat atau bunyi hukum dan semangat
hukum. Subtilitas Intellegendi (ketepatan pemahaman) dan Subtilitas Explicandi (ketepatan penjabarannya)
adalah sangat relevan bagi hukum.

Dalam bidang filsafat pentingnya hermeneutik tidak dapat ditekankan secara berlebihan. Sebab pada
kenyataannya, keseluruhan filsafat adalah “interpretasi”,”pembahasan”seluruh isi alam semesta kedalam
bahasa kebijaksanaan manusia. Aristoteles menyatakan:Amicus Plato sed magis amica veritas ( Plato
adalah seorang sahabat tetapi sahabat yang lebih akrab lagi adalah kebenaran. Melalui bahasa kita
berkomunikasi, tetapi melaui bahasa pula kita bisa salah paham dan salah tafsir. Arti makna dapat kita
peroleh tergantung dari banyak faktor : siapa yang berbicara, keadaan khusus yang berkaitan dengan
waktu, tempat, ataupun situasi yang mewarnai arti sebuah peristiwa bahasa. Sebagai contoh misalnya
pemahaman dan penafsiran anak terhadap kata-kata sedikit banyak tergantung dari latar belakang anak itu
sendiri.

1. Cara Kerja Hermeneutik

Pada dasarnya semua objek itu netral, sebab objek itu adalah objek, arti atau makna yang diberikan pada
objek oleh subjek sesuai dengan cara pandang subjek. Husserl menyatakan bahwa objek dan makna tidak
pernah terjadi serentak atau bersama-sama, sebab pada mulanya objek itu menurunkan maknanya atas
dasar situasi objek, semuanya itu adalah sama saja. Darisinilah kita lihat keunggulan hermeneutik. Untuk
dapat membuat interpretasi, orang terlebih dahulu harus mengerti atau memahami. Namun keadaan lebih
dahulu mengerti ini bukan di dasarkan pada penetuan waktu, melainkan bersifat alamiah. Mengerti dan
interpretasi menimbulkan lingkaran hermeneutik. Emilio Betti mengatakan bahwa tugas orang yang
melakukan interpretasi adalah menjernihkan persoalan mengerti yaitu dengan cara menyelidiki setiap detail
proses interpretasi. Betti mencoba memahami ‘mengerti “juga menurut gayanya sendiri. Ia memandang
interpretasi untuk mengerti. Kegiatan interpretatif adalah proses yang bersifat triadik’(mempunyai tiga segi
yang saling berhubungan ). Dalam proses ini terdapat pertentangan antara pikiran yang diarahkan pada
objek dan pikiran penafsir itu sendiri. Orang yang mengenal interpretasi harus mengenal pesan atau
kecondongan sebuah teks lalu ia harus meresapi isi teks sehingga yang pada mulanya yang lain kini
menjadi aku penafsir itu sendiri.

Hermeneutik menegaskan bahwa manusia autentik selalu dilihat dalam konteks ruang dan waktu dimana
mausia sendiri mengalami atau menghayatinya.. manusia autentik hanya bisa dimengerti atau dipahami
dalam ruang dan waktu yang persis tepat dimana ia berada. Dengan kata lain setiap individu selalu dalam
keadaan tersituasikan dan hanya benar-benar dapat dipahami dalam situasinya. Heidegger menjelaskan hal
yang sebaliknya, yaitu manusia yang tidak autentik atau das man yang dimanupulasikan oleh lingkungan
atau situasinya. Manusia tidak mengontrol melainkan dikontrol oleh situasi. Argumentasi Hermeneutik dalam
ruang lingkup lebih luas dapat dijabarkan sebagai setiap objek yang tampil dalam konteks ruang dan waktu
yang sama atau sebagaimana yang di sebut oleh Karl Jaspers dengan istilah das Umgreifende atau
cakrawala ruang dan waktu. Meskipun hermeneutik atau interpretasi termuat dalam kesusutraan dan
lingualistik, hukum, sejarah , agama, dan disiplin ilmu yang lainnya berhubungan dengan teks namun
akarnya adalah tetap filsafat.

1. Latar Belakang Pemikiran Tentang Hermeneutik

F.D.E Schleiermacher ditempatkan sebagai tokoh Hermeneutik . Ia membedakan hermeneutik dalam


pengertian sebagai ilmu atau seni memahami dengan hermeneutik yang mendefinisikan sebagai studi
tentang memahami itu sendiri ( Richard E. Palmer, 1969 : 40 ). Scleiermacher menulis sebagai berikut :
Semenjak seni berbicara dan seni memahami berhubungan satu sama lain, maka berbicara hanya
merupakan sisi luar dari berpikir , Hermeneutik adalah bagian dari seni berfikir itu dan oleh karenanya
bersifat filosofis ( Schleiermacher, 1977 : 97 ). Penerapan hermeneutik sangatlah luas yaitu dalam bidang
teologis, filosofis, sebab merupakan ” bagian dari seni berfikir “. Pertama- tama buah pikiran kita mengerti,
baru kemudian kita ucapkan. Inilah alasannya Schleiermacher menyatakan bahwa bicara kita berkembang
seiring dengan buah pikiran kita. Namun bila saat berfikir kita merasa perlu untuk membuat persiapan dalam
mencetuskan buah pikiran kita, maka pada saat itulah disebut sebagai ” Transformasi berbicara yang
internal dan orisinal dan karenanya interpretasi menjadi penting”.

Yang dimaksud Schleiermacher adalah bahwa ada jurang pemisah antara berbicara atau berfikir yang
sifatnya internal dengan ucapan yang aktual. Setiap pembicara mempunyai waktu dan tempat dan bahasa
dimodifikasi menurut kedua hal tersebut. Menurut Schleiermacher, pemahaman hanya yterdapat didalam
kedua momen yang saling berpautan satu sama lain. Satu pernyataan tunggal dapat kita mengerti atau kita
pahami dengan berbagai macam cara, tergantung pada tata bahasa dan keterlibatan pendengarnya.
Seandainya ada rasio 1-1 antara pikiran dan ucapan kita, yaitu seandainya dimungkinkan pikiran kita
dipantulkan secara tidak senada ( tidak ekuivokal ) dengan ucapan kita, mak mungkin ada salah ucap, jadi
tidak perlu lagi ada hermeneutik. Tetapi karena tidak ada kesan impresi langsung dari pikiran keucapan kita,
maka kemungkinan untuk salah ucap itu besar sekali. Bahkan saat kita meletakkan pause diantara kata-
kata dalam kalimat sering kali kita mengalami kesenjanganjalan pikiran. Inilah bahaya yang sering kita alami
yaitu kita sering membuat kesalahan dalam linguistik.

2. Pengaruh F. Ast dan F. A. Wolt

Schleiermacher dalam uraiannya banyak juga dipengaruhi oleh para penasehatnya, seperti Friedrich ash
dan Friedrich August Wolf, dari Ash Schleiermacher mendapat ide untuk mengamati isi sebuah karya dari
dua sisi : sisi luar dan sisi dalam. Aspek luar sebuah karya ( teks ) adalah aspek tata bahasa dan kekhasan
linguistik lainnya. Aspek dalam adalah jiwanya ( Geist ). Bagi Ash sendiri tugas hermeneutik adalah
membawa keluar makna internal dari suatu teks beserta situasinya menurut jamannya. Ash membagi tugas
itu kedalam tiga bagian, yaitu : sejarah, tata bahasa dan aspek kerohaniannya. Hermeneutik adalah proses
menelaah isi dan maksud yang mengejawantah teks yang mengandung arti yang kelihatan sudah jelas
( Ricour, 1974 : 43 ).

Seorang filsuf yang mempengaruhi gagasan Schleiermacher adalah F. A. Wolf, yang mendefinisikan
hermeneutik sebagai seni menemukan sebuah teks. Menurut Wolf juga ada tiga taraf atau jenis hermeneutik
atau interpretasi, yaitu interpretasi gramatikal, historis dan retorik. Interpretasi gramatikal berhubungan
dengan bahasa, interpretasi historis dengan fakta waktu, sedang interpreasi retorik mengontrol kedua jenis
interpretasi yang terdahulu. Wolf membahas tata bahasa, hermeneutik dan kritik studi persiapan untuk
filologi ( ilmu bahasa ), sementara Ash menganggap ketiga disiplin ilmu tersebut hanya sekedar appendiks
(lampiran) saja bagi filolog, maka tidaklah mengherankan kalau mereka beralih ke hermeneutik karena
keduanya ingin membahas makna kata- kata.

3. Inti Uraian tentang Hermeneutik

Menurut Schleiermacher, ada dua tugas hermeneutik yang pada hakikatnya identik satu sama lain, yaitu
interpretasi gramatikal dan interpretasi psikologis. Bahasa gramatikal merupakan syarat berfikir setiap
orang. Sedangkan aspek psikologis interpretasi memungkinkan seseorang menangkap ” setitik cahaya ”
pribadi penulis. Oleh karenanya, untuk memahami pernyataan- pernyataan orang harus mampu memahami
bahasanya sebaik memahami kejiwaannya. Walaupun demikian, Schleiermacher menawarkan sebuah
rumusan positif dalam bidang seni interpretasi, yaitu rekonyruksi historis, objektif dan subjektif terhadap
sebuah pernyataan. Schleiermacher sendiri menyatakan bahwa tugas hermeneutik adalah memahami teks
sebaik atau lebih baik daripada pengarangnya sendiri dan memahami pengarang teks lebih baik daripada
memahami diri sendiri.

Setiap bagian dari suatu peristiwa hanya dapat dipahami dalam konteks keseluruhan bagian- bagiannya,
dan juga sebaliknya. Bahkan hal ini juga menuntut suatu pemahaman awal atas objek atau peristiwa yang
dipertanyakan itu. Disinilah penafsir mulai dengan satu teori tentatif atau konsep awal. Keseluruhan proses
ini adalah metode hermeneutik, suatu proses memahami dan interpretasi. Ada beberapa taraf memahami,
demikian juga dengan interpretasi. Taraf pertama ialah interpretasi dn pemahaman mekanis : pemahaman
dan interpretasi dalam kehidupan kita sehari- hari, di jalan- jalan, di pasar atau dimana saja orang
berkumpul bersama untuk berbincang- bincang tentang topik umum. Taraf kedua ialah taraf ilmiah :
dilakukan di Universitas, dimana diharapkan adanya taraf pemahaman dan interpretasi yang tinggi. Taraf
ketiga ialah taraf seni : disini tidak ada aturan yang mengikat atau membatasi imajinasi. Dari kehidupan
sehari- hari, kita harus mampu mengambil inti sari situasi yang mirip dengan yang mirip dengan yang
terdapat di dalam kitab suci, kutipan- kutipan sastra atau dengan dokumen sejarah yang harus kita ” baca ”
inti sari maknanya. Pemahaman yang selalu dipasangkan dengan interpretasi tidak lain adalah seni, dalam
arti bahwa seseorang tidak dapat meraamalkan waktu dan cara seseorang mengerti. Pikiran kita adalah
sebuah proses yang ” mengalir ” dan bukan sekedar fakta yang serba komplit. Oleh karena itu kita
memerlukan suatu pandangan kedalam atau intuisi yang tidak membingungkan bila kita ingin memahami
sesuatu teks.

Yang ingin dicari oleh Dilthey adalah pemahaman dan interpretasi atas kegiatan-kegiatan individu yang
dengan sendirinya tersituasikan dalam system-sistem eksternal dari organisasi-organisasi social, politik dan
ekonomi dengan nilai-nilainya sendiri yang sudah dianggap mapan atau mantap. Namun kegiatan-kegiatan
individu juga merupakan indikasi atau petunjuk kea rah factor-faktor psikologisnya. Menurut Dilthey,
lingkungan eksternal maupun kejiwaan internal seorang person harus dilihat secara seksama dengan
maksud untuk memahami perilakunya. Dalam hal ini, Dilthey pertama-tama membuat deskripsi, kemudian
mengadakan interpretasi.

Dilthey membedakan dengan tajam antara Naturwissenschaften atau ilmu pengetahuan tentang alam
dengan Geisteswissenschaften atau ilmu pengetahuan tentang batin manusia. Semua ilmu pengetahuan
tentang alam fisik seperti biologi, kimia, fisika dan ilmu-ilmu lainnya yang termasuk bidang ini serta semua
jenis sains yang mempergunakan metode ilmiah induksi dan eksperimen, termasuk dalam
Natuwissenschaften. Sedang semua ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan kehidupan batin
manusia seperti sejarah, psikologi, filsafat, dan ilmu-ilmu lain yang sejenis masuk dalam
Geisteswissenschaften.

Untuk dapat memahami orang lain dan ungkapan-ungkapan hidupnya, maka pemahaman terhadap diri
sendiri adalah mutlak. Pemahaman Geisteswissenschaften atau ilmu pengetahuan tentang hidup
tergantung pada pengalaman-pengalaman batin kita, yaitu pengalaman yang tidak dapat dijangkau oleh
metode ilmiah. Disinilah Dilthey membuat perbedaan penting antara dua buah kata dalam bahasa Jerman
yang sama-sama dapat diterjemahkan dengan kata “pengalaman”. Kedua kata tersebut adakah erfahrung,
yaitu kata yang biasanya diartikan sebagai “pengalaman” pada umumnya, dan erlebnis, kata turunan yang
berasal dari kata kerja erleben yang berarti “menglami”. Semua erlebnis benarnya merupakan pengalaman
dalam arti umum (erfahrung) pila, tetapi tidak semua pengalaman dapat disebut dengan erlebnis atau
pengalaman yang hidup. Bisa jadi, seseorang selama sekian tahun tidak memiliki pengalaman yang hidup
selain hanya pengalaman-pengalaman yang menjenuhkan dan tidak makna apa-apa (erfahrungen). Dilthey
menganjurkan kita menggunakan hermeneutic, sebab menurut dia, hermeunetik adalah dasar dari
Geisteswissenschaften. Berkenaan dengan keterlibatan individu dalam kehidupan masyarakat yang hendak
dipahaminya, ia merasa perlu memiliki tipe memahami yang khusus. Dilthey menaruh perhatian pada
metode hermeneutic ketika ia mencoba memecahkan persoalan tentang bagaimana membuat segala
pengetahuan tentang individu atau pengetahuan tentang singularitas eksistensi manusia menjadi ilmiah
(Kremer-Marietti, 1971:130).

Metode Pengoperasian Hermeneutik, antara lain dengan:

1. Interpretasi Data
Dalam satu aspek, ungkapan atau pernyataan interpretation naturae (interpretasi terhadap alam) adalah
wujud dari ucapan. Dalam hal ini Dilthey menekankan bahwa terhadap benda-benda kita hanya mampu
“mengetahui”, sedang “memahami” dan “interpretasi” hanya dipergunakan untuk “mengetahui” manusia.
Jadi menurutnya, suatu proses dimana kita mengetahui sesuatu dari aspek kejiwaannya atas dasar tanda-
tanda yang dapat ditangkap pancaindra sehingga termanifestasikan, kita sebut “komprehensi” atau
pemahaman. Dilthey berkesimpulan bahwa eksegesis atau interpretasi adalah suatu seni memahami
manifestasi atau pengejawantahan hal yang bersifat vital dan ditampakkan pada kebiasaan yang tahan
lama. Hermeneutik pada dasarnya bersifat menyejarah. Ini berarti bahwa makna itu sendiri tidak pernah
berhenti pada ’satu masa’ saja, tetapi selalu berubah menurut modifikasi sejarah. Contohnya adalah sejarah
bangsa Indonesia tidak mungkin hanya akan ditulis satu kali dan berlaku untuk seterusnya, tetapi akan
selalu ditulis kembali oleh setiap generasi.

1. Riset Sejarah

Dilthey mengatakan bahwa peristiwa sejarah dapat dipahami dalam tiga proses:

• Memahami sudut pandang atau gagasan para pelaku asli.


• Memahami arti atau makna kegiatan-kegiatan mereka pada hal-hal yang secara langsung
berhubungan dengan peristiwa sejarah.
• Menilai peristiwa-peristiwa tersebut berdasarkan gagasanyang berlaku pada saat sejarawan itu
hidup.

Namun proses tiga tahap pemahaman itu sendiri tidak berlaku untuk metode ilmiah. Alasannya adalah
karena untuk memahami atau mencerna sudut pandang pelaku asli dalam sejarah, kita harus memiliki
sedikit pengetahuan tentang psikologi atau cara mengenal orang atau masyarakat. Sebagai contoh
misalnya, bagi kita kiranya cukup mudah unyuk menentukan akibat naiknya harga BBM terhadap situasi
ekonomi. Tetapi melacak akibat yang timbul karena keputusan sepihak yang dikeluarkan oleh seorang
penguasa, kiranya cukup sulit. Jadi pemahaman dan interpretasi terhadap peristiwa-peristiwa sejarah
bukanlah merupakan tugas yang mudah untuk dilaksanakan.

Bahasa kita sendiri tidak bebas dari pasang surutnya sejarah. Kata-kata atau pernyataan tunggal dapat
mempunyai arti yang bermacam-macam tergantung pada konteks sejarah di mana kata atau pernyataan itu
diucapkan. Sebagai contoh misalnya kata “aduh” sbb.: “Aduh, bagusnya” yang keluar dari mulut seorang
pengagum lukisan; atau “Aduh, sakitnya!” yang diucapkan oleh seorang pasien yang sedang disuntik. Kata
“Aduh” memiliki arti yang sama, yaitu ungkapan perasaan. Tetapi yang diucapkan oleh pengagum lukisan
mempunyai nada pujian. Sedangkan yang diucapkan oleh seorang pasien bertujuan untuk menahan rasa
sakit. Oleh karena itu, bila kita membaca sejarah, kewajiban kita adalah “menyusun balik” kerangka yang
dibuat oleh sejarawan dengan maksud supaya peristiwa-peristiwa dapat dilihat kembali sesuai dengan
kejadian yang sebenarnya. Metode atau proses semacam inilah yang disebut hermeneutik. Jadi bagi
seorang sejarawan, menggabungkan pengalaman yang hidup dengan pemahaman terhadap individu
merupakan keharusan. Pengalaman yang hidup dan pemahaman saling melengkapi satu sama lain, bahkan
seakan menyatu walaupun keduanya itu kita mengerti secara terpisah.

Pemahaman adalah proses di mana kehidupan mental menjadi diketahui melalui ungkapannya yang
ditangkap oleh pancaindra kita. Tanpa ungkapan, kehidupan mental kita tidak mungkin kita ketahui. Bila
kehidupan mental ini tidak terjangkau oleh sarana-sarana objektif, maka besar kemungkinannya
subjektivitas masuk dalam pemahaman terhadap kehidupan mental tersebut. Proses pemahaman ini terdiri
dari dua bagian yang berhubungan dengan rangkaian peristiwa dalam proses kehidupan secara berbeda
satu sama lain. Pertama, pengalaman yang hidup menimbulkan ungkapannya. Bila kita menyelidiki
ungkapan dengan mundur ke pengalaman, ini berarti kita melakukan proses hubungan sebab akibat.
Kedua, dalam proses menghidupkan kembali atau rekonstruksi berbagai peristiwa, dimana orang dapat
melihat kelanjutan peristiwa tersebut sehingga ia bias ambil bagian di dalamnya, maka ia melakukan proses
hubungan sebab akibat.

1. Latar Belakang Pemikiran tentang Hermeneutik

Hans-Georg Gadamer dalam karyanya yang berjudul Wahrheitund Methode (kebenaran dan Metode)
menekankan pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologism, bukan metodologis. Karena kebenaran
menerangi metode-metode individual, sedangkan metode justru merintangi atau menghambat kebenaran.
Dalam “kebenaran dan metode”, karya Gadamer yang paling menarik adalah konsepnya tentang
“permainan”. Dalam hubungannya dengan pengalaman dalam bidang seni, “permainan”dapat merupakan
semacam kerangka berpikir di dalam proses memahami yang menjadi pokok bahasan hermeneutic.

Gadamer menolak konsep hermeneutic sebagai metode. Dalam karyanya yang berjudul Philosophical
Apprenticeships (Magang Filsafat) ia menulis sebagai berikut: Dapatkah tujuan sebuah metode menjamin
kebenaran? Filsafat harus menuntut sains dan metodenya supaya mengenali dirinya sendiri terutama dalam
konteks eksistensimanusia dan penalarannya. Pernyataan itu juga dapat di artikan bahwa filsafat tidak usah
mengikuti metode yang ketat jika ingin berhubungan dengan existenz atau “manusia autentik”. Kata existenz
adalah istilah yang di pergunakan filsuf eksistensiallis Karl Jasper untuk menyebut “manusia autentik”.
Jasper menyatakan bahwa existenz mengambil jalur yang berbeda untuk sampai pada kebenaran
eksistensial. Existenz seringkali harus membuat loncatan (saltus) iman untuk mencapai Tuhan. Yang ingin
di katakana Gadamer ialah bahwa logika sendiri sudah tidak berdaya dan tidak mampu menjadi sarana
unyuk mencapai kebenaran filosofis.

1. Paham tentang Seni

Gadamer menaruh perhatian pada bidang seni dengan alas an di dalam seni kita mengalami suatu
kebenaran, tetapi bukan kebenaran yang kita peroleh melalui penalaran melainkan kebenaran yang
menurut faktanya ” menentang semua jenis penalaran”.Gadamer mengutip pendapat Kant bahwa ” seni
murni adalah seni para genius” dan kebenarannya tidak dapat di capai denganmetode ilmiah.Gadamer
membahas secara panjang lebar empat konsep tentang manusia yang memperkaya hermeneutic. Empat
konsep tersebut adalah:

1.
1. Bildung

Bildung adalah konsep-konsep yang meliputi seni, sejarah, Weltanschauung ( pandangan dunia),
pengalaman, ketajaman pikiran, dunia eksternal, kebatinan, ekspresi atau ungkapan, style atau gaya dan
symbol, yang kesemuannya itu kita mengerti saat ini sebagai istilah-istilah dalam sejarah. Kata Bildung
sendiri mempunyai arti yang lebih luas daripada sekedar “kultur atau kebuadyaan”, bahkan mempunyai arti
dalam lonotasi yang lebih tinggi. Sinonim dari kata Bildung dalam bahasa latin adalah formatio, yaitu bentuk
atau formasi.

Bildung adalah sebauh gagasanhistoris asli dan pengadaannya penting untuk pemahaman dan interpretasi
ilmu-ilmu kemanusiaan. Pada dasarnya Bildung adalah “kumpulan kenangan” yang di dalam proses
pengumpulannya membentuk dirinnya sendiri sebagai yang ideal. Menurut Gadamer, memori atau
kenangan harus di bentuk.

1.
1. Sensus Communis

Gadamer menggunakan atau mengartikan ungkapan ini bukan sebagai “pendapat umum” atau pendapat
kebanyakan orang pada umumny. Sensus Communis mempunyai kesetaraan arti dengan ekspresi dalam
bahasa Perancis le bon ses, ayaitu pertimbanagn praktis yang baik. Menurut pengertiannya yang mendasar,
istilah tersebut adalah pandangan yang mendasari komunitas dan karenanya sangat penting untuk hidup.
Sebagaimana dinyatakan oleh Vico, Sensus Communis tidak boleh berperanan penting dalam bidang sains
seperti dalam ilmu-ilmu tentang hidup atau ilmu-ilmu kemanusiaan. Ia sepakat dengan Shaftesbury bahwa
sensus communis adalah pandangan tentang kebaikan umum, cinta komunitas, masyarakat, atau
kemanusiaan. Sensus Communis juga mempunyai aspek moral.

