You are on page 1of 39

Cedera Kepala

TK adalah trauma yang mengenai calvaria dan atau basis cranii


serta organ-organ di dalamnya, dimana kerusakan tersebut bersifat
non-degeneratif/non-kongenital, yang disebabkan oleh gaya
mekanik dari luar kemudian menimbul gangguan fisik, kognitif
maupun sosial serta berhubungan dengan atau tanpa penurunan
tingkat kesadaran.

1.Anatomi
Sistem persyarafan terdiri dari :
a. Susunan saraf sentral terbagi atas medulla spinalis dan otak.
Dalam medulla spinalis keluar 31 pasang saraf yang terdiri
dari : saraf servikalis 8 pasang, toraka 12 pasang, tumbal 5
pasang, sacral 5 pasang dan koksigeal 1 pasang.
Otak terbagi atas :
1. Otak besar (serebrum)
a) Serebrum (otak besar) merupakan bagian terluas dan
terbesar dari otak, berbentuk telur, mengisi penuh bagian
depan atas rongga tengkorak, pada serebrum ditemukan
beberapa lobus yaitu : lobus frontalis, lobus parietalis, lobus
temporalis dan lobus oksipitalis.
b) Fungsi serebrum adalah :
(1) Mengingat pengalaman-pengalaman yang lalu.
(2) Pusat persyarafan yang menangani aktivitas mental,
akal, intelegensi, keinginan dan memori.
(3) Pusat menangis, buang air besar dan buang air kecil.
2. Otak kecil (serebelum)
Serebelum (otak kecil) terletak pada bagian bawah dan
belakang tengkorak, dipisahkan dengan serebrum oleh fisura
transversalis dibelakangi oleh ponsvaroli dan di atas medulla
oblongata.
Serebelum merupakan pusat koordinasi dan integritasi,
bentuk oval bagian yang mengecil pada sentral disebut
vermis dan bagian yang melebar pada laferal disebut
hemisfer.
a) Fungsi serebelum adalah :
(1) Arkhio serebelum (vestibula serebelum) untuk
keseimbangan dan ransangan pendengaran otak.
(2) Plea serebelum (spino serebelum) sebagai pusat penerima
impuls.
(3) Neo serebelum (ponto serebelum) menerima informasi
tentang gerakan yang sedang dilakukan dan yang akan
dikerjakan dan mengatur gerakan sisi badan.
b. Susunan syaraf perifer, terdiri dari :
1) Susunan syaraf somatik.
Susunan syaraf somatik yang mempunyai peranan spesifik
untuk mengatur aktivitas otot sadar atau serat lintang.
2) Susunan syaraf otonom .
Terdiri dari : susunan syaraf simpatis dan susunan syaraf
parasimpatis.
Susunan syaraf otonom mempunyai peranan penting
mempengaruhi pekerjaan otot tidak sadar (otot polos) seperti
jantung, hati, pankreas, jalan pencernaan, kalenjar dan lain-
lain. (Drs. Syaifuddin, B.Ac, 1997 : 139-144).
Syaraf kepala ada 12 pasang (susunan syaraf tepi).
Tabel 1. Fungsi syaraf kranial
Syaraf Karnial
Fungsi
II. (Olfaktorius)
III. (Optikus)
IV. (Okulomotorius)
V. (Troklear)
VI. (Trigeminus)
VII. (Abdusen)
VIII. (Fasial)
IX. (Vestibulkokhlearlis)
X. (Glasofaringeal)
XI. (Vagus)
XII. (Asesoris)
XIII. (Hipoglosus)
3) Batang otak (trunkus serebri) terdiri atas :
a. Diensefalon, bagian batang otak paling atas terdapat di
antara serebelum dengan mesensepalon.
Fungsi diensefalon adalah :
(1) Vasokonstruktur, mengecilkan pembuluh darah.
(2) Respirasi membantu proses persyarafan.
(3) Mengontrol kegiatan reflek.
(4) Membantu pekerjaan jantung.
b. Mesensepalon, atap dari mesensepalon terdiri dari 4 bagian
yang menonjol ke atas, 2 sebelah atas disebut korpus
kuadrigeminus superior dan 2 sebelah bawah disebut korpus
kuadrigeminus inferior.
Fungsi dari mesensepalon adalah :
(1) Membantu pergerakan mata dan mengangkat kelopak
mata.
(2) Memutar mata dan pusat pergerakan mata.
c. Pons varoli adalah pita melingkar yang luas, yang
menghubungkan kedua sisi serebelum, di sini terdapat
prematoksoid yang mengatur gerakan pernafasan dan reflek.
Fungsi pons varoli adalah :
(1) Penghubung antara kedua bagian serebelum dan juga
antara medulla oblongata dan serebrum.
(2) Pusat syaraf trigeminus.
d. Medulla oblongata, merupakan bagian dari batang otak
yang paling basah yang menghubungkan pons varoli dengan
medulla spinalis. Bagian bawah medulla oblongata
merupakan persambungan medulla spinalis ke atas dan
bagian atas medulla oblongata melebar disebut kanalis
sentralis di daerah tengah bagian ventral medulla oblongata.
Fungsi oblongata adalah :
(1) Mengontrol pekerjaan jantung.
(2) Mengecilkan pembuluh darah (vasokonstruktur)
(3) Pusat pernafasan (respiratory center)
(4) Mengontrol kegiatan reflek.

• Calvaria (os frontalis, parietalis, occipitalis, dan temporalis).


• Basis cranii (os petrosus, ethmoidalis, sphenoidalis,
mastoideus, dan atap orbita)  fossa crania anterior, media
dan posterior.

• Struktur pelindung otak : Rambut, kulit, tulang, meninges dan


cairan serebrospinal (LCS)
• Struktur otak:
o Otak → 100 milyar neuron & 1 trilyun neuroglia.
o Berat ± 1400 gram atau 2% BB manusia, dikelilingi LCS
→ mengisi ruang Subaraknoid.
o Komponen otak : cerebrum, cerebellum dan batang
otak.
o Pasokan darah otak dari : a. carotis interna dan a.
vertebralis.

