Professional Documents
Culture Documents
1.Anatomi
Sistem persyarafan terdiri dari :
a. Susunan saraf sentral terbagi atas medulla spinalis dan otak.
Dalam medulla spinalis keluar 31 pasang saraf yang terdiri
dari : saraf servikalis 8 pasang, toraka 12 pasang, tumbal 5
pasang, sacral 5 pasang dan koksigeal 1 pasang.
Otak terbagi atas :
1. Otak besar (serebrum)
a) Serebrum (otak besar) merupakan bagian terluas dan
terbesar dari otak, berbentuk telur, mengisi penuh bagian
depan atas rongga tengkorak, pada serebrum ditemukan
beberapa lobus yaitu : lobus frontalis, lobus parietalis, lobus
temporalis dan lobus oksipitalis.
b) Fungsi serebrum adalah :
(1) Mengingat pengalaman-pengalaman yang lalu.
(2) Pusat persyarafan yang menangani aktivitas mental,
akal, intelegensi, keinginan dan memori.
(3) Pusat menangis, buang air besar dan buang air kecil.
2. Otak kecil (serebelum)
Serebelum (otak kecil) terletak pada bagian bawah dan
belakang tengkorak, dipisahkan dengan serebrum oleh fisura
transversalis dibelakangi oleh ponsvaroli dan di atas medulla
oblongata.
Serebelum merupakan pusat koordinasi dan integritasi,
bentuk oval bagian yang mengecil pada sentral disebut
vermis dan bagian yang melebar pada laferal disebut
hemisfer.
a) Fungsi serebelum adalah :
(1) Arkhio serebelum (vestibula serebelum) untuk
keseimbangan dan ransangan pendengaran otak.
(2) Plea serebelum (spino serebelum) sebagai pusat penerima
impuls.
(3) Neo serebelum (ponto serebelum) menerima informasi
tentang gerakan yang sedang dilakukan dan yang akan
dikerjakan dan mengatur gerakan sisi badan.
b. Susunan syaraf perifer, terdiri dari :
1) Susunan syaraf somatik.
Susunan syaraf somatik yang mempunyai peranan spesifik
untuk mengatur aktivitas otot sadar atau serat lintang.
2) Susunan syaraf otonom .
Terdiri dari : susunan syaraf simpatis dan susunan syaraf
parasimpatis.
Susunan syaraf otonom mempunyai peranan penting
mempengaruhi pekerjaan otot tidak sadar (otot polos) seperti
jantung, hati, pankreas, jalan pencernaan, kalenjar dan lain-
lain. (Drs. Syaifuddin, B.Ac, 1997 : 139-144).
Syaraf kepala ada 12 pasang (susunan syaraf tepi).
Tabel 1. Fungsi syaraf kranial
Syaraf Karnial
Fungsi
II. (Olfaktorius)
III. (Optikus)
IV. (Okulomotorius)
V. (Troklear)
VI. (Trigeminus)
VII. (Abdusen)
VIII. (Fasial)
IX. (Vestibulkokhlearlis)
X. (Glasofaringeal)
XI. (Vagus)
XII. (Asesoris)
XIII. (Hipoglosus)
3) Batang otak (trunkus serebri) terdiri atas :
a. Diensefalon, bagian batang otak paling atas terdapat di
antara serebelum dengan mesensepalon.
Fungsi diensefalon adalah :
(1) Vasokonstruktur, mengecilkan pembuluh darah.
(2) Respirasi membantu proses persyarafan.
(3) Mengontrol kegiatan reflek.
(4) Membantu pekerjaan jantung.
b. Mesensepalon, atap dari mesensepalon terdiri dari 4 bagian
yang menonjol ke atas, 2 sebelah atas disebut korpus
kuadrigeminus superior dan 2 sebelah bawah disebut korpus
kuadrigeminus inferior.
Fungsi dari mesensepalon adalah :
(1) Membantu pergerakan mata dan mengangkat kelopak
mata.
(2) Memutar mata dan pusat pergerakan mata.
c. Pons varoli adalah pita melingkar yang luas, yang
menghubungkan kedua sisi serebelum, di sini terdapat
prematoksoid yang mengatur gerakan pernafasan dan reflek.
Fungsi pons varoli adalah :
(1) Penghubung antara kedua bagian serebelum dan juga
antara medulla oblongata dan serebrum.