1.
1. Pertimbangan

Konsep yang ketiga ini mirip dengan sensus communis dan selera. Pertimbangan sifatnya universal, namun
bukan berarti berlaku um um. Pertimbangan dan sensus communis keduanya termasuk dalam interpretasi
ilmu-ilmu tentang hidup. Gadamer sepakat dengan Kant tentang pembinaan pertimbangan praktis yang di
perhubungkan dengan pengertian estetis. Dalam pandangan Kant, pertimbangan praktis juga bersifat seni
atau estetik, minimal dalam pandangan moralnya, sejauh orang mengetahui ” apa yang harus ia lakukan”
juga memiliki seni atau pandanganpraktis. Pertimbangan adalah kemampuan untuk memahami hal-hal
khusus sebagai contoh yang universal, dan kemampuan ini akan melibatkan perasaan, konsep, prinsip dan
hukum-hukum yan dapat di olah manusia.

1.
1. Taste atau Selera

Menurut Gadamer selera sama dengan rasa, yaitu dalam pengoperasiannyatidak memakai pengetahuan
akali. Berdasarkan fakta, selera bertentangan dengan yang tidak menimbulkan selera. Gadamer
mempertentangkan antara selera yang baik dengan yang tidak menimbulkan selera. Gadamer menyatakan
bahwa fenomena selera adalah kemampuan intelektual untuk membuat diferensiasi atau pembedaan, tetapi
kemampuan ini tidak dapat di demonstrasikan. Setiap pertimbangan tentang apa yang di inginkan untuk di
pahami dalam individualitasnya yang konkret adalah pertimbangan atas sesuatu yang khusus. Tanpa selera
tidak akan ada seni dan tidak ada satu selera pun yang dapat menilai seni. Menurut Kant, pertimbangan
estetis melibatkan kecerdasan maupun selera.

Kini yangf menjadi persoalan kita adalah: apa hubungan antara selera dengan hermeneutic? Jika selera
melibatkan pertimbangan yang pada suatu saat juga melibatkan sensus communis dan bulding, maka
mudah sekali untuk menghubungkan selera dengan hermeneutic. Hermeneutik adalah metode yang di
pergunakan oleh ilmu-ilmu tentang hidup atau ilmu-ilmu tentang manusia. Hidup itu tidak statis melainkan
berubah antara rangkaian baik dan buruk, mulia dan nista, luhur fdan rendah, dan sebagainya. Dari realitas
hidup ini, yang menjadi bagian bildung adalah menetukan mana yang boleh di kenang dan mana yang yang
harus di buang jauh-jauh. Sensus communis yang bersifat peka terhadap hubungan antar manusia memberi
corak khusus pada komunitas sebagai kumpulan person. Pertimbangan dan selera membuat diskriminasi
terhadap hal-hal yang bertentangan dengan yang indah dan baik. Di dalam interpretasi, hermenutik
mempergunakan keempat konsep manusiawi tersebut.

1. Inti uaraian tentang hermeneutic

Gadamer beropendapat bahwa hermeneutic adal;ah seni, bukan proses mekanis. Pemahaman dan
hermeneutic hanya dapa di berlakukan sebagai suatu karya seni. Gadamer menyebut hermeneutic sebagai
seni dan hermeneutic semacam ini tidak dapat di persiapkan lebih dahulu sebelum di buat, tidakdapat di
ramalkan atau di katakana sebelumnya.

Gadamer mengatakan bahwa interpretasi adalah penciptaan kembali. Meski bukan merupakan perbuatan
yang kreatif Hermeneut atau penafsir selalu memahami realitas dan manusia dengan titik tolakk sekarang
atau kontemporer. Bila hermeneut berinterpretasi mulai dari titik tolak sejarah yang menguntungkan dirinya
sendiri, hal ini akan menimbulkan suatu pencampuran cakrawala atau fision of horizons atau bahkan akan
menimbulkan campur baurnya kebudayaan yang bermacam-macam. Hakikat sebenarnya sebuah cakrawala
adalah ” selalu meluas” dan sementara itu kebuudayaan pada hakikatnya juga tidak pernah murnidan tidak
pernah di palsukan.

Yang di butuhkan hermeneut adalah pengetahuan tentang manusia atau masyarakat yang di peroleh bukan
atas dasar kerja ilmiah, melainkan yang hanya dapat di pelajari sebagai suatu seni.

Para filsuf berbicara dengan menggunakan suatu bahasa yang tidak seorang pun menngerti, ini berarti
mereka sama saja dengan tidak berbicara apa-apa. Gadamer menegaskan bahwa persoalan bahasa
adalah tugas hermeneut. Pemahaman hanya mungkin di mulai bila bermacam-macam pandangan
menemukan suatu bahasa umum untuk saling bercakap-cakap. Kita berfilsafat tidak mulai dari nol, tetapi
kita harus berfifkir dan berbicara dengan bahasa yang sudak kita miliki sendiri. Fiksafat tidak mulai dari
suatu tempat tert6entu, tidak dari satu titik awal yang sudah bersifat subyektif, personal maupun dengan
suatu perspektif tertentu. Dan itulah bahasa filsafat.

Sebagaiman di sebutkan bahwa tugas hermeneutic adalah terutama memahami teks, maka pemahaman itu
sendiri mempunyai hubungan fundamental dengan bahasa. Kita menumbuhkan di dalam bahasa kita sendiri
unsure-unsur penting dari pemahaman, sehingga para pembicara asli(native speaker) tidak akan gagal
untuk menangkap nuansa-nuansa atau benang merah bahasanya sendiri. Gadamer juga menegaskan
bahwa suatu interpretasi akan benar bila interpretasi tersebut mampum menghilang di balik bahasa yang di
gunakan. Maksudnya adalah bahwa terjemahan itu akan tepat bila pembacanya mengalami suatu
kehalusan dan irama bahasayang teratur. Dalam berbicara, interpretasi adalah bagaikan terjemahan.
Melalui bahasa kita tidak hanya melakukan interpretasi atas sebuah teks atau dokomen tertulis saja,
melainkan juga benda yang bukan bahsa seperti patung, komposisi musik, dan sebagainya.

1. Arti “Memahami”

Menurut Gadamer, pemahaman selalu dapat di terapkan pada keadaan kita saat ini, meskipun pemahaman
itu berhubungan dengan peristiwa sejarah, dialektik dan bahasa. ‘ Memahami” selalu dapat berarti membuat
interpretasi. Interpretasi secara eksplisit adalah bentuk dari pemahaman.

Subtilitas adalah suatu kualitas yang mencarikehalusan seperti “lembutnya” roh, yang menghindarkan
gangguan yang berasal dari penggunaan metode. Gadamer menambahkan istilah subtilitas applicandi, yang
menandai hermeneutic, karena ia berkeyakinan bahwa penerapan seperti halnya pemahaman dan
interpretasi adalah bagian hermeneutic. Dulu yang di anggap tugas hermeneutic adalah menyadur makna
dari sebuah teks ke dalam situasi konkret, di mana pesan yang terdapat di dalam teks itu di tujukan. Tugas
interpretasi sama dengan tugas konkretisasi hokum atau penerapan hokum p;ada hal-hal khusus. Jadi,
penerapan juga merupakan pemahaman yang benar terhadap factor yang universal. Pemahaman dan
interpretasi pada dasarnya juga merupakan penerapan.

Untuk dapat memahami sebuah teks, kita harus membuang jauh-jauh segala bentuk prakonsepsi dengan
maksud supaya kita menjadi terbuka terhadap apa yang di katakan oleh sebuah teks. Kita mengantisipasi
dan menginterpretasi menturut apa yang kita miliki ( vorhabe), apa yang kita lihat (vorscht), serta apa yang
akan kita peroleh kemudian (vorgriff). Adanya antisipasi makna, yaitu yang berasal dari pertimbangan
sebelumnya atas keseluruhan pemahaman melalui bagia-bagiannya, memang di harapkan. Gadamer
menyebut hal itu sebagai makna atau arti yang akan datang (fore-meaning) dan pemahaman yang akan
datang (fore umderstanding), yang juga merupakan persyaratan hermeneutic sehingga membuat
pemahaman itu menjadi suatu “hubungan yang histories dan efektif”.

1. Latar Belakang Pemikiran Tentang Hermeneutik

Meskipun gagasan-gagasan Habermas tidak berpusat pada hermeneutik, namun gagasan-gagasannya itu
mendukung pustaka herme neutik. Bahkan karya-karyanya pun tidak secara khusus membicarakan
hermeneutik sebagai gagasan tunggalnya. Gagasan hermeneutiknya dapat kita ketemukan di dalam
tulisannya yang diberi judul Knowledge and Human Interests (Pengetahuan dan Minat Manusia).

Karya-karya Habermas termasuk dalam bidang sains, namun itu juga mempunyai konsep tentang
penjelasan dan pemahaman. Menurut Habermas, penjelasan “menuntut penerapan proposisi-proposisi
teoretis terhadap fakta yang terbentuk secara bebas dan sistematis” (Habermas, 1972 : 144). Sedangkan
pemahaman adalah “suatu kegiatan di mana pengalaman dan pengertian teoretis berpadu menjadi satu”.

Konsepnya tentang penjelasan tersebut mendekati metode ilmiah yang ia nyatakan mengatasi metode-
metode yang lainnya, seperti misalnya ‘metode untuk menekuni sesuatu’, ‘metode penguasaan bahan’ dan
‘metode pemikiran a priori’, karena konsep tersebut mencagai keyakinan-keyakinan yang vajid dan definiti
Habermas mengatakan bahwa semua peristiwa yang akan terjadi di masa mendatang tidak akan
mempersulit keyakinan-keyakinan tersebut, melainkan akan memperteguhnya.

Habermas mengikuti tiga bentuk penyimpulan yang dikemukakan oleh C.S. Peirce. yaitu: deduksi, induksi
dan abduksi atau proses abduktif. Dengan deduksi ia ingin membuktikan bahwa sesuatu ’seharusnya’
berperilaku dalam cara tertentu dengan induksi ia ingin membuktikan bahwa sesuatu pada kenyataannya
berperilaku dalam suatu cara tertentu; dan dengan abduksi ia ingin membuktikan bahwa sesuatu mungkin
akan berperilaku menurut suatu cara tertentu.

Di dalam induksi, ada pengujian apakah dan dengan kemungkinan apa prediksi-prediksi dapat diyakinkan
kebenarannya. Induksi adalah proses yang aktual dalam penelitian. Abduksi adalah proses pembentukan
hipotesis yang bersifat eksplanatoris (menerangkan) yang berbunyi: jika kita harus mempelajari sesuatu
atau memahami fenomena secara lugas, maka harus melalui proses yang memperjelas sesuatu atau
fenomena tersebut.

1. Metode ‘Memahami’

Dari uraian di atas telah kita lihat bagaimana Habermas membedakan antara penjelasan
denganpemahaman. Ia juga memperingatkan kita bahwa kita tidak dapat memahami sepenuhnya makna
sesuatu fakta, sebab ada juga fakta yang tidak dapat diinterpretasi. Habermas menyatakan bahwa selalu
ada makna yang bersifat lebih. yang tidak dapat dijangkau oleh interpretasi, yaitu yang terdapat di dalam
hal-hal yang bersifat ‘tidak teranalisiskan’, ‘tidak dapat dijabarkan’, bahkan di luar pikiran kita. Semua hal
tersebut mengalir secara terus-menerus di dalam hidup kita.

Jadi jelaslah bahwa kita tidak dapat menerangkan hal-hal yang tidak mungkin kita pahami, bahkan kita juga
tidak dapat membuat interpretasi atas hal-hal tersebut. Habermas mengatakan bahwa sebuah penjelasan
menuntut penerapan proposisi-proposisi teoretis terhadap fakta yang terbentuk secara bebas melalui
pengamatan sistematis. Sedangkan pemahaman adalah suatu kegiatan di mana pengalaman dan
pengertian teoretis berpadu menjadi satu. Seperti halnya pemikiran ilmiah. Habermas menegaskan bahwa
penjelasan haruslah berupa penerapan secara objektif sesuatu hukum atau teori terhadap fakta, dan
pemahaman menjadi bagian subjektifnya, sebab pemahaman melibatkan juga pengalaman interpreter.

Pemahaman hermeneutik sedikit berbeda dari jenis pemahaman yang lainnya sebab pemahaman
hermeneutik diarahkan pada konteks tradisional tentang makna. Habermas membicarakan tentang
“pemahaman monologis atas makna”, yaitu pemahaman yang tidak me libatkan hubungan-hubungan faktual
tetapi mencakup bahasa-bahasa ‘murni’, seperti misalnya bahasa simbol. Dari pembedaan itu kita
mengetahui bahwa monologika adalah pemahaman atas simbol-simbol yang disebut Habermas sebagai
‘bahasa murni’ karena simbol-simbol mempunyai makna yang definitif, sebagaimana terdapat dalam setiap
rumusannya. Dengan kata lain, yang disebut monologika itu tidak lain adalah jalan pikiran yang terstrukutur,
yang mengikuti sesuatu hukum dengan segala ketepatan dan keharusannya. Sedang pemahaman
hermeneutik di sisi lain tidak dapat mempersempit ketergantungannya pada hal-hal lain.

1. Jenis Jenis Pemahaman

Hal-hal yang menonjol dalam kedua metode pemahaman tersebut tampaknya akan dipadukan.
Hermeneutik biasanya mencoba menerangkan apa yang individual, bukan yang universal. Bagaimana dapat
terjadi suatu metode menerangkan hal yang individual dan tunggal dengan menggunakan cara yang
universal? Dalam ilmu pengetahuan empiris-analitis, proses kedua hal itu hanya dapat terjadi atas dasar
“asimilasi transcendental a priori dari pengalaman yang mungkin dengan ungkapan universal bahasa-
bahasa teoretis” (Habermas. 1972: 162-163).

Pemahaman hermeneutik melibatkan tiga kelas ekspresi kehidupan, yaitu : linguistic, tindakan dan
pengalaman. Tentang linguistik, Habermas mengatakan bahwa ekspresi atau ungkapan dapat sama sekali
dipisahkan dari konteks kehidupan konkret jika tidak berhubungan dengan bagian-bagian khusus dalam
konteks tersebut. Dalam hal ini expresi linguistik muncul dalam bentuk yang absolut, yaitu yang
menggambarkan pemahaman monologis.

Komunikasi dapat dilakukan melalui tindakan atau kegiatan. Sebagaimana halnya dalam pemahaman
linguistik, tindakan atau kegiatan perlu dijabarkan. Dalam tingkat pemahaman seperti ini, penjelasan
diarahkan pada tujuan akhir, maksud dan ruang lingkup tindakan.

Pada kelas pengalaman, terutama dalam reaksi tubuh manusia, yang berupa kecenderungan yang tidak
dicetuskan atau sebagai ungkapan nonverbal, interpreter memperhitungkan hal-hal itu sebagai salah satu
bentuk atau jenis pemahaman.

Habermas mengutip ketiga jenis pemahaman tersebut dari pendapat Dilthey, seperti halnya Dilthey,
Habermas mengatakan bahwa pemahaman hermeneutik harus mengintegrasikan ketiga kelas ungkapan
kehidupan itu. Sebagai contoh misalnya: bahasadan tindakan saling menginterpretasi satu sama lain secara
timbale balik (bdk. language game dari Wittgenstein).
1. Dilema Pemahaman

Habermas mengatakan :

“Sebagai suatu seni yang menggambarkan komunikasi tidak langsung tetapi dapat dipahami, hermeneutik
berhubungan dengan jangkauan yang harus dicapai oleh subyek dan pada saat itu pula diungkapkan
kembali sebagai identitas struktur yang terdapat di dalam kehidupan, sejarah dan objektivitas. Disini
hermeneut menghadapi dilemma antara tetap objektif dan bersifat subjektif, atau antara tetap subjektif dan
harus menjadi objetif.”

Dilema tersebut semakin menjadi besar terutama dalam ilmu-ilmu pengetahuan tentang hidup atau
Geisteswissenschaften. Dilema itu merupakan pertanyaan : “eksklusif linguistic atau analisis empiris”. Disini
disjungsi tidak dapat berlaku, sebab kita tidak dapat melakukan analisis linguistic eksklusif atau analisis
empiris murni. Pemahaman harus mengkombinasikan keduanya. Hal ini hanya mudah untuk dikatakan,
namun sulit untuk dilaksanakan. Interpretasi tergantung pada hubungan timbal balik antara pemahaman
atas bagian-bagian yang merupakan “keseluruhan yang terdiri dari campuran macam-macam hal yang
sudah diketahui sebelumnya” dan koreksi terhadap apa saja yang dikemudian hari dirasakan tidak sesuai
lagi.

Hibermas mengambil alih tugas Dilthey dengan mengatakanDilthey telah mengikuti logika penyelidikannya
sendiri dan akan melihat bahwa objektivasi pemahaman hanya mungkin terjadi bila interpreter atau
hermeneut menjadi partner dalam dialog komunikatif. Ini berarti bahwa hermeneut harus mengadakan
interaksi, sebagaimana terjadi dalam dialog atau dialektika antara yang umum dan yang individual. Apa
yang benar di dalam yang universal tidak harus benar pula di dalam yang individual, atau sebaliknya.

Disinilah letak perbedaan antara ilmu - ilmu alamiah dan ilmu- ilmu kemanusiaan, antara
Naturwissenschaften dengan Geistes-wissenschaften. Dalam ilmu-ilmu alamiah, apa yang benar secara
individual akan benar pula secara umum, yaitu melalui proses induksi dimana kebenaran umum akan
diperoleh setelah ditentukan kebenaran yang terdapat pada hal-hal tunggal dan individual. Dan ilmu-ilmu
kemenusiaan. Penjelasan dan interprestasi berlangsung dari yang individual ke yang indinidual juga, jarang
terjadi dari yang umum ke yang individual, atau sebaliknya.pada dasarnya, ilmu-ilmu kemanusiaan tidak
mengikuti skema ilmu-ilmu alamiah. Suatu proses tertentu bukan induksi, deduksi atau abduksi- memberi
kemungkinan hermeneut untuk menentukan kehidupan batin dari hal-hal yang telah diinterprestasikannya.

1. Latar Belakang Pemikiran tentang Hermeneutik

Paul Ricoeur adalah filsuf yang menekankan pandangan katolik.Dalam karya-karyanya tampaknya ia
memiliki perspektif kefilsafatan yang beralih dari analisis eksistensial kemudian ke analisis
eidetik(pengamatan yang sedemikian mendetail),fenimenologis,historis.Herleneutik pada akhirnya semantik.

Ricoeur mengatakan bahwa pada dasarnya keseluruhan filsafat itu adalah interpretasi terhadap
interpretasi.Dengan mengutip Nietzsche,ia menyatakan bahwa hidup itu sendiri adalah interpretasi.Jika
simbol-simbol dilibatkan,maka interpretasi menjadi penting,sebab disini terdapat makna yang mempunyai
multi lapisan.Filsafat pada dasarnya adalah hermeneutik,yaitu kupasan tentang makna yang tersembunyi
dalam teks yang kelihatan mengandung makna.Setiap interpretasi adalah usaha untuk membongkar
makna-makna yang masih terselubung atau usaha membuka lipatan-lipatan dari tingkat-tingkat makna yang
terkandung dalam makna kesusastraan.Simbol-simbol dan interpretasi merupakan konsep-konsep yang
mempunyai pluraritas makna yang terkandung di dalam simbol-simbol atau kata-kata.

Terdapat kebutuhan laten dalam bahasa untuk mengungkapkan konsep melalui kata-kata.Kebutuhan laten
tersebut adalah kebutuhan akan hermeneutik.Setiap kata adalah sebuah simbol.Oleh karenanya,maka kata-
kata penuh dengan makna dan intensi yang tersembunyi.Ricoeur menyatakan bahwa hermeneutik
bertujuan menghilangkan misteri yang terdapat dalam sebuah simbol dengan cara membuka selubung
daya-daya yang belum diketahui dan tersembunyi di dalam simbol-simbol tersebut.Kemudian Ricoeur
memberiakn kesan bahwa berbicara dengan menggunakan suatu bahasa adalah masalah jaket dan belati
yang tersembunyi dibaliknya,maka hal ini tidak perlu dibesar-besarkan.Adanya simbol,mengundang kita
untuk berpikir sehingga simbol itu sendiri menjadi kaya akan makna dan kembali kepada maknanya yang
asli.Hermeneutik membuka makna yang sesungguhnya,sehingga dapat mengurangi keanekaan makna dari
simbol-simbol.

1. Kata-kata dan Makna

Sebuah kata adalah juga sebuah simbol,sebab keduanya sama-sama menghadirkan sesuatu yang
lain.Setiap kata pada dasarnya bersifat konvensional dan tidak membawa maknanya sendiri secara
langsung bagi pembaca atau pendengarnya(kecuali kata-kata onomatopoik).Sebuah kata bisa memilikki
konotasi yang berbeda,tergantung kepada pembicaranya.Sebagai contoh misalnya pohon kata ini
mempunyai banyak makna tergantung pembicaranya:apakah ia seorang tukang kayu,pematung,petani
dll.Istilah-istilah mempunyai makna ganda,dasarnya adalah tradisi dan kebudayaan setempat.

Menurut Riceour,salah satu sasaran yang hendak dituju oleh berbagai macam yang hermeneutik adalah
perjuangan melawan distansi kultural yaitu penafsir harus mengambil jarak supaya ia dapat membuat
interpretasi dengan baik.Kita baru bisa mengkritik jika kita membuat jarak dengan objek kritik.Namun kritik
yang kita lakukan itu membawa juga struktur-struktur yang sudah jadi dari gagasan-gagasan kita dan
bahasa yang diungkapakan dalam struktur itu juga sudah kita beri warna.Ia masih membawa sesuatu yang
oleh Heideger disebut Vorhabe(apa yang ia miliki),Vorsicht(apa yang ia lihat),dan Vorgriff(apa yang akan
menjadi konsepnya kemudian).Ini semua menandakan bahwa kita sama sekali tidak dapat menghindarkan
diri dari prasangka.

1. Ruang Lingkup Hermeneutik

Ricoeur kemudian memperluas definisi tersebut dengan menambahkan perhatian kepada teks.Teks sebagai
penghubung bahasa isyarat dan simbol-simbol dan membatasi ruang lingkup hermeneutik karena budaya
oral (ucapan) dapat dipersempit.Hermeneutik dalam hal ini hanya akan berhubungan dengan kata-kata
yang tertulissebagai ganti kata-kata yang diucapkan.Ricoeur menegaskan bahwa definisi yang tidak terlalu
luas justru memiliki intensitas (Montefiero,1983:193)

Mengenai tugas hermeneutik,Ricoeur menyatakan bahwa tugas utama hermeneutik adalah di satu pihak
mencari dinamika internal yang mengatur struktural kerja di dalam sebuah teks itu untuk memproyeksikan
diri ke luar dan memungkinkan “hal” nya teks itu muncul ke permukaan.Dalam hal ini Recoeur
mengemukakan tentang hermeneutik yaitu teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan
interpretasi terhadap teks.(Riceour,1985:43).Riceour menyebut karakteristik ini dengan istilah polisemi yaitu
ciri khas yang menyebabkan kata-kata mempunyai makna lebih dari satu bila digunakan di dalam konteks
yang bersangkutan.

Menurut Ricoeur,manusia pada dasarnya merupakan bahasa(Riceour,1967:350) dan bahasa itu sendiri
merupakan syarat utama bagi semua pengalaman manusia.Kita mengerti atau memahami sesuatu dengan
mempergunakan istilah-istilah yang terdapat di dalam bahasa.Namun bahasa juga mempunyai
kelemahan,sebab kita memahami melalui bahasa,kita salah paham atau salah mengerti juga melalui
bahasa.Melalui hermeneutik,segala problem yang terdapat di dalam filsafat bahasa dapat dijawab,yaitu
melalui interpretasi.

Bahasa adalah bidang di mana semua pengamatan filosofis saling memotong satu sama lain.Bahasa
adalah tempat bertemunya analisis logika,fenomenologi,eksistensialisme,tafsir kitab suci dan
hermeneutik,bahkan psikoanalisa.Bahasa dinyatakan dalam bentuk simbol.Kita mengungkapkan gagasan-
gagasan,emosi,kesusastraan,filsafat semuanya melalui bahasa.Setiap kali kita membaca,sebuah teks
selalu berhubungan dengan masyarakat,tradisi ataupun aliran yang hidup dari macam-macam
gagasan.Kesenjangan ini mendorong Ricoeur untuk mengatakan bahwa sebenarnya sebuah teks itu
mempunyai tempat di antara penjelasan struktural dan pemahaman hermeneutik yang berhadapan satu
dengan yang lain.