2. Epidemiologi
Trauma merupakan penyebab utama kematian pada populasi
di bawah 45 tahun, dan merupakan penyebab kematian nomor 4
pada seluruh populasi. Lebih dari 50% kematian disebabkan oleh
cedera kepala dan kecelakaan kendaraan bermotor. Setiap
tahun yang mengalami cedera kepala lebih dari 2 juta orang,
75.000 orang di antaranya meninggal dunia. Lebih dari 100.000
orang yang selamat akan mengalami disabilitas permanen.
Sebab-sebab cedera kepala diantaranya:
- Kecelakaan lalu lintas 50%
- Terjatuh 21%
- Kekerasan 12%
- Rekreasi dan olahraga 10%
- Lain-lain 7%

3. Klasifikasi

Klasifikasi Berdasarkan Patofisiologis


a. TK Primer

TK primer merupakan efek langsung trauma pada fungsi otak,


dimana kerusakan neurologis langsung disebabkan oleh suatu
benda/serpihan tulang yang menembus/merobek jaringan
otak karena efek percepatan-perlambatan (Lombardo, 1995).
Jaringan yang mungkin terkena pada TK adalah:

1. Kulit (hematom kulit kepala; luka kulit kepala  luka


lecet dan luka robek).
2. Tulang (fraktur calvaria  linear, impresi, depresi,
ekspresi; fraktur basis cranii).
3. Lesi intrakranial :

• Lesi fokal (Kontusio cerebri, PIS, PED, PSD, PSA).


• Lesi difus (Konkusio/comutio cerebri, Cedera Axonal
Difus, Laserasi cerebri).

b. TK Sekunder

Menurut Listiono (1998) dan Fauzi (2002), penyebab TK


sekunder adalah:

• Penyebab sistemik (hipotensi, hipoksia, hipertermi,


hiponatremia).
• Penyebab intrakranial (TIK meningkat, hematom,
edema, kejang, vasospasme dan infeksi).

Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan


Mengingat fasilitas pemeriksaan neuroradiologis berupa CT-
scan masih jarang, maka agar dapat mengelola dengan baik,
pasien-pasien cedera otak, khususnya jenis tertutup,
berdasarkan gangguan kesadarannya (berdasarkan Glasgow
Coma Scale + GCS) dikelompokkkan menjadi :

1. Cedera kepala ringan

GCS : 14-15 bisa disertai disorientasi, amnesia, sakit kepala,


mual, muntah.

2. Cedera kepala sedang

GCS : 9-13 atau lebih dari 12 tetapi disertai kelainan


neurologis fokal.

Disini pasien masih bisa mengikuti/menuruti perintah


sederhana.

3. Cedera kepala berat

GCS : 8 atau kurang (penderita koma), dengan atau tanpa


disertai gangguan fungsi batang otak. Perlu ditekankan di sini
bahwa penilaian derajat gangguan kesadaran ini dilakukan
sesudah stabilisasi sirkulasi dan pernafasan guna memastikan
bahwa defisit tersebut diakibatkan oleh cedera otak dan
bukan oleh sebab yang lain. Skala ini yang digunakan untuk
menilai derajat gangguan kesadaran, dikemukakan pertama
kali oleh Jennet dan Teasdale pada tahun 1974. Penilaiannya
adalah berdasarkan respons membuka mata (= E), respon
motorik (= M) dan respon verbal (= V). Pemeriksaan GCS
tidak memerlukan alat bantu, mudah dikerjakan sehingga
dapat dilakukan dimana saja oleh siapa saja.

Daftar penilaian GCS selengkapnya adalah seperti terlihat


pada tabel di bawah ini.

1. Kemampuan membuka kelopak mata (E)


• Secara spontan 4
• Atas perintah 3
• Rangsangan nyeri 2
• Tidak bereaksi 1
2. Kemampuan komunikasi (V)
• Orientasi baik 5
• Jawaban kacau 4
• Kata-kata tidak berarti 3
• Mengerang 2
• Tidak bersuara 1

3. Kemampuan motorik (M)


• Kemampuan menurut perintah 6
• Reaksi setempat 5
• Menghindar 4
• Fleksi abnormal 3
• Ekstensi 2
• Tidak bereaksi 1

* GCS sum score = (E + M + V); best possible score = 15; worst


possible score = 3
Menilai tingkat keparahan cedera kepala :

a. Cedera kepala ringan (kelompok resiko rendah)

1) Skor skala koma glasglow 14-15 (sadar penuh atentif dan


orientif).

2) Tidak ada hilang kesadaran (misal konkusio).

3) Tidak ada intoksikasi alcohol atau obat terlarang.

4) Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing.

5) Tidak adanya kriteria cedera (sedang-berat).

b. Cedera kepala sedang (kelompok resiko sedang).

1) Skor skala koma glasglow 9-12 (konfusi, latergi atau tupar)

2) Konkusi.

3) Amnesia pasca trauma dan disorientasi ringan (bingung).

4) Muntah.

5) Tanda kemungkinan fraktur kranium.

6) Kejang.

c. Cedera kepala berat (kelompok resiko berat)

1) Skor skala koma glasglow 3-8 (coma)


2) Penurunan derajat kesehatan secara progresif.

3) Tanda neorologi lokal.

4) Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium.

