Professional Documents
Culture Documents
Pengertian Pancasila
Kata Pancasila berasal dari kata Sansakerta (Agama Buddha) yaitu untuk
mencapai Nirwana diperlukan 5 Dasar/Ajaran, yaitu
1. Jangan mencabut nyawa makhluk hidup/Dilarang membunuh.
2. Jangan mengambil barang orang lain/Dilarang mencuri
3. Jangan berhubungan kelamin/Dilarang berjinah
4. Jangan berkata palsu/Dilarang berbohong/berdusta.
5. Jangan mjnum yang menghilangkan pikiran/Dilarang minuman keras.
Pancasila merupakan konsep adaptif filsafat Barat. Hal ini merujuk pidato
Sukarno di BPUPKI dan banyak pendiri bangsa merupakan alumni Universitas di
Eropa, di mana filsafat barat merupakan salah satu materi kuliah mereka.
Pancasila terinspirasi konsep humanisme, rasionalisme, universalisme,
sosiodemokrasi, sosialisme Jerman, demokrasi parlementer, dan nasionalisme.
Kalau dibedakan anatara filsafat yang religius dan non religius, maka filsafat
Pancasila tergolong filsafat yang religius. Ini berarti bahwa filsafat Pancasila
dalam hal kebijaksanaan dan kebenaran mengenal adanya kebenaran mutlak
yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa (kebenaran religius) dan sekaligus
mengakui keterbatasan kemampuan manusia, termasuk kemampuan
berpikirnya.
Dan kalau dibedakan filsafat dalam arti teoritis dan filsafat dalam arti praktis,
filsafast Pancasila digolongkandalam arti praktis. Ini berarti bahwa filsafat
Pancasila di dalam mengadakan pemikiran yang sedalam-dalamnya, tidak hanya
bertujuan mencari kebenaran dan kebijaksanaan, tidak sekedar untukmemenuhi
hasrat ingin tahu dari manusia yang tidak habis-habisnya, tetapi juga dan
terutama hasil pemikiran yang berwujud filsafat Pancasila tersebut dipergunakan
sebagai pedoman hidup sehari-hari (pandangan hidup, filsafat hidup, way of the
life, Weltanschaung dan sebgainya); agar hidupnya dapat mencapai kebahagiaan
lahir dan batin, baik di dunia maupun di akhirat.
Untuk lebih meyakinkan bahwa Pancasila itu adalah ajaran filsafat, sebaiknya
kita kutip ceramah Mr.Moh Yamin pada Seminar Pancasila di Yogyakarta tahun
1959 yang berjudul “Tinjauan Pancasila Terhadap Revolusi Fungsional”, yang
isinya anatara lain sebagai berikut:
Tinjauan Pancasila adalah tersusun secara harmonis dalam suatu sistem filsafat.
Marilah kita peringatkan secara ringkas bahwa ajaran Pancasila itu dapat kita
tinjau menurut ahli filsafat ulung, yaitu Friedrich Hegel (1770-1831) bapak dari
filsafat Evolusi Kebendaan seperti diajarkan oleh Karl Marx (1818-1883) dan
menurut tinjauan Evolusi Kehewanan menurut Darwin Haeckel, serta juga
bersangkut paut dengan filsafat kerohanian seperti diajarkan oleh Immanuel
Kant (1724-1804).
Menurut Hegel hakikat filsafatnya ialah suatu sintese pikiran yang lahir dari
antitese pikiran. Dari pertentangan pikiran lahirlah paduan pendapat yang
harmonis. Dan ini adalah tepat. Begitu pula denga ajaran Pancasila suatu sintese
negara yang lahir dari antitese.
Saya tidak mau menyulap. Ingatlah kalimat pertama dan Mukadimah UUD
Republik Indonesia 1945 yang disadurkan tadi dengan bunyi: Bahwa
sesungguhanya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa. Oleh sebab itu
penjajahan harus dihapusakan karena bertentangan dengan perikemanusiaan
dan perikeadilan.