Penjelasan struktural cenderung untuk bersifat objektif,sedang pemahaman hermeneutik memberi kita
kesan subyektif.Jadi,di sini kita dapati dikotomi antara objektivitas dan subjektivitas yang menimbulkan
problem.Sebuah teks pada dasarnya bersifat otonom untuk melakukan dekontekstualisasi,baik ari sudut
pandang sosiologis maupun psikologis,serta untuk melakukan rekontekstualisasi secara berbeda di dalam
tindakan membaca.Dikotomi antara penjelasan dan pemahaman itu tajam,yaitu untuk memahami sebuah
percakapan kita harus kembali pada struktur permulaannya.Kebenaran dan metode dapat menimbulkan
proses dialektis.

Tugas Hermeneutik menjadi sangat berat,sebab hermeneut harus membaca dari dalam teks tanpa masuk
atau menempatkan diri dalam teks tersebut dan cara pemahamannya pun tidak dapat lepas dari kerangkan
kebudayaan dan sejarahnya sendiri.Maka untuk dapat berhasil dalam usahanya,ia harus dapat
menyingkirkan distansi yang asing,harus dapat mengatasi situasi dikotomis,serta harus dapat memecahkan
pertentangan tajam antara aspek-aspek subjektif dan objektif.

Otonomi teks ada 3 macam: intensi atau maksid pengarang,situasi kultural dan kondisi sosial pengadaan
teks,dan untuk siapa teks itu dimaksudkan.Dekonyekstualisasi adalah bahwa materi teks melepaskan diri
dari cakrawala intensi yang terbatas dari pengarangnya.Teks tersebut membuka diri terhadap kemungkinan
dibaca secara luas,di mana pembacaanya selalu berbeda-beda,inilah yang dimaksudkan dengan
rekontekstualisasi.Riceour mengatakan bahwa hubungan dengan dunia teks terletak di dalam hubungan
dengan subjektivitas pembaca ditinggalkan.Untuk memahami sebuah teks kita tidak memproyeksikan diri ke
dalam teks,melainkan membuka diri terhadapnya.

Yang dimaksudkan dengan membuka diri adalah proses meringankan dan mempermudah isi teks dengan
cara menghayatinya.Riceour menyatakan bahwa memahami bukanlah berarti memproyeksikan diri ke
dalam teks,melainkan membuka diri terhadapnya.Penafsir selalu dalam keadaan in medias res atau berada
di tengah-tengah teks (ing madya) dan tidak pernah hanya di depan atau pada permulaan atau pada akhir
teks untuk sekedar tut wuri saja.

1. Arti Memahami

Setiap hermeneut membuat pembedaan dan penekanan yang tegas atas pemahaman,penjelasan dan
interpretasi.Hermeneut uga berbicara tentang sirkularitas ketiga hal tersebut sedemikian rupa sehingga
seakan-akan ketiganya saling menyusupi satu sama lain.Riceour mengatakan bahwa “engkau harus
memahami untuk percaya dan percaya untuk memahami”.Riceour juga menyatakan bahwa lingkaran
tersebut hanya semu saja,sebab tidak ada satupun hermeneut yang pada kenyataanya mau mendekatkan
diri pada apa yang dikatakan oleh teks jika ia tidak menghayati sendiri suasana makna yang ia
cari.Hermeneut harus menggumuli interpretasinya sendiri,ia harus mulai dengan pengertian yang seakan-
akan masih mentah,sebab jika tidak demikian ia tidak akan mulai melakukan interpretasi.

Menurut Riceour,ada tiga langkah pemahaman,yaitu yang berlangsung dari penghayatan atas simbol-
simbol ke gagasan tentang berpikir dari simbol-simbol.Langkah pertama adalah simbolik atau pemahaman
dari simbol ke simbol.Langkah kedua adalah pemberian makna oleh simbol serta penggalian yang cermat
atas makna.Langkah ketiga adalah langkah yang benar-benar filosofis,yaitu berpikir dengan menggunakan
simbol sebagai titik tolaknya.Ketiga langkah tersebut berhubungan erat dengan langkah-langkah
pemahaman bahasa yaitu:semantik,refleksif serta eksistensial atau ontologis.Langkah semantik adalah
pemahaman pada tingkat ilmu bahasa yang murni.Pemahaman refleksi adalah pemahaman pada tingkat
yang lebih tinggi,yaitu yang mendekati tingkat ontologi.sedang langkah pemahaman eksistensial atau
ontologis adalah pemahaman pada tingkat being atau keberadaan makana itu sendiri.Riceour menyatakan
bahwa pemahaman itu pada dasarnya adalah cara berada (mode of being) atau cara menjadi.Pemahaman
hanya dapat terjadi pada tingkat pengetahuan,yaitu pada teori tentang pengetahuan atau
erkenntnistheorie.Riceour menyatakan bahwa hubungan antara hidup dan pengalaman -pengalamannya
boleh dikatakan merupakan akar dari hubungan dua arah antara manusia dengan alam dan sejarah.Jika
demikian,bagaimana Riceour bisa mengatakan bahwa pemahaman merupakan cara berada atau cara
menjadi,dan bukan cara mengetahui atau cara memperoleh pengetahuan.

Ricoeur hanya ingin menggugah pandangan kita bahwa hermeneutik adalah sebuah metode yang dapat
bersaing dalam tingkat yang sejajar dengan metode dalam sains.Ricoeur juga mempertanyakan metode
yang dipergunakan Dilthey dalam geisteswissenschaften nya yaitu hermeneutik yang dibedakan dengan
metode yang terdapat pada naturwissenschaften.Riceour sendiri tidak benar-benar memperlakukan
hermeneutuk sebagai metode.Ia hanya ingin membuang jauh semua metode yang objektif,kaku,dan
terstruktur yang terdapat dalam ilmu-ilmu alamiah.Sebab,pemahaman adalah salah satu aspek dari proyeksi
Dasein (proyeksi manusia seutuhnya) dan keterbukaan terhadap being.
Pengalaman eksistensial memang pengalaman yang dimiliki oleh being sendiri.Segala bukti tidak perlu lagi
atau bahkan tidak penting,sebab pengalaman semacam itu melibatkan keseluruhan keberadaan seorang
pribadi.Karena pribadi sedemikian terlibat,maka pengalaman menjadi traumatik di dalam
intensitasnya.Dalam kondisi seperti ini,tidak ada lagi pemisahan antara pemahaman,penjelasan dan
interpretasi.

Ada jenis pemahaman lain,yaitu yang datangnya dari penderitaan,yang dikemukakan oleh Karl
Jaspers.Melalui penderitaan kita sering memahami sesuatu,yaitu kita seakan-akan terpelanting untuk
memahami pribadi manusia.Ini merupakan tingkat pemahaman yang tertinggi,yaitu tingkat eksistensial atau
ontologis.Sepakat dengan pandangan Gadamer,Ricoeur uga berbicara mengenai wirkungsgeschichtliches
bewusstsein atau kesadaran yang diarahkan pada akibat-akibat sejarah.Namun dalam uraiannya,ia
menegaskan bahwa konsep itu harus dipertentangkan dengan konsep atau pengertian tentang distansi
sejarah,sebab konsep yang terakhir ini berbau metodologis.Hal ini menunjukkan kepada kita tema pertama
dari empat tema yang diketengahkan oleh Riceour,yaitu bahwa tidak ada titik nol dari mana kritik yang
tuntas dapat mulai dilakukan.Meskipun seseorang menempatkan dirinya pada distansi tertentu,namun
akibat atau hasil penelusuran sejarah tidak dapat lepas dari pengamatan kesadaran penafsir.

Tema yang kedua adalah tidak ada pandangan umum menyeluruh yang memberi kita kemungkinan untuk
memahami totalitas akibat sejarah hanya dalam waktu sekejap saja(Josef Bleicher,1980:74).Tema kedua ini
menunjukkan pandangan ekstrim yang lain sesudah tema yang pertama.Dalam filsafat Ricoeur,tempat yang
layak untuk seorang penafsir adalah di tengah-tengah kedua ekstrem tersebut.

Tema ketiga jika tidak ada pandangan yang menyeluruh,maka juga tidak akan ada situasi yang secara
mutlak membatasi kita.Sebab,jika ada situasi maka ada cakrawala yang dapat menyempit atau
meluas(Ibid:74).Setiap kejadian atau peristiwa menpunyai latar belakang atau cakrawala karena setiap fakta
atau peristiwa selalu tersituasi.Maka juga selalu ada goncangan antara peristiwa yang tersituasi dengan
cakrawalanya.Interpretasi harus selalu memandang kedua hal itu sebagai hal yang korelatif atau
berinteraksi.

Tema keempat adalah perpaduan antar cakrawala.Riceour mengatakan bahwa tidak satu cakarawalapun
yang bersifat tertutup sejauh masih mungkin menempatkan seseorang pada pandangan yang lain dan
dalam kebudayaan yang lain pula (Ibid,75).Mungkin pandangan Riceour ini mirip dengan pandangan
Gadamer.Pemahaman adalah perpaduan antar cakrawala.Kita tidak mungkin mengabstraksikan atau
memencilkan suatu peristiwa dengan latar belakang atau cakrawalanya dari peristiwa-peristiwa
lainnya.Tidak ada satu peristiwa sejarahpun yang bukan merupakan kelanjutan dari peristiwa-peristiwa yang
mendahuluinya.Jadi,ada rangkaian peristiwa di mana peristiwa yang satu menyebabkan peristiwa-peristiwa
lainnya.

Hermeneutik harus menempatkan peristiwa yang tersituasi beserta cakrawalanya dalam konteks yang
semestinya.Ia harus mampu memisahkan mana yang seharusnya masuk dalam cara pemahamannya dan
mana yang seharusnya disingkirkan dari antara konsep-konsepnya yang populer atau yang hanya khayalan
saja.Penafsir harus waspada terhadap berbagai macam prasangka ataupun pendewaan terhadap pikiran.

1. Latar Belakang Tokoh

Jacques Derrida bisa dimasukkan ke dalam kelompok penulis hermeneutik sejauh dia berhubungan dengan
bahasa dan makna. Akan tetapi, beberapa komentator mengatakan bahwa ia justru seorang filsuf yang anti
hermeneutik. Gagasan-gagasannya tentang kritik sastra mengklasifikasikan dia di antara kritikus sastra,
meskipun ia sendiri mengingkari anggapan orang tentang posisinya sebagai filsuf ataupun sastrawan
(Derrida, 1972:95). Ia seringkali juga disebut seorang post-strukturalis, meskipun ia sendiri menyangkal
kecenderungan strukturalis. Deriida sangat cerdas. Untuk memahami gagasan-gagasannya, kita perlu juga
mengetahui latar belakang dirinya. Karya-karyanya sulit dimengerti.

1. Pengaruh Aliran fenomenologi

Dua aliran pemikiran kefilsafatan yang banyak mempengaruhi gagasan-gagasan Derrida adalah
fenomenologi dan strukturalisme. Edmund Husserl, pendiri fenomenologi modern memulai karyanya dengan
dua metode, satu positif dan satu negatif. Metode positif dimaksudkan untuk melepaskan jalan pikiran dari
apa saja yang dianggap ideal tetapi tidak mendasarkan diri pada realitas. Dalam metode negatif, Husserl
mendekatkan diri pada metode yang dikemukakan oleh Descrates yaitu mulai dengan sikap ragu-ragu, ia
menyangkal segala sesuatu dan ingin memulai proses pemikirannya dari titik yang benar-benar nol.

Husserl seorang pakar matematika dan sains, menyadari akan adanya ketimpangan antara subyektivitas
dan obyektivitas. Sebagao seorang ahli matematika ia mengetahui signifikan obyektivitas, tetapi sebagai
filsuf ia juga mengetahui bahwa subyektivitas yang walaupun hanya sedikit masih tetap diinginkan.

Melalui dua metode yang diketengahkan di atas, ia memulai karyanya dengan tepat. Ia membicarakan
tentang tiga tingkatan kesadaran yang dapat dihubungkan dengan tiga tiga jenis obje, yaitu:

• Tingkatan pertama atau tingkatan yang dangkal adalah kesadaran alamiah. Kesadaran ini
berhubungan dengan objek-objek alamiah.
• Tingkatan kedua adalah tingkat kesadaran refleksi, yaitu kesadaran yang muncul setelah memberi
‘tanda petik’ pada tingkat yang dangkal.
• Tinkatan ketiga atau tingkat ‘kedalaman ego’: bila perhatian seseorang difokuskan lebih jauh lagi
pada objek , ia akan mencapai tingkat kesadaran jauh lebih dalam lagi. Dalam keadaan kesadaran
pada tingkat ini, objek yang murni atau yang sejati mengejawantah.

1. Tanggapan atas Fenomenologi

• Arti “Differance”

Perbedaan dua kata yang kontroversial itu yaitu, difference dan difference. Perbedaan pokok hanya
terdapat di dalam kerangka ruang dan waktu. Derrida menghubungkan kerangka waktu ruang dan waktu
dengan pengertian ‘tanda dan penulisannya’.

‘Tanda’ adalah ‘wakil’ dari bendanya. Makna, juga seperti tanda, untuk memahaminya kita harus
‘menangguhkan’ atau menunda dulu sampai orang atau benda yang merasa layak atau pantas untuk
memilikinya. Proses ini oleh Derrida disebut ‘temporisasi’ atau pemberian waktu (untuk menunda). Tanda
tempatnya dalam ruang. Tanda dapat dengan mudah kita mengerti dan kita rasakan, seperti kata-kata
ataupun tulisan. Kata-kata adalah tanda, seperti juga bahasa, isyarat, dan sistem yang pada umumnya kita
mengerti berdasarkan sejarahnya sebagai jaringan yang merupakan asal mula timbulnya perbedaan.
Tanda-tanda membawa makna dan adanya dalam ruang; untuk sementara waktu makna tersebut tertunda.

Tulisan, pada umumnya kita berpandangan bahwa sebelum seseorang menuliskannya, ia terlebih dahulu
mengucapkannya. Derrida justru berpendapat sebaliknya. Tulisan itu barang mati, hanya merupakan jalan
tengah antara maksud dan makna, atau antara ucapan dan pemahaman (Ch. Norris, 1985:28). Sebab
‘tulisan’ dalam pandangan Derrida bukan gambar sebagai hasil tindakan seseorang memindahkan gagasan-
gagasannya.

• “Bahasa” sebelum Bahasa

Derrida menyatakan bahwa ‘tulisan’ merussak atau menghancurkan dirinya sendiri. Artinya, ‘tulisan’ adalah
impersonal, jauh dari kehidupan, tidak seperti ‘bicara’. Menulis adalah pengelompokkan kata-kata yang
sifatnya mekanis menurut tata bahasa dan struktur katanya. Tentang makna menulis, Derrida mengatakan
bahwa makna itu seakan-akan keluar atau diturunkan dari tulisan, entah benar atau hanya khayalan saja.
Hal itu hanya mungkin dengan syarat bahasa yang asli dan alamiah tidak pernah ada, jadi tidak pernah
berkontak atau terjamah oleh tindakan menulis (Derrida, 1967:82). Gagasan ini disebutnya dengan istilah
archi-writing.

Archi-writing dimaksudkan Derrida untuk membicarakan tentang ‘waktu’ sebelum waktu yang kita alami,
atau ‘bahasa’ sebelum bahasa yang kita pakai saat ini. Archi-writing merupakan syarat utama untuk
memungkinkan sebuah bahasa dinyatakan sebagai sebuah sistem, dan melalui archi-writing ini kita dapat
memahami pernyataan atau artikulasi yang benar dari ucapan dan tulisan. Menurut Derrida, bahasa pada
dasarnya sudah merupakan tulisan, oleh karena itu pasangan konsep ucapan-tulisan harus diubah manjadi
tulisan-ucapan.
• Peranan Sejarah

Untuk memahami konsep Derrida tentang ‘tulisan’, kiranya baik bagi kita untuk mengambil makna sejarah
sebagai sarana untuk melacaknya. Sebab Derrida membicarakan sejarah melalui cara yang berbeda, yaitu
bukan sebagai deretan makna, melainkan sebagai ‘jejak’ yang bisa dilacak. Tulisan dapat menjadi jejak
yang bisu namun juga dapat menjadi saksi dari yang tidak hadir dan belum dapat terkatakan.

Derrida berkeyakinan bahwa meskipun orang belum mengucapkan kata-kata, namun tulisan sudah siap
untuk dicurahkan, tulisan dibatasi oleh bahasa yang diucapkan, karena ucapan, yaitu makna yang tertunda
kehadirannya, sudah terdapat di dalam tulisan.

• Definisi “Difference”

Terdapat empat macam definisi differance, yaitu:

1. Differance adalah sebuah gerakan (aktif atau pasif) yang terdiri dari penundaan, karena
penundaan, perutusan, penundaan hukuman, penyimpangan, penangguhan, penyimpanan.
Kehadiran dinyatakan atau diinginkan dalam sifat representatifnya, tandanya atau jejaknya(Ibid,
17)
2. Gerakan differance adalah akar umum dari semua pertentangan konsep-konsep di dalam bahasa
misalnya sensibel-inteligibel, intuisi-makna, alam-kebudayaan, dsb.
3. Differance, yang menghasilkan perbedaan, adalah syarat dari semua makna dan struktur.
4. Differance adalah berbeda secara khusus, tetapi perbedaan ini secara ontologis benar-benar ada
dan tampak. Disini jelas bahwa deconstruction dan differance seiring sejalan. Deconstruction
membatalkan ekspresi ganda seperti dalam ucapan atau penulisan.

1. Pengaruh Strukturalisme

Derrida menyangkal pernyataan bahwa struktur bahasa itu benar-benar ada. Terutama ia akan menolak
argumen Noam Chomsky yang mengatakan bahwa bahasa itu diprogram ke dalam pikiran manusia dan
manusia sebagai pembicara begitu saja mengikuti struktur tersebut. Menurut Derrida, “makna” tidak dapat
disusun di manapun juga dalam pikiran manusia, selama makna itu merupakan produk pengalaman. Ia ingin
mengupas gagasan entang “struktur”, karena srtuktur menentang kebebasan peran makna di dalam teks
apa saja. Ini berarti bahwa orang dapat membaca kata-kata dalam sebuah teks, tetapi ia tidak mungkin
membaca makna di dalam teks tersebut.

Dengan demikian, makna bukan urusan struktur. Makna tidak dapat dibangun dalam ucapan, dan
karenanya Derrida menentang pernyataan para pakar linguistik struktural. Sebab, jika makna sudah
terbentuk didalam bahasa, oarng tidak akan membutuhkan hermeunetik atau interpretasi lagi.

1. Gagasan tentang Hermeneutik

Setelah menimba gagasan-gagasan dari Hegel dan Husserl, Derrida ingin menunjukkan bahwa bahasa
tidak lain adalah intensionalitas. Apa maksud seseorang ketika ia menggunakan bahasa? Apakah bahasa
identik dengan deretan kata-kata yang sudah jadi, apa kemudian disusul dengan makna-makna yang dipilih
secara bebas oleh pembicaranya? Husserl telah menunjukkan perbedaan antara noesis (pikiran) dengan
noema (yang dipikirrkan). Seperti misalnya seseorang melihat sebuah pohon,, harus dibedakan antara
’siapa yang melihat’ dengan ‘dari sudut mana’ pohon itu dilihat. Sebab, seorang tukang kayu dengan
seorang pematung akan mempunyai pandangan yang berbeda tentang pohon yang dilihatnya itu.

Dari realitas di dalam contoh tersebut di atas, Derrida melihat hubungan yang jelas antara fenomenologi
dengan hermeneutik. Jika makna yang muncul pada taraf yang paling dalam, maka bahasa yang
dipergunakan untuk berbicara harus diselidiki, apakah bahasa ini hanya keluar dari emanasi taraf pertama
atau kedua. Lalu, bagaimana hermeneut mengenakan nilai atau makna pada kata yang diucapkan itu?

Hermeneutik adalah pemahaman karya. Tujuannya adalah membongkar rahasia pandangan dunia dari
pengarang dan memungkinkan kita untuk menyadur bahwa esensi fenomenologis dari memahamitidak lain
adalah kemampuan seseorang untuk mendengarkan sendiri apa yang sedang ia katakan. Pemberi tanda
adalah orang yang dapat merasakan nafas pengarang dan maksud dari isyarat atau makna yang melekat
pada pengarang. Hermeneut kemudian berusaha melepaskan makna dari kata-kata yang diucapkan atau
yang tertulis epat pada saat kata-kata itu diucapkan . bagaimana dengan teks tertulis? Untuk dapat
dikatakan sebagai tulisan dalam arti yang sebenarnya, maka teks tersebut harus berjuang untuk mengatasi
‘kematian’ pembicara yang membawanya di dalam komunikai oral.

Apa peranan pengarang dan pembaca di dalam interpretasi sebuah teks? Apa yang menjadi ukurannya jika
dikatakan bahwa teori interpretasi menggambarkan pengarang asli atau pembaca asli? Jika kita
membicarakan tentang interpretasi, apa batasan proses tersebut? apa yang sebenarnya dimaksudkan
dengan penerapan, kelayakan dan permainan?

Menurut Jean Greisch, semua pertanyan tersebut harus dijawab oleh orang yang ingin membuat
interpretasi. Hermeneut menghendaki jawaban-jawaban atas pertanyaan tersebut menjadi pendahuluan
dalam karya interpretasinya. Untuk merumuskan pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam perspektif yang
semestinya, kita harus membedakan antara jenis teks berikut:

1. Sebuah teks tertulis yang merupakan transkripsi teks oral


2. Teks tertulis yang maksudnya hanya untuk dibaca dan bukan untuk didengarkan
3. Teks tertulis yang dimaksudkan untuk dibaca seperti sebuah teks sastra seperti yang banyak kita
jumpai sekarang ini (Greisch, 1997:180)

Sebuah teks oral yang kemudian diwujudkan dalam bentuk teks tertulis pada dasarnya tidak memiliki ‘nilai
tertulis’ sebagaimana dimaksudnya untuk dibaca, seperti karya sastra. Jika seseorang berbicara, maka ia
mengikuti aturan-aturan berbicara yang berbeda dengan aturan-aturan membaca. Jika seseorang
menulis,ia sadar akan kesuatuan, koherensi dan hubungans logis dari gagasan-gagasan dan bab-babnya,
pengaturan pemakaian kata-kata serta redundansinya. Jika terdapat teks yang dimaksudkan hanya untuk
dibaca tetapi ternyata dibacakan untuk didengarkan, maka teks tersebut menghasilkan sesuatu yang
sumbang dan seringkali menghasilkan makna yang berbeda bagi pendengarnya. Derrida lebih suka
mengoperasikan teks tertulis pada jenis yang ketiga, yaitu teks yang dimaksudkan untuk dibaca sebagai
teks, sebab teks ini mengikuti secara ketat aturan-aturan tentang sintaksis, tata bahasa dan gaya bahasa.

Derrida tidak mengutip teori Ricoeur tentang polisemi, yaitu sebuah kata atau ungkapan ada kemungkinan
mempunyai lebih dari satu makna. Ia cenderung mengatakan polisemi hanya laten dalam bahasa itu sendiri.
Kasusastraan memang penuh dengan makna ganda. Sebagai contoh misalnya salah satu kalimat yang
ditulis Shakespeare dalam Hamlet: ‘Orang ini, pembunuh bapaknya’. Walaupun di situ terdapat koma,
namun orang tetap sulit memahami siapa pembunuhnya dan siapa yang dibunuh.