Klasifikasi Berdasarkan Mekanisme

Luka tumpul

• High velocity
• Low velocity

Luka tembus

• Gun shoot wound


• dsb

Klasifikasi Berdasarkan morfologi

• Fraktur tengkorak

• Kranium

- Linear , stellate
- Depressed / non depressed
- Open
• Basis

- Dengan atau tanpa kebocoran CSF


- Dengan atau tanpa kelumpuhan saraf cranial

• Lesi intracranial

• Fokal

- Epidural
- Subdural
- Intracerebral
- Subarachnoid
- Intraventricular

• Difus

- Mild concussion
- Classic concussion
- Diffuse axonal injury

4. Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan
glukosa dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan di dalam sel-
sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak
tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran
darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan
gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan glukosa
sebagai bahan bakar metabolisme otak, tidak boleh kurang
dari 20 mg%, karena akan menimbulkan koma, kebutuhan
glukosa sebanyak 25% dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh,
sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70% akan
terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi serebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha
memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolik
anaerob, yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah.
a. Faktor Kardiovaskuler
Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung
mencakup aktivitas atipikal myocardial, perubahan tekanan
vaskuler dan edema paru.
Akibat adanya pendarahan otak akan mempengaruhi tekanan
vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan
pembuluh darah arteriol akan berkontraksi.
Aktivitas miokard berubah termasuk peningkatan frekuensi
jantung dan menurunnya stroke work dimana pembacaan
CVP abnormal, tidak adanya stimulus endogen syaraf simpatis
mempengaruhi penurunan kontraktilitas ventrikel. Hal ini
menyebabkan penurunan curah jantung dan meningkatkan
tekanan atrium kiri, akibatnya tubuh berkompensasi dengan
meningkatkan tekanan sistolik. Pengaruh dari adanya
peningkatan tekanan atrium kiri adalah terjadinya edema
paru.
b. Faktor Respiratori
Adanya edema paru pada trauma kepala dan vasokontriksi
paru atau hipertensi paru menyebabkan hiperpnoe dan
bronkokonstriksi
Edema otot karena trauma adalah bentuk vasogenik, edema
otak terjadi karena penekanan terhadap pembuluh darah dan
jaringan sekitarnya. Edema otak ini dapat menyebabkan
kematian otak (iskemia) dan tingginya tik yang dapat
menyebabkan herniasi dan penekanan batang otak atau
medulla oblongata.
Akibat penekanan darah medulla oblongata dapat
menyebabkan pernafasan ataksia dimana ditandai dengan
irama nafas tidak teratur atau pola nafas tidak efektif.
c. Faktor Respiratori
Trauma kepala yang mempengaruhi sistem gastrointestinal,
setelah trauma kepala (3 hari) terdapat respon tubuh dengan
merangsang aktivitas hipotalamus dan stimulus vagal. Dan
hal ini akan merangsang lambung menjadi hiperasiditas.
Hiperasiditas yang tidak ditangani akan menyebabkan
pendarahan lambung.
d. Faktor Psikososial
Selain dampak masalah yang mempengaruhi fisik pasien,
trauma kepala pada pasien adalah suatu pengalaman yang
menakutkan. Gejala sisa yang timbul pascatrauma akan
mempengaruhi psikis pasien. Demikian pula pada trauma
berat yang menyebabkan penurunan kesadaran dan
penurunan fungsi neorologis akan mempengaruhi psikososial
pasien dan keluarga. (Elyna. S Laura Siahaan, Skp, 1996 : 54).

Patofisiologi Peningkatan TIK


Tekanan intra krania Compartment rongga kepala orang
dewasa rigid tidak dapat berkembang yang terisi 3 komponen
yaitu Jaringan otak seberat 1200 gram, Cairan liquor
serebrospinalis seberat 150 gram, Darah dan pembuluh darah
seberat 150 gram. Menurut doktrin Monroe – kellie, jumlah
massa yang ada dalam rongga kepala adalah konstan jika
terdapat penambahan massa (misal hematom, edema, tumor,
abses) maka sebagian dari komponen tersebut mengalami
kompensasi/bergeser, yang mula – mula ataupun canalis
centralis yang ada di medulla spinalis yang tampak pada
klinis penderita mengalami kaku kuduk serta pinggang terasa
sakit dan berat. Jika kompensasi dari cairan serebrospinalis
sudah terlampaui sedangkan penambahan massa masih terus
berlangsung maka terjadi kompensasi kedua yaitu
kompensasi dari pembuluh darah dan isinya yang bertujuan
untuk mengurangi isi rongga intrakranial dengan cara Vaso
konstriksi yang berakibat tekanan darah meningkat, Denyut
nadi menurun (bradikardia), yang merupakan tanda awal dari
peningkatan tekanan intrakranial, kedua tanda ini jika disertai
dengan ganguan pola napas disebut “trias cushing”. Jika
kompensasi kedua komponen isi rongga intrakranial sudah
terlampaui sedangkan penambahan massa masih terus
berlangsung maka jaringan otak akan melakukan kompensasi
yaitu berpindah ketempat yang kosong (“locus minoris”)
perpindahan jaringan otak tersebut disebut herniasi cerebri.
Tanda - tanda klinis herniasi cerebri tergantung dari
macamnya, pada umumnya klinis dari peningkatan tekanan
intrakranial adalah Nyeri kepala, Mual, Muntah, Pupil bendung
(Sumarmo Markam et.al ,1999)
Herniasi otak
Herniasi otak adalah berpindahnya jaringan otak dari satu
kompartimen otak kelainnya.
Perdarahan yang makin lama makin besar pada suatu saat
akan mengadakan herniasi. Untuk perdarahan infratentorial
proses terjadinya herniasi bahkan lebih cepat.
Secara singkat : tergantung letaknya bisa terjadi hernia lewat
hiatus tentorii yang dikenal juga sebagai uncal herniation atau
hernia lewat foramen magnum untuk tumor di fossa posterior.

a) Uncal atau tentorial herniation.


Yang mengadakan herniasi adalah sebagian dari lobus
temporalis ( uncus ) yang terdorong lewat lobang atau hiatus
pada tentorium. Dengan demikian terjadi pendesakan pada
struktur otak yang telah lebih dulu ada disitu yaitu
mesensefalon dengan jaras piramidal serta nervus III.
Gejala yang nampak pada pasien adalah gejala terganggunya
nervus III + gejala piramidal. Biasanya disertai dengan
penurunan kesadaran dan tanda kenaikan tekanan
intrakranial yang lain.
Tindakan :
- Berikan larutan hiperosmolar seperti mannitol,
20%,dosis untuk dewasa biasanya 200 ml, diberi secara
cepat dalam tempo 20-30 menit.
- Berikan dexamethason, 5 mg intravena, 4x sehari.
- Konsulkan ke ahli Bedah Saraf bila mungkin.
b) Herniasi lewat foramen magnum.
Biasanya terjadi karena tumor di fossa posterior. Tonsilla
cerebelli merosot kebawah lewat foramen magnum hingga
terjadi penekanan pada medulla oblongata. Gejala yang
timbul adalah terjadinya decerebrate rigidity ditambah
dengan gangguan pernafasan. Prognosa biasanya buruk
walaupun diberi terapi untuk mengurangi tekanan intrakranial
dengan cepat.
Secara teoretis masih ada beberapa jenis herniasi otak yang
lain namun relatif lebih jarang dan kiranya tidak penting
untuk seorang dokter umum.

