You are on page 1of 5

PENDEKATAN PRAGMATIK

PENDEKATAN PRAGMATIK DALAM KAJIAN SASTRA perlu diawali


dengan mempertanyakan apakah sastra itu, apakah kajian sastra itu dan pada
akhirnya sampailah pada pembahasan tentang apa pendekatan pragmatik itu.
Sastra menurut Wellek dan Warren dalam Wiyatmi (2006) adalah pertama: segala
sesuatu yang tertulis atau tercetak. Dengan pengertian demikian segala sesuatu
yang tertulis entah itu ilmu kedokteran, ilmu sosial, atau apa saja yang tertulis
adalah sastra. Kedua: sastra dibatasi hanya pada “mahakarya” (great books), yaitu
buku-buku yang dianggap menonjol karena bentuk dan ekstpresi sastranya. Dalam
hal ini, kriteria yang dipakai adalah segi estetis atau nilai estetis dikombinasikan
dengan nilai ilmiah. Ketiga: sastra diterapkan pada seni sastra, yaitu dipandang
sebagai karya imajinatif. Istilah “sastra imajinatif” (imaginative literature)
memiliki kaitan dengan istilah belles letters (‘tulisan yang indah dan sopan”,
berasal dari bahasa Perancis), kurang lebih menyerupai pengertian etimologis kata
susastra. Definisi ketiga ini mengarahkan kita untuk memahami sastra dengan
lebih dahulu melihat aspek bahasa: bahasa yang bagaimanakah yang khas sastra
itu? Untuk itu diperlukan perbandingan beberapa ragam bahasa: bahasa sastra,
bahasa ilmiah, dan bahasa sehari-hari.
Pada bagian lain Luxemburg dkk (1989) mengemukakan beberapa ciri sastra,
pertama: sastra adalah sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan pertama-tama sebuah
imitasi. Seorang sastrawan menciptakan dunia baru, meneruskan proses
penciptaan di dalam semesta alam, bahkan menyempurnakannya. Kedua: sastra
merupakan luapan emosi yang spontan. Dalam sastra khususnya puisi,
terungkapkan napsu-napsu kodrat yang menyala-nyala, hakikat hidup dan alam.
Dalam istilah penyair Wordsworth Poetry is spontaneous overflow or powerfull
feelings. Ketiga: sastra bersifat otonom, tidak mengacu kepada sesuatu yang lain;
sastra tidak bersifat komunikatif. Sastra hanya mencari keselarasan di dalam
karyanya sendiri. Dalam pengertian ini, apa yang pernah diucapkan Sartre pada
tahun 1948, seorang filsuf Perancis, bahwa kata-kata dalam puisi tidak merupakan
“tanda-tanda”, melainkan “benda-benda” (mots-choses) menemukan relevansi
pemahamannya. Keempat: otonomi sastra itu bercirikan suatu koherensi.
Pengertian koherensi ini pertama-tama mengacu pada keselarasan yang mendalam
antara bentuk dan isi. Setiap isi berkaitan dengan suatu bentuk atau ungkapan
tertentu. Selain itu, koherensi dimaksud juga menunjuk hubungan timbal balik
antara yang bagian dengan keseluruhan dan sebaliknya. Kelima: sastra
menghidangkan sebuah sintesa antara hal-hal yang bertentangan. Pertentangan-
pertentangan itu aneka rupa bentuknya. Ada pertentangan, antara yang disadari
dan tidak disadari, antara pria dan wanita, antara roh dan benda, dan seterusnya.
Keenam: sastra mengungkapkan yang tak terungkapkan. Sastra mampu
menghadirkan aneka macam asosiasi dan konotasi yang dalam bahasa sehari-hari
jarang kita temukan.
Setelah mengkaji beberapa pengertian tersebut, Luxemburg dkk. lebih suka
menyebut beberapa ciri sastra, pertama: sastra adalah teks-teks yang tidak melulu
disusun atau dipakai untuk suatu tujuan komunikatif yang praktis dan yang hanya
berlangsung untuk sementara waktu saja. Sastra dipergunakan dalam situasi
komunikasi yang diatur oleh suatu lingkungan kebudayaan tertentu. Kedua:
dengan mengacu pada sastra Barat, khususnya teks drama dan cerita, teks sastra
dicirikan dengan adanya unsur fiksionalitas di dalamnya. Ketiga: bahan sastra
diolah secara istimewa. Ada yang menekankan ekuivalensi, ada yang menekankan
penyimpangan dari tradisi bahasa atau tata bahasa. Akan tetapi, yang lebih sering
adalah penekanan pada penggunaan unsur ambiguitas (suatu kata yang
mengandung pengertian lebih dari satu arti). Keempat: sebuah karya sastra dapat
kita baca menurut tahap-tahap arti yang berbeda-beda. Sejauh mana tahap-tahap
arti itu dapat kita maklumi sambil membaca sebuah karya sastra tergantung pada
mutu karya sastra yang bersangkutan dan kemampuan pembaca dalam bergaul
dengan teks-teks sastra.
Tokoh lain, Teeuw (1988) mendefinisikan sastra berdasarkan makna kata sastra
dari berbagai bahasa. Sebagai contoh: Schrifftum (Jerman) yang berarti segala
seuatu yang tertulis. Sedangkan Dichtung terbatas pada tulisan yang tidak
langsung berkaitan dengan kenyataan, jadi yang bersifat rekaan, dan secara
implisit ataupun eksplisit dianggap mempunyai nilai estetik. Geletterd (Belanda):
orang yang berperadaban dengan kemahiran khusus di bidang sastra.
Dari beberapa pengertian tersebut, secara objektif sastra dapat didefinisikan
sebagai karya seni yang otonom, berdiri sendiri, bebas dari pengarang, realitas,
maupun pembaca. Berdasarkan teori mimetik, karya sastra dianggap sebagai
tiruan alam atau kehidupan. Berdasarkan teori ekspresif karya sastra dipandang
sebagai ekspresi sastrawan, sebagai curahan perasaan, luapan perasaan dan pikiran
sastrawan yang bekerja dengan persepsi-persepsi, pikiran-pikiran atau perasaan-
perasaannya. Sementara itu berdasarkan teori pragmatik karya sastra dipandang
sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu, misalnya nilai-nilai atau
ajaran kepada pembaca (Abrams, 1981).
Selanjutnya pengkajian sastra didefinisikan sebagai proses, cara, perbuatan
mengkaji, penyelidikan (pelajaran yang mendalam), penelaahan. Dengan
demikian pengkajian sastra diartikan sebagai proses atau perbuatan mengkaji,
menyelidiki, dan menelaah objek material yang bernama sastra.