Martin Heidegger memberikan arah baru dalam perkembangan hermeneutika. Hermeneutika tidak lagi
sekedar sebuah prinsip umum untuk melakukan interpretasi teks, melainkan hermeneutika adalah cara
berada manusia. Ia mengubah hermeneutika tradisional menjadi sebuah filsafat, sebuah hermeneutika
ontologis. Interpretasi bagi Heidegger adalah salah satu dari cara mengada manusia (yang lain adalah
mood dan diskursus).

Memahami (understanding) umumnya dilihat sebagai mengetahui atau kognisi. Heidegger menolak ini;
memahami baginya adalah bagaimana manusia mengalami sebuah situasi dan bagaimana ia siap untuk
menghadapi situasi tersebut. Semakin seseorang bisa menghadapi sebuah situasi, semakin ia “memahami”
situasi tersebut, semakin ia mampu bertindak, dan ia semakin bereksistensi.

Interpretasi adalah salah satu cara untuk mengartikulasikan pemahaman ini. Ia melihat kemungkinan-
kemungkinan dari sebuah situasi. Ia hadir dalam setiap situasi dan mencari jalan untuk menghadapi situasi
tersebut. Interpretasi tidak harus dalam bentuk verbal atau linguistik, atau dalam bentuk sebuah proposisi. Ia
juga bisa berbentuk sebuah aksi.
Heidegger lebih melihat proses pemahaman sebagai sebuah aksi ketimbang proses teoretisasi. Memahami
adalah cara praktis manusia bergaul dengan dunianya. Teori hanyalah sebuah bentuk praktis. Interpretasi
hanyalah salah satu modus dari pemahaman. Dan pada akhirnya interpretasi dalam bentuk bahasa
hanyalah salah satu bentuk dari interpretasi. Bahasa hanyalah sebuah instrumen dari pengertian.
Heidegger juga memperkenalkan lingkaran hermeneutik yang baru: sebuah pertanyaan selalu dibentuk oleh
ekspektasi sebelumnya yang akan menentukan jawaban yang metode yang akan didapatkan. Hal ini seperti
halnya pada lingkaran hermeneutik tradisional terlihat seperti sebuah paradoks. Namun Heidegger tidak
menutup kemungkinan untuk melakukan interpretasi. Yang dibutuhkan adalah dialog antara teks dan sang
penafsir sehingga teks semakin membuka dirinya untuk ditafsirkan.

1. KESIMPULAN

1. Problem tentang Makna

Studi tentang peranan bahasa dalam komunikasi dan proses berpikir, serta khususnya dalam persoalan
yang menyangkut bagaimana mengidentifikasi, memahami, maupun meyakini bahwa makna muncul pada
saat bahasa dipergunakan, telah banyak dilakukan oleh filsuf-filsuf analitik. Ciri khusus peranan bahsa itu
nampak melalui penggunaan bahasa sebagai medium dalam komunikasi gagasan. Sehubungan dengan hal
ini maka persoalan yang timbul kemudian adalah “problem tentang makna”.

Bagi para beberapa filsuf, pengertian tentang makna dibahas berdasarkan motivasi-motivasi tertentu. Ada
yang menghubungkan ‘makna’ dengan kebenaran tentang dunia yang ada di sekitar kita atau di mana kita
hidup. Bagi mereka istilah ‘bermakna’ atau tidak’bermakna’ adalah persyaratan utama untuk mencapai
kebenaranKita seringkali terperangkap di dalam penggunaan bahasa dengan rangkaian kata-kata yang
muluk-muluk, yang pada akhirnya membuat kita frustasi sendiri. Filsafat akhirnya juga kita mengerti sebagai
sebuah ‘teka teki’ yang sulit untuk dijawab dan dijelaskan.

Bila dalam arti luas metode adalah cara bertindak menurut sistem aturan tertentu dengan maksud untuk
mencapai hasil optimal, dan dalam arti khusus metode merupakan cara berfikir menurut sistem aturan
tertentu, maka yang menjadi persoalan adalah: sejauhmanakah metode yang dipergunakan di dalam
hermeneutik dapat kita pergunakan untuk ‘ memehami’ pemikiran kefilsafatan?

1. Cara pandang filsafat

Pandangan kefilsafatan memandang penting bagi kita untuk mengetahui “dimana kita berpijak” atau “dari
sudut mana kita meninjau”bila kita berhadapan dengan hal-hal atau pernyatan-pernyataan tertentu.
Pandangan semacam ini juga mengandaikan keterlibatan pribadi didalam filsafat, yaitu berupa pandangan
hidup seseorang. Jadi bila kita melihat kembali pandangan-pandangan hermeneut diatas, maka segala
uraiannya tentang hermeneutic sedikit banyak diwarnai pula oleh pandangan hidup para hermeneut itu
sendiri serta latar belakang kehidupannya, atau tokoh lain yang mempengaruhinya.

Sebagaimana telah disebutkan pada pendahuluan bahwa filsafat berhubungan dengan spekulasi dan
analisis, filsafat juga bersifat selalu bertanya, analitik, kritis, dan evaluative. Filsafat mempersoalkan apa
saja, misalnya keyakinan, pernyataan, teori, hipotesis, dsb, tanpa ada kekecualiannya. Filsafat menganalisis
dan mengevaluasi semua hal tersebut sekritis-kritisnya.

Dilthey mengajak kita untuk melakukan kritik sejarah dengan mencoba menelusuri kembali segala peristiwa
dalam sejarah. Cara pandang semacam tikini menunjukkan bahwa filsafat adalah kegiatan yang bersifat
integrative atau kegiatan yang mengarah pada sintesis berbagai macam unsure kedalam keseluruhan yang
bersifat koheren dan terpadu. Cara pendang yang “sintetik”adalah sisitem berpikir yang mengarah pada
pandangan dunia yang terdiri dari bagian-bagian yang lebih kecil dan koheren (berkesinambungan).

1. Hermeneutik sebagai metode yang “Open-Minded”

Hermeneutik bukanlah merupakan “barang” baru. Apa yang telah dilakukan oleh para hermeneut tersebut
pada dasarnya hanyalah mengundang kita untuk melihat secara lebih dekat bahasa yang kita pergunakan,
yaitu sebagai alat untuk mengerti dan memahami, dan sekaligus sebagai penyebab “salah mengerti”
ataupun “salah paham”. Bahasa akan menjadi bahasan hermeneutic sejauh hal itu menyatakan keseluruhan
jaringan sejarah, kebudayaan, kehidupan, dan nilai-nilai yang merupakan petunjuk kearah interpretasi.
SUMBANGAN HEIDEGGER KEPADA HERMENEUTIKA DALAM
“BEING AND TIME”
Pengantar
Filsafat Heidegger beranjak dari persoalan bahwa para filsuf telah banyak mengajukan pertanyaan-
pertanyaan tentang dunia tetapi mereka mengabaikan kenyataan yang paling penting, yaitu bahwa dunia
ada. Heidegger berusaha untuk mencari arti syarat awal eksistensi yang ia sebut sebagai Ada. Ada tidak
dicari pada yang fisik melainkan lewat fenomena misalnya lewat fenomen tertawa, menangis, berjalan dan
sebagainya. Fenomen yang diteliti itu adalah manusia. Ia menyebut manusia
sebagai dasein(eksistensi). Dasein berarti berada-di-sana, di dunia. Dunia mempunyai ciri referensial.
Adanya selalu menunjuk pada sesuatu misalnya palu menunjuk pada paku, paku menunjuk pada papan,
papan menunjuk pada rumah dan seterusnya. Melihat begitu pentingnya arti “dunia”, Heidegger menyebut
kegiatan berada Dasein sebagai berada-dalam-dunia. Salah satu kegiatan itu adalah memahami. Bagi
Heidegger, pemahaman yang sesungguhnya itu tidak dilihat dalam suatu “pernyataan” sebagai buah nalar
(ratio), melainkan dalam tingkat fundamental (tidak perlu dipikirkan lagi). Jadi, seseorang dikatakan
memahami palu bukan karena ia bisa menyatakan palu adalah alat untuk menancapkan paku pada papan,
melainkan jika tanpa perlu berpikir lagi ia langsung menggunakan palu itu untuk menancapkan paku pada
papan (pemahaman pra konseptual). Ia membiarkan palu (fenomen pengada) termanifestasikan apa
adanya. Pemahaman lantas menjadi elemen penting hermeneutika. Karena Heideggerr berusaha mencari
pemahaman melalui fenomen maka ia memakai metode Fenomenologi. Fenomenologinya merupakan
hermeneutika terhadap fenomena.
Husserl dan Heidegger: Dua Tipe Fenomenologi
Fenomenologi merupakan pendekatan yang dirumuskan Edmund Husserl pada awal abad ke-20.
Fenomenologi telah membuka bidang pemahaman fenomena pra-konseptual. Ia berusaha melihat fenomen
sebagai realitas yang menampakkan diri apa adanya. Artinya, tanpa kita menafsirkan fenomen-fenomen itu.
Ini adalah penemuan baru Husserl. Namun, fenomenologi Husserl ini berbeda dengan Heidegger.
Pendekatan Husserl terarah pada fungsi kesadaran sebagai subyektivitas transendental. Kesadaran kita,
menurut Husserl selalu terarah pada sesuatu di luarnya (sadar akan sesuatu). Sedangkan Heidegger justru
melihat media vital historisitas “keber-ada-an” manusia di dunia. Menurutnya, kesadaran bukan sekedar
kesadaranakan sesuatu, melainkan kesadaran dalam/sebagai sesuatu. Apa maksudnya? Kita tidak sekedar
menyadari sesuatu, melainkan sesuatu itu turut membentuk kesadaran kita. Kita tidak hanya sadar hidup di
suatu dunia, tetapi juga sadar bahwa dunia ini turut membentuk kita yang ada di dalamnya. Arah
pendekatan Heidegger adalah keberadaan manusia itu sendiri. Heidegger berpandangan bahwa fakta
keberadaan merupakan persoalan yang lebih mendasar dari pada kesadaran dan pengetahuan manusia.
Ada lebih utama dari kesadaran, karena kesadaran hanyalah cara Ada menampakkan diri. Ini berbeda
dengan Husserl yang menganggap keberadaan Ada sebagai datum kesadaran.
Perbedaan fenomenologi Husserl dengan metode fenomenologis Heidegger dapat diringkas dalam kata
“hermeneutik” itu sendiri. Term ini tidak pernah digunakan Husserl untuk merujuk pada karyanya, sementara
Heidegger mengatakan bahwa dimensi otentik metode fenomenologi membuat karyanya (Being and Time)
bersifat hermeneutis; proyeknya dalam Being and Time adalah “hermeneutik Dasein”. Term tersebut
mengasumsikan adanya bias anti sains yang bisa membedakan secara nyata Heidegger dengan Husserl.
Filsafat dalam pegertian Husserl secara mendasar masih sains, suatu ilmu yang kaku, sementara bagi
Heidegger filsafat menjadi pemikiran historis, penemuan kreatif masa lalu.
Garis pembeda antara dua tipe fenomenologi di atas, secara jelas tergambarkan pada persoalan yang lain
yaitu “historisitas”. Menurut Heidegger, Fenomenologi Husserl hanya mengelaborasi “pola yang telah di
bentuk oleh Descartes, Kant, dan Fichte. Di sini historisitas masih asing”. Heidegger berusaha mengatasi
filsafat modern yang berporos pada kesadaran atau subyektivitas. Misalnya dalam Descartes, kenyataan
atau ada itu diciptakan oleh kesadaran. Jika aku menyadari danau di luar diriku maka danau itu ada.
Pandangan semacam ini yang ditolak Heidegger. Kesadaran yang ditemukan Descartes itu bukanlah
segala-galanya sebagaimana dipikirkan oleh Descartes, melainkan hanyalah salah satu
cara Ada menampakkan diri dalam kesejarahan Ada (historisitas Ada). Apa itu historisitas Ada? Kita harus
membayangkan seluruh manusia dan alam semesta ini sebagai suatu cerita tentang penampakan diri Ada
dalam berbagai maknanya. Dalam penggalan tertentu yang kita sebut ‘zaman modern’, Ada lebih ditangkap
sebagai kesadaran atau subyektivitas. Tetapi ini tidak berlaku untuk segala zaman. Heidegger menawarkan
strategi lain dalam mendekati fenomen kesadaran: membuka diri terhadap Ada dan
membiarkan Ada tampak apa adanya (memahami). Karena itu fenomenologi tidak sekedar untuk membuka
kesadaran manusia belaka tapi juga sebagai sarana untuk mendekati Ada dalam seluruh faktisitas dan
historisitasnya. Di sinilah penekanannya bahwa fenomenologi harus menjadi hermeneutis.
Fenomenologi Hermeneutis
Dalam bagian buku “Sein und Zeit” yang berjudul “The Phenomenological Method of Investigation”,
Heidegger menyebut metode fenomenologinya sebagai “hermeneutika”. Untuk mengerti hal ini, Heidegger
kembali pada akar kata fenomenologi. Fenomenologi berasal dari akar kata Yunani yang merupakan
kombinasi kata polimorfemikphainomenon atau phainesthai dan logos. Phainomenon/phainesthai berarti
yang menampakkan diri, sesuatu yang termanifestasikan, atau tampak apa adanya.
Sedangkan logos adalah sesuatu yang dipahami dalam pembicaraan, tidak diartikan sebagai ‘nalar’ atau
‘landasan’. Dengan demikian, Logos berarti sesuatu yang dengan sendirinya membiarkan sesuatu itu
muncul. Logos membiarkan ssuatu itu tampak sebagai sesuatu. Logos menjadi hermeneutika.
Dengan demikian, kombinasi phainomenon/phainesthai dan logos berarti membiarkan benda-benda
(fenomen) termanifestasikan sebagaimana adanya, tanpa memaksakan kategori-kategori kita sendiri pada
benda-benda tersebut. Ini berarti berlawanan dengan kebiasaan yang telah ada. Bukan kita yang menunjuk
benda atau realitas, tapi realitas itu sendiri yang menunjukkan dirinya kepada kita. Metode fenomenologi ini
menjadi signifikan bagi teori hermeneutis. Metode ini menunjukkan bahwa interpretasi tidaklah didasarkan
pada kesadaran dan kategori yang dibuat manusia, tetapi pada realitas yang menampakkan diri apa
adanya. Dengan kata lain, ontologi harus menjadi fenomenologi. Heidegger, dalam Being and
Time berusaha mendekati Ada sebagai fenomen.
Lantas apa hubungannya dengan hermeneutika? Sebagaimana ontologi menjadi fenomenologi tentang
Ada, ia juga harus menjadi hermeneutika eksistensi. Hermeneutika ini bukanlah suatu metode filologi, juga
bukan metode memahami (Geisteswissenschaften) seperti yang diungkapkan Dilthey, melainkan
hermeneutika yang membuka sesuatu yang tersembunyi. Ia bukan interpretasi atas interpretasi (misalnya
suatu teks) melainkan kegiatan primer interpretasi yang membuka hakekat Ada. Selanjutnya, Hermeneutika
menjadi “interpretasi Dasein”. Dengan demikian, pemahaman terhadap Dasein sendiri merupakan bagian
yang penting dalam hermeneutika Heidegger. Akhirnya Heidegger sendiri mendefinisikan esensi
hermeneutika sebagai kekuatan ontologis ‘pemahaman’ dan ‘interpretasi’ yang memungkinkan keberadaan
sesuatu khususnya keberadaan Dasein dapat terungkap.
Hakekat Pemahaman: Heidegger Melampaui Dilthey
Pemahaman (Verstehen) merupakan term khusus yang dipakai Heidegger. Maknanya berbeda dengan
pemahaman yang dimaksudkan oleh Schleirmacher dan Dilthey. Dalam pemikiran Schleirmacher,
pemahaman didasarkan pada afirmasi filosofisnya terhadap identitas dalam. Artinya, dalam pemahaman
seseorang menyatukan diri dengan pembicara atau penulis sebagai seorang yang dipahami. Dalam
pemikiran Dilthey, pemahaman mengacu pada level komprehensi lebih dalam yang melibatkan perolehan
suatu gambar, puisi, atau fakta (sosial, ekonomi, psikologi) lebih dari sekedar datum, melainkan sebagai
suatu ekspresi hidup.
Bagi Heidegger, pemahaman merupakan kemampuan menangkap kemungkinan-kemungkinan hakekat
eksistensi manusia. Pemahaman adalah cara berada di dunia, yang merupakan struktur
eksistensial Dasein yang memungkinkan terjadi pengalaman ditingkat empiris serta memungkinkan
terjadinya pengetahuan yang lainnya. Kemungkinan-keungkinan itu terbuka justru pada prakteknya, bukan
pada yang dipikirkan. Inilah pemahaman yang fundamental.
Pemahaman merupakan dasar bagi semua interpretasi, dan senantiasa hadir dalam setiap kegiatan
intepretasi. Pemahaman dipandang bukan sekedar peristiwa kejiwaan, melainkan suatu proses ontologis,
sebagai pengungkapan segala sesuatu yang berkaitan dengan eksistensi manusia. Karakteristik penting
pemahaman bagi Heidegger adalah bahwa ia selalu berlaku dalam suatu hubungan yang sudah
diinterpretasikan. Dilthey menegaskan bahwa kebermaknaan selalu merupakan sesuatu yang merujuk ke
dalam konteks keberhubungan, suatu persoalan prinsip yang sudah umum bahwa pemahaman selalu
berlaku dalam sebuah lingkaran hermeneutis. Karena itu, Heidegger suka mengangkat “lingkaran
hermeneutik”: manusia mencari pengetahuan karena belum tahu dan sudah tahu (pra pemahaman).
Hermeneutika Heidegger melangkah lebih jauh dari Dilthey karena Heidegger mengeksplorasi implikasi
lingkaran hermeneutis bagi struktur ontologis pemahaman eksistensi manusia dan interpretasinya. Akhirnya
dapat dikatakan bahwa pemahaman dalam pemikiran Heidegger telah menjadi ontologis.
Dunia dan Hubungan Kita dengan Obyek di Dunia
Yang dimaksud dunia dalam pemikiran Heidegger tidak sama dengan bumi atau alam semesta belaka atau
lingkungan kita, melainkan (dari sudut pandang Dasein) suatu tempat untuk dimukimi. Dunia itu suatu
keseluruhan dimana ada manusia menemukan dirinya sudah terlempar kedalamnya, dengan segala
kemanifestasiannya. Dunia tidak dapat dipahami dengan menaksir entitas yang ada di dalamnya karena
dengan cara ini dunia tidak akan mempunyai arti. Dengan kata lain, dunia tidak hanya dipahami sebagai
tindakan mengetahui suatu entitas.
Heidegger menekankan pentingnya ‘dunia’ dengan menyebut kegiatan berada Daseinsebagai berada-
dalam-dunia. Pengunaan garis hubung menekankan bahwa tidak ada jarak antara diri kita dengan dunia.
Kita merupakan bagian dunia seperti dunia merupakan bagian kita. Seorang pribadi tanpa dunia tidak
masuk akal. Seorang memandang dengan benar melalui dunia, bahkan ia tidak bisa melihat Dasein atau
apapun dalam kemanifestasiannya sendiri tanpa dunia itu. Dunia dan Daseinmerupakan relitas yang tak
terpisahkan.
Kata ‘dalam’ pada ‘berada-dalam-dunia’ juga harus dimengerti dengan tepat. Arti kata depan itu di hadapan
Heidegger sangat kompleks. Makna pernyataan: Dasein berada-dalam-dunia tidak dimengerti seperti air
‘dalam’ gelas atau pakaian ‘dalam’ almari. Apa bedanya? Air, pakaian, gelas, dan almari dengan cara yang
sama berada ‘dalam’ suatu tempat. Sedangkan Dasein berada dalam dunia secara khas. Dasein tak pernah
ada di dalam ruang melainkan menduduki ruang. Dia tidak ‘terletak’ di suatu tempat tetapi memukimi suatu
tempat. Kita tidak tergeletak di dalam dunia melainkan terlibat dan kerasan di dunia.
Apa yang ditemui Dasein di dunia? Dan bagaimana hubungan ada kita (sebagaiDasein) dengan obyek yang
ada di dalamnya? Jika kita berada dalam suatu ruang kuliah, kita akan menjumpai ada kursi, meja, lampu,
papan tulis, alat tulis dan alat-alat lainnya atau juga benda-benda yang bukan alat atau teman dan dosen
kita sendiri. Jika kita cermati, benda atau alat-alat tersebut adalah selalu “untuk sesuatu” (intensional). Ia
mempunyai struktur ‘untuk’ karena itu selalu mengacu pada alat-alat lain. Kita sering mengunakan alat-alat
itu nyaris secara spontan. Jika ada gangguan, misalnya alat tulis hilang atau kursi rusak atau lampu mati,
maka intensi yang diandaikan begitu saja akan tersingkap dan disadari. Kita lalu menjadi sadar akan
ketergantungan kita pada materi tersebut. Pengalaman ini mengasumsikan prinsip hermeneutis bahwa
keberadaan sesuatu terungkap tidak dalam tatapan analitis kontemplatif melainkan dalam momen di mana
ia muncul secara tiba-tiba dari kesembunyiannya dalam konteks dunia yang sangat fungsional.
Kebermaknaan Prapredikatif, Pemahaman dan Interpretasi
Fenomen kerusakan yang menyingkapkan keberadaan sebuah alat sebagai alat mengarah pada ‘dunia’
yang sangat luas, tempat kita eksis. Dunia ini lebih dari sekedar lahan aktivitas prasadar persepsi pikiran. Ia
adalah lahan di mana resistensi dan posibilitas dalam struktur ada membentuk pemahaman. Di sini
temporalitas dan historisitas ada hadir secara tegas. Ada menyingkapkan dirinya dalam kebermaknaan,
pemahaman dan interpretasi. Singkatnya, ia merupakan lahan proses hermeneutis di mana ada
tertematisasikan sebagai bahasa.
Kebermaknaan yang dimaksudkan oleh heidegger adalah Rede atau percakapan. Percakapan di sini bukan
dipahamai sebagai komunikasi verbal, melainkan suatu penyampaian makna yang mendahului artikulasinya
dalam bahasa. Karena itu, dalam kebungkaman, manusia juga bisa bertutur. Ini bukan paradoks, melainkan
menunjukkan bahwa ‘percakapan’ itu bukan pengucapan makna secara verbal, melainkan penyampaian
makna tanpa artikulasi apapun. Dua teman karib yang lama tidak berjumpa akan terpaku saling
memandang tak berkata-kata saat mereka tak berjumpa lagi. hal ini menunjukkan bahwa mereka saling
memahami satu sama lain. Inilah momen kebermaknaan yang tidak diartikulasikan namun disampaikan
lewat disposisi dasar eksistensial mereka masing-masing.
Pemahaman sangat berkaitan erat dengan kebermaknaan di atas. Pemahaman juga tidak dapat dipisahkan
dari interpretasi karena interpretasi merupakan penerjemahan eksplisit dari pemahaman. Dalam
pemahaman, suatu ‘dunia’ bisa dilihat sebagai ini atau sebagai itu. Ungkapan kata sebagai ini merupakan
suatu terjemahan eksplisit pemahaman atau suatu interpretasi. Misalnya, seseorang yang baru di PHK
termenung di taman sampai pada pemahaman akan makna hidupnya lalu mengambil keputusan untuk
hidup masa depannya, ia telah melewati interpretasi atas situasi dirinya. Interpretasi disini bukan berarti
meratapi pemecatannya, melainkan mencoba keluar dari keterpurukan dengan menafsirkannya. Dalam
interpretasinya, ia bisa mengatakan: “O saya memahami musibah ini sebagai peluang untuk berkembang
lebih baik”. Tentu yang dikatakannya itu juga tidak terpisah dari momen kebermaknaan prapredikatif yang
telah dilaluinya yakni saat dia duduk termenung di taman. Inilah saat diam yang penuh makna, atau momen
kebermaknaan yang tidak diartikulasikan lewat kata.
Karakter Derivatif Pernyataan
Pemahaman yang paling dasar tidak terletak pada suatu pernyataan produk akal budi, melainkan pada
pemahaman pra sadar dimana kita sudah tidak perlu memikirkannya lagi. sedangkan pemahaman yang
diungkapkan melalui kata-kata (pernyataan) merupakan pemahaman sekunder. Pernyataan itu adalah
turunan dari pemahaman primer yang pra sadar (fundamental). Bagi Heidegger, “pernyataan” (Aussage)
bukanlah suatu bentuk dasar interpretasi. Heidegger memberikan suatu contoh pernyataan: “Palu itu berat”.
Ini merupakan suatu pemahaman yang terbentuk lewat logika (pemikiran). Dalam pernyataan ini, palu
diinterpretasikan sebagai sesuatu dengan kekayaan sifatnya, dalam hal ini bobot beratnya. Lalu pernyataan
ini menjadi penyataan logis yang menempatkan palu tidak lagi sebagai sebuah “alat” (sebagaimana adanya)
melainkan sebagai sebuah obyek. Pernyataan seperti ini akan memutuskan ada (palu) dari
kebermaknaannya sebagai akar dari keberadaannya.
HERMENEUTIKA

Pengantar

Salah satu ciri menonjol mayoritas filosof abad XX adalah menjadikan bahasa
sebagai fokus kajian filsafat mereka. Mereka semakin menyadari bahwa persoalan-
persoalan filsafat berkembang dan dapat dijelaskan melalui bahasa. Namun dalam
kenyataannya tidaklah mudah untuk menentukan karakteristik pandangan filsafat
melalui objek material bahasa. Kenyataan menunjukkan bahwa bahasa tidaklah
mungkin dibatasi melalui formulasi logika yang ketat sebagaimana dilakukan oleh
atomisme logis dan positivisme logis. Hal inilah yang kemudian memunculkan
pemikiran filsafat bahasa biasa yang berupaya memecahkan problema-problema
filsafat dan membahas konsep-konsep filsafat dengan melalui suatu analisis bahasa.
Dari pemikiran ini kemudian berkembanglah pemikiran tentang hermeneutika.