5. Gejala Klinis
- confusion, agitation, drowsiness
- changes in pupillary response
- weakness on one side of the body
- Headache, seizures
- Nausea & Vomiting
- Blurred Vision
- Papilloedema
- In Paediatrics – Persistent Crying & Refusal to eat
- Cushing responses :
• Hipertensi
• Bradikardi
• Change of respiratory pattern
Kehilangan fungsi neorologis sementara tanpa penampilan
kerusakan struktural.
1. Umumnya terjadi periode ketidaksadaran yang
berlangsung selama beberapa detik sampai beberapa menit.
2. Getaran pada otak mungkin sangat ringan sehingga hanya
menyebabkan pusing dan mata berkunang-kunang.
3. Jika mengenai lobus frontalis, pasien mungkin
menunjukkan perilaku kacau (bizare) irasional.
4. Jika yang terkena lobus temporal, pasien akan
menunjukkan amnesia temporer atau disorientasi.

2. Mekanisme Cedera Kepala

1. Direct Impact → lesi berada satu sisi dengan trauma

2. Akselerasi-Deselerasi

* Dasar : massa jenis kranium > massa jenis otak.

* Terjadi percepatan kranium searah dengan trauma padahal


cerebrum sedang dalam perjalanan searah trauma→ terjadi
benturan antara kranium dengan cerebrum.

3. Shock wave injury

- Dasar : trauma merupakan gelombang yang dijalarkan


melalui kranium dan cerebrum.

- Terjadi pada trauma beberapa kali sekaligus:

* trauma I → terjadi perambatan gelombang.

* trauma II → gelombang dialirkan kembali kearah semula


sehingga terjadi benturan 2 gelombang yang
mengakibatkan kerusakan berupa kontusio/comutio.
4. Rotational injury

Trauma dengan membentuk sudut akibat putaran kepala


(pemuntiran).

Empat mekanisme utama pada cedera kepala yaitu:


a. kontusi otak
b. kenaikan tekanan intra cranial
c. ”diffuse axonal injury”
d. iskemik dan perdarahan

6. Pemeriksaan
Anamnesis
Informasi yang diperlukan:
 Identitas pasien: Nama, Usia, Sex, Suku, Agama, Pekerjaan, Alamat
 Mekanisme trauma
 Pernah pingsan atau sadar setelah trauma
 Amnesia retrograde atau antegrade
 Keluhan: Nyeri kepala seberapa berat, kejang, vertigo
 Riwayat mabuk, alkohol, narkotika
 Penyakit penyerta : Epilepsi, jantung, asma, riwayat
operasi kepala, hipertensi, DM, gangguan faal
pembekuan darah

Pemeriksaan fisik umum


Pemeriksaan dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi
unutk menentukan kelainan : Dari ujung rambut sampai ujung
kaki
Per sistem B1-B6 (Breath, Blood, Brain,
Bowel, Bladder, Bone)
- Pemeriksaan kepala :
Jejas di kepala : hematome sub kutan, sub galeal, luka
terbuka, luka tembus dan benda asing
Tanda fraktur basis kranii
Fraktur tulang wajah
Trauma mata
Auskultasi a.carotis
- Pemeriksaan leher dan tulang belakang :
Jejas, deformitas, status motorik, sensorik, autonomik.
- Pemeriksaan neurologis :
Tingkat kesadaran : GCS
Lesi Saraf kranial
Funduskopi : edema pupil
Motoris, sensoris, autonomis

7. Pemeriksaan Tambahan
1. C.T. Scan (tanpa / dengan kontras)
Mengidentifikasi adanya sol, hemoragik, menentukan
ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
2. M.R.I. (tanpa / dengan kontras)
Angiografi serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi
serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibatnya
oedema, pendarahan trauma.
3. EEG : untuk memperlihatkan keberadaan atau
berkembangnya gelombang patologis.
Sinar X : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang
(fraktur), pergeseran struktur dari garis tengah (karena
pendarahan edema), adanya fragmen tulang.
4. BAER (Brain Auditory Evoked Respons)
Menentukan fungsi korteks dan batang otak.
5. PET (Positron Emission Tomography)
Menunjukkan perubahan aktivitas metabolisme pada otak.
6. Fungsi lumbal; CSS : dapat menduga adanya kemungkinan
pendarahan subaraknoid.
7. GDA (Gas Darah Arteri ) : dapat mengetahui adanya
masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan dapat
meningkatkan TIK.
8. Kimia/ elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan
yang berperan dalam meningkatkan TIK/ perubahan
mental.
9. Pemeriksaan toksiologi : mendeteksi obat yang mungkin
bertanggung jawab terhadap penurunan kesadaran.
10. Kadar antikonsulvan darah : dapat dilakukan untuk
mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif untuk
mengatasi kejang.

Indikasi foto polos:


• Kehilangan kesadaran, amnesia
• Nyeri kepala menetap
• Gejala neorologis fokal
• Jejas pada kulit kepala
• Kecurigaan luka tembus
• Keluar cairan cerebrospinal atau darah dari hidung atau
telinga
• Deformitas tulang kepala, terlihat atau teraba
• Kesulitan dalam penilaian klinis : mabuk, intoksikasi,
epilepsi, pasien anak
• Pasien dengan GCS 15, tanpa keluhan dan gejala, tetapi
mempunyai resiko benturan langsung atau jatuh pada
permukaan yang keras, pasien usia >50 tahun
Indikasi CT Scan
• GCS <13 setelah resusitasi
• Deteriorisasi neurologis : penurunan GCS 2 poin atau
lebih, hemiparesis, kejang
• Nyeri kepala, muntah yang menetap
• Terdapat tanda fokal neurologis
• Terdapat tanda fraktur atau kecurigaan fraktur
• Trauma tembus, atau kecurigaan trauma tembus
• Evaluasi pasca operasi
• Pasien multitrauma (trauma signifikan lebih dari 1
organ)
• Indikasi sosial
Kriteria masuk rumah sakit
• Kebingungan atau riwayat pingsan/penurunan
kesadaran
• Keluhan dan gejala neurologis, termasuk nyeri kepala
menetap dan muntah
• Kesulitan dalam penilaian klinis : alkohol, apilepsi
• Kondisi medik lain : gangguan koagulasi, diabates
mellitus
• Fraktur cranii
• CT Scan kepala abnormal
• Tak ada yang dapat bertanggung jawab untuk observasi
di luar rumah sakit
• Umur pasien > 50 tahun
• Anak-anak (<18 tahun)
• Indiksi sosial
Kriteria pulang dari RS:
• Sadar orientasi baik, tidak pernah pingsan
• Tidak ada gejala neurologis
• Keluhan berkurang, muntah atau nyri kepala hilang
• Tak ada fraktur kepala atau basis kranii
• Ada yang mengawasi di rumah
• Tempat tinggal dalam kota

