Professional Documents
Culture Documents
B. PENDEKATAN PRAGMATIK
Dalam kamus sosiologi kata pragmatik (prgmatics) diartikan sebagai telaah
terhadap hubungan antara tanda-tanda dengan penggunaannya, sedangkan
pragmatisme (pragmatism) diartikan sebagai suatu ajaran yang menyatakan bahwa
arti suatu proposisi tergantung pada akibat-akibat praktisnya.
Pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang memandang karya sastra sebagai
sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca. Dalam hal ini tujuan
tersebut dapat berupa tujuan politik, pendidikan, moral, agama maupun tujuan
yang lain. Dalam praktiknya pendekatan ini cenderung menilai karya sastra
menurut keberhasilannya dalam mencapai tujuan tertentu bagi pembacanya
(Pradopo, 1994).
Pendapat Horatius yang ditulis dalam bukunya Ars Poetica pada tahun 14 SM
menyatakan bahwa tolok ukur sastra ialah utile ‘bermanfaat’ dan dulce ‘nikmat’.
Selain itu, ia pun sekaligus mengungkapkan pendekatan sastra yang
menitikberatkan pada peran pembaca (pendekatan pragmatik) dalam pendekatan
teori Barat, sering dipermasalahkan urutan utile dan dulce itu, mana yang harus
didahulukan, ‘bermanfaat’ dahulu baru ‘nikmat’ atau justru sebaliknya ‘nikmat’
dulu baru ‘bermanfaat’ – masalah antara pendekatan moralis (manfaat) dan estetik
(nikmat), namun hal ini barangkali lebih tepat disebut perbedaan dalam tekanan
(estetik baru tersendiri pada zaman romantik di dunia Barat).
Pendapat bahwa seni sebagai struktur yang dilandasi ciri khasnya sebagai sign
‘tanda’ yang baru mendapat makna lewat persepsi pembaca dipelopori oleh Jan
Mukarovsky dan muridnya Felix Vodicka.
Meskipun sudah dilancarkan sejak tahun tiga puluhan, pendapat ini baru dikenal
pada tahun enam puluhan di Eropa melalui terjemahan dalam bahasa Inggris (dari
bahasa Rusia) dan sejak itulah perhatian atau penekanan teks sebagai struktur
(strukturalisme) bergeser ke arah pembaca yang dilandasi antara lain oleh teori
konkretisasi dari Vodicka. Konsep ini berasal dari Roman Ingarden yang
menyatakan bahwa karya sastra mempunyai kemandirian terhadap kenyataan dan
bersifat skematik-selektif, tidak pernah menciptakan gambar (dunia) yang bulat
lengkap setiap membayangkan kenyataan. Dalam setiap karya sastra terdapat
Unbesttimmtheitsstellen’tempat-tempat yang tidak tertentu atau kosong’, yang
tidak terisi oleh karya sastra dan pengisiannya terserah kepada pembaca menurut
kemampuan dan seleranya. Inilah yang disebut konkretisasi namun, menurut
Ingarden, hal ini dibatasi oleh struktur karya seni yang singkat secara objektif.
Hubungan antara karya sastra dengan pembaca tampak pada skema berikut:
“Pada hakikatnya Armijn ialah seorang romantikus yang suka mengembara dalam
jiwanya, melompat, dengan tiada memperdulikan logika dan kausalitet
kejadian...sebenarnyalah yang menarik hati dalam buku Armijn ini ialah
permainan peasaan pengarangnya, yang memberikan kepada buku ini suatu
suasana romantika...ialah romantik gelap gulita yang berbagai-bagai belenggu
yang dimana-mana hendak dikemukakan pengarangnya. Dan kalau buku Armijn
Pane ini diletakkan ditengah-tengah usaha dan perjuangan sekarang ini untuk
kemajuan bangsa, maka hampir dapat kita memasukkannya dalam lektur
defaitistis yang melemahkan semangat, meski betapa sekalipun gembira bunyi
kata pendahuluannya”.
Pada kutipan tersebut kita dapat membaca bagaimana Sutan Takdir Alisyahbana
menilai Belenggu secara pragmatis. Dikatakan bahwa dari segi ceritanya novel
tersebut melemahkan semangat para pembacanya.
DAFTAR PUSTAKA
0 komentar:
Poskan Komentar