Hermeneutika merupakan satu istilah yang cukup populer saat ini khususnya dalam
bidang ilmu sosial humaniora. Apa itu hermeneutika dan bagaimana pemikiran
tentangnya akan sedikit dibahas dalam tulisan sederhana ini.

Pengertian dan Sejarah Awal Hermeneutika

Hermeneutika adalah sebuah kajian mengenai teori interpretasi atau penafsiran.


Studi ini mulai berkembang dalam kritik penafsiran bibel seiring dengan kemunculan
protestan. Persoalan penafsiran bibel seiring kemunculan protestan ini menggiring
kepada kajian kritis terhadap teks bibel itu sendiri. Pada abad ke17 dan ke18,
pendekatan kritis kepada teks Bibel (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru)
berkembang.[1]

Kajian kritis ini kemudian berkembang tidak hanya berlaku pada teks-teks bibel tapi
termasuk teks-teks lainnya. Bahkan, kemudian berkembang lagi meliputi segala hal
yang dapat disamakan dengan teks hingga usaha memahami makna kehidupan.

Hermeneutika cukup sulit didefinisikan secara tunggal. Hal ini merujuk sekian
banyaknya teori tentang hermeneutika itu sendiri dan juga perkembangannya. Akan
tetapi, lepas dari itu, tentu saja terdapat titik temu dari semuanya terlebih jika
dimaklumi bahwa sekian tersebut sama-sama menggunakan istilah hermeneutika
yang mana bisa dirunut maknanya secara etimologi.

Secara etimologi, hermeneutika berasal dari kata kerja Bahasa


Yunani hermeneuein yang berarti “menafsirkan”, dan kata benda hermeneia,
“interpretasi”. Dalam penggunaan aslinya, kata ini memiliki tiga bentuk makna
dasar. Tiga bentuk ini menggunakan bentuk verba dari hermeneuein, yaitu:
(1) mengungkapkan kata-kata, misalnya, “to say”; (2) menjelaskan, seperti
menjelaskan sebuah situasi; (3) menerjemahkan, seperti di dalam penerjemahan
bahasa asing. Ketiga makna itu bisa diwakilkan dengan bentuk kata kerja Inggris “to
interpret”, namun masing-masing ketiga makna itu membentuk sebuah makna
independen dan signifikan bagi interpretasi.[2]

Richard E. Palmer (1969) dalam bukunya memberikan 6 definisi modern


hermeneutika. Masing-masing definisi ini sekedar merupakan tahapan-tahapan
historis; ia menunjuk suatu peristiwa atau pendekatan penting dalam persoalan
interpretasi. Keenam definisi tersebut adalah; (1) Hermeneutika sebagai teori
eksegesis Bibel, (2) Hermeneutika sebagai metodologi filologis, (3) Hermeneutika
sebagai ilmu pemahaman linguistic, (4) Hermeneutika sebagai fondasi metodologi
bagi geisteswissenchaften, (5) Hermeneutika sebagai fenomenologi dasein dan
pemahaman eksistensial, dan (6) Hermeneutika sebagai sistem interpretasi[3].
Keenam definisi ini tentu saja terkait tahapan historis kajian hermeneutika hingga
masa Palmer saja, tidak sampai masa sekarang. Pasca Palmer, kajian hermeneutika
semakin berkembang.

Hermeneutika dalam Kilasan Tokoh

Schleiermacher (1768 –1834) (Hermeneutika teoritis/romantisis)

Friedrich Schleiermacher adalah orang yang dianggap mampu mengangkat


hermeneutika tidak sekedar dalam konteks kajian Bibel tapi semua bacaan. Semua
teks termanifestasikan melalui bahasa, oleh karena itu bilamana prinsip-prinsip
pemahaman melalui bahasa dapat dirumuskan, maka terwujudlah hermeneutika
umum[4].

Kajian hemeneutika beliau ini berpusat mengenai bagaimana memperoleh


pemahaman yang benar, oleh karenanya kajian beliau dikenal dengan istilah
hermeneutika teoritis. Sedang makna yang menjadi tujuan pencarian dalam
hermeneutika ini adalah makna yang dikehendaki penggagas teks. Oleh karena
tujuannya memahami secara obyektif maksud penggagas, maka hermeneutika
model ini dianggap juga sebagai hermeneutika romantis yang bertujuan untuk
“merekonstruksi makna”. [5]

Dalam rangka merekonstruksi makna, Scheleirmacher menawarkan dua pendekatan:


pertama, pendekatan linguistik yang mengarah pada analisis teks secara langsung;
kedua pendekatan psikologis yang mengarah pada unsur psikologis-subyektif sang
penggagas sendiri. Dua unsur pendekatan ini dalam hermeneutika teoritis,
dipandang sebagai dua hal yang tidak boleh dipisah. Memisah salah satunya akan
menyebabkan sebuah pemahaman terhadap pemikiran seseorang menjadi tidak
obyektif. Sebab, teks menurut hermeneutika teoritis sebagai media penyampaian
gagasan penggagas kepada audiens. Agar pembaca memahami makna yang
dikehendaki penggagas dalam teks, hermeneutika teoritis mengasumsikan seorang
pembaca harus menyamakan posisi dan pengalamannya dengan penggagas teks.
Dia seolah-olah bayangan penggagas teks. Agar mampu menyamakan posisinya
dengan penggagas, dia harus mengosongkan dirinya dari sejarah hidup yang
membentuk dirinya, dan kemudian memasuki sejarah hidup penggagas dengan cara
berempati kepada penggagas.[6]

Schleiermacher menegaskan adanya masalah hermeneutical circle atau lingkaran


hermeneutik, yaitu bahwa untuk memahami sebagian dari teks pembaca
memerlukan pemahaman atas konteks keseluruhan teks, dan untuk memahami
keseluruhan teks pembaca memerlukan interpretasi atas bagian-bagian dari teks
tersebut. Dengan demikian, untuk dapat memahami suatu teks pembaca
memerlukan pemahaman akan sumber-sumber lain untuk membantu
pemahamannya, termasuk pemahaman akan kehidupan dan minat penulis. Hal ini
juga memerlukan pemahaman akan konteks budaya di mana karya penulis tersebut
muncul.[7]

Dilthey (Hermeneutika Metodis)

Perkembangan berikutnya ditandai oleh pemikiran Wilhelm Dilthey yang


membedakan antara ilmu alam / ilmu eksakta (Naturwissenschaften) dan ilmu sosial
dan humaniora / ilmu non-ekaskta (Geisteswissenschaften). Ilmu alam menjelaskan
(erklären) sesuatu dan bertanya tentang penyebab-penyebab terjadinya sesuatu
secara fisik, sementara ilmu sosial dan humaniora mencoba mencari tahu dan
memahami (verstehen) sesuatu yang bersifat psikis, non-fisik.

Dilthey menyatakan bahwa tugas hermeneutika adalah untuk melengkapi teori


pembuktian validitas universal interpretasi agar mutu sejarah tidak tercemari oleh
pandangan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.[8]

Selanjutnya, dengan mengambil penekanan yang sedikit berbeda dengan


hermeneutika teoritis Schleiermacher yang menekankan pada pencarian makna
obyektif yang dihendaki penggagas, Dilthey menganggap makna obyektif yang perlu
dipahami dari ilmu humaniora adalah makna teks dalam konteks kesejarahaannya.
Sehingga, hermeneutika menurut Dilthey bertujuan untuk memahami teks sebagai
ekspresi sejarah, bukan ekspresi mental penggagas. Karena itu, yang perlu
direkonstruksi dari teks menurut Dilthey, adalah makna dari peristiwa sejarah yang
mendorong lahirnya teks. Karena itu, berbeda dengan Schleiemacher, untuk
merekonstruksi makna teks, menurut Dilthey tidak harus menyelam ke dalam
pengalaman penggagas. Sebab pengalaman itu dimediasi oleh karya-karya para
tokoh sejarah yang menghayati realitas pada masanya. Hal itu bisa ditemukan
dengan pemahaman terhadap makna budaya yang diproduknya. Di sinilah sikap
empati pembaca terhadap teks menemukan tempatnya.[9]

Emilio Betti

E. Betti termasuk tokoh hermeneut yang menganut hermeneutika teoritis yang


mencoba memadukan antara teori Schleiemacher dan Wilhelm Dilthey. Sebagaimana
pendahulunya, hermeneutika menurut Betti bertujuan untuk menemukan makna
obyektif. Betti menawarkan empat momen gerakan alam menemukan makna
obyektif: pertama, penafsir melakukan investigasi fenomena linguistik teks, kedua,
penafsir harus mengosongkan dirinya dari segala bentuk kepentingan, tiga, penafsir
harus menempatkan dirinya dalam posisi seorang penggagas melalui kerja imajinasi
dan wawasan, empat, melakukan rekonstruksi untuk memasukkan situasi dan
kondisi untuk memperoleh hasil yang ingin dicapai dari ungkapan teks.[10]

Heidegger (Fenomenologi Das Sein, Hermeneutika dialektis)

Martin Heidegger membawa hermeneutika ke ranahnya yang bersifat ontologis. Oleh


karenanya, hermeneutika beliau yang lebih menekankan fenomenologi das sein ini
dikenal dengan hemerneutika filosofis. Das Sein sebagai penyebab munculnya
kegiatan berfikir menurut Heidegger adalah merupakan bahasa yang sejati. Kegiatan
berpikirf adalah merupakan suatu jawaban terhadap das sein, untuk mencari
ungkapan bahasa yang tepat sehingga das sein dapat benar-benar menjadi bahasa,
sehingga selanjutnya dapat dikomunikasikan. Heidegger memandang bahwa bahwa
bahasa adalah tempat tinggal ‘sang ada’. Dengan lain perkataan bahwa bahasa
adalah ruang bagi pengalaman-pengalaman yang bermakna.[11]

Fenomenologi hermeneutika Heidegger adalah suatu fenomena tentang ‘ada’, suatu


hermeneutika yang membuka sesuatu yang tersembunyi, bukan interpretasi atas
interpretasi (misalnya suatu teks), melainkan kegiatan primal interpretasi yang
membuka hakikat ‘ada’ menjadi terbuka. Menurut beliau, pada hakikatnya
hermeneutika adalah merupakan ciri hakiki manusia. Pemahaman merupakan
kemampuan menangkap kemungkinan-kemungkinan hakikat eksistensi manusia.
Pemahaman dipandang bukan sekedar peristiwa kejiwaan, melainkan merupakan
proses ontologis, sebagai penguakan segala sesuatu yang berkaitan dengan
eksistensi manusia.[12]

Hans Georg Gadamer (Hermeneutika dialogis)

Sebagai penerus Heidegger, Gadamer menolak anggapan hermeneutika teoritis yang


menganggap hermeneutika bertujuan menemukan makna obyektif. Gadamer
menganggap tidak mungkin diperoleh pemahaman yang obyektif atau definitif
sebuah teks sebagaimana digagas para penggagas hermeneutika teoritis, karena dua
alasan: pertama, orang tidak bisa berharap menempatkan dirinya dalam posisi
pengarang asli teks untuk mengetahui makna aslinya. Kedua, memahami bukanlah
komuni misterius jiwa-jiwa dimana penafsir menggenggam makna teks yang
subyektif. Memahami menurutnya adalah sebuah fusi horizon-horizon: horizon
penafsir dan horizon teks. Sebagai tawarannya, Gadamer merumuskan
hermeneutika filosofisnya dengan bertolak pada empat kunci hermeneutis[13]:

Pertama, kesadaran terhadap “situasi hermeneutik”. Pembaca perlu menyadari


bahwa situasi ini membatasi kemampuan melihat seseorang dalam membaca teks.

Kedua, situasi hermeneutika ini kemudian membentuk “pra-pemahaman” pada diri


pembaca yang tentu mempengaruhi pembaca dalam mendialogkkan teks dengan
konteks. Kendati ini merupakan syarat dalam membaca teks, menurut Gadamer,
pembaca harus selalu merevisinya agar pembacaannya terhindar dari kesalahan.

Ketiga, setelah itu pembaca harus menggabungkan antara dua horizon, horizon
pembaca dan horizon teks. Keduanya harus dikomunikasikan agar ketegangan
antara dua horizon yang mungkin berbeda bisa diatasi. Pembaca harus terbuka pada
horizon teks dan membiarkan teks memasuki horizon pembaca. Sebab, teks dengan
horizonnya pasti mempunyai sesuatu yang akan dikatakan pada pembaca. Interaksi
antara dua horizon inilah yang oleh Gadamer disebut “lingkaran hermeneutik”.

Keempat, langkah selanjutnya adalah menerapkan “makna yang berarti” dari teks,
bukan makna obyektif teks. Bertolak pada asumsi bahwa manusia tidak bisa lepas
dari tradisi dimana dia hidup, maka setiap pembaca menurutnya tentu tidak bisa
menghilangkan tradisinya begitu saja ketika hendak membaca sebuah teks.

Dalam kegiatan penafsiran, hermeneutika filosofis mengandaikan seorang penafsir


atau pembaca didahului oleh horizon pembaca yang kemudian membentuk pra
pemahaman. Namun penting digaris bawahi bahwa Gadamer tidak bermaksud
memberikan kebebasan mutlak bagi penafsir. Gadamer tetap memberikan rambu-
rambu, yakni agar penafsir bersikap terbuka pada teks. Penafsir sejatinya
membiarkan teks menghadiri penafsir untuk kemudian diadakan dialog antara
keduanya untuk menghilangkan ketegangan. Sebab, sebagaimana pembaca, teks
juga mempunyai sejarahnya sendiri yang disebut horizon teks. Dengan prinsip
makna tidak ditemukan di dalam teks, Gadamer berpendapat bahwa “memahami”
adalah tindakan sirkuler antara teks dengan pembaca yang disebut the fusion of
horison, yakni mempertemukan pra pemahaman pembaca dengan cakrawala atau
horizon teks. Dalam negosiasi itulah, makna yang dicari bersemayam. Penekanan
Gadamer pada fusi horizon dalam menemukan makna didasarkan pada argumen
bahwa seseorang tidak mungkin bisa melepaskan diri dari tradisi dan prasangkanya
dan apalagi memasuki tradisi dan prasangka orang lain. Menurut Gadamer,
keduanya pasti hadir dalam setiap tindakan menafsir, lantaran keduanya
merefleksikan keterkondisian historis umat manusia. Berbeda dengan hermeneutika
teoritis yang hendak “merekonstruksi makna”, tujuan utama hermeneutika filosofis
adalah “memproduksi makna teks”, melalui fusi horison pembaca dan horizon teks.
Begitu makna produktif ditemukan, langkah selanjutnya adalah menerapkannya ke
dalam konteks di mana pembaca berada. Tentu makna yang diterapkan bukanlah
makna obyektif sebagaimana dimaksudkan hermeneutika toritis, melainkan “makna
yang berarti” bagi pembaca. Makna itu mempunyai nilai bagi kehidupan pembaca,
bukan bagi kehidupan penggagas.

Teori empirsme ekstrim oleh M.Oakeshott menyatakan bahwa penelitian terhadap


masa silam itu tidak mungkin dilakukan, karena suatu penelitian sendiri
dibutuhkan direct observation. Padahal masa silam dapat diteliti tanpa melakukan direct
observation.
Untuk dapat meneliti tentang masa silam terdapat berbagai cara yang dapat
dilakukan.Yang pertama adalah CLM (Covering Law Model), yaitu mengaitkan
hubungan antara suatu peristiwa dengan peristiwa lain. Peristiwa yang satu menyebabkan
terjadinya peristiwa yang lain. Adapun persyaratan CLM, yaitu (1) Pola hukum yag
muncul pada premis pertama harus dikonfirmasi oleh sema fakta yang relevan atau tidak
berlawanan dengan fakta, dan (2) Ada pola semu yang harus ditolak, yaitu takdir Tuhan,
ramalan, dan pola hukum yang tidak menjelaskan seperti peristiwa x terjadi karena
peristiwa x terjadi. Tujuan dari pola CLM adalah untuk mencari hubungan sebab dan
akibat. Selain itu, ada syarat suatu peristiwa yang dapat diterangkan melalui CLM. Pola
CLM tidak berurusan dengan peristiwa unik atau individual yang dijelaskan pola hukum
lainnya.
Yang kedua adalah Hermeneutika, yaitu menghayati dari dalam jalan pikiran
orang lain (seolah-olah terlibat dalm suatu perisitiwa). Dalam percakapan atauun
penafsiran teks, peneliti harus masuk ke dalam kulit lawan bicara atau pengarang sambil
menimba dari pengalaman hidup kita sendiri. Tujuan hermeneutika adalah (1)
menjembatani jurang antara dua titik pangkal yang berbeda-beda, (2) berusaha mengerti
pihak lain berdasakan pengalaman sendiri dan pengalaman mengenai kenyataan dalam
keseluruhan, dan (3) bagi ahli sejarah, hermeneutika lebih pentingdari teori argumentasi.
Teori argumentasi modern meneliti percakapan antara dua pihak manusia. Teori ini
mengandaikan bahwa kedua pihak memiliki landasan atau awal yang sama. Cara kerja
teori ini adalah melacak komunikasi yang terganggu, sejak kapan mulainya, berdasarkan
landasan yang sama. Adapun proses hermeneutika, yaitu menghayati dari dalam jalan
pikiran orang lain. Hal ini tidak hanya berguna untuk menafsirkan teks-teks atau maksud
lawan bicara. Hermeneutika ingin mengerti mengapa seseorang berbuat begitu atau
begini.
Menurut Schleiermacher, bagian-bagian (teks) ditempatkan dalam keseluruhan
teks, dan keseluruhan teks hendaknya dimengerti dengan bertitik tolak pada bagian-
bagian. Pengembang teori hermeneutika di Jerman selanjutnya adalah W. Dilthey.
Dilthey terkenal dengan gagasannya yaitu geisteswisschenschaften (ilmu pengetahuan
budaya). Kontribusi Dilthey tampak pada fenomenologi sosiologi. Ide Dilthey berkisar
pada konsep ’erlebnis’, ’ausdruck’ dan ’verstehen’.
Menurut Dilthey, setiap pengalaman baru ditentukan oeh semua pengalaman yang
sampai pada saat itu pernah dimiliki. Pengalaman baru memberi arti dan penafsiran baru
terhadap pengalaman lama. Ada pengaruh timbal balik antara pengalaman baru dan lama.
Pengalaman yang ditentukan proses timbal balik disebut ’erlebnis’. Tahap selanjutnya
dalam hermeneutika adalah ausdruck atau ungkapan. Ausdruckmenekankan kesejajaran
antara penafsiran teks dn struktur erlebnis, kebertautan (zusammenhang) antara
pengalaman lama dan baru, aspek produktif dan reseptif, dan menciptakan berdasarkan
kesatuan dan kebertautan. Ausdruck melukiskan kenyataan sesuai dengan penghayatan
atau persepsi (penyerapan) terhadap kenyataan. Ausdruck merupakan obyektivasi
mengenai kebertautan atau koherensi dalam erlebnis.
Tahap selanjutnya yaitu verstehen, adalah mementaskan kembali di panggung
batinnya, pengalaman dan proses-proses psikologi dan intelektual yang dahulu dirasakan
seorang pelaku sejarah. Asumsi Dilthey dengan rekonstruksi itu akan menghasilkan efek
yang sama seperti halnya dengan pelaku sejarah dahulu. Dilthey memakai psikologi
sebagai ilmu bantu. Konotasi verstehen ”Dalam keadaan itu, aku sendiri juga akan
berbuat dan berpikir demikian”, dengan memasuki alam pikiran para pelaku
sejarah. Verstehen tidak dapat diterapkan pada ilmu eksakta. Dalam ilmu alam
ada erklaren (menerangkan) yang didasarkan pada pola hukum umum. Erklaren terbatas
pada gejala yang secara lahiriah dapat diamati. Bentuk pengetahuan lewat verstehen lebih
lengkap dari erklaren karena ”Dunia alami hanya merupakan bayangan”.
Pengembang teori hermeneutika di Jerman berikutnya yaitu Gadamer. Adapun
perbedaan pendapat antara Gadamer dan Dilthey, yaitu: (1) Gadamer menolak pemisahan
Dilthey tentang kenyataan dan pengalaman mengenai kenyataan. (2) Pengetahuan dan
pengalaman dari masa silam merupakan bagian dari eksistensi manusia. (3) Gadamer
menolak adanya metode hermeneutika. (4) Pemahaman hermeneutika masa silam terikat
dan bertaut dengan individualitas si peneliti.
Dalam menjelaskan perbuatan seorang pelaku sejarah, peneliti harus dapat
memberi jawaban mengapa seorang pelaku sejarah berbuat demikian. Teori
Hermeneutika di Inggris dan Amerika Serikat ini dikembangkan oleh R.G. Collingwood
dan H. White.
Menurut Collingwood, masa lalu dapat diulangi dalam batin kita sehingga
pengetahuan berdasarkan pengalaman masa silam tidak mustahil. Collingwood
menggunakan konsep re-enact, yaitu mengulangi apa yang hidup dalam benak para tokoh
sejarah. Terdapat perbedaan-perbedaan antara ilmu sejarah dengan ilmu eksakta.
Perbedaan pokok antara pengkajian sejarah dan ilmu eksakta bahwa peneliti sejarah tidak
hanya berurusan dengan kelakuan lahiriah obyek penelitiannya, melauinkan juga dengan
batin (segi dalam) kelakuan mereka. Re-enactment terjadi dalam batin peneliti sejarah
yang imajinatif dalam ekstrapolasi dan intrapolasi menurut pengalamannya sendiri.