8. Diagnosa
Jenis-jenis Lesi :
• Fraktur kranium 
o Fraktur kalvaria
- Fraktur linier
- Fraktur stelate
- Fraktur depressed/impresi (Tertutup/Terbuka)
o Fraktur basis kranii
Ditandai adanya memar biru hitam pada kelopak mata
(Racoon eyes) atau memar diatas prosesus mastoid
(Battle’s sign) dan atau kebocoran cairan
serebrospinalis yang menetes dari telinga atau hidung.
- LOKASI
 Fossa anterior
 Fossa media
 Fossa posterior
- STRUKTUR BASIS KRANII  Kasar
- Duramater :
- Melekat erat
- Sinus venosus duralis
- Foramina
- Vessels
- Nervi cranialis
- Brain stem
- Parenkim otak

• Epidural hematoma

Epidural hematom adalah salah satu jenis perdarahan


intracranial yang paling sering terjadi karena fraktur tulang
tengkorak. Otak di tutupi olek tulang tengkorak yang kaku dan
keras. Otak juga di kelilingi oleh sesuatu yang berguna sebagai
pembungkus yang di sebut dura. Fungsinya untuk melindungi otak,
menutupi sinus-sinus vena, dan membentuk periosteum tabula
interna.. Ketika seorang mendapat benturan yang hebat di kepala
kemungkinan akan terbentuk suatu lubang, pergerakan dari otak
mungkin akan menyebabkan pengikisan atau robekan dari
pembuluh darah yang mengelilingi otak dan dura, ketika pembuluh
darah mengalami robekan maka darah akan terakumulasi dalam
ruang antara dura dan tulang tengkorak, keadaan inlah yang di
kenal dengan sebutan epidural hematom.

Epidural hematom sebagai keadaan neurologist yang bersifat


emergency dan biasanya berhubungan dengan linear fraktur yang
memutuskan arteri yang lebih besar, sehingga menimbulkan
perdarahan. Venous epidural hematom berhubungan dengan
robekan pembuluh vena dan berlangsung perlahan-lahan. Arterial
hematom terjadi pada middle meningeal artery yang terletak di
bawah tulang temporal. Perdarahan masuk ke dalam ruang
epidural, bila terjadi perdarahan arteri maka hematom akan cepat
terjadi.

Pada hematom epidural, perdarahan terjadi di antara tulang


tengkorak dan dura meter. Perdarahan ini lebih sering terjadi di
daerah temporal bila salah satu cabang arteria meningea media
robek. Robekan ini sering terjadi bila fraktur tulang tengkorak di
daerah bersangkutan. Hematom dapat pula terjadi di daerah frontal
atau oksipital.

Arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui


foramen spinosum dan jalan antara durameter dan tulang di
permukaan dan os temporale. Perdarahan yang terjadi
menimbulkan hematom epidural, desakan oleh hematoma akan
melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala sehingga
hematom bertambah besar.
Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan
tekanan pada lobus temporalis otak kearah bawah dan dalam.
Tekanan ini menyebabkan bagian medial lobus mengalami herniasi
di bawah pinggiran tentorium. Keadaan ini menyebabkan timbulnya
tanda-tanda neurologik yang dapat dikenal oleh tim medis.

Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi arteria yang


mengurus formation retikularis di medulla oblongata menyebabkan
hilangnya kesadaran. Di tempat ini terdapat nuclei saraf cranial
ketiga (okulomotorius). Tekanan pada saraf ini mengakibatkan
dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan
kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan
kelemahan respons motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau
sangat cepat, dan tanda babinski positif.

Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak


akan terdorong kearah yang berlawanan, menyebabkan tekanan
intracranial yang besar. Timbul tanda-tanda lanjut peningkatan
tekanan intracranial antara lain kekakuan deserebrasi dan
gangguan tanda-tanda vital dan fungsi pernafasan.

Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan


terpompa terus keluar hingga makin lama makin besar. Ketika
kepala terbanting atau terbentur mungkin penderita pingsan
sebentar dan segera sadar kembali. Dalam waktu beberapa jam ,
penderita akan merasakan nyeri kepala yang progersif memberat,
kemudian kesadaran berangsur menurun. Masa antara dua
penurunan kesadaran ini selama penderita sadar setelah terjadi
kecelakaan di sebut interval lucid. Fenomena lucid interval terjadi
karena cedera primer yang ringan pada Epidural hematom. Kalau
pada subdural hematoma cedera primernya hamper selalu berat
atau epidural hematoma dengan trauma primer berat tidak terjadi
lucid interval karena pasien langsung tidak sadarkan diri dan tidak
pernah mengalami fase sadar.

Sumber perdarahan :

• Artery meningea ( lucid interval : 2 – 3 jam )


• Sinus duramatis
• Diploe (lubang yang mengisis kalvaria kranii) yang berisi a.
diploica dan vena diploica

Epidural hematoma merupakan kasus yang paling emergensi di


bedah saraf karena progresifitasnya yang cepat karena durameter
melekat erat pada sutura sehingga langsung mendesak ke
parenkim otak menyebabkan mudah herniasi trans dan infra
tentorial.Karena itu setiap penderita dengan trauma kepala yang
mengeluh nyeri kepala yang berlangsung lama, apalagi progresif
memberat, harus segera di rawat dan diperiksa dengan teliti.