(2) Pusat syaraf trigeminus.
d. Medulla oblongata, merupakan bagian dari batang otak
yang paling basah yang menghubungkan pons varoli dengan
medulla spinalis. Bagian bawah medulla oblongata
merupakan persambungan medulla spinalis ke atas dan
bagian atas medulla oblongata melebar disebut kanalis
sentralis di daerah tengah bagian ventral medulla oblongata.
Fungsi oblongata adalah :
(1) Mengontrol pekerjaan jantung.
(2) Mengecilkan pembuluh darah (vasokonstruktur)
(3) Pusat pernafasan (respiratory center)
(4) Mengontrol kegiatan reflek.
2. Epidemiologi
Trauma merupakan penyebab utama kematian pada populasi
di bawah 45 tahun, dan merupakan penyebab kematian nomor 4
pada seluruh populasi. Lebih dari 50% kematian disebabkan oleh
cedera kepala dan kecelakaan kendaraan bermotor. Setiap
tahun yang mengalami cedera kepala lebih dari 2 juta orang,
75.000 orang di antaranya meninggal dunia. Lebih dari 100.000
orang yang selamat akan mengalami disabilitas permanen.
Sebab-sebab cedera kepala diantaranya:
- Kecelakaan lalu lintas 50%
- Terjatuh 21%
- Kekerasan 12%
- Rekreasi dan olahraga 10%
- Lain-lain 7%
3. Klasifikasi
b. TK Sekunder
2) Konkusi.
4) Muntah.
6) Kejang.
Luka tumpul
• High velocity
• Low velocity
Luka tembus
• Fraktur tengkorak
• Kranium
- Linear , stellate
- Depressed / non depressed
- Open
• Basis
• Lesi intracranial
• Fokal
- Epidural
- Subdural
- Intracerebral
- Subarachnoid
- Intraventricular
• Difus
- Mild concussion
- Classic concussion
- Diffuse axonal injury
4. Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan
glukosa dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan di dalam sel-
sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak
tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran
darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan
gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan glukosa
sebagai bahan bakar metabolisme otak, tidak boleh kurang
dari 20 mg%, karena akan menimbulkan koma, kebutuhan
glukosa sebanyak 25% dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh,
sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70% akan
terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi serebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha
memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolik
anaerob, yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah.
a. Faktor Kardiovaskuler
Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung
mencakup aktivitas atipikal myocardial, perubahan tekanan
vaskuler dan edema paru.
Akibat adanya pendarahan otak akan mempengaruhi tekanan
vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan
pembuluh darah arteriol akan berkontraksi.
Aktivitas miokard berubah termasuk peningkatan frekuensi
jantung dan menurunnya stroke work dimana pembacaan
CVP abnormal, tidak adanya stimulus endogen syaraf simpatis
mempengaruhi penurunan kontraktilitas ventrikel. Hal ini
menyebabkan penurunan curah jantung dan meningkatkan
tekanan atrium kiri, akibatnya tubuh berkompensasi dengan
meningkatkan tekanan sistolik. Pengaruh dari adanya
peningkatan tekanan atrium kiri adalah terjadinya edema
paru.
b. Faktor Respiratori
Adanya edema paru pada trauma kepala dan vasokontriksi
paru atau hipertensi paru menyebabkan hiperpnoe dan
bronkokonstriksi
Edema otot karena trauma adalah bentuk vasogenik, edema
otak terjadi karena penekanan terhadap pembuluh darah dan
jaringan sekitarnya. Edema otak ini dapat menyebabkan
kematian otak (iskemia) dan tingginya tik yang dapat
menyebabkan herniasi dan penekanan batang otak atau
medulla oblongata.
Akibat penekanan darah medulla oblongata dapat
menyebabkan pernafasan ataksia dimana ditandai dengan
irama nafas tidak teratur atau pola nafas tidak efektif.
c. Faktor Respiratori
Trauma kepala yang mempengaruhi sistem gastrointestinal,
setelah trauma kepala (3 hari) terdapat respon tubuh dengan
merangsang aktivitas hipotalamus dan stimulus vagal. Dan
hal ini akan merangsang lambung menjadi hiperasiditas.
Hiperasiditas yang tidak ditangani akan menyebabkan
pendarahan lambung.
d. Faktor Psikososial
Selain dampak masalah yang mempengaruhi fisik pasien,
trauma kepala pada pasien adalah suatu pengalaman yang
menakutkan. Gejala sisa yang timbul pascatrauma akan
mempengaruhi psikis pasien. Demikian pula pada trauma
berat yang menyebabkan penurunan kesadaran dan
penurunan fungsi neorologis akan mempengaruhi psikososial
pasien dan keluarga. (Elyna. S Laura Siahaan, Skp, 1996 : 54).