B. PENDEKATAN PRAGMATIK
Dalam kamus sosiologi kata pragmatik (prgmatics) diartikan sebagai telaah
terhadap hubungan antara tanda-tanda dengan penggunaannya, sedangkan
pragmatisme (pragmatism) diartikan sebagai suatu ajaran yang menyatakan bahwa
arti suatu proposisi tergantung pada akibat-akibat praktisnya.
Pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang memandang karya sastra sebagai
sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca. Dalam hal ini tujuan
tersebut dapat berupa tujuan politik, pendidikan, moral, agama maupun tujuan
yang lain. Dalam praktiknya pendekatan ini cenderung menilai karya sastra
menurut keberhasilannya dalam mencapai tujuan tertentu bagi pembacanya
(Pradopo, 1994).
Pendapat Horatius yang ditulis dalam bukunya Ars Poetica pada tahun 14 SM
menyatakan bahwa tolok ukur sastra ialah utile ‘bermanfaat’ dan dulce ‘nikmat’.
Selain itu, ia pun sekaligus mengungkapkan pendekatan sastra yang
menitikberatkan pada peran pembaca (pendekatan pragmatik) dalam pendekatan
teori Barat, sering dipermasalahkan urutan utile dan dulce itu, mana yang harus
didahulukan, ‘bermanfaat’ dahulu baru ‘nikmat’ atau justru sebaliknya ‘nikmat’
dulu baru ‘bermanfaat’ – masalah antara pendekatan moralis (manfaat) dan estetik
(nikmat), namun hal ini barangkali lebih tepat disebut perbedaan dalam tekanan
(estetik baru tersendiri pada zaman romantik di dunia Barat).
Pendapat bahwa seni sebagai struktur yang dilandasi ciri khasnya sebagai sign
‘tanda’ yang baru mendapat makna lewat persepsi pembaca dipelopori oleh Jan
Mukarovsky dan muridnya Felix Vodicka.
Meskipun sudah dilancarkan sejak tahun tiga puluhan, pendapat ini baru dikenal
pada tahun enam puluhan di Eropa melalui terjemahan dalam bahasa Inggris (dari
bahasa Rusia) dan sejak itulah perhatian atau penekanan teks sebagai struktur
(strukturalisme) bergeser ke arah pembaca yang dilandasi antara lain oleh teori
konkretisasi dari Vodicka. Konsep ini berasal dari Roman Ingarden yang
menyatakan bahwa karya sastra mempunyai kemandirian terhadap kenyataan dan
bersifat skematik-selektif, tidak pernah menciptakan gambar (dunia) yang bulat
lengkap setiap membayangkan kenyataan. Dalam setiap karya sastra terdapat
Unbesttimmtheitsstellen’tempat-tempat yang tidak tertentu atau kosong’, yang
tidak terisi oleh karya sastra dan pengisiannya terserah kepada pembaca menurut
kemampuan dan seleranya. Inilah yang disebut konkretisasi namun, menurut
Ingarden, hal ini dibatasi oleh struktur karya seni yang singkat secara objektif.