KONSEP KETUHANAN DALAM AGAMA BUDDHA
Dalam memahami mengulas mengenai konsep Ketuhanan dalam Agama Buddha. Suatu
pertanyaan yang sering timbul, yaitu : Apa dalam Agama Buddha mengenal
Ketuhanan ?” Pertanyaan tersebut timbul, tidaklah mengherankan. Dalam mengulas
mengenai Ketuhanan, ada Beberapa kendala dalam pemahaman lebih lanjut tentang
Ketuhanan, antara lain :
Penyebutan kata “Ketuhanan” tersebut tidak populer dan tidak dipakai sama sekali dalam
pembabaran agama Buddha, seolah-olah tidak memikili ajaran tersebut ; Belum adanya
pemahaman yang memadai dan jarang dibicarakan ; Kekacauan konseptual dalam
lingkungan multi religius, umat Buddha tidak dapat menjauhkan diri dari berinteraksi
secara aktif dengan umat agama lain. Di mana umat non Buddhis dengan mudah
menyebut dan memonopoli kata ”Ketuhanan” di segala tempat dan segala waktu tanpa
memperdulikan implikasinya dan ; tidak memiliki akses informasi yang langsung yang
lengkap, leluasa dan otoritatif terhadap ajaran dokrinal agamanya dan secara tergesa-gesa
ikut-ikutan meminjam konsep agama lain.
Hal ini dapat kita lihat pada kisah, orang yang tertembak anak panah beracun, yang
menolak untuk mencabutnya sebelum dia tahu siapa yang memanahnya, kenapa panah itu
ditembakkan, dari mana anak panah itu ditembakkan. Pada saat semua pertanyaannya
terjawab, dia sudah akan mati lebih dahulu. (Cula-Malunkyovada Sutta, Majjhima
Nikaya 63)
Sutra tersebut mengajarkan kita memiliki pemahaman yang rasional, efektif, efisien,
cerdas dan bijaksana dalam kehidupan spiritual umat manusia agar tindakan cepat dan
tepat segera diutamakan, tanpa membuang-buang waktu lagi
Dalam mengulas konsep tersebut kita tidak dapat melepaskan 4 (empat) rumusan
Kebenaran, yaitu :
Dalam hal ini karena keterbatasan dalam mencari awal permulaan maka dikatakan tanpa
awal untuk mempermudah pemahaman lebih lanjut. Apabila kita memaksakan diri untuk
menemukan jawabannya maka kita akan terjebak dalam spekulasi pandangan. Hal ini
tentu akan banyak menghabiskan waktu dan tenaga. Sementara kehidupan kita adalah
terbatas. Cepat atau lambat akan meninggalkan dunia ini.
Pengertian ada akhir, berati orang tersebut telah mencapai pencerahan sehingga tidak
dilahirkan kembali.
Jadi, Sama sekali tidak ada alasan untuk menganggap bahwa segala sesuatu atau dunia ini
harus memiliki suatu permulaan. Gagasan bahwa segala sesuatu harus memiliki
permulaan benar-benar karena miskinnya pikiran kita."
Tetapi para Bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang
Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran,
penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.
Kebenaran terakhir ini, seperti Nibbana yang memungkinkan kita untuk mencapai
pembebasan.
Buddha telah mencapai Pencerahan Sempurna, dengan demikian Buddha menghayati dan
memahami Ketuhanan dengan sempurna pula.
Buddha bersabda: “Ada Yang Tidak Terlahir, Yang Tidak Terjelma, Yang Tidak
Tercipta, Yang Mutlak (Udana VIII:3).
Yang Mutlak = Asamkhata-Dhamma = Yang Tak Terkondisi. Dengan adanya Yang Tak
Terkondisi (Asamkhata), maka manusia yang terkondisi (Samkhata) dapat mencapai
kebebasan mutlak dari samsara.
Dengan adanya hukum Dharma, unsur IMANEN dari Ketuhanan YME tidak lenyap sama
sekali, namun ajaran Buddha menekankan unsur TRANSENDEN dari Ketuhanan YME.
Semua yang transenden adalah TIDAK TERKONSEPKAN, harus dipahami secara
INTUITIF melalui PENCERAHAN, bukan melalui konsep.
Tak terelakkan, ketika kita bicara tentang konsep Ketuhanan, diperlukanlah: SEBUTAN.
Salah satu sebutan: Adi-Buddha. Sebutan lain: Advaya, Diwarupa, Mahavairocana (kitab-
kitab Buddhis bahasa Kawi), Vajradhara (Tibet: Kargyu & Gelug), Samantabhadra
(Tibet: Nyingma), Adinatha (Nepal). Daftar ini tidak lengkap dan masih bisa
diperpanjang lagi sesuai dengan kebutuhan
Ajaran-ajaran mengenai Adi Buddha telah lama dianut oleh leluhur-leluhur kita di tanah
Jawa yang menganut aliran Buddha esoterik yang mendirikan candi borobudur serta
candi-candi Buddhis lainnya.