5. Gejala Klinis
- confusion, agitation, drowsiness
- changes in pupillary response
- weakness on one side of the body
- Headache, seizures
- Nausea & Vomiting
- Blurred Vision
- Papilloedema
- In Paediatrics – Persistent Crying & Refusal to eat
- Cushing responses :
• Hipertensi
• Bradikardi
• Change of respiratory pattern
Kehilangan fungsi neorologis sementara tanpa penampilan
kerusakan struktural.
1. Umumnya terjadi periode ketidaksadaran yang
berlangsung selama beberapa detik sampai beberapa menit.
2. Getaran pada otak mungkin sangat ringan sehingga hanya
menyebabkan pusing dan mata berkunang-kunang.
3. Jika mengenai lobus frontalis, pasien mungkin
menunjukkan perilaku kacau (bizare) irasional.
4. Jika yang terkena lobus temporal, pasien akan
menunjukkan amnesia temporer atau disorientasi.
2. Akselerasi-Deselerasi
6. Pemeriksaan
Anamnesis
Informasi yang diperlukan:
Identitas pasien: Nama, Usia, Sex, Suku, Agama, Pekerjaan, Alamat
Mekanisme trauma
Pernah pingsan atau sadar setelah trauma
Amnesia retrograde atau antegrade
Keluhan: Nyeri kepala seberapa berat, kejang, vertigo
Riwayat mabuk, alkohol, narkotika
Penyakit penyerta : Epilepsi, jantung, asma, riwayat
operasi kepala, hipertensi, DM, gangguan faal
pembekuan darah
7. Pemeriksaan Tambahan
1. C.T. Scan (tanpa / dengan kontras)
Mengidentifikasi adanya sol, hemoragik, menentukan
ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
2. M.R.I. (tanpa / dengan kontras)
Angiografi serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi
serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibatnya
oedema, pendarahan trauma.
3. EEG : untuk memperlihatkan keberadaan atau
berkembangnya gelombang patologis.
Sinar X : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang
(fraktur), pergeseran struktur dari garis tengah (karena
pendarahan edema), adanya fragmen tulang.
4. BAER (Brain Auditory Evoked Respons)
Menentukan fungsi korteks dan batang otak.
5. PET (Positron Emission Tomography)
Menunjukkan perubahan aktivitas metabolisme pada otak.
6. Fungsi lumbal; CSS : dapat menduga adanya kemungkinan
pendarahan subaraknoid.
7. GDA (Gas Darah Arteri ) : dapat mengetahui adanya
masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan dapat
meningkatkan TIK.
8. Kimia/ elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan
yang berperan dalam meningkatkan TIK/ perubahan
mental.
9. Pemeriksaan toksiologi : mendeteksi obat yang mungkin
bertanggung jawab terhadap penurunan kesadaran.
10. Kadar antikonsulvan darah : dapat dilakukan untuk
mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif untuk
mengatasi kejang.
8. Diagnosa
Jenis-jenis Lesi :
• Fraktur kranium
o Fraktur kalvaria
- Fraktur linier
- Fraktur stelate
- Fraktur depressed/impresi (Tertutup/Terbuka)
o Fraktur basis kranii
Ditandai adanya memar biru hitam pada kelopak mata
(Racoon eyes) atau memar diatas prosesus mastoid
(Battle’s sign) dan atau kebocoran cairan
serebrospinalis yang menetes dari telinga atau hidung.
- LOKASI
Fossa anterior
Fossa media
Fossa posterior
- STRUKTUR BASIS KRANII Kasar
- Duramater :
- Melekat erat
- Sinus venosus duralis
- Foramina
- Vessels
- Nervi cranialis
- Brain stem
- Parenkim otak
• Epidural hematoma
Sumber perdarahan :
• Subdural hematoma
Hematoma subdural terjadi akibat pengumpulan darah diantara
dura mater dan arachnoid. Secara klinis hematoma subdural akut
sukar dibedakan dengan hematoma epidural yang berkembang
lambat. Bisa di sebabkan oleh trauma hebat pada kepala yang
menyebabkan bergesernya seluruh parenkim otak mengenai tulang
sehingga merusak a. kortikalis. Biasanya di sertai dengan
perdarahan jaringan otak. Hematom subdural atau perdarahan
subdural adalah salah satu bentuk cedera otak dimana darah
berkumpul antara duramater (lapisan pelindung terluar dari otak)
dan arachnoid (lapisan tengah menings), ruang subdural. Hematom
subdural dibagi menjadi hematom subdural akut, subakut, dan
kronik. Waktu antara timbulnya gejala bervariasi antara kurang dari
48 jam sampai beberapa minggu atau lebih. Hematom subdural
akut bila gejala pada hari pertama sampai dengan hari ke tiga,
subakut bila timbul antara hari ketiga hingga minggu ketiga, dan
kronik bila timbul sesudah minggu ketiga. Gambaran CT-Scan
hematoma subdural, tampak penumpukan cairan ekstraaksial yang
hiperdens berbentuk bulan sabit.