Lebih lanjut tentang: Pemikiran Sejarah: Filsafat Sejarah (I)


Hermeneutika
Hans-Georg Gadamer
Reza A.A Wattimena

Pada bab sebelumnya kita sudah melihat inti


dasar dari teori kritis yang menjadi salah satu pisau
analisis sosial paling tajam di abad kedua puluh. Dan
juga seperti sudah disebutkan sebelumnya, di
samping beragam bentuk pemikiran yang ada di
dalamnya, teori kritis memiliki satu pengandaian
dasar, bahwa rasionalitas universal manusia mampu
melakukan kritik atas kapitalisme, dan membebaskan
manusia dari belenggu-belenggu sosial yang membuat
manusia tidak mampu mengembangkan kemampuan
dirinya semaksimal mungkin. Pada bab ini saya ingin
memperkenalkan sebuah metode yang sangat
berkembang pada awal dan pertengahan abad kedua
puluh, yakni hermeneutika, terutama hermeneutika
yang dirumuskan oleh Hans Georg Gadamer.
Dasar dari hermeneutika Gadamer adalah
retorika dan filsafat praktis (etika). Di dalam
sejarahnya retorika dan hermeneutika memang selalu
terkait. Retorika adalah seni untuk memaparkan
pengetahuan. Sementara hermeneutika adalah seni
untuk memahami teks. Teks ini memang dalam
bentuk tulisan. Akan tetapi teks juga bisa memiliki
arti luas, yakni realitas itu sendiri. Dalam arti ini juga
dapat dikatakan, bahwa hermeneutika dan retorika
saling membutuhkan satu sama lain. Retorika
mengandaikan orang memahami teks. Sementara
pemahaman tidak boleh berhenti di dalam diri
seseorang saja, melainkan juga dapat disampaikan
dengan jernih kepada orang lain. Gadamer sendiri
berulang kali menegaskan, bahwa hermeneutika dan
retorika lebih merupakan seni, dan bukan ilmu
pengetahuan.
Di dalam beberapa tulisannya, termasuk Truth
and Method, yang merupakan karya terbesarnya,
Gadamer mencoba untuk melepaskan hermeneutika
dari wilayah ilmu pengetahuan, terutama ilmu-ilmu
sosial. Untuk melakukan itu ia kemudian kembali
membaca tulisan-tulisan Plato. Menurut Gadamer
hubungan antara pembaca dengan teks mirip seperti
hubungan dialog antara dua orang yang saling
berbicara. Dalam arti ini dialog kehilangan dimensi
rigorus saintifiknya, dan menjadi percakapan rasional
untuk memahami suatu persoalan. Selain itu
Gadamer juga membaca tulisan-tulisan Aristoteles,
terutama pada bagian etika. Gadamer menjadikan
etika sebagai dasar bagi hermeneutika. Tujuan
utamanya tetap yakni melepaskan hermeneutika dari
ilmu pengetahuan yang cenderung rigorus, saintifik,
dan sifatnya instrumental.
Pengertian Sebagai Kegiatan Pikiran[1]
Jika membaca tulisan-tulisan Gadamer
langsung, anda akan mendapatkan kesan bahwa ia
senang sekali bermain kreatif dengan bahasa untuk
menciptakan pemahaman-pemahaman baru.
Menurutnya bahasa tidak pernah bermakna tunggal.
Bahasa selalu memiliki beragam makna, dan itu
justru harus diakui dan dirayakan. Beragam makna di
dalam bahasa menandakan adanya sesuatu yang
bersifat esensial, tetap, dan universal di dalam bahasa
itu sendiri. Artinya bahasa itu memiliki sesuatu yang
sifatnya khas pada dirinya sendiri, dan lepas dari
pikiran manusia. Di dalam bahasa terdapat
pengertian, dan tugas hermeneutika adalah
memahami pengertian tersebut, dan membuka
kemungkinan bagi pemahaman-pemahaman baru.
Berdasarkan penelitian Jean Grodin,
hermeneutika, yakni proses untuk memahami teks,
memiliki tiga arti. Hermeneutika selalu terkait dengan
pengertian tentang realitas. Yang pertama pengertian
selalu terkait dengan proses-proses akal budi
(cognitive process). Untuk memahami berarti untuk
menyentuhnya dengan akal budi. Untuk memahami
berarti untuk melihatnya secara lebih jelas. Untuk
memahami berarti untuk menggabungkan pengertian
yang bersifat partikular dalam konteks yang lebih
luas. Untuk memahami sesuatu berarti untuk
menggenggamnya dengan kekuatan akal budi. Inilah
arti dasar dari hermeneutika sebagai proses untuk
memahami sesuatu, atau memahami teks.
Konsep pengertian atau pemahaman
(understanding) juga bisa diterapkan untuk
memahami realitas sosial. Inilah yang kiranya
menjadi argumen utama Wilhelm Dilthey, seorang
filsuf ilmu-ilmu sosial yang hidup pada abad ke-19. Di
dalam proses memahami realitas sosial, setiap bentuk
tindakan dan ekspresi seseorang selalu
mencerminkan apa yang dihayatinya di dalam
kehidupan. Inilah yang disebut Dilthey sebagai
pengalaman hidup (life experience). Pengalaman
hidup tersebut dapat dipahami melalui proses
rekonstruksi ulang yang dilakukan peneliti melalui
penelitiannya. Maka dari itu menurut saya, searah
dengan penelitian Dilthey, ilmu-ilmu sosial tidak
dapat menggunakan metode ilmu-ilmu alam, karena
tujuan ilmu-ilmu alam bukanlah memami
pengalaman hidup, melainkan mengkalkulasi yang
untuk mengeksploitasi dan memprediksi fenomena
alamiah. Konsep pengertian sendiri memang sudah
tertanam di dalam tradisi hermeneutika sejak lama.
Di dalam tradisinya hermeneutika berfokus pada
upaya untuk memahami teks-teks kuno, terutama
teks kitab suci. Konsep hermeneutika Gadamer juga
berakar pada tradisi tafsir teks-teks kitab suci ini.

Pengertian sebagai Kegiatan Praktis


Yang kedua hermeneutika selalu terkait
dengan pengertian yang bersifat praktis. Dalam arti
ini orang yang mengerti bukan hanya ia memahami
pengetahuan tertentu, tetapi juga memiliki
ketrampilan praktis untuk menerapkannya. Misalnya
anda adalah seorang guru yang baik. Artinya anda
tidak hanya memahami pengetahuan teoritis tentang
cara mengajar dan arti pengajaran itu sendiri, tetapi
mampu mengajar dengan baik. Seorang koki yang
baik tidak hanya memahami konsep teoritis bumbu,
tetapi juga mampu mengolahnya menjadi sebuah
masakan yang enak. Untuk memahami sudah selalu
mengandaikan mampu menerapkan.
Di dalam hidupnya manusia selalu mencari
arah baru untuk dituju. Untuk menemukan arah yang
tepat, manusia haruslah memiliki pengertian yang
tepat tentang dirinya sendiri. Hanya dengan
memahami diri secara tepatlah manusia bisa
mewujudkan potensi-potensinya semaksimal
mungkin. Di dalam proses merumuskan filsafatnya,
Gadamer sangat terpengaruh pada filsafat Heidegger,
terutama tentang fenomenologi adanya. Namun
Gadamer tidak mengikuti jalur yang telah dirintis
oleh Heidegger, yakni proses untuk memahami
eksistensi ada melalui manusia. Gadamer
memfokuskan hermeneutikanya lebih sebagai bagian
dari penelitian ilmu-ilmu manusia. Untuk memahami
manusia menurutnya, orang harus peduli dan mampu
memaknai manusia tersebut dalam konteksnya.
Kepedulian dan pemaknaan itu membuat tidak hanya
teks yang menampilkan dirinya, tetapi juga si peneliti
yang membentuk makna di dalam teks itu.
Dapat juga dikatakan bahwa filsafat Gadamer
lebih bersifat terapan, jika dibandingkan dengan
filsafat Heidegger. Sifat praktis ini diperoleh
Gadamer, ketika ia mulai secara intensif membaca
tulisan-tulisan Aristoteles tentang kebijaksanaan
praktis. Kebijaksanaan praktis juga melibatkan
pengertian tertentu. Dalam konteks pengertian ini,
penerapan adalah sesuatu yang amat penting.
Penerapan adalah soal tindakan nyata. Bertindak baik
tidak sama dengan memahami hakekat dari yang
baik, seperti yang dilakukan Plato di dalam
filsafatnya.[2]

Pengertian sebagai Kesepakatan


Gadamer juga berpendapat bahwa pengertian
selalu melibatkan persetujuan. Untuk mengerti
berarti juga untuk setuju. Di dalam bahasa Inggris,
kalimat yang familiar dapa dijadikan contoh, “we
understand each other”. Kata understand bisa berarti
mengerti atau memahami, dan juga bisa berarti saling
menyetujui atau menyepakati. Memang pengertian itu
tidak seratus persen berarti persetujuan, namun ada
hal-hal mendasar yang telah disetujui sebelumnya,
ketika orang mengerti. Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Grondin, ada dua alasan yang
mendorong Gadamer merumuskan pengertian
sebagai bagian dari persetujuan. Yang pertama bagi
Gadamer, untuk memahami berarti juga untuk
merekonstruksi makna dari teks sesuai dengan yang
dimaksud penulisnya. Di dalam proses pemahaman
itu, pembaca dan penulis teks memiliki kesamaaan
pengertian dasar (basic understanding) tentang
makna dari teks tersebut. Misalnya saya membaca
teks tulisan Immanuel Kant. Ketika membaca saya
tidak hanya mencoba memahami secara pasif tulisan
Kant, namun pemikiran saya dan pemikiran Kant
bertemu dan menghasilkan persetujuan dasar.
Pemahaman atau pengertian dasar (basic
understanding) itu disebutnya sebagai sache, atau
subyek yang menjadi tema
pembicaraan. Sache inheren berada di dalam setiap
proses pembacaan ataupun proses dialog. Dalam arti
ini proses sache tidak lagi berfokus untuk
membangkitkan maksud asli dari penulis teks,
melainkan berfokus pada tema yang menjadi
perdebatan yang seringkali berbeda dengan maksud
asli si penulis teks. Di dalam hermeneutika
tradisional, tujuan utamanya adalah membangkitkan
maksud asli pengarang. Namun di dalam
hermeneutika Gadamer, maksud asli pengarang
hanyalah hal sekunder. Yang penting adalah apa yang
menjadi tema utama pembicaraan. Dan tema utama
pembicaraan (subject matter) itu dapat terus
berubah. Maksud asli pengarang tetap ada. Namun
kita hanya dapat mengerti maksud tersebut, jika kita
memiliki beberapa pengertian dasar yang sama
dengan pengarang. Namun tetaplah harus diingat,
bahwa fokus dari hermeneutika, atau proses
menafsirkan, menurut Gadamer, adalah untuk
membangkitkan makna tentang tema utama
pembicaraan, dan tidak semata-mata hanya untuk
menjelaskan maksud asli dari penulis teks.[3]
Yang kedua menurut Gadamer, setiap bentuk
persetujuan selalu melibatkan dialog, baik dialog
aktual fisik, ataupun dialog ketika kita membaca satu
teks tulisan tertentu. Di sisi lain persetujuan juga
selalu melibatkan bahasa dan percakapan. Inilah yang
disebut Gadamer sebagai aspek linguistik dari
pengertian manusia (linguistic elements of
understanding). Dalam arti ini untuk memahami
berarti untuk merumuskan sesuatu dengan kata-kata,
dan kemudian menyampaikannya dengan kejernihan
bahasa. Bagi Gadamer elemen bahasa untuk
mencapai pengertian ini sangatlah penting. Bahkan ia
berpendapat bahwa pengalaman penafsiran
(hermeneutic experience) hanya dapat dicapai di
dalam bahasa. Maka perlulah ditegaskan bahwa bagi
Gadamer, tindak memahami selalu melibatkan
kemampuan untuk mengartikulasikannya di dalam
kata-kata dan menyampaikannya di dalam
komunikasi. Di dalam proses ini, peran bahasa
sangatlah penting.
Namun begitu bukankah tidak semua hal dapat
disampaikan dengan kata-kata? Seringkali kita
mengerti sesuatu, tetapi tidak bisa
mengartikulasikannya secara jernih melalui bahasa.
Misalnya saya mengerti sebuah simbol. Saya juga bisa
memahami keindahan dari suatu karya seni. Saya
juga bisa memahami keindahan suatu musik. Tidak
hanya itu seringkali perasaan dan bahkan kebenaran
itu sendiri tidak dapat dikurung di dalam rumusan
kata-kata. Di dalam bukunya yang berjudul The Truth
and Method, Gadamer berpendapat bahwa para
seniman, termasuk pelukis, pematung, dan pemusik,
tidak pernah mampu menyampaikan apa yang
mereka pikirkan dan rasakan dengan menggunakan
kata-kata. Sebaliknya bagi mereka kata-kata adalah
sesuatu yang sifatnya reduktif, karena menyempitkan
makna di dalam rumusan yang tidak dinamis.
Jika bahasa tidak lagi bermakna, lalu
bagaimana proses pengertian atau memahami bisa
terjadi? Menurut Gadamer bahasa memiliki arti yang
lebih luas daripada sekedar kata-kata. Dalam
beberapa kasus tarian dan bahkan diam juga bisa
menjadi sebentuk bahasa yang menyampaikan pesan
tertentu. Semua bentuk komunikasi itu bisa membuka
ruang untuk penafsiran dari pendengar ataupun
penerima pesan. Tentu saja orang bisa salah tangkap,
sehingga tercipta kesalahpahaman. Namun hal itu
terjadi, karena orang tidak mampu menyampaikan
apa yang perlu disampaikan. Maka dari itu di dalam
komunikasi, kita perlu memperhatikan juga apa yang
tak terkatakan, di samping juga mendengarkan apa
yang terkatakan. Dengan demikian walaupun sifatnya
terbatas, namun bahasa, dalam arti luas, merupakan
alat komunikasi yang universal untuk mencapai
pemahaman.
Konsep Lingkaran Hermeneutis[4]
Gadamer juga dikenal dengan argumennya soal
proses penafsiran, atau yang disebutnya sebagai
lingkaran hermeneutis. Argumennya begini setiap
bentuk penafsiran selalu mengandaikan pengertian
dasar tertentu. Pengertian dasar itu disebut Gadamer
sebagai antisipasi. Konsep lingkaran hermeneutis ini
sangatlah dipengaruhi oleh filsafat Heidegger. Oleh
karena itu konsep lingkaran hermeneutis yang
dirumuskan Gadamer sangatlah berbau
fenomenologi. Seperti sudah sedikit disinggung,
menurut Gadamer, setiap bentuk penafsiran untuk
memperoleh pemahaman selalu melibatkan
pemahaman dasar lainnya. Artinya untuk memahami
kita juga memerlukan pemahaman. Tentu saja dari
sudut logika, hal ini tidak bisa diterima. Logika
berpikir menolak sebuah penjelasan atas suatu
konsep yang terlebih dahulu mengandaikan konsep
tersebut, seperti untuk menafsirkan guna memahami
sesuatu, orang perlu memiliki pemahaman. Namun
jika dilihat secara fenomenologis, seperti yang
dilakukan Heidegger dan Gadamer, hal itu mungkin.
Dasar dari hermeneutika Gadamer adalah
sebuah logika klasik, bahwa orang bisa memahami
keseluruhan dengan terlebih dahulu memahami
bagian-bagiannya. Hal yang sama dapat diterapkan
untuk memahami suatu teks. Maksud utama dari
keseluruhan teks dapat dipahami dengan berpusat
pada bagian-bagian teks tersebut, dan sebaliknya
bagian-bagian teks itu dapat dipahami dengan
memahami keseluruhan teks. Tujuan utama Gadamer
adalah untuk memahami teks di dalam kerangka
berpikir yang lebih menyeluruh, dan bukan hanya
terjebak pada apa yang tertulis atau terkatakan saja.
Teks harus ditempatkan dalam konteks yang lebih
luas yang tentunya melibatkan teks-teks lainnya. Ini
adalah salah satu kriteria untuk mendapatkan
pemahaman yang tepat, menurut Gadamer.[5]
Pengandaian hermeneutika Gadamer adalah,
bahwa keseluruhan (whole) dan bagian (parts) selalu
koheren. Supaya dapat memperoleh pemahaman
yang tepat, si pembaca teks haruslah memahami
koherensi antara makna keseluruhan dan makna
bagian dari teks tersebut. Setiap bentuk pemahaman
juga mengandaikan adanya kesepakatan tentang tema
apa yang sebenarnya ingin dipahami. Jika
kesepakatan tentang tema apa yang sebenarnya
sungguh dipahami ini tidak ada, maka proses
penafsiran akan menjadi tidak fokus. Jika sudah
begitu maka pemahaman yang tepat pun tidak akan
pernah terjadi.
Jika dilihat dengan kaca mata ini, maka konsep
lingkaran hermeneutis yang dirumuskan Gadamer
tetap mengandung unsur logika yang tinggi.
Tidak hanya itu proses untuk memahami keseluruhan
melalui bagian, dan sebaliknya, adalah proses yang
berkelanjutan. Pemahaman adalah sesuatu yang
harus terus menerus dicari, dan bukan sesuatu yang
sudah ditemukan lalu setelah itu proses selesai.
Dalam arti ini Gadamer memiliki perbedaan
mendasar dari Heidegger. Obyek penelitian
hermeneutik Heidegger adalah eksistensi manusia
secara keseluruhan. Sementara obyek penelitian
Gadamer lebih merupakan teks literatur. Gaya
Heidegger adalah gaya eksistensialisme. Sementara
Gadamer lebih berperan sebagai seorang filolog yang
hendak memahami suatu teks kuno beserta
kompleksitas yang ada di dalamnya.
Bagi Heidegger fokus dari pengertian manusia
adalah untuk memahami masa depan dari eksistensi
manusia. Sementara bagi Gadamer fokus dari
pengertian adalah upaya untuk memahami masa lalu
dari teks, serta arti sebenarnya dari teks tersebut.
Juga bagi Heidegger proses menafsirkan untuk
memahami sesuatu selalu mengandaikan pemahaman
yang juga turut serta di dalam proses penafsiran
tersebut. Artinya untuk memahami orang perlu untuk
memiliki pemahaman dasar terlebih dahulu.
Sementara bagi Gadamer konsep lingkaran
hermeneutis mencakup pemahaman bagian-bagian
melalui keseluruhan, dan sebaliknya. Maksud utuh
dari teks dapat dipahami dengan memahami bagian-
bagian dari teks tersebut. Dan sebaliknya bagian-
bagian dari teks dapat dipahami dengan terlebih
dahulu memahami maksud keseluruhan dari teks
tersebut.
Di sisi lain seperti sudah disinggung
sebelumnya, fokus dari proses penafsiran
(hermeneutika) dari Heidegger adalah eksistensi
manusia. Sementara fokus dari hermeneutika
Gadamer adalah teks literatur dalam arti
sesungguhnya.[6] Dalam arti ini fokus dari
hermeneutika Heidegger adalah membentuk manusia
yang otentik, yakni membantu menemukan tujuan
dasar dari eksistensi manusia. Sementara bagi
Gadamer fokus dari hermeneutika adalah
menemukan pokok permasalahan yang ingin
diungkapkan oleh teks. Namun keduanya sepakat
bahwa musuh utama dari proses penafsiran untuk
mencapai pemahaman adalah prasangka. Prasangka
membuat orang melihat apa yang ingin mereka lihat,
yang biasanya negatif, dan menutup mata mereka dari
kebenaran itu sendiri, baik kebenaran di level
eksistensi manusia, maupun kebenaran yang
tersembunyi di dalam teks.
Walaupun banyak memiliki perbedaan, namun
Gadamer dan Heidegger setidaknya identik dalam
satu hal, yakni bahwa proses lingkaran hermeneutik
sangatlah penting di dalam pembentukan
pemahaman manusia. Dengan demikian kita bisa
memastikan, bahwa walaupun filsafat Heidegger
sangat mempengaruhi pemikiran Gadamer, namun
keduanya tidaklah sama. Gadamer memang
mendapatkan banyak sekali inspirasi dari Heidegger.
Namun ia kemudian mengembangkannya serta
menerapkannya pada hal yang lebih spesifik, yakni
proses penafsiran tekstual di dalam literatur dan
filsafat. Inilah inti dari Hermeneutika Gadamer. Ia
memberikan kepada kita prinsip-prinsip untuk
menafsirkan teks-teks dari masa lalu. Dan dengan itu
ia membantu kita memahami apa artinya menjadi
manusia dengan berdasarkan pada historisitas
kehidupan itu sendiri.***

Paul Ricoeur
Ricoeur yang berlatar belakang pandangan Katholik, memiliki prespektif kefilsafatan yang beralih dari
analisis eksistensial ke analisis eidetik (pengamatan yang sedemikian mendetil), fenomenologis, historis,
hermeneutik hingga pada akhirnya semantik.

Ia mengatakan bahwa pada dasarnya keseluruhan filsafat itu adalaha interpretasi terhadap interpretasi,
seperti yang dikutip dari Nietzsche, ia menyatakan bahwa hidup itu sendiri adalah interpretasi (Ricoeur,
1974:12)

Bilamana ada pluralitas makna, maka dibutuhkan sebuah interpretasi, demikian pula jika simbol-simbol
mulai dilibatkan. Setiap interpreatsi adalah usaha untuk membongkar makna-makna yang masih
terselubung.

Menurut Riceour, setiap kata merupakan sebuah simbol yang penuh dengan makna dan intensi yang
tersembunyi. Jadi tidaklah heran jika menurut Riceour tujuan hermeneutik adalah menghilangkan misteri
yang terdapat dalam sebuah simbol dengan cara membuka selubung daya-daya yang belum diketahui dan
tersembunyi di dalam simbol-simbol tersebut (Montifiore, 1983:192)

Salah satu sasaran yang hendak dituju oleh berbagai macam hermeneutik adalah ‘perjuangan melawan
distansi kultural’, yaitu penafsir harus mengambil jarak supaya ia dapat membuat interpretasi dengan baik.

Jika pembahasan interpretasi hanya terbatas pada simbol-simbol maka ini menjadi terlalu sempit, Riceour
kemudian memperluas definisi tersebut dengan menambahkan ‘perhatian kepada teks’. Teks sebagai
penghubung bahasa isyarata dan simbol-simbol dapat membatasi ruang lingkup hermeneutik karena
budaya oral dapat dipersempit.

Tugas utama hermeneutik di satu pihak adalah mencari dinamika internal yang mengatur struktural kerja di
dalam suatu teks, dan di lain pihak mencari daya yang dimiliki kerja teks itu untuk memproyeksikan diri
keluar.

Definisi pasti tentang hermeneutik menurut Ricoeur adalah teori pengoperasian pemahaman dalam
hubungannya dengan interpretasi terhadap teks (Ricoeur, 1985:43).

Baginya manusia pada dasarnya adalah bahasa dan bahas itu sendiri merupakan syarat utama bagi semua
pengalaman manusia.
Penjelasan struktural suatu teks cenderung bersifat obyektif, sedangkan penjelasan hermeneutik memberi
kita kesan subyektif, di sinilah didapati dikotomi antara obyektifitas dan subyektifitas yang menimbulkan
problem. Dikotomi antara ‘penjelasan’ dan ‘pemahaman’ sangat tajam, yaitu untuk memahami sebauh
percakapan kita harus kembali pada struktur permulaannya. Kebenaran dan metode dapat menimbulkan
proses dialektis.

Otonomi teks ada tiga macam: intensi atau maksud pengarang, situasi kultural dan kondisi sosial
pengadaan teks, dan untuk siapa teks itu dimaksudkan.
Menurut Ricoeur ada tiga langkah pemahaman, yaitu yang berlangsung dari penghayatan atas simbol-
simbol ke gagasan tentang ‘berpikir dari’ simbol-simbol. Langkah pertama adalah langkah simbolik atau
pemahaman dari simbol ke simbol, langkah kedua adalah pemberian makna oleh simbol serta penggalian
yang cermat atas makna, langkah ketiga adalah langkah yang benar-benar filosofis yaitu berpikir dengan
menggunakan simbol sebagai titik tolaknya.

Pemahaman yang pada dasarnya adalah ‘cara berada’ (mode of being) atau ‘cara menjadi’ hanya bisa
terjadi pada tingkat pengetahuan yaitu pada teori tentang pengetahuan atau Erkenntnistheorie.