Dengan CT-scan dan MRI, perdarahan intrakranial akibat trauma


kepala lebih mudah dikenali.

Foto Polos Kepala

Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti


sebagai epidural hematoma. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-
P), lateral dengan sisi yang mengalami trauma pada film untuk
mencari adanya fraktur tulang yang memotong sulcus arteria
meningea media. Fraktur impresi dan linier pada tulang parietal,
frontal dan temporal.

Computed Tomography (CT-Scan)

Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek,


dan potensi cedara intracranial lainnya. Pada epidural biasanya
pada satu bagian saja (single) tetapi dapat pula terjadi pada kedua
sisi (bilateral), berbentuk bikonfeks, paling sering di daerah
temporoparietal. Densitas darah yang homogen (hiperdens),
berbatas tegas, midline terdorong ke sisi kontralateral. Terdapat
pula garis fraktur pada area epidural hematoma, Densitas yang
tinggi pada stage yang akut ( 60 – 90 HU), ditandai dengan adanya
peregangan dari pembuluh darah.

Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang


menggeser posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak dan
duramater. MRI juga dapat menggambarkan batas fraktur yang
terjadi. MRI merupakan salah satu jenis pemeriksaan yang dipilih
untuk menegakkan diagnosis.

• Subdural hematoma
Hematoma subdural terjadi akibat pengumpulan darah diantara
dura mater dan arachnoid. Secara klinis hematoma subdural akut
sukar dibedakan dengan hematoma epidural yang berkembang
lambat. Bisa di sebabkan oleh trauma hebat pada kepala yang
menyebabkan bergesernya seluruh parenkim otak mengenai tulang
sehingga merusak a. kortikalis. Biasanya di sertai dengan
perdarahan jaringan otak. Hematom subdural atau perdarahan
subdural adalah salah satu bentuk cedera otak dimana darah
berkumpul antara duramater (lapisan pelindung terluar dari otak)
dan arachnoid (lapisan tengah menings), ruang subdural. Hematom
subdural dibagi menjadi hematom subdural akut, subakut, dan
kronik. Waktu antara timbulnya gejala bervariasi antara kurang dari
48 jam sampai beberapa minggu atau lebih. Hematom subdural
akut bila gejala pada hari pertama sampai dengan hari ke tiga,
subakut bila timbul antara hari ketiga hingga minggu ketiga, dan
kronik bila timbul sesudah minggu ketiga. Gambaran CT-Scan
hematoma subdural, tampak penumpukan cairan ekstraaksial yang
hiperdens berbentuk bulan sabit.
• Subarachnoid hemorrhage
Subarachnoid hemorrhage adalah pendarahan ke dalam ruang
(ruang subarachnoid) diantara lapisan dalam (pia mater) dan
lapisan tengah (arachnoid mater) para jaringan yang
melindungan otak (meninges).
- Penyebab yang paling umum adalah pecahnya tonjolan
pada pembuluh (aneurysm).
- Biasanya, pecah pada pembuluh menyebabkan tiba-tiba,
sakit kepala berat, seringkali diikuti kehilangan singkat
pada kesadaran.
- Computed tomography, kadangkala spinal tap belakang,
dan angiography dilakukan untuk memastikan diagnosa.
- Obat-obatan digunakan untuk menghilangkan sakit kepala
dan untuk mengendalikan tekanan darah, dan operasi
dilakukan untuk menghentikan pendarahan.
Subarachnoid hemorrhage adalah gangguan yang mengancam
nyawa yang bisa cepat menghasilkan cacat permanen yang
serius.
• Intracerebral hematoma / contusio cerebri
- Perdarahan parenkim otak
- Terbanyak frontal dan temporal
- CT :
o Densitas heterogen
o Salt and pepper
• Intraventrikel hemorrhagic
- Perdarahan dalam rongga ventrikel
- Tidak menyebabkan efek massa
- Hidrosefalus
- External Ventrikular Drainage

9. Diagnosa Banding
Jika riwayat trauma kurang jelas dan pasien tidak sadar,
kita hrs membedakan cedera kepala tertutup dengan penyebab
lainnya, seperti: koma diabetik, koma alkoholik, CVD atau
epilepsy (jika pasien kejang).

10. Terapi
ABCDE DALAM TRAUMA
Pengelolaan trauma ganda yang berat memerlukan kejelasan dalam
menetapkan prioritas. Tujuannya adalah segera mengenali cedera
yang mengancam jiwa dengan Survey Primer, seperti :
• Obstruksi jalan nafas
• Cedera dada dengan kesukaran bernafas
• Perdarahan berat eksternal dan internal
• Cedera abdomen
Jika ditemukan lebih dari satu orang korban maka pengelolaan
dilakukan berdasar prioritas (triage) Hal ini tergantung pada
pengalaman penolong dan fasilitas yang ada.
Survei ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability,
Exposure) ini disebut survei primer yang harus selesai dilakukan
dalam 2 - 5 menit. Terapi dikerjakan serentak jika korban
mengalami ancaman jiwa akibat banyak sistim yang cedera :
Airway
Menilai jalan nafas bebas. Apakah pasien dapat bicara dan bernafas
dengan bebas ?
Jika ada obstruksi maka lakukan :
• Chin lift / jaw thrust (lidah itu bertaut pada rahang bawah)
• Suction / hisap (jika alat tersedia)
• Guedel airway / nasopharyngeal airway
• Intubasi trakhea dengan leher di tahan (imobilisasi) pada posisi
netral
Breathing
Menilai pernafasan cukup. Sementara itu nilai ulang apakah jalan
nafas bebas.
Jika pernafasan tidak memadai maka lakukan :
• Dekompresi rongga pleura (pneumotoraks)
• Tutuplah jika ada luka robek pada dinding dada
• Pernafasan buatan
Berikan oksigen jika ada.
Penilaian ulang ABC harus dilakukan lagi jika kondisi pasien
tidak stabil
Sirkulasi
Menilai sirkulasi / peredaran darah. Sementara itu nilai ulang
apakah jalan nafas bebas dan pernafasan cukup. Jika sirkulasi tidak
memadai maka lakukan :
• Hentikan perdarahan eksternal
• Segera pasang dua jalur infus dengan jarum besar (14 - 16 G)
• Berikan infus cairan
Disability
Menilai kesadaran dengan cepat, apakah pasien sadar, hanya
respons terhadap nyeri atau sama sekali tidak sadar. Tidak
dianjurkan mengukur Glasgow Coma Scale
AWAKE = A
RESPONS BICARA (verbal) = V
RESPONS NYERI = P
TAK ADA RESPONS = U
Cara ini cukup jelas dan cepat.
Eksposure
Lepaskan baju dan penutup tubuh pasien agar dapat dicari semua
cedera yang mungkin ada. Jika ada kecurigaan cedera leher atau
tulang belakang, maka imobilisasi in-line harus dikerjakan.