• Subarachnoid hemorrhage
Subarachnoid hemorrhage adalah pendarahan ke dalam ruang
(ruang subarachnoid) diantara lapisan dalam (pia mater) dan
lapisan tengah (arachnoid mater) para jaringan yang
melindungan otak (meninges).
- Penyebab yang paling umum adalah pecahnya tonjolan
pada pembuluh (aneurysm).
- Biasanya, pecah pada pembuluh menyebabkan tiba-tiba,
sakit kepala berat, seringkali diikuti kehilangan singkat
pada kesadaran.
- Computed tomography, kadangkala spinal tap belakang,
dan angiography dilakukan untuk memastikan diagnosa.
- Obat-obatan digunakan untuk menghilangkan sakit kepala
dan untuk mengendalikan tekanan darah, dan operasi
dilakukan untuk menghentikan pendarahan.
Subarachnoid hemorrhage adalah gangguan yang mengancam
nyawa yang bisa cepat menghasilkan cacat permanen yang
serius.
• Intracerebral hematoma / contusio cerebri
- Perdarahan parenkim otak
- Terbanyak frontal dan temporal
- CT :
o Densitas heterogen
o Salt and pepper
• Intraventrikel hemorrhagic
- Perdarahan dalam rongga ventrikel
- Tidak menyebabkan efek massa
- Hidrosefalus
- External Ventrikular Drainage
9. Diagnosa Banding
Jika riwayat trauma kurang jelas dan pasien tidak sadar,
kita hrs membedakan cedera kepala tertutup dengan penyebab
lainnya, seperti: koma diabetik, koma alkoholik, CVD atau
epilepsy (jika pasien kejang).
10. Terapi
ABCDE DALAM TRAUMA
Pengelolaan trauma ganda yang berat memerlukan kejelasan dalam
menetapkan prioritas. Tujuannya adalah segera mengenali cedera
yang mengancam jiwa dengan Survey Primer, seperti :
• Obstruksi jalan nafas
• Cedera dada dengan kesukaran bernafas
• Perdarahan berat eksternal dan internal
• Cedera abdomen
Jika ditemukan lebih dari satu orang korban maka pengelolaan
dilakukan berdasar prioritas (triage) Hal ini tergantung pada
pengalaman penolong dan fasilitas yang ada.
Survei ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability,
Exposure) ini disebut survei primer yang harus selesai dilakukan
dalam 2 - 5 menit. Terapi dikerjakan serentak jika korban
mengalami ancaman jiwa akibat banyak sistim yang cedera :
Airway
Menilai jalan nafas bebas. Apakah pasien dapat bicara dan bernafas
dengan bebas ?
Jika ada obstruksi maka lakukan :
• Chin lift / jaw thrust (lidah itu bertaut pada rahang bawah)
• Suction / hisap (jika alat tersedia)
• Guedel airway / nasopharyngeal airway
• Intubasi trakhea dengan leher di tahan (imobilisasi) pada posisi
netral
Breathing
Menilai pernafasan cukup. Sementara itu nilai ulang apakah jalan
nafas bebas.
Jika pernafasan tidak memadai maka lakukan :
• Dekompresi rongga pleura (pneumotoraks)
• Tutuplah jika ada luka robek pada dinding dada
• Pernafasan buatan
Berikan oksigen jika ada.
Penilaian ulang ABC harus dilakukan lagi jika kondisi pasien
tidak stabil
Sirkulasi
Menilai sirkulasi / peredaran darah. Sementara itu nilai ulang
apakah jalan nafas bebas dan pernafasan cukup. Jika sirkulasi tidak
memadai maka lakukan :
• Hentikan perdarahan eksternal
• Segera pasang dua jalur infus dengan jarum besar (14 - 16 G)
• Berikan infus cairan
Disability
Menilai kesadaran dengan cepat, apakah pasien sadar, hanya
respons terhadap nyeri atau sama sekali tidak sadar. Tidak
dianjurkan mengukur Glasgow Coma Scale
AWAKE = A
RESPONS BICARA (verbal) = V
RESPONS NYERI = P
TAK ADA RESPONS = U
Cara ini cukup jelas dan cepat.