Ada empat tema yang diketengahkan oleh Ricoeur, tema pertama adalah tidak ada titik nol saat kritik tuntas
dapat mulai dilakukan. Tema kedua adalah tidak ada pandangan umum menyeluruh yang memberi kita
kemungkinan untuk memahami totalitas akibat sejarah hanya dalam waktu sekejap saja. Tema ketiga
adalah jika tidak ada pandangan ang menyeluruh, maka tidak akan ada situasi yang secara mutlak
membatasi kita. Tema keempat adalah perpaduan antarcakrawala.

Percikan Gagasan Paul Ricoeur tentang Hermeneutik

1. Latar Belakang Pemikiran Paul Ricoeur tentang Hermeneutik


Paul Ricoeur adalah filsuf yang menekankan pandangan Katolik. Ada dugaan bahwa keseluruhan
filsafatnya pada akhirnya terarah kepada hermeneutik, terutama pada interpretasi. Bagi dia
sebenarnya keseluruhan filsafat merupakan interpretasi terhadap interpretasi. Bilamana terdapat
pluralitas makna, maka di situ interpretasi dibutuhkan. Dia juga menegaskan bahwa “filsafat pada
dasarnya adalah sebuah hermeneutik, yaitu kupasan tentang makna yang tersembunyi dalam teks
yang kelihatan mengandung makna.” Setiap interpretasi merupakan usaha untuk “membongkar”
makna-makna yang masih terselubung atau usaha membuka lipatan-lipatan dari tingkat-tingkat
makna yang terkandung dalam makna kesusastraan.
Hermeneutik dan interpretasi tidak pernah lepas dari simbol-simbol. Salah satu simbol adalah
bahasa. Di sini batasan pembahasannya terletak pada usaha menafsirkan bahasa tulisan yang
tertuang dalam kata-kata. Kata-kata sebagai sebuah simbol memiliki makna dan intensi tertentu.
Maka, tujuan hermeneutik adalah menghilangkan misteri yang terdapat dalam sebuah simbol (kata-
kata) dengan cara membuka selubung daya-daya yang belum diketahui dan tersembunyi di dalam
simbol-simbol tersebut. Adanya simbol, mengundang kita untuk berpikir sehingga simbol itu sendiri
menjadi kaya akan makna dan kembali kepada maknanya yang asli. Hermeneutik membuka makna
yang sesungguhnya, sehingga dapat mengurangi keanekaan makna dari simbol-simbol. Jadi,
kekayaan sebuah simbol justru ditemukan dalam maknanya yang sejati sehingga tidak
menimbulkan multi-tafsir.
2. Kata dan Makna
Telah kita lihat bersama bahwa, sebuah kata adalah juga sebuah simbol, sebab kedua-duanya
sama-sama menghadirkan sesuatu yang lain. Setiap kata pada dasarnya bersifat konvensionaldan
tidak membawa maknanya sendiri secara langsung bagi pembaca atau pendengarnya. Lebih jauh
lagi, orang yang berbicara membentuk pola-pola makna secara tidak sadar dalam kata-kata yang
dikeluarkannya. Pola-pola makna ini secara luas memberikan gambaran tentang konteks hidup dan
sejarah orang tersebut. Sebuah kata mengandung konotasi yang berbeda bergantung pada konteks
pemakainya, misalnya kata “pohon” akan mempunyai makna yang bermacam-macam bergantung
pada pembicaranya: apakah ia seorang penebang kayu, penyair, ekologist, petani dan sebagainya.
Bahkan meskipun benar juga bahwa makna dapat diturunkan dari konteks yang terdapat dalam
sebuah kalimat, namun konteks pun bermacam-macam menurut zamannya. Karena itu, istilah-
istilah memiliki makna ganda. Dasarnya adalah tradisi dan kebudayaan setempat.
Menurut Ricoeur, agar bisa sampai kepada penafsiran yang tepat, maka seorang penafsir harus
mengambil jarak tertentu dengan obyek tafsiran. Inilah yang disebut oleh Ricoeur sebagai
“perjuangan melawan distansi kultural”. Usaha ini tidak mudah. Acapkali seorang penafsir
membawa juga struktur-struktur yang sudah “jadi” tentang obyek tafsir sehingga sebelum menafsir
sudah ada “warna” yang diberikan kepada obyek tersebut. Kalau sampai pewarnaan itu terjadi
maka ada kemungkinan usaha untuk mencapai makna yang sejati akan menemui kendala. Kita bisa
tersesat dengan memberi makna (bisa lain sama sekali) kepada obyek dan bukannya memetik
makna yang sudah ada dalam obyek tersebut.
3. Ruang Lingkup Hermeneutik
Bila hermeneutik didefinisikan sebagai interpretasi terhadap simbol-simbol, kiranya terlalu sempit.
Ricoeur memperluas definisi tersebut dengan ajakan memberi “perhatian kepada teks”. Teks
sebagai penghubung bahasa isyarat dan simbol-simbol dapat membatasi ruang lingkup hermeneutik
karena budaya oral dapat dipersempit.
Ia menyatakan bahwa tugas utama hermeneutik ialah di satu pihak mencari dinamika internal yang
mengatur struktural kerja teks itu untuk memproyeksikan diri ke luar dan memungkinkan “hal”nya
teks itu muncul ke permukaan. Dalam hal ini kita sebaiknya mengikuti definisi yang diajukan oleh
Ricoeur tentang hermeneutik, yaitu teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan
interpretasi terhadap teks.
Setiap kali kita membaca sebuah teks selalu berhubungan dengan masyarakat, tradisi ataupun
aliran yang hidup dari bermacam-macam gagasan. Walaupun demikian, sebuah teks harus kita
tafsirkan dalam bahasa yang tidak pernah tanpa pengandaian dan diwarnai dengan situasi kita
sendiri dalam kerangka waktu yang khusus. Kesenjangan ini mendorong Ricoeur untuk mengatakan
bahwa sebenarnya sebuah teks itu mempunyai tempat di antara penjelasan struktural dan
pemahaman hermeneutik yang berhadapan satu dengan yang lain. Bagaimana dilema ini kita
pecahkan?
Sebuah teks pada dasarnya bersifat otonom untuk melakukan “dekontekstualisasi” (= proses
‘pembebasan’ diri dari konteks), baik dari sudut sosiologis maupun psikologis, serta untuk
melakukan “rekontekstualisasi” (= proses masuk kembali ke dalam konteks) secara berbeda
didalam tindakan membaca. Dikotomi antara ‘penjelasan’ dan ‘pemahaman’ itu tajam, yaitu untuk
memahami sebuah percakapan kita harus kembali pada struktur permulaannya. Kebenaran dan
metode dapat menimbulkan proses dialektis.
Tugas hermeneutik menjadi sangat berat sebab hermeneut harus membaca “dari dalam” teks tanpa
masuk atau menempatkan diri dalam teks tersebut dan cara pemahamannya pun tidak dapat lepas
dari kerangka kebudayaan dan sejarahnya sendiri. Maka, untuk dapat berhasil dalam usahanya, ia
harus dapat menyingkirkan distansi yang asing, harus dapat mengatasi situasi dikotomis, serta
harus dapat memecahkan pertentangan tajam antara aspek-aspek subyektif dan obyektif.
Otonomi teks ada tiga macam: intensi atau maksud pengarang, situasi kultural dan kondisi
pengadaan teks, dan untuk siapa teks itu dimaksudkan. Atas dasar otonomi ini, maka yang
dimaksudkan dengan “dekontekstualisasi” adalah bahwa materi teks “melepaskan diri” dari
cakrawala intensi yang terbatas dari pengarangnya. Teks tersebut membuka diri terhadap
kemungkinan dibaca secara luas, di mana pembacaannya selalu berbeda-beda, inilah yang
dimaksudkan dengan “rekontekstualisasi”. Sebagai contoh, Kitab Suci Injil menyajikan contoh-
contoh teks yang berasal dari zaman yang berbeda dengan zaman kita, namun masih juga kita
rasakan relevan atau dapat kita terapkan pada semua hikayat dan persitiwa pada masa mendatang.
Jika Injil tidak dapat diterapkan pada zaman kita ini, maka tidak mungkin kita sampai saat ini masih
mendiskusikannya. Injil seringkali kita bayangkan sebagai sebuah “kitab yang hidup”, yang isinya
dapat dinikmati oleh setiap generasi. Pembaca Injil tidak “membaca ke dalam” teks, melainkan ia
merelakan dirinya “dirasuki” Injil. Inilah kiranya yang dimaksudkan oleh Ricoeur dengan
pernyataannya: “Memahami bukanlah berarti memproyeksikan diri ke dalam teks, melainkan
membuka diri terhadapnya”.
Pertanyaan kita sekarang adalah adakah interpretasi itu mempunyai titik akhir? Menurut Ricoeur,
Tidak. Interpretasi selalu bersifat terbuka. Jika kita mendapat titik akhir sebuah interpretasi, ini
berarti “pemerkosaan” terhadap interpretasi.
4. Refleksi
Berdasarkan gagasan yang dikemukakan oleh Ricoeur kami menemukan faedah hermeneutik dalam
kehidupan sehari-hari, khususnya bagi kita yang setiap harinya berhadapan dengan teks-teks kitab
suci.
Latar belakang Ricoeur sebagai penganut katolik yang setia menjadi cerminan bagi kami dalam
mempelajari dan mendalami isi teks kitab suci. Ia membantu dalam menggali makna otentik dari
sebuah teks. Bahwa “perhatian kepada sebuah teks” tidak semata-mata terletak pada pemahaman
hurufiah, tetapi mendalami aspek-aspek di balik teks yang kelihatan, misalnya tentang pengarang
dengan situasi dan konteks kebudayaan dan orang-orang sezamannya beserta tujuan dan kepada
siapa tulisan itu hendak diberikan.
Selain itu, Ricoeur mengajak kita untuk tidak berhenti pada penemuan makna yang otentik dari
sebuah teks. Lebih jauh ia mengingatkan kita untuk menangkap pesan atau relevansinya dengan
konteks kehidupan kita sendiri. Dengan proses penafsiran seperti ini, maka benar bahwa tugas
penafsiran itu tidak akan pernah berakhir. Setiap orang dari generasi ke generasi dengan situasi
zamannya, akan terus menggali intensi dari teks yang satu dan sama dengan maknanya yang tetap
otentik. Berakhirnya sebuah penafsiran justru terjadi jika orang tidak lagi mau berpikir. Dan bila
orang tidak lagi mau berpikir, itu berarti ia menyangkal hakekatnya sebagai “homo rationes”.

Pendahuluan
Mengkaji aplikasi hermeneutika dalam tradisi Islam tidak terlepas dari tokoh Nars Hamid Abu Zayd. Pemikir
ini sangat terkenal di dunia dan di Indonesia, juga menjadi rujukan para akademisi. Buku-bukunya telah
banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Adalah menarik menyimak bagaimana Nasr Hamid memandang teks al-Quran, sebagaimana dia paparkan
dalam berbagai bukunya, terutama dalam Mafhum an-Nas Dirasah fii Uluum al-Quran dan Naqdu al-Khitab
ad-Dini. Konsep Nasr Hamid ini membawa dampak pada metode penafsiran teks al-Quran, di mana ia
mengkritisi metode tafsir Ahlu Sunnah yang menurutnya tidak sesuai dengan konteks kekinian. Tulisan ini
akan coba menguraikan biorafi Nasr Hamid Abu Zayd, Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd; Teori Makna
dan Signifikansi (‫ )الدللة والمغزى‬dan Posisinya dalam Hermeneutika Barat, Aplikasi Teori Hermeneutika Nasr
Hamid Abu Zayd, dan Analisis Kritis Atas Teori Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd.
Biografi
Nasr Hamid Abu Zayd lahir di Tantra, Mesir pada 10 Juli 1943. Dia menyelesaikan gelar BA pada 1972
konsentrasi Arabic Studies, gelar MA pada tahun 1977 dan PhD pada 1981 dengan konsentrasi Islamic
Studies di Universitas Kairo. Dia bekerja sebagai dosen di Universitas yang sama sejak 1982. Pada tahun
1992, dia dipromosikan sebagai profesor, tetapi ditolak karena hasil kerja dan pemikirannya yang
kontroversial, diantaranya menghujat para sahabat, terutama Uthman Ibn ‘Affan. Menurutnya, Utsman Ibn
‘Affan, mempersempit bacaan Alquran yang beragam menjadi satu versi, Quraysh.[1] Belakangan ia divonis
“murtad”, dikenal dengan peristiwa “Qadiyyah Nasr Hamid Abu Zayd”. “Pemurtadan” Nasr tidak berhenti
sampai di situ, tetapi masih terus berlanjut hingga pengadilan banding Kairo menetapkan Nasr harus
menceraikan istrinya. Tindakan ini menurutnya sebagai upaya melanggengkan hegemoni kaum Quraysh
terhadap kaum muslimin. Semenjak peristiwa itu, dia meninggalkan Mesir dan menetap di Netherlands
bersama istrinya. Awalnya, di Netherland Nasr menjadi profesor tamu studi Islam pada Universitas Leiden
sejak 26 Juli 1995, hingga 27 Desember 2000 dikukuhkan sebagai Guru Besar Tetap di Universitas
tersebut.[2]
Nasr Hamid Abu Zayd merupakan ilmuwan muslim yang sangat produktif, Ia menulis lebih dari dua puluh
sembilan (29) karya sejak tahun 1964 sampai 1999, baik berbentuk buku, maupun artikel. Ada sembilan
karyanya yang penting dan sudah dipublikasikan, yaitu:

1. The al- Qur’an: God and Man in Communication (Lcidcn, 2000).


2. Al-Khitab wa al-Ta’wil (Dar el-Beida, 2000)
3. Dawair al-Kawf Qira’ah fi al-Khitah al-Mar’ah (Dar el-Beidah, 1999 )
4. AI-Nass. al-Sultah, al-Haqiqah: a/-Fikr al-Diniy bayna lrdaat al Ma’rifah wa lradat al-
Haymanah (Cairo, 1995)
5. AI- Tafkir fi Zaman al- Tafkir: Didda al-.lahl wa al-Zayf wa al Khurafah (Cairo, 1995)
6. Naqd al-Khitab al-Diniy (Cairo, 1994)
7. Mafhum al-Nash: Dirasah fi ‘Ulum Alquran (1994) (Cairo, 1994)
8. Fa/safat a/-Ta’wi!: Dirasah fi a/-Ta’wi! al-Qur ‘an ‘ind Muhyi a/-Din Ibn ‘Arabiy(Beirut, 1993)
9. AI-lttijah al-’Aqli fi al-Tafsir: Dirasah Qaqiyyat al-Majaz fi al -Qur ‘an (Beirut, 1982)

Nasr Hamid Abu Zayd hidup dalam hegemoni wacana agama Islam yang ”terisolasi” dari dunia ilmu
pengetahuan Barat. Perhatiannya yang sangat besar di bidang interpretasi (tafsir) Alquran rnendorongnya
untuk bereksplorasi dengan filsafat Barat, seperti rasionalisme, kritisisme, Fenomenologi dan hermeneutika.
Hasil eksplorasinya memunculkan beragam tudingan miring. Tuduhan-tuduhan tersebut muncul sebagai
reaksi terhadap tulisan-tulisan Nasr tentang interpretasi Alquran.[3]