Penanganan darurat :

• Dekompresi dengan trepanasi sederhana


• Kraniotomi untuk mengevakuasi hematome
Terapi medikamentosa

Elevasi kepala 300 dari tempat tidur setelah memastikan tidak


ada cedera spinal atau gunakan posisi trendelenburg terbalik untuk
mengurang tekanan intracranial dan meningkakan drainase vena.

Pengobatan yang lazim diberikan pada cedera kepala adalah


golongan dexametason (dengan dosis awal 10 mg kemudian
dilanjutkan 4 mg tiap 6 jam), mannitol 20% (dosis 1-3
mg/kgBB/hari) yang bertujuan untuk mengatasi edema cerebri yang
terjadi akan tetapi hal ini masih kontroversi dalam memilih mana
yang terbaik. Dianjurkan untuk memberikan terapi profilaksis
dengan fenitoin sedini mungkin (24 jam pertama) untuk mencegah
timbulnya focus epileptogenic dan untuk penggunaan jangka
panjang dapat dilanjutkan dengan karbamazepin. Tri-hidroksimetil-
amino-metana (THAM) merupakan suatu buffer yang dapat masuk
ke susunan saraf pusat dan secara teoritis lebih superior dari
natrium bikarbonat, dalam hal ini untuk mengurangi tekanan
intracranial. Barbiturat dapat dipakai unuk mengatasi tekanan
inrakranial yang meninggi dan mempunyai efek protektif terhadap
otak dari anoksia dan iskemik dosis yang biasa diterapkan adalah
diawali dengan 10 mg/kgBB dalam 30 menit dan kemudian
dilanjutkan dengan 5 mg/ kgBB setiap 3 jam serta drip 1
mg/kgBB/jam unuk mencapai kadar serum 3-4mg%.

Terapi Operatif

Operasi di lakukan bila terdapat : (15)

• Volume hamatom > 30 ml ( kepustakaan lain > 44 ml)


• Keadaan pasien memburuk
• Pendorongan garis tengah > 3 mm

Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life saving


dan untuk fungsional saving. Jika untuk keduanya tujuan tersebut
maka operasinya menjadi operasi emergenci. Biasanya keadaan
emergenci ini di sebabkan oleh lesi desak ruang.

Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume :

• > 25 cc  desak ruang supra tentorial


• > 10 cc  desak ruang infratentorial
• > 5 cc  desak ruang thalamus

Sedangakan indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang


signifikan :

• Penurunan klinis
• Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5
mm dengan penurunan klinis yang progresif.
• Tebal epidural hematoma > 1 cm dengan midline shift > 5
mm dengan penurunan klinis yang progresif

11. Komplikasi
a. Kejang pasca trauma:
Merupakan salah satu komplikasi serius. Insidensinya 10 %,
terjadi di awal cedera 4-25% (dalam 7 hari cedera), terjadi
terlambat 9-42% (setelah 7 hari trauma). Faktor risikonya
adalah trauma penetrasi, hematom (subdural, epidural,
parenkim), fraktur depresi kranium, kontusio serebri, GCS
<10.
b. Demam dan mengigil :
Demam dan mengigil akan meningkatkan kebutuhan
metabolism dan memperburuk “outcome”. Sering terjadi
akibat kekurangan cairan, infeksi, efek sentral.
Penatalaksanaan dengan asetaminofen, neuro muscular
paralisis. Penanganan lain dengan cairan hipertonik, koma
barbiturat, asetazolamid.
c. Hidrosefalus:
Berdasar lokasi penyebab obstruksi dibagi menjadi
komunikan dan non komunikan. Hidrosefalus komunikan lebih
sering terjadi pada cedera kepala dengan obstruksi,
Hidrosefalus non komunikan terjadi sekunder akibat
penyumbatan di sistem ventrikel. Gejala klinis hidrosefalus
ditandai dengan muntah, nyeri kepala, papil udema,
dimensia, ataksia, gangguan miksi.
d. Spastisitas :
Spastisitas adalah fungsi tonus yang meningkat tergantung
pada kecepatan gerakan. Merupakan gambaran lesi pada
UMN. Membentuk ekstrimitas pada posisi ekstensi. Beberapa
penanganan ditujukan pada : Pembatasan fungsi gerak, Nyeri,
Pencegahan kontraktur, Bantuan dalam posisioning.
Terapi primer dengan koreksi posisi dan latihan ROM, terapi
sekunder dengan splinting, casting, farmakologi: dantrolen,
baklofen, tizanidin, botulinum, benzodiasepin.
e. Agitasi :
Agitasi pasca cedera kepala terjadi > 1/3 pasien pada
stadium awal dalam bentuk delirium, agresi, akatisia,
disinhibisi, dan emosi labil. Agitasi juga sering terjadi akibat
nyeri dan penggunaan obat-obat yang berpotensi sentral.
Penanganan farmakologi antara lain dengan menggunakan
antikonvulsan, antihipertensi, antipsikotik, buspiron,
stimulant, benzodisepin dan terapi modifikasi lingkungan.
f. Mood, tingkah laku dan kognitif :
Gangguan kognitif dan tingkah laku lebih menonjol dibanding
gangguan fisik setelah cedera kepala dalam jangka lama.
Penelitian Pons Ford,menunjukkan 2 tahun setelah cedera
kepala masih terdapat gangguan kognitif, tingkah laku atau
emosi termasuk problem daya ingat pada 74 %, gangguan
mudah lelah (fatigue) 72%, gangguan kecepatan berpikir
67%. Sensitif dan Iritabel 64%, gangguan konsentrasi 62%.
Cicerone (2002) meneliti rehabilitasi kognitif berperan penting
untuk perbaikan gangguan kognitif. Methyl phenidate sering
digunakan pada pasien dengan problem gangguan perhatian,
inisiasi dan hipoarousal (Whyte). Dopamine, amantadinae
dilaporkan dapat memperbaiki fungsi perhatian dan fungsi
luhur. Donepezil dapat memperbaiki daya ingat dan tingkah
laku dalam 12 minggu. Depresi mayor dan minor ditemukan
40-50%. Faktor resiko depresi pasca cedera kepala adalah
wanita, beratnya cedera kepala, pre morbid dan gangguan
tingkah laku dapat membaik dengan antidepresan.
g. Sindroma post kontusio :
Merupakan komplek gejala yang berhubungan dengan cedera
kepala 80% pada 1 bulan pertama, 30% pada 3 bulan
pertama dan 15% pada tahun pertama:
Somatik : nyeri kepala, gangguan tidur, vertigo/dizzines,
mual, mudah lelah, sensitif terhadap suara dan cahaya,
kognitif: perhatian, konsentrasi, memori,
Afektif: iritabel, cemas, depresi, emosi labil