Eksposure
Lepaskan baju dan penutup tubuh pasien agar dapat dicari semua
cedera yang mungkin ada. Jika ada kecurigaan cedera leher atau
tulang belakang, maka imobilisasi in-line harus dikerjakan.
Penanganan darurat :
Terapi Operatif
Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume :
• Penurunan klinis
• Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5
mm dengan penurunan klinis yang progresif.
• Tebal epidural hematoma > 1 cm dengan midline shift > 5
mm dengan penurunan klinis yang progresif
11. Komplikasi
a. Kejang pasca trauma:
Merupakan salah satu komplikasi serius. Insidensinya 10 %,
terjadi di awal cedera 4-25% (dalam 7 hari cedera), terjadi
terlambat 9-42% (setelah 7 hari trauma). Faktor risikonya
adalah trauma penetrasi, hematom (subdural, epidural,
parenkim), fraktur depresi kranium, kontusio serebri, GCS
<10.
b. Demam dan mengigil :
Demam dan mengigil akan meningkatkan kebutuhan
metabolism dan memperburuk “outcome”. Sering terjadi
akibat kekurangan cairan, infeksi, efek sentral.
Penatalaksanaan dengan asetaminofen, neuro muscular
paralisis. Penanganan lain dengan cairan hipertonik, koma
barbiturat, asetazolamid.
c. Hidrosefalus:
Berdasar lokasi penyebab obstruksi dibagi menjadi
komunikan dan non komunikan. Hidrosefalus komunikan lebih
sering terjadi pada cedera kepala dengan obstruksi,
Hidrosefalus non komunikan terjadi sekunder akibat
penyumbatan di sistem ventrikel. Gejala klinis hidrosefalus
ditandai dengan muntah, nyeri kepala, papil udema,
dimensia, ataksia, gangguan miksi.
d. Spastisitas :
Spastisitas adalah fungsi tonus yang meningkat tergantung
pada kecepatan gerakan. Merupakan gambaran lesi pada
UMN. Membentuk ekstrimitas pada posisi ekstensi. Beberapa
penanganan ditujukan pada : Pembatasan fungsi gerak, Nyeri,
Pencegahan kontraktur, Bantuan dalam posisioning.
Terapi primer dengan koreksi posisi dan latihan ROM, terapi
sekunder dengan splinting, casting, farmakologi: dantrolen,
baklofen, tizanidin, botulinum, benzodiasepin.
e. Agitasi :
Agitasi pasca cedera kepala terjadi > 1/3 pasien pada
stadium awal dalam bentuk delirium, agresi, akatisia,
disinhibisi, dan emosi labil. Agitasi juga sering terjadi akibat
nyeri dan penggunaan obat-obat yang berpotensi sentral.
Penanganan farmakologi antara lain dengan menggunakan
antikonvulsan, antihipertensi, antipsikotik, buspiron,
stimulant, benzodisepin dan terapi modifikasi lingkungan.
f. Mood, tingkah laku dan kognitif :
Gangguan kognitif dan tingkah laku lebih menonjol dibanding
gangguan fisik setelah cedera kepala dalam jangka lama.
Penelitian Pons Ford,menunjukkan 2 tahun setelah cedera
kepala masih terdapat gangguan kognitif, tingkah laku atau
emosi termasuk problem daya ingat pada 74 %, gangguan
mudah lelah (fatigue) 72%, gangguan kecepatan berpikir
67%. Sensitif dan Iritabel 64%, gangguan konsentrasi 62%.
Cicerone (2002) meneliti rehabilitasi kognitif berperan penting
untuk perbaikan gangguan kognitif. Methyl phenidate sering
digunakan pada pasien dengan problem gangguan perhatian,
inisiasi dan hipoarousal (Whyte). Dopamine, amantadinae
dilaporkan dapat memperbaiki fungsi perhatian dan fungsi
luhur. Donepezil dapat memperbaiki daya ingat dan tingkah
laku dalam 12 minggu. Depresi mayor dan minor ditemukan
40-50%. Faktor resiko depresi pasca cedera kepala adalah
wanita, beratnya cedera kepala, pre morbid dan gangguan
tingkah laku dapat membaik dengan antidepresan.