Hubungan antara karya sastra dengan pembaca tampak pada skema berikut:

Karya sastra Pembaca

Dalam praktiknya, pendekatan ini mengkaji dan memahami karya sastra


berdasarkan fungsinya untuk memberikan pendidikan (ajaran) moral, agama,
maupun fungsi sosial lainnya. Semakin banyak nilai pendidikan moral dan atau
agama yang terdapat dalam karya sastra dan berguna bagi pembacanya, makin
tinggi nilai karya sastra tersebut.
Di Indonesia pendekatan ini pernah dianut oleh Sutan Takdir Alisyahbana (pada
masa Pujangga Baru) yang mengatakan bahwa karya sastra yang baik haruslah
yang memberikan manfaat bagi masyarakat, yang kemudian dikenal dengan
istilah sastra bertendens (Teeuw 1978).
Sejumlah kasus pelanggaran oleh pemerintah dan aparatnya pada masa Orde Baru
terhadap karya-karya tertentu untuk dibaca dan dipentaskan di depan masyarakat
umum, misalnya beberapa puisi Rendra, Emha Ainun Nadjib, dan drama-drama
Riantiarno, juga menunjukkan praktik kritik pragmatik. Sebab dalam pelarangan
tersebut menunjukan karya sastra dinilai dalam hubungannya dengan dampak dan
pengaruhnya bagi masyarakat.
Penerapan pendekatan pragmatik misalnya memahami karya sastra dalam
hubungannya dengan nilai moral, religius, dan pendidikan, seperti tampak pada
judul-judul berikut. “Ajaran Moral dalam Novel Sitti Nurbaya”, “Nilai
Religiositas dalam puisi-piusi Emha Ainun Nadjib” juga “Nilai Edukatif dalam
Novel Salah Asuhan”. Dari judul-judul tersebut akan tampak bahwa dalam
membahas dan menilai karya sastra kita kaitkan nilai-nilai pendidikan, etika, dan
religius yang terdapat dalam karya sastra yang dapat berguna sebagai contoh atau
teladan bagi pembaca.
Perkembangan selanjutnya dari kritik sastra pragmatik adalah kritik sastra yang
menggunakan pendekatan resepsi sastra dan pada kutipan berikut diuraikan
contoh penerapan pendekatan pragmatik yang dilakukan oleh Sutan Takdir
Alisyahbana.