12. Prognosa
Penanganan pada cedera kepala harus dilakukan sedini
mungkin untuk mencegah cedera otak sekunder dan akibat
lainnya yang dapat meningkatkan angka mortalitas. Penderita
cedera kepala yang dalam keadaan hipotensi mempunyai
angka mortalitas dua kali lebih besar dibandingkan dengan
yang tidak. Oleh sebab itu pada penderita cedera kepala
stabilisasi kardiopulmuner juga sangat penting.
Hampir 20% penderita cedera kepala meninggal akibat
penanganan atau perawatan yang salah sebelum sampai di
rumah sakit. Penyebab tersering adalah syok, hipoksemia dan
hiperkarbia. Dengan demikian prinsip penanganan ABC
(airway, breathing dan circulation) harus dilaksanakan dengan
tidak melakukan manipulasi yang berlebihan yang dapat
memperberat cedera pada anggota tubuh yang lain seperti
leher, tulang belakang, dada & pelvis.
Faktor-faktor yang memperburuk prognosis adalah :
-Terlambatnya penanganan awal dan resusitasi.
-Pengangkutan/transport yang tidak adekuat.
-Dikirim ke RS yang tidak adekuat.
-Tindakan bedah yang terlambat.
-Disertai dengan cedera multipel yang lain.
-Besar lesi dan lokasinya ( infratentorial lebih jelek)
Mortalitas pasien dengan peningkatan tekanan
Intrakranial > 20 mmHg selama perawatan mencapai 47%,
sedangkan TIK di bawah 20 mmhg kematiannya 39%. Tujuh
belas persen pasien sakit cedera kepala berat mengalami
gangguan kejang-kejang dalam dua tahun pertama post
trauma. Lamanya koma berhubungan signifikan dengan
pemulihan amnesia.
Pemeriksaan penunjang preditor prognosis cedera kepala:
Skor GCS (Penurunan kesadaran pada saat kejadian,
penurunan kesadaran < 30 menit, penurunan kesadaran
setelah 30 menit, amnesia < 24 jam)
William, 2001 meneliti 215 cedera kepala : pasien-pasien
cedera kepala sedang dengan komplikasi (CT Scan +)
terdapat gangguan fungsi neuropsikiatri setelah 6 bulan.
Rontgen tulang tidak direkomendasikan untuk evaluasi
cedera kepala ringan dan sedang dan sensitifitasnya rendah
terhadap adanya lesi intrakranial.
Faktor-faktor yang dapat menjadikan ”Predictor outcome”
cedera kepala adalah: lamanya koma, durasi amnesia post
trauma, area kerusakan cedera pada otak mekanisme cedera
dan umur.

Pengukuran outcome:
Beberapa pengukuran outcome setelah cedera kepala yang
sering digunakan antara lain:
• Glasgow Outcome Scale (GOS) :
Terdiri 5 kategori, meninggal, status vegetative,
kecacatan yang berat, kecacaatan sedang (dapat hidup
mandiri tetapi tidak dapat kembali ke sekolah dan
pekerjaannya), kembali pulih sempurna (dapat kembali
bekerja/sekolah).

• Dissabily Rating Scale (DRS)


Merupakan skala tunggal untuk melihat progress
perbaikan dari koma sampai ke kembali ke
lingkungannya. Terdiri dari 8 kategori termasuk
komponen kesadaran (GCS), kecacatan (activity of daily
living, handicap dalam bekerja).

• Fungsional Independent Measure (FIM)


Banyak digunakan untuk rehabilitasi terdiri dari 18
items skala yang digunakan untuk mengevalusi tingkat
kemandirian mobilitas, perawatan diri, kognitif.

Beberapa pendekatan farmakologi yang digunakan banyak


yang tidak efektif. Strategi terapi masa yang akan datang
lebih ditujukan pada fase hipoperfusi awal antara lain: induksi
hipertensi arterial, terapi farmakologi yang dapat
memperbaiki peningkatan resistensi mikrosirkulasi dan terapi
hipotermi yang dapat memproteksi neuron akibat iskemik.

13. Kesimpulan
Penanganan awal cedera kepala sangat penting karena
dapat mencegah terjadinya cedera otak sekunder sehingga
dapat menekan morbiditas dan mortalitasnya. Cedera kepala
merupakan masalah kesehatan yang akan makin bertambah
besar. Penanganan fase akut yang tepat dapat memperbesar
kemungkinan hidup pasien dan mencegah kecacadan di
kemudian hari. Di samping penanganan dan pengawasan
fungsi vital, pemantauan tingkat kesadaran dan kemungkinan
komplikasi lainnya amat penting. Pengobatan terutama
ditujukan untuk mengurangi edema otak dan mencegah
komplikasi yang mungkin terjadi. Tujuan dari penanganan
cedera kepala bukan lagi sekadar menolong jiwa tetapi
menyembuhkan penderita dengan sequele yang seminimal
mungkin.

You might also like