Pemikiran Nasr yang kontroversial tersebut sebagai produk latar


belakang pendidikan dan pemikiran keagamaannya. Meskipun Nasr sekolah di sekolah Teknik, bahkan ia
pernah bekerja sebagai teknisi elektronik di Organisasi Komunikasi Nasional, tetapi ia telah hafal Al quran
sejak usia 8 tahun. Barangkali ini yang menjadi penyebab mengapa ia memiliki perhatian yang cukup besar
terbadap interpretasi Alquran. Sementara itu mengapa Nasr tertarik untuk menafsirkan Alquran dengan
menggunakan teori kritik sastra? Hal ini dapat dimengerti karena Nasr mendapat gelar SA di bidang bahasa
dan sastra Arab pada fakultas sastra Universitas Kairo. Kemudian ia melanjutkan studi di bidang yang sama
di Universitas Amerika di Mesir. Selanjutnya ia juga concern melakukan kajian terhadap wacana
keagamaan, karena studi pascasarjananya, baik S-2 maupun S-3 mengambil konsentrasi bahasa
Arab dan Islamic Studies.
Selain itu, sejak usia 11 tahun, ia juga bergabung dengan Ikhwan al-Muslimin. Ikhwan al-Muslim adalah
organisasi Islam yang beranggotakan Islamis moderat. Bergabungnya Nasr dalam organisasi tersebut
sedikit banyak berpengaruh terhadap cara pandangnya terhadap Islam.
Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd : Teori Makna dan Signifikansi (‫ )الدللة والمغزى‬Serta Posisinya
dalam Hermeneutika Barat
Kehadiran teks dalam tradisi keagamaan telah membawa pengaruh dan implikasi yang cukup besar bagi
perkembangan intelektual, kebudayaan dan peradaban. Tradisi Arab-Islam nampak memiliki “tradisi teks”
yang cukup kuat ketimbang peradaban yang lain. Perhatian yang diberikan oleh para pengkaji Islam dalam
menelaah tradisi Arab-Islam dari dulu sampai dewasa ini, banyak difokuskan kepada pembacaan teks-teks
tersebut. Menurut Nasr Hamid Abu Zayd, hal ini dilatarbelakangi suatu asumsi bahwa peradaban dunia
dapat diandaikan kepada tiga kategori, yaitu peradaban Mesir Kuno yang disebut “peradaban (yang muncul)
pasca kematiannya” (hadlârah mâ ba’da al-maut ), peradaban Yunani disebut “peradaban akal” (hadlârah
al-‘aql) , sedangkan peradaban Arab-Islam dikategorikan sebagai “peradaban teks” ( hadlârah an-nash).[4]
Peradaban Arab-Islam disebut peradaban teks dalam pengertian sebagai peradaban yang menegakkan
asas-asas epistemologi dan tradisinya atas suatu sikap yang tidak mungkin mengabaikan peranan teks di
dalamnya. Kendati demikian, ini tidak berarti bahwa teks itu sendiri yang menumbuh-kembangkan
peradaban atau meletakkan asas-asas kebudayaan dalam sejarah masyarakat Muslim. Sesungguhnya
faktor utama yang melandasi dan menjadi asas epistemologi dari suatu kebudayaan adalah proses
dialektika antara manusia dengan realitasnya (jadal al-insân ma’a al-wâqi’i) yang meliputi aspek sosial,
ekonomi, politik dan budaya pada satu sisi, dan proses dialog kreatif manusia yang terjalin dengan teks ( wa
hiwâruhu ma’a an-nash) pada sisi yang lain.[5] Realitas sebagai sebuah “teks” seperti konteks kesejarahan
manusia, begitu pula teks-teks liturgis keagamaan yang lain seperti Alquran, hadis, kitab tafsir, syarah
hadis, fiqih, tasawuf dan falsafah telah berperan sebagai instrumen yang melengkapi lahirnya kebudayaan
dan peradaban masyarakat Arab-Islam.
Hermeneutika berhubungan dengan problem penafsiran dan problem ini terfokus pada relasi antara teks
dan penafsir. Nasr Hamid Abû Zayd menawarkan hermeneutika modern sebagai respons terhadap tradisi
penafsiran teks klasik yang mengabaikan eksistensi penafsir. Teori penafsiran Nasr Hamid Abû Zayd
bersifat objektif-historis dari teks, yaitu bahwa proses penafsiran dan kegiatan pengetahuan secara umum
selalu ditujukan untuk mengungkapkan berbagai kenyataan yang memiliki keberadaan objektif di luar
horison subjek pembacaan. Apabila horison pembaca membatasi sudut pandangnya, maka data-data teks
tidak berposisi sebagai penerima pasif terhadap orientasi-orientasi subjek yang mengetahui. Hal ini berarti,
bahwa pembacaan dan aktivitas intelektual yang benar pada umumnya, didasarkan pada dialektika (‫)جدلية‬
kreatif antara subjek dan objek.
‫ و هلذه العلقلة تنتلج التأويلل عللى‬.‫ تقوم على الجدليلة خصلبة خلقلة بيلن اللذات والموضلوع‬،‫ والنشاط المعرفى الحق عموما‬،‫و هذا معنى ان القرأة الحقة‬
6].‫]مستوى درس النصوص والظواهرعلى السواء‬
“Hal ini berarti bahwa pembacaan dan aktivitas intelektual yang benar pada umumnya didasarkan pada
dialektika yang produktif dan kreatif antara subjek dan objek. Hubungan ini menghasilkan interpretasi baik
pada level pengkajian teks maupun terhadap fenomena.”
Hermeneutika objektif-historis merupakan bentuk kritik terhadap pembacaan tendensius (talwîn). Sementara
ideologisasi dihasilkan dari kecenderungan subjektif-oportunistik (an-naz’ah aí-íâtiyah an-naf’iyah) dan telah
menggugurkan sudut objektif teks dan historisitas teks, dan bentuk kritik terhadap kecenderungan
positivistik-formalistik (an-naz’ah al-wad’iyah asy-syakliyah) yang menyembunyikan orientasi-orientasi
ideologis di bawah jargon “objektif ilmiah” (‫)الموضوعية العلمية‬.
Hermeneutika objektif-historis Abû Zayd adalah gagasan kritis berdasarkan argumentasi sebagai berikut.
Abû Zayd banyak memanfaatkan pendekatan linguistik melalui kritik sastra, karena karakter bahasa kitab
suci dan historisitasnya dikaji melalui pendekatan linguistik yang dikonsepsikan oleh Ferdinand de
Saussure dan pendekatan makna yang dibahas oleh Hirsch. Konsep parole dan langue dalam kategori
semiotika diterapkan untuk membahas al-Qur’ân sebagai parole dan teks sebagai langue.[7] Teori
interpretasi Abû Zayd dipengaruhi oleh hermeneutika E.D. Hirsch.[8] Hirsch menjelaskan keberadaan
pengarang di hadapan berbagai pendapat yang mengabaikannya. Hirsch berpendapat bahwa pengabaian
terhadap pengarang timbul dari konsep (imagination) yang menyatakan bahwa makna karya sastra akan
berbeda dari satu kritikus ke kritikus yang lain, dari satu masa ke masa yang lain, bahkan menurut
pengarangnya sendiri makna itu akan berbeda dari satu periode ke periode yang lain.[9]
Menurut Ahmad Hasan Ridwan, untuk mengatasai problem yang dilematis ini, Hirsch membuat pembedaan
atau pemisahan antara apa yang disebut makna (meaning) dan apa yang disebut magzâ (signifikansi).
Hirsch berpendapat bahwa signifikansi sebuah teks sastra terkadang berbeda-beda atau beragam, tetapi
maknanya tetap satu. Dalam hal ini, dia berpendapat adanya dua tujuan yang terpisah yang masing-masing
terkait dengan dua bidang yang berbeda. Bidang dan tujuan kritik sastra adalah mencari signifikansi teks
sastra yang sesuai dengan satu masa tertentu, sedangkan teori penafsiran bertujuan untuk mencari makna
teks sastra itu. Yang tetap adalah makna, yang dapat dicapai melalui analisa teks, sedangkan yang
berubah-rubah adalah magzâ (signifikansi).[10]
Makna (dalalah) ada dalam karya itu sendiri. Sedangkan signifikansi (magzâ) berdasarkan keberagaman
jenis relasi yang ada antara teks dengan pembaca, Ketika makna teks dapat berubah sesuai dengan
pengarangnya, maka sebenarnya yang dimaksud yang berubah adalah magzâ. Hal ini didasarkan pada
keyakinan bahwa pengarang mentransformasikan dirinya kepada pembaca sehingga merubah hubungan
pengarang dengan teks.[11]
Makna yang dikehendaki pengarang berbeda dengan makna yang tersimpan dalam teks. Karenanya,
menurut Nasir Hamid Abu Zayd sebagaimana juga pendapat Hirsch, yang harus diperhatikan dalam teks
adalah makna teks, bukan apa yang dikehendaki pengarang, atau apa yang dimaksudkannya, atau apa
yang ingin diekspresikannya.[12]
Menurut Ahmad Hasan Ridwan, dalam hal ini, Hirsch sependapat dengan Betti mengenai pentingnya fokus
hermeneutika pada bidang kajiannya tentang makna teks agar sampai kepada tafsir objektif. Penafsir tidak
memaksakan pendapatnya masuk ke dalam teks. Betti hendak mengembalikan hermeneutika pada
keadaan alaminya, sebagaimana Scheleirmacher memfokuskannya pada usaha memahami teks. Baik Betti
maupun Hirsch berpendapat bahwa filologi adalah metode yang paling ideal untuk menafsirkan teks.[13]
Penjelasan di atas menggambarkan, bahwa kelihatannya pemikiran hermeneutika Nasir Hamid Abu Zayd
cenderung pada sintesa dari model keterpusatan kepada teks (text centered) dan keterpusatan pada
penafsir (reader centered). Lahirnya makna tidaklah berasal dari teks itu semata-mata, akan tetapi melalui
proses dialektika antara teks dengan manusia sebagai objek teks, seperti juga yang terjadi dari relasi antara
teks dengan kebudayaan sebagai relasi dialektis yang saling menguatkan, dan satu sama lain
mengkombinasikan dirinya pada saat memunculkan wacana, pemikiran dan ideologi. Akal pikiran
manusialah yang melahirkan makna dan berbicara atas nama teks, sedangkan teks itu sendiri tidak
berbicara. Sehingga otoritas itu dapat dikatakan sebagai produk dari proses dialektika.[14]
Dengan demikian, dalam menafsirkan teks, Nasir Hamid Abu Zayd bersifat dekonstruktif dengan
menempatkan teks terpisah dari pengarangNya, dan dia istilahkan dengan kematian pengarang (maut al-
muallif),[15] atau the death of authoroleh Derrida.[16] Berikutnya, peran pemaknaan secara mutlak
diserahkan pada pembaca teks (reader centered), dengan segala aspek sosial dan latar belakang
historisnya. Salah satu karakteristik tipikal dari pengaruh sosio-kultural terhadap karakteristik Alquran
bahwasanya dalam proses pembentukan teks, Alquran tidak bisa keluar dari kerangka kebudayaan bangsa
Arab saat itu, misalnya, dengan pengaruh teks-teks syair bangsa Arab. Karakter dan corak suatu teks akan
senantiasa menggambarkan dan merefleksikan struktur budaya ( bunyah as-saqâfah) dan alam pikiran
( state of mind) di mana ruang dan waktu teks tersebut dibentuk.[17] Ketika proses interaksi kebahasaan
berlangsung, antara penutur dan penerima harus terdapat kerangka yang sama sebagaimana disebut di
muka. Akan tetapi dalam realitas pragmatisnya hal itu sulit terjadi. Sebab proses komunikasi dalam bingkai
bahasa adalah menyampaikan pesan dalam bentuk teks. Ini akan mengakibatkan terjadinya perbedaan
antara “sistem/logika bahasa” dengan “sistem/logika teks” yang keduanya itu dibatasi oleh pesan dari
ideologi si penutur. Sedangkan si penerima memiliki kemungkinan dengan sistem/logika bahasanya untuk
membentuk “kerangka interpretatif” ( al-ithâr at-tafsîr î) tersendiri terhadap pesan yang disampaikan si
penutur. Melalui “sistem/logika teks”, ideologi si penerima masuk untuk memberikan penilaian. Pada tataran
inilah kemudian terjadinya reduksi atau bahkan kemungkinan distorsi terhadap pesan, baik oleh penutur
maupun penerima. Tentunya ini dapat juga terjadi ketika melakukan interpretasi terhadap teks Alquran.
Karenanya menurut Nasr Hamid Abu Zayd, bahasa menjadi dasar sebagai sumber peafsiran dan
penta`wilan.[18] Ia menawarkan dan memperkenalkan pendekatan modern dalam memahami teks.
[19] Dalam pendekatan modern, tugas hermeneutika tidak hanya menentukan prinsip-prinsip penafsiran
umum, tetapi juga mengungkapkan cita-cita yang sesuai bagi penafsiran.[20] Ia mengajak pembaca untuk
mempertimbangkan kembali asumsi-asumsi pembaca tentang apa itu “membaca”, “menafsirkan”, atau
“memahami teks”. Fenomena ini kemudian melahirkan istilah baru dalam tradisi penafsiran, yakni
“pembacaan” (qirâ’at).[21]untuk menandai proses penemuan “makna”, sebuah ungkapan tulisan atau teks
terdiri atas pengarang, teks dan pembaca.[22]
Selain itu, Nasr Hamid Abu Zayd dengan meminjam teori hermeneutika Barat E.D. Hirsch Jr.,[23] juga
memperkenalkan teori makna (dalâlah) dan signifikansi (magzâ) dalam upaya memahami teks. Pembedaan
antara makna dan signifikansi terdiri dari dua konsep. Pertama, makna memiliki watak historis, yaitu bahwa
ia tidak mungkin diungkapkan tanpa pemahaman yang memadai terhadap konteks internal linguistik teks
dan konteks sosial-budayanya, sementara signifikansi memiliki watak kekinian, yaitu bahwa ia merupakan
hasil pembacaan yang berbeda dengan masa terbentuknya teks. Kedua, makna secara relatif memiliki
watak yang stabil dan mapan, sementara signifikansi bersifat dinamis seiring dengan horison pembacaan
yang terus berubah.[24]
Selanjutnya beliau membedakan tiga tingkatan dalâlah. Pertama, dalâlah yang merupakan saksi sejarah
yang tak dapat dicarikan ta’wîl dan magzâ-nya, masalah yang berkaitan dengan ayat-ayat perbudakan,
hubungan muslim dan non muslim (ahl al-kitab), sihir, hasud, jin dan setan. Kedua, dalâlah yang dapat
dita’wilkan dengan majâz, seperti ayat-ayat kehambaan (‘ibâdiyah) bukan penghambaan
(‘ubûdiyah). Ketiga, dalâlah yang dapat diperluas dengan pencarian magzâ, seperti ayat-ayat kewarisan
untuk wanita. Dari magzâ ini, teks dapat terus berkembang, sebagaimana Abû Zayd menjelaskan :
‫ والمسلتوى‬،‫ المستوى الول مستوى الدللت التى ليست ال شواهد تاريخية ل تقبل التأويل لمجلازى أو غيلره‬: ‫ثلثة مستويات للدللة فى النصوص الدينية‬
‫ المستوى الثالث مستوى الدللت القابلة للتساع علللى أسللاس “المغللزى” الللذى يمكللن اكتسللافه مللن السللياق‬،‫الثانى مستوى الدللت القابلة للتأويل المجازى‬
25].‫ ومن حلله تعيد انتاج دللتها‬،‫]الثقافىالجتماعى الذى تتحرك فيه النصوص‬
“tiga level makna dalam teks-teks agama. Level pertama adalah level makna yang hanya merupakan bukti-
bukti historis yang tidak dapat diinterpretasi secara metaforis atau lainnya; level kedua adalah level makna
yang dapat diinterpretasi secara metaforis; dan level ketiga adalah level makna yang dapat diperluas atas
dasar “signifikansi” yang dapat disingkapkan dari konteks kultur-sosial di mana teks-teks tersebut bergerak,
dan melalui produktivitas makna dari teks-teks tersebut.”
Pembedaan antara makna dan sigifikansi di dalam menginterpretasi teks bagaikan dua sisi mata uang. Hal
itu berlangsung karena signifikansi tidak terlepas dari sentuhan makna, sebagaimana signifikansi mengarah
pada dimensi makna. Signifikansi mencerminkan tujuan dan sasaran dari tindakan pembacaan, maka tujuan
tersebut dapat dicapai hanya melalui penyingkapan makna. Hermeneutika Abû Zayd menurut Ahmad Hasan
Ridwan,[26] bermula dari proses pemahaman terhadap suatu teks secara bolak-balik
antara dalâlah dan magzâ, suatu pemahaman yang dimulai dari kenyataan sekarang (dalam rangka
mencari magzâ untuk menemukan arti asal (dalâlah aèliyah) dengan cara penelusuran intelektual ke masa
lalu (past time) untuk memasuki ruang-ruang historis. Teks muncul di masa lalu (past time), dan kembali ke
masa kini (present time) untuk mendapatkan makna baru yang hidup (produktif). Nilai baru yang dimaksud
adalah fusi horison untuk future yang hasilnya digunakan untuk membangun kembali magzâ secara terus
menerus.[27]
Teori ta’wîl yang ditawarkan Abû Zayd merupakan proses gerak dialektis (gerak bandul) antara makna
(dalâlah) dan signifikansi (magzâ), antara masa lalu dan masa kini, dan antara teks dan pembacanya.
Gerak dialektis ini menghasilkan pemahaman terhadap suatu teks secara bolak-balik
antara dalâlah dan magzâ, sebagai suatu pemahaman yang dimulai dari kenyataan sekarang (dalam
rangka mencari magzâ) untuk menemukan arti asal (dalâlah aèliyah) ketika teks itu muncul di masa lalu,
dan hasil temuan ini digunakan untuk membangun kembali magzâ dan begitu proses selanjutnya. Proses ini
tidak boleh berhenti pada makna dalam pengertian historis partikularnya, tetapi proses ini harus
menyingkapkan signifikansimagzâ yang memungkinkan untuk membangun pondasi kesadaran ilmiah atas
dasar signifikansi tersebut.[28]
Aplikasi Teori Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd

Jika aplikasi teori hermeneutika Syahrûr dikenal dengan istilah inter- tekstualitas
dengan teknik sintagmatis-paradigmatis untuk menangkap pesan yang terkandung dalam teks al-Qur’ân,
[29] dan Fazlur Rahman dikenal dengan teori double movement.[30]Kemudian Hermeneutika Arkoun
berusaha untuk memilah dan menunjukkan mana teks pertama atau teks pembentuk dan mana teks
hermeneutika,[31] dan kelihatannya dipengaruhi teori hermeneutika post-strukturalis Michel Foucault,
sehingga ia menggunakan metode dekonstruksi dan analisa arkeologis.[32] Maka aplikasi teori Nasr Hamid
Abu Zayd berangkat dari teori makna (dalâlah) dan signifikansi (magzâ) sebagaimana dikemukakan
sebelumnya dan contoh cara kerjanya sebagai berikut.
Poligami dalam wacana Alquran mempunyai level makna ketiga, di mana pemahamannya haruslah
melampaui makna historisnya dengan menguak signifikansi masa kininya dan mampu menguak dimensi
yang tak terkatakan dari suatu pesan. Dalam masalah poligami, Abu Zayd berargumentasi sebagai berikut:

1. Kesadaran akan historisitas teks keagamaan adalah teks linguistik dan bahasa sebagai produk
sosial dan kultural.
2. meletakkan teks dalam konteks Alquran secara keseluruhan terhadap konsep adil. Dengan
melakukan ini, Abu Zayd berharap bahwa “yang tak terkatakan” atau yang implisit dapat
diungkapkan.
3. Poligami dibolehkan dalam Alquran pada hakikatnya adalah sebuah pembatasan dari poligami
yang tak terbatas yang telah dipraktikan sebelum datangnya Islam.[33]

Gambar :[34]
No. Makna /Dilalah Signifikansi/maghza Yang tak
terkatakan
Poligami Praktik Islam Sikap adilTujuan akhir legislasiPoligami
poligami pra-membatasi dalam Islam: monogami dilarang
islam :poligami poligami
poligami tidakempat istritidak
terbatas secara adil mungkin:
monogami
ditekankan

Analisis Kritis Atas Teori Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd


Pendekatan hermeneutika yang dikembangkan kalangan modernis semisal Nasr Hamid Abu Zayd yang
merupakan upaya untuk mengembangkan pendekatan dalam memahami Alquran banyak ditentang di
kalangan umat Islam. Adnin Armas misalnya,[35] mengemukakan bahwa terdapat perbedaan yang sangat
mendasar antara hermeneutika di satu sisi, dan tafsir – ta’wil di sisi lain sehingga tidak tepat digunakan
untuk mengkaji Alquran. Perbedaan tersebut terutama dalam sifat alamiahnya; otoritas dan keaslian teks;
serta dari sisi kebakuan bahasa dan makna dalam memaknai kitab suci. Ketidaksesuaian ini dapat dilihat
dari beberapa unsur berikut.
Pertama, hermeneutika secara jelas menyamarkan kedudukan teks-teks suci agama; karena memang pada
awalnya hermeneutika ditujukan untuk menjembatani kewibawaan dan keaslian teks Bibel yang
bermasalah.
Kedua, penentuan kontekstual terhadap makna dengan mengesampingkan kemapanan bahasa dan
susunan makna dalam bahasa (semantic structures), menyebabkan kosa kata dalam teks kitab suci selalu
permisif untuk disusupi berbagai dugaan (guess/conjecture), pembacaan subjektif dan pemahaman yang
hanya mendasarkan pada relativitas sejarah.
Ketiga, memisahkan makna antara yang “normatif” dan yang “historis” di satu sisi dan menempatkan
kebenaran (truth) secara kondisional menurut budaya tertentu dan suasana historis di sisi lain, akan
cenderung pada paham sekuler. Oleh karena pertimbangan yang diambil pemikiran keagamaan lebih
berorientasi pada Pencipta Teks (Allah), yang tidak memihak pada supremasi data empiris, maka dengan
sendirinya akan ditolak oleh pendekatan kesadaran historis-ilmiah dalam memahami teks-teks keagamaan.
Pendekatan kesadaran historis-ilmiah menurut Nasr Abu Zayd cenderung kepada apa yang dihasilkan oleh
pembaca teks yang memiliki perangkat ilmiah kekinian untuk menjadi ‘hakim’ dalam mewarnai interpretasi
teks keagamaan. Maka bagi Nasr Hamid Abu Zayd, teks bukan lagi milik pengarangnya, tapi sudah menjadi
pemilik para pembacanya.
Selain itu, klaim adanya dikhotomi antara yang mutlak dan yang nisbi; antara Alquran dan tafsirnya; antara
agama dan pemikiran keagamaan, seperti yang dikemukakan oleh Nasr Hamid Abu Zayd akan membuka
beberapa konsekwensi serius. Pertama,kebenaran al-Quran hanya dimiliki Tuhan saja. Sehingga saat
kebenaran itu sampai pada manusia, ia menjadi kabur, sebab manusia tidak pernah tahu apa maksud
Tuhan dalam al-Quran. Pemikiran seperti ini berarti bahwa Tuhan tidak pernah berniat menurunkan al-
Quran untuk manusia. Kedua, mengingkari tugas Nabi yang diutus untuk menyampaikan dan menjelaskan
wahyu. Ketiga, menyeret pada pengertian bahwa seolah-olah semua ayat al-Quran tidak memiliki
penafsiran yang tetap dan disepakati. Bahkan semua penafsiran dipengaruhi oleh kepentingan penafsir dan
situasi psiko-sosialnya. Keempat, menolak otoritas keilmuan, syarat dan kaidah dalam menafsirkan al-
Quran, sebab setiap orang berhak menafsiri al-Quran dengan kualitas yang sama
nisbinya. Kelima, membatalkan konsep dakwah dalam Islam, karena semua perintah dan larangan dalam
al-Quran bersifat nisbi yang tidak harus dilaksanakan. Maka akibatnya umat Islam tidak wajib melaksanakan
perintah ayat dakwah: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu…” (QS. Al-Nahl: 125). Sebab ayat
tersebut akan dipertanyakan lagi, jalan Tuhan yang mana? Kalau Islam, Islam yang mana? Islam
Muhammadiyyah, NU, PERSIS, PKS atau Islam apa?Keenam, berlawanan dengan konsep ilmu dalam
Islam. Sebab definisi ilmu dalam Islam adalah sifat yang dapat menyingkap suatu objek, sehingga tidak
menyisakan ruang keraguan; dan berakhir pada keyakinan. Sementara relativisme selalu bermuara pada
kebingungan. Ketujuh, membubarkan konsep amar ma’ruf nahi munkar. Sebab paham relativisme akan
menisbikan batasan antara yang ma’ruf dan yang munkar, hingga akhirnya menjadi kabur dan samar.
Paham relativisme akan mengatakan bahwa yang ma’ruf menurut sebagian orang, bisa jadi munkar bagi
sebagian lainnya. Padahal Nabi SAW telah mengingatkan kaum muslimin untuk menjauhi hal-hal yang
bersifat syubhat (samar). Karenanya menurut Hendri Sholahudin, Andaian nisbinya tafsir secara mutlak,
tentu sulit diterima akal yang jernih. Adanya perbedaan dalam penafsiran al-Quran, bukan berarti penafsiran
itu mutlak nisbi. [36]
Penggunaan hermeneutika yang menghasilkan asumsi historisitas Alquran dengan dalih bahwa perbuatan
Tuhan bila telah teraktualisasi dalam sejarah, maka harus tunduk pada peraturan sejarah, sejatinya telah
menimbulkan konsekwensi yang rumit untuk diterima akal sehat. Apakah dengan demikian Tuhan tunduk
mengikuti kaedah peraturan alam yang diciptakan-Nya sendiri? Apakah kemudian wahyu dapat “diseret”
untuk mengikuti kemauan realitas sejarah yang berkembang? Karenanya menurut Adian Husaini,
[37] konsep Alquran yang diuraikan Nasr Hamid Abu Zayd di atas bukan hanya bertentangan dengan
pengertian Alquran yang dikenal oleh umat, namun telah membubarkan konsep wahyu dalam Islam. Sebab
dengan corak pemahaman ala Abu Zayd bahwa kemutlakan Alquran dan sakralitasnya telah sirna dan
menjadi teks manusia ketika masuk dalam pemahaman Nabi, diaplikasikan dalam kehidupan dan
disampaikan kepada umatnya, akan membatalkan konsep wahyu yang dikenal dalam Islam. Semua umat
Islam sepakat bahwa pengertian Alquran adalah Firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad
SAW secara lafzhan wa ma’nan (lafazh dan maknanya) dengan perantara Jibril AS, terjaga dalam mushaf,
kemudian disampaikan kepada para Sahabat dan diwariskan dari generasi ke generasi secara mutawatir
(recurrence) tanpa keraguan sedikitpun. Membacanya adalah ibadah, di dalamnya terkandung berbagai
mukjizat, petunjuk dan ilmu pengetahuan. Sedangkan dalam dataran epistemologis (epistemic level), Abu
Zayd dan kelompok modernis lainnya yang menerapkan metode historis (historical methodology), baik
dinyatakan secara eksplisit atau tidak, sebenarnya telah menolak sumber ketuhanan (the divine source)
terhadap Alquran yang mereka anggap sebagai realitas holistik (the holistic reality) yang dihasilkan dari
metodologi penelitian ilmu-ilmu sains. Pernyataan Abu Zayd bahwa Alquran adalah produk budaya,
fenomena sejarah dan teks linguistik membawa pengertian bahwa Alquran dihasilkan secara kolektif dari
serangkaian faktor politik, ekonomi dan sosial. Atau dengan kata lain, Alquran adalah hasil pengalaman
individual yang diperoleh Nabi Muhammad dalam waktu dan tempat tertentu (specific time-space context),
dimana latar belakang sejarah saat itu mengambil peranan inti dalam mewarnai pemikiran beliau dan
bahasa sebagai perangkat ungkapan sejarah (expressional tool of history). Dengan demikian, memahami
agama dengan cara menundukkannya dalam ruang sejarah, bahasa dan budaya yang terbatas adalah
watak dasar hermeneutika yang dikembangkan oleh peradaban Barat yang tidak sejalan dengan Islam.
Sebagai pembaca yang menjadi hakim dalam memaknai teks, Nasr Hamid Abu Zayd menganjurkan untuk
mengunci firman Tuhan dalam ruang dan waktu. Kemudian membatasi makna Alquran menurut zaman
tertentu dalam sejarah. Dengan cara ini, pembaca teks dapat memahami teks secara ilmiah dan tidak
terpasung, baik oleh pandangan dogmatis-sektarian (madzhab minded), permasalahan ideologis (iman-
kufur), mistis, tabu (desakralisasi) maupun khurafat. Sebaliknya, dalam pandangan Nasr Hamid Abu Zayd,
corak pendekatan ulama klasik dalam pembacaan teks, terikat dengan pendekatan asbab al-
nuzul dan naskh wa mansukh adalah terpasung dan tidak ilmiah. Sebab meskipun kedua pendekatan ini
juga memperhatikan data empiris, namun pada kenyataannya data empiris yang ditampilkan tersebut masih
diwarnai oleh peran Pencipta Teks. Dengan demikian, kecenderungan ulama klasik yang lebih
memposisikan teks agama sebagai hakim daripada akal, dipandangnya sebagai corak pendekatan
ideologis.Kecenderungan Abu Zayd yang lebih mengesampingkan Sang Pembuat Teks, kemudian
menjadikan pembaca teks dengan segala kondisi sosial, politik dan budaya yang melatarbelakanginya,
sebagai hakim yang menentukan arah pemaknaan teks, sebenarnya adalah bentuk pengutamaannya
terhadap realitas lahiriyah (al-waqi‘ al-madi, material reality). Sebab baginya, segala aktivitas berfikir yang
selalu terbayang-bayangi oleh realitas ketuhanan dan metafisika (akidah, pahala, siksa, syari’ah dan
akherat) dipandang sebagai bagian dari mitos (usthurah). Maka dengan demikian Abu Zayd lebih
mengutamakan realitas (al-waqi‘) daripada pikiran. Dan baginya, teks adalah hasil dari sebuah realitas.
Maka setiap perubahan yang terjadi dalam realitas, menuntut perubahan dalam pembacaan teks, sampai
akhirnya terjadi kesepaduan antara teks dan realitas (zaman dan tuntutannya). Sehingga menurut Hendri
Sholahuddin,[38]tujuan teori tafsir Nasr Hamid Abu Zayd yang ingin menghilangkan ideologi sektarian, justru
sangat rancu. Sebab unsur ideologi dalam suatu penafsiran tidak bisa dinetralisir. Ibarat dua sisi mata uang,
mengesampingkan suatu ideologi hanya akan terjebak dalam ideologi lainnya. Dengan kata lain, menolak
suatu ideologi adalah ideologi itu sendiri, seperti halnya menolak kemapanan adalah menetapkan
ketidakmapanan atau bentuk lain dari sebuah kemapanan.
Terlepas dari itu semua, sesungguhnya Nasr Hamid Abu Zayd telah melahirkan ijtihad baru dalam metode
penafsiran. Sebagai sebuah teori, tentunya harus tetap terus diuji. Sehingga pada akhirnya yang diikuti oleh
umat tetunya teori yang telah teruji dan dapat dipertahankan.
Khatimah
Hermeneutika merupakan hasil ektrapolasi otoritas manusia sebagai produk dari proses interaksi pemikran
Islam dengan pemikiran Barat. Interaksi dialogis telah melibatkan sebuah proses dialektika yang intensif
antara tradisi besar dan tradisi kecil dalam sejarah pemikiran Islam. Perubahan (change) terjadi ketika
hermeneutika merupakan tradisi baru memiliki kekuatan dibanding tradisi lama. Akan tetapi, proses
kesinambungan (continuity) dengan tradisi lama tetap berjalan meskipun telah muncul tradisi baru.
Dengan demikian, metode penafsiran (hermeneutika) Nasr Hamid Abû Zayd merupakan artikulasi dari
proses kesinambungan (continuity) dan perubahan (change), dan karena itu, hermeneutika dikukuhkan
sebagai metode alternatif ketika sistem penafsiran dalam tradisi Islam tidak memadai untuk memahami
teks-teks keagamaan dalam realitas kontemporer. Sebagai sebuah teori penafsiran, tentunya harus tetap
dikritisi dan diuji, sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan karena akan diikuti oleh umat Islam.

You might also like