g. Sindroma post kontusio :
Merupakan komplek gejala yang berhubungan dengan cedera
kepala 80% pada 1 bulan pertama, 30% pada 3 bulan
pertama dan 15% pada tahun pertama:
Somatik : nyeri kepala, gangguan tidur, vertigo/dizzines,
mual, mudah lelah, sensitif terhadap suara dan cahaya,
kognitif: perhatian, konsentrasi, memori,
Afektif: iritabel, cemas, depresi, emosi labil
12. Prognosa
Penanganan pada cedera kepala harus dilakukan sedini
mungkin untuk mencegah cedera otak sekunder dan akibat
lainnya yang dapat meningkatkan angka mortalitas. Penderita
cedera kepala yang dalam keadaan hipotensi mempunyai
angka mortalitas dua kali lebih besar dibandingkan dengan
yang tidak. Oleh sebab itu pada penderita cedera kepala
stabilisasi kardiopulmuner juga sangat penting.
Hampir 20% penderita cedera kepala meninggal akibat
penanganan atau perawatan yang salah sebelum sampai di
rumah sakit. Penyebab tersering adalah syok, hipoksemia dan
hiperkarbia. Dengan demikian prinsip penanganan ABC
(airway, breathing dan circulation) harus dilaksanakan dengan
tidak melakukan manipulasi yang berlebihan yang dapat
memperberat cedera pada anggota tubuh yang lain seperti
leher, tulang belakang, dada & pelvis.
Faktor-faktor yang memperburuk prognosis adalah :
-Terlambatnya penanganan awal dan resusitasi.
-Pengangkutan/transport yang tidak adekuat.
-Dikirim ke RS yang tidak adekuat.
-Tindakan bedah yang terlambat.
-Disertai dengan cedera multipel yang lain.
-Besar lesi dan lokasinya ( infratentorial lebih jelek)
Mortalitas pasien dengan peningkatan tekanan
Intrakranial > 20 mmHg selama perawatan mencapai 47%,
sedangkan TIK di bawah 20 mmhg kematiannya 39%. Tujuh
belas persen pasien sakit cedera kepala berat mengalami
gangguan kejang-kejang dalam dua tahun pertama post
trauma. Lamanya koma berhubungan signifikan dengan
pemulihan amnesia.
Pemeriksaan penunjang preditor prognosis cedera kepala:
Skor GCS (Penurunan kesadaran pada saat kejadian,
penurunan kesadaran < 30 menit, penurunan kesadaran
setelah 30 menit, amnesia < 24 jam)
William, 2001 meneliti 215 cedera kepala : pasien-pasien
cedera kepala sedang dengan komplikasi (CT Scan +)
terdapat gangguan fungsi neuropsikiatri setelah 6 bulan.
Rontgen tulang tidak direkomendasikan untuk evaluasi
cedera kepala ringan dan sedang dan sensitifitasnya rendah
terhadap adanya lesi intrakranial.
Faktor-faktor yang dapat menjadikan ”Predictor outcome”
cedera kepala adalah: lamanya koma, durasi amnesia post
trauma, area kerusakan cedera pada otak mekanisme cedera
dan umur.
Pengukuran outcome:
Beberapa pengukuran outcome setelah cedera kepala yang
sering digunakan antara lain:
• Glasgow Outcome Scale (GOS) :
Terdiri 5 kategori, meninggal, status vegetative,
kecacatan yang berat, kecacaatan sedang (dapat hidup
mandiri tetapi tidak dapat kembali ke sekolah dan
pekerjaannya), kembali pulih sempurna (dapat kembali
bekerja/sekolah).
13. Kesimpulan
Penanganan awal cedera kepala sangat penting karena
dapat mencegah terjadinya cedera otak sekunder sehingga
dapat menekan morbiditas dan mortalitasnya. Cedera kepala
merupakan masalah kesehatan yang akan makin bertambah
besar. Penanganan fase akut yang tepat dapat memperbesar
kemungkinan hidup pasien dan mencegah kecacadan di
kemudian hari. Di samping penanganan dan pengawasan
fungsi vital, pemantauan tingkat kesadaran dan kemungkinan
komplikasi lainnya amat penting. Pengobatan terutama
ditujukan untuk mengurangi edema otak dan mencegah
komplikasi yang mungkin terjadi. Tujuan dari penanganan
cedera kepala bukan lagi sekadar menolong jiwa tetapi
menyembuhkan penderita dengan sequele yang seminimal
mungkin.