“Pada hakikatnya Armijn ialah seorang romantikus yang suka mengembara dalam
jiwanya, melompat, dengan tiada memperdulikan logika dan kausalitet
kejadian...sebenarnyalah yang menarik hati dalam buku Armijn ini ialah
permainan peasaan pengarangnya, yang memberikan kepada buku ini suatu
suasana romantika...ialah romantik gelap gulita yang berbagai-bagai belenggu
yang dimana-mana hendak dikemukakan pengarangnya. Dan kalau buku Armijn
Pane ini diletakkan ditengah-tengah usaha dan perjuangan sekarang ini untuk
kemajuan bangsa, maka hampir dapat kita memasukkannya dalam lektur
defaitistis yang melemahkan semangat, meski betapa sekalipun gembira bunyi
kata pendahuluannya”.

Pada kutipan tersebut kita dapat membaca bagaimana Sutan Takdir Alisyahbana
menilai Belenggu secara pragmatis. Dikatakan bahwa dari segi ceritanya novel
tersebut melemahkan semangat para pembacanya.

Kata pragmatik menjadi sempit maknanya manakala dikaitkan dengan kata


praktis, dan dalam permasalahan sastra, amat sulit kiranya jika segala sesuatu
harus dikaitkan antara praktis dan pragmatisnya. Akan lain halnya jika kita
membaca Supernova karya DEE (Dewi Lestari). Pada karya ini permasalahan
seolah-olah dilihat dari sudut pandang yang sangat praktis dan bahkan pragmatis.

Setelah dianggap cukup menguasai penggunaan listrik arus bolak-balik, tibalah


kami pada pelajaran yang sesungguhnya. Lebih sulit karena kali ini Ibu Sati tidak
dapat mempraktikkannya. Ia hanya menunjukkan jalan. Akulah yang harus
menemukan cara melangkah sendiri.
“Pagi itu, Ibu Sati mengajakku ke Taman Hutan Raya di daerah Dago Pakar sana.
Dikelilingi pohon-pohon cemara besar, kami berdua berjalan santai. Ibu Sati pun
memulai pidato peliknya, Dalam realitas dualitas ini, tidak ada yang absolut.
Segalanya relatif tergantung pada sudut pandang sang subjek. Yang berarti juga,
segalanya hadir berpasangan. Ada kiri berarti ada kanan, ada tinggi berarti ada
rendah,ada positif berarti ada nega...
tif! Sambungku semangat. Kalau cuma itu semua juga tahu.
Ada Yin ada ...?
... Yang! Aku berteriak. Sampai situ juga masih tahu.
Nah, harmoni antar keduanyalah yang harus dihadirkan dalam hubungan kamu
dengan alam. Menyadari kehadiran Yin Yang dalam setiap detik kamu terjaga.
Menemukan dian dalam bising, dan bising dalam diam”.

perkembangan karya sastra. Pada setiap periode perkembangan aliran sastra,


tampak adanya perubahan yang sangat nyata manakala penulis tidak lagi berpihak
kepada pembaca dalam menciptakan karyanya.
Beberapa karya sastra absurd (kontemporer), lebih berpihak kepada sastra itu
sendiri sebagai bentuk yang berdiri sendiri secara bebas (otonom). Dalam hal ini
tidak bisa diidentifikasi tujuan penciptaan karya sastra, selain mengabdi kepada
kepentingan seni itu sendiri.
Perkembangan terakhir dalam karya sastra modern, tampak bahwa pragmatisme
lebih menonjol ketika kepentingan penciptaan sastra tidak hanya terpusat kepada
pembaca, melainkan penulis, bahkan masyarakat lain dengan sudut pandang yang
beragam. Ini mencirikan pendekatan pragmatik secara lebih nyata.

DAFTAR PUSTAKA

DEE, 2004. Supernova, Jakarta:Akoer


Partini Sardjono Pradotokusumo, 2005. Pengkajian Sastra, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Wiyatmi, 2006. Pengantar Kajian Sastra, Yogyakarta: Pustaka.
Diposkan oleh bambangdssmagasolo di 17.39

0 komentar:

Poskan Komentar

Link ke posting ini